1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman kelapa sawit

advertisement
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanaman
kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu
tanaman utama perkebunan dengan produk olahan yang tidak hanya dikonsumsi
untuk kebutuhan pangan (minyak goreng, margarin, lemak), tetapi juga untuk
memenuhi kebutuhan non pangan
(gliserin, sabun,
deterjen).
Kelapa sawit
mempunyai peran yang cukup besar dalam perekonomian nasional dan pangsa pasar
sangat terbuka baik dalam negeri maupun luar negeri (ekspor). Pada tahun 2007 luas
perkebunan kelapa sawit di Riau mencapai 1,63 juta ha atau sekitar 27% dari total
luas perkebunan sawit di Indonesia . Saat ini total produksi CPO Riau telah mencapai
5,2 juta ton/tahun, disebabkan semakin bertambahnya luas lahan perkebunan
masyarakat maupun perusahaan (http://www.riaupos.com.v2/content/view/8566/88).
Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan
tahun 2004 dengan luas 1,34 juta ha (M Nur dan Christin R. Sidabutar).
Keberhasilan penanaman di lapangan dan produksi yang diperoleh sangat
tergantung dari kualitas bibit tanaman kelapa sawit. Medium tumbuh tanaman
hendaknya dapat menyediakan unsur hara dan air secara optimal bagi pertumbuhan.
Usaha yang diperlukan untuk penyediaan unsur hara secara optimal pada tahap
pembibitan dapat dilakukan melalui pemupukan, karena kapasitas tanah sebagai
media tanam dalam menyediakan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman sangat
terbatas.
Tanah merupakan medium tumbuh alam yang menyediakan unsur hara bagi
pertumbuhan tanaman. Tanah yang cocok untuk media tanam dalam pembibitan
kelapa sawit pada umumnya adalah tanah bagian atas {top soil) pada ketebalan 10-20
cm. Tanah yang digunakan memiliki struktur yang gembur, bebas kontaminasi hama
dan penyakit dan bahan kimia. Kemampuan tanah sebagai medium untuk
menyediakan hara terbatas (Rankine, 2003).
Salah satu cara untuk meningkatkan kesuburan dan kandungan bahan organik
tanah dapat dilakukan dengan pemberian bahan organik limbah sludge. Silalahi
2
(1996) menyatakan bahwa sludge yang dihasilkan dari pengolahan minyak kelapa
sawit mengandung unsur hara Nitrogen (2,10%), Fosfor (0,44%), Kalium (1,85%),
Magnesium (0,64%), dan Kalsium (1,40%) yang sangat dibutuhkan oleh tanaman.
Fauzi (2002) menyatakan umur sludge setelah 8 minggu telah mampu membantu
pertumbuhan tanaman walaupun belum terdekomposisi secara sempuma. Penggunaan
sludge direkomendasikan sebagai pengganti pupuk anorganik dan dapat menghemat
biaya pemupukan per hektamya (Sembiring, 2001).
Limbah ini umumnya dibuang langsung dan dialirkan ke sungai sekitar
pabrik, sehingga dapat menimbulkan gangguan ekologi. Pemanfaatan bahan organik
limbah sludge yang dijadikan sebagai pupuk organik diharapkan dapat mengatasi
masalah pencemaran lingkungan (Fauzi, 2002).
Altematif agar sludge dapat segera dimanfaatkan sehingga mempercepat
dekomposisi unsur hara, maka sebaiknya sludge dikomposkan dengan menggunakan
Effective MicroorganismsA (EM-4). EM-4 merupakan pupuk hayati yang terdiri dari
4 jenis mikroorganisme yaitu bakteri Fotosintetik, bakteri asam Laktat, Ragi tan£ih
dan Streptomyces sp yang bekerja secara senergis untuk menyuburkan tanaman.
Aktivitas EM-4 memiliki peranan penting dalam proses perombakan bahan organik
sludge dalam tanah yang selanjutnya dapat meningkatkan kesehatan dan pertumbuhan
tanaman (Wididana, 1992).
Selain ketersediaan unsur hara, ketersedian air yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan air bagi bibit sawit sangat penting untuk mendapatkan bibit sawit yang
baik. Peranan air pada tanaman dibutuhkan sebagai pelarut berbagai senyawa molekul
organik (unsur hara) dari dalam tanah ke dalam tanaman, transportasi fotosintat dari
sumber (source) ke limbung (sink), menjaga turgiditas sel diantaranya dalam
pembesaran sel dan membukanya stomata, sebagai penyusun utama dari protoplasma
serta pengatur suhu bagi tanaman (Lakitan, 1996).
Menurut Mustafa Hadi (2004), pemberian air pada pembibitan di main
nursery dilakukan dengan berbagai cara antara lain penyiraman manual/gembor,
springkler dan irigasi tetes yang memiliki kelebihan dan kelemahan. Salah satu cara
pemberian air yang dapat mengatur jumlah air sesuai dengan kebutuhan tanaman
3
adalah irigasi tetes. Irigasi tetes merupakan metode pemberian air debit dengan
tekanan yang rendah dan volume pemberian air dapat diatur sesuai dengan kebutuhan
tanaman yang diberikan, sehingga air yang diberikan tidak banyak yang terbuang.
Sistem irigasi tetes dapat
menghemat
pemakaian
air, karena
dapat
meminimumkan kehilangan-kehilangan air yang mungkin terjadi seperti perkolasi,
evaporasi dan aliran permukaan, sehingga memadai untuk diterapkan di daerah
pertanian yang mempunyai sumber air yang terbatas. Peningkatan laju pertumbuhan
harus diimbangi dengan ketersediaan air pada medium tumbuh.
Keterpaduan hara yang cukup tersedia melalui pemberian kompos sludge pada
medium tanam dan ketersediaan volume air dalam medium diharapkan dapat
menghasilkan pertumbuhan bibit kelapa sawit yang baik. Berdasarkan uraian di atas,
maka penulis melakukan penelitian dengan judul: "Pemberian Kompos Sludge dan
Volume Air Metode Irigasi Tetes Terbadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis Jacq) di Main Nursery".
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan yaitu:
1.2.1. Untuk mengetahui pengaruh interaksi kompos sludge dan volume air metode
irigasi tetes terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit di main nursery.
1.2.2. Untuk mengetahui pengaruh faktor volume air metode irigasi tetes terhadap
pertumbuhan bibit kelapa sawit di main nursery.
1.2.3. Untuk mengetahui pengaruh faktor kompos sludge
bibit kelapa sawit di main nursery.
terhadap pertumbuhan
Download