Menyetarakan Aspek Ekonomi dan Sosial KOMPAS/EVY RACHMAWATI / Kompas Images Sejumlah perempuan menenun di Desa Hinga, Kabupaten Flores Timur, NTT, Desember lalu. Dengan membentuk kelompok perajin tenun, bagian Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) sebagai hasil evaluasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, mereka bisa mandiri dan meningkatkan penghasilan dari menenun. Kamis, 22 Januari 2009 | 01:23 WIB Oleh Maria Hartiningsih Investasi sosial yang menempatkan kesejahteraan anak sebagai pusat perhatian sama pentingnya dengan investasi bagi ketahanan suatu negara. Pembangunan ekonomi, sosial, dan kesejahteraan rakyat adalah isu komprehensif. Dalam pertemuan di Singapura yang membahas dampak krisis ekonomi global pada anak di Kawasan Asia Timur dan Pasifik beberapa waktu lalu, inti pengarahan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati itu menjadi benang merah diskusi yang melibatkan sekitar 150 akademisi, teknokrat keuangan, serta para ahli masalah anak dan pembangunan sosial dari negara-negara Asia Pasifik. Pertemuan yang digelar Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak di Kawasan Asia Timur dan Pasifik (Unicef-EAPRO), Kementerian Luar Negeri Singapura, serta Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore (LKY SPP-NUS) itu dimaksud untuk berbagi pengalaman dan menemukan cara terbaik untuk menahan laju turunnya kondisi kesejahteraan anak karena krisis global tahun 2008. Asia Pasifik adalah ”rumah” dari sekitar 600 juta penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, dengan penghasilan di bawah 1 dolar AS sehari. Menentukan masa depan Kesejahteraan anak senantiasa berada dalam kondisi rentan, ada atau tidak ada krisis. Begitu diingatkan Dr Mahesh S Patel, Penasihat Regional untuk Analisis Ekonomi dan Kebijakan Sosial Unicef-EAPRO. Krisis 1998 memberi penegasan pentingnya perencanaan investasi sosial jangka pendek, menengah, dan panjang dengan pendekatan terintegrasi sehingga mekanismenya mampu menggapai kelompok miskin dan kelompok-kelompok yang mendekati kondisi ”hampir miskin” akibat krisis. Mekanisme dari sistem perlindungan sosial itu, menurut Prof Vitit Muntarbhorn, mantan Pelapor Khusus PBB mengenai Masalah Perdagangan Anak, seharusnya disiapkan pada situasi terbaik dari kondisi ekonomi di suatu negara. Direktur Regional Unicef untuk Wilayah Asia Selatan Daniel Toole mengingatkan, ekonomi harus berjalan baik agar sistem perlindungan sosial bisa dibangun. ”Harus bisa dijelaskan bahwa sistem itu akan memberikan sumbangan bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang,” ujarnya. Menurut Prof Kishore Mabhubani dari LKY SPP-NUS, sistem perlindungan sosial tak hanya penting untuk mencapai target-target Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) tahun 2015. ”Kesejahteraan anak merupakan indikator masa depan bangsa. Perlakuan terhadap anak saat ini akan memperlihatkan situasi masyarakat 20-30 tahun ke depan,” ujarnya mengingatkan keruntuhan Uni Soviet mula-mula ditandai oleh tingginya angka kematian bayi dan balita serta angka putus sekolah. Survei Bank Dunia memperlihatkan, kenaikan harga pangan sebesar 10 persen pada bulan Oktober 2008 menyebabkan lebih dari 100 juta orang di wilayah Asia Pasifik kembali hidup di bawah garis kemiskinan. Dampak krisis di beberapa negara Asia pada tahun 1998 memberi gambaran tentang kemungkinan kerentanan akibat krisis ekonomi global 2008. Anggaran dipangkas Akibat krisis moneter tahun 1998, misalnya, Pemerintah Indonesia harus berutang 72 miliar dollar AS untuk merekapitalisasi sistem perbankan yang sakit. Biaya penggunaan pinjaman pun meningkat sampai sepertiga anggaran belanja negara. Akibatnya, anggaran kesehatan dipotong 7 persen tahun itu dan 12 persen tahun berikutnya. Data lain menyusul: angka anemia naik 50-65 persen pada anak dan naik antara 15-19 persen pada ibu hamil, cakupan vitamin A turun 12 persen, harga obat dan biaya pengobatan naik 60 persen, serta kasuskasus TB (tuberkulosis) mencuat. Angka kematian bayi naik menjadi 14 persen. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sebelum menjadi Depdiknas) 1998/1999 memperkirakan sekitar 5-6 juta anak tidak melanjutkan ke tingkat SMP pada tahun 1998/1999 (Kompas, 7/8/1998). Awal tahun 1999, Menko Kesra Haryono Suyono mengatakan bahwa terdapat 6-10 juta keluarga tak dapat menyekolahkan anaknya karena kesulitan ekonomi. Kalau krisis global tahun 2008 tidak diantisipasi, Unicef memperkirakan, angka anemia pada ibu hamil di Asia Pasifik meningkat 10-20 persen, prevalensi bayi lahir dengan berat badan rendah naik antara 5 dan 10 persen, angka kekerdilan anak naik antara 3 dan 7 persen, angka kematian bayi dan balita naik antara 3 dan 11 persen. ”Intervensi universal pada ibu hamil, bayi baru lahir, dan kesehatan anak akan mengurangi 50 persen ancaman kematian,” ujar Dr Zulfiqar A Bhutta dari The Aga Khan University. Tidak berdiri sendiri Namun, problem kesejahteraan anak tidak berdiri sendiri. Begitu diingatkan Sri Mulyani dan Prof Muntarbhorn. Melambatnya pertumbuhan ekonomi global berdampak pada pendapatan keluarga. Sebab, krisis berarti menyempitnya lapangan kerja dan pemutusan hubungan kerja. Kesejahteraan anak menjadi pertaruhan. Survei Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyatakan, sedikitnya 20 juta orang kehilangan pekerjaan di Asia Pasifik. ”Isu pengangguran menjadi sentral,” ujar Sri Mulyani. Bank Dunia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi di negara berkembang turun sampai 3,4 persen tahun 2009 dibandingkan dengan tahun 2007 yang rata-rata 7,9 persen dan pertumbuhan negatif di negara maju. Perdagangan global, menurut Dana Moneter Internasional (IMF), turun dari 7,2 persen tahun 2007 menjadi 4,9 persen tahun 2008 dan 4,1 persen pada 2009. Meski berbeda sifatnya dengan krisis tahun 1998, krisis global saat ini lebih dalam. Kalau dulu hanya beberapa negara Asia yang mengalami dampak terparah, sekarang krisis bersumber di negara maju. ”Pemerintah AS mengucurkan lebih dari 1,3 triliun dollar AS untuk menyelamatkan ekonomi dalam negeri, Uni Eropa ratusan miliar dollar,” ujar Sri Mulyani, mengingatkan sempitnya akses bantuan bagi negara-negara berkembang. Padahal, seperti dikemukakan Prof Mahbubhani, bantuan 6 miliar dollar AS saja cukup untuk membantu program makanan tambahan bagi anak di seluruh dunia. Menurut Sri Mulyani, situasi di Indonesia saat ini berbeda dengan situasi tahun 1998. Di antara yang signifikan adalah pertumbuhan ekonomi 6 persen tahun 2008, situasi politik yang relatif stabil, dan utang yang sekitar 30 persen GDP dari sebelumnya yang pernah mencapai 100 persen GDP. Ia memaparkan, upaya-upaya Pemerintah Indonesia empat tahun terakhir ini untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat, mulai dari tindakan darurat sementara melalui bantuan langsung tunai saat kenaikan harga BBM sampai program-program yang mendorong kreativitas masyarakat, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Upaya-upaya itu, menurut Sri Mulyani, tak bisa dipisahkan dari tiga hal penting, yakni meningkatkan kapasitas dan kemampuan fiskal, termasuk reformasi pajak dan memerangi korupsi di pemerintahan; kebijakan alokasi dana yang tepat, efektif, dan cerdas, langsung menyasar kelompok sasaran; serta reformasi kelembagaan. Sayangnya, ia tidak mengungkapkan potensi PHK tahun 2009 yang diperkirakan pihak Asosiasi Pengusaha Indonesia mencapai 1,61 juta orang, dengan sumbangan terbesar dari perkebunan sawit (1,5 juta) dan perekonomian nasional yang diperkirakan hanya tumbuh 4 persen. Juga tidak diungkapkan bahwa infrastruktur kesejahteraan sosial di Indonesia, termasuk buruk di kawasan Asia