1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gonore adalah salah

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gonore adalah salah satu penyakit menular seksual yang dapat menyerang
laki-laki dan wanita. Penyakit ini dikenal oleh masyarakat dengan sebutan
penyakit kencing nanah, yang lebih sering menyerang kaum laki-laki.
Gonore merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan oleh kuman
Neisseria gonorrhoeae (N. gonorrhoeae). Bila menyerang wanita, penyakit ini
umumnya asimtomatik sehingga sulit untuk dideteksi. Sedangkan pada pria,
menimbulkan gejala berupa uretritis dengan kelainan subyektif berupa rasa
gatal pada bagian distal uretra sekitar orifisium uretra eksternum, gejala lain
yaitu disuria, keluarnya duh tubuh dari uretra mukopurulen serta kadang
disertai darah dan nyeri waktu ereksi (Daili, 2009)
Keadaan tanpa gejala pada penyakit gonore, menjadikan penyakit ini
menjadi masalah kesehatan tersendiri khususnya bagi kesehatan masyarakat.
Sebagian besar penyakit ini terdiagnose tanpa disengaja, pada saat mereka
melaksanakan antenatal care atau pemeriksaan alat kontrasepsi. Wanita yang
datang berobat ke tempat pelayanan kesehatan pada umumnya adalah mereka
yang sudah mengalami komplikasi diantaranya adalah penyakit radang
panggul (PRP). PRP terjadi pada 10% penderita gonore, dan jika tidak
mendapatkan penanganan yang optimal dapat berdampak terhadap infertilitas,
2
kehamilan ektopik bahkan kematian pada wanita di negara berkembang (Daili,
2009).
Kejadian kasus gonore saat ini mengalami peningkatan. WHO
memperkirakan tidak kurang dari 150 juta kasus gonore setiap tahunnya.
Kasus baru gonore di Amerika Serikat pada tahun 1995 sebanyak 62.150.000
kasus meningkat menjadi 62.350.000 kasus pada 1999 (WHO, 2001).
Beberapa laporan yang ada dari beberapa lokasi di Indonesia antara tahun
1999 sampai 2001 menunjukkan prevalensi infeksi gonore yang tinggi antara
20%-35% (Jazan, 2003). Data dari Depkes RI tahun 1997-1998 menunjukkan
infeksi gonore sebanyak 13.000 kasus pada tahun 1997 dan 20.420 kasus pada
tahun 1998 (Safitri, 2007). Sebuah penelitian di RSU Pusat Sanglah Denpasar
Periode Januari 1996 - Desember 2000” menunjukkan selama rentang waktu
lima tahun 809 kasus baru IMS yang memiliki kecenderungan meningkat, dari
15,3 % pada tahun 1996 menjadi 27,9 % pada tahun 2000. Lima kelompok
IMS tersebut adalah gonorrhea (9,6%) (Rosyati, 2001). Tingginya prevalensi
gonore dihubungkan dengan adanya peningkatan perilaku berisiko gonore
diantaranya adalah berganti pasangan seksual serta pemakaian kondom.
Prevalensi gonore di kalangan pekerja seks komersial (PSK) di Surabaya
dilaporkan sebesar
24% pada tahun 1992-1993 dan sebesar
30,3% di
Semarang pada tahun 1998 (Widyastuti, 2000). Kejadian gonore di Bali
sendiri dilaporkan sebesar 9,6% (Rosyati, 2001).
Beberapa faktor yang dihubungkan dengan infeksi Neisseria gonorrhoeae
pada kelompok PSK diantaranya adalah frekuensi hubungan seks per hari,
3
pemakaian kondom, keluhan keputihan, jenis flour dan adanya kelainan pada
endoserviks (Ekawati, 1999). Jazan (2003), juga melaporkan bahwa hal yang
berpengaruh terhadap kejadian gonore adalah umur pertama kali berhubungan
seksual, lama bekerja sebagai PSK, mobilitas, jumlah pelanggan, cara
membasuh vagina dan pemakaian kondom. Pendapat berbeda disampaikan
oleh Purba (2006), dimana karakteristik sosiodemografik (kelompok umur,
tingkat pendidikan, status pernikahan) dan faktor perilaku seksual berisiko
(usia coitarche, jumlah pasangan seks, penggunaan kondom, pasangan
berisiko) tidak memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan
gonore.
Tingginya kejadian gonore pada kelompok wanita PSK kemungkinan akan
berpengaruh terhadap kejadian gonore pada kelompok wanita dengan status
ibu rumah tangga sehubungan dengan meningkatnya laki-laki pengguna PSK
tersebut. Laki-laki ini dapat menularkan gonore melalui hubungan seksual
tanpa pengaman/kondom kepada pasangannya atau kelompok ibu rumah
tangga (IRT). PSK memiliki potensi menularkan penyakitnya pada pasangan
seksualnya (pelanggan) dan secara berantai oleh pelanggan ditularkan kepada
keluarganya, pasangan seksual lainnya dan masyarakat lainnya (Djoerban,
1999). Puskesmas II Denpasar Selatan melaporkan kejadian gonore sebesar
40% dari seluruh pasien yang berkunjung dan kurang lebih 60% dari pasien
yang berkunjung ke klinik IMS. Sebesar 72,4% diantaranya adalah kelompok
IRT dan 27,6% adalah PSK. Kelompok wanita yang mengalami gonore
4
tersebut adalah mereka yang tergolong wanita usia subur (WUS), yaitu wanita
usia 15-49 tahun (Anonim, 2010).
Pemerintah, dalam hal ini Dinas Kesehatan termasuk Puskesmas II
Denpasar Selatan telah mengupayakan pencegahan melalui program
sosialisasi dan promosi penggunaan kondom, sosialisasi keberadaan klinik
IMS pada masyarakat di wilayah Denpasar Selatan dan kelompok risiko
tinggi, serta mengadakan mobile IMS yaitu pelayanan IMS keliling di wilayah
Denpasar Selatan berupa konseling, pengambilan specimen, pemeriksaan
laboratorium dan pengobatan. Namun upaya tersebut belum mendapatkan
hasil yang optimal. Berdasarkan angka kejadian gonore, dari dibukanya klinik
IMS yaitu tahun 2005 hingga sekarang gonore masih menjadi penyakit
menular seksual yang paling tinggi angka kejadiannya dibandingkan penyakit
menular seksual lainnya. Pada tahun 2006 angka kejadian servisitis gonore
56% dari seluruh kasus PMS yang ada (Anonim, 2006) dan pada tahun 2010
turun menjadi 40% dari seluruh kasus yang ada (Anonim, 2010).
Berdasarkan penggunaan kondom, masih rendahnya pemakaian kondom
sebagai alat kontrasepsi di masyarakat. Ibu rumah tangga lebih banyak yang
memilih menggunakan alat kontrasepsi dalam rahim, suntik ataupun pil yang
hanya bisa mencegah kehamilan tetapi tidak dapat mencegah penyakit
menular seksual. Pada kelompok berisiko seperti PSK, kebiasaan penggunaan
kondom juga masih rendah. Survey di Puskesmas II Denpasar Selatan pada
tanggal 8 Agustus 2011 pada 10 orang PSK, 60% mengaku tidak
menggunakan kondom pada 3 kali hubungan seksual yang terakhir.
5
Rendahnya hasil upaya pencegahan dihubungkan dengan beberapa faktor
predisposisi kejadian gonore antara lain adalah tingginya tingkat penularan,
pendeknya masa inkubasi, tingginya tingkat karier asimtomatis, tidak adanya
imunitas protektif, meningkatnya resistensi terhadap antibiotika dan
perubahan perilaku seksual. Metode diagnosis yang kompleks khususnya pada
wanita dengan gonore berdampak terhadap keterlambatan dalam penanganan
kasus tersebut. Servisitis gonore ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang yang terdiri dari beberapa
tahapan. Pemeriksaan gram dilanjutkan dengan kultur juga diperlukan
sehubungan dengan separuh wanita yang menderita servisitis gonore tidak
menunjukkan gejala atau asimtomatis (Sumaryo, 2006). Menurut Daili (2009),
pemeriksaan Gram dari duh tubuh endoserviks didapatkan angka sensitifitas
45-65% dan spesifisitas 90-99%. Berbeda dengan pemeriksaan Gram pada
pria yang memiliki sensitifitas lebih tinggi yiatu 90-95% dan spesifisitas 9599%.
Peneliti lain melaporkan beberapa faktor yang dihubungkan dengan
kejadian gonore meliputi adanya sumber penularan penyakit, berganti-ganti
pasangan seksual, tidak menggunakan kondom pada saat berhubungan seksual
(Daili, 2009). Kejadian gonore juga diduga dapat ditularkan melalui barang
perantara yang sudah dipakai oleh penderita, seperti pakaian dalam, handuk,
termometer dan sebagainya (Djuanda, 2007).
Hasil survey awal dengan metode wawancara di Puskesmas II Denpasar
Selatan pada tanggal 8 Agustus 2011 dengan 10 orang pasien servisitis gonore
6
didapatkan; sebesar 70% penderita menggunakan cairan antiseptik/sabun sirih
untuk membasuh alat kelaminnya. Umur pertama kali melakukan hubungan
seksual bervariasi yaitu 22-26 tahun sebanyak 60% dan umur 13-20 tahun
sebanyak 40%. Sebanyak 40% tidak menggunakan kondom, sebesar 30%
kadang-kadang menggunakan kondom, dan sebesar 30% selalu menggunakan
kondom. Untuk kelompok wanita PSK didapatkan sebesar 50% penderita
bekerja selama 3-6 bulan dan sebesar 50% bekerja selama 1-5 tahun.
Berdasarkan jumlah partner seks dalam sehari, sebesar 66,6% memiliki
partner seks sebanyak 4-5 orang dalan sehari, sebesar 16,7% memiliki 7-8
partner seks sehari dan sebesar 16,7% memiliki 2-3 pasangan seks sehari.
Semua PSK ini tidak pernah berpindah-pindah tempat kerja. Semua dari
responden yang diwawancari tidak pernah menggunakan pakaian dalam
ataupun handuk orang lain.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk mengetahui faktorfaktor risiko kejadian servisitis gonore pada wanita usia subur di wilayah kerja
Puskesmas II Denpasar Selatan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Apakah perilaku pembersihan vagina menggunakan antisepstik
merupakan faktor risiko kejadian servisitis gonore pada wanita usia
subur di wilayah kerja puskesmas II Denpasar Selatan?
7
1.2.2 Apakah umur pertama kali dibawah 20 tahun melakukan hubungan
seksual merupakan faktor risiko kejadian servisitis gonore pada wanita
usia subur di wilayah Puskesmas II Denpasar Selatan?
1.2.3 Apakah tidak menggunaan kondom pada saat berhubungan seksual
merupakan faktor risiko kejadian servisitis gonore pada wanita usia
subur di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar Selatan?
1.2.4 Apakah umur dibawah 20 tahun merupakan faktor risiko kejadian
servisitis gonore pada wanita usia subur di wilayah kerja Puskesmas II
Denpasar Selatan?
1.2.5 Apakah pekerjaan berisiko (PSK, pramuniaga, pramusaji) merupakan
faktor risiko kejadian servisitis gonore pada wanita usia subur di wilayah
kerja Puskesmas II Denpasar Selatan?
1.2.6 Apakah pendidikan yang rendah merupakan faktor risiko kejadian
servisitis gonore pada wanita usia subur di wilayah kerja Puskesmas II
Denpasar Selatan?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor risiko kejadian servisitis gonore
pada wanita usia subur di wilayah Puskesmas II Denpasar Selatan.
8
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1
Untuk
mengetahui
risiko
perilaku pembersihan
vagina
menggunakan antiseptik terhadap kejadian servisitis gonore
pada wanita usia subur di wilayah kerja puskesmas II Denpasar
Selatan.
1.3.2.2 Untuk mengetahui risiko umur pertama kali melakukan
hubungan seksual terhadap kejadian servisitis gonore pada
wanita usia subur di wilayah Puskesmas II Denpasar Selatan.
1.3.2.3 Untuk mengetahui risiko perilaku penggunaan kondom terhadap
kejadian servisitis gonore pada wanita usia subur di wilayah
kerja Puskesmas II Denpasar Selatan.
1.3.2.4 Untuk mengetahui risiko faktor sosiodemografi (umur,
pekerjaan, pendidikan) terhadap kejadian servisitis gonore pada
wanita usia subur di wilayah kerja Puskesmas II Denpasar
Selatan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat akademis
Penelitian ini memberikan tambahan pengetahuan bahwa faktor risiko
terjadinya servisitis gonore tidak hanya dari faktor hubungan seksual
tetapi juga dari faktor non seksual. Servisitis gonore tidak saja dapat
terjadi pada kelompok berisiko tetapi juga dapat terjadi pada wanita usia
subur lainnya seperti ibu rumah tangga.
9
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Bagi wanita usia subur, hasil penelitian ini dapat menjadi
pertimbangan
dalam perilaku
pembersihan
vagina
untuk
mencegah terinfeksi penyakit menular seksual khususnya
servisitis gonore.
1.4.2.2 Bagi Dinas Kesehatan, hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi pertimbangan dalam pengembangan program P2M
(Pencegahan Penyakit Menular) khususnya pencegahan penyakit
menular seksual.
Download