32 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Estimasi VAR 4.1.1 Uji Stasioneritas Uji kestasioneran data pada seluruh variabel sangat penting dilakukan untuk data yang bersifat runtut waktu guna mengetahui apakah data tersebut mengandung akar-akar unit atau tidak. Data yang tidak mengandung akar unit atau bersifat stasioner berarti data tersebut memiliki ragam yang tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya. Apabila data yang digunakan tidak stasioner maka dapat menghasilkan hubungan yang palsu atau spurious regresion. Spurious regresion adalah regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik tetapi pada kenyataannya tidak, atau tidak sebesar yang nampak pada regresi yang dihasilkan (Andriyani, 2008). Tabel 4.1 Hasil Pengujian Akar Unit pada Level Variabel LN_KREDIT LN_IHSG SBI LN_CPI LN_ER LN_IPI *) taraf nyata 5% ADF Statistic -3.338961 -0.958537 -2.833356 -1.939893 -2.570536 -1.455676 Nilai Kritis MacKinnon 1% 5% 10% -4.060874 -3.459397 -3.155786 -3.501445 -2.892536 -2.583371 -3.501445 -2.892536 -2.583371 -4.057528 -3.457808 -3.154859 -3.503049 -2.893230 -2.583740 -3.510259 -2.896346 -2.585396 Keterangan* Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Hasil uji ADF pada tingkat level menunjukkan bahwa nilai mutlak ADF statistik lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon dalam taraf nyata 5 persen, sehingga dapat disimpulkan semua variabel mempunyai akar unit atau tidak stasioner pada level. Oleh karena itu, diperlukan pengujian akar unit lanjutan. 33 Data di tingkat level didiferensiasikan dengan derajat tertentu sampai semua data yang dibutuhkan menjadi stasioner pada derajat yang sama. Tabel 4.2 Hasil Pengujian Akar Unit pada First Difference Variabel LN_KREDIT LN_IHSG SBI LN_CPI LN_ER LN_IPI *) taraf nyata 5% ADF Statistic -4.241469 -6.315825 -4.170722 -9.785967 -5.008623 -4.117413 Nilai Kritis MacKinnon 1% 5% 10% -4.060874 -3.459397 -3.155786 -3.501445 -2.892536 -2.583371 -3.501445 -2.892536 -2.583371 -4.058619 -3.458326 -3.155161 -3.503049 -2.893230 -2.583740 -3.511262 -2.896779 -2.585626 Keterangan* Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Hasil pengujian pada first difference menunjukkan bahwa semua variabel bersifat stasioner pada taraf 5 persen. Hal ini karena nilai mutlak ADF statistik semua variabel lebih besar daripada nilai kritis MacKinnon pada taraf 5 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel yang diestimasi dalam penelitian ini telah stasioner pada derajat yang sama, yaitu derajat integrasi satu I(1). 4.1.2 Pemilihan Lag Optimum Penetapan lag optimal penting dilakukan karena dalam metode VAR lag optimal dari variabel endogen merupakan variabel independen yang digunakan dalam model. Lag optimal dalam model ini ditentukan berdasarkan nilai Akaike Information Criterion (AIC) yang paling kecil. Tabel 4.3 Penentuan Lag Optimal Lag 0 1 2 3 4 AIC -20.67202 -21.44912* -21.26210 -21.27500 -20.81811 34 5 6 7 8 *) Lag optimal -20.39554 -20.23686 -20.25818 -20.50449 4.1.3 Uji Stabilitas Model VAR Stabilitas VAR perlu diuji terlebih dahulu sebelum melakukan analisis lebih jauh, karena jika hasil estimasi VAR yang akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan tidak stabil, maka Impulse Response Function dan Variance Decomposition menjadi tidak valid (Setiawan, 2007). Untuk menguji stabil atau tidaknya estimasi VAR yang telah dibentuk maka dilakukan pengecekan kondisi stabilitas VAR berupa roots of characteristic polynomial. Suatu sistem VAR dikatakan stabil apabila seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu (Gujarati, 2003). Berdasarkan uji stabilitas VAR, dapat disimpulkan bahwa estimasi VAR yang akan digunakan untuk analisis IRF dan VD stabil. Berikut ini adalah uji stabilitas VAR pada lag optimal yaitu lag 1. Dari tabel tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa model VAR yang dibentuk sudah stabil pada lag optimalnya. Tabel 4.4 Hasil Uji Stabilitas Model VAR Root 0.623458 -0.462339 0.439905 -0.075961 - 0.145818i -0.075961 + 0.145818i -0.035421 Modulus 0.623458 0.462339 0.439905 0.164417 0.164417 0.035421 35 4.1.4 Uji Kointegrasi Kointegrasi merupakan hubungan antara variabel yang tidak stasioner pada jangka panjang. Misalkan suatu data yang secara individu tidak stasioner, namun ketika dihubungkan secara linier, data tersebut menjadi stasioner. Hal ini yang kemudian disebut bahwa data tersebut terkointegrasi. Selain itu, uji kointegrasi juga akan dilakukan dengan mengikuti prosedur Johansen Trace Statistics Test. Dalam uji Johansen, penentuan kointegrasi dilihat dari nilai trace statistic setelah didahului dengan mencari panjang lag yang akan diketahui. Nilai trace statistic yang melebihi nilai kritisnya memperlihatkan bahwa terdapat kointegrasi dalam model yang digunakan. Hasil uji kointegrasi Johansen menunjukkan terdapat 3 persamaan yang terkointegrasi pada taraf 5 persen. Tabel 4.5 Uji Kointegrasi Johansen Hipotesa H0 H1 r=0 r≥1 r≤1 r≥2 r≤2 r≥3 r≤3 r≥4 Eigenvalue 0.451072 0.350673 0.235237 0.126071 *) Signifikan pada taraf nyata 5% Trace Statistic 5% critical value 148.5275* 92.14746* 51.55651* 26.34671 95.75366 69.81889 47.85613 29.79707 4.2 Pemodelan VECM Ketika data tidak stasioner tetapi memiliki hubungan kointegrasi, maka metode yang digunakan selanjutnya adalah VECM. Estimasi VECM menghasilkan informasi kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) atas ketidakstabilan hubungan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang (Nursechafia, 2010). Nilai t-trace statistics yang lebih besar dari Mackinnon 36 Critical Value menunjukkan bahwa variabel signifikan pada taraf nyata lima persen. Hasil VECM untuk seluruh model dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 4.6 Hasil Estimasi VECM Variabel D(LN_KREDIT(-1)) D(LN_IHSG(-1)) D(SBI(-1)) D(LN_CPI(-1)) D(LN_ER(-1)) D(LN_IPI(-1)) C DUMMY_1 DUMMY_2 CointEq1 CointEq2 CointEq3 LN_CPI(-1) LN_ER(-1) LN_IPI(-1) C *) signifikan pada taraf nyata 5% Koefisien Jangka Pendek -0.175195 -0.041952 0.004033 -0.098185 0.054824 -0.064574 0.020831 0.005622 0.007244 0.006096 0.010547 0.001341 Jangka Panjang 1.673338 -0.833174 2.848556 -19.57391 T – statistik -1.45753 -1.59816 0.89199 -0.66412 0.97106 -2.34037* 6.87248* 0.65968 1.07863 0.12771 2.08694* 1.39552 11.4450* -2.60755* 8.04873* - Tabel diatas merupakan rangkuman hasil analisis VECM untuk signifikansi variabel baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Pada analisis jangka pendek, terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan kointegrasi kedua (IHSG) sebesar 0.01 persen yang secara statistik signifikan. Sedangkan pada persamaan kointegrasi pertama (KREDIT) dan kointegrasi ketiga (SBI) terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan yang secara statistik tidak signifikan. Selain itu, hanya variabel IPI yang signifikan mempengaruhi kredit pada jangka pendek. Untuk jangka panjang, variabel CPI, ER, dan IPI terbukti signifikan secara statistik memengaruhi kredit. 37 4.3 Analisis Impulse Response Function Perilaku dinamis dari model VECM dapat dilihat melalui respon dari setiap variabel terhadap kejutan atau guncangan dari variabel tersebut maupun terhadap variabel endogen lainnya. Dalam model ini response dari perubahan masing-masing variabel dengan adanya informasi baru diukur dengan satu standar deviasi. Sumbu horizontal merupakan waktu dalam periode hari ke depan setelah terjadinya shock, sedangkan sumber vertikal adalah nilai respon. Secara mendasar dalam analisis ini akan diketahui respon positif atau negatif dari suatu variabel terhadap variabel lainnya. Respon tersebut dalam jangka pendek biasanya cukup signifikan dan cenderung berubah. Dalam jangka panjang respon cenderung konsisten dan terus mengecil. Impulse Response Function memberikan gambaran bagaimana respon dari suatu variabel di masa mendatang jika terjadi gangguan pada satu variabel lainnya (BAPEPAM, 2008). 4.3.1 Analisis Impulse Response Function untuk KREDIT Gambar 4.7 menunjukkan guncangan variabel IHSG yang direspon negatif oleh kredit sepanjang periode peramalan. Kestabilan kredit dalam menghadapi guncangan IHSG mulai terlihat di periode ke-6. Dalam teori, harga saham mencerminkan ekspektasi atau harapan investor akan aktivitas ekonomi riil di masa mendatang. Oleh karena itu, adanya perubahan harga saham merupakan sinyal bahwa akan terjadi perubahan juga dalam aktivitas ekonomi riil di masa yang akan datang. Berdasarkan sisi inilah permintaan kredit dipengaruhi (Kim dan 38 Moreno, 1994). Negatifnya respon kredit terhadap guncangan IHSG ini ternyata tidak sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kim dan Moreno (1994) serta Ibrahim (2006). Hal ini disebabkan karena harga saham di Indonesia selama periode penelitian belum menjadi cerminan ekspektasi investor terhadap aktivitas ekonomi riil di masa mendatang, yang berakibat pada negatifnya permintaan kredit dan pada akhirnya akan direspon negatif juga oleh penawaran kredit. Guncangan variabel SBI direspon negatif oleh kredit sepanjang periode peramalan. Negatifnya respon kredit ini berarti ketika suku bunga SBI meningkat, maka kredit akan mengalami penurunan. Hal ini sesuai dengan teori bahwa kecenderungan tingginya suku bunga SBI akan diikuti oleh naiknya tingkat bunga simpanan dan otomatis meningkatkan suku bunga pinjaman atau suku bunga kredit. Tingginya suku bunga menyebabkan terjadinya negative interest margin pada perbankan. Hal ini pada gilirannya telah menurunkan modal perbankan secara drastis. Menurunnya modal perbankan tentunya akan menyebabkan kebutuhan pendanaan dunia usaha semakin terbatas (Agung, et all. 2001). Kestabilan kredit dalam menghadapi guncangan SBI mulai terjadi pada periode ke-10. 39 Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LN_KREDIT to LN_IHSG Response of LN_KREDIT to SBI .016 .016 .012 .012 .008 .008 .004 .004 .000 .000 -.004 -.004 -.008 -.008 5 10 15 20 25 30 35 5 Response of LN_KREDIT to LN_CPI 10 15 20 25 30 35 Response of LN_KREDIT to LN_ER .016 .016 .012 .012 .008 .008 .004 .004 .000 .000 -.004 -.004 -.008 -.008 5 10 15 20 25 30 35 5 10 15 20 25 30 35 Response of LN_KREDIT to LN_IPI .016 .012 .008 .004 .000 -.004 -.008 5 10 15 20 25 30 35 Gambar 4.7 Respon KREDIT terhadap guncangan variabel IHSG, SBI, CPI, ER, dan IPI Respon negatif akibat guncangan CPI sebesar satu standar deviasi terjadi hingga akhir periode peramalan. Kestabilan kredit dalam merespon guncangan CPI mulai terlihat sejak periode ke-9. Semakin tinggi tingkat inflasi 40 mengakibatkan tingkat suku bunga simpanan akan naik. Adanya tingkat suku bunga simpanan yang meningkat, tingkat suku bunga kredit secara otomatis akan meningkat pula sehingga akan mengakibatkan penurunan permintaan kredit. Guncangan variabel ER direspon negatif oleh kredit sepanjang periode peramalan. Kredit mencapai kestabilan dalam merespon guncangan ER setelah periode ke-8. nilai tukar yang terdepresiasi akan menyebabkan pengembalian utang dalam bentuk valuta asing meningkat sehingga beban utang yang harus dibayar oleh debitur akan membesar dan sebagai akibatnya banyak debitur yang default. Risiko nilai tukar tersebut menyebabkan terjadi penurunan outstanding kredit. Guncangan IPI direspon positif oleh kredit sepanjang periode peramalan, artinya ketika terjadi peningkatan IPI maka akan terjadi pula peningkatan pada kredit. Peningkatan IPI mencerminkan peningkatan aktivitas dunia usaha. Peningkatan aktivitas dunia usaha akan direspon dengan pengembangan usaha, misalnya membangun pabrik dan proyek baru. Untuk melakukan hal tersebut, dunia usaha membutuhkan pembiayaan eksternal agar pengembangan usaha terjadi secara berkelanjutan. Dengan struktur pembiayaan sektor riil Indonesia yang masih bergantung pada kredit perbankan, peningkatan aktivitas dunia usaha akan menyebabkan peningkatan permintaan kredit perbankan. Kestabilan kredit dalam menghadapi guncangan IPI dapat terlihat pada periode ke-14. 41 4.3.2 Analisis Impulse Response Function untuk IPI Gambar 4.8 menunjukkan respon variabel IPI dalam menghadapi guncangan kredit dan IHSG. Ketika terjadi guncangan kredit, IPI merespon positif sepanjang periode peramalan dan terjadi kestabilan di periode ke-7. Meningkatnya kredit yang disalurkan perbankan akan menguntungkan dunia usaha karena pengembangan usaha seperti membuka pabrik baru, akan dapat dilaksanakan. Berkembangnya dunia usaha tentu saja akan meningkatkan aktifitas ekonomi riil atau dengan kata lain meningkatkan output. Hal ini berarti bahwa ketika terjadi peningkatan pada kredit maka akan terjadi peningkatan pula pada IPI. Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LN_IPI to LN_KREDIT Response of LN_IPI to LN_IHSG .06 .06 .05 .05 .04 .04 .03 .03 .02 .02 .01 .01 .00 .00 -.01 -.01 -.02 -.02 5 10 15 20 25 30 35 5 10 15 20 25 30 35 Gambar 4.8 Respon IPI dalam menghadapi guncangan KREDIT dan IHSG Respon IPI dalam menghadapi guncangan IHSG sepanjang periode peramalan ialah negatif. Hal ini berarti bahwa ketika terjadi peningkatan pada IHSG tidak diikuti dengan peningkatan pada IPI. Fluktuasi IHSG tidak memengaruhi nilai tambah, yang terjadi hanyalah transfer daya beli diantara para pelaku pasar. Instrumen likuid yang dipertukarkan memiliki elastisitas produksi yang mendekati nol. Artinya, peningkatan permintaan suatu saham tidak banyak menciptakan kesempatan kerja dan nilai tambah dari produksi kertas saham. 42 Berbeda dengan permintaan mobil atau barang lainnya (Susanto, 2007). Kestabilan IPI dalam menghadapi guncangan IHSG terjadi pada periode ke-7. 4.3.3 Analisis Impulse Response Function untuk IHSG Gambar 4.9 menunjukkan respon variabel IHSG dalam menghadapi guncangan kredit dan IPI. Ketika terjadi guncangan kredit, IHSG merespon negatif sepanjang periode peramalan dan kestabilan dalam menghadapi guncangan kredit ini sudah mulai terlihat pada periode ke-13. Negatifnya respon IHSG ini disebabkan karena terjadinya peningkatan jumlah kredit yang disalurkan perbankan selama periode peramalan lebih direspon oleh sektor riil. Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of LN_IHSG to LN_KREDIT Response of LN_IHSG to LN_IPI .08 .08 .06 .06 .04 .04 .02 .02 .00 .00 -.02 -.02 -.04 -.04 -.06 -.06 5 10 15 20 25 30 35 5 10 15 20 25 30 35 Gambar 4.9 Respon IHSG dalam menghadapi guncangan KREDIT dan IPI Begitu pula dengan guncangan IPI, IHSG pun merespon negatif guncangan tersebut sepanjang periode peramalan dan kestabilan mulai terjadi pada periode ke-17. Negatifnya respon IHSG dalam menghadapi guncangan IPI disebabkan karena peningkatan output di sektor riil tidak lantas menaikkan nilai kapitalisasi pasar dan nilai perdagangan saham. 43 4.3.4 Analisis Variance Decomposition Tabel 4.7 Variance Decomposition Variabel Dependent LN_KREDT Dijelaskan oleh Kejutan Periode 1 4 8 12 16 20 24 28 32 36 LN_KREDIT 100.0000 77.64368 63.94368 59.77145 58.03917 57.10156 56.50555 56.09122 55.78639 55.55275 LN_IHSG 0.000000 2.718044 3.226245 3.282643 3.292522 3.296876 3.299784 3.301856 3.303387 3.304559 SBI 0.000000 0.094424 0.763376 1.265808 1.528342 1.674755 1.767300 1.831426 1.878582 1.914724 LN_CPI 0.000000 2.808196 5.117225 6.009506 6.408096 6.626435 6.765039 6.861291 6.932092 6.986357 LN_ER 0.000000 0.531622 1.013335 1.177299 1.246965 1.284768 1.308779 1.325466 1.337742 1.347151 LN_IPI 0.000000 16.20403 25.93614 28.49330 29.48490 30.01561 30.35355 30.58874 30.76181 30.89446 Tabel di atas menjelaskan Variance Decomposition yang memberikan proporsi pada fluktuasi Kredit. Pada periode pertama, keragaman fluktuasi Kredit dijelaskan 100 persen oleh Kredit itu sendiri. Dominasi Kredit ini terus terjadi hingga periode akhir peramalan, namun dengan proporsi yang semakin menurun. Keragaman mulai nampak diberikan sejak periode ke-2 peramalan. Pada periode tersebut, Kredit memberikan keragaman sebesar 93,95 persen terhadap fluktuasinya sendiri. IHSG, SBI, dan CPI memberikan proporsi sebesar 1,7, 0,007 dan 1,15 persen. Sedangkan masing-masing ER dan IPI memberikan kontribusi sebesar 0,08 dan 3,1 persen pada periode yang sama. Hingga periode ke-36 peramalan, Kredit tetap memberikan keragaman terbesar yaitu sebesar 55,55 persen dan di antara seluruh variabel, IPI memberikan kontribusi terbesar setelah Kredit itu sendiri sebesar 30,89 persen. CPI dan IHSG masing-masing memberikan kontribusi sebesar 6,99 dan 3,30 persen serta SBI dan ER berkontribusi sebesar 1,91 dan 1,35 persen.