BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaminan Kesehatan Nasional

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jaminan Kesehatan Nasional
Jaminan Kesehatan Nasional adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar
peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah
membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah. Badan hukum yang dibentuk
untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan ini adalah Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Pelayanan Kesehatan yang diberikan
oleh Badan Kesehatan Jaminan Kesehatan juga dikhusukan kepada penderita penyakit
kronis dengan kondisi stabil dan masih memerlukan pengobatan atau asuhan
keperawatan jangka panjang. Penyakit kronis yang dimaksud diantaranya adalah
diabetes melitus, hipertensi, jantung, asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK),
epilepsy, stroke, schizophrenia, Systemic Lupus Erythematosus (SLE) (BPJS
Kesehatan, 2014).
Salah satu program unggulan BPJS adalah program pengelolaan penyakit kronis
Diabetes Mellitus Tipe 2 (PPDM Tipe 2) yang merupakan suatu sistem tata laksana
pelayanan kesehatan dan edukasi kesehatan bagi peserta Asuransi Kesehatan Sosial
yang menderita penyakit DM tipe 2 agar mencapai kualitas hidup yang optimal secara
mandiri. Atas dasar tersebut, BPJS Kesehatan mengintegrasikan program PPDM Tipe
2 menjadi salah satu program rutinnya. Program tersebut berganti nama menjadi
Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis). Prolanis menjadi salah satu program
yang mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas JKN khusunya dalam penanganan
penyakit kronis yaitu penyakit Diabetes Melitus Tipe II (BPJS,2004).
2.2 Pelayanan Kefarmasian
Pelayanan kefarmasian merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan dan
merupakan wujud pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian berdasarkan Undang-Undang
No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Saat ini paradigma pelayanan kefarmasian telah
bergeser dari pelayanan yang berorientasi pada obat (drug oriented) menjadi pelayanan
yang berorientasi pada pasien (patient oriented) yang mengacu pada azas
Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan yang semula hanya berfokus pada
pengelolaan obat sebagai komoditi bertambah menjadi pelayanan yang komprehensif
berbasis pasien dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pekerjaan kefarmasian di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 51
Tahun 2009. Pekerjaan kefarmasian didefinisikan sebagai pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional.
Berdasarkan PP No. 51 tahun 2009, dijelaskan bahwa pelayanan kefarmasian
adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggungjawab kepada pasien yang berkaitan
dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan
mutu kehidupan pasien. Dalam melakukan pelayanan kefarmasian, Apoteker
berkewajiban memberikan infomasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat,
tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Oleh karena itu, Apoteker harus berinteraksi
langsung dengan pasien dalam hal informasi penggunaan obat yang bertujuan untuk
menjamin keamanan, efektifitas, dan kerasionalan penggunaan obat.
Berdasarkan Kepmenkes No.1027/Menkes/SK/IX/2004, pelayanan kefarmasian
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan dan merupakan wujud
pelaksanaan praktik kefarmasian. Pada saat ini paradigma pelayanan kefarmasian telah
meluas dari pelayanan yang berorientasi pada obat (drug oriented) menjadi pelayanan
yang berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan tujuan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien melalui pencapaian luaran klinik yang optimal (Depkes RI,
2004).
Standar pelayanan kefarmasian di Apotek sesuai Permenkes RI Nomor No. 35
Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek adalah tolak ukur yang
dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian di Apotek meliputi dua kegiatan, yaitu
kegiatan yang bersifat manajerial (berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan,dan bahan medis habis pakai) dan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan
tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia dan sarana prasarana (Permenkes
RI, 2014).
Pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian
yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil
yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan farmasi klinik
meliputi pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat, konseling, pelayanan
kefarmasian di rumah, pemantauan terapi obat, dan monitoring efek samping obat
(Permenkes RI, 2014).
Tabel 2.1. Standar Pelayanan Kefarmasian (Permenkes RI, 2014)
No.
Aspek
Pelayanan yang diberikan
Memeriksa keabsahan resep yang harus
terdiri dari nama, SIP, alamat praktik, paraf
Administrasi
dokter penulis resep, identitas pasien, nama
obat, kekuatan, jumlah dan cara pemakaian
jelas
Pengkajian
1.
Memeriksa kesesuaian farmasetika obat
Resep
Kesesuaian
seperti bentuk sediaan, kekuatan obat,
Farmasetik
ketercampuran obat dengan obat lain
Memeriksa dari aspek klinis yaitu cara dan
Pertimbangan
lama penggunaan obat, kontra indikasi,
Klinis
interaksi obat
a. Menyiapkan obat sesuai permintaan
2.
Dispensing
resep
Penyiapan
b. Melakukan peracikan jika perlu
c. Memberikan etiket
Tabel 2.1. (Lanjutan) Standar Pelayanan Kefarmasian (Permenkes RI, 2014)
No.
Aspek
Pelayanan yang diberikan
a. Dilakukan
pemeriksaan
kembali
mengenai penulisan nama pasien pada
etiket, cara penggunaan serta jenis dan
Penyerahan
dan
Dispensing
pemberian
informasi
obat
jumlah obat
b. Menyerahkan obat disertai pemberian
informasi cara penggunaan, manfaat
obat, kemungkinan efek samping, cara
penyimpanan obat
c. Membuat
salinan
resep
(bila
diperlukan)
d. Apoteker membuat catatan pengobatan
pasien
Dosis, bentuk sediaan, rute dan metode
pemberian, farmakokinetik, farmakologi,
3.
Pelayanan Informasi Obat
efikasi, keamanan penggunaan pada ibu
hamil
dan menyusui,
efek
samping,
interaksi, stabilitas, harga
a. Menilai pemahaman pasien tentang
4.
Konseling
penggunaan obat
b. Memberikan penjelasan kepada pasien
untuk menyelesaikan masalah
Tabel 2.1. (Lanjutan) Standar Pelayanan Kefarmasian (Permenkes RI, 2014)
No.
Aspek
Pelayanan yang diberikan
penggunaan Obat .
c. Melakukan verifikasi akhir untuk
memastikan pemahaman pasien.
a. Penilaian
masalah
berhubungan
dengan pengobatan
Pelayanan Kefarmasian di
b. Pendampingan penggunaan obat
Rumah
c. Konsultasi masalah obat
5.
d. Monitoring pelaksanaan, efektifitas
dan
keamanan
penggunaan
obat
berdasarkan
catatan
pengobatan
pasien.
Memastikan
6.
Pemantauan Terapi Obat
bahwa
seorang
pasien
mendapatkan terapi obat yang efektif dan
terjangkau
dengan
memaksimalkan
efikasi dan meminimalkan efek samping
Monitoring
Efek
samping
7.
Obat
Pemantauan setiap respon terhadap Obat
yang merugikan atau tidak diharapkan
yang terjadi pada dosis normal
2.3 Pemantauan Terapi Obat
Pemantauan terapi obat adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk
memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Kegiatan tersebut
mencakup: pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, reaksi
obat yang tidak dikehendaki dan rekomendasi perubahan atau alternatif terapi.
Pemantauan terapi obat harus dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi
secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat
diketahui. Pasien yang mendapatkan terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah
terkait obat. Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respons pasien yang
sangat individual meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal tersebut
menyebabkan perlunya dilakukan Pemantauan Terapi Obat (Ditjen Bina Farmasi dan
Alkes, 2009).
Keberadaan apoteker memiliki peran yang penting dalam mencegah munculnya
masalah terkait obat. Apoteker sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan memiliki
peran penting dalam Pemantauan terapi obat. pengetahuan penunjang dalam
melakukan pemantaua terapi obat adalah patofisiologi penyakit, farmakoterapi serta
interpretasi hasil pemeriksaan fisik, laboratorium dan diagnostik. Selain itu, diperlukan
keterampilan berkomunikasi, kemampuan membina hubungan interpersonal, dan
menganalisis masalah. Proses Pemantauan Terapi Obat merupakan proses yang
komprehensif mulai dari seleksi pasien, pengumpulan data pasien, identifikasi masalah
terkait obat, rekomendasi terapi, rencana pemantauan sampai dengan tindak lanjut.
Proses tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan sampai tujuan terapi tercapai
(Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2009).
2.4 Manajemen Diri Diabetes Melitus
Terdapat 5 komponen utama dalam pengelolaan diabetes melitus. Pemeriksaan
dini yaitu pemantauan yang diperlukan untuk penyulit seperti pemeriksaan mata secara
berkala setiap 6-12 bulan, pemeriksaan paru-paru berkala setiap 1–2 tahun atau kalau
keluhan batuk, pemeriksaan jantung, berkala EKG (elektrokardiogram) setiap tahun,
pemeriksaan berkala urin untuk mendeteksi adanya protein dalam urin, perawatan kaki
dan penyuluhan secara berkala untuk mencegah timbulnya kaki diabetik dan kecacatan.
Dalam mengelola pasien DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi yaitu
dengan edukasi berupa perencanaan makan/diet, kegiatan jasmani dan penurunan berat
badan jika didapat berat badan lebih. Kemudian pendekatan farmakologis atau
pemakaian obat insulin (Soegondo,2006). Salah satu pilar penatalaksanaan DM yaitu
edukasi.
Edukasi yang diberikan adalah pemahaman tentang perjalanan penyakit,
pentingnya pengendalian penyakit, komplikasi yang ditmbulkan dan resikonya,
intervensi obat dan pemantauan glukosa darah, cara mengatasi hipoglikemi, olahraga
yang teratur dan cara menggunakan fasilitas kesehatan. Perencanaan diet yang tepat
yaitu cukup asupan kalori, protein, lemak, mineral dan serat. Ajarkan pasien untuk
dapat mengontrol gula darah untuk mencegah komplikasi dan mampu merawat diri
sendiri ADA (2009). Menurut Asosoiasi Diabetes Amerika (American Diabetes
Association/ADA,2009), pendidikan kesehatan kepada pasien DM merupakan
komponen yang penting dalam manajemen diri selain didukung tim kesehatan,
keluarga dan orang-orang disekitarnya.
2.5 Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melitus (DM)
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diagnosis klinis Diabetes Melitus ditegakkan bila ada gejala khas Diabetes
Melitus berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan penyebabnya. Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa
Darah Sewaktu (GDA) ≥200 mg/dl diagnosis Diabetes Melitus sudah dapat ditegakkan.
Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥126 mg/dl juga dapat digunakan
untuk pedoman diagnosis Diabetes Melitus. Untuk pasien tanpa gejala khas Diabetes
Melitus, hasil pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat
untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus. Diperlukan investigasi lebih lanjut
yaitu GDP ≥126 mg/dl, GDA ≥200 mg/dl pada hari yang lain atau hasil Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) ≥200 mg/dl (Ndraha,2014). Klasifikasi etiologis Diabetes
Melitus menurut American Diabetes Association 2010 (ADA 2010), dibagi dalam 4
jenis yaitu:
1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent
Diabetes Mellitus/IDDM Diabetes Melitus tipe 1 terjadi karena adanya destruksi
sel beta pankreas karena sebab autoimun. Pada Diabetes Melitus tipe ini terdapat
sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan level protein
c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali. Manifestasi
klinik pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis.
2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-independent Diabetes Mellitus/NIDDM.
Pada penderita Diabetes Melitus tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin
tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi
insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi
glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah
tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan
mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan
berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin
lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya
glukosa. Onset Diabetes Melitus tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu
gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan
mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. Diabetes Melitus
Tipe Lain Diabetes Melitus tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada
defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin
pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit
autoimun dan kelainan genetik lain.
3. Diabetes Melitus Gestasional Diabetes Melitus tipe ini terjadi selama masa
kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan,
biasanya pada trimester kedua dan ketiga. Penderita Diabetes Melitus gestasional
memiliki risiko lebih besar untuk menderita Diabetes Melitus yang menetap dalam
jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan. Klasifikasi diabetes melitus menurut
American Diabetes Association dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 2.1 Klasifikasi diabetes melitus (ADA, 2010)
Komplikasi Diabetes Melitus yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi
metabolik akut maupun komplikasi vaskuler kronik, baik mikroangiopati maupun
makroangiopati. Di Amerika Serikat, Diabetes Melitus merupakan penyebab utama
dari end-stage renal disease (ESRD), nontraumatic lowering amputation, dan adult
blindness (Daniel, 1994). Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa
darah, terutama setelah ditemukannya insulin, angka kematian penderita diabetes
akibat komplikasi akut bisa menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes
lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih lama.
2.6 Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Berdasarkan cara pemberiannya obat hipoglikemik (antidiabetik) terdiri dari dua
jenis yaiitu obat hipoglikemik oral dan obat hipoglikemik suntik yang mengandung
insulin (Tjay dan Rahardja, 2007).
1. Obat antidiabetik oral
a) Golongan Sulfonilurea
Tolbutamid termasuk golongan sulfonilurea yang dapat merangsang keluarnya
insulin dari pankreas (Tjay dan Rahardja, 2007). Tolbutamid merupakan obat
turunan dari karbutamida, dengan menggantikan gugus-P amino dengan gugus
metil efek-efek sulfa dilenyapkan.Daya hipoglikemik tolbutamid relatif lemah,
maka jarang menyebabkan hipoglikemia.Obat ini banyak digunakan pada
penderita diabetes tipe-2 (Tjay dan Rahardja, 2007). Pada pasien lanjut usia secara
lebih amannya digunakan tolbutamid karena mempunyai durasi kerja paling cepat
(Neal, 2005). Dosis permulaan 0,5-1 g pada waktu makan (guna menghindari
iritasi lambung), bila perlu dinaikkan tiap minggu sampai maksimal 1-2 g (Tjay
dan Rahardja, 2007).
b) Golongan Inhibitor α-Glukosidase
Acarbose merupakan penghambat kompetitif alfa glucosidase usus dan
memodulasi pencernaan pasca prandial dan absorpsi zat tepung dan
disakarida.Akibat klinis pada hambatan enzim adalah untuk meminimalkan
pencernaan pada usus bagian atas dan menunda absorpsi zat tepung dan disakarida
yang masuk pada usus kecil bagian distal, sehingga menurunkan glikemik setelah
makan dan menciptakan suatu efek hemat insulin.
c) Golongan Biguanid
Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin yang
diproduksi oleh tubuh, tidak merangsang peningkatan produksi insulin sehingga
pemakaian tunggal tidak berakibat hipoglikemia. Contoh obat golongan biguanid
antara lain metformin (glucophage).
Obat
golongan Meglitinid dapat
dikombinasikan dengan metformin digunakan dalam pengobatan Diabetes
Mellitus tipe-2 sebagai tambahan terhadap diet dan olahraga untuk penderita yang
hiperglikemiknya tidak dapat dikontrol secara memuaskan dengan caracara
tersebut. Contoh obat dari golongan ini antara lain repaglinid (novonorm),
nateglinid (starlix) (Tjay dan Rahardja, 2007).
d) Golongan Thiazolidindion
Golongan ini dapat digunakan bersama sulfonilurea, insulin atau metformin untuk
memperbaiki kontrol glikemia. Contohnya antara lain pioglitazon (actos),
rosiglitazon (avandia) (Tjay dan Rahardja,2007).
2. Insulin
Pada diabetes mellitus tipe I, diperlukan pemberian insulin eksogen untuk
memperbaiki katabolisme, mencegah ketosis dan menurunkan peningkatan kadar
glukosa darah. Selain DM tipe I, insulin kadang digunakan oleh pasien DM tipe II
dan ibu hamil yang disertai Diabetes Mellitus, namun untuk waktu yang singkat.
Penggunaan insulin dapat juga untuk indikasi sebagai berikut :
a) Kencing manis dengan komplikasi akut seperti gangren, ketoasidosis, dan koma.
b) Kencing manis pada kehamilan yang tak terkontrol dengan dietary control
c) Penurunan badan yang drastis
d) Penyakit DM yang tidak berhasil dengan obat hipoglikemik dosis maksimal.
e) Penyakit dengan gangguan fungsi hati dan ginjal berat.
Download