Recordings On Sea Surface Temperature And

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perubahan-perubahan lingkungan terus berlangsung di seluruh bagian bumi
ini, baik bersifat global maupun lokal. Perubahan-perubahan ini terjadi pada
setiap lapisan planet bumi, yakni: atmosfer, hidrosfer, kriosfer, lithosfer, dan
biosfer, yang kesemuanya saling mempengaruhi (Lucarini 2002).
Perubahan
salah satu komponen tersebut akan mempengaruhi komponen lainnya, dan pada
akhirnya akan berdampak kepada umat manusia.
Lingkungan laut tentunya memiliki peran yang sangat krusial karena laut
menutupi sekitar 70% permukaan planet ini.
Interaksi laut dengan atmosfer
mempengaruhi dan juga dipengaruhi kondisi iklim global. Laut juga merupakan
tempat hidup bagi berbagai organisme.
Hal ini menyebabkan dampak atas
perubahan lingkungan laut menjadi sangat penting.
Iklim dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi rerata cuaca jangka panjang.
Parameter perubahan iklim yang terjadi di lingkungan perairan laut diantaranya
adalah suhu permukaan laut, salinitas permukaan laut, dan paras muka laut.
Perubahan pada parameter-parameter tersebut dapat menyebabkan kejadian
katastrofik bagi organisme yang hidup di dalamnya.
Kemampuan kita untuk mengerti, memodelkan, dan memperkirakan variasi
iklim yang akan terjadi tergantung dari pengetahun kita tentang iklim masa
lampau. Hal ini penting dalam rangka membuat kebijakan dan mitigasi dari
perubahan iklim tersebut. Kenyataannya adalah pengetahuan kita tentang iklim
masa lampau terbatas karena perekaman kondisi lingkungan jangka panjang
dengan instrumen pengukuran sangatlah sedikit, dan lebih banyak daerah yang tak
diketahui dibandingkan dengan yang diketahui. Oleh karena itu, kita bergantung
kepada alat ukur alternatif, berasal dari perekaman alam, untuk mengetahui
kondisi iklim di masa lampau.
Penurunan kualitas air juga berdampak negatif terhadap biota penghuni laut
dan pada akhirnya memberikan dampak kepada manusia. Penurunan kualitas air
ini dapat disebabkan oleh pencemaran yang berasal dari kegiatan manusia
(antropogenik). Pencemaran didefinisikan secara luas sebagai proses masuknya
zat (bahan) maupun energi, baik secara langsung atau tidak langsung, memberikan
dampak yang merugikan (Lasut and Kumurur 2001).
Pencemaran laut yang sangat menakutkan adalah pencemaran oleh logam
berat. Tragedi Minamata, Jepang, pada periode tahun 1953-1960, dilaporkan 146
nelayan di Desa Minamata meninggal dan cacat tubuh karena memakan ikan dan
kerang-kerangan yang ternyata telah tercemar oleh raksa, sehingga kejadian ini
telah menarik perhatian dunia (Hutagalung 1991). Kasus PT. Newmont Minahasa
Raya di Teluk Buyat, Sulawesi Utara, juga menjadi kasus kontroversial hingga
saat ini.
Pihak PT. Newmont Minahasa Raya menolak tudingan penyebab
pencemaran logam berat yang terjadi, yang telah menyebabkan penduduk di area
tersebut menderita cacat tubuh dan berbagai keluhan kesehatan, berasal dari
limbah/tailing pertambangannya.
Hal ini sulit untuk dibuktikan karena tidak
adanya data perkembangan/perubahan kualitas air di tempat itu.
Salah satu ekosistem yang sangat merasakan dampak dari perubahanperubahan lingkungan adalah ekosistem terumbu karang.
Tahun 1997-1998,
peristiwa El-Nino yang berimplikasi kepada suhu permukaan laut telah
mengakibatkan pemutihan karang (coral bleaching) secara luas di Indonesia,
terutama di wilayah barat Indonesia (Burke et al. 2002). Terumbu karang juga
merupakan habitat bagi berbagai macam biota laut, selain memberikan fungsi fisik
dan kimianya.
Hal ini membuat keberadaan terumbu karang menjadi sangat
penting bagi keseimbangan lingkungan laut.
Ketersediaan data tentang perubahan-perubahan
lingkungan secara
langsung (menggunakan instrumen pengukuran), iklim maupun kualitas air,
sangatlah sedikit.
Perekaman jangka panjang instrumental hingga menjelang
tahun 1950 sangatlah jarang terutama di area tropis. Pemantauan satelit baru
dimulai di tahun 1970-an dan pematauan in-situ daerah ekuator Samudra Pasifik
baru dimulai di tahun 1980-an (Grottoli 2001). Kondisi ini menantang kita untuk
memanfaatkan perekam-perekam lingkungan alamiah, seperti: lingkar tahun
pohon, ice cores, sediment cores, dan skeleton karang.
Dunia terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terdinamis di bumi
ini. Terumbu karang juga merupakan komponen geologi utama di muka bumi.
Terumbu karang hidup menutupi sekitar 15% seabed di kisaran kedalaman 0 – 30
meter, dan mereka membentuk 0.2% area lautan dunia (Smith 1978). Terumbu itu
sendiri merupakan hasil metabolisme hewan karang yang komponen utamanya
berupa kalsium karbonat (CaCO3) yang dikenal sebagai proses kalsifikasi.
Kecepatan kalsifikasi karang ini dipengaruhi pula oleh musim (Goreau et al.
1979).
Hal ini mengakibatkan terbentuknya semacam lingkar tahunan pada
skeleton karang.
Pertumbuhan karang juga bersifat akresi yakni lapisan kalsium karbonat
yang terbentuk akan menutupi kalsium karbonat yang telah ada sebelumnya.
Proses ini dapat memerangkap mineral-mineral yang terdapat dalam perairan di
tempat karang itu hidup. Logam yang terperangkap dalam skeleton karang akan
terus ada karena lapisan kalsium karbonat baru akan melapisi lapisan yang
terdahulu (St. John 1974).
Konsentrasi logam dalam skeleton karang dapat
mencerminkan kandungan logam dalam perairan tersebut (Howard and Brown
1984; Shen and Boyle 1988). Hal tersebut memperlihatkan bahwa skeleton
terumbu karang merupakan semacam arsip rekaman kondisi lingkungan perairan
di tempat terumbu itu berada untuk jangka panjang. Hal ini pula yang disebut
dengan istilah sclerochronology. Sclerochronology terumbu karang inilah yang
dikaji sebagai instrumen perekaman lingkungan perairan secara tidak langsung.
Perairan Kepulauan Seribu juga menghadapi segala tekanan-tekanan
lingkungan tersebut. Perairan ini terletak di 5o24’ – 5o45 LS dan 106o25’ –
106o40’ BT (BTNKpS 2000), dan berada di sebelah utara Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.
Perairan Kepulauan Seribu merupakan perairan yang berbatasan
langsung dengan Teluk Jakarta, ke dalam perairan ini bermuara 13 sungai dan
daerah sekelilingnya merupakan daerah dengan tingkat industrialisasi yang tinggi.
Oleh karena itu perairan Kepulauan Seribu rawan terhadap pencemaran laut.
Peristiwa El-Nino pada tahun 1997-1998 juga telah menyebabkan sekitar 90-95%
terumbu karang hingga kedalaman 25 m mengalami kematian (Burke et al. 2002).
Hal ini tentunya menuntut kita untuk mempelajari segala perubahan-perubahan
lingkungan yang terjadi untuk mendapatkan bahan dasar bagi kebijakan dan
mitigasi perubahan lingkungan yang terjadi sekarang dan di masa mendatang.
1.2. Kerangka Pemikiran
Kepulauan Seribu merupakan wilayah kepulauan kecil yang memiliki
karakteristik yang unik. Letaknya yang berdekatan dengan daratan utama Jakarta
memberikan tekanan lingkungan yang cukup besar.
Jalur pelayaran yang
melewati kawasan ini juga memberikan dampak negatif pada lingkungan perairan
Kepulauan Seribu. Keberadaan industri pertambangan juga berimplikasi negatif.
Selain itu limbah yang dihasilkan penduduk Kepulauan Seribu juga dapat
mengakibatkan terjadinya pencemaran sehingga akan mempengaruhi kondisi
kualitas perairannya.
Pencemaran ini juga akan memberikan dampak negatif
terhadap organisme, dan pada akhirnya akan mempengaruhi kesehatan manusia.
Salah satu jenis pencemaran yang terjadi di Kepulauan Seribu adalah pencemaran
logam.
Selain adanya pencemaran, Kepulauan Seribu juga terkena dampak dari
perubahan iklim global, sebagai contoh terjadinya
ENSO (El-Nino Southern
Oscillation) berpengaruh terhadap perairan ini, sebagai contoh terjadinya
kenaikkan suhu perairan (suhu permukaan laut) di perairan Kepulauan Seribu
akan mempengaruhi tingkat ketahanan hidup hewan karang yang ditandai
fenomena coral bleaching. Dampak berupa kematian karang akan memberikan
dampak domino terhadap peri kehidupan ekosistem laut.
Catatan data suhu permukan laut dan kandungan logam di suatu perairan
seringkali tidak ada. Data dari pengarsipan oleh terumbu karang diharapkan dapat
memberikan informasi kondisi lingkungan perairan di lokasi terumbu karang
tersebut di masa lampau (Gambar 1.)
1.3. Perumusan Masalah
Pencemaran lingkungan pada perairan sering kali terjadi tanpa disadari.
Keberadaan bahan polutan di perairan juga belum terdatakan dengan baik.
Kekurangan sumberdaya manusia dan kurangnya perhatian untuk melakukan
pengukuran kualitas air menjadi salah satu penyebab tidak adanya catatan kondisi
perairan dari waktu ke waktu. Data-data tentang dinamika kondisi iklim masa
lampau juga sangatlah minim.
Hal ini mendorong pemanfaatan instrumen
alternatif dalam perekaman kondisi lingkungan, terutama arsip perekaman yang
terbaca dari alam.
Perubahan Lingkungan
Suhu Permukaan Laut
Kandungan Logam
Instrumen
Instrumen
Schlerochronology
Terumbu Karang
Data
Gambar 1. Skema kerangka pemikiran
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menjajaki penggunaan rasio U/Ca di dalam terumbu sebagai instrumen
tidak langsung dalam pengukuran suhu permukaan laut.
2. Menjajaki penggunaan sclerochronology untuk menggambarkan kandungan
logam perairan pada masa lampau.
3. Mengetahui dinamika fluktuasi kandungan logam dan karakter komposisi
logam yang terkandung dalam perekaman skeleton terumbu karang masif
(Porites sp.) hidup.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk:
1. Memberikan informasi kandungan logam dalam perairan dari waktu ke
waktu dengan resolusi per tahun.
2. Memberikan alternatif dalam pendeteksian fluktuasi perubahan suhu
permukaan laut.
3. Menjadi bahan bukti dalam investigasi lingkungan.
4. Menjadi bahan dalam pengambilan kebijakan pengelolaan dan mitigasi
untuk perubahan-perubahan lingkungan.
Download