BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segi kehidupan manusia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Segi kehidupan manusia tidak terlepas dari kodrat kejadiannya sebagai manusia.
Pada diri manusia sebagai makhluk hidup terdapat dua naluri yang juga terdapat pada
mahkluk hidup lainnya, yaitu naluri untuk mempertahankan hidup dan naluri untuk
melanjutkan hidup.
Untuk terpenuhinya dua naluri tersebut Allah SWT menciptakan dalam diri
setiap manusia dua nafsu, yaitu nafsu makan dan nafsu syahwat. Nafsu makan
berpotensi untuk memenuhi naluri mempertahankan hidup dan karena itu setiap
manusia memerlukan sesuatu yang dapat dimakannya. Dari sinilah muncul
kecenderungan manusia untuk mendapatkan dan memiliki harta. Nafsu syahwat
berpotensi untuk memenuhi naluri melanjutkan kehidupan dan untuk itu setiap
manusia memerlukan lawan jenisnya untuk menyalurkan nafsu syahwatnya itu.1
Pada dasarnya dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
(selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan) menganut adanya asas monogami
dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3 ayat (1) UndangUndang Perkawinan yang menyebutkan bahwa pada asasnya seorang pria hanya
boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami. Akan tetapi asas monogami dalam Undang-Undang Perkawinan tidak bersifat
mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami
dengan jalan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus
sama sekali sistem poligami. Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya
1
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 2
1
2
bersifat limitatif, karena dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan
disebutkan, untuk pengadilan dapat memberikan izin pada seorang suami untuk
beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan.
Pernikahan monogami adalah ikatan perkawinan yang hanya membolehkan
suami mempunyai satu istri saja pada jangka waktu tertentu.2 Sedangkan pernikahan
poligami adalah perkawinan seorang laki laki dengan lebih dari seorang perempuan
dalam waktu yang bersamaan.3 Dari pengertian diatas antara monogami dan poligami
terdapat perbedaan yang jelas yaitu pada jumlah istri yang dimiliki oleh suami, untuk
monogami hanya satu istri saja sedangkan poligami mempunyai istri lebih dari satu.
Poligami merupakan suatu realita hukum dalam masyarakat yang akhir-akhir ini
menjadi suatu perbincangan hangat serta menimbulkan pro dan kontra. Poligami
sendiri mempunyai arti suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan
lebih dari seorang istri. Istilah poligami berasal dari bahasa Yunani terdiri dari
Polu yang berarti banyak dan kata gune yang berarti perempuan. Poligami
mempunyai arti suatu perkawinan antara satu orang laki-laki dengan lebih dari
seorang istri.4
Hukum merupakan alat yang efektif untuk mencapai tujuan sosial karena aturan
hukum secara konsisten melekat pada petugas hukum dan masyarakat.
Persoalan yang dihadapi oleh negara kita adalah bagaimana hukum dapat
memenuhi tujuan sosial, sehingga menjadi efektif, sementara itu yang terjadi
dalam reformasi hukum dinegara kita banyak peraturan perundang-undangan
dibuat hanya berdasarkan "pesanan", sehingga menimbulkan ketidaksesuaian
antara hukum dan masyarakat, padahal pembangunan hukum tidak dapat
dipisahkan dari perkembangan masyarakat.5
2
Musda Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama,
1999), hlm. 2
3
M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Pres, 2010), hlm. 352
4
Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Alumni,
1978), hlm. 79.
5
Efa Laela Fakhriah, Pluralisme Kewenangan Dalam Pembuatan Keterangan Waris Di
Indonesia Dihubungkan Dengan Kepastian Hukum, (Bandung: Dosen Fakultas Hukum, Unpad), hlm.
2
3
Manusia selaku anggota masyarakat mempunyai tempat dalam masyarakat
dengan disertai hak dan kewajiban terhadap anggota masyarakat lainnya, dan juga
terhadap barang-barang yang berada dalam masyarakat itu. Dengan kata lain ada
berbagai hubungan antara seorang manusia disatu pihak dan dunia luar sekitarnya di
lain pihak sedemikian rupa yaitu saling mempengaruhi satu sama lain berupa
kenikmatan atau beban yang dirasakan oleh masing-masing pihak. Apabila seorang
manusia yang merupakan salah satu pihak dalam suatu hubungan hukum pada suatu
waktu meninggal dunia, maka dengan sendirinya timbul pertanyaan apakah yang
akan terjadi dengan
hubungan-hubungan hukum
manusia tersebut masih hidup. Hubungan-hubungan
yang dilakukan pada waktu
hukum
itu
tidak
lenyap
seketika begitu saja dengan meninggalnya seseorang, karena pada umumnya
yang ditinggalkan oleh yang meninggal itu bukan hanya manusia atau barang
saja,
tapi
juga
kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan anggota
masyarakat lain, dan kepentingan-kepentingan tersebut membutuhkan pemeliharaan
dan penyelesaian, karena apabila tidak ada pemeliharaan dan penyelesaian maka akan
timbul ketidakseimbangan dalam masyarakat.
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum
waris sangat erat kaitannya dengan ruang Iingkup kehidupan manusia, sebab
setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan
kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa
hukum kematian seseorang, di antaranya ialah masalah bagaimana pengurusan
dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal
dunia tersebut. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat
meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris. Untuk pengertian hukum
"waris" sampai saat ini baik para ahli hukum Indonesia maupun di dalam
4
kepustakaan ilmu hukum Indonesia, belum terdapat keseragaman pengertian,
sehingga istilah untuk hukum waris masih beraneka ragam.6
Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, bahwa Hukum Waris adalah soal apakah dan
bagaimanakah berbagai hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang pada waktu
ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. 7
Sedangkan
menurut Effendi Perangin hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang
peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta
akibatnya, bagi para ahli warisnya. Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajibankewajiban dalam lapangan hukum kekayaan/harta benda saja yang dapat diwaris.8
Jadi Hukum Waris pada hakekatnya adalah untuk mengatur pembagian harta warisan
kepada para ahli waris, agar tidak terjadi perselisihan ketika harta warisan dibagikan.
Pengertian waris dalam bahasa Indonesia disebut pusaka. Yaitu harta benda dan
hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak
menerimannya.9
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang No.1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan disebutkan bahwa: “Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama, harta bawaan dari masing-masing sebagai hadiah
atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain”.
6
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung:
Reflika Aditama, 2013), hlm. 1
7
R. Prodjodikoro Wiryono, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1983),
hlm. 13.
8
Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 3
9
Muklis Lubis dan Mahmun Zulkifli, Ilmu Pembagian Waris, (Bandung: Cipta Pustaka
Media, 2004), hlm. 1
5
Demikian juga dalam perkawinan poligami isteri meninggal, maka suami berhak
mewarisinya atau sebaliknya apabila suami meninggal, maka isteri-isterinya berhak
mewarisinya.
Dalam rangka memahami kaidah-kaidah serta seluk beluk hukum waris, hampir
tidak dapat dihindarkan untuk terlebih dahulu memahami beberapa istilah yang
lazim dijumpai dan dikenal. Istilah-istilah dimaksud tentu saja merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari pengertian hukum waris itu sendiri. Beberapa istilah
tersebut beserta pengertiannya seperti dapat disimak berikut ini:
1. Waris;
Istilah ini berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang
yang telah meninggal.
2. Warisan;
Berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.
3. Pewaris;
Adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal dunia dan
meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat wasiat.
4. Ahli waris;
Yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yang berhak
menerima harta peninggalan pewaris.
5. Mewarisi;
Yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi
harta peninggalan pewarisnya.
6. Proses pewarisan;
Istilah proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua makna, yaitu:
1. berarti penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris masih hidup;
dan
2. berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.10
Berkaitan dengan beberapa istilah tersebut di atas, Hilman Hadikusumah dalam
bukunya mengemukakan bahwa "warisan menunjukkan harta kekayaan dari orang
yang telah meninggal, yang kemudian disebut pewaris, baik harta itu telah dibagibagi atau pun masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi".11
10
Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 2-3
Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat, (Bandung: Alumni, 1980), hlm. 23
11
6
Dari penjelasan di atas menegaskan bahwa pada prinsipnya, menurut hukum
Islam pewarisan terjadi didahului dengan adanya kematian, dan orang yang
meninggal tersebut meninggalkan harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli
warisnya.
Syari’at Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan
adil. Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang
berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian
yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap
pewaris, apakah dia sebagai kakek, anak, istri, suami, ibu, paman, cucu, atau
bahkan hanya sebagai seayah atau seibu.12
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
berhalangan karena hukum untuk menjadi ahli waris.13
Hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum
merupakan unifikasi hukum. Atas dasar peta hukum waris yang masih demikian
pluralistiknya, akibatnya sampai sekarang ini pengaturan masalah warisan di
Indonesia masih belum terdapat keseragaman.
Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat
dan sifat kekeluargaan. Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia,
berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan. Berkaitan dengan sistem
penarikan garis keturunan, seperti telah diketahui di Indonesia secara umum setidaktidaknya dikenal tiga macam sistem keturunan. Untuk mengetahui serta
12
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Menurut Warisan Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), hlm. 32.
13
Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Fokusmedia,
2005), hlm. 56, Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam.
7
mengelaborasi perihal hukum waris di Indonesia, sudah barang tentu terlebih dahulu
perlu diketahui bentuk masyarakat serta sifat-sifat kekeluargaan yang terdapat di
Indonesia menurut sistem keturunan yang dikenal itu.
Ketiga sistem keturunan dengan sifat-sifat kekeluargaannya yang unik serta
sudah sedemikian populer disebabkan segi-segi perbedaannya amat mencolok,
selanjutnya dapat disimak dalam paparan singkat berikut ini sekaligus pula
dengan contoh lokasi geografis lingkungan adatnya.
1. Sistem patrilineal/sifat kebapakan.
Sistem ini pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis keturunan ayah
atau garis keturunan nenek moyangnya yang laki-laki. Sistem ini di Indonesia
antara lain terdapat pada masyarakat-masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak,
Ambon, Irian Jaya, Timor, dan Bali.
2. Sistem matrilineal/sifat keibuan.
Pada dasarnya sistem ini adalah sistem yang menarik garis keturunan ibu dan
seterusnya ke atas mengambil garis keturunan dari nenek moyang perempuan.
Kekeluargaan yang bersifat keibuan ini di Indonesia hanya terdapat di satu
daerah, yaitu Minangkabau.
3. Sistem bilateral atau parental/sifat kebapak-ibuan.
Sistem ini, yaitu sistem yang menarik garis keturunan baik melalui garis
bapak maupun garis ibu, sehingga dalam kekeluargaan semacam ini pada
hakikatnya tidak ada perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah. Sistem ini di
Indonesia terdapat di berbagai daerah, antara lain: di Jawa, Madura, Sumatera
Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi,
Ternate, dan Lombok.14
Memperhatikan perbedaan-perbedaan dari ketiga macam sistem keturunan
dengan sifat-sifat kekeluargaan masyarakatnya tersebut di atas, kiranya semakin jelas
menunjukkan bahwa sistem hukum warisnya pun sangat pluralistik. Kondisi tersebut
sudah tentu sangat menarik untuk ditelaah dan dikaji lebih lanjut. Dari kajian seksama
itulah akan dapat dipahami betapa pluralisme hukum yang menghiasi bumi Indonesia
ini masih sangat tampak dan akan terus ada bahkan mungkin sampai akhir zaman,
terutama dalam sistem hukum warisnya.
14
Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 5-6
8
Namun demikian pluralistiknya sistem hukum waris di Indonesia tidak hanya
karena sistem kekeluargaan masyarakat yang beragam, melainkan juga disebabkan
adat-istiadat masyarakat Indonesia yang juga dikenal sangat bervariasi. Oleh sebab
itu, tidak heran kalau sistem hukum waris adat yang ada juga beraneka ragam serta
memiliki corak dan sifat-sifat tersendiri sesuai dengan sistem kekeluargaan dari
masyarakat adat tersebut.
Melengkapi pluralistiknya sistem hukum waris adat yang diakibatkan beraneka
ragamnya masyarakat adat di Indonesia, dua sistem hukum lainnya yang juga
cukup dominan hadir bersama serta berlaku terhadap masyarakat dalam wilayah
hukum Indonesia. Kedua macam sistem hukum waris yang disebut terakhir itu
memiliki corak dan sifat yang berbeda dengan corak dan sifat hukum waris adat.
Sistem hukum waris yang dimaksud adalah Hukum Waris Islam yang berdasar
dan bersumber pada Kitab Suci Al-Qur'an dan Hukum Waris Barat peninggalan
zaman Hindia Belanda yang bersumber pada BW (Burgerlijk Wetboek).15
Bagi setiap muslim sudah merupakan kewajiban baginya untuk melaksanakan
kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan Hukum Islam yang ditunjuk oleh peraturanperaturan yang jelas (nash-nash yang sharih). Selama peraturan tersebut ditunjukkan
oleh peraturan atau lain ketentuan yang menyebutkan ketidakwajibannya, maksudnya
setiap ketentuan hukum agama Islam wajib dilaksanakan selama tidak ada ketentuan
lain (yang datang kemudian sesudah ketentuan yang terdahulu) yang menyatakan
ketentuan terdahulu tidak wajib.16
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana saja
didunia ini.17 Waris adalah berpindahnya harta dari si mayit kepada yang hidup (ahli
waris) dapat disimpulkan bahwa dalam urusan warisan harus ada tiga hal, yaitu orang
15
Eman Suparman, Ibid., hlm. 7
Wati Rahmi Ria, Aspek Yuridis Tentang Hukum Waris Islam, (Bandar Lampung: Sinar
Sakti, 2007), hlm. 8
17
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan
kedelapan, 2004), hlm. 1
16
9
yang meninggal (pewaris), ahli waris dan harta yang diwariskan.18
Dengan kata lain rukun mempusakai harta peninggalan meliputi harta
peninggalan si mayit, pewaris dan ahli waris. Warisan adalah permasalahan yang
sangat rumit dan riskan. Dimanapun dan kapanpun warisan menjadi persoalan yang
sangat polemik. Tak seorang pun mampu berbuat dengan adil. Kecenderungan
manusia yang tamak dengan harta membuat keadilan mustahil ada dalam diri setiap
manusia. Apalagi jika pembagian harta warisan tidak dibagi dengan syariat islam, hal
ini akan menjerumuskan pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan soal
pembagian tersebut kedalam kemungkinan. Tidak hanya saling bermusuhan, tetapi
nyawapun bisa menjadi taruhannya demi mendapatkan bagian yang besar. Bahkan,
hubungan persaudaraan pun lambat laun hilang seiring berjalannya rasa iri dengki.19
Hukum kewarisan Islam hasil ijtihad syafi’i oleh sebagian besar umat Islam telah
dijadikan sebagai hukum normatif dan harus diterima sebagai hukum yang mengikat
dan terpancar dari perintah Allah SWT dalam Al-Qu’ran dan hadist. Sehingga tidak
layak bagi setiap muslim untuk merasa tidak adil dengan hukum kewarisan tersebut.20
Kedudukan ilmu pembagian waris dalam Islam sangat penting, Al-Qur’an
mengatur pembagian waris secara jelas dan terperinci. Hal ini dapat dimengerti
sebab masalah warisan pasti dialami setiap orang. Hukum tentang pembagian
warisan langsung menyangkut harta benda yang apa bila tidak diberikan
ketentuan yang pasti akan menimbulkan sengketa diantara ahli waris. Setiap
terjadi kematian seseorang, segera timbul pertanyaan bagaimana harta
peninggalannya?, harus diperlakukan dan kepada siapa saja harta itu
18
Muhammad Thaha Abdul Ela Khalifah, Hukum Waris, Pembagian Warisan Berdasarkan
Syariat Islam, (Jakarta: Tiga Serangkai, 2007), hlm. 9
19
Ibid., hlm. 9
20
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Eksistensi dan
Adaptabilitas), (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), hlm. 95
10
dipindahkan, serta bagaiman caranya?, inilah yang diatur dalam ilmu pembagian
waris.21
Surat keterangan ahli waris (SKAW)
merupakan salah satu dokumen yang
menjadi referensi atau alat bukti dalam melakukan pembagian harta peninggalan
untuk ahli waris. Dari keterangan ini akan dapat diketahui siapa saja yang berhak atas
warisan atau harta peninggalan pewaris. Keterangan ahli waris di Indonesia sampai
saat ini pengaturannya masih pluralistik karena keterangan ahli waris didasarkan pada
peraturan yang berbeda berdasarkan golongan penduduk di Indonesia yang
bermacam-macam. Akibatnya sampai kini keterangan ahli waris masih belum
seragam sehingga tidak mencerminkan unsur kepastian hukum yang diamanatkan
konsep negara hukum.
Selain itu di dalam praktek, pembuatan surat keterangan waris pun tidak jelas.
Tidak sedikit, pembuatan konsep surat keterangan waris itu tidak memenuhi
syarat formal maupun syarat material sebagai akta untuk pembuktian hukum.
Sehingga bila ditilik dengan cermat, bisa jadi keterangan ahli waris yang dimiliki
seseorang di antara kita ternyata dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang.
Dengan demikian produk keterangan ahli waris seperti ini berpotensi masalah.22
Dalam praktek sehari-harinya lebih banyak ditemui berupa Surat Keterangan
Waris. Surat Keterangan Waris ini secara umum hanya berisikan keterangan dan
pernyataan dari para ahli waris bahwa mereka adalah benar-benar merupakan
ahli waris yang sah dari pewaris yang telah meninggal dunia. Dibuat di bawah
tangan yang dikuatkan dan/atau dikeluarkan oleh Kelurahan dan
diketahui/dikuatkan oleh Camat, untuk keperluan-keperluan tertentu Surat
Keterangan tersebut dapat pula di waarmerking oleh notaris setelah adanya
keterangan dari Kelurahan setempat.23
21
Muklis Lubis dan Mahmun Zulkifli, Op.Cit., hlm. 3
http://medianotaris.com/berikan_keterangan_ahli_waris_kepada_notaris_berita320.html
,
diakses pada Maret 2015
23
http://pettaamin.blogspot.com/2010/10/surat-keterangan-waris.html, diakses pada Maret
2015
22
11
Dari penjelasan diatas, surat keterangan ahli waris yang dibuat dibawah tangan
berdasarkan pernyataan ahli waris yang dikeluarkan oleh Kelurahan dan
diketahui/dikuatkan oleh Camat, kurang menjamin adanya kepastian hukum karena
pejabat yang ikut menandatangani surat tersebut belum tentu tahu pasti ahli waris
yang tertulis itu adalah yang benar atau tidak. Ini bisa terjadi ketika para ahli waris
yang membuat surat tersebut tidak melampirkan data-data pendukung. Hal ini dapat
dilihat dari prakteknya, tidak semua ahli waris tercantum dalam surat keterangan ahli
waris yang dibuat oleh Lurah/Camat tersebut, misalnya seorang pewaris yang
memiliki istri lebih dari 1 (satu) bisa membuat sendiri-sendiri keterangan warisnya.
Sehingga masing-masing istri dapat menjual sendiri harta ahli waris tanpa melibatkan
ahli waris lainnya. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya sengketa waris
karena keterangan waris yang tumpang tindih tersebut.24 Hal ini terjadi karena surat
keterangan ahli waris yang dibuat Lurah atau Camat hanya berpedoman pada kartu
keluarga dan berdasarkan keterangan yang diberikan oleh ahli waris saja tanpa
adanya penelitian sama sekali. Sehingga tidak diketahui secara pasti, berapa
sebenarnya jumlah ahli waris dari seorang pewaris.
Seperti contoh kasus di Pengadilan Agama Medan dengan putusan Nomor
314/Pdt.G/2014/PA.Mdn. Perkara antara Yusbah binti M. Yusuf Nasution sebagai
(Penggugat) yang merupakan istri kedua dari Almarhum Tasrif Gandhi dengan Oly
Dana binti Samin sebagai (Tergugat) yang merupakan istri pertama dari Almarhum
24
Irma Devita Purnamasari, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum
Waris, (Bandung: Kaifa, 2014), hlm. 94
12
Tasrif Gandhi. Bahwa Yusbah binti M. Yusuf Nasution (penggugat) telah
mengajukan gugatan secara tertulis melalui kuasa hukumnya dengan suratnya
tertanggal 17 Pebruari 2014 dan telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama
Medan dengan register Nomor 314/Pdt.G/2014/PA Mdn, tanggal 18 Februari 2014.
Bahwa penggugat adalah (istri kedua) dari Almarhum Tasrif Gandhi sedangkan
Tergugat adalah (istri pertama) dari almarhum Tasrif Gandhi yang telah meninggal
dunia pada tanggal 27 Desember 2002 karena sakit dan telah dikebumikan menurut
tata cara agama islam sesuai denagn Surat Keterangan Kematian Nomor: 474.3/003
yang dikeluarkan oleh Kepala Desa/Lurah Tanjung Balai Kota tanggal 17 Januari
2003. Bahwa semasa hidupnya Almarhum Tasrif Gandhi telah menikah 2 (dua) kali,
yang pertama dengan istrinya yang bernama Oly Dana binti Samin namun tidak
mempunyai keturunan dan dengan istri kedua bernama Yusbah binti M. Yusuf
Nasution yang dinikahinya pada tanggal 30 Maret 1985
namun juga tidak
mempunyai keturunan. Bahwa dengan demikian ketika meninggal dunia Almarhum
Tasrif Gandhi meninggalkan ahli waris dua orang istri.yaitu: 1) Oly Dana Binti Samin
(istri pertama) dan 2) Yusbah binti M. Yusuf Nasution (istri kedua). Bahwa setelah
meninggalnya Almarhum Tasrif Gandhi istri pertamanya telah menguasai dan
mengusahai harta warisan yang ditinggalkan Almarhum Tasrif Gandhi tanpa seizin
dan sepengetahuan istri keduanya dan patut diduga sebagian harta warisan tersebut
telah dialihkan oleh tergugat kepada pihak lain dengan menghilangkan hak-hak
bagian warisan dari Penggugat. Yang mana surat keterangan ahli waris bagi
perkawinan poligami yang dibuat tidak memasukkan salah satu dari istri kedalam
13
surat keterangan ahli waris tersebut, hal ini tentunya sangat merugikan Penggugat
selaku ahli waris yang sah dan mustahaq yang sesuai hukum berhak atas harta
warisan dari Almarhum Tasrif Gandhi. Bahwa oleh karena Penggugat telah sangat
dirugikan oleh Tergugat yang telah menikmati secara sepihak apa yang menjadi
bahagian hak dari Penggugat dan Tergugat tidak berkeinginan membagi dan
memberikan apa yang menjadi hak dari bahagian warisan Penggugat maka beralasan
Penggugat mengajukan perkara ini untuk memperoleh suatu keputusan yang sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku faraid dalam Islam yang dalam hal ini menjadi
wewenang Pengadilan Agama Medan.
Berdasarkan dari latar belakang diatas, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai pembuatan surat keterangan ahli waris (SKAW), yang dituangkan dalam
judul tesis “Analisis Yuridis Tentang Pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris
(SKAW) Bagi Perkawinan Poligami Oleh Pejabat Yang Berwenang” (Studi Kasus
Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 314/Pdt.G/2014/PA.Mdn).
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan salah satu bagian yang penting dalam suatu
penelitian hukum. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan tersebut di atas, maka
yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut:
1.
Siapa yang memiliki kompetensi untuk membuat surat keterangan ahli waris
yang berpoligami menurut ketentuan yang berlaku?
14
2.
Bagaimana tanggung jawab pejabat yang berwenang membuat surat keterangan
ahli waris pada perkawinan poligami bila terjadi sengketa atas surat yang
dikeluarkannya?
3.
Bagaimana pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan
perkara Nomor 314/Pdt.G/2014/PA Mdn.?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.
Untuk mengetahui siapa yang memiliki kompetensi untuk membuat surat
keterangan ahli waris (SKAW) yang berpoligami menurut ketentuan yang
berlaku.
2.
Untuk mengetahui tanggung jawab pejabat yang berwenang membuat surat
keterangan ahli waris (SKAW) pada perkawinan poligami bila terjadi sengketa
atas surat yang dikeluarkannya.
3.
Untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim Pengadilann Agama dalam
memutuskan perkara Nomor: 314/Pdt.G/2014/PA.Mdn.
D. Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak
dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberi
manfaat sebagai berikut :
15
1.
Secara teoritis, penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi ilmu pengetahuan,
khususnya ketentuan tentang pembuatan surat keterangan ahli waris (SKAW)
bagi perkawinan poligami oleh pejabat yang berwenang.
2.
Secara praktis, adalah memberikan sumbangan pemikiran terhadap mahasiswamahasiswa atau praktisi-praktisi hukum juga masyarakat dalam melaksanakan
ketentuan hukum yang mengatur tentang pembuatan surat keterangan ahli waris
(SKAW) bagi perkawinan poligami oleh pejabat yang berwenang.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang
ada di lingkungan Universitas Sumatra Utara, khususnya di lingkungan Magister
Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatra Utara Medan, belum
ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Analisis Yuridis Pembuatan Surat
Keterangan Ahli Waris (SKAW) Bagi Perkawinan Poligami Oleh Pejabat Yang
Berwenang”. Meskipun ada beberapa penelitian yang menyangkut masalah Mengenai
Bukti Keterangan Hak Waris, namun secara judul dan substansi pokok yang dibahas
berbeda dengan penelitian ini, antara lain penelitian yang dilakukan oleh :
1.
Fitreni Chris Lily (NIM. 037011027), Mahasiswi Magister Kenotariatan Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Sumatra Utara, dengan judul penelitian “Pengaturan
Mengenai Bukti Keterangan Hak Waris Yang Berlaku Bagi Warga Negara
Indonesia”.
Dengan permasalahan yang dibahas:
16
a. Apakah peraturan yang sudah ada dapat menjamin tercapainya kepastian
hukum dalam hal penentuan hak-hak kewarisan Warga Negara Indonesia?
b. Mengapa sampai sekarang belum ada unifikasi mengenai Keterangan Hak
Waris?
c. Bagaimana bentuk Keterangan Hak Waris yang paling ideal yang
dikehendaki dalam praktek?
2.
Azizah Syabibi ( NPM 10068278520), mahasiswi Magister Kenotariatan Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Indonesia, dengan judul penelitia “Analisis Yuridis
Kekuatan Surat Keterangan Ahli Waris Dari Kelurahan Dalam Menetapkan Ahli
Waris Bagi Orang Islam”
Dengan permasalahan yang dibahas:
a. Bagaimana praktek dan pengaturan tentang pembuatan Surat Keterangan
Ahli Waris?
b. Bagaimana kekuatan hukum Surat Keterangan Ahli Waris sebagai alat bukti
dalam menentukan ahli waris?
Dari judul penelitian tersebut di atas tidak ada kesamaan dengan penelitian yang
akan dilakukan ini. Oleh karena itu, maka penelitian yang dilakukan jelas dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah, karena senantiasa memperhatikan ketentuanketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi sebagai peneliti ataupun
akademisi.
17
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam setiap
penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran
teoritis, teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik
untuk proses tertentu.25 Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau
dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari
permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik
disetujui atau tidak disetujui.26
Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai
kegunaan.
Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut :
a.
Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam fakta ;
b.
Teori sangat berguna di dalam klasifikasi fakta;
c.
Teori merupakan ikhtiar dari hal-hal yang diuji kebenarannya.27
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya
menduduk masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka
teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Adapun
teori yang digunakan dalam penelitian ini sebagai grand teori (teori utama)
adalah teori Kepastian Hukum.
25
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1986), hlm.122
26
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80
27
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 121
18
Teori Kepastian Hukum Menurut Radbruch, hubungan antara keadilan
dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh karena kepastian hukum
harus dijaga demi keamanan dalam negara, maka hukum positif selalu
harus ditaati, walaupun isinya kurang adil atau juga kurang sesuai dengan
tujuan hukum. Tetapi dapat kekecualian yakni bilamana pertentangan
antara isi tata hukum dengan keadilan begitu besar. sehingga tata hukum
itu tampak tidak adil pada saat itu tata hukum boleh dilepaskan.28
Tanpa kepastian hukum orang tidak tau apa yang harus diperbuatnya, dan
akhirnya timbulnya keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada
kepastian hukum, terlalu ketat menaati peraturan hukum, akibatnya kaku
dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya
adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu
sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat Lex dura, set tamen
scripta (Undang-undang itu kejam tetapi demikianlah bunyinya). 29
Selain teori Kepastian Hukum yang dipergunakan dalam membahas
permasalahan yang dirumuskan, dalam penelitian ini juga menggunakan teori
adil.
Kata adil adalah bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab yaitu al‘adl, sekaligus bahasa Al-Qur’an, juga ditemukan di dalam berbagai hadist.30
Ibn Manzur al-Afriqi mengartikan kata ini dengan tiga redaksi sebagai
berikut:31
1.
2.
Artinya; Sesuatu yang ada dalam jiwa manusia bahwa dengannya dia
akan berlaku lurus, dan ini merupakan lawan dari curang.
Artinya; sesuatu yang dengannya orang tidak dipengaruhi oleh hawa
nafsunya lalu dia berbuat curang terhadap hukum.
Artinya; menetapkan hukum dengan benar.
3.
28
29
hlm. 58
30
Theo Huijbers, Filsafat Dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 163
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1998),
Pagar, Pembaharuan Hukum Islam Indonesia, Kajian Terhadap Sisi Keadilan Ahli Waris
Pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citapustaka Media, 2007), hlm. 1
31
Ibid., hlm. 2-3
19
Dalam bahasa Indonesia adil ini diartikan dengan:
1.
Tidak berat sebelah atau tidak memihak. Misalnya; pertimbangan yang
tidak berat sebelah (tidak memihak) dinyatakan dengan putusan itu
dianggap adil.
2.
Sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Misalnya; mengemukakan tuntutan
yang sepatutnya, dan masyarakat yang tidak sewenang-wenang.32
Kata adil
dalam bahasa Indonesia bahasa Arab al ‘adl yang artinya
sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang
dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan.
Menurut penelitian M.Quraish Shihab paling tidak ada empat makna
keadilan yaitu:33
1. ’Adl dalam arti sama yang dimaksud adalah persamaan dalam hak.
2. ’Adl dalam arti seimbang bahwa keseimbangan ditemukan pada suatu
kelompok yang didalamya terdapat beragam bagian yang menuju satu
tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap
bagian.
3. ’Adl dalam arti perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu
kepada setiap pemiliknya.
4. ’Adl dalam arti yang dinisbahkan kepada Allah. ‘Adl disini yang berarti
memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah
kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat saat terdapat banyak
kemungkinan untuk itu. Jadi, keadilan Allah pada dasarnya merupakan
rahmat dan kebaikan-Nya.
Adil yang dimaksud dalam tulisan ini adalah adil dalam hukum Islam,
seperti yang dikemukakan oleh Abdul Gani Abdullah sebagai berikut;
“Keadilan dalam hukum Islam digantungkan kepada keadilan yang telah
ditentukan oleh Allah sendiri, karena tidak mungkin manusia mengetahui
kebenaran itu secara benar dan tepat. Disinipun keimanan mendahului
32
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: P.N. Balai Pustaka,
1985), hlm. 16
33
Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqh Dan Ushul Fiqh,(Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2013), hlm. 96-98
20
pengertian, karena telah ditetapkan bahwa segala yang telah ditentukan
oleh Allah SWT, pasti adil”.34
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi
dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara
abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan
abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut
defenisi operasional.35 Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan
abstraksi mengenai suatu fenomena yang merumuskan atas dasar generalisasi
dari jumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu.36
Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
a. Surat keterangan adalah surat yang isinya menerangkan seseorang atau
suatu hal. Surat keterangan termasuk salah satu jenis surat yang paling
banyak di buat karena isi surat keterangan umumnya menyangkut aktivitas
manusia. Surat keterangan hanya dikeluarkan oleh organisasi sehingga
surat keterangan selalu bersifat resmi. Jadi, tidak ada istilah surat
keterangan pribadi atau surat keterangan yang dikeluarkan oleh
34
35
Pagar, Op.Cit., hlm. 8
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.
31.
36
Burhan Ashshofa. Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm. 19.
21
perseorangan. Bila perseorangan akan memberi keterangan tertulis dalam
bentuk surat, surat itu disebut surat pernyataan.37
b. Ahli Waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia (pewaris)
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli
waris.38
c. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.39
d. Poligami artinya beristri banyak. Secara terminologi, poligami yaitu
“seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri”.40
e. Pejabat yang berwenang adalah sesorang yang bertindak sebagai wakil
dari jabatan, yang melakukan perbuatan untuk dan atas nama jabatan.41
G. Metode Penelitian
Sunaryati Hartono mendefenisikan bahwa:
“Metode penelitian adalah cara atau jalan atau proses pemeriksaan atau
penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan teori-teori yang logis
analitis (logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori suatu
ilmu (atau beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau
37
http://ellopedia.blogspot.com/2010/09/surat-keterangan.html?m=1, diakses pada Maret
2015
38
Mukhlis Lubis dan Mahmun Zulkifli, Op.Cit., hlm. 2
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1
40
Zakiah Daradjat (et al), Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 60
41
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2007), hlm. 362
39
22
mengadakan verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau
peristiwa alamiah, peristiwa sosial atau peristiwa hukum tertentu.42
1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan.
Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat deskriptif
analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara
rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis
dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan
analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan.43
Penelitian ini termasuk ruang lingkup penelitian yang menggambarkan,
menelaah dan menjelaskan serta menganalisa teori hukum yang bersifat umum
dan peraturan perundang-undangan mengenai permasalahan-permasalahan
tentang pembuatan surat keterangan ahli waris bagi perkawinan poligami oleh
pejabat yang berwenang, sehingga dapat diperoleh penjelasan siapa yang
memiliki kompetensi untuk membuat surat keterangan ahli waris yang
berpoligami menurut ketentuan yang berlaku, bagaimana tanggung jawab pejabat
yang berwenang membuat surat keterangan ahli waris (SKAW) pada bila terjadi
sengketa atas surat yang dikeluarkannya, bagaimana pertimbangan hukum Hakim
Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara Nomor 314/Pdt.G/2014/PA Mdn
dan sebagai hasilnya diharapkan dapat menjelaskan masalah praktek pembuatan
surat keterangan ahli waris, sehingga ahli waris yang sah, namanya benar-benar
dapat tercantum dalam surat keterangan ahli waris tersebut.
Metode pendekatan yang dilakukan adalah metode penelitian yuridis
normatif atau penelitian hukum doktrinal yakni metode penelitian yang
42
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke -20, (Bandung:
Alumni 1994), hlm. 105
43
Ibid., hal.101.
23
menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahanbahan pustaka dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan
tema penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, teori
hukum, buku-buku, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis
ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.44
2. Sumber Data
Berdasarkan sifat penelitian tersebut diatas, maka data yang dikumpulkan
berasal dari data sekunder. Data sekunder dimaksud antara lain meliputi bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier berupa norma
dasar, perundang-undangan, hasil penelitian ilmiah, buku-buku dan lain
sebagainya.45
a. Bahan hukum primer.46
Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai
landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini adalah seperti
Al-Qur’an, hadist, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Kompilasi Hukum Islam.
b. Bahan hukum sekunder.47
Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer
dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer,
seperti hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan
hukum, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian
yang dilakukan.
c. Bahan hukum tertier.48
44
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif , Suatu Tinjauaan
Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 13
45
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm. 30
46
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), hlm. 53
47
Ibid.
48
Ibid.
24
Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan
lain-lain.
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
a.
Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi
kepustakaan yaitu : menghimpun data dari hasil pencarian bahan pustaka atau
data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tertier. Untuk memperoleh data-data ini akan menggunakan alat
penelitian studi dokumen/pustaka atau penelitian pustaka yaitu dengan cara
mengumpulkan semua peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen
hukum dan buku-buku yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian.49
b. Alat Pengumpulan Data.
Alat pengumpul data yang dipergunakan
untuk mengumpulkan data
dalam penelitian ini adalah:
1. Studi dokumen yaitu dengan melakukan inventarisasi dan
sistematisasi
literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam hal pembuatan surat
keterangan ahli waris bagi perkawinan poligami menurut ketentuan yang
berlaku.
49
Mukhti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.156
25
2. Pedoman wawancara, dilakukan dengan berpedoman pada pertanyaan yang
telah disusun terlebih dahulu untuk melakukan wawancara kepada Hakim
Pengadilan Agama Medan dan Notaris sehingga diperolah data yang
diperlukan sebagai data pendukung yang digunakan sebagai penunjang
dalam penelitian.
4. Analisis Data
Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan
kedalam suatu pola, ketegori dan satuan uraian dasar.50
Analisis data sangat diperlukan dalam suatu penelitian, hal ini berguna untuk
memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan
menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau
fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat
regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).51
Selanjutnya, data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan
(library research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan
(field research) kemudian disusun secara berurutan dan sistematis. Kemudian
dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif sehingga diperoleh
gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat analisis
yuridis tentang pembuatan surat keterangan ahli waris bagi perkawinan
poligami oleh pejabat yang berwenang. Selanjutnya ditarik kesimpulan
50
Lexy J. Moleong, Metodologi penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),
hlm. 103
51
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian
Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan
Metodologis Kearah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.53.
26
dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang
dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya ditarik hal-hal yang
khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum
seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisiproposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat
khusus,52 guna menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan
dalam penelitian ini.
52
Mukhti Fajar dan Yulianto Achmad, Op.Cit., hlm. 109
Download