konvergensi inflasi dan faktor-faktor yang memengaruhi

advertisement
KONVERGENSI INFLASI DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMENGARUHI: STUDI EMPIRIS DI
NEGARA-NEGARA ASEAN+6
OLEH
SOLIHIN
H14070078
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN
SOLIHIN. Konvergensi Inflasi dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi: Studi
Empiris di Negara-Negara ASEAN+6 (dibimbing oleh NOER AZAM
ACHSANI).
ASEAN (Association of South East Asia Nations) merupakan organisasi
regional kawasan Asia tenggara yang memantapkan perannya dalam mewujudkan
integrasi ekonomi Asia. Hal ini ditandai oleh banyaknya kerjasama ekonomi dan
politik yang tidak hanya melibatkan negara-negara anggota ASEAN saja, namun
telah memperluas kerjasama dengan negara-negara besar di Asia timur seperti
Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Selain itu, pada East Asia Summit (EAS) kedua
yang diselenggarakan pada 15 Januari 2007 di Cebu dengan partisipasi negaranegara ASEAN, termasuk Cina, Jepang, Korea, Australia, India, dan New
Zealand, telah sepakat untuk memperkuat kerjasama ekonomi yang terbentuk
dalam ASEAN+6 (Kawai, 2007). Keseriusan ASEAN untuk membentuk integrasi
ekonomi di kawasan Asia juga diwujudkan dalam percepatan pembentukan
ASEAN Economic Community (AEC) yang semula dijadwalkan tahun 2020
menjadi tahun 2015. Namun, untuk mencapai integrasi secara menyeluruh yang
berakhir dengan pembentukan mata uang tunggal (Optimum Currency Area),
terdapat kriteria konvergensi (Convergence Criteria) yang terdiri atas berbagai
indikator perekonomian yang harus dipenuhi oleh masing-masing negara.
Indikator-indikator perekonomian tersebut antara lain tingkat inflasi, tingkat
fluktuasi nilai tukar, dan nilai suku bunga.
Inflasi merupakan salah satu indikator makroekonomi yang dapat
dijadikan landasan oleh suatu negara dalam membuat suatu kebijakan ekonomi.
Indikator ini memiliki dampak yang luas terhadap variabel makroekonomi
agregat, seperti pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing,
tingkat bunga, dan distribusi pendapatan. Beberapa negara dalam membuat
kebijakan moneter di era globalisasi sekarang ini, lebih cenderung
mengorientasikan kebijakan moneternya pada pencapaian kestabilan harga.
Kebijakan tersebut diambil dengan alasan agar negara mampu mencapai tingkat
inflasi yang rendah dan mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi.
Terkait dengan pembentukan mata uang tunggal (Optimum Currency
Union) di kawasan ASEAN+6, maka negara-negara yang akan bergabung harus
memenuhi beberapa kriteria konvergensi. Salah satu diantaranya adalah
pencapaian konvergensi inflasi di kawasan tersebut. Oleh sebab itu, penelitian ini
mencoba mengidentifikasi apakah telah terjadi konvergensi inflasi di negaranegara ASEAN+6 dan menganalisis faktor yang mendukung dan berpengaruh
dalam pembentukan konvergensi inflasi di kawasan tersebut. Selain itu, penelitian
ini juga menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi di negaranegara ASEAN+6.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang dikumpulkan dari
berbagai sumber. Data yang dikumpulkan tersebut merupakan data panel dengan
time series 2000-2009 dan cross section sebelas negara ASEAN+6, yaitu
Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Cina, Jepang, Korea Selatan,
Australia, India, dan New Zealand. Adapun data diperoleh dari badan statistik
dunia International Financial Statistic (IFS) dari International Monetary Funds
(IMF), World Bank, CEIC, UN Data Explorer. Untuk mengetahui tingkat
konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6, penelitian ini mengikuti
metodologi yang digunakan oleh Kocenda dan Papell (1997). Untuk model
penelitian faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi secara umum mengacu
pada model penelitian Andersson et al. (2009) dan Honohan et al. (2003). Metode
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel dinamis (dynamic
panel data) melalui pendekatan Generalized Method of Moment (GMM).
Hasil pengujian diantaranya sebagai berikut. Pertama, dengan
menggunakan analisis System-Generalized Method of Moments (SYS-GMM)
dalam estimasi twostep noconstant, ternyata didapatkan hasil estimasi nilai
koefisien yang lebih kecil dari pada satu, sehingga terjadi konvergensi inflasi di
negara-negara ASEAN+6 atau dengan kata lain inflasi di negara-negara
ASEAN+6 adalah konvergen pada periode 2000-2009. Selain itu, variabel suku
bunga nominal dan nilai tukar efektif nominal mendukung dan berpengaruh dalam
pembentukan konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6. Kedua, hasil
estimasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi di kawasan ASEAN+6
dilakukan dengan menggunakan Arellano-Bond Generalized Method of Moments
(AB-GMM) dalam estimasi twostep noconstant. Secara keseluruhan dapat
dikemukakan bahwa signifikansi pengaruh variabel makroekonomi, seperti lag
dependent (inflasi), output gap, nilai tukar efektif nominal, dan suku bunga
nominal menunjukkan berpengaruh terhadap pergerakan tingkat inflasi di negaranegara ASEAN+6. Selain itu variabel pengeluaran konsumsi pemerintah (General
Government Final Consumption Expenditure) tidak berpengaruh nyata atau tidak
signifikan dalam memengaruhi pergerakan tingkat inflasi di negara-negara
ASEAN+6. Semua pengujian juga didukung oleh pemenuhan asumsi yang
ditunjukkan oleh konsistensi (estimasi Arellano-Bond) dan validitas (estimasi
sargan) pada model penelitian. Namun, pada penelitian ini masih ditemukan
biased pada sampel penelitian sehingga menyebabkan instrumen yang digunakan
masih bersifat lemah (Verbeek, 2004)
Pentingnya konvergensi inflasi sebagai salah satu syarat bagi negaranegara yang akan berpartisipasi dalam monetary union, membuat negara-negara
yang tergabung dalam ASEAN+6 harus mampu menjaga dan mengendalikan
pergerakan inflasi. Efektivitas pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter dengan
sasaran tunggal stabilitas harga akan sangat bergantung pada sejauhmana
komitmen (kredibilitas) bank sentral di negara-negara ASEAN+6 dalam
mengupayakan perkembangan inflasi yang rendah dan stabil dalam kurun waktu
tertentu. Kredibilitas kebijakan moneter dalam pengendalian inflasi memerlukan
koordinasi yang kuat antara otoritas moneter (Bank Sentral) dan pemerintah agar
target inflasi yang rendah dan stabil dapat tercapai, serta pergerakan laju inflasi
yang seragam di negara-negara ASEAN+6. Dalam penelitian selanjutnya
disarankan untuk menggunakan data bulanan atau kuartalan, serta memasukkan
variabel-variabel makroekonomi lain yang terkait dengan inflasi, sehingga hasil
yang akan diperoleh lebih informatif. Selain itu, penelitian selanjutnya juga dapat
mengikutsertakan negara-negara anggota ASEAN lainnya, sehingga hasil estimasi
dapat menghasilkan informasi secara menyeluruh.
KONVERGENSI INFLASI DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMENGARUHI: STUDI EMPIRIS DI
NEGARA-NEGARA ASEAN+6
OLEH
SOLIHIN
H14070078
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Judul Skripsi
: Konvergensi
Inflasi
dan
Faktor-Faktor
yang
Memengaruhi: Studi Empiris di Negara-Negara ASEAN+6
Nama
: Solihin
NIM
: H14070078
Menyetujui,
Dosen Pembimbing.
Noer Azam Achsani, Ph.D
NIP. 19681229 199203 1 016
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi.
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec.
NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor,
Juni 2011
Solihin
H14070078
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Solihin lahir pada tanggal 18 Juli 1989 di Bogor. Penulis
adalah anak ketiga dari enam bersaudara, dari pasangan H. Sugandi dan Hj. Aas.
Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah
dasar pada SDN Bendungan 01, kemudian melanjutkan ke SLTP PGRI 1 Ciawi
dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMAN 1
Ciawi dan lulus pada tahun 2007.
Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar
dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir yang jauh lebih baik.
Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan
diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi
dan Manajemen.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa
IAAS (International Association of Student in Agricultural and Related Sciences)
Local Committee IPB sebagai wakil ketua dan aktif dalam organisasi Himpunan
Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA)
sebagai staf divisi Discussion and Analysis (DnA). Penulis mendapatkan beberapa
penghargaan prestasi akademik, diantaranya yaitu Juara I Lomba Karya Tulis
Mahasiswa (LKTM) Young Economist Icon IPB 2010, Finalis Presentasi Program
Kreativitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat Pekan Ilmiah Mahasiswa
Tingkat Nasional (PIMNAS) XXIII di Universitas Mahasaraswati Denpasar Bali
tahun 2010, Peserta PKM bidang Gagasan Tertulis yang didanai oleh DIKTI
tahun 2010, Delegasi IPB dalam the 2nd International Agriculture Student
Symposium Universiti Putra Malaysia tahun 2010, dan Juara II Lomba Essay
Tingkat Nasional UNS tahun 2009. Selain itu penulis juga aktif sebagai asisten
dosen untuk responsi Mata Kuliah Sosiologi Umum (2010-2011).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Judul yang dipilih pada skripsi ini adalah “Konvergensi Inflasi dan
Faktor-Faktor yang Memengaruhi: Studi Empiris di Negara-Negara
ASEAN+6”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Berbagai pihak telah memberikan kontribusi secara langsung maupun
tidak langsung bagi penyelesaian dan penyempurnaan skripsi ini. Penghargaan
dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Noer Azam Achsani, Ph.D selaku pembimbing skripsi yang telah dengan
sabar serta ikhlas menuntun penulis menyelesaikan skripsi ini dari segi
ide, saran, dan kritik yang membangun.
2. Muhammad Firdaus, Ph.D sebagai dosen penguji utama dalam sidang
skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berharga
dalam penyempurnaan skripsi ini.
3. Ranti Wilasih, M.Si selaku komisi pendidikan yang memberikan banyak
informasi mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik.
4. Indra, M.Si yang telah memberikan kemudahan dalam mengakses dan
membantu dalam proses pengolahan data.
5. Ibunda Hj. Aas dan Ayahanda H. Sugandi yang selalu mencurahkan kasih
sayang, mendoakan, dan memberikan dukungan penuh setiap waktu.
6. Semua dosen departemen Ilmu Ekonomi IPB yang senantiasa ikhlas
memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis.
7. Sahabat-sahabat satu bimbingan Retni Cristina dan Riska Dewi Permata
yang selalu mendukung, menyemangati, memberikan bantuan teknis, dan
menjadi teman diskusi dalam proses penyelesaian skripsi ini.
8. Seluruh keluarga penulis yang senantiasa memberikan doa dan semangat
untuk segera menyelesaikan studi tepat waktu.
9. Kakak-kakak kelas penulis Mutiara, Ratna, dan Fitria yang telah bersedia
membantu dan menjadi teman diskusi penulis.
10. Teman-teman IAAS LC IPB yang banyak memberikan pengalaman,
motivasi, serta kenangan indah selama penulis kuliah di IPB.
11. Keluarga Besar Ilmu Ekonomi 44 yang memberikan dukungan, canda serta
tawa selama kuliah. Khususnya Marissa, Sri Retno, dan Reyland yang
selalu bersedia untuk membantu selama penulis masuk di Departemen
Ilmu Ekonomi.
12. Teman-teman wisma Alma yang selalu memberikan keramaian dengan
tawa bahagia di tengah kumpul bersama. Teman-teman asrama TPB,
Ferry, Rizki, Ganjar atas canda dan tawa selama menjalani tingkat
persiapan.
Akhirnya penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu namun namanya tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang
akan memberikan balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu
penulis. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang
membutuhkan.
Bogor, Juni 2011
Solihin
H14070078
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................
i
DAFTAR TABEL .....................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
v
DAFTAR ISTILAH ..................................................................................
vi
I. PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ............................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah .......................................................................
5
1.3. Tujuan Penulisan .........................................................................
6
1.4. Manfaat Penulisan .......................................................................
6
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ...........................................................
7
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
8
2.1. Konsep Integrasi Ekonomi ..........................................................
8
2.2. Teori Optimum Currency Area (OCA) .........................................
10
2.3. Pasar Tunggal ASEAN ................................................................
12
2.4. Inflasi ..........................................................................................
13
2.4.1. Konsep Inflasi ....................................................................
13
2.4.2. Consumer Price Index (CPI) ..............................................
14
2.4.3. Kaitan Inflasi dengan Nilai Tukar ......................................
15
2.4.4. Kaitan Inflasi dengan Senjang Output ................................
16
2.4.5. Kaitan Inflasi dengan Suku Bunga .....................................
17
2.4.6. Kaitan Inflasi dengan Aggregate Demand ..........................
18
2.5. Konvergensi Inflasi .....................................................................
19
2.6. Metode Data Panel Dinamis ........................................................
20
2.6.1. First-differences GMM (AB-GMM) ..................................
23
2.6.2. System-GMM (SYS-GMM) ...............................................
30
2.7. Penelitian Terdahulu ....................................................................
32
2.8. Kerangka Pemikiran ....................................................................
36
ii
III. METODE PENULISAN .....................................................................
38
3.1. Jenis dan Sumber Data ................................................................
38
3.2. Model Penelitian .........................................................................
39
3.2.1. Model Konvergensi Inflasi ..................................................
39
3.2.2. Model Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi .................
41
3.3. Metode Analisis Data ..................................................................
44
3.3.1. Metode Hodrick-Prescott Filter ..........................................
44
3.3.2. Granger Causality Test pada Data Panel .............................
45
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................
47
4.1. Kondisi Umum Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 ....................
47
4.2. Hubungan Inflasi dengan Output Gap dan Suku Bunga Nominal .
52
4.3. Hasil Estimasi Penelitian .............................................................
58
4.3.1. Hasil Granger Causality Test pada Data Panel ....................
58
4.3.2. Hasil Estimasi Konvergensi Inflasi .....................................
61
4.3.3. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi .....
65
4.3.3.1. Variabel Lag Dependent (Inflasi) ...........................
67
4.3.3.2. Variabel Output Gap ..............................................
69
4.3.3.3. Variabel Nominal Effective Exchange Rate ............
72
4.3.3.4. Variabel Suku Bunga Nominal ...............................
73
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
76
5.1. Kesimpulan .................................................................................
76
5.2. Saran ...........................................................................................
77
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
78
LAMPIRAN .............................................................................................
81
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
2.1. Tahapan Integrasi Ekonomi Bela Balassa ...........................................
9
2.2. Penelitian Empiris Terkait ..................................................................
36
3.1. Variabel-Variabel Ekonomi dalam Penelitian .....................................
39
4.1. Rata-Rata Perkembangan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6
Periode 2000-2004 dan Periode 2005-2009 .......................................
47
4.2. Hasil Granger Causality Test .............................................................
59
4.3. Hasil Estimasi Konvergensi Inflasi dengan SYS-GMM ......................
63
4.4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi ....................
66
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1. Perkembangan Inflasi ASEAN+6 .......................................................
3
2.1. Tingkatan Integrasi Ekonomi .............................................................
10
2.2. Kurva Aggregate Demand ..................................................................
18
2.3. Kerangka Pemikiran ...........................................................................
37
4.1. Rata-Rata Perkembangan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6
Periode 2000-2004 .............................................................................
48
4.2. Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Inflasi di Negara-Negara
ASEAN+6 Periode 2000-2004 ...........................................................
50
4.3. Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Inflasi di Negara-Negara
ASEAN+6 Periode 2005-2009 ...........................................................
51
4.4a. Hubungan Output Gap dan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 ......
53
4.4b. Hubungan Output Gap dan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 ......
54
4.5a. Perkembangan Suku Bunga Nominal dan Inflasi di Negara-Negara
ASEAN+6 .......................................................................................
56
4.5b. Perkembangan Suku Bunga Nominal dan Inflasi di Negara-Negara
ASEAN+6 .......................................................................................
‘
57
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Hasil Granger Causality Test ................................................................
82
2. Hasil Estimasi Konvergensi Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6 .........
91
3. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di Negara-Negara
ASEAN+6 .............................................................................................
94
vi
DAFTAR ISTILAH
No.
1.
Istilah
AB GMM
Keterangan
Arellano-Bond
Generalized
Method
of
Moments
2.
AEC
ASEAN Economic Community
3.
ASEAN
Association of Southeast Asian Nations
4.
CEPEA
Comprehensive Economic Partnership in East
Asia
5.
6.
Consumer Price Index
Suatu ukuran harga rata-rata berbagai komoditi
(CPI)
yang biasanya dibeli rumah tangga.
Currency union
Penyatuan mata uang menjadi mata uang
tunggal.
7.
Gap
Senjang
8.
GGFCE
General
Government
Final
Consumption
Expenditure (Pengeluaran Pemerintah)
9.
GMM
Generalized Method of Moments
10.
Hodrick-Prescott Filter Suatu metode untuk memisahkan komponen
trend dan siklikal
11.
Monetary union
Bentuk kerja sama ekonomi regional yang
memiliki kesatuan/persamaan mata uang.
12.
NEER
Nominal Effective Exchange Rate (Nilai Tukar)
13.
Optimum Currency
Area
Suatu kawasan yang terdiri dari negara-negara
.
yang berintegrasi dan mempunyai mata uang
sama.
14.
Single Currency
Mata uang tunggal yang digunakan oleh
negara-negara yang berintegrasi.
15.
SYS GMM
System Generalized Method of Moments
1
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Krisis keuangan Asia yang terjadi pada tahun 1997-1998, telah
mengajarkan sebuah pelajaran penting bagi negara-negara di Benua Asia untuk
perlu memperkuat kerjasama moneter dan keuangan dalam rangka menjaga
stabilitas keuangan regional. Gejolak nilai tukar merupakan efek penularan
(contagion effect) dari krisis yang terjadi di Thailand sehingga menimbulkan
berbagai kesulitan ekonomi yang mengkhawatirkan (Darussalam, 2010).
Penguatan kerjasama moneter dan keuangan dirasa perlu dilakukan untuk
mengupayakan kestabilan ekonomi akibat belum kuatnya pondasi keuangan
global. Upaya penguatan tersebut hanya dapat dilakukan dengan membentuk
suatu integrasi ekonomi yang diarahkan kepada pola penyeragaman kebijakan
untuk menghadapi arus globalisasi dan persaingan perdagangan bebas.
ASEAN (Association of South East Asia Nations) merupakan organisasi
regional kawasan Asia tenggara yang memantapkan perannya dalam mewujudkan
integrasi ekonomi Asia. Hal ini ditandai oleh banyaknya kerjasama ekonomi dan
politik yang tidak hanya melibatkan negara-negara anggota ASEAN saja, namun
telah memperluas kerjasama dengan negara-negara besar di Asia timur seperti
Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Selain itu, pada East Asia Summit (EAS) kedua
yang diselenggarakan pada 15 Januari 2007 di Cebu dengan partisipasi negaranegara ASEAN, termasuk Cina, Jepang, Korea, Australia, India, dan New
Zealand, telah sepakat untuk memperkuat kerjasama ekonomi yang terbentuk
dalam ASEAN+6 (Kawai, 2007). Pertemuan EAS juga menghasilkan dukungan
2
kepada ASEAN sebagai pendorong integrasi ekonomi di kawasan Asia dan
memutuskan untuk memulai studi Comprehensive Economic Partnership in East
Asia (CEPEA). Lingkup CEPEA itu sendiri mencakup kerjasama ekonomi,
fasilitasi perdagangan dan investasi, serta liberalisasi perdagangan dan investasi
(Toh, 2009).
Keseriusan ASEAN untuk membentuk integrasi ekonomi di kawasan Asia
juga diwujudkan dalam percepatan pembentukan ASEAN Economic Community
(AEC) yang semula dijadwalkan tahun 2020 menjadi tahun 2015. Apabila AEC
ini dapat terwujud, maka ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan berbasis
produksi tunggal dimana arus barang, jasa, investasi, dan tenaga terampil yang
bebas, serta arus modal yang lebih bebas diantara negara anggota ASEAN.
Namun, untuk mencapai integrasi secara menyeluruh yang berakhir dengan
pembentukan mata uang tunggal (Optimum Currency Area), terdapat kriteria
konvergensi (convergence criteria) yang terdiri atas berbagai indikator
perekonomian yang harus dipenuhi oleh masing-masing negara. Indikatorindikator perekonomian tersebut antara lain tingkat inflasi, tingkat fluktuasi nilai
tukar, dan nilai suku bunga. Werdaningtyas (2000) mengemukakan bahwa kriteria
tersebut dibuat untuk memastikan negara-negara yang akan bergabung berada
dalam kondisi ekonomi dan keuangan yang stabil, serta terciptanya harmonisasi
antara negara satu dan lainnya sebelum langkah penggabungan diambil.
Inflasi merupakan salah satu indikator makroekonomi yang dapat
dijadikan landasan oleh suatu negara dalam membuat suatu kebijakan ekonomi.
Indikator ini memiliki dampak yang luas terhadap variabel makroekonomi
agregat, seperti pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing,
3
tingkat bunga, dan distribusi pendapatan. Beberapa negara dalam membuat
kebijakan
moneter
di
era
globalisasi
sekarang
ini,
lebih
cenderung
mengorientasikan kebijakan moneternya pada pencapaian kestabilan harga.
Kebijakan tersebut diambil dengan alasan agar negara mampu mencapai tingkat
inflasi yang rendah dan mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi.
Persentase
40
30
20
10
12
0
8
-10
4
0
-4
2004
Tahun
2005
BRUNEI
LAOS
FILIPINA
VIETNAM
KOREA
NEW
2006
2007
KAMBOJA
MALAYSIA
SINGAPURA
CINA
AUSTRALIA
2008
2009
INDONESIA
MYANMAR
THAILAND
JEPANG
INDIA
Sumber: World Bank 2011, diolah
Gambar 1.1. Perkembangan Inflasi ASEAN+6 (persentase)
Pada Gambar 1.1. sumbu vertikal adalah tingkat inflasi (dalam persen) dan
sumbu horizontal menunjukkan tahun. Gambar tersebut memberikan informasi
bahwa perkembangan inflasi di negara-negara ASEAN+6 umumnya mengalami
penurunan di akhir tahun 2009. Selain itu, penurunan laju perkembangan inflasi di
negara-negara ASEAN+6 cenderung bergerak kearah yang sama, sehingga
kemiripan tingkat inflasi antar negara anggota ini dapat dijadikan sebagai patokan
4
negara-negara ASEAN+6 untuk menuju tingkatan integrasi ekonomi yang lebih
tinggi.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Ningsih (2010), tingkat inflasi di
negara-negara ASEAN+6 (Cina, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, New
Zealand) pada periode 1997 hingga 2008 adalah semakin konvergen. Namun, dari
penelitian Ningsih tersebut belum diketahui secara pasti apakah faktor-faktor yang
mendukung dalam pembentukan konvergensi inflasi di negara-negara tersebut.
Holmes (2008) menemukan bahwa konvergensi tingkat inflasi di Uni Eropa dalam
jangka panjang didorong oleh suatu trend umum yang stokastik (single common
stochastic trend). Kocenda dan Papell (1997), Exchange Rate Mechanism (ERM)
atau mekanisme nilai tukar telah terbukti mendukung terjadinya konvergensi
inflasi di negara-negara Uni Eropa.
Untuk menilai prospek pencapaian konvergensi inflasi di kawasan
ASEAN+6 dan menentukan respon yang tepat dari kebijakan moneter, sangat
penting untuk menentukan sejauh mana inflasi di negara-negara ASEAN+6
didorong oleh tekanan dari penawaran dan permintaan. Selain itu juga, sejauh
mana tekanan yang disebabkan oleh pihak asing terhadap sumber domestik.
Secara teori, perubahan laju inflasi dapat disebabkan oleh banyak faktor yang
tidak seluruhnya dalam kendali bank sentral suatu negara. Penentuan seberapa
besar inflasi yang terjadi akan dilihat dari sisi permintaan dan penawaran agregat
perekonomian. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, diketahui bahwa
faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan inflasi suatu negara berasal dari
variabel domestik dan variabel eksternal. Variabel-variabel tersebut diantaranya
5
adalah Gross Domestic Product (GDP), nilai tukar mata uang, suku bunga, jumlah
uang beredar, dan perubahan atau guncangan ekonomi negara lain.
Mengingat konvergensi inflasi menjadi salah satu kriteria pembentukan
mata uang tunggal, kajian mengenai konvergensi inflasi dan faktor yang
mendukung pembentukan konvergensi inflasi di Asia menjadi sangat penting dan
menarik untuk diteliti. Untuk itu, penelitian ini akan secara fokus menganalisis
konvergensi inflasi dan faktor yang mendukung dan berpengaruh dalam
pembentukan konvergensi inflasi. Selain itu, penelitian ini juga akan mencoba
menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di kawasan Asia dengan
mengambil studi kasus negara-negara yang tergabung dalam ASEAN+6, yaitu
negara anggota ASEAN itu sendiri ditambah dengan enam negara lainnya seperti
Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia, India, dan New Zealand. Kajian mengenai
konvergensi inflasi serta faktor yang mendukung pembentukan konvergensi
inflasi ini diharapkan akan memberikan informasi kepada negara-negara
ASEAN+6, sehingga dapat mengarahkan kebijakan moneternya untuk mencapai
pembentukan mata uang tunggal sesuai dengan apa yang dicita-citakan dari
integrasi ekonomi.
1.2.
Perumusan Masalah
Berdasarkan keseluruhan latar belakang di atas, terlihat bahwa harapan
besar akan pembentukan mata uang tunggal (Optimum Currency Area) di
kawasan ASEAN+6, namun harus memenuhi beberapa kriteria konvergensi. Salah
satu diantaranya adalah pencapaian konvergensi inflasi di kawasan tersebut. Telah
banyak penelitian yang dilakukan untuk meneliti konvergensi inflasi, namun
6
penelitian
mengenai
konvergensi
inflasi
dan
faktor
yang
mendukung
pembentukan konvergensi inflasi di kawasan Asia sendiri masih relatif terbatas.
Oleh sebab itu, secara umum pokok permasalahan yang akan dianalisis dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah konvergensi inflasi telah terjadi diantara negara-negara ASEAN+6
dan faktor apakah yang mendukung pembentukan konvergensi inflasi di
kawasan tersebut?
2. Apa faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di negara-negara ASEAN+6
pada periode 2000-2009?
1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki
tujuan sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi terjadinya konvergensi inflasi diantara negara-negara
ASEAN+6 dan mengetahui faktor
yang mendukung pembentukan
konvergensi inflasi di kawasan tersebut.
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di negara-negara
ASEAN+6 pada periode 2000-2009.
1.4.
Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan penelitian ini dapat berguna bagi beberapa pihak, yaitu
sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah negara-negara ASEAN+6, sebagai bahan pertimbangan
dalam proses pengambilan kebijakan moneter di masing-masing negara.
7
2. Bagi penulis, diharapkan penelitian ini memberikan wawasan baru
mengenai kondisi perkembangan kerjasama negara-negara ASEAN+6
menuju integrasi ekonomi yang menyeluruh.
3. Bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi
mengenai konvergensi inflasi di ASEAN+6, serta dapat dijadikan sebagai
bahan referensi dalam melakukan penelitian lebih lanjut.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menganalisis konvergensi inflasi dan faktor-faktor
memengaruhi di negara-negara ASEAN+6 sebagai salah satu kriteria yang harus
dipenuhi dalam membentuk suatu unit moneter regional di kawasan tersebut.
Adapun ruang lingkup penelitian yaitu dengan mengambil sampel lima negara
utama ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand.
Terkait dengan Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA),
maka penelitian ini akan melibatkan negara-negara yang tergabung didalamnya,
seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia, India, serta New Zealand. Adanya
keterbatasan data menyebabkan penelitian ini tidak memasukkan negara-negara
anggota ASEAN lainnya.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Integrasi Ekonomi
Menurut Salvatore (1997), integrasi ekonomi adalah kebijakan komersial
perdagangan
yang secara diskriminatif mengurangi atau
menghapuskan
hambatan-hambatan perdagangan hanya diantara pihak-pihak tertentu saja, yakni
di antara negara-negara yang memutuskan untuk bersatu membentuk integrasi
ekonomi tersebut. Integrasi ekonomi juga merupakan sebuah bentuk proses
kerjasama antar negara untuk mencapai tingkat kemakmuran dan stabilitas yang
tinggi diantara masing-masing negara anggota. Darussalam (2010) proses
integrasi yang terjadi di kawasan Eropa serta di belahan bumi lainnya
menunjukkan bahwa perekonomian antar negara maupun antar kawasan saling
terbuka. Adanya kecenderungan peningkatan kerjasama dan ketergantungan
ekonomi suatu negara ke negara lainnya membuat konsep dasar integrasi ekonomi
di dunia menjadi satu konsep yang menawarkan manfaat lebih dari suatu
kerjasama ekonomi maupun politik.
Tingkatan integrasi ekonomi itu sendiri bervariasi mulai dari pengaturan
perdagangan preferensial, yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi
pembentukan kawasan atau area perdagangan bebas, kemudian menjadi
persekutuan pabean, pasaran bersama dan pada akhirnya akan menjurus pada
penyatuan (uni) ekonomi secara menyeluruh. Secara lebih ringkas tahapan
integrasi ekonomi Bela Balassa dapat dilihat pada Tabel 2.1.
9
Tabel 2.1. Tahapan Integrasi Ekonomi Bela Balassa
Tahapan
Keterangan
Preferential
Negara-negara
Trading Area
hambatan perdagangan yang berlangsung diantara mereka,
(PTA)
dan memberikan keistimewaan untuk produk tertentu dari
yang
sepakat
menurunkan
hambatan-
negara tertentu dengan melakukan pengurangan tarif.
Free Trade Area Semua hambatan perdagangan tarif maupun non-tarif
(FTA)
diantara
negara-negara
anggota
telah
dihilangkan
sepenuhnya, namun masing-masing negara anggota tersebut
masih berhak menerapkan tarif mereka masing-masing
terhadap negara bukan anggota.
Customs Union
Semua negara anggota mereka hendak mempertahankan atau
menghilangkan semua hambatan pergerakan komoditi antar
negara, namun juga menyeragamkan kebijakan perdagangan
negara terhadap negara-negara luar yang bukan anggota.
Common Market Bentuk kerja sama bukan hanya perdagangan barang saja
yang dibebaskan, namun juga arus-arus faktor produksi
seperti tenaga kerja dan aliran modal. Kesamaan harga dari
faktor-faktor produksi diharapkan dapat menghasilkan
alokasi sumber daya yang efisien.
Economic Union
Bentuk kerja sama ekonomi regional yang memiliki
kesatuan
atau
persamaan
peraturan
dalam
bidang
perpajakan, tenaga kerja, jaminan sosial, dan lain-lain.
Monetary Union
Bentuk kerja sama ekonomi regional yang memiliki
kesatuan/ persamaan mata uang (penyatuan moneter, fiskal,
dan kebijakan sosial).
Sumber: Hamdy (2004)
Teori selanjutnya, tahapan integrasi yang hampir mirip dengan Bela
Balassa yaitu teori yang dikemukakan oleh Griffin dan Pustay. Integrasi ekonomi
10
tersusun dalam lima tingkatan, yaitu kawasan perdagangan bebas, persekutuan
pabean, pasaran bersama, uni ekonomi, dan uni politik yang dapat dilihat pada
Gambar 2.1.
TINGGI
Uni Politik
Meliputi integrasi politik dan ekonomi
Uni Ekonomi
Pasaran pabean + mengkoordinasikan
kebijakan ekonomi diantara negaranegara anggota
Pasaran Bersama
Persekutuan pabean + menghapuskan
hambatan pergerakan faktor produksi di
antara negara-negara anggota
Persekutuan Pabean
Kawasan perdagangan bebas +
menyeragamkan kebijakan perdagangan
untuk negara-negara bukan anggota
Kawasan Perdagangan
Bebas
Menurunkan hambatan tarif dan non
tarif terhadap sesama negara anggota,
namun masing-masing negara berhak
menentukan sendiri kebijakan
perdagangannya terhadap negara
bukan anggota
RENDAH
Sumber: Griffin dan Pustay (2002) dalam Hanie (2006).
Gambar 2.1. Tingkatan Integrasi Ekonomi
2.2.
Teori Optimum Currency Area (OCA)
Darussalam (2010) pada dasarnya teori Optimum Currency Area terkait
dengan bagaimana perekonomian suatu negara dengan wilayahnya diberikan
11
independensi atau kebebasan dengan tujuan membentuk integrasi moneter untuk
berbagi satu mata uang bersama. Menurut Mongelli (2008), Optimum Currency
Area mempunyai definisi suatu wilayah geografis yang optimal untuk mata uang
tunggal dan mempunyai guncangan supply dan demand yang simetrik serta
memenuhi beberapa kriteria atau kondisi tertentu. Kriteria tersebut meliputi:
1. Fleksibilitas harga dan upah
2. Mobilitas faktor produksi termasuk tenaga kerja
3. Integrasi pasar keuangan
4. Memiliki derajat internal factor mobility yang tinggi dan eksternal factor
mobility yang rendah
5. Diversifikasi produksi dan konsumsi
6. Kesamaan tingkat inflasi
7. Mencapai integrasi fiskal dan politik
Hanie (2006) single currency berarti penyatuan kebijakan moneter dan
tidak ada oportunitas dari suatu bagian pada area mata uang bersama untuk
mengubah nilai tukar dengan bagian lain. Pembentukan Single currency akan
menjadi masalah yang besar jika negara atau wilayah tersebut mengalami
guncangan yang asimetris. Namun, hal ini tidak akan menjadi masalah jika tenaga
kerja dalam negara yang terpengaruh dapat berpindah secara bebas ke negara lain.
Jika upah dan tingkat harga adalah fleksibel dan dapat menyesuaikan terhadap
guncangan atau jika kebijakan fiskal dapat menggeser sumber daya untuk area
yang terkena guncangan dari area yang tidak terkena guncangan. Gagasan
mengenai OCA yang akan membuat nilai mata uang menjadi optimal inilah yang
12
kemudian mendasari adanya integrasi ekonomi yang dilakukan oleh banyak
negara di belahan dunia dengan tingkatan yang berbeda-beda.
2.3.
Pasar Tunggal ASEAN
Menurut Achsani (2008), Pasar Tunggal ASEAN dapat digambarkan
sebagai satu kawasan ekonomi tanpa memperhatikan batas antar negara, dimana
setiap penduduk maupun sumber daya dari setiap negara anggota bisa bergerak
bebas sebagaimana dalam negeri sendiri. Kerjasama ekonomi ASEAN dimulai
dengan disahkannya deklarasi Bangkok tahun 1967 yang bertujuan untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan budaya.
Dalam
perkembangannya,
kerjasama
ekonomi ASEAN
diarahkan pada
pembentukan komunitas ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) yang
pelaksanaannya berjalan relatif lebih cepat dibandingkan dengan kerjasama
dibidang politik keamanan dan sosial budaya.
Pasar tunggal ASEAN didasari oleh empat pilar utama, yaitu:
1. Pergerakan bebas barang dan jasa, dalam hal ini tidak ada lagi hambatan
seperti pajak, bea masuk, tarif, quota, dan lain-lain. Sehingga konsumen
masyarakat dapat memperoleh harga yang terbaik dan termurah.
2. Kebebasan dalam perpindahan tenaga kerja, konsep ini mendorong terjadinya
mobilitas tenaga kerja yang memungkinkan para pekerja untuk memperoleh
pekerjaan yang terbaik sesuai dengan kualitas yang dimilikinya. Dalam hal ini
setiap pekerja dari suatu negara bebas untuk mencari pekerjaan di negaranegara lain dalam kawasan ASEAN.
13
3. Kebebasan mendirikan dan menetapkan layanan dan penyetaraan ijazah secara
timbal balik. Konsep ini memberi jaminan kebebasan bagi para profesional
seperti dokter, akuntan, dan pengacara dari suatu negara untuk berusaha di
negara-negara ASEAN lainnya tanpa ada diskriminasi kewarganegaraan.
4. Pergerakan bebas modal. Konsep ini memungkinkan untuk terjadinya
perpindahan modal dengan bebas dari suatu negara anggota ASEAN ke negara
anggota lainnya demi mencapai efisiensi.
2.4.
Inflasi
2.4.1. Konsep Inflasi
Mishkin (2004) mendefinisikan inflasi sebagai kenaikan tingkat harga
yang kontinu dan terus menerus memengaruhi individu-individu, bisnis, dan
pemerintah. Hal tersebut mengakibatkan semakin lemahnya daya beli yang diikuti
dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara. Inflasi
diakibatkan oleh dua faktor, yaitu sisi permintaan (demand pull inflation) dan sisi
penawaran (cost push inflation).
a. Demand-pull inflation
Jenis inflasi ini biasa dikenal sebagai Philips Curve inflation, yaitu
merupakan inflasi yang dipicu oleh interaksi permintaan dan penawaran domestik
jangka panjang. Inflasi dari sisi permintaan ini terjadi apabila secara agregrat
terjadi peningkatan terhadap barang-barang dan jasa dalam memenuhi permintaan
yang mendorong produsen untuk menambah dana produksi yang menyebabkan
pergeseran
kurva
demand.
Dalam
konteks makroekonomi,
kondisi
ini
digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan
14
total (aggregate demand) lebih besar daripada kapasitas perekonomian sehingga
mengakibatkan permintaan hanyalah akan meningkatkan harga saja.
b. Cost-push inflation
Inflasi dari sisi penawaran juga bisa disebut supply-shock inflation
merupakan inflasi penawaran yang disebabkan oleh kenaikan pada biaya produksi
atau biaya pengadaan barang dan jasa. Peningkatan biaya produksi itu sendiri
dapat disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia, tuntutan kenaikan upah oleh
buruh, peningkatan harga bahan baku impor akibat depresiasi nilai tukar domestik
dan lain sebagainya. Pergeseran kurva penawaran yang secara potensial akan
mengakibatkan inflasi disertai kelesuan usaha dalam perekonomian yang
ditunjukkan dengan menurunnya sejumlah output.
2.4.2. Consumer Price Index (CPI)
Mankiw (2003) Consumer Price Index (CPI) merupakan indikator yang
umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga. CPI berupa data yang
mengukur rata-rata perubahan harga yang dibayarkan oleh konsumen (dalam ratarata) untuk sekelompok barang dan jasa tertentu. CPI disebut juga Indeks Harga
Konsumen (IHK), yang mengukur harga rata-rata barang dan jasa yang dibeli oleh
rata-rata konsumen di suatu negara, termasuk Indonesia. IHK dapat digunakan
untuk mengukur inflasi bulanan, triwulanan, semesteran, dan tahunan.
Perhitungan laju inflasi dengan proksi IHK dapat dirumuskan sebagai berikut:
=
−
100% … … … … … … … … … … … … … … … . (2.1)
LIt
: Laju inflasi periode t,
IHKt
: Indeks Harga Konsumen periode t,
IHKt-1 : Indeks Harga Konsumen periode t-1.
15
2.4.3. Kaitan Inflasi dengan Nilai Tukar
Fauzi (2007), nilai tukar merupakan salah satu faktor penentu inflasi yang
berasal dari sisi penawaran. Dengan demikian, terjadinya perubahan nilai tukar
dapat memengaruhi laju inflasi. Hal ini dikarenakan apabila terjadi penurunan
nilai tukar atau depresiasi maka biaya impor untuk barang-barang impor baik
berupa bahan baku impor ataupun barang setengah jadi impor meningkat. Akibat
dari peningkatan biaya impor ini adalah kenaikan biaya produksi. Selanjutnya
kenaikan biaya produksi ini akan mendorong terjadinya peningkatan harga di
dalam negeri sehingga menimbulkan inflasi.
Pada penelitian ini akan digunakan nilai tukar efektif nominal atau
Nominal Effective Exchange Rate, dimana nilai tukar ini merupakan indeks
(diukur relatif terhadap periode dasar) dari rata-rata tertimbang kurs nominal
terhadap mata uang dari mitra dagang utama (major trading partners). Nugraha
(2006) kurs efektif nominal mengukur harga dari mata uang dalam negeri
terhadap beberapa negara (multilateral) mitra dagang utama. Kurs efektif nominal
pada waktu t dihitung sebagai rata-rata tertimbang dari kurs relatif dan dapat
dirumuskan sebagai berikut (Moosa, 2004):
=
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (2.2)
+
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (2.3)
wi =
+
=
,
,
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (2.4)
16
dimana Et adalah kurs efektif nominal pada waktu ke t, m adalah jumlah mata
uang negara mitra dagang utama, wi adalah rata-rata perdagangan yang
didenominasikan dalam mata uang negara i pada waktu t, Vit adalah kurs relatif
dari mata uang negara i pada waktu t, Si adalah kurs pada spot market saat ini, S0
adalah kurs pada periode dasar, Xi adalah nilai ekspor domestik ke negara i dan Mi
adalah nilai impor dari negara i.
2.4.4. Kaitan Inflasi dengan Senjang Output (GDP Gap)
Menurut Mankiw (2003) Gross Domestic Product (GDP) merupakan nilai
pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama
kurun waktu tertentu. GDP potensial adalah GDP riil yang dapat diproduksi
perekonomian jika sumberdaya produktif dipergunakan secara penuh pada
intensitas penggunaan yang normal. Selain itu, GDP potensial dapat juga diartikan
sebagai sisi penawaran perekonomian yang menggambarkan output maksimum
yang dapat dicapai tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Dalam jangka menengah
perkiraan terhadap output potensial dapat digunakan untuk menganalisa batas
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, yaitu yang tidak mengganggu
keseimbangan internal dan eksternal (Lipsey, 1995).
Senjang GDP atau senjang output adalah perbedaan antara output potensial
dengan output aktual atau output sebenarnya. Perhitungan senjang GDP ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
=
−
dimana,
Y
: GDP aktual riil
Y*
: GDP potensial
∗
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (2.5)
17
Dalam jangka pendek, perkiraan antara gap antara output riil dan potensial
dapat digunakan sebagai patokan untuk menganalisa tekanan terhadap inflasi.
Senjang GDP dan tingkat inflasi berhubungan positif yaitu ketika senjang GDP
bernilai positif, maka hal ini akan berdampak positif terhadap tingkat inflasi.
Dengan kata lain, perekonomian yang tumbuh melebihi potensialnya cenderung
akan menekan laju inflasi. Ketika perekonomian sedang dalam kondisi booming,
permintaan faktor produksi akan meningkat dan hal ini pada akhirnya akan
mendorong kenaikan tingkat inflasi. Sebaliknya, ketika perekonomian sedang
dalam kondisi resesi, permintaan faktor produksi relatif kecil dan kemudian akan
menurunkan tingkat inflasi. Hal ini berarti kebijakan sisi penawaran ekonomi
dapat diantisipasi dengan menganalisa besarnya output gap dalam suatu periode.
2.4.5. Kaitan Inflasi dengan Suku Bunga
Para ekonom menyebutkan tingkat bunga yang dibayar bank sebagai
tingkat bunga nominal (nominal interest rate) dan kenaikan dalam daya beli
masyarakat sebagai tingkat bunga riil (real interest rate). Jika i menyatakan
tingkat bunga nominal, r tingkat bunga riil, dan π laju inflasi, maka hubungan
diantara ketiga variabel ini dapat ditulis sebagai berikut (Mankiw, 2003):
r = i − π … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . . (2.6)
Persamaan di atas dapat diatur kembali menjadi:
i = r + π … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . . (2.7)
maka dapat dilihat bahwa tingkat bunga nominal adalah jumlah tingkat bunga riil
dan tingkat inflasi.
Pada persamaan di atas terlihat bahwa tingkat bunga nominal merupakan
penjumlahan di antara tingkat bunga riil dan laju inflasi yang menunjukkan bahwa
18
tingkat bunga dapat berubah karena dua alasan, yaitu tingkat bunga riil yang
berubah atau inflasi yang berubah. Sehingga terdapat hubungan positif antara
tingkat bunga nominal dengan inflasi dimana kenaikan satu persen dalam laju
inflasi akan menyebabkan kenaikan satu persen dalam tingkat bunga nominal
(Fauzi, 2007).
2.4.6. Kaitan Inflasi dengan Aggregate Demand
Trihadmini (2004) permintaan agregat atau aggregate demand adalah
kuantitas output total atau agregat yang ingin dibeli pada tingkat harga tertentu,
dimana hal lain dianggap konstan (ceteris paribus). Samuelson dan Nordhaus
(1992) dalam Trihadmini (2004), permintaan agregat merupakan pengeluaran
yang diinginkan di seluruh sektor, yang meliputi konsumsi, investasi domestik
swasta, pengeluaran pemerintah untuk barang dan jasa, dan ekspor.
(a)
P
P
(b)
P1
AD1
P0
AD
AD 0
Y
0
Y1
0
Y
Y0
Sumber: Miskhin (2004)
Gambar 2.2. Kurva Aggregate Demand
Kurva aggregate demand menunjukkan hubungan antara tingkat harga
dengan kuantitas barang dan jasa yang diminta (tingkat output), dimana hal-hal
lain dianggap konstan. Kurva permintaan agregat mempunyai kemiringan yang
19
negatif (downward sloping), dimana hal tersebut menunjukkan bahwa apabila
tingkat harga mengalami kenaikan, maka permintaan agregat yang diinginkan
mengalami penurunan, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.2. (bagian a). Selain
itu, kemiringan negatif dari kurva AD juga disebabkan oleh efek penawaran uang,
apabila penawaran uang konstan sementara tingkat harga mengalami kenaikan,
maka penawaran uang riil akan mengalami penurunan, sehingga memengaruhi
permintaan riil terhadap barang dan jasa juga akan menurun.
Sementara itu, pada Gambar 2.2. (bagian b) menunjukkan pergeseran
kurva AD secara keseluruhan, dimana pergeseran tersebut menunjukkan
peningkatan permintaan agregat sebagai akibat adanya perubahan variabelvariabel yang semula diasumsikan konstan, seperti variabel kebijakan (fiskal dan
moneter) dan variabel eksternal (seperti output luar negeri, nilai modal). Untuk
melihat kaitan permintaan agregat terhadap pembentukan inflasi, maka proxy
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah General Government Final
Consumption Expenditure (GGFCE).
2.5.
Konvergensi Inflasi
Hanie (2006) konvergensi (convergence) dapat diartikan sebagai suatu
kecenderungan dari pergerakan satu atau lebih variabel yang menuju suatu titik
yang sama. Untuk mencapai integrasi ekonomi, kriteria konvergensi menjadi salah
satu syarat pembentukan mata uang tunggal, baik konvergensi nominal (tingkat
inflasi dan suku bunga) maupun konvergensi riil (pendapatan per kapita,
produktivitas pekerja, dan tingkat harga komparatif) (Angeloni et al. 2005).
Penelitian ini akan fokus membahas konvergensi inflasi, dimana jika tingkat
20
inflasinya serupa, atau bergerak kearah yang sama maka akan lebih mudah
menentukan target inflasi bersama dan kebijakan yang cocok bagi seluruh negara
anggota.
2.6.
Metode Data Panel Dinamis
Data panel (atau longitudinal data) adalah data yang memiliki dimensi
ruang (individu) dan waktu. Dalam data panel, data cross section yang sama di
observasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi
time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya jika
jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section, maka disebut
unbalanced panel.
Aplikasi metode estimasi dengan menggunakan data panel banyak
digunakan baik secara teoritis maupun aplikatif dalam berbagai literatur
mikroekonometrik dan makroekonometrik. Popularitas penggunaan data panel ini
merupakan konsekuensi dari kemampuan dan ketersediaan analisis yang diberikan
oleh data jenis ini. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi
data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang
tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time series murni.
Baltagi (2005), penggunaan data panel memberikan banyak kelebihan.
Kelebihan dari penggunaan data panel adalah:
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu atau unit cross section.
2. Dapat memberikan informasi lebih banyak, mengurangi kolinieritas
antar variabel, meningkatkan degree of freedom, dan lebih efisien.
21
3. Panel data lebih baik untuk studi yang bersifat dinamis atau dynamics
of adjustment.
4. Dapat mengidentifikasi dan mengukur efek yang sederhana yang tidak
dapat dideteksi dalam model data cross section maupun time series.
5. Mampu menguji dan membangun model prilaku (behavioral models)
yang lebih kompleks.
Indra (2009) relasi di antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataannya
banyak yang bersifat dinamis. Analisis dapat digunakan sebagai model yang
bersifat dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic
of adjustment). Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag variabel
dependen diantara variabel-variabel regresor. Sebagai ilustrasi, perhatikan model
data panel dinamis sebagai berikut:
=
dengan
+ ′
,
+
; i = 1, … , N ; t = 1, … . T
… … … (2.8)
menyatakan suatu skalar, ′ menyatakan matriks berukuran 1 x K dan
matriks berukuran K x 1. Dalam hal ini,
diasumsikan mengikuti model one
way error component sebagai berikut
=
dengan
~
+
0,
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (2.9)
menyatakan pengaruh individu dan
(0,
~
)
menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa
literatur disebut sebagai transient error.
Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan
efisiensi baik pada Fixed Effect Model (FEM) maupun Random Effect Model
(REM) terkait perlakuan terhadap
. Dalam model dinamis, situasi ini secara
substansi sangat berbeda, karena
merupakan fungsi dari
maka
,
juga
22
merupakan fungsi dari
. Karena
korelasi antara variabel regresor
adalah fungsi dari
dan
,
maka akan terjadi
, hal ini akan menyebabkan penduga
least square (sebagaimana digunakan pada model data panel statis) menjadi bias
dan inkosisten, bahkan bila
tidak berkorelasi serial sekalipun.
Untuk mengilustrasikan kasus tersebut, berikut diberikan model data panel
autoregresif (AR (1)) tanpa menyertakan variabel eksogen
=
,
=
dengan
;| | < 1 ;
+
+
= 1, … . .
~
di mana
0,
bebas satu sama lain. Penduga fixed effect bagi
=
∑
∑
∑
(
∑
−
(
= 1/ ∑
dengan
)
−
, )
,
−
,
dan
,
,
dan
~
(0,
) saling
diberikan oleh
… … … … … … … … … … … … . . (2.11)
= 1/ ∑
Untuk menganalisis sifat dari
… … … … … … … … . (2.10)
.
,
, dapat disubstitusi persamaan (2.10) ke
(2.11) untuk memperoleh persamaan di bawah ini:
=
+
1/(
) ∑ ∑
1/( ) ∑
(
∑
− Ì…) ,
( ,
−
,
−
)
,
… … … … … … . (2.12)
Penduga ini bersifat bias dan inkonsisten untuk N ⟶ ∞ dan T tetap, bentuk
pembagian pada persamaan di atas (2.12) tidak memiliki nilai harapan nol dan
tidak konvergen menuju nol bila N⟶ ∞. Secara khusus, hal ini dapat
ditunjukkan (Nickel (1981) dan Hsiao (1986) dalam Verbeek (2004)) bahwa
plim
→
1
(
− Ì…)
,
−
,
=−
( − 1) −
+
(1 − )
≠ 0 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (2.13)
sehingga, untuk T tetap, akan dihasilkan penduga yang inkonsisten.
23
Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan method of moments dapat
digunakan. Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004) menyarankan suatu
pendekatan Generalized Method of Moments (GMM). Pendekatan GMM
merupakan salah satu yang populer. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari,
pertama, GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang
lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan
alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum
likelihood.
Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan.
Adapun beberapa kelemahan metode ini, yaitu: (i) GMM estimator adalah
asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam
ukuran contoh yang terbatas (finite), dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan
sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak
(software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM (Indra, 2009).
Ada dua jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk
mengestimasi model linear autoregresif, yakni:
1. First-differences GMM (FD-GMM atau AB-GMM)
2. System GMM (SYS-GMM)
2.6.1. First-differences GMM (AB-GMM)
Untuk mendapatkan estimasi
tertentu,
yang konsisten di mana N → ∞ dengan T
akan dilakukan first-difference pada
Persamaan
(2.10) untuk
mengeliminasi pengaruh individual ( ) sebagai berikut:
−
,
=
(
,
−
,
)+(
−
,
) ; t = 2, … , T … (2.14)
24
namun, pendugaan dengan least square akan menghasilkan penduga
inkonsisten karena
dan
,
yang
berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan bila
,
T → ∞. Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat
menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen. Sebagai contoh,
digunakan sebagai instrumen. Di sini,
berkorelasi dengan (
,
tetapi tidak berkorelasi dengan
,
penduga variabel instrumen bagi
disajikan sebagai
=
∑ ∑
∑ ∑
,
,
,
−
−
, dan
,
,
,
akan
−
,
)
tidak berkorelasi serial. Di sini,
… … … … … … … … … … … … … … … (2.15)
,
syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah
plim
→
→
1
( − 1)
(
−
)
,
= 0 … … … … … … … … … (2.16)
,
Penduga (2.15) merupakan salah satu penduga yang diajukan oleh
Anderson dan Hsiao (1981) dalam Verbeek (2004). Mereka juga mengajukan
penduga alternatif di mana
−
,
digunakan sebagai instrumen.
,
Penduga variabel instrumen bagi disajikan sebagai:
( )
=
∑ ∑
∑ ∑
,
,
−
−
,
,
,
−
−
,
… … … … … … … … (2.17)
,
syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah
plim
→
→
1
( − 2)
−
,
,
−
,
= 0 … … … … (2.18)
Perhatikan bahwa penduga variabel instrumen yang kedua (IV (2))
memerlukan tambahan lag variabel untuk membentuk instrumen, sehingga jumlah
amatan efektif yang digunakan untuk melakukan pendugaan menjadi berkurang
(satu periode sampel “hilang”). Dalam hal ini pendekatan metode momen dapat
25
menyatukan penduga dan mengeliminasi kerugian dari pengurangan ukuran
sampel. Langkah pertama dari pendekatan metode ini adalah mencatat bahwa
plim
→
→
1
( − 1)
−
,
=
,
−
,
,
= 0 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (2.19)
yang merupakan kondisi momen (moment condition). Dengan cara yang sama
dapat diperoleh
plim
→
→
1
( − 2)
−
=
−
,
,
−
,
−
,
,
= 0 … … … … … … … … (2.20)
,
yang juga merupakan kondisi momen. Kedua estimator (IV dan IV (2))
selanjutnya dikenakan kondisi momen dalam pendugaan. Sebagaimana diketahui
penggunaan lebih banyak kondisi momen meningkatkan efisiensi dari penduga.
Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004), menyatakan bahwa daftar
instrumen dapat dikembangkan dengan cara menambah kondisi momen dan
membiarkan jumlahnya bervariasi berdasarkan t. Untuk itu, Arellano dan Bond
(1991) dalam Verbeek (2004) mempertahankan T tetap. Sebagai contoh, ketika T
= 4 diperoleh
ï‚·
[(
−
)
] = 0, untuk t = 2
ï‚·
[(
−
)
] = 0 dan
ï‚·
[(
−
)
] = 0,
[(
−
)
] = 0, untuk t =4
[(
[(
−
−
)
)
] = 0, untuk t = 3
] = 0, dan
26
Semua kondisi momen dapat diperluas ke dalam GMM. Selanjutnya,
untuk memperkenalkan penduga GMM, misalkan didefinisikan ukuran sampel
yang lebih umum sebanyak T, sehingga dapat dituliskan
∆
−
…
−
=
,
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (2.21)
,
sebagai vektor transformasi error, dan
[
]
[
0
â‹®
0
=
0
,
â‹®
0
0
0
â‹®
,…,
…
…
⋮⋱
…
]
… … … … … … … . (2.22)
,
sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks Zi berisi instrumen yang
valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh
kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai
[ ′ ∆ ] = 0 … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (2.23)
yang merupakan kondisi bagi 1+2+…+T-1. Untuk menurunkan penduga GMM,
tuliskan persamaan sebagai
′ ∆
−∆
= 0 … … … … … … … … … … … … … … … … … . (2.24)
,
karena jumlah kondisi momen umumnya akan melebihi jumlah koefisien yang
belum diketahui,
akan diduga dengan meminimumkan kuadrat momen sampel
yang bersesuaian, yakni
min
1
N
dengan WN
Z′ ∆
−∆
,
W
1
N
Z′ ∆
−∆
,
… … … … . . (2.25)
adalah adalah matriks penimbang definit positif yang simetris.
Dengan mendifrensiasikan terhadap
akan diperoleh penduga GMM sebagai
27
=
∆ ′,
x
W
∆ ′,
Z′ ∆
W
,
Z′ ∆
… … … … … … … … … … . . (2.26)
Sifat dari penduga GMM (2.26) bergantung pada pemilihan WN yang konsisten
selama WN definit positif, sebagai contoh WN = I yang merupakan matriks
identitas.
Matriks penimbang optimal (optimal weighting matrix) akan memberikan
penduga yang paling efisien karena menghasilkan matriks kovarian asimtotik
terkecil bagi
. Sebagaimana diketahui dalam teori umum GMM (Verbeek,
2004), diketahui bahwa matriks penimbang optimal proposional terhadap matriks
kovarian invers dari momen sampel. Dalam hal ini, matriks penimbang optimal
seharusnya memenuhi
plim
=
[ ′∆ ]
=
[ ′∆ ∆
]
… … … … … … … … . (2.27)
⟶
dalam kasus biasa, dimana tidak ada restriksi yang dikenakan terhadap matriks
kovarian vi , matriks penimbang optimal dapat diestimasi menggunakan first-step
consistent estimator bagi
dan mengganti operator ekspektasi dengan rata-rata
sampel, yakni (two step estimator)
=
dengan ∆
estimator.
1
′∆ ∆
… … … … … … … … … … … … … … … … … . . (2.28)
menyatakan vektor residual yang diperoleh dari first-step consistent
28
Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa
~
pada
seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi
tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi
dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan
matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat
dianjurkan
bagi
sampel
berukuran
kecil)
menekankan
ketidakberadaan
autokorelasi pada vit dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis.
Dengan catatan di bawah restriksi sebagai berikut:
[∆ ∆
]=
2
−1
0
â‹®
=
−1
2
⋱
0
0
⋱
⋱
−1
…
0
−1 … … … … … … … … … (2.29)
2
matriks penimbang optimal dapat ditentukan sebagai (one step estimator).
=
1
′
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . . (2.30)
Sebagai catatan bahwa (2.30) tidak mengandung parameter yang tidak diketahui,
sehingga penduga GMM yang optimal dapat dihitung dalam satu langkah bila
error vit diasumsikan homoskedastis dan tidak mengandung autokorelasi.
Jika model data panel dinamis mengandung variabel eksogenus, maka
Persamaan (2.10) dapat dituliskan kembali menjadi
= ′
+
,
+
+
… … … … … … … … … … … … … … . . (2.31)
Parameter persamaan (2.31) juga dapat diestimasi menggunakan
generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM bergantung pada asumsi
yang dibuat terhadap xit , sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat
dibangun. Bila xit strictly exogenous dalam artian bahwa xit tidak berkorelasi
dengan sembarang error vis, akan diperoleh
29
[
] = 0 ; untuk setiap s dan t … … … … … … … … … … … . . (2.32)
,∆
sehingga x1, …, xiT dapat ditambah ke dalam daftar instrumen untuk persamaan
first difference setiap periode. Hal ini akan membuat jumlah baris pada Zi menjadi
besar. Selanjutnya dengan menggunakan kondisi momen
[∆
,∆
] = 0 ; untuk setiap t … … … … … … … … … … … … … . . (2.33)
matriks instrumen dapat dituliskan sebagai
,∆
′
0
â‹®
0
=
,
0
,∆ ′
…
…
⋱
0
0
0
0
,….,
… … (2.34)
,
,∆
bila variabel xit tidak strictly exogenous melainkan predetermined, dalam kasus di
mana xit dan lag xit tidak berkorelasi dengan bentuk error saat ini, akan diperoleh
[
,
] untuk s ≥ t . Dalam kasus dimana hanya xi,t-1,…, xi1 instrumen yang
valid bagi persamaan first difference pada periode t, kondisi momen dapat
dikenakan sebagai
,
,∆
=0
; = 1, … . . , − 1, ∀
… … … … … … … … … . . (2.35)
Dalam prakteknya, kombinasi variabel x yang strictly exogenous dan
predetermined dapat terjadi lebih dari sekali. Matriks Zi kemudian dapat
disesuaikan. Baltagi (1995), menyajikan contoh dan diskusi tambahan untuk kasus
ini. Penduga AB-GMM dapat mengandung bias pada sampel terbatas (berukuran
kecil), hal ini terjadi ketika tingkat lag (lagged level) dari deret berkorelasi secara
lemah dengan first-difference berikutnya, sehingga instrumen yang tersedia untuk
persamaan first-difference lemah (Blundell & Bond, 1998).
Dalam model AR (1) di Persamaan (2.10), fenomena ini terjadi karena
parameter autoregresif ( ) mendekati satu, atau varian dari pengaruh individu ( i)
meningkat relatif terhadap varian transient error (vit).
30
Blundell dan Bond (1998) menunjukkan bahwa penduga AB-GMM dapat
terkendala oleh bias sampel terbatas, terutama ketika jumlah periode amatan yang
tersedia relatif kecil. Hal ini menekankan perlunya perhatian sebelum menerapkan
metode ini untuk mengestimasi model autoregresif dengan jumlah deret waktu
yang relatif kecil.
Keberadaan bias sampel terbatas dapat dideteksi dengan mengkomparasi
hasil AB-GMM dengan penduga alternatif dari parameter autoregresif.
Sebagaimana diketahui dalam model AR (1), least square akan memberikan suatu
estimasi dengan bias yang ke atas (biased upward) dengan keberadaan pengaruh
spesifik individu (individual-spesific effect) dan fixed effect akan memberikan
dugaan
dengan bias yang ke bawah (biased downward). Selanjutnya penduga
konsisten dapat diekspektasi di antara penduga least square atau fixed effect. Bila
penduga AB-GMM dekat atau di bawah penduga penduga fixed effect, maka
kemungkinan penduga AB-GMM akan biased downward, yang kemungkinan
disebabkan oleh lemahnya instrumen.
2.6.2. System GMM (SYS-GMM)
Indra (2009) ide dasar dari penggunaan metode system GMM adalah untuk
mengestimasi sistem persamaan baik pada first-differences maupun pada level
yang mana instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-differences dari
deret. Blundell dan Bond (1998) menyatakan pentingnya pemanfaatan initial
condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel
dinamis ketika T berukuran kecil. Salah satunya dengan membuat model
autoregresif data panel dinamis tanpa regresor eksogenus sebagai berikut:
=
,
+
+
… … … … … … … … … … … … … … … … … … (2.36)
31
dengan ( ) = 0,
(
) = 0, dan
(
) = 0 untuk i= 1, 2, …. , N; t = 1, 2,
…, T. Dalam hal ini, Blundell dan Bond (1998) memfokuskan pada T=3 oleh
karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal yang diberikan oleh
,∆
= 0 sedemikian sehingga
tepat teridentifikasi (just Indentified).
Dalam kasus ini, tahap pertama dari regresi variabel instrumen diperoleh dengan
meregresikan ∆
dan yi1. Perhatikan bahwa regresi ini dapat diperoleh dari
persamaan (2.36) yang dievaluasi pada saat t=2 dengan mengurangi kedua ruas
persamaan tersebut, yakni
= ( − 1)
∆
,
+
+
… … … … … … … … … … … … … … … (2.37)
(
) > 0, maka ( − 1) akan bias ke atas
Dikarenakan eskpektasi
(upward biased) dengan
plim
− 1 = ( − 1)
+
/
… … … … … … … … … … . . (2.38)
= (1 − )/ (1 + ). Bias dapat menyebabkan koefisien estimasi dari
dengan
variabel instrumen yi1 mendekati nol. Selain itu, nilai statistik-F dari regresi
variabel instrumen tahap pertama akan konvergen ke
dengan parameter non-
centrality
=
karena
⟶ 0, dengan
→1
→ 0 maka penduga variabel instrumen menjadi lemah. Di sini, Blundell
dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga first-difference
GMM dengan masalah lemahnya instrumen yang mana hal ini dicirikan dari
parameter konsentrasi
(Baltagi, 2005).
32
2.7.
Penelitian Terdahulu
Evzen Kocenda & David H. Papell (1997) dalam Inflation Convergence
Within the European Union: A Panel Data Analysis meneliti apakah terdapat
bukti yang mendukung konvergensi inflasi dalam Uni Eropa. Penelitian ini
menggunakan metode panel data. Analisis juga berfokus pada apakah Exchange
Rate Mecanism (ERM) membantu mempercepat konvergensi inflasi diantara
negara-negara anggotanya. Hasilnya adalah ERM mendukung konvergensi
diantara negara-negara anggota Uni Eropa. Negara yang terus berpartisipasi dalam
kelompok ERM menunjukkan tingkat konvergensi yang lebih tinggi secara
dramatis selama periode pembentukan mekanisme nilai tukar tersebut.
Busetti et al. (2006) dalam Inflation Convergence and Divergence Within
The European Monetary Union. Penelitian ini menganalisis mengenai sifat
konvergensi tingkat inflasi diantara negara-negara Uni Eropa selama periode
1980-2004. Analisis yang digunakan dibagi menjadi dua bagian, sebelum dan
sesudah kelahiran mata uang euro. Analisis konvergensi pertama menggunakan
uji akar unit univariat dan multivariat pada perbedaan inflasi, dengan alasan
bahwa kekuatan dari pengujian ini meningkat jauh jika regresi Dickey-Fuller
tanpa intercept term. Analisis selanjutnya menyelidiki apakah kedua sub sampel
dicirikan oleh tingkat inflasi yang stabil di negara-negara Eropa. Pada saat
menggunakan tes stationeritas pada tingkat diferensial untuk inflasi, ditemukan
bukti perilaku yang menyimpang. Secara statistik penelitian ini dapat mendeteksi
dua kelompok terpisah atau convergence clubs. Kelompok inflasi yang lebih
rendah, terdiri dari Jerman, Perancis, Belgia, Austria, Finlandia. Sedangkan
kelompok inflasi yang lebih tinggi adalah Spanyol, Belanda, Yunani, Portugal,
33
dan Irlandia. Italia muncul untuk membentuk kelompok sendiri, berada diantara
dua kelompok lainnya.
Hanie (2006) dalam Analisis Konvergensi Nominal dan Riil Diantara
Negara-Negara ASEAN-5, Jepang, dan Korea Selatan. Penelitian ini mengkaji
apakah konvergensi nominal dan konvergensi riil telah terjadi di negara-negara
ASEAN-5 (Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Thailand), Jepang, dan
Korea Selatan. Konvergensi nominal dianalisis dengan menggunakan variabel
Consumer Price Index (CPI), sedangkan analisis konvergensi riil menggunakan
variabel Industrial Production Index (IPX). Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan pendekatan VECM melalui simulasi Decomposition of Forecasting
Error Varians dan simulasi Impulse Response Function. Selain itu, konvergensi
juga dianalisis dengan menggunakan uji kausalitas Granger dan matriks korelasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konvergensi nominal terjadi di negaranegara ASEAN-5 kecuali Indonesia, namun konvergensi ini belum begitu terlihat
diantara Korea Selatan dengan ASEAN-5. Selain itu, konvergensi riil terjadi di
antara negara-negara ASEAN-5, dan antara Korea Selatan dengan ASEAN-5
kecuali Indonesia.
Penelitian berikutnya Andersson et al. (2009) dalam Determinants of
Inflation and Price Level Differentials Across the Euro Area Countries. Penelitian
ini menganalisa faktor-faktor penentu perbedaan inflasi dan tingkat harga di
negara-negara kawasan euro. Estimasi panel dinamis untuk periode 1999-2006
menunjukkan bahwa perbedaan dalam inflasi terutama ditentukan oleh
perkembangan yang berbeda dalam PDB per kapita atau tingkat produktivitas,
posisi siklus dan untuk beberapa tingkat pertumbuhan upah serta perubahan dalam
34
peraturan pasar produk. Penelitian ini juga menemukan kekuatan penting dalam
perbedaan tingkat inflasi, dapat terlihat dari sebagian hubungan terkait dengan
harga yang ditentukan dan peraturan pasar produk. Dalam rangka kointegrasi,
penelitian ini menemukan bahwa tingkat harga masing-masing negara kawasan
euro diatur oleh tingkat GDP per kapita, pada gilirannya ditentukan oleh tingkat
produktivitas dan konsumsi. Kekuatan dalam perbedaan tingkat inflasi tampaknya
sebagian dijelaskan oleh administered prices dan sampai batas tertentu oleh
peraturan pasar produk.
Ningsih (2010) dalam kajian Analisis Keterkaitan Dinamis Inflasi Di
Negara-Negara ASEAN+6. Penelitian ini menganalisis tingkat inflasi diantara
negara-negara ASEAN+6 yang semakin konvergen atau semakin tidak konvergen,
menganalisis respon inflasi negara-negara ASEAN+6 akibat adanya guncangan
inflasi yang terjadi di Indonesia, RRC, Jepang, dan Singapura, serta menganalisis
respon inflasi di Indonesia akibat adanya shock dari variabel yang sama di seluruh
negara anggota ASEAN+6. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah VAR-VECM.
Hasil penelitian Ningsih (2010) menyatakan bahwa tingkat inflasi diantara
negara-negara ASEAN+6 pada periode 1997-2008, jika dianalisis dengan
Johansen Test for Cointegration, koefisien keragaman maupun FEVD hasilnya
adalah semakin konvergen. Adanya shock inflasi Indonesia tidak terlalu
berpengaruh banyak terhadap inflasi di negara-negara ASEAN+6 lainnya. Hanya
Cina dan Vietnam yang mengalami peningkatan inflasi akibat adanya guncangan
inflasi Indonesia. Berdasarkan analisis IRF, terjadinya guncangan inflasi di Cina
akan mendorong peningkatan inflasi di Indonesia, Australia, Korea, Myanmar,
35
New Zealand, Singapura, Vietnam. Guncangan inflasi yang terjadi di Jepang
paling banyak memengaruhi inflasi negara-negara anggota ASEAN +6 lainnya.
Negara-negara yang inflasinya meningkat akibat guncangan inflasi di Jepang
adalah Indonesia, Australia, Filipina, India, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia,
New Zealand, Singapura. Guncangan inflasi yang terjadi di Singapura cukup
banyak memengaruhi negara-negara lain. Negara-negara yang mengalami
peningkatan inflasi akibat guncangan Singapura adalah, Indonesia, Australia,
India, Jepang, Kamboja, Myanmar, Cina, dan Vietnam. Respon dinamis inflasi di
Indonesia terhadap guncangan inflasi ASEAN+6 paling besar adalah jika terjadi
guncangan pada inflasi Filipina dan Singapura.
36
Tabel 2.2. Penelitian Empiris Terkait
Penulis
Judul
Variabel
Ekonomi
Kocenda dan Inflation Convergence CPI
Papell (1997) Within the European
Union: A Panel Data
Analysis
Honohan dan Divergent
Inflation CPI, Output Gap,
Lane (2003)
Rates in EMU
NEER, Fiskal
Busetti et al. Inflation Convergence CPI
(2006)
and Divergence Within
The
European
Monetary Union.
Hanie (2006) Analisis Konvergensi CPI, IPX
Nominal dan Riil
Diantara
NegaraNegara
ASEAN-5,
Jepang, dan Korea
Selatan
Andersson
Determinants
of Output Gap,
et al. (2009) Inflation and Price NEER, HICP,
Level
Differentials Tingkat Harga
Across the Euro Area Komparatif,
Countries.
Product Market
Regulation
Ningsih
Analisis Keterkaitan CPI
(2010)
Dinamis Inflasi Di
Negara-Negara
ASEAN+6.
2.8.
Observasi
European
Union
European
Union
European
Union
Rentang
Waktu
1959:21994:4
1999-2001
1980:11997:12
ASEAN-5, 1995:1Jepang dan 2005:11
Korea
Selatan
European
Union
1999-2006
ASEAN+6
(kecuali
Brunei)
1997-2008
Kerangka Pemikiran
Untuk membentuk suatu mata uang tunggal (Optimum Currency Area)
salah satu faktor yang harus dipenuhi oleh ASEAN+6 adalah tercapainya
konvergensi inflasi. Dalam hal ini, negara-negara yang tergabung dalam
ASEAN+6 harus mengetahui faktor yang mendukung pembentukan konvergensi
inflasi dikawasan tersebut. Berikut ini adalah gambaran dari kerangka pemikiran
penelitian ini:
37
Lingkup Penelitian
ASEAN (Indonesia, Malaysia,
Filipina, Singapura, Thailand)
Cina, Jepang, Korea Selatan,
Australia, India, New Zealand
ASEAN+6
Konvergensi Inflasi di NegaraNegara ASEAN+6
Suku Bunga Nominal dan
Nilai Tukar Efektif Nominal
Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Inflasi ASEAN+6
1.
2.
3.
4.
5.
Lag Inflasi
Nilai Tukar Efektif Nominal
Output Gap
Suku Bunga Nominal
Pengeluaran Konsumsi
Pemerintah
Metode Data Panel Dinamis (Pendekatan Generalized Method of Moment)
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini akan mengidentifikasi konvergensi inflasi di negara-negara
ASEAN+6 serta mencoba menganalisis apakah variabel suku bunga nominal dan
nilai tukar efektif nominal berpengaruh dalam pembentukan konvergensi inflasi.
Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi
inflasi di negara-negara ASEAN+6. Variabel-variabel yang akan dianalisis dalam
penelitian ini seperti nilai tukar, output gap, suku bunga nominal, pengeluaran
konsumsi pemerintah, dan Lag inflasi. Selanjutnya variabel-variabel tersebut akan
dianalisis dengan menggunakan metode data panel dinamis (dynamic panel data)
melalui pendekatan Generalized Method of Moment (GMM).
38
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
diperoleh dari beberapa sumber. Adapun data diperoleh dari badan statistik dunia
International Financial Statistic (IFS) dari International Monetary Funds (IMF),
World Bank, CEIC, UN Data Explorer, serta beberapa jurnal dan literatur
mengenai konvergensi inflasi yang relevan dengan penelitian ini.
Adapun data-data yang diperlukan dalam permodelan penelitian ini yaitu
tingkat inflasi dengan menggunakan proxy CPI (Consumer Price Index), output
gap (Senjang output), Nominal Effective Exchange Rate (NEER) atau nilai tukar
efektif nominal, General Government Final Consumption Expenditure (GGFCE),
dan Suku Bunga Nominal. Data yang yang dikumpulkan merupakan data panel
dengan time series 2000-2009 dan cross section sebelas negara ASEAN+6, yaitu
Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, Cina, Korea Selatan,
Australia, India, dan New Zealand. Untuk lebih jelasnya keseluruhan dan
keterangan data yang digunakan dalam penelitian ini di rangkum dalam Tabel 3.1.
sebagai berikut:
39
Tabel 3.1. Variabel-variabel Ekonomi dalam Penelitian
No
Variabel
1.
YGAP
Keterangan
Satuan
Output Gap dihitung berdasarkan selisih Persentase
output
antara output aktual dan output Potensial. gap terhadap GDP.
Output
potensial
menggunakan
diestimasi
metode
dengan Output aktual adalah
Hodrick-Prescott GDP US$ Konstan
Filter.
2.
D
2000
General Government Final Consumption Persentase. (GGFCE
Expenditure (GGFCE)
3.
IR
Suku Bunga Nominal,
of GDP)
didapatkan
dari
Persentase
perhitungan tingkat inflasi ditambah dengan
suku bunga riil
4.
Inflasi
Persentase
(CPI 2005=100)
5.
NEER
Nominal Effective Exchange Rate atau nilai
Indeks 2005=100
tukar efektif nominal.
(Peningkatan Mengindikasikan Apresiasi)
3.2.
Model Penelitian
3.2.1. Model Konvergensi Inflasi
Metode yang digunakan untuk melihat tingkat konvergensi antar negara di
kawasan ASEAN+6 adalah dengan test unit root menggunakan Dickey Fuller atau
Augmented Dickey Fuller (ADF) terhadap persamaan diferensial inflasi.
Mengikuti metodologi yang digunakan oleh Kocenda dan Papell (1997), tahapan
perumusan model dimulai dari model inflasi sederhana dan dari observasi
sekelompok individu i pada periode waktu t sebagai berikut:
,
=
+
,
+
,
… … … … … … … … … … … … … … … … … … . (3.1)
40
Bila diformulasikan dalam rata-rata inflasi:
=
+
+
=
dimana:
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (3.2)
,
Selanjutnya, bila persamaan (3.1) dikurangi dengan persamaan (3.2) akan
menghasilkan:
−
,
=
,
−
+
,
… … … … … … … … … … … … … (3.3)
Persamaan (3.3) menggambarkan diferensial inflasi yang didefinisikan
sebagai perbedaan antara inflasi individual dengan rata-rata inflasi kelompok
negara pada saat t.
merupakan koefisien konvergensi. Konvergensi dikatakan
dapat tercapai apabila diferensial inflasi semakin lama menjadi semakin kecil
(Ben-David, 1996). Dalam hal ini, nilai tetha harus lebih kecil dari pada satu.
Sebaliknya nilai tetha yang lebih besar dari pada satu mengindikasikan divergensi
diferensial inflasi. Untuk memperoleh koefisien konvergensi, dilakukan estimasi
persamaan (3.3) atau dikenal dengan Dickey and Fuller Test.
Diferensial inflasi diasumsikan menurun secara kontinyu sejalan dengan
waktu sesuai dengan besaran:
d, = d e
r adalah tingkat konvergensi, dapat dihitung dengan menggunakan koefisien
konvergensi (tetha) yang merupakan hasil estimasi dari persamaan (3.3).
= ln (Ï•)
Untuk mengatasi masalah serial korelasi data, Augmented Dickey Fuller
test dapat dilakukan.
∆
,
= ( − 1)
,
–
∆
,
+
,
… … … … … … … … … … . . (3.4)
41
dimana: d , = π , − π dan
∆d , = d , − d ,
Untuk melihat terjadinya konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6,
maka model yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
∗
= Ï•
∗
+
∆
+
+
… … … … … … … … … … … . (3.5)
∗
= Inflasi suatu negara dikurangi inflasi kawasan pada tahun t
∗
= Lag Inflasi suatu negara dikurangi inflasi kawasan pada tahun t
∆
= Lag Perubahan Nominal Effective Exchange Rate (NEER)
(Peningkatan Mengindikasikan Apresiasi).
= Suku Bunga Nominal
= Error term
Ï•
= Koefisien konvergensi
konvergensi inflasi dapat terjadi apabila nilai koefisien dari tetha kurang dari satu.
Model penelitian (3.5) juga akan memberikan informasi apakah variabel suku
bunga nominal dan nilai tukar efektif nominal dapat membantu dan berpengaruh
nyata dalam pembentukan konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6.
3.2.2. Model Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi
Salah satu langkah dalam penelitian ini adalah menentukan model atau
persamaan untuk mengestimasi faktor-faktor apa saja yang memengaruhi tingkat
inflasi di negara-negara ASEAN+6. Andersson, Masuch, dan Schiffbauer (2009)
telah membuat model persamaan untuk mengetahui perbedaan inflasi dan tingkat
harga di Uni Eropa, model yang digunakan sebagai berikut:
=
= λ
+
(
+
)+ d ∆
−
(
−
)+
(
+
− Ì…
+
)+
… … … . (3.6)
… … … … (3.7)
42
dimana,
= Output Riil
= Output Potensial
∆
= Lag Perubahan Nominal Effective Exchange Rate (NEER)
= Respon Faktor Permintaan
= Tingkat Inflasi
λ
= Derajat Persistensi Inflasi
= Tingkat Harga Komparatif
Ì…
= Tingkat Harga Komparatif Jangka Panjang
= Shock Permintaan
= Shock Penawaran
Andersson et al. (2009) mendapat suatu persamaan bentuk penurunan
inflasi dengan mengkombinasikan (3.6) dan (3.7)
=
+
Ì…
)+
(
)+
−
+
∆
(
+
−
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … (3.8)
∝ adalah fungsi dari parameter vektor d dan b, dimana λ ,
−
adalah
fungsi dari d dan b.
adalah kombinasi dari guncangan penawaran dan permintaan. Dengan
asumsi lebih lanjut bahwa tingkat harga jangka panjang adalah sama di negaranegara dalam suatu kawasan ( Ì…it = Ì… ). Maka diperoleh persamaan bentuk
pengurangan sebagai berikut:
=
+
+
+
+
(
−
)+
+
∆
+
… … … … … … … … … … … … … … … … … … … … … . (3.9)
43
Untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi di
negara-negara ASEAN+6, maka model penelitian ini akan mengacu pada
penelitian-penelitian terdahulu yang penulis gunakan sebagai acuan. Model
penelitian secara umum mengacu pada model penelitian Andersson et al. (2009)
dan Honohan et al. (2003). Dalam penelitian ini, penulis akan menambahkan
variabel suku bunga sebagai salah satu faktor yang memengaruhi inflasi di
kawasan ASEAN+6. Gul dan Ekinci (2006) terdapat hubungan positif antara suku
bunga nominal dan tingkat inflasi dan peningkatan suku bunga nominal dapat
memengaruhi biaya pinjaman yang pada akhirnya akan meningkatkan inflasi.
Selain itu, penelitian yang dilakukan Sasana (2004) dengan menggunakan kasus
negara Filipina, didapatkan bahwa dalam jangka panjang tingkat suku bunga
berkorelasi positif dan berpengaruh signifikan terhadap tingkat inflasi.
Berikut ini adalah model penelitian dengan memasukkan variabel suku
bunga nominal, yang selanjutnya akan digunakan dalam penelitian ini:
=
+
(
−
)+
+
∆
+
+
… … (3.10)
dimana,
= Tingkat Inflasi
(
−
)
= Output gap
= General Government Final Consumption Expenditure
∆
= Lag perubahan Nominal Effective Exchange Rate (NEER),
(Peningkatan Mengindikasikan Apresiasi).
= Suku Bunga Nominal
= Error term
44
Adanya keterbatasan data menyebabkan persamaan atau model penelitian
(3.10) tidak memasukkan variabel tingkat harga komparatif. Selanjutnya dari hasil
estimasi akan dianalisis variabel-variabel mana saja yang memengaruhi inflasi di
negara-negara ASEAN+6 pada periode 2000-2009. Metode analisis data yang
digunakan untuk mengestimasi model penelitian ini secara umum akan
menggunakan metode data panel dinamis (dynamic panel data) melalui
pendekatan Generalized Method of Moment (GMM) yang mengacu pada
metodologi Verbeek 2004 dan Baltagi 2005.
3.3.
Metode Analisis Data
3.3.1. Metode Hodrick-Prescott Filter
Untuk memperkirakan output potensial, salah satu pendekatan yang dapat
digunakan adalah metode Hodrick-Prescott (HP) Filter. Metode ini digunakan
untuk melihat kecenderungan (trend) dari output dalam jangka panjang (Fauzi,
2007). Trend output (s) yang diperoleh dengan menggunakan HP filter dihasilkan
dengan meminimkan kombinasi gap antara aktual output (y) dan trend output.
Tingkat perubahan output diperoleh dengan:
( −
) +
(
−
)− (
−
)
… … … … (3.11)
dimana λ adalah tingkat smoothness dari trend. Kesulitan metode ini adalah dalam
mengidentifikasi besarnya parameter λ. Namun dengan menggunakan Eviews 6
trend output ini dapat diperkirakan. Trend dari PDB riil diasumsikan sebagai PDB
potensial. Dalam penelitian ini, untuk memperkirakan PDB potensial maka
digunakan pendekatan HP filter.
45
3.3.2. Granger Causality Test pada data panel
Hubungan kausalitas (causality) adalah hubungan jangka pendek antara
kelompok tertentu dengan menggunakan pendekatan ekonometrik yang mencakup
juga hubungan timbal balik dan fungsi-fungsi yang muncul dari analisis spektrum,
khususnya hubungan penuh antar spektrum dan hubungan partial antar spektrum.
Dari pandangan ekonometrik, ide utama dari kausalitas adalah sebagai berikut.
Pertama, jika X memengaruhi Y, berarti informasi masa lalu X dapat membantu
dalam memprediksikan Y. Dengan kata lain, dengan menambah data masa lalu X
ke regresi Y dengan data Y masa lalu maka dapat meningkatkan kekuatan
penjelas (explanatory power) dari regresi. Kedua, data masa lalu Y tidak dapat
membantu dalam memprediksikan X karena jika X dapat membantu dalam
memprediksikan Y, dan Y dapat membantu memprediksikan X, maka
kemungkinan besar terdapat variabel lain, katakan Z, yang memengaruhi X dan Y
(Fauzi, 2007).
Pada tahun 1969, Granger memperkenalkan hubungan sebab akibat antara
dua variabel yang saling berkaitan. Hubungan kausalitas dapat dibagi atas tiga
kategori, yaitu hubungan kausalitas satu arah, hubungan kausalitas dua arah dan
hubungan timbal balik. Dengan panjang lag optimal, p, maka prinsip kerja dari
Granger Causality Test pada data panel didasarkan atas regresi model pooled
sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
Persamaan (3.12)
=
+
(
)
+ …+
(
)
+
(
)
+ …+
(
)
+
(
)
+ …+
(
)
+
(
)
+ …+
(
)
+
Persamaan (3.13)
=
+
46
Pada persamaan regresi model pooled pertama (3.12), X memengaruhi Y
atau hubungan kausalitas satu arah dari X ke Y apabila koefisien βl tidak sama
dengan nol (0). Hal yang sama juga untuk persamaan regresi model pooled kedua
(3.13), Y memengaruhi X atau terdapat hubungan kausalitas satu arah dari Y ke X
jika koefisien βl tidak sama dengan nol. Sementara apabila keduanya terjadi maka
dikatakan terdapat hubungan timbal balik (feedback relationship) antara X dan Y
atau terdapat hubungan kausalitas dua arah (bidirectional causality) antara X dan
Y.
Dalam
penelitian
ini,
Granger Causality Test dilakukan untuk
menganalisis hubungan inflasi dengan variabel-variabel lain pada penelitian.
Dengan menggunakan software eviews 6, hipotesis nol yang digunakan untuk
hubungan dua variabel adalah X tidak memengaruhi Y dan Y tidak memengaruhi
X. Dasar penolakan hipotesis nol dengan menggunakan kriteria probabilitas < 0.1
atau 10%.
Seluruh pengolahan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan
bantuan program komputer STATA v10.0 dan Eviews 6. Pemilihan program ini
dikarenakan ketersediaan tools untuk pengolahan data sekaligus pengujian asumsi
dalam model data panel dinamis.
47
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Kondisi Umum Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6
Pada penelitian ini dilakukan eksplorasi data yang dimaksudkan untuk
memberikan gambaran umum yang disajikan secara sistematis mengenai faktafakta dan hubungan antar fenomena atau variabel yang akan diamati. Pembahasan
dimulai dengan memberikan gambaran kondisi perkembangan inflasi di negaranegara ASEAN+6. Tabel 4.1. di bawah ini menyajikan rata-rata perkembangan
inflasi di kawasan ASEAN+6 pada periode 2000-2004 dan periode 2005-2009.
Tabel 4.1. Rata-Rata Perkembangan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6
Periode 2000-2004 dan Periode 2005-2009
Negara
Rata-Rata Inflasi
2000-2004
Rata-Rata Inflasi
2005-2009
Indonesia
Malaysia
Filipina
Singapura
Thailand
Cina
Jepang
Korea
Australia
India
New Zealand
7.99*
1.45
4.64*
0.83
1.70
1.05
-0.52
3.24*
3.39*
3.93*
2.39
9.27*
2.92
5.85*
2.13
3.21
2.64
0.01
3.00
2.94
7.13*
2.97
Rata-Rata Inflasi
ASEAN+6
2.73
3.82
Keterangan: *tingkat rata-rata inflasi negara di atas rata-rata inflasi ASEAN+6.
Sumber: World Bank 2011, diolah.
Tabel 4.1. menjelaskan bahwa rata-rata tingkat inflasi di negara-negara
ASEAN+6 berbeda-beda selama periode 2000-2004 dan periode 2005-2009. Jika
48
data pada Tabel 4.1. disajikan dalam bentuk gambar, maka didapatkan hasil
seperti gambar di bawah ini. Berdasarkan Gambar 4.1. dan Tabel 4.1., diperoleh
informasi bahwa pada periode 2000-2004 Negara Indonesia, Filipina, Korea,
Australia, dan India memiliki rata-rata inflasi di atas rata-rata inflasi ASEAN+6.
Sedangkan negara Malaysia, Singapura, Thailand, Cina, Jepang, dan New Zealand
memiliki rata-rata tingkat inflasi di bawah rata-rata inflasi ASEAN+6 pada
periode 2000-2004.
10
IDN
8
IND
PHL
6
4
THA
MYS
KOR
AUS
CHN
NZL
SGP
2
JPN
0
Negara
-2
rata-rata Inflasi 2000-2004
Keterangan:
rata-rata Inflasi 2005-2009
Rata-Rata Inflasi ASEAN+6 Periode 2000-2004
Rata-Rata Inflasi ASEAN+6 Periode 2005-2009
Sumber: World Bank 2011, diolah.
Gambar 4.1. Rata-Rata Perkembangan Inflasi Negara-Negara ASEAN+6
Periode 2000-2004 dan 2005-2009 (dalam Persentase)
Pada periode 2005-2009, negara-negara yang memiliki rata-rata tingkat
inflasi di atas rata-rata inflasi ASEAN+6 cenderung sama seperti periode 20002004 yaitu, Indonesia, Filipina, dan India. Negara Australia dan Korea mengalami
49
perubahan, dimana tingkat rata-rata inflasi kedua negara tersebut pada periode
2005-2009 berada di bawah rata-rata inflasi ASEAN+6 bersama dengan negara
lainnya, yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, Cina, Jepang, dan New Zealand.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan negara-negara yang memiliki
rata-rata tingkat inflasi di atas rata-rata inflasi ASEAN+6 cenderung memiliki
tingkat inflasi yang tinggi pada tahun 2000-2009. Seperti halnya negara Indonesia,
Filipina, dan India memiliki rata-rata tingkat inflasi di atas rata-rata inflasi
ASEAN+6 selama dua periode (2000-2004 dan 2005-2009). Begitu juga
sebaliknya, negara-negara yang memiliki rata-rata inflasi di bawah rata-rata inflasi
ASEAN+6 cenderung memiliki inflasi yang rendah pada tahun 2000-2009.
Inflasi yang tinggi di suatu negara jelas akan menyebabkan dampak
negatif bagi perekonomian negara tersebut. Hal itu dikarenakan variabel
makroekonomi ini memiliki kekuatan dalam menurunkan kesejahteraan
masyarakat dan juga mampu memengaruhi distribusi pendapatan, serta alokasi
faktor produksi suatu negara. Semua negara di dunia, termasuk negara-negara
ASEAN+6 akan berusaha untuk menekan tingkat inflasi serendah mungkin dan
mencapai tenaga kerja penuh. Sehingga kebijakan-kebijakan yang diterapkan
diarahkan kepada pencapaian inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi.
Inflasi yang rendah biasanya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi,
sedangkan inflasi yang tinggi atau hiperinflasi dapat membahayakan pertumbuhan
ekonomi. Gambar 4.2. merupakan perbandingan perkembangan rata-rata
pertumbuhan ekonomi dan rata-rata inflasi di negara-negara ASEAN+6. Dari
gambar tersebut terlihat bahwa pada periode 2000-2004 pertumbuhan ekonomi di
50
Negara Malaysia, Singapura, Thailand, Cina, Jepang, Korea, New Zealand, dan
India tidak diikuti oleh tingginya tingkat inflasi. Hal tersebut dapat terlihat dari
nilai rata-rata tingkat inflasi negara-negara tersebut lebih kecil dibandingkan
dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi pada periode 2000-2004. Lain halnya
dengan Negara Indonesia, Filipina, dan Australia, dimana pertumbuhan ekonomi
di negara-negara tersebut diikuti oleh tingginya tingkat inflasi atau dengan kata
lain nilai rata-rata inflasi negara lebih besar dibandingkan dengan nilai rata-rata
pertumbuhan ekonomi.
Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Inflasi Periode 2000-2004
Variable
INF INA * Growth INA
INF MAL * Growth MAL
INF FIL * Growth FIL
INF SING * Growth SING
INF THAI * Growth THAI
INF CINA * Growth CINA
INF JPN * Growth JPN
INF KOR * Growth KOR
INF AUS * Growth AUS
INF IND * Growth IND
INF NEW * Growth NEW
8
7
6
Inflasi
5
4
3
2
1
0
-1
1
2
3
4
5
6
7
8
Pertumbuhan Ekonomi GDP Perkapita
9
Sumber: World Bank 2011, diolah.
Gambar 4.2. Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Inflasi di
Negara-Negara ASEAN+6 Periode 2000-2004 (dalam Persentase)
Pada Gambar 4.3. menampilkan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan ratarata tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6 pada periode 2005-2009.
Pertumbuhan ekonomi Negara Indonesia, Filipina, Australia, Thailand, Malaysia,
dan New Zealand diikuti dengan tingkat inflasi yang tinggi. Untuk Negara
51
Singapura dan Cina pertumbuhan ekonomi negara tersebut tidak diikuti oleh
tingginya inflasi, dimana nilai rata-rata inflasi lebih kecil dibandingkan dengan
nilai rata-rata pertumbuhan ekonomi. Negara lainnya seperti Jepang, Korea, dan
India cenderung memiliki rata-rata inflasi dan pertumbuhan ekonomi berada pada
tingkat yang relatif sama atau tidak berbeda jauh pada periode 2005-2009.
Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Inflasi Periode 2005-2009
Variable
INF INA * Growth INA
INF MAL * Growth MAL
INF FIL * Growth FIL
INF SING * Growth SING
INF THAI * Growth THAI
INF CINA * Growth CINA
INF JPN * Growth JPN
INF KOR * Growth KOR
INF AUS * Growth AUS
INF IND * Growth IND
INF NEW * Growth NEW
9
8
7
Inflasi
6
5
4
3
2
1
0
0
2
4
6
8
10
Pertumbuhan Ekonomi GDP Perkapita
12
Sumber: World Bank 2011, diolah.
Gambar 4.3. Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Inflasi di
Negara-Negara ASEAN+6 Periode 2005-2009 (dalam Persentase)
Penjelasan di atas telah memberikan informasi bahwa kondisi inflasi dan
pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+6 masih relatif beragam. Terkait
dengan kerjasama moneter dan keuangan yang diarahkan kepada integrasi
ekonomi, jelas saja negara-negara ASEAN+6 masih belum cukup untuk mencapai
tahapan tertinggi penyatuan mata uang tunggal akibat belum seragamnya kondisi
perekonomian diantara masing-masing anggota. Namun, peluang kawasan
ASEAN+6 untuk dapat memenuhi konvergensi makroekonomi (dalam hal ini
52
inflasi) sangatlah terbuka. Tingkat inflasi yang rendah dan stabil akan menjadi
kunci kesuksesan ASEAN+6 untuk dapat memenuhi salah satu kriteria
konvergensi dalam Optimum Currency Area (OCA). Dalam jangka panjang,
diharapkan perkembangan kerjasama yang terjadi di kawasan saat ini, dengan
cakupan yang lebih luas, serta didukung oleh konsistensi dari pertumbuhan
ekonomi anggota dan seluruh elemen ekonomi dapat memberikan harapan besar
untuk menjadikan kawasan ini sebagai suatu uni moneter regional dan pendorong
perekonomian di kawasan Asia.
4.2
Hubungan Inflasi dengan Output Gap dan Suku Bunga Nominal
Tujuan pengendalian inflasi pada posisi yang rendah dan stabil adalah
untuk dapat meningkatkan kesejahteraan sosial. Perkembangan inflasi akan sangat
ditentukan oleh kestabilan kegiatan ekonomi, nilai tukar, atau bahkan dapat
ditentukan oleh seberapa besar perkembangan nilai suku bunga di negara tersebut.
Kompleksitas hubungan inflasi dengan variabel makroekonomi lainnya membuat
sulitnya mengidentifikasi atau memprediksi sumber-sumber yang memicu
terjadinya tekanan pada inflasi. Pengidentifikasian sumber-sumber guncangan
pada inflasi akan memberikan gambaran bagaimana perumusan kebijakan
moneter yang tepat sasaran sehingga fluktuasi laju inflasi dapat terukur serta
kebijakan tersebut akan lebih efektif diimplementasikan ketika terjadi guncangan
pada suatu variabel makroekonomi. Kondisi kegiatan ekonomi yang tidak stabil
akan membuat tingkat inflasi berada pada tingkat yang tidak bisa ditentukan. Pada
Gambar 4.4a. dan Gambar 4.4b. menampilkan bagaimana hubungan output gap
dan inflasi di negara-negara ASEAN+6 pada tahun 2000 hingga 2009.
53
Indonesia
Malaysia
14
4
6
12
10
8
6
4
2
0
3
2
1
0
-1
-2
-3
5
4
3
2
1
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
0
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Inflasi (%)
Output Gap (%)
Singapura
Filipina
10
4
3
2
1
0
-1
-2
-3
8
6
4
2
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
0
Output Gap (%)
Inflasi (%)
7
6
5
4
3
2
1
0
-1
10
5
0
-5
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Output Gap (%)
5
4
3
2
1
0
-1
-2
-3
-4
Output Gap (%)
Inflasi (%)
Thailand
-10
Inflasi (%)
Cina
3
7
15
5
2
4
1
6
5
10
3
0
2
-1
1
-2
2
1
0
0
-3
0
-5
-4
-1
-5
-2
-2
Output Gap (%)
Inflasi (%)
4
5
3
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
-1
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
6
Output Gap (%)
-10
Inflasi (%)
Gambar 4.4a. Hubungan Output gap dan Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6
54
Jepang
Korea Selatan
2
4
1.5
2
1
3
4
2
1
3
0
0
0.5
2
-1
-1.5
-1
-2
1
-2
-4
0
-3
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
0
-0.5
5
-6
Output Gap (%)
Inflasi (%)
Output Gap (%)
Australia
Inflasi (%)
India
5
1.5
12
8
4
1
10
6
3
0.5
4
8
2
6
0
2
0
1
-0.5
2
-4
0
-1
0
-6
4
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Output Gap (%)
-2
Output Gap (%)
Inflasi (%)
Inflasi (%)
New Zealand
5
3
2
1
0
-1
-2
-3
4
3
2
1
Output Gap (%)
Inflasi (%)
Gambar 4.4b. Hubungan Output gap dan Inflasi di
Negara-Negara ASEAN+6 (lanjutan)
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
0
55
Gambar di atas telah memberikan informasi bagaimana perkembangan
output gap di negara-negara ASEAN+6 mampu memengaruhi perkembangan
tingkat inflasi. Hal tersebut mengakibatkan perkembangan output yang merupakan
salah satu indikator perekonomian di kawasan ASEAN+6 menjadi faktor yang
sangat penting dalam mengelola perekembangan inflasi di kawasan tersebut.
Perkembangan inflasi di negara-negara ASEAN+6 juga dapat disebabkan
meningkatnya hubungan kerjasama perdagangan (siklus bisnis) antara negara satu
dengan negara lainnya.
Perkembangan inflasi juga tidak hanya dapat disebabkan oleh variabel
output, tetapi juga dapat diakibatkan oleh pergerakan nilai suku bunga nominal di
suatu negara. Suku bunga merupakan indikator dari keadaan bisnis, karena biaya
pinjaman merupakan termasuk di antara pertimbangan penting dalam keputusan
investasi. Pergerakan suku bunga menjadi salah satu faktor yang penting untuk
diamati dalam menganalisis laju pergerakan inflasi. Gambar 4.5a. dan Gambar
4.5b. menampilkan bagaimana hubungan inflasi dengan suku bunga nominal.
Dari gambar tersebut terlihat bahwa secara umum pergerakan inflasi di kawasan
ASEAN+6 memiliki kecendurungan yang sama, dimana pergerakan suku bunga
diikuti oleh tingginya inflasi (dalam artian peningkatan suku bunga juga akan
diikuti oleh tingkat inflasi atau sebaliknya). Hubungan positif antara suku bunga
nominal terlihat jelas di Negara Filipina, Thailand, Cina, Jepang dan Korea,
dimana pada tahun 2000 hingga tahun 2009 pergerakan suku bunga nominal
dengan tingkat inflasi di negara tersebut cenderung sejalan atau beriringan.
Pembahasan selanjutnya secara fokus akan membahas dan menganalisis hasil
estimasi penelitian.
56
Indonesia
Malaysia
40
15
30
10
20
5
10
2008
2009
2006
2007
2005
2003
2004
2000
2001
2008
2009
2007
2005
2006
2004
2002
2003
2001
2000
2002
0
0
Inflasi (%)
Inflasi (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Filipina
Singapura
25
20
20
15
15
2007
2008
2009
-5
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
0
2004
2005
2006
0
2001
2002
2003
5
2000
5
2000
2001
2002
10
10
Inflasi (%)
Inflasi (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Cina
Thailand
10
15
8
10
6
4
5
2
0
Inflasi (%)
Inflasi (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Gambar 4.5a. Perkembangan Suku Bunga Nominal dan Inflasi
di Negara-Negara ASEAN+6
2009
2007
2008
2005
2006
2004
2002
2003
-2
2000
2001
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
-5
0
57
Jepang
Korea Selatan
6
16
14
12
10
8
6
4
2
0
5
4
3
2
1
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
-2
2001
-1
2000
0
Inflasi (%)
Inflasi (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Australia
India
20
35
30
25
20
15
10
5
0
15
10
5
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
0
Inflasi (%)
Inflasi (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Suku Bunga Nominal (%)
New Zealand
20
15
10
5
Inflasi (%)
Suku Bunga Nominal (%)
Gambar 4.5b. Perkembangan Suku Bunga Nominal dan Inflasi
di Negara-Negara ASEAN+6 (lanjutan)
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
0
58
4.3.
Hasil Estimasi Penelitian
Pembahasan hasil estimasi pada penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian.
Bagian pertama akan menganalisis Granger Causality Test pada variabel-variabel
penelitian. Bagian kedua akan membahas konvergensi tingkat inflasi dan faktor
yang mendukung serta memengaruhi pembentukan konvergensi inflasi di kawasan
ASEAN+6. Bagian ketiga membahas faktor-faktor yang memengaruhi tingkat
inflasi di negara-negara ASEAN+6.
4.3.1. Hasil Granger Causality Test pada Data Panel
Konsep dasar uji kausalitas Granger yaitu menguji hubungan diantara dua
variabel tanpa melakukan pendugaan terhadap model. Pengujian ini bertujuan
untuk mengetahui hubungan sebab akibat diantara dua variabel yang diuji.
Pengujian ini dilakukan terhadap beberapa variabel yang terkait dengan model
umum pada penelitian ini. Selain itu, pengujian juga akan memberikan informasi
bagaimana hubungan kausalitas diantara variabel penelitian, apakah variabel yang
dianalisis memiliki hubungan kausalitas satu arah atau dua arah.
Dengan panjang lag optimal, p, maka prinsip kerja dari Granger Causality
Test pada data panel didasarkan atas regresi model pooled sebagaimana diuraikan
pada persamaan (3.12) dan persamaan (3.13). Pengujian Granger Causality
penelitian ini dibagi menjadi tiga kawasan, yang terdiri dari kawasan negaranegara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand), kawasan
negara-negara ASEAN+3 (Cina, Jepang, Korea), dan kawasan negara-negara
ASEAN+6 (Cina, Jepang, Korea, Australia, India, dan New Zealand). Pembagian
kawasan tersebut bertujuan untuk mengetahui hubungan inflasi dengan variabelvariabel penelitian di masing-masing kawasan. Variabel-variabel yang diuji yaitu,
59
output gap, nilai tukar efektif nominal, GGFCE (pengeluaran pemerintah), dan
suku bunga nominal. Hasil Granger Causality Test yang diterapkan terhadap data
panel dapat dilihat ada pada Tabel 4.2. di bawah ini:
Tabel 4.2. Hasil Granger Causality Test
ASEAN
Hipotesis Nol
ASEAN+3
ASEAN+6
2 lag 4 lag 6 lag 2 lag 4 lag 6 lag 2 lag 4 lag 6 lag
YGAP ↛ INF
√
INF ↛ YGAP
√
GGFCE ↛INF
√
√
INF ↛GGFCE
√
√
DNEER ↛ INF
√
√
INF ↛ DNEER
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
IR ↛ INF
INF ↛ IR
Keterangan:
√
√
√
Periode sample 2000-2009, INF = Tingkat Inflasi, YGAP = Output Gap
yang di presentasekan terhadap GDP Constant 2000, GGFCE = General
Government Final Consumption Expenditure (% of GDP), DNEER =
Perubahan Nominal Effective Exchange Rate (2005=100), IR = Suku
Bunga Nominal, dan ↛ = tidak memengaruhi.
Tanda “√” menandakan bahwa hipotesis nol ditolak, dengan menggunakan
kriteria probabilitas < tingkat kritis
= 10% (hasil Granger Causality Test untuk
data seluruh kawasan dan tiap-tiap kawasan dapat dilihat pada Lampiran 1.).
Hipotesis nol untuk baris pertama dan kedua adalah YGAP tidak memengaruhi
INF dan INF tidak memengaruhi YGAP. Hasil estimasi di atas terlihat bahwa
untuk kasus kawasan ASEAN dan ASEAN+3 tidak terdapat hubungan kausalitas
didalam hubungan variabel YGAP dan INF, dimana YGAP tidak signifikan dalam
60
memengaruhi pergerakan INF dan sebaliknya, INF tidak siginifikan dalam
memengaruhi pergerakan YGAP. Sedangkan untuk kawasan ASEAN+6, terdapat
hubungan kausalitas satu arah di dalam hubungan variabel YGAP dan INF (2
lag), dimana YGAP secara signifikan memiliki pengaruh terhadap pergerakan
INF dan tidak sebaliknya, INF tidak signifikan dalam memengaruhi pergerakan
YGAP. Namun, untuk kawasan tersebut pada 4 lag, terdapat hubungan kausalitas
satu arah, dimana INF dapat memengaruhi pergerakan YGAP.
Hipotesis nol untuk baris ketiga dan keempat adalah GGFCE tidak
memengaruhi INF dan INF tidak memengaruhi GGFCE. Tabel 4.2. secara umum
menunjukkan untuk kasus seluruh kawasan (ASEAN, ASEAN+3, dan
ASEAN+6), terdapat hubungan kausalitas dua arah di dalam hubungan variabel
GGFCE dan INF, dimana GGFCE secara signifikan memiliki pengaruh terhadap
pergerakan INF dan sebaliknya, INF secara signifikan memiliki pengaruh
terhadap pergerakan GGFCE. Hal senada pun terjadi pada baris kelima dan
keenam, dimana hipotesis nol untuk kedua baris tersebut adalah DNEER tidak
memengaruhi INF dan INF tidak memengaruhi DNEER. Hasil uji kausalitas
secara umum menampilkan untuk kasus seluruh kawasan, terdapat hubungan
kausalitas dua arah dalam hubungan variabel DNEER dan INF, dimana DNEER
secara signifikan memiliki pengaruh terhadap pergerakan INF dan sebaliknya,
INF secara signifikan memiliki pengaruh terhadap pergerakan DNEER.
Hipotesis nol untuk dua baris terakhir adalah IR tidak memengaruhi INF
dan INF tidak memengaruhi IR. Secara umum untuk kasus seluruh kawasan
(ASEAN, ASEAN+3, dan ASEAN+6), hanya terdapat hubungan kausalitas satu
arah di dalam hubungan variabel IR dan INF, dimana INF secara signifikan
61
memiliki pengaruh terhadap pergerakan IR dan tidak sebaliknya, IR tidak
signifikan dalam memengaruhi pergerakan INF.
Berdasarkan hasil pengujian dan penjelasan di atas didapatkan informasi
bagaimana hubungan variabel-variabel penelitian dengan tingkat inflasi di
kawasan ASEAN, ASEAN+3, dan ASEAN+6. Hasil Granger Causality Test yang
dilakukan dapat diketahui bagaimana hubungan kausalitas diantara variabelvariabel yang akan diuji pada penelitian ini, baik satu arah maupun dua arah dari
masing-masing variabel sebelum masuk ke dalam pembahasan hasil estimasi.
Estimasi selanjutnya yang dilakukan pada penelitian ini akan didasarkan pada
metodologi terdahulu yang penulis gunakan sebagai acuan penelitian.
4.3.2. Hasil Estimasi Konvergensi Inflasi
Estimasi kedua dalam penelitian ini adalah mengestimasi apakah
konvergensi tingkat inflasi terjadi di negara-negara ASEAN+6 serta apakah suku
bunga nominal dan nilai tukar efektif nominal mendukung dan berpengaruh dalam
pembentukan konvergensi inflasi di kawasan tersebut. Dalam rangka menciptakan
integrasi keuangan moneter di kawasan ASEAN+6, salah satu syarat yang harus
dipenuhi adalah konvergensi kebijakan makroekonomi diantara negara-negara
yang akan berpartisipasi dalam monetary union (Krugman dan Obstfeld, 2000).
Menurut Kocenda dan Papell (1997) bahwa konvergensi tingkat inflasi merupakan
bagian dari Kriteria Konvergensi Maastricth (Maastricth Treaty Convergence)
dan menjadi syarat dalam membentuk mata uang tunggal dalam suatu kawasan
regional. Konvergensi inflasi yang terbentuk di negara-negara ASEAN+6 akan
memberikan sebuah peluang bagi negara-negara anggota yang tergabung untuk
mewujudkan integrasi ekonomi di kawasan Asia. Sehingga jika integrasi ekonomi
62
di kawasan Asia terwujud, maka akan tercipta pembangunan dan pertumbuhan
yang simetrik di masing-masing negara anggota. Selain itu, transaksi perdagangan
dan keuangan diantara negara-negara yang bergabung akan semakin mendalam
dan mampu bersaing dengan negara diluar kawasan.
Tabel 4.3. menyajikan hasil estimasi koefisien tingkat konvergensi inflasi
di negara-negara ASEAN+6. Dengan menggunakan System-Generalized Method
of Moments (SYS-GMM) dalam estimasi twostep noconstant dari Stata 10.0,
diperoleh koefisien sebesar 0.303 dan siginifikan pada taraf nyata 1 persen.
Kemudian untuk variabel suku bunga nominal dan nilai tukar efektif nominal juga
signifikan pada taraf nyata 1 persen. Konsistensi dan validitas estimasi juga
ditunjukkan oleh hasil estimasi Arellano-Bond (AB) dan estimasi sargan. Hasil
estimasi AB ditunjukkan oleh nilai statistik m1 (-2.6393) yang signifikan pada
taraf nyata 5 persen dan nilai statistik m2 (-1.596) yang tidak signifikan pada taraf
nyata 1 persen, 5 persen, maupun 10 persen. Tidak signifikansi nya statistik m2
mengindikasikan kurangnya second order serial correlation di dalam residual dari
pembedaan spesifikasi, sehingga penduga dikatakan konsisten. Sedangkan nilai
statistik dari uji sargan sebesar 10.12008 dengan probabilitas 1.000 yang tidak
signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen, maupun 10 persen. Hasil estimasi
sargan menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antar residu dan over-identifying
restrictions mendeteksi tidak ada masalah dengan validitas instrumen.
Kesempurnaan hasil estimasi dari panel dinamis juga harus bersifat tidak
bias (unbiased), dimana hal tersebut dapat terlihat dari koefisien hasil estimasi
berada di atas efek (fixed effect) dan di bawah estimasi OLS (ordinary least
square). Namun, pada penelitian ini asumsi tersebut tidak terpenuhi, dimana nilai
63
estimasi dari koefisien fixed effect tidak signifikan, sehingga dapat dikatakan
instrumen yang digunakan pada model panel dinamis ini adalah bias (biased) atau
instrumen bersifat lemah. Verbeek (2004) menyatakan bahwa penduga yang bias
dapat terjadi jika instrumen hanya memerlihatkan hubungan atau korelasi yang
lemah dengan regresi endogen.
Tabel 4.3. Hasil Estimasi Konvergensi Inflasi dengan System-Generalized
Method of Moments (SYS-GMM)
Parameter
Estimated
Coefficients
Standard Error
P>|z|
L.inf*
L.dneer
ir
.3030889
-.1190496
.2507348
.0817897
.0116217
.0597086
0.000
0.000
0.000
Pooled Least Square
L.inf*
.5100634
.0800902
0.000
Fixed Effect
L.inf*
-.0240941
.1052813
0.820
SYS-GMM
AB Test
Arellano-Bond m 1
Arellano-Bond m 2
z
-2.6393
-1.596
Prob > z
0.0083
0.1105
chi2(43)
= 10.12008
Prob > chi2 = 1.0000
Sargan Test
Berdasarkan hasil estimasi dan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa berdasarkan nilai koefisien yang lebih kecil dari pada satu terjadi
konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6 atau dengan kata lain inflasi di
negara-negara
ASEAN+6
adalah
konvergen
pada
periode
2000-2009.
64
Konvergensi inflasi yang terjadi di kawasan ASEAN+6 menunjukkan bahwa
selisih inflasi antara inflasi suatu negara dengan rata-rata inflasi kawasan tersebut
semakin kecil dari waktu ke waktu. Selain itu, konvergensi inflasi di kawasan
tersebut dapat memberikan gambaran apakah kebijakan moneter yang diterapkan
oleh masing-masing negara berperan dalam membawa tingkat inflasi menjadi
konvergen dan berpengaruh pula terhadap kebijakan ekonomi yang akan diambil
oleh negara-negara yang bersangkutan. Lebih lanjut lagi, konvergensi inflasi yang
terjadi di kawasan ASEAN+6 dapat mengarahkan tujuan kebijakan moneter di
masing-masing negara menjadi seragam (Hyvonen, 2004). Apabila tidak ada
konvergensi dalam kebijakan ekonomi seperti halnya konvergensi inflasi, maka
negara-negara yang tergabung ASEAN+6 akan menghasilkan respon kebijakan
yang mungkin saling bertolak belakang dan pada akhirnya akan mengganggu
stabilitas keuangan regional.
Konvergensi inflasi yang terjadi di negara-negara ASEAN+6 pada periode
2000-2009 juga didukung oleh variabel suku bunga nominal dan nilai tukar efektif
nominal
yang
berpengaruh
nyata
dan
signifikan
dalam
memengaruhi
pembentukan konvergensi inflasi di kawasan ASEAN+6. Hal tersebut
menjelaskan bahwa pergerakan dan perkembangan kedua variabel tersebut
mampu mendorong inflasi di negara-negara ASEAN+6 kearah yang lebih
konvergen pada periode estimasi. Pengaruh suku bunga nominal dan nilai tukar
efektif nominal terhadap konvergensi inflasi di ASEAN+6 membuat semakin
penting pula pengendalian kebijakan moneter untuk kedua variabel tersebut agar
pergerakan keduanya tidak memberikan dampak atau guncangan negatif terhadap
pergerakan inflasi di negara-negara ASEAN+6.
65
4.3.3. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi
Berdasarkan hasil estimasi pada bagian dua menyatakan bahwa
konvergensi inflasi telah terbentuk di negara-negara ASEAN+6 serta diketahui
variabel suku bunga nominal dan nilai tukar efektif nominal mendukung serta
memengaruhi pembentukan konvergensi inflasi di kawasan tersebut. Pada
pembahasan ketiga, penelitian ini melakukan estimasi faktor-faktor yang
memengaruhi tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6. Sejalan dengan
kompleksitas hubungan inflasi dengan variabel makroekonomi lainnya yang telah
diuraikan sebelumnya, maka sangat penting untuk mengidentifikasi perilaku
inflasi, khususnya di negara-negara ASEAN+6.
Pengujian variabel untuk estimasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat
inflasi dilakukan dengan menggunakan Arellano-Bond Generalized Method of
Moments (AB-GMM) dalam estimasi twostep noconstant. Hasil estimasi disajikan
dalam bentuk Tabel 4.4.. Secara umum, metode estimasi dalam model data panel
dinamis menunjukkan hasil estimasi yang cukup baik, hal ini terlihat dari tingkat
signifikansi dan tanda koefisien estimasi hampir seluruhnya sesuai dengan
harapan teoritis. Variabel lag dependen, output gap, nilai tukar efektif nominal,
dan suku bunga nominal memiliki tingkat signifikansi pada taraf nyata 1 persen,
sedangkan variabel pengeluaran konsumsi pemerintah (General Government
Final Consumption Expenditure) tidak berpengaruh nyata atau tidak signifikan
dalam memengaruhi tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6.
66
Tabel 4.4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi dengan
Arellano-Bond Generalized Method of Moments (AB-GMM)
inf
Estimated
Coefficients
Standard Error
P>|z|
L.inf
ygap
d
L.dneer
ir
-.4238566
.2269112
-.2086316
-.0599378
.3236523
.0660577
.0797716
.2025061
.0115525
.0678454
0.000
0.004
0.303
0.000
0.000
Pooled Least Square
L.inf
.1570829
.0900758
0.084
Fixed Effect
L.inf
-.1404236
.0989548
0.160
AB Test
Arellano-Bond m 1
Arellano-Bond m 2
Sargan Test
z
-2.0553
-.91807
Prob > z
0.0399
0.3586
chi2(35)
= 7.421337
Prob > chi2 = 1.0000
Jika dilihat dari konsistensi estimasi yang ditunjukkan oleh hasil ArellanoBond (AB) dengan nilai statistik m1 (-2.0553) yang signifikan pada taraf nyata 5
persen dan nilai statistik m2 (-.91807) yang tidak signifikan pada taraf nyata 1
persen, 5 persen, maupun 10 persen, maka penduga dikatakan konsisten. Selain
itu, validitas instrumen model dinamis dari faktor-faktor yang memengaruhi
inflasi ini dilihat dari estimasi sargan dengan nilai statistik sebesar 7.421337 dan
nilai probabilitas sebesar 1.000 yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5
persen, maupun 10 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada korelasi
antar residu dan over-identifying restrictions mendeteksi tidak ada masalah
67
dengan validitas instrumen. Kesempurnaan hasil estimasi dari panel dinamis juga
harus bersifat tidak bias (unbiased), dimana hal tersebut dapat terlihat dari
koefisien hasil estimasi berada di atas efek (fixed effect) dan di bawah estimasi
OLS (ordinary least square). Namun, pada penelitian ini asumsi tersebut tidak
terpenuhi, dimana nilai estimasi dari koefisien AB-GMM berada di bawah
koefisien estimasi fixed effect, sehingga dapat dikatakan estimasi model dinamis
ini adalah bias (biased) atau instrumen yang digunakan masih lemah. Penduga
AB-GMM dapat mengandung bias pada sampel terbatas (berukuran kecil), hal
tersebut dapat terjadi ketika tingkat lag (lagged level) dari deret berkorelasi secara
lemah dengan first-difference berikutnya, sehingga instrumen yang tersedia untuk
persamaan first-difference lemah (Blundell & Bond, 1998). Verbeek (2004)
menyatakan bahwa penduga yang bias dapat terjadi jika instrumen hanya
memerlihatkan hubungan atau korelasi yang lemah dengan regresi endogen.
Secara keseluruhan hasil estimasi di atas telah memberikan informasi
tentang faktor-faktor yang memengaruhi tingkat inflasi di negara-negara
ASEAN+6. Pembahasan selanjutnya akan secara fokus membahas variabelvariabel yang signifikan atau berpengaruh nyata dalam memengaruhi tingkat
inflasi, serta bagaimana regresor memengaruhi variabel dependen sesuai dengan
hasil estimasi yang disajikan pada Tabel 4.4.. Variabel-variabel tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut:
4.3.3.1. Variabel Lag Dependent (Inflasi)
Berdasarkan hasil estimasi yang disajikan pada Tabel 4.4., diperoleh
koefisien dari variabel lag dependent (inflasi) bertanda negatif, yaitu sebesar 0,424. Nilai koefisien tersebut menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan inflasi
68
pada periode atau tahun sebelumnya sebesar 1 persen, cateris paribus, akan
direspon oleh penurunan inflasi sebesar 0,424 persen, begitu juga sebaliknya.
Hubungan negatif ini merupakan respon dari kebijakan moneter di negara-negara
ASEAN+6 untuk dapat mengendalikan laju inflasi dan menstabilkan kondisi
makroekonomi di masing-masing negara. Kebijakan moneter yang diterapkan
oleh otoritas moneter di negara-negara ASEAN+6 diarahkan kepada pencapaian
pentargetan inflasi, dan berusaha menurunkan atau mengendalikan pergerakan
inflasi di masa mendatang untuk berada pada tingkat yang rendah dan stabil.
Fleming (1971) dalam Mongelli (2008) ketika laju inflasi antar negara di dalam
suatu kawasan berada pada tingkat yang rendah dan stabil dari waktu ke waktu,
maka kondisi tersebut juga akan diikuti oleh kestabilan perdagangan di negaranegara tersebut.
Kenaikan inflasi pada periode atau tahun sebelumnya menjadi sebuah
tanggung jawab pemerintah di negara-negara ASEAN+6 untuk mampu menekan
pergerakan laju inflasi agar tidak terlalu tinggi. Sebagian negara anggota
ASEAN+6 memilih untuk menggunakan kerangka kebijakan moneter Inflation
Targeting (IT) dalam menstabilkan kondisi ekonomi di negaranya. Seperti halnya
Thailand, New Zealand, Korea Selatan, Filipina, Australia, dan Indonesia memilih
konsep Inflation Targeting Framework (ITF) untuk menekan dan menurunkan
tingkat inflasi. Kebijakan moneter yang ditempuh oleh negara-negara tersebut
sebagai langkah antisipatif untuk mencapai sasaran inflasi yang akan ditetapkan di
masa yang akan datang. Selain itu, kebijakan moneter yang dilakukan berorientasi
pada kondisi masa depan, karena fakta empiris menunjukkan bahwa terdapat
tenggang waktu dari pengaruh perkembangan suatu variabel ekonomi terhadap
69
variabel lain (Nuryati, 2004). Kebijakan Inflation Targeting yang dilakukan
memiliki tingkat fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan moneter, dan
memfokuskan pada kestabilan tingkat inflasi dalam jangka panjang, sehingga
ketika terjadi peningkatan inflasi pada periode sebelumnya secara langsung
otoritas moneter akan berusaha menekan tingkat inflasi pada kondisi yang rendah
dan stabil. Dalam jangka panjang tingkat inflasi yang rendah dan stabil akan
menjadi kunci pembentukan konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6 dan
pada akhirnya akan mampu mendorong perekonomian dan pertumbuhan di
kawasan tersebut menjadi lebih konsisten atau menuju kekonsistenan.
4.3.3.2. Variabel Output Gap
Berdasarkan hasil estimasi yang telah dijelaskan sebelumnya, diperoleh
koefisien dari variabel output gap bertanda positif, yaitu sebesar 0,227. Nilai
koefisien tersebut menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan output gap sebesar
1 persen, cateris paribus, akan direspon oleh peningkatan inflasi sebesar 0,227
persen, begitu juga sebaliknya. Secara teoritis, perkembangan inflasi merespon
perkembangan output gap, dalam artian peningkatan output gap akan mendorong
peningkatan inflasi, dan sebaliknya. Hal ini memberikan penjelasan bahwa
perekonomian yang tumbuh melebihi potensialnya cenderung memberikan
tekanan ke atas pada tingkat harga. Koefisien output gap yang bernilai positif
merupakan dampak inflatoir dari perekonomian yang tumbuh melebihi
potensialnya akan terus terjadi pada periode berikutnya (Fauzi, 2007). Hasil
estimasi sejalan dengan penelitian yang dilakukan Honohan dan Lane (2003)
dimana output gap dapat memengaruhi tingkat inflasi di negara-negara Eropa.
Selain itu, hal senada pun diungkapkan oleh Werdaningtyas (2004) dalam kondisi
70
inflationary gap, apabila pendapatan aktual mengalami kenaikan, maka output
gap semakin besar, sehingga dampaknya tingkat harga juga mengalami kenaikan.
Output gap
selalu menjadi faktor penting dalam memengaruhi
perkembangan tingkat inflasi (Angeloni dan Ehrmann, 2004). Hubungan positif
antara output gap dan tingkat inflasi telah terbukti memengaruhi pergerakan
tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6. Respon positif inflasi terhadap output
gap mengindikasikan jika perekonomian di negara-negara ASEAN+6 dalam
kondisi booming akan mendorong kenaikan tingkat inflasi di kawasan tersebut.
Begitupun sebaliknya, jika perekonomian dalam kondisi resesi, permintaan faktor
produksi relatif kecil dan kemudian akan menurunkan tingkat inflasi. Variabel
output gap juga dapat merefleksikan siklus bisnis dalam suatu kawasan, seperti
halnya di negara-negara ASEAN+6, sehingga pemilihan kebijakan moneter atau
fiskal di kawasan tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi inflationary gap atau
deflationary gap. Pengelolaan stabilitas makroekonomi menjadi hal yang sangat
penting, karena guncangan yang terjadi cenderung akan mendorong perubahan
dalam jangka waktu lebih lama.
Hubungan positif antara output gap dengan tingkat inflasi di negara-negara
ASEAN+6 juga dapat terlihat pada Gambar 4.4a. dan Gambar 4.4b. yang
ditampilkan sebelumnya. Secara keseluruhan, perkembangan output gap dan
inflasi di negara-negara ASEAN+6 memiliki pola interaksi yang variatif, dimana
output gap dapat memengaruhi pergerakan tingkat inflasi. Implikasinya adalah
dengan semakin kuatnya pengaruh tekanan ekonomi yang tercermin oleh
perkembangan output gap pada pergerakan tingkat inflasi di negara-negara
ASEAN+6, maka semakin penting pula peranan pertumbuhan ekonomi sebagai
71
salah satu indikator sasaran akhir kebijakan makro-moneter. Sensitivitas inflasi
terhadap perkembangan output gap mengharuskan negara-negara ASEAN+6
merumuskan kerangka kebijakan moneter yang didasarkan pada pencapaian
sasaran tunggal stabilitas harga, baik kondisi saat kini maupun dimasa yang akan
datang. Pengelolaan kebijakan moneter yang tepat dan diimbangi oleh kebijakan
fiskal dari pemerintah di masing-masing negara akan mampu memberikan
dampak positif dan keseimbangan ekonomi bagi perekonomian di negara-negara
ASEAN+6.
Penelitian Solikin (2004) menjelaskan bahwa ketidaklinieran atau asimetri
hubungan antara kegiatan ekonomi dan tingkat inflasi memiliki implikasi penting
pada kebijakan pengelolaan sisi penawaran (supply-management policies) dan
kebijakan pengelolaan sisi permintaan (demand-management policies). Jika
dilihat dari sisi penawaran pemerintah negara-negara ASEAN+6 dapat membuat
kebijakan dengan membatasi sebagian pengaruh shock positif pada sisi
penawaran, sehingga pencapaian pertumbuhan output tidak menimbulkan inflasi.
Sedangkan dari sisi permintaan dapat dilakukan dengan merespon shocks pada sisi
permintaan (demand side). Agar target inflasi rendah dan stabil yang ditetapkan
oleh otoritas moneter di negara-negara ASEAN+6 dapat terealisasi, maka rata-rata
output riil harus diupayakan untuk berada pada kondisi di bawah tingkat
potensialnya. Implikasi dari kondisi tersebut adalah dalam hal output riil berada di
atas tingkat potensialnya, maka terdapatnya insentif bagi pengambil kebijakan di
negara-negara ASEAN+6 (pemerintah atau otoritas moneter) untuk mempercepat
respon terhadap terjadinya gejala awal inflasi, yaitu saat terjadinya shocks positif
pada permintaan agregat di negara-negara tersebut.
72
4.3.3.3. Variabel Nominal Effective Exchange Rate (NEER)
Variabel selanjutnya yang berpengaruh signifikan dalam memengaruhi
tingkat inflasi di negara-negara ASEAN+6 adalah nilai tukar efektif nominal.
Koefisien dari variabel nilai tukar bertanda negatif, yaitu sebesar -0,0599. Nilai
koefisien tersebut menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan (apresiasi) nilai
tukar efektif nominal pada periode atau tahun sebelumnya sebesar 1 persen,
cateris paribus, akan direspon oleh penurunan inflasi sebesar 0,0599 persen,
begitu juga sebaliknya. Penelitian Honohan dan Lane (2003) dengan
menggunakan metode system GMM, nilai tukar efektif nominal secara signifikan
berpengaruh terhadap perkembangan tingkat inflasi di negara-negara Eropa.
Darussalam (2010) suatu negara yang menyerahkan nilai tukarnya kepada pasar,
berarti memberikan keleluasaan kepada aliran modal dan perdagangan
internasional, sehingga nilai tukar dan harga-harga akan bergerak dengan
keterkaitan yang erat. Namun, pergerakan naik turunnya tingkat inflasi yang
disebabkan oleh nilai tukar juga dapat terjadi karena adanya intervensi kebijakan
pemerintah dalam rangka menstabilkan mata uang agar tidak terlalu kuat ataupun
terlalu lemah.
Nilai tukar menjadi salah satu faktor penting dalam mengelola
perkembangan tingkat inflasi. Hal ini dikarenakan nilai tukar memiliki reaksi yang
lebih instan, lebih volatile dan efek guncangan lebih besar dibandingakan dengan
variabel ekonomi lainnya (Rahutami, 2007). Hasil estimasi pada penelitian ini
juga dapat dijelaskan bahwa apabila terjadi depresiasi di negara-negara
ASEAN+6 akan diikuti laju inflasi yang tinggi. Secara teoritis, dampak yang
paling besar dari depresiasi mata uang domestik di suatu negara dapat
73
memengaruhi tingkat harga secara langsung melalui barang-barang impor yang
dibayarkan konsumen domestik.
Pengaruh tidak langsung dari depresiasi mata uang dapat dilihat dari harga
barang-barang modal yang diimpor oleh produsen sebagai input. Melemahnya
nilai tukar akan mengakibatkan harga input yang digunakan semakin mahal,
sehingga berimplikasi kepada biaya produksi semakin tinggi. Kenaikan biaya
produksi akan diikuti oleh kenaikan harga output dan beban dari kenaikan harga
output tersebut akan dibebankan kepada konsumen. Pada akhirnya, tingkat harga
di negara yang bersangkutan secara agregat meningkat dan menimbulkan inflasi.
Selain itu, mekanisme transmisi nilai tukar selalu menekankan bahwa pergerakan
nilai tukar dapat memengaruhi perkembangan penawaran dan permintaan agregat,
selanjutnya berpengaruh ke output dan harga (Nuryati, 2004). Apabila terjadi
guncangan pada nilai tukar, maka dampak yang akan ditimbulkan akan mampu
memengaruhi seluruh elemen dan pelaku ekonomi di negara tersebut atau bahkan
memberikan dampak negatif bagi negara-negara dalam sebuah kawasan regional.
Depresiasi atau apresiasi
nilai tukar
yang terjadi akan menyebabkan
keseimbangan harga di negara-negara ASEAN+6 menjadi tidak stabil, sehingga
kebijakan nilai tukar yang diterapkan di masing-masing negara harus bisa
menjaga tingkat inflasi agar tetap berada pada tingkat yang rendah dan stabil.
4.3.3.4. Variabel Suku Bunga Nominal
Variabel terakhir yang memengaruhi tingkat inflasi di negara-negara
ASEAN+6 adalah tingkat suku bunga nominal. Koefisien dari variabel suku
bunga bertanda positif, yaitu sebesar 0,324. Nilai koefisien tersebut menjelaskan
bahwa jika terjadi peningkatan suku bunga nominal sebesar 1 persen, cateris
74
paribus, akan direspon oleh peningkatan inflasi sebesar 0,324 persen, begitu juga
sebaliknya. Hasil estimasi ini sesuai dengan hipotesis fisher, dimana terdapat
hubungan positif antara suku bunga nominal dengan tingkat inflasi. Hal tersebut
mengindikasikan jika di negara-negara ASEAN+6 memiliki tingkat bunga
nominal yang tinggi cenderung diikuti oleh tingkat inflasi yang tinggi pula, begitu
pun sebaliknya, tingkat bunga nominal yang rendah cenderung diikuti oleh tingkat
inflasi yang rendah.
Fama (1975) dalam Mitchell-Innes (2006) mendukung dan membuktikan
hipotesis fisher yaitu tingkat suku bunga nominal dapat memberikan informasi
mengenai kondisi inflasi di masa mendatang. Tingginya suku bunga akan
menyebabkan harga-harga secara keseluruhan meningkat atau mengalami
kenaikan dan terjadinya inflasi. Hal tersebut dikarenakan biaya bunga akan
menjadi beban atau tangung jawab produsen atau pengusaha, dimana suku bunga
yang tinggi akan menyebabkan semakin besar pula biaya atas modal, seperti
tenaga kerja (faktor produksi) yang selanjutnya akan meningkatkan biaya
produksi. Suku bunga secara langsung memengaruhi pasar kredit (pinjaman),
karena dengan tingginya suku bunga membuat pinjaman menjadi lebih mahal.
Perkembangan suku bunga dan inflasi di negara-negara ASEAN+6 dapat terlihat
pada Gambar 4.5a. dan Gambar 4.5b.. Secara umum laju inflasi selalu mengikuti
perkembangan tingkat suku bunga nominal.
Penelitian Gul dan Ekinci (2006) juga memperkuat dan mendukung hasil
penelitian ini, dimana dari hasil penelitiannya ditemukan bagaimana suku bunga
nominal dapat memengaruhi tingkat inflasi dalam jangka panjang. Selain itu,
penelitian Gul dan Ekinci juga membuktikan bagaimana suku bunga nominal
75
memainkan peran penting dalam perkembangan inflasi di suatu negara. Implikasi
dari meningkatnya suku bunga nominal yang pada akhirnya diikuti oleh
peningkatan tingkat inflasi, mengharuskan negara-negara ASEAN+6 untuk dapat
menyelaraskan pencapaian tingkat suku bunga dan tingkat inflasi pada kondisi
optimal. Jika terjadi perubahan pada tingkat suku bunga nominal dan tidak
dikelola dengan baik, maka dalam jangka panjang kondisi tersebut akan
menimbulkan tekanan negatif kepada para produsen atau pengusaha sehingga
kondisi tersebut dapat merugikan perekonomian secara keseluruhan.
76
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan dalam penulisan skripsi ini,
maka hasil penelitian konvergensi inflasi dan faktor-faktor yang memengaruhi di
negara-negara ASEAN+6 dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Dengan menggunakan analisis System-Generalized Method of Moments
(SYS-GMM) dalam estimasi twostep noconstant, ternyata didapatkan hasil
estimasi nilai koefisien yang lebih kecil dari pada satu, sehingga terjadi
konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6 atau dengan kata lain
inflasi di negara-negara ASEAN+6 adalah konvergen pada periode 20002009. Selain itu, variabel suku bunga nominal dan nilai tukar efektif
nominal mendukung dan berpengaruh nyata dalam pembentukan
konvergensi inflasi di negara-negara ASEAN+6.
2. Pengujian variabel pada estimasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat
inflasi di kawasan ASEAN+6 dilakukan dengan menggunakan ArellanoBond Generalized Method of Moments (AB-GMM) dalam estimasi
twostep noconstant. Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa
signifikansi pengaruh variabel makroekonomi, seperti lag dependent
(inflasi), output gap, nilai tukar efektif nominal, dan suku bunga nominal
menunjukkan berpengaruh terhadap pergerakan tingkat inflasi di negaranegara ASEAN+6. Sedangkan variabel pengeluaran konsumsi pemerintah
(General Government Final Consumption Expenditure) tidak berpengaruh
77
nyata atau tidak signifikan dalam memengaruhi pergerakan tingkat inflasi
di negara-negara ASEAN+6.
5.2.
Saran
Pentingnya konvergensi inflasi sebagai salah satu syarat bagi negara-
negara yang akan berpartisipasi dalam monetary union, membuat negara-negara
yang tergabung dalam ASEAN+6 harus mampu menjaga dan mengendalikan
pergerakan inflasi. Efektivitas pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter dengan
sasaran tunggal stabilitas harga akan sangat bergantung pada sejauhmana
komitmen (kredibilitas) bank sentral di negara-negara ASEAN+6 dalam
mengupayakan perkembangan inflasi yang rendah dan stabil dalam kurun waktu
tertentu. Kredibilitas kebijakan moneter dalam pengendalian inflasi memerlukan
koordinasi yang kuat antara otoritas moneter (Bank Sentral) dan pemerintah di
negara-negara ASEAN+6 agar target inflasi yang rendah dan stabil dapat tercapai,
serta diikuti dengan pergerakan laju inflasi yang seragam di kawasan tersebut.
Selain itu, pemerintah negara-negara ASEAN+6 harus responsif dalam merespon
perkembangan faktor-faktor yang memengaruhi pergerakan laju inflasi di negara
masing-masing.
Dalam penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan data bulanan
atau kuartalan dan memasukkan variabel-variabel makroekonomi lain yang terkait
dengan inflasi, sehingga hasil yang akan diperoleh lebih informatif. Selain itu,
penelitian selanjutnya juga dapat mengikutsertakan negara-negara anggota
ASEAN lainnya, sehingga hasil estimasi dapat menghasilkan informasi secara
menyeluruh.
78
DAFTAR PUSTAKA
Achsani, N. A. 2008. “Integrasi Ekonomi ASEAN+3: Antara Peluang dan
Ancaman”.
[Brighten
Institute].
http://www.brighten.or.id/index.php?option=com_content&view=category
&layout=blog&id=40&itemid=77 [21 Agustus 2008].
Alamsyah H, Josep C, Agung J, Zulverdy D. 2001. Toward Implementation of
Inflation Targeting in Indonesia. Bulletin of The Indonesian Economics
Studies 37: 309-324.
Alvarez, Fernando., Lucas Robert E, Weber Warren E. 2001. Interest Rate and
Inflation. Working Paper 609: 2-15.
Angeloni, Ignazio and Michael Ehrmann. 2004. Euro Area Inflation
Differentials. Working Paper No.388/September 2004. European Central
Bank.
Andersson, M., K. Masuch., dan M. Schiffbauer. 2009. Determinant of Inflation
and Price Level Differentials Across the Euro Area Countries. Working
Paper Series No. 1129.
Baltagi, B. H. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. Third Edition. British
Library Cataloguing in Publication Data.
Blundell R, Bond S. 1998. GMM Estimation with Persistent Panel Data: an
application to production functions. The institute for fiscal study working
papers series w99/4.
Bureau of Labor Statistics. 2004. Understanding the Consumer Price Index:
Answers to Some Questions. U.S. Department of Labor Bureau of Labor
Statistics August 2004 (Revised).
Busetti, F., L. Forni., A. Harvey., dan F. Venditti. 2006. “Inflation Convergence
and Divergence Within the European Monetary Union”. Working Paper
Series No. 574.
Darussalam, Bayu. 2010. Analisis Penerapan Nilai Tukar ASIAN Currency Unit
(ACU) di Kawasan ASEAN+3 [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Depdagri. 2008. Menuju ASEAN Economic Community 2015. Blue Print.
Fauzi, A. J. F. A. 2007. Analisis Komparatif Keterkaitan Inflasi dengan Nilai
Tukar Riil di Kawasan Asia (ASEAN+3) dan Non Asia (Uni Eropa,
Amerika Utara) [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
79
Gul E, Aykut E. 2006. The Causal Relationship between Nominal Interest Rate
and Inflation: The Case of Turkey. Scientific Journal od Administrative
Development Vol. 4.
Hanie. 2006. Analisis Konvergensi Nominal dan Riil Diantara Negara-negara
ASEAN-5, Jepang, dan Korea Selatan [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Holmes, M. J. 2008. “Has the Euro Era Facilitated Inflation Convergence?”
Journal of International and Global Economics Studies: 27-33.
Honohan, P. dan P. Lane. 2003. Divergent Inflation in EMU. Economic Policy.
Indra. 2009. Analisis Hubungan Intensitas Energi dan Pendapatan Perkapita:
Studi Komparatif di Sepuluh Negara Asia Pasifik [Tesis]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Kawai, Masahiro. 2007. ASEAN+3 or ASEAN+6: Which Way Forward?. Asian
Development Bank Institute. Geneva, Switzerland.
Kocenda, E. dan Papell, H. David. 1997. “Inflation Convergence within the
European Union: A Panel Data Analysis”. Centre for Economic Research
: 1-7.
Lipsey, R. G. dan Peter D. S. 1995. Pengantar Makroekonomi. Agus Maulana
[penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta.
Mankiw, N. G. 2003. Teori Makroekonomi. Edisi Kelima. Erlangga, Jakarta.
Mishkin, F. S. 2004. The Economics of Money, Banking, and Financial Market,
Seventh Edition. Addison Wesley, New York.
Mongelli, F. P. 2008. European Economic And Monetary Integration and The
Optimum Currency Area Theory. Economic Paper 302.
Moosa, Imad A. 2004. International Finance, An Analytical Approach. 2nd
edition. La Trobe University. McGraw Hill. Australia.
Ningsih, Ratna. 2010. Analisis Keterkaitan Dinamis Inflasi di Negara-Negara
ASEAN+6 [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Nugraha, F. W. 2006. Efek Perubahan (Pass-Through Effect) Kurs Terhadap
Indeks Harga Konsumen di ASEAN-5, Jepang dan Korea Selatan
[skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Nugraheni, Siwi. 1997. Suku Bunga, Inflasi dan High Cost Economy. Bina
Ekonomi edisi Juli 1997.
80
Nuryati, Yati. 2004. Pelaksanaan Kebijakan Moneter Pentargetan Inflasi di
Indonesia [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Rabe-Hesketh S, Everitt B. 2004. A Handbook of Statistical Analyses using Stata.
Third Edition. Library of Congress Cataloging-in-Publication Data.
Rahutami, Ika Angelina. 2007. Inflation Targeting: Mengapa Diperlukan dan
Bagaimana Supaya Dapat Bekerja Dengan Lebih Baik. Buletin Ekonomi
Vol. 5 No. 2, Agustus 2007 hal 172-188.
Sasana, Hadi. 2004. Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Inflasi di
Indonesia dan Filipina (Pendekatan Error Correction Model). Jurnal
Bisnis dan Ekonomi, September 2004.
Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional (International Economic). Edisi kelima.
Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Schmidheiny, Kurt. 2008. A Short Guide to Stata 10 for Windows. Universitat
Pompeu Fabra.
Solikin. 2004. Kurva Phillips dan Perubahan Struktural di Indonesia:
Keberadaan, Pola Pembentukan Ekspektasi, dan Linieritas. Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 2004.
Susanto, Heri. 2005. Analisis Determinan Inflasi di Indonesia [skripsi]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Toh, Mun-Heng. 2009. ASEAN+6 as a Step toward an Asian Economic
Community. National University of Singapore.
Trihadmini, Nuning. 2004. Analisis Determinan Inflasi di Indonesia Periode
1988-2002 [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia.
Verbeek, Marno. 2004. A guide to modern econometrics. 2 nd Edition. Chichester:
john wiley & sons. Ltd.
Werdaningtyas, G. E. 2000. Kebijaksanaan Inggris (1992-1999) Terhadap Uni
Ekonomi dan Moneter: Faktor-Faktor yang Mendorong Penundaan
Inggris Untuk Bergabung Dalam Mata Uang Tunggal Eropa [tesis].
Jakarta: Universitas Indonesia.
81
LAMPIRAN
82
Lampiran 1. Hasil Granger Causality Test
Kasus Negara-Negara ASEAN
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:06
Sample: 2000 2009
Lags: 2
Null Hypothesis:
YGAP does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause YGAP
Obs
F-Statistic
Prob.
40
1.39905
0.50592
0.2603
0.6073
Obs
F-Statistic
Prob.
40
6.03351
3.03781
0.0056
0.0607
Obs
F-Statistic
Prob.
40
4.76625
5.80359
0.0148
0.0067
Obs
F-Statistic
Prob.
40
0.87135
6.89721
0.4273
0.0030
Obs
F-Statistic
Prob.
30
0.58658
1.40691
0.6759
0.2661
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:09
Sample: 2000 2009
Lags: 2
Null Hypothesis:
GGFCE does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause GGFCE
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:11
Sample: 2000 2009
Lags: 2
Null Hypothesis:
DNEER does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause DNEER
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:14
Sample: 2000 2009
Lags: 2
Null Hypothesis:
IR does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause IR
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:07
Sample: 2000 2009
Lags: 4
Null Hypothesis:
YGAP does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause YGAP
83
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:09
Sample: 2000 2009
Lags: 4
Null Hypothesis:
GGFCE does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause GGFCE
Obs
F-Statistic
Prob.
30
1.27176
1.60332
0.3125
0.2105
Obs
F-Statistic
Prob.
30
0.84212
1.30200
0.5141
0.3015
Obs
F-Statistic
Prob.
30
0.25678
1.43038
0.9022
0.2588
Obs
F-Statistic
Prob.
20
1.97102
0.72189
0.1977
0.6464
Obs
F-Statistic
Prob.
20
2.68966
0.88314
0.1108
0.5522
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:11
Sample: 2000 2009
Lags: 4
Null Hypothesis:
DNEER does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause DNEER
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:14
Sample: 2000 2009
Lags: 4
Null Hypothesis:
IR does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause IR
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:07
Sample: 2000 2009
Lags: 6
Null Hypothesis:
YGAP does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause YGAP
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:10
Sample: 2000 2009
Lags: 6
Null Hypothesis:
GGFCE does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause GGFCE
84
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:12
Sample: 2000 2009
Lags: 6
Null Hypothesis:
DNEER does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause DNEER
Obs
F-Statistic
Prob.
20
1.51198
2.83026
0.2991
0.0998
Obs
F-Statistic
Prob.
20
1.03842
0.96975
0.4734
0.5068
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:14
Sample: 2000 2009
Lags: 6
Null Hypothesis:
IR does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause IR
85
Kasus Negara-Negara ASEAN+3
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:18
Sample: 2000 2009
Lags: 2
Null Hypothesis:
YGAP does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause YGAP
Obs
F-Statistic
Prob.
64
2.38111
0.92089
0.1013
0.4038
Obs
F-Statistic
Prob.
64
5.93670
5.92562
0.0045
0.0045
Obs
F-Statistic
Prob.
64
4.83365
5.71830
0.0114
0.0054
Obs
F-Statistic
Prob.
64
1.38896
8.48185
0.2574
0.0006
Obs
F-Statistic
Prob.
48
0.18480
1.44596
0.9449
0.2373
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:19
Sample: 2000 2009
Lags: 2
Null Hypothesis:
GGFCE does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause GGFCE
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:20
Sample: 2000 2009
Lags: 2
Null Hypothesis:
DNEER does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause DNEER
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:22
Sample: 2000 2009
Lags: 2
Null Hypothesis:
IR does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause IR
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:18
Sample: 2000 2009
Lags: 4
Null Hypothesis:
YGAP does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause YGAP
86
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:20
Sample: 2000 2009
Lags: 4
Null Hypothesis:
GGFCE does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause GGFCE
Obs
F-Statistic
Prob.
48
1.73731
2.37307
0.1614
0.0689
Obs
F-Statistic
Prob.
48
1.40973
1.12378
0.2488
0.3593
Obs
F-Statistic
Prob.
48
0.58336
1.27989
0.6765
0.2945
Obs
F-Statistic
Prob.
32
1.41342
0.82581
0.2606
0.5641
Obs
F-Statistic
Prob.
32
2.79091
0.82518
0.0405
0.5646
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:21
Sample: 2000 2009
Lags: 4
Null Hypothesis:
DNEER does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause DNEER
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:23
Sample: 2000 2009
Lags: 4
Null Hypothesis:
IR does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause IR
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:19
Sample: 2000 2009
Lags: 6
Null Hypothesis:
YGAP does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause YGAP
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:20
Sample: 2000 2009
Lags: 6
Null Hypothesis:
GGFCE does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause GGFCE
87
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:21
Sample: 2000 2009
Lags: 6
Null Hypothesis:
DNEER does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause DNEER
Obs
F-Statistic
Prob.
32
1.25402
3.73493
0.3240
0.0127
Obs
F-Statistic
Prob.
32
1.86749
0.30551
0.1393
0.9263
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:23
Sample: 2000 2009
Lags: 6
Null Hypothesis:
IR does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause IR
88
Kasus Negara-Negara ASEAN+6
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:27
Sample: 2000 2009
Lags: 2
Null Hypothesis:
YGAP does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause YGAP
Obs
F-Statistic
Prob.
88
2.81798
0.65627
0.0655
0.5215
Obs
F-Statistic
Prob.
88
3.97605
6.10845
0.0224
0.0034
Obs
F-Statistic
Prob.
88
4.19549
4.98914
0.0184
0.0090
Obs
F-Statistic
Prob.
88
1.75153
7.40279
0.1799
0.0011
Obs
F-Statistic
Prob.
66
0.48242
2.15523
0.7485
0.0857
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:28
Sample: 2000 2009
Lags: 2
Null Hypothesis:
GGFCE does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause GGFCE
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:29
Sample: 2000 2009
Lags: 2
Null Hypothesis:
DNEER does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause DNEER
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:31
Sample: 2000 2009
Lags: 2
Null Hypothesis:
IR does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause IR
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:27
Sample: 2000 2009
Lags: 4
Null Hypothesis:
YGAP does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause YGAP
89
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:28
Sample: 2000 2009
Lags: 4
Null Hypothesis:
GGFCE does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause GGFCE
Obs
F-Statistic
Prob.
66
1.86205
2.32388
0.1296
0.0674
Obs
F-Statistic
Prob.
66
1.53647
2.11571
0.2039
0.0906
Obs
F-Statistic
Prob.
66
0.32069
0.83174
0.8630
0.5106
Obs
F-Statistic
Prob.
44
1.50502
1.20014
0.2092
0.3324
Obs
F-Statistic
Prob.
44
2.59873
1.05275
0.0371
0.4114
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:29
Sample: 2000 2009
Lags: 4
Null Hypothesis:
DNEER does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause DNEER
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:31
Sample: 2000 2009
Lags: 4
Null Hypothesis:
IR does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause IR
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:28
Sample: 2000 2009
Lags: 6
Null Hypothesis:
YGAP does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause YGAP
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:29
Sample: 2000 2009
Lags: 6
Null Hypothesis:
GGFCE does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause GGFCE
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:30
Sample: 2000 2009
Lags: 6
90
Null Hypothesis:
DNEER does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause DNEER
Obs
F-Statistic
Prob.
44
1.38738
1.31415
0.2508
0.2803
Obs
F-Statistic
Prob.
44
1.53654
1.24464
0.1992
0.3112
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/09/11 Time: 10:32
Sample: 2000 2009
Lags: 6
Null Hypothesis:
IR does not Granger Cause INF
INF does not Granger Cause IR
91
Lampiran 2. Hasil Estimasi Konvergensi Inflasi di Negara-Negara ASEAN+6
System-Generalized Method of Moments (SYS-GMM)
___ ____ ____ ____ ____ tm
/__
/
____/
/
____/
___/
/
/___/
/
/___/
10.0
Statistics/Data Analysis
Special Edition
Copyright 1984-2007
StataCorp
4905 Lakeway Drive
College Station, Texas 77845 USA
800-STATA-PC
http://www.stata.com
979-696-4600
[email protected]
979-696-4601 (fax)
Unlimited-user Stata for Windows (network) perpetual license:
Serial number: 198081963
Licensed to: Lic. Santiago Adamcik
UNLP Facultad de Ciencias Economicas
Notes:
1.
2.
(/m# option or -set memory-) 10.00 MB allocated to data
(/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables
. (5 vars, 110 obs pasted into editor)
egen country=group(negara)
. xtset country tahun,yearly
panel variable: country (strongly balanced)
time variable: tahun, 2000 to 2009
delta: 1 year
. xtdpdsys
inf
l.dneer ir, twostep noconstant
System dynamic panel-data estimation
Group variable: country
Time variable: tahun
Number of obs
Number of groups
Obs per group:
Number of instruments =
46
Wald chi2(3)
Prob > chi2
=
=
99
11
min =
avg =
max =
9
9
9
=
=
230.89
0.0000
Two-step results
-----------------------------------------------------------------------------inf |
Coef.
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------inf |
L1. |
.3030889
.0817897
3.71
0.000
.142784
.4633939
dneer |
L1. | -.1190496
.0116217
-10.24
0.000
-.1418276
-.0962716
ir |
.2507348
.0597086
4.20
0.000
.1337082
.3677614
-----------------------------------------------------------------------------Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard
errors are recommended.
Instruments for differenced equation
GMM-type: L(2/.).inf
Standard: LD.dneer D.ir
Instruments for level equation
GMM-type: LD.inf
. estat abond
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors
+-----------------------+
|Order | z
Prob > z|
|------+----------------|
|
1 |-2.6393 0.0083 |
|
2 | -1.596 0.1105 |
+-----------------------+
H0: no autocorrelation
92
. estat sargan
Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
chi2(43)
Prob > chi2
=
=
10.12008
1.0000
Hasil Estimasi dengan Pooled Least Square (PLS)
___ ____ ____ ____ ____ tm
/__
/
____/
/
____/
___/
/
/___/
/
/___/
10.0
Statistics/Data Analysis
Special Edition
Copyright 1984-2007
StataCorp
4905 Lakeway Drive
College Station, Texas 77845 USA
800-STATA-PC
http://www.stata.com
979-696-4600
[email protected]
979-696-4601 (fax)
Unlimited-user Stata for Windows (network) perpetual license:
Serial number: 198081963
Licensed to: Lic. Santiago Adamcik
UNLP Facultad de Ciencias Economicas
Notes:
1.
2.
(/m# option or -set memory-) 10.00 MB allocated to data
(/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables
. (5 vars, 110 obs pasted into editor)
egen country=group(negara)
. xtset country tahun, yearly
panel variable: country (strongly balanced)
time variable: tahun, 2000 to 2009
delta: 1 year
reg inf l.inf l.dneer ir
Source |
SS
df
MS
-------------+-----------------------------Model |
550.3708
3 183.456933
Residual | 215.637137
95
2.2698646
-------------+-----------------------------Total | 766.007937
98 7.81640753
Number of obs
F( 3,
95)
Prob > F
R-squared
Adj R-squared
Root MSE
=
=
=
=
=
=
99
80.82
0.0000
0.7185
0.7096
1.5066
-----------------------------------------------------------------------------inf |
Coef.
Std. Err.
t
P>|t|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------inf |
L1. |
.5100634
.0800902
6.37
0.000
.3510643
.6690624
dneer |
L1. | -.1023707
.0250759
-4.08
0.000
-.1521527
-.0525887
ir |
.2511285
.0504639
4.98
0.000
.150945
.351312
_cons | -1.966578
.4128624
-4.76
0.000
-2.786214
-1.146943
------------------------------------------------------------------------------
93
Hasil Estimasi Fixed Effect (FE)
. xtreg inf l.inf l.dneer ir, fe
Fixed-effects (within) regression
Group variable: country
Number of obs
Number of groups
=
=
99
11
R-sq:
Obs per group: min =
avg =
max =
9
9.0
9
within = 0.2724
between = 0.8421
overall = 0.5610
corr(u_i, Xb)
= 0.5971
F(3,85)
Prob > F
=
=
10.61
0.0000
-----------------------------------------------------------------------------inf |
Coef.
Std. Err.
t
P>|t|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------inf |
L1. | -.0240941
.1052813
-0.23
0.820
-.2334215
.1852332
dneer |
L1. | -.0811452
.0218859
-3.71
0.000
-.1246603
-.0376301
ir |
.213247
.0527061
4.05
0.000
.108453
.3180409
_cons | -1.666923
.4214676
-3.96
0.000
-2.504914
-.8289327
-------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 1.8435697
sigma_e | 1.2807688
rho | .67447303
(fraction of variance due to u_i)
-----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0:
F(10, 85) =
4.65
Prob > F = 0.0000
could not restore sort order because variables were dropped
94
Lampiran 3. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di
Negara-Negara ASEAN+6
Arellano Bond-Generalized Method of Moments (AB-GMM)
___ ____ ____ ____ ____ tm
/__
/
____/
/
____/
___/
/
/___/
/
/___/
10.0
Statistics/Data Analysis
Special Edition
Copyright 1984-2007
StataCorp
4905 Lakeway Drive
College Station, Texas 77845 USA
800-STATA-PC
http://www.stata.com
979-696-4600
[email protected]
979-696-4601 (fax)
Unlimited-user Stata for Windows (network) perpetual license:
Serial number: 198081963
Licensed to: Lic. Santiago Adamcik
UNLP Facultad de Ciencias Economicas
Notes:
1.
2.
(/m# option or -set memory-) 10.00 MB allocated to data
(/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables
. (7 vars, 110 obs pasted into editor)
egen country=group(negara)
. xtset country tahun,yearly
panel variable: country (strongly balanced)
time variable: tahun, 2000 to 2009
delta: 1 year
. xtabond inf ygap d l.dneer ir, twostep noconstant
Arellano-Bond dynamic panel-data estimation
Group variable: country
Time variable: tahun
Number of obs
Number of groups
Obs per group:
Number of instruments =
40
Wald chi2(5)
Prob > chi2
=
=
88
11
min =
avg =
max =
8
8
8
=
=
397.13
0.0000
Two-step results
-----------------------------------------------------------------------------inf |
Coef.
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------inf |
L1. | -.4238566
.0660577
-6.42
0.000
-.5533273
-.2943859
ygap |
.2269112
.0797716
2.84
0.004
.0705618
.3832606
d | -.2086316
.2025061
-1.03
0.303
-.6055363
.1882732
dneer |
L1. | -.0599378
.0115525
-5.19
0.000
-.0825803
-.0372953
ir |
.3236523
.0678454
4.77
0.000
.1906777
.4566268
-----------------------------------------------------------------------------Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard
errors are recommended.
Instruments for differenced equation
GMM-type: L(2/.).inf
Standard: D.ygap D.d LD.dneer D.ir
. estat abond
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors
+-----------------------+
|Order | z
Prob > z|
|------+----------------|
|
1 |-2.0553 0.0399 |
|
2 |-.91807 0.3586 |
+-----------------------+
H0: no autocorrelation
95
. estat sargan
Sargan test of overidentifying restrictions
H0: overidentifying restrictions are valid
chi2(35)
Prob > chi2
=
=
7.421337
1.0000
Hasil Estimasi Pooled Least Square (PLS)
___ ____ ____ ____ ____ tm
/__
/
____/
/
____/
___/
/
/___/
/
/___/
10.0
Statistics/Data Analysis
Special Edition
Copyright 1984-2007
StataCorp
4905 Lakeway Drive
College Station, Texas 77845 USA
800-STATA-PC
http://www.stata.com
979-696-4600
[email protected]
979-696-4601 (fax)
Unlimited-user Stata for Windows (network) perpetual license:
Serial number: 198081963
Licensed to: Lic. Santiago Adamcik
UNLP Facultad de Ciencias Economicas
Notes:
1.
2.
(/m# option or -set memory-) 10.00 MB allocated to data
(/v# option or -set maxvar-) 5000 maximum variables
. (7 vars, 110 obs pasted into editor)
egen country=group(negara)
.
. xtset country tahun, yearly
panel variable: country (strongly balanced)
time variable: tahun, 2000 to 2009
delta: 1 year
. reg inf l.inf ygap d l.dneer ir
Source |
SS
df
MS
-------------+-----------------------------Model | 583.116092
5 116.623218
Residual | 295.084377
93 3.17295029
-------------+-----------------------------Total | 878.200469
98 8.96122928
Number of obs
F( 5,
93)
Prob > F
R-squared
Adj R-squared
Root MSE
=
=
=
=
=
=
99
36.76
0.0000
0.6640
0.6459
1.7813
-----------------------------------------------------------------------------inf |
Coef.
Std. Err.
t
P>|t|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------inf |
L1. |
.1570829
.0900758
1.74
0.084
-.0217899
.3359556
ygap |
.2552957
.0788143
3.24
0.002
.0987861
.4118053
d | -.2688565
.0629998
-4.27
0.000
-.3939616
-.1437514
dneer |
L1. | -.0815836
.0304305
-2.68
0.009
-.1420126
-.0211546
ir |
.3362874
.0565925
5.94
0.000
.2239059
.4486688
_cons |
3.960746
1.052648
3.76
0.000
1.870397
6.051096
------------------------------------------------------------------------------
96
Hasil Estimasi Fixed Effect (FE)
. xtreg inf l.inf ygap d l.dneer ir, fe
Fixed-effects (within) regression
Group variable: country
Number of obs
Number of groups
=
=
99
11
R-sq:
Obs per group: min =
avg =
max =
9
9.0
9
within = 0.3143
between = 0.7359
overall = 0.5836
corr(u_i, Xb)
= 0.2959
F(5,83)
Prob > F
=
=
7.61
0.0000
-----------------------------------------------------------------------------inf |
Coef.
Std. Err.
t
P>|t|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------inf |
L1. | -.1404236
.0989548
-1.42
0.160
-.3372407
.0563934
ygap |
.2315877
.0751228
3.08
0.003
.0821714
.381004
d | -.3876064
.2036764
-1.90
0.061
-.7927106
.0174977
dneer |
L1. | -.0726152
.0277146
-2.62
0.010
-.1277385
-.0174919
ir |
.263611
.0645275
4.09
0.000
.1352683
.3919536
_cons |
7.10639
2.69511
2.64
0.010
1.745925
12.46686
-------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 1.3842217
sigma_e | 1.5842621
rho | .43291654
(fraction of variance due to u_i)
-----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0:
F(10, 83) =
3.46
Prob > F = 0.0008
--more—
Download