1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi sistem saraf pusat (SSP) pada anak dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang besar jika tidak terdeteksi dan tertangani secara tepat. Meningitis bakterial adalah salah satu penyakit SSP yang mengancam jiwa dan menyebabkan kelainan neurologis, terutama pada anak-anak (Kennedy et al., 2007). Meningitis merupakan peradangan pada araknoid, piamater dan ruangan subaraknoid (Bonthius & Karacay, 2002). Proses peradangan tersebut juga dapat meluas ke jaringan otak dan medula spinalis (Gilroy, 2000; Victor & Ropper, 2001). Meningitis bakterial akut merupakan permasalahan kesehatan dunia yang serius. Secara keseluruhan diperkirakan 1-2 juta kasus meningitis bakterial terjadi dalam satu tahun. Permasalahan yang lebih penting terjadi di negara-negara dengan sumber daya yang rendah, seperti beberapa daerah Sub Sahara Afrika, Asia Tenggara dan Amerika Selatan (Paredes et al., 2007). Insiden meningitis bakterial pada dewasa di negara maju sebesar 4-6 per 100.000 orang per tahun (Brouwer et al., 2007), sedangkan insidensi meningitis pada anak usia kurang dari 5 tahun adalah 76,7 per 100.000 orang per tahun (Hussain et al., 1998). Penelitian lain di Southern Mozambique menunjukkan insidensi meningitis bakterial pada anak di negara berkembang sebesar 20 per 100.000 orang per tahun dan pada anak usia <1 tahun tiga kali lebih tinggi (Sigauque et al., 2008). Penelitian yang 1 2 membandingkan insidensi kasus meningitis bakterial pada anak-anak usia <14 tahun, dewasa muda (14-20 tahun) dan dewasa (>20 tahun), secara berturut-turut sebesar 20, 6 dan 10 per 100.000 per tahun (Wall et al., 2013). Meningitis bakterial di Indonesia menduduki urutan ke 9 dari 10 pola penyakit anak di delapan rumah sakit pendidikan di Indonesia pada tahun 1984. Sekitar 80% dari seluruh kasus meningitis bakterial terjadi pada anak dan 70% dari jumlah tersebut terjadi pada anak berusia 1-5 bulan (Saharso & Hidayati, 1999). Mortalitas sebesar 12,5% dan menderita kelainan neurologis sebagai gejala sisa sebesar 30% (Hussain et al., 1998). Fatality rate berkisar antara 2% pada bayi dan anak-anak dan 20-30% pada neonatus dan dewasa (Saez-Llorens et al., 2003). Penelitian lain menunjukkan case fatality rate meningitis bakterial akut pada anak secara keseluruhan sebesar 36%. Di negara maju, di mana fasilitas kesehatan lebih lengkap, case fatality rate meningitis bakterial pada anak mendekati 10% (Farag et al., 2005). Pusponegoro et al. (1998) melaporkan walaupun penatalaksanaan secara tepat telah dilakukan sedini mungkin, angka kematian masih tinggi yaitu sekitar 30% pada anak-anak dan 20-30% pada neonatus. Data dari rekam medis antara tahun 1990-1995 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo didapatkan 178 kasus meningitis bakterial, dengan mortality rate sebesar 44%. Mortalitas penyakit yang tidak diobati mendekati 100% (Stechenberg, 2008). Pada era sebelum penggunaan antibiotik, lebih dari 90% anak-anak dengan meningitis bakterial meninggal karena penyakit ini. Pengenalan penggunaan antibiotik dan pengembangan pediatric intensive care mampu menurunkan angka 3 mortalitas sekitar 5%. Walaupun mortalitas menurun, angka morbiditas masih menetap. Sebanyak 20-30% penderita yang masih hidup, menderita gejala sisa jangka panjang berupa kelainan neurologis. Vaksinasi pada bayi dan anak-anak telah menurunkan insidensi meningitis bakterial pada anak usia 1 bulan-5 tahun sebanyak 87%. Kelompok usia ini mewakili duapertiga kasus meningitis bakterial, sehingga dengan perlindungan anak-anak terhadap H. influenzae telah mengakibatkan penurunan sebanyak 55% dari semua kasus meningitis bakterial (Bonthius & Karacay, 2002). Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, parasit dan jamur. Selain itu dapat pula disebabkan oleh kondisi selain proses infeksi seperti kelainan proses inflamasi (contoh: systemic lupus erythematosis, penyakit Kawasaki) dan proses keganasan (contoh: leukemic meningitis) (Lozon, 2002). Penyebab meningitis bakterial terbanyak di dunia adalah Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae and Neisseria meningitidis. Di negara maju dengan program vaksinasi yang berhasil, insidensi H. influenzae dan N. meningitides menunjukkan penurunan. Sebuah penelitian di Malaysia menyebutkan mikroorganisme utama penyebab meningitis bakterial antara lain Haemophilus influenzae tipe b, Streptococcus pneumoniae dan E.coli (Nur et al., 2008). Sebuah penelitian retrospektif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan 155 dari 208 kasus meningitis bakterial pada anak yang dilakukan kultur, sebanyak 48% (74 kasus) di antaranya menunjukkan hasil positif. Penyebab terbanyak adalah Salmonella spp. (20 kasus atau 27%), Actinobacter 4 spp. (11 kasus atau 15%), Streptococcus pneumoniae (9 kasus atau 12%) dan Haemophilus influenzae (8 kasus atau 10%) (Pusponegoro et al., 1998). Diagnosis meningitis bakterial pada era penggunaan antibiotik secara bebas untuk bayi dan anak yang menderita demam karena infeksi saat ini kadang sulit dilakukan, sehingga hasil apusan/kultur yang positif sulit didapat. Di daerah di mana metode diagnosis yang memuaskan sulit dilakukan, prosedur yang sederhana seperti pemeriksaan glukosa darah dan cairan serebrospinal (CSS) dapat membantu membedakan meningitis bakterial dan viral (Jiao et al., 1992). Anak-anak dengan meningitis bakterial umumnya memiliki kadar glukosa CSS yang rendah karena proses glikolisis oleh sel darah putih atau oleh patogen lain serta karena gangguan transpor glukosa. Kadar glukosa CSS berhubungan dengan kadar glukosa serum. Kadar normal rasio glukosa CSS sekitar 60% dari kadar glukosa serum. Diketahuinya adanya hubungan antara kadar glukosa CSS dan serum, dapat membantu klinisi memperkirakan konsentrasi glukosa CSS untuk mengevaluasi meningitis bakterial pada anak (Menkes, 1969; Nigrovic et al., 2012). Kadar glukosa CSS yang berhubungan dengan proses patologis yang terjadi di otak pada meningitis bakterial, menyebabkan beberapa penelitian juga melihat kadar glukosa CSS sebagai faktor prognostik keluaran pada meningitis bakterial. Angka morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi, memberikan tantangan pada para peneliti untuk mencari prediktor-prediktor keluaran pada meningitis bakterial anak. Penelitian sytematic review oleh De Jonge et al. (2010), menyebutkan faktor-faktor prognostik adanya gejala sisa dan kematian setelah 5 infeksi meningitis bakterial pada anak-anak usia 0-18 tahun antara lain: koma/penurunan kesadaran, syok, kegagalan sirkulasi perifer, distres pernapasan yang berat, demam yang berkepanjangan dan durasi bangkitan yang lama. Selain itu beberapa pemeriksaan yang dilakukan saat masuk rumah sakit seperti kadar lekosit darah tepi yang rendah, kadar lekosit CSS yang rendah, kadar glukosa CSS yang rendah dan kadar protein CSS yang tinggi, menjadi indikator adanya infeksi akut yang berat pada sistem saraf pusat dan parameter keparahan proses penyakit. Penelitian lain menyebutkan, faktor-fakor yang mempengaruhi outcome pada meningitis bakterial antara lain: umur, etiologi, temuan pada cairan serebrospinal saat masuk rumah sakit, hitung jenis sel darah putih, dan kadar glukosa. Penurunan kesadaran dan adanya kejang saat perawatan telah dikaitkan dengan meningkatnya mortalitas dan kelainan neurologis sebagai gejala sisa. Gejala sisa yang terbanyak berupa gangguan pendengaran yaitu sebanyak 25-35% dari pasien yang disebabkan oleh S. pneumonia dan 5-10% dari pasien yang disebabkan oleh infeksi H. influenzae dan N. meningitidis. Pada beberapa penelitian, kadar glukosa CSS yang rendah berhubungan dengan terjadinya gangguan pendengaran (Chavez-Bueno & McCracken, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Lovera dan Arbo (2005) yang dilakukan di Paraguay pada anak-anak usia <15 tahun, menunjukkan variabel yang berhubungan dengan mortalitas antara lain: umur <12 tahun (OR=4,04; 95%CI 1,26–13,68), adanya bangkitan saat masuk rumah sakit (OR=9,00; 95%CI 2,58–33,42) atau munculnya bangkitan 48 jam setelah masuk rumah sakit (OR=4,90; 95%CI 1,10–21,59), kadar glukosa CSS <10 mg/dl (OR=4,23; 95%CI 1,15–19,23), kadar albumin CSS >200 mg/dl (OR=11,95; 6 95%CI 2,41–112,58), hitung jenis sel darah putih <2000 sel/mm3 (OR=19,35; 95%CI 2,13–889,94) dan kadar hemoglobin <9 g/dl (OR=7,60; 95%CI 2,24– 26,44). Hasil penelitian lain menyebutkan, pada kasus dengan kadar glukosa CSS <20 mg/dl dan rasio glukosa CSS/darah <0,2 terjadi peningkatan mortalitas secara signifikan (Javadekar et al., 1997). Kadar glukosa yang rendah (≤40 mg/dl) merupakan faktor prognostik terjadinya gejala sisa OR 5,18 (95%CI 1,69-15,87; p=0,004). Gejala sisa tersebut dapat berupa gangguan pendengaran, epilepsi ataupun kematian (Vasilopoulou et al., 2011). Sedangkan menurut Flores et al. (2006) glukosa CSS ≤ 40mg/dl merupakan faktor prediktor kematian (RR 1; 95% CI 0,02-1,20; p=0,04). Pelkonen et al. (2009) dalam penelitian yang dilakukan di Sub Sahara Afrika, menyebutkan bahwa kadar glukosa yang rendah tidak bermakna sebagai faktor risiko kematian (p=0,57) pada meningitis bakterial anak. Tetapi bermakna menjadi faktor risiko terjadinya gejala sisa berupa kelainan neurologis yang berat (p=0,005). Penelitian di Kosovo menunjukkan rasio glukosa CSS/darah yang rendah didapatkan pada pasien yang meninggal (p=0,21) dan yang menderita kelainan neurologis sebagai gejala sisa (p=0,26) bila dibandingkan dengan penderita yang sembuh dan tidak menderita komplikasi neurologis (p=0,34) (Namani et al., 2011). Penderita meningitis bakterial dengan kadar glukosa CSS ≤ 20 mg/dl berisiko mengalami kematian OR 1,53 (95%CI 0,58-4,04), namun tidak bermakna secara signifikan (p=0,39). Tetapi bermakna sebagai risiko terjadinya gejala sisa neurologis OR 2,56 (95%CI 1,27-5,15; p=0,009) (Roine et al., 2008). 7 Penelitian-penelitian mengenai mekanisme respons glukosa CSS terhadap perjalanan penyakit meningitis bakterial bermanfaat atau tidak dalam memperkirakan prognosis, sampai saat ini masih kontroversial. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat diajukan beberapa permasalahan, yaitu: 1. Insidensi meningitis bakterial pada dewasa lebih rendah dibandingkan pada anak-anak, tetapi angka mortalitas lebih tinggi pada usia dewasa. 2. Angka morbiditas dan mortalitas penderita meningitis bakterial pada anakanak masih tinggi 3. Prosedur pemeriksaan yang sederhana diperlukan untuk memperkiran luaran yang akan terjadi 4. Teori mengenai kadar glukosa CSS berhubungan dengan proses patologis yang terjadi di otak belum sepenuhnya diketahui 5. Kadar glukosa CSS merupakan prediktor luaran berupa kematian pada meningitis bakterial anak C. Pertanyaan Penelitian Apakah kadar glukosa rendah CSS (≤40 mg/dl) merupakan prediktor kematian meningitis bakterial pada anak yang bermakna secara statistik? D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kadar glukosa rendah CSS (≤40 mg/dl) merupakan prediktor kematian meningitis bakterial pada anak yang bermakna secara statistik. 8 E. Manfaat Penelitian 1. Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penderita dan atau keluarganya sebagai jawaban atas kemungkinan perjalanan penyakit meningitis bakterial anak. 2. Bagi klinisi, hasil penelitian ini dapat sebagai bahan masukan untuk mempertimbangkan kemungkinan outcome yang akan terjadi, sehingga mampu melakukan penatalaksanaan dengan lebih cepat dan tepat, serta dapat memberi edukasi pada penderita dan atau keluarganya terhadap kemungkinan yang akan terjadi. F. Keaslian Penelitian Dari hasil penelusuran, penulis mendapatkan beberapa penelitian mengenai prognostik meningitis bakterial anak. Tabel 1. Keaslian penelitian Peneliti Lovera & Arbo (2005) Judul Risk Factor for Mortality in Paraguayan Children with Pneumococcal Bacterial Meningitis Metode Kohort Retrospektif Purwitosari (2007) Jumlah Lekosit Cairan Serebrospinal Sebagai Prediktor Kematian Penderita Meningitis Bakteri pada Anak Clinical Features and Prognostic Factors in Childhood Pneumococcal Meningitis Risk Factor for Death and Severe Neurologis in Childhood Bacterial Meningitis in SubSaharan Africa Kohort Prospektif Kadar Glukosa Rendah Cairan Serebrospinal Sebagai Prediktor Kematian Meningitis Bakterial Pada Anak Kohort Retrospektif et al. Chao et al. (2008) Pelkonen (2008) et Penelitian ini al. Kohort prospektif Kohort prospektif Hasil Faktor yang berhubungan kuat dengan kematian: usia <12 tahun, kejang, glukosa CSS <10 mg/dl (p=0,01), albumin CSS >200 mg/dl, neutrofil <2000/mm3 dan hemoglobin <9 g/dl Rata-rata jumlah lekosit CSS berbeda pada kelompok yang hidup dan mati, jumlah lekosit CSS <100/mm3 tidak terbukti sebagai prediktor kematian Variabel yang berhubungan dengan kematian: penurunan kesadaran, syok, intubasi, hiponatremia, lekosit CSS <20/mm3, glukosa CSS dan rasio glukosa CSS/darah yang rendah Kadar glukosa CSS yang rendah tidak bermakna sebagai faktor risiko kematian (p=0,57), tetapi bermakna menjadi faktor risiko terjadinya kelainan neurologis yang berat sebagai gejala sisa (p=0,005) ??