BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segi kehidupan manusia tidak terlepas dari kodrat kejadiannya sebagai manusia. Pada diri manusia sebagai makhluk hidup terdapat dua naluri yang juga terdapat pada mahkluk hidup lainnya, yaitu naluri untuk mempertahankan hidup dan naluri untuk melanjutkan hidup. Untuk terpenuhinya dua naluri tersebut Allah SWT menciptakan dalam diri setiap manusia dua nafsu, yaitu nafsu makan dan nafsu syahwat. Nafsu makan berpotensi untuk memenuhi naluri mempertahankan hidup dan karena itu setiap manusia memerlukan sesuatu yang dapat dimakannya. Dari sinilah muncul kecenderungan manusia untuk mendapatkan dan memiliki harta. Nafsu syahwat berpotensi untuk memenuhi naluri melanjutkan kehidupan dan untuk itu setiap manusia memerlukan lawan jenisnya untuk menyalurkan nafsu syahwatnya itu.1 Pada dasarnya dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan) menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam pasal 3 ayat (1) UndangUndang Perkawinan yang menyebutkan bahwa pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Akan tetapi asas monogami dalam Undang-Undang Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami. Ketentuan adanya asas monogami ini bukan hanya 1 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 2 1 2 bersifat limitatif, karena dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan disebutkan, untuk pengadilan dapat memberikan izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan. Pernikahan monogami adalah ikatan perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri saja pada jangka waktu tertentu.2 Sedangkan pernikahan poligami adalah perkawinan seorang laki laki dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan.3 Dari pengertian diatas antara monogami dan poligami terdapat perbedaan yang jelas yaitu pada jumlah istri yang dimiliki oleh suami, untuk monogami hanya satu istri saja sedangkan poligami mempunyai istri lebih dari satu. Poligami merupakan suatu realita hukum dalam masyarakat yang akhir-akhir ini menjadi suatu perbincangan hangat serta menimbulkan pro dan kontra. Poligami sendiri mempunyai arti suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan lebih dari seorang istri. Istilah poligami berasal dari bahasa Yunani terdiri dari Polu yang berarti banyak dan kata gune yang berarti perempuan. Poligami mempunyai arti suatu perkawinan antara satu orang laki-laki dengan lebih dari seorang istri.4 Hukum merupakan alat yang efektif untuk mencapai tujuan sosial karena aturan hukum secara konsisten melekat pada petugas hukum dan masyarakat. Persoalan yang dihadapi oleh negara kita adalah bagaimana hukum dapat memenuhi tujuan sosial, sehingga menjadi efektif, sementara itu yang terjadi dalam reformasi hukum dinegara kita banyak peraturan perundang-undangan dibuat hanya berdasarkan "pesanan", sehingga menimbulkan ketidaksesuaian antara hukum dan masyarakat, padahal pembangunan hukum tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat.5 2 Musda Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama, 1999), hlm. 2 3 M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pres, 2010), hlm. 352 4 Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1978), hlm. 79. 5 Efa Laela Fakhriah, Pluralisme Kewenangan Dalam Pembuatan Keterangan Waris Di Indonesia Dihubungkan Dengan Kepastian Hukum, (Bandung: Dosen Fakultas Hukum, Unpad), hlm. 2 3 Manusia selaku anggota masyarakat mempunyai tempat dalam masyarakat dengan disertai hak dan kewajiban terhadap anggota masyarakat lainnya, dan juga terhadap barang-barang yang berada dalam masyarakat itu. Dengan kata lain ada berbagai hubungan antara seorang manusia disatu pihak dan dunia luar sekitarnya di lain pihak sedemikian rupa yaitu saling mempengaruhi satu sama lain berupa kenikmatan atau beban yang dirasakan oleh masing-masing pihak. Apabila seorang manusia yang merupakan salah satu pihak dalam suatu hubungan hukum pada suatu waktu meninggal dunia, maka dengan sendirinya timbul pertanyaan apakah yang akan terjadi dengan hubungan-hubungan hukum manusia tersebut masih hidup. Hubungan-hubungan yang dilakukan pada waktu hukum itu tidak lenyap seketika begitu saja dengan meninggalnya seseorang, karena pada umumnya yang ditinggalkan oleh yang meninggal itu bukan hanya manusia atau barang saja, tapi juga kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan anggota masyarakat lain, dan kepentingan-kepentingan tersebut membutuhkan pemeliharaan dan penyelesaian, karena apabila tidak ada pemeliharaan dan penyelesaian maka akan timbul ketidakseimbangan dalam masyarakat. Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang Iingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang, di antaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris. Untuk pengertian hukum "waris" sampai saat ini baik para ahli hukum Indonesia maupun di dalam 4 kepustakaan ilmu hukum Indonesia, belum terdapat keseragaman pengertian, sehingga istilah untuk hukum waris masih beraneka ragam.6 Menurut R. Wirjono Prodjodikoro, bahwa Hukum Waris adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. 7 Sedangkan menurut Effendi Perangin hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya, bagi para ahli warisnya. Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajibankewajiban dalam lapangan hukum kekayaan/harta benda saja yang dapat diwaris.8 Jadi Hukum Waris pada hakekatnya adalah untuk mengatur pembagian harta warisan kepada para ahli waris, agar tidak terjadi perselisihan ketika harta warisan dibagikan. Pengertian waris dalam bahasa Indonesia disebut pusaka. Yaitu harta benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak menerimannya.9 Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan bahwa: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, harta bawaan dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. 6 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung: Reflika Aditama, 2013), hlm. 1 7 R. Prodjodikoro Wiryono, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1983), hlm. 13. 8 Effendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 3 9 Muklis Lubis dan Mahmun Zulkifli, Ilmu Pembagian Waris, (Bandung: Cipta Pustaka Media, 2004), hlm. 1 5 Demikian juga dalam perkawinan poligami isteri meninggal, maka suami berhak mewarisinya atau sebaliknya apabila suami meninggal, maka isteri-isterinya berhak mewarisinya. Dalam rangka memahami kaidah-kaidah serta seluk beluk hukum waris, hampir tidak dapat dihindarkan untuk terlebih dahulu memahami beberapa istilah yang lazim dijumpai dan dikenal. Istilah-istilah dimaksud tentu saja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian hukum waris itu sendiri. Beberapa istilah tersebut beserta pengertiannya seperti dapat disimak berikut ini: 1. Waris; Istilah ini berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal. 2. Warisan; Berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat. 3. Pewaris; Adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat wasiat. 4. Ahli waris; Yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan pewaris. 5. Mewarisi; Yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya. 6. Proses pewarisan; Istilah proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua makna, yaitu: 1. berarti penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris masih hidup; dan 2. berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.10 Berkaitan dengan beberapa istilah tersebut di atas, Hilman Hadikusumah dalam bukunya mengemukakan bahwa "warisan menunjukkan harta kekayaan dari orang yang telah meninggal, yang kemudian disebut pewaris, baik harta itu telah dibagibagi atau pun masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi".11 10 Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 2-3 Hilman Hadikusumah, Hukum Waris Adat, (Bandung: Alumni, 1980), hlm. 23 11 6 Dari penjelasan di atas menegaskan bahwa pada prinsipnya, menurut hukum Islam pewarisan terjadi didahului dengan adanya kematian, dan orang yang meninggal tersebut meninggalkan harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Syari’at Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai kakek, anak, istri, suami, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebagai seayah atau seibu.12 Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak berhalangan karena hukum untuk menjadi ahli waris.13 Hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum merupakan unifikasi hukum. Atas dasar peta hukum waris yang masih demikian pluralistiknya, akibatnya sampai sekarang ini pengaturan masalah warisan di Indonesia masih belum terdapat keseragaman. Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan. Berkaitan dengan sistem penarikan garis keturunan, seperti telah diketahui di Indonesia secara umum setidaktidaknya dikenal tiga macam sistem keturunan. Untuk mengetahui serta 12 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Menurut Warisan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 32. 13 Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Fokusmedia, 2005), hlm. 56, Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam. 7 mengelaborasi perihal hukum waris di Indonesia, sudah barang tentu terlebih dahulu perlu diketahui bentuk masyarakat serta sifat-sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan yang dikenal itu. Ketiga sistem keturunan dengan sifat-sifat kekeluargaannya yang unik serta sudah sedemikian populer disebabkan segi-segi perbedaannya amat mencolok, selanjutnya dapat disimak dalam paparan singkat berikut ini sekaligus pula dengan contoh lokasi geografis lingkungan adatnya. 1. Sistem patrilineal/sifat kebapakan. Sistem ini pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis keturunan ayah atau garis keturunan nenek moyangnya yang laki-laki. Sistem ini di Indonesia antara lain terdapat pada masyarakat-masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian Jaya, Timor, dan Bali. 2. Sistem matrilineal/sifat keibuan. Pada dasarnya sistem ini adalah sistem yang menarik garis keturunan ibu dan seterusnya ke atas mengambil garis keturunan dari nenek moyang perempuan. Kekeluargaan yang bersifat keibuan ini di Indonesia hanya terdapat di satu daerah, yaitu Minangkabau. 3. Sistem bilateral atau parental/sifat kebapak-ibuan. Sistem ini, yaitu sistem yang menarik garis keturunan baik melalui garis bapak maupun garis ibu, sehingga dalam kekeluargaan semacam ini pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah. Sistem ini di Indonesia terdapat di berbagai daerah, antara lain: di Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok.14 Memperhatikan perbedaan-perbedaan dari ketiga macam sistem keturunan dengan sifat-sifat kekeluargaan masyarakatnya tersebut di atas, kiranya semakin jelas menunjukkan bahwa sistem hukum warisnya pun sangat pluralistik. Kondisi tersebut sudah tentu sangat menarik untuk ditelaah dan dikaji lebih lanjut. Dari kajian seksama itulah akan dapat dipahami betapa pluralisme hukum yang menghiasi bumi Indonesia ini masih sangat tampak dan akan terus ada bahkan mungkin sampai akhir zaman, terutama dalam sistem hukum warisnya. 14 Eman Suparman, Op.Cit., hlm. 5-6 8 Namun demikian pluralistiknya sistem hukum waris di Indonesia tidak hanya karena sistem kekeluargaan masyarakat yang beragam, melainkan juga disebabkan adat-istiadat masyarakat Indonesia yang juga dikenal sangat bervariasi. Oleh sebab itu, tidak heran kalau sistem hukum waris adat yang ada juga beraneka ragam serta memiliki corak dan sifat-sifat tersendiri sesuai dengan sistem kekeluargaan dari masyarakat adat tersebut. Melengkapi pluralistiknya sistem hukum waris adat yang diakibatkan beraneka ragamnya masyarakat adat di Indonesia, dua sistem hukum lainnya yang juga cukup dominan hadir bersama serta berlaku terhadap masyarakat dalam wilayah hukum Indonesia. Kedua macam sistem hukum waris yang disebut terakhir itu memiliki corak dan sifat yang berbeda dengan corak dan sifat hukum waris adat. Sistem hukum waris yang dimaksud adalah Hukum Waris Islam yang berdasar dan bersumber pada Kitab Suci Al-Qur'an dan Hukum Waris Barat peninggalan zaman Hindia Belanda yang bersumber pada BW (Burgerlijk Wetboek).15 Bagi setiap muslim sudah merupakan kewajiban baginya untuk melaksanakan kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan Hukum Islam yang ditunjuk oleh peraturanperaturan yang jelas (nash-nash yang sharih). Selama peraturan tersebut ditunjukkan oleh peraturan atau lain ketentuan yang menyebutkan ketidakwajibannya, maksudnya setiap ketentuan hukum agama Islam wajib dilaksanakan selama tidak ada ketentuan lain (yang datang kemudian sesudah ketentuan yang terdahulu) yang menyatakan ketentuan terdahulu tidak wajib.16 Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana saja didunia ini.17 Waris adalah berpindahnya harta dari si mayit kepada yang hidup (ahli waris) dapat disimpulkan bahwa dalam urusan warisan harus ada tiga hal, yaitu orang 15 Eman Suparman, Ibid., hlm. 7 Wati Rahmi Ria, Aspek Yuridis Tentang Hukum Waris Islam, (Bandar Lampung: Sinar Sakti, 2007), hlm. 8 17 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan kedelapan, 2004), hlm. 1 16 9 yang meninggal (pewaris), ahli waris dan harta yang diwariskan.18 Dengan kata lain rukun mempusakai harta peninggalan meliputi harta peninggalan si mayit, pewaris dan ahli waris. Warisan adalah permasalahan yang sangat rumit dan riskan. Dimanapun dan kapanpun warisan menjadi persoalan yang sangat polemik. Tak seorang pun mampu berbuat dengan adil. Kecenderungan manusia yang tamak dengan harta membuat keadilan mustahil ada dalam diri setiap manusia. Apalagi jika pembagian harta warisan tidak dibagi dengan syariat islam, hal ini akan menjerumuskan pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan soal pembagian tersebut kedalam kemungkinan. Tidak hanya saling bermusuhan, tetapi nyawapun bisa menjadi taruhannya demi mendapatkan bagian yang besar. Bahkan, hubungan persaudaraan pun lambat laun hilang seiring berjalannya rasa iri dengki.19 Hukum kewarisan Islam hasil ijtihad syafi’i oleh sebagian besar umat Islam telah dijadikan sebagai hukum normatif dan harus diterima sebagai hukum yang mengikat dan terpancar dari perintah Allah SWT dalam Al-Qu’ran dan hadist. Sehingga tidak layak bagi setiap muslim untuk merasa tidak adil dengan hukum kewarisan tersebut.20 Kedudukan ilmu pembagian waris dalam Islam sangat penting, Al-Qur’an mengatur pembagian waris secara jelas dan terperinci. Hal ini dapat dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami setiap orang. Hukum tentang pembagian warisan langsung menyangkut harta benda yang apa bila tidak diberikan ketentuan yang pasti akan menimbulkan sengketa diantara ahli waris. Setiap terjadi kematian seseorang, segera timbul pertanyaan bagaimana harta peninggalannya?, harus diperlakukan dan kepada siapa saja harta itu 18 Muhammad Thaha Abdul Ela Khalifah, Hukum Waris, Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat Islam, (Jakarta: Tiga Serangkai, 2007), hlm. 9 19 Ibid., hlm. 9 20 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Eksistensi dan Adaptabilitas), (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), hlm. 95 10 dipindahkan, serta bagaiman caranya?, inilah yang diatur dalam ilmu pembagian waris.21 Surat keterangan ahli waris (SKAW) merupakan salah satu dokumen yang menjadi referensi atau alat bukti dalam melakukan pembagian harta peninggalan untuk ahli waris. Dari keterangan ini akan dapat diketahui siapa saja yang berhak atas warisan atau harta peninggalan pewaris. Keterangan ahli waris di Indonesia sampai saat ini pengaturannya masih pluralistik karena keterangan ahli waris didasarkan pada peraturan yang berbeda berdasarkan golongan penduduk di Indonesia yang bermacam-macam. Akibatnya sampai kini keterangan ahli waris masih belum seragam sehingga tidak mencerminkan unsur kepastian hukum yang diamanatkan konsep negara hukum. Selain itu di dalam praktek, pembuatan surat keterangan waris pun tidak jelas. Tidak sedikit, pembuatan konsep surat keterangan waris itu tidak memenuhi syarat formal maupun syarat material sebagai akta untuk pembuktian hukum. Sehingga bila ditilik dengan cermat, bisa jadi keterangan ahli waris yang dimiliki seseorang di antara kita ternyata dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang. Dengan demikian produk keterangan ahli waris seperti ini berpotensi masalah.22 Dalam praktek sehari-harinya lebih banyak ditemui berupa Surat Keterangan Waris. Surat Keterangan Waris ini secara umum hanya berisikan keterangan dan pernyataan dari para ahli waris bahwa mereka adalah benar-benar merupakan ahli waris yang sah dari pewaris yang telah meninggal dunia. Dibuat di bawah tangan yang dikuatkan dan/atau dikeluarkan oleh Kelurahan dan diketahui/dikuatkan oleh Camat, untuk keperluan-keperluan tertentu Surat Keterangan tersebut dapat pula di waarmerking oleh notaris setelah adanya keterangan dari Kelurahan setempat.23 21 Muklis Lubis dan Mahmun Zulkifli, Op.Cit., hlm. 3 http://medianotaris.com/berikan_keterangan_ahli_waris_kepada_notaris_berita320.html , diakses pada Maret 2015 23 http://pettaamin.blogspot.com/2010/10/surat-keterangan-waris.html, diakses pada Maret 2015 22 11 Dari penjelasan diatas, surat keterangan ahli waris yang dibuat dibawah tangan berdasarkan pernyataan ahli waris yang dikeluarkan oleh Kelurahan dan diketahui/dikuatkan oleh Camat, kurang menjamin adanya kepastian hukum karena pejabat yang ikut menandatangani surat tersebut belum tentu tahu pasti ahli waris yang tertulis itu adalah yang benar atau tidak. Ini bisa terjadi ketika para ahli waris yang membuat surat tersebut tidak melampirkan data-data pendukung. Hal ini dapat dilihat dari prakteknya, tidak semua ahli waris tercantum dalam surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh Lurah/Camat tersebut, misalnya seorang pewaris yang memiliki istri lebih dari 1 (satu) bisa membuat sendiri-sendiri keterangan warisnya. Sehingga masing-masing istri dapat menjual sendiri harta ahli waris tanpa melibatkan ahli waris lainnya. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya sengketa waris karena keterangan waris yang tumpang tindih tersebut.24 Hal ini terjadi karena surat keterangan ahli waris yang dibuat Lurah atau Camat hanya berpedoman pada kartu keluarga dan berdasarkan keterangan yang diberikan oleh ahli waris saja tanpa adanya penelitian sama sekali. Sehingga tidak diketahui secara pasti, berapa sebenarnya jumlah ahli waris dari seorang pewaris. Seperti contoh kasus di Pengadilan Agama Medan dengan putusan Nomor 314/Pdt.G/2014/PA.Mdn. Perkara antara Yusbah binti M. Yusuf Nasution sebagai (Penggugat) yang merupakan istri kedua dari Almarhum Tasrif Gandhi dengan Oly Dana binti Samin sebagai (Tergugat) yang merupakan istri pertama dari Almarhum 24 Irma Devita Purnamasari, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris, (Bandung: Kaifa, 2014), hlm. 94 12 Tasrif Gandhi. Bahwa Yusbah binti M. Yusuf Nasution (penggugat) telah mengajukan gugatan secara tertulis melalui kuasa hukumnya dengan suratnya tertanggal 17 Pebruari 2014 dan telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Medan dengan register Nomor 314/Pdt.G/2014/PA Mdn, tanggal 18 Februari 2014. Bahwa penggugat adalah (istri kedua) dari Almarhum Tasrif Gandhi sedangkan Tergugat adalah (istri pertama) dari almarhum Tasrif Gandhi yang telah meninggal dunia pada tanggal 27 Desember 2002 karena sakit dan telah dikebumikan menurut tata cara agama islam sesuai denagn Surat Keterangan Kematian Nomor: 474.3/003 yang dikeluarkan oleh Kepala Desa/Lurah Tanjung Balai Kota tanggal 17 Januari 2003. Bahwa semasa hidupnya Almarhum Tasrif Gandhi telah menikah 2 (dua) kali, yang pertama dengan istrinya yang bernama Oly Dana binti Samin namun tidak mempunyai keturunan dan dengan istri kedua bernama Yusbah binti M. Yusuf Nasution yang dinikahinya pada tanggal 30 Maret 1985 namun juga tidak mempunyai keturunan. Bahwa dengan demikian ketika meninggal dunia Almarhum Tasrif Gandhi meninggalkan ahli waris dua orang istri.yaitu: 1) Oly Dana Binti Samin (istri pertama) dan 2) Yusbah binti M. Yusuf Nasution (istri kedua). Bahwa setelah meninggalnya Almarhum Tasrif Gandhi istri pertamanya telah menguasai dan mengusahai harta warisan yang ditinggalkan Almarhum Tasrif Gandhi tanpa seizin dan sepengetahuan istri keduanya dan patut diduga sebagian harta warisan tersebut telah dialihkan oleh tergugat kepada pihak lain dengan menghilangkan hak-hak bagian warisan dari Penggugat. Yang mana surat keterangan ahli waris bagi perkawinan poligami yang dibuat tidak memasukkan salah satu dari istri kedalam 13 surat keterangan ahli waris tersebut, hal ini tentunya sangat merugikan Penggugat selaku ahli waris yang sah dan mustahaq yang sesuai hukum berhak atas harta warisan dari Almarhum Tasrif Gandhi. Bahwa oleh karena Penggugat telah sangat dirugikan oleh Tergugat yang telah menikmati secara sepihak apa yang menjadi bahagian hak dari Penggugat dan Tergugat tidak berkeinginan membagi dan memberikan apa yang menjadi hak dari bahagian warisan Penggugat maka beralasan Penggugat mengajukan perkara ini untuk memperoleh suatu keputusan yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku faraid dalam Islam yang dalam hal ini menjadi wewenang Pengadilan Agama Medan. Berdasarkan dari latar belakang diatas, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pembuatan surat keterangan ahli waris (SKAW), yang dituangkan dalam judul tesis “Analisis Yuridis Tentang Pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris (SKAW) Bagi Perkawinan Poligami Oleh Pejabat Yang Berwenang” (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 314/Pdt.G/2014/PA.Mdn). B. Rumusan Masalah Perumusan masalah merupakan salah satu bagian yang penting dalam suatu penelitian hukum. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut: 1. Siapa yang memiliki kompetensi untuk membuat surat keterangan ahli waris yang berpoligami menurut ketentuan yang berlaku? 14 2. Bagaimana tanggung jawab pejabat yang berwenang membuat surat keterangan ahli waris pada perkawinan poligami bila terjadi sengketa atas surat yang dikeluarkannya? 3. Bagaimana pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara Nomor 314/Pdt.G/2014/PA Mdn.? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui siapa yang memiliki kompetensi untuk membuat surat keterangan ahli waris (SKAW) yang berpoligami menurut ketentuan yang berlaku. 2. Untuk mengetahui tanggung jawab pejabat yang berwenang membuat surat keterangan ahli waris (SKAW) pada perkawinan poligami bila terjadi sengketa atas surat yang dikeluarkannya. 3. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim Pengadilann Agama dalam memutuskan perkara Nomor: 314/Pdt.G/2014/PA.Mdn. D. Manfaat Penelitian Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : 15 1. Secara teoritis, penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya ketentuan tentang pembuatan surat keterangan ahli waris (SKAW) bagi perkawinan poligami oleh pejabat yang berwenang. 2. Secara praktis, adalah memberikan sumbangan pemikiran terhadap mahasiswamahasiswa atau praktisi-praktisi hukum juga masyarakat dalam melaksanakan ketentuan hukum yang mengatur tentang pembuatan surat keterangan ahli waris (SKAW) bagi perkawinan poligami oleh pejabat yang berwenang. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatra Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatra Utara Medan, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Analisis Yuridis Pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris (SKAW) Bagi Perkawinan Poligami Oleh Pejabat Yang Berwenang”. Meskipun ada beberapa penelitian yang menyangkut masalah Mengenai Bukti Keterangan Hak Waris, namun secara judul dan substansi pokok yang dibahas berbeda dengan penelitian ini, antara lain penelitian yang dilakukan oleh : 1. Fitreni Chris Lily (NIM. 037011027), Mahasiswi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatra Utara, dengan judul penelitian “Pengaturan Mengenai Bukti Keterangan Hak Waris Yang Berlaku Bagi Warga Negara Indonesia”. Dengan permasalahan yang dibahas: 16 a. Apakah peraturan yang sudah ada dapat menjamin tercapainya kepastian hukum dalam hal penentuan hak-hak kewarisan Warga Negara Indonesia? b. Mengapa sampai sekarang belum ada unifikasi mengenai Keterangan Hak Waris? c. Bagaimana bentuk Keterangan Hak Waris yang paling ideal yang dikehendaki dalam praktek? 2. Azizah Syabibi ( NPM 10068278520), mahasiswi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Indonesia, dengan judul penelitia “Analisis Yuridis Kekuatan Surat Keterangan Ahli Waris Dari Kelurahan Dalam Menetapkan Ahli Waris Bagi Orang Islam” Dengan permasalahan yang dibahas: a. Bagaimana praktek dan pengaturan tentang pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris? b. Bagaimana kekuatan hukum Surat Keterangan Ahli Waris sebagai alat bukti dalam menentukan ahli waris? Dari judul penelitian tersebut di atas tidak ada kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan ini. Oleh karena itu, maka penelitian yang dilakukan jelas dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, karena senantiasa memperhatikan ketentuanketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi sebagai peneliti ataupun akademisi. 17 F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu.25 Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.26 Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai kegunaan. Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut : a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam fakta ; b. Teori sangat berguna di dalam klasifikasi fakta; c. Teori merupakan ikhtiar dari hal-hal yang diuji kebenarannya.27 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya menduduk masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini sebagai grand teori (teori utama) adalah teori Kepastian Hukum. 25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm.122 26 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80 27 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 121 18 Teori Kepastian Hukum Menurut Radbruch, hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh karena kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, walaupun isinya kurang adil atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Tetapi dapat kekecualian yakni bilamana pertentangan antara isi tata hukum dengan keadilan begitu besar. sehingga tata hukum itu tampak tidak adil pada saat itu tata hukum boleh dilepaskan.28 Tanpa kepastian hukum orang tidak tau apa yang harus diperbuatnya, dan akhirnya timbulnya keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian hukum, terlalu ketat menaati peraturan hukum, akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat Lex dura, set tamen scripta (Undang-undang itu kejam tetapi demikianlah bunyinya). 29 Selain teori Kepastian Hukum yang dipergunakan dalam membahas permasalahan yang dirumuskan, dalam penelitian ini juga menggunakan teori adil. Kata adil adalah bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab yaitu al‘adl, sekaligus bahasa Al-Qur’an, juga ditemukan di dalam berbagai hadist.30 Ibn Manzur al-Afriqi mengartikan kata ini dengan tiga redaksi sebagai berikut:31 1. 2. Artinya; Sesuatu yang ada dalam jiwa manusia bahwa dengannya dia akan berlaku lurus, dan ini merupakan lawan dari curang. Artinya; sesuatu yang dengannya orang tidak dipengaruhi oleh hawa nafsunya lalu dia berbuat curang terhadap hukum. Artinya; menetapkan hukum dengan benar. 3. 28 29 hlm. 58 30 Theo Huijbers, Filsafat Dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 163 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1998), Pagar, Pembaharuan Hukum Islam Indonesia, Kajian Terhadap Sisi Keadilan Ahli Waris Pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citapustaka Media, 2007), hlm. 1 31 Ibid., hlm. 2-3 19 Dalam bahasa Indonesia adil ini diartikan dengan: 1. Tidak berat sebelah atau tidak memihak. Misalnya; pertimbangan yang tidak berat sebelah (tidak memihak) dinyatakan dengan putusan itu dianggap adil. 2. Sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Misalnya; mengemukakan tuntutan yang sepatutnya, dan masyarakat yang tidak sewenang-wenang.32 Kata adil dalam bahasa Indonesia bahasa Arab al ‘adl yang artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan. Menurut penelitian M.Quraish Shihab paling tidak ada empat makna keadilan yaitu:33 1. ’Adl dalam arti sama yang dimaksud adalah persamaan dalam hak. 2. ’Adl dalam arti seimbang bahwa keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang didalamya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. 3. ’Adl dalam arti perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap pemiliknya. 4. ’Adl dalam arti yang dinisbahkan kepada Allah. ‘Adl disini yang berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat saat terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Jadi, keadilan Allah pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Adil yang dimaksud dalam tulisan ini adalah adil dalam hukum Islam, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Gani Abdullah sebagai berikut; “Keadilan dalam hukum Islam digantungkan kepada keadilan yang telah ditentukan oleh Allah sendiri, karena tidak mungkin manusia mengetahui kebenaran itu secara benar dan tepat. Disinipun keimanan mendahului 32 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: P.N. Balai Pustaka, 1985), hlm. 16 33 Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqh Dan Ushul Fiqh,(Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2013), hlm. 96-98 20 pengertian, karena telah ditetapkan bahwa segala yang telah ditentukan oleh Allah SWT, pasti adil”.34 2. Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.35 Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang merumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu.36 Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah: a. Surat keterangan adalah surat yang isinya menerangkan seseorang atau suatu hal. Surat keterangan termasuk salah satu jenis surat yang paling banyak di buat karena isi surat keterangan umumnya menyangkut aktivitas manusia. Surat keterangan hanya dikeluarkan oleh organisasi sehingga surat keterangan selalu bersifat resmi. Jadi, tidak ada istilah surat keterangan pribadi atau surat keterangan yang dikeluarkan oleh 34 35 Pagar, Op.Cit., hlm. 8 Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 31. 36 Burhan Ashshofa. Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm. 19. 21 perseorangan. Bila perseorangan akan memberi keterangan tertulis dalam bentuk surat, surat itu disebut surat pernyataan.37 b. Ahli Waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia (pewaris) mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.38 c. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.39 d. Poligami artinya beristri banyak. Secara terminologi, poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri”.40 e. Pejabat yang berwenang adalah sesorang yang bertindak sebagai wakil dari jabatan, yang melakukan perbuatan untuk dan atas nama jabatan.41 G. Metode Penelitian Sunaryati Hartono mendefenisikan bahwa: “Metode penelitian adalah cara atau jalan atau proses pemeriksaan atau penyelidikan yang menggunakan cara penalaran dan teori-teori yang logis analitis (logika), berdasarkan dalil-dalil, rumus-rumus dan teori-teori suatu ilmu (atau beberapa cabang ilmu) tertentu, untuk menguji kebenaran (atau 37 http://ellopedia.blogspot.com/2010/09/surat-keterangan.html?m=1, diakses pada Maret 2015 38 Mukhlis Lubis dan Mahmun Zulkifli, Op.Cit., hlm. 2 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 40 Zakiah Daradjat (et al), Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 60 41 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 362 39 22 mengadakan verifikasi) suatu hipotesis atau teori tentang gejala-gejala atau peristiwa alamiah, peristiwa sosial atau peristiwa hukum tertentu.42 1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan. Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat deskriptif analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan.43 Penelitian ini termasuk ruang lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta menganalisa teori hukum yang bersifat umum dan peraturan perundang-undangan mengenai permasalahan-permasalahan tentang pembuatan surat keterangan ahli waris bagi perkawinan poligami oleh pejabat yang berwenang, sehingga dapat diperoleh penjelasan siapa yang memiliki kompetensi untuk membuat surat keterangan ahli waris yang berpoligami menurut ketentuan yang berlaku, bagaimana tanggung jawab pejabat yang berwenang membuat surat keterangan ahli waris (SKAW) pada bila terjadi sengketa atas surat yang dikeluarkannya, bagaimana pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara Nomor 314/Pdt.G/2014/PA Mdn dan sebagai hasilnya diharapkan dapat menjelaskan masalah praktek pembuatan surat keterangan ahli waris, sehingga ahli waris yang sah, namanya benar-benar dapat tercantum dalam surat keterangan ahli waris tersebut. Metode pendekatan yang dilakukan adalah metode penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum doktrinal yakni metode penelitian yang 42 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke -20, (Bandung: Alumni 1994), hlm. 105 43 Ibid., hal.101. 23 menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahanbahan pustaka dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, teori hukum, buku-buku, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.44 2. Sumber Data Berdasarkan sifat penelitian tersebut diatas, maka data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder. Data sekunder dimaksud antara lain meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier berupa norma dasar, perundang-undangan, hasil penelitian ilmiah, buku-buku dan lain sebagainya.45 a. Bahan hukum primer.46 Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini adalah seperti Al-Qur’an, hadist, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam. b. Bahan hukum sekunder.47 Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. c. Bahan hukum tertier.48 44 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif , Suatu Tinjauaan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 13 45 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 30 46 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 53 47 Ibid. 48 Ibid. 24 Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. 3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data a. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan yaitu : menghimpun data dari hasil pencarian bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Untuk memperoleh data-data ini akan menggunakan alat penelitian studi dokumen/pustaka atau penelitian pustaka yaitu dengan cara mengumpulkan semua peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen hukum dan buku-buku yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian.49 b. Alat Pengumpulan Data. Alat pengumpul data yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah: 1. Studi dokumen yaitu dengan melakukan inventarisasi dan sistematisasi literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam hal pembuatan surat keterangan ahli waris bagi perkawinan poligami menurut ketentuan yang berlaku. 49 Mukhti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.156 25 2. Pedoman wawancara, dilakukan dengan berpedoman pada pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu untuk melakukan wawancara kepada Hakim Pengadilan Agama Medan dan Notaris sehingga diperolah data yang diperlukan sebagai data pendukung yang digunakan sebagai penunjang dalam penelitian. 4. Analisis Data Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, ketegori dan satuan uraian dasar.50 Analisis data sangat diperlukan dalam suatu penelitian, hal ini berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).51 Selanjutnya, data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) kemudian disusun secara berurutan dan sistematis. Kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif sehingga diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat analisis yuridis tentang pembuatan surat keterangan ahli waris bagi perkawinan poligami oleh pejabat yang berwenang. Selanjutnya ditarik kesimpulan 50 Lexy J. Moleong, Metodologi penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 103 51 Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.53. 26 dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya ditarik hal-hal yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisiproposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus,52 guna menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini. 52 Mukhti Fajar dan Yulianto Achmad, Op.Cit., hlm. 109