III. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 MI INSTAN Mi instan atau mi kering adalah produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa bahan tambahan makanan yang diizinkan berbentuk khas mi yang siap dihidangkan, dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 5 menit (Ubaidillah, 2000). Mi Instan telah dikonsumsi sebagai makanan pokok pengganti, oleh sebagian masyarakat dan merupakan jenis pangan yang luas penyebarannya (Haryadi,1992). Hal ini disebabkan karena harganya relatif murah, nilai kalori cukup tinggi dan dapat diproduksi dalam berbagai bentuk yang menarik dan daya tahan yang cukup tinggi (Harper et al,1979). Serta tren gaya hidup masyarakat yang cenderung makin praktis. Bahan baku pembuatan mi instan adalah tepung terigu. Bahan tambahan yang umum digunakan dalam pembuatan mi instan adalah garam alkali, yaitu Na2CO3 dan K2CO3 yang umum disebut senyawa kansui. Berdasarkan proses pengeringan, mi dibedakan menjadi dua yaitu mi instan dan mi kering (mi telur). Pengeringan mi instan dengan mengunakan minyak goreng sebagai media pengeringan (instan atau fried noodle), sedangkan mi kering pengeringannya dengan menggunakan udara panas (dried noodle). Mi instan mampu menyerap minyak hingga 20% selama penggorengan, sehingga mi instan memiliki keunggulan rasa dibanding mi jenis lain. Namun demikian, mi instan disyaratkan agar pada saat perebusan tidak ada minyak yang terlepas ke dalam air dan hasilnya mi harus cukup kompak dan permukaannya tidak lengket (Astawan, 2006). Tepung terigu yang digunakan untuk memproduksi mi kering adalah tepung terigu dengan kadar gluten 10-12%. Tepung terigu ini tergolong dalam medium hard fluor. Tepung terigu ini berfungsi membentuk struktur mi, sumber protein dan karbohidrat. Kandungan protein utama dari tepung terigu yang berperan dalam pembuatan mi adalah gluten. Gluten adalah suatu jenis protein yang terdiri dari dari 36% gliadin, 20% glutenin, 17% mesonin dan 7% campuran albumin dan globulin (Darmawan, 1994). Apabila ke dalam tepung terigu ditambah air, glutenin akan mengembang. Selama proses pengembangan, glutenin akan menyerap gliadin, mesonin dan sebagian protein yang dapat larut dalam air sehingga membentuk suatu massa yang kenyal dan elastis (Ridwan dan Wiriarno,1990) sehingga akan mempengaruhi sifat elastisitas dan tekstur mi yang dihasilkan. Menurut Ruiter (1987), karakteristik elastisitas gluten dianggap berasal dari fraksi glutenin, sedangkan karakteristik liat dan melekat diperoleh dari fraksi prolamin. Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01.3551-2000 mi instan didefinisikan sebagai produk makanan ringan yang dibuat dari tepung terigu atau tepung beras atau tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan makanan lainnya yang diizinkan. Mi ini dibuat dengan penambahan beberapa proses setelah diperoleh mi segar. Tahap-tahap tersebut yaitu pengukusan, pembentukan dan pengeringan. Kadar air mi instan umumnya mencapai 5-8 % sehingga memiliki daya simpan yang relatif lama (Astawan, 2006). Dalam melindungi masyarakat dari mi instan yang tidak memenuhi persyaratan cemaran mikroba, pemerintah menetapkan SNI 01.35512000, revisi SNI 01-3551-1996 "Mi Instan" seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Syarat Mutu Mi Instan menurut SNI 01.3551-2000 No Kriteria Uji 1 Keadaan 1.1 Tekstur 1.2 Aroma 1.3 Rasa 1.4 Warna 2 Benda asing 3 Keutuhan 4 Kadar air 4.1 Proses penggorengan 4.2 Proses pengeringan 5 Kadar protein 5.1 Mi dari terigu 5.2 Mi bukan dari terigu 6 Bilangan asam 7 Cemaran logam 7.1 Timbal (Pb) 7.2 Raksa (Hg) 8 Arsen (As) 9 Cemaran mikroba : 9.1 Angka lempeng total 9.2 E. coli 9.3 Salmonella 9.4 Kapang (*) Sumber : Badan Standarisasi Nasional Satuan Persyaratan % (b/b) Normal/dapat diterima Normal/dapat diterima Normal/dapat diterima Normal/dapat diterima Tidak boleh ada Minimum 90 % (b/b) % (b/b) Minimum 8.0 Minimum 4.0 % (b/b) % (b/b) Mg KOH/g minyak Minimum 8.0 Minimum 4.0 Maksimum 2.0 mg/kg mg/kg mg/kg Maksimum 2.0 Maksimum 0/05 Maksimum 0,5 Koloni/g APM/g Koloni/g Maksimum 1,0x106 <3 Negatif per 25g Maksimum 1,0x103 3.2 CEMARAN PADA PRODUK MI INSTAN Cemaran pada produk mi instan kemungkinan dapat berupa cemaran mikrobiologis, cemaran kimia dan cemaran fisik. Cemaran-cemaran tersebut dapat berasal dari bahan baku utama, bahan baku pembantu lain dan bahan tambahan pangan (BTP), udara, karyawan, mesin dan peralatan. 3.2.1 Cemaran Mikrobiologis Mi instan merupakan produk mi yang telah dikukus dan dikeringkan terlebih dahulu dan memiliki kadar air sekitar 8-10%. Mi instan memiliki aw sekitar 0,80 dan pH sebesar 8,7 (Yustiareni, 2000). Menurut Fardiaz (1992) dan Buckle et. al. (2007), pangan dengan kadar air yang rendah dan pH relatif tinggi (pH > 8,5) dikelompokkan sebagai pangan yang tidak mudah rusak. Dengan demikian, kadar air yang rendah dan aw yang rendah menyebabkan mi instan tidak riskan jika disimpan pada suhu ruang. Namun demikian, bukan berarti produk mi instan tersebut tidak bebas dari adanya kemungkinan pencemaran atau kontaminasi baik adanya cemaran mikroba/biologis, kimia maupun fisik Berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 01.3551-2000 untuk produk mi instan, cemaran mikroba yang mungkin terdapat pada mi instan dapat berupa bakteri E. coli, Salmonella, kapang dan angka lempeng total. Oleh karena itu, cemaran mikroba tersebut di dalam SNI ditetapkan batasnya. Menurut Jay (2000), mikroba perusak yang mungkin tumbuh pada produk olahan terigu adalah bakteri genus Bacillus dan beberapa jenis kapang. 8 Fardiaz (1992) menyatakan bahwa jika tumbuh pada bahan pangan, bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan pada penampakan maupun komposisi kimia dan cita rasa bahan pangan tersebut. Adanya aktivitas mikroorganisme pembentuk asam misalnya, ditandai dengan terdeteksinya bau asam pada mi basah yang telah rusak. Pada bakteri aerobik pembentuk spora yang dapat memproduksi amilase mungkin tumbuh pada kadar air yang tinggi dengan memanfaatkan terigu dan hasil olahannya sebagai sumber energi. Pada kondisi kadar air lebih rendah, kapang berpotensi untuk tumbuh yang ditandai dengan pembentukan miselia dan spora. Kapang yang tumbuh umumnya berasal dari genus Rhizopus yang dapat dikenali dengan adanya spora berwarna hitam (Jay, 2000). Selain cemaran bakteri dan kapang tersebut, mi instan kemungkinan dapat tercemar oleh bakteri jenis Salmonella dan Staphylococcus yang berasal dari bahan tepung telur serta E. coli dan koliform yang berasal dari bahan air yang digunakan dalam proses pencampuran. Menurut ICMSF (1998), produk yang ingrediennya mengandung tepung telur atau telur kering seperti custard, cream cakes, angel cake dan mi instan dapat terkontaminasi oleh Salmonella dan Staphylococcus. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mafic et al. (1990) dan Narvaiz et al. (1992) menunjukkan bahwa Salmonella yang terdapat pada tepung telur dapat diinaktifkan dengan cara irradiasi melalui sinar gama pada dosis 0,8 kGy untuk jenis bakteri S. Enteritidis, S. Typhimurium dan S. Lille, sedangkan untuk mereduksi sebanyak 103 bakteri diperlukan dosis 2,4 kGy. Produk tepung telur yang telah diirradiasi ini tahan disimpan selama 4 minggu. Untuk mengendalikan produk kering seperti halnya mi kering yang mengandung bahan ingredien tepung telur disarankan oleh ICMSF (1998) sebaiknya melindungi produk itu dari kemungkinan terjadinya kondensasi air ke dalam produk kering tersebut. Oleh karena itu, produk mi kering yang telah dikemas dalam plastik diharapkan tidak ada yang bocor dan terkena kondensasi oleh air dari luar. Cemaran bakteri pada air, kemungkinan dapat berupa bakteri patogen seperti E. coli, Campylobacter jejuni, Salmonella sp, Shigella, Vibrio cholerae, Yersinia enterolita dan Aeromonas hydrophila; (Jones dan Watkins, 1989). Dengan demikian, air yang digunakan untuk produksi mi instan pada saat proses pencampuran harus memenuhi persyaratan kualitas air minum menurut PerMenKes No. 907/MENKES/SK/VIII/2002 tanggal 29 Juli 2002, yaitu harus bebas dari E. coli dan koliform. Hal ini disebabkan karena bakteri E. coli dan koliform digunakan sebagai indikator tercemarnya air tersebut oleh adanya cemaran yang berasal dari buangan air besar manusia ataupun kotoran hewan. Lebih lanjut Havelar (1994) menyarankan bahwa seyogianya air diolah terlebih dahulu untuk menghasilkan air yang aman untuk dikonsumsi. 3.2.2 Cemaran Kimia Berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 01.3551-2000 (Tabel 1) untuk produk mi instan, ditetapkan bahwa cemaran kimia yang perlu dibatasi keberadaannya pada mi instan berupa logam-logam berat seperti timbal (Pb), raksa/merkuri (Hg) dan arsen (As). Cemaran kimia logamlogam berat ini diduga berasal dari bahan baku tepung terigu, garam dan air yang digunakan dalam proses produksi mi instan. Sumber cemaran kimia logam-logam berat seperti Pb, Hg, dan As dapat berasal dari lingkungan dan tanah tempat tumbuh asal tanaman terigu yang terkontaminasi oleh polusi asap kendaraaan bermotor dan hasil buangan limbah industri yang mengandung logam-logam berat; selain itu dari bahan baku garam yang tercemar oleh logam-logam berat di tempat asalnya. 9 3.2.3 Cemaran Fisik Berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 01.3551-2000 untuk produk mi instan, ditetapkan bahwa cemaran fisik yang mungkin terdapat pada produk mi instan berupa benda-benda asing lainnya. Cemaran fisik benda-benda asing ini dapat berupa rambut, kotoran (pasir, tanah), kelupasan cat, karat, debu, potongan kertas dan tali plastik. Sumber cemaran fisik tersebut dapat berasal dari pekerja/karyawan yang menangani produk, pallet kayu, peralatan dan tali plastik yang digunakan untuk pengemasan. Oleh karena itu, cemaran fisik benda-benda asing pada produk mi instan tersebut oleh SNI 01.3551-2000 ditetapkan harus negatif. 3.3 SANITASI PERALATAN Sanitasi berasal dari kata Latin, yaitu sanitas yang memiliki arti sehat (Marriot dan Norman, 1992). Sanitasi merupakan cara pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dalam rantai perpindahan penyakit tersebut. Sumber kontaminasi dalam industri pangan adalah pekerja, hewan dan lingkungan (Jenie, 2007). Sanitasi harus dilakukan pada semua jalur industri dari bahan mentah hingga produk akhir (Soekarto, 1990). Pengolahan pangan pada umumnya berisiko akan kontaminasi karena penggunaan alat pengolahan yang kotor dan mengandung mikroba dalam jumlah yang tinggi. Peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan bahan pangan diharuskan mengalami proses sanitasi terlebih dahulu sebelum dan setelah proses produksi berlangsung (Jenie, 2007). Sanitasi peralatan umumnya menggunakan bahan-bahan kimia untuk menimimalisir kandungan mikroba yang terdapat dalam peralatan produksi. Bahan kimia yang umum digunakan sebagai bahan sanitasi peralatan terdiri atas soda kaustik, asam serta alkohol. Sanitasi pangan merupakan suatu upaya pencegahan terhadap kemungkinan tumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan pathogen dalam makanan, minuman dan bangunan yang dapat merusak kualitas pangan dan membahayakan kesehatan manusia (Marriot dan Norman, 1992). Sanitasi untuk bahan pangan merupakan suatu proses untuk menciptakan keadaan bebas dari bahan yang dapat menyebabkan penyakit dari bagian atau sentuhan serangga (Stewart dan Amerine, 1973). Program sanitasi sarana pengolahan pangan melibatkan pengendalian terpadu kondisi lingkungan selama produksi, pengolahan, penyimpanan, distribusi, persiapan, penyajian dan konsumsi makanan atau minuman. Pengendalian tersebut bertujuan untuk mencegah kontaminasi produk oleh mikroorganisme, serangga, tikus, binatang pes, benda asing dan bahan kimia yang berbahaya. Oleh karena itu program higiene dan sanitasi ini berlangsung sejak bahan baku diproduksi sampai dengan siap dikonsumsi. Kegiatan yang berhubungan dengan produk makanan meliputi pengendalian mutu mentah, penyiapan bahan mentah, perlengkapan suplai air yang baik, pencegahan kontaminasi makanan pada seluruh tahap selama pengolahan dari peralatan, personalia, terhadap hama serta pengemasan dan penggudangan produk akhir (Jenie, 1998). Mesin/peralatan pengolahan yang memenuhi persyaratan sanitasi adalah mesin/peralatan yang konstruksinya sedemikian rupa sehingga mudah dibersihkan dan dibuat dari bahan-bahan yang mudah dibersihkan dan tidak berpengaruh negatif terhadap produk serta tahan terhadap bahan-bahan pembersih (Longree, 1972). Pembersihan peralatan industri pangan perlu dilakukan secara rutin dengan prosedur dan sistem uji kebersihan yang baku. Cara pembersihan juga disesuaikan dengan jenis pengotor dan jenis makanan yang diolah. Peralatan yang kontak langsung dengan makanan dapat menjadi sumber 10 pencemaran, karenanya harus dipilih yang mudah dibersihkan, terbuat dari bahan yang tahan karat, dan tidak mempunyai sambungan sehingga kotoran tidak ada yang tertahan pada sambungan tersebut. Pengawasan terhadap mikroorganisme ini penting untuk menjamin suatu produk yang aman dan utuh dengan masa simpan yang cukup. Cemaran yang tertinggal akibat pembersihan peralatan yang kurang baik, akan menyediakan suatu medium yang baik bagi perkembangbiakan mikroorganisme (Jenie, 2007). Pembersihan peralatan yang kurang baik diaplikasikan sanitizer untuk mengurangi mikroba patogen dan pembusuk yang terdapat pada peralatan dan fasilitas pangan. Zat pengotor harus terlebih dahulu dibersihkan agar sanitizer dapat bekerja dengan baik. Jenis-jenis sanitizer dibagi menjadi tiga bagian, yaitu jenis termal, radiasi, dan kimia. Sanitizer jenis kimia sering digunakan dalam teknik sanitasi, sedangkan jenis termal dan radiasi lebih sedikit digunakan (Marriott, 1992). Aplikasi kebersihan dalam sanitasi meliputi pemrosesan, penyiapan, dan penanganan pangan. Aplikasi sanitasi merujuk pada praktek higienitas yang didesain untuk mempertahankan suatu lingkungan yang bersih dan sehat untuk produksi, persiapan, dan penyimpanan pangan (Marriot, 1992). Umumnya, sanitizer kimia yang lebih pekat konsentrasinya akan lebih cepat bekerja dan lebih efektif untuk sanitasi peralatan. Karakteristik dari setiap sanitizer kimia harus diketahui dan dimengerti, sehingga tepat dalam memilih. Efektivitas sanitizer ini dipengaruhi oleh waktu exposure, suhu, konsentrasi, pH, kesadahan air, dan kebersihan peralatan. Sanitizer kimia yang sering digunakan antara lain senyawa klorin, senyawa iodine, senyawa bromin, quats, sanitizer asam, sanitizer anionik asam, sanitizer acid-quat, hidrogen peroksida, ozon, glutaraldehid, dan mikrobisida (Marriott, 1992). 3.4 HIGIENE PEKERJA Higiene pekerja yang menangani makanan sangat penting peranannya di dalam mencegah perpindahan penyakit ke dalam makanan. Persyaratan bagi pekerja agar mendukung higiene pekerja adalah kesehatan yang baik dan pengetahuan mengenai sanitasi (Minarni, 1995). Higiene adalah kebiasaan seseorang untuk menjaga kebersihan diri sebagai salah satu upaya pencegahan terjadinya penyakit baik pada dirinya atau orang lain (Troller, 1983). Menurut Mariot (1992), higiene pekerja penting untuk dilaksanakan karena bagian-bagian tubuh seperti tangan, rambut, hidung, dan mulut merupakan jalan masuk mikroba untuk mencemari pangan selama proses penyiapan, pengolahan, sampai penyajian melalui sentuhan, pernapasan, batuk, dan bersin. Penerapan higiene pekerja yang baik dapat memutuskan rantai infeksi terhadap makanan (Hobbs, 1989). Kontaminasi makanan dari pekerja dapat terjadi melalui kontak kulit, mulut dan rambut, serta dari pakaian dan perhiasan yang digunakan. Oleh karena itu dibutuhkan usaha pencegahan untuk mengurangi kontaminasi. Salah satu cara untuk mengurangi kontaminasi adalah penerapan kebiasaan mencuci tangan. Menurut Jenie (2007), karyawan harus mencuci tangan dengan sabun pada waktu: (1) sebelum mulai kerja, (2) sebelum dan sesudah makan, (3) setelah keluar dari kamar kecil, (4) ketika meninggalkan atau kembali ke ruang pengolahan, (5) ketika berpindah kerja dalam satu ruang pengolahan dan (6) ketika tangan menyentuh kotoran atau bahan terkontaminasi lainnya seperti makanan dan peralatan pengolahan. Fasilitas pencucian tangan hendaknya harus tersedia di ruang ganti, kamar kecil dan daerah pengolahan makanan, yang berupa air pencuci, sabun aseptik, serta handuk saniter atau alat pengering tangan atau lap sekali pakai. Selain itu pekerja yang luka dan berpenyakit kulit tidak diperkenankan menangani, menyentuh produk selama berada di pabrik, dalam ruangan produksi tidak diperkenankan 11 mengenakan perhiasan agar mencegah perhiasan terjatuh ke proses pengolahan dan mengkontaminasi produk. Rambut dari kepala, kotoran dari muka dan hidung dapat menjadi sumber kontaminan bagi produk yang akan dihasilkan, oleh karena itu pengenaan tutup kepala dan masker harus dikenakan sebelum bekerja dan bukan di daerah pengolahan pangan (Troller,1983). 3.5 GMP (GOOD MANUFACTURING PRACTICES) GMP (good manufacturing practices) merupakan pedoman cara memproduksi makanan yang baik pada seluruh rantai makanan, mulai dari produksi primer sampai konsumen akhir dan menekankan higiene pada setiap tahap pengolahan. Thaheer (2005) menyebutkan bahwa GMP merupakan suatu pedoman cara memproduksi makanan dengan tujuan agar produsen memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan yang bermutu dan sesuai dengan keamanan pangan dan tuntutan konsumen. Pedoman GMP atau Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) menurut Menteri Kesehatan No.23/MEN.KES/SK/1978 mencakup lokasi pabrik, bangunan, produk akhir, peralatan pengolahan, bahan produksi, higien personal, pengendalian proses pengolahan, fasilitas sanitasi, label, keterangan produk, penyimpanan, pemeliharaan sarana pengolahan dan kegiatan sanitasi, laboratorium, kemasan dan transportasi. Pada dasarnya, program persyaratan kelayakan dasar terdiri dari dua bagian, yaitu cara produksi makanan yang baik (CPMB) atau good manufacturing practice (GMP) dan standard prosedur operasional sanitasi atau SSOP (sanitation standard operating procedure). Di Indonesia, sesuai dengan peraturan yang ada di Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan yang sekarang berubah menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menerbitkan pedoman cara produksi makanan yang baik (CPMB) atau GMP. Pedoman penerapan GMP ini disusun berdasarkan pedoman umum higiene pangan dan peraturan perundang-undangan di bidang pangan, terutama yang mengatur mengenai produksi pangan. Pedoman penerapan GMP ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara produksi makanan yang baik dalam rangka : (1) Melindungi konsumen dari penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi persyaratan, (2) Memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang dikonsumsi merupakan pangan yang layak, (3) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secara internasional, dan (4) Memberikan bahan acuan dalam program pendidikan kesehatan di bidang pangan kepada industri dan konsumen. Pedoman penerapan GMP bagi industri pangan sebagai acuan dalam menerapkan praktek cara produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) Memproduksi dan menyediakan pangan yang aman dan layak bagi konsumen; (2) Memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti kepada masyarakat, misalnya dengan pelabelan dan pemberian petunjuk mengenai cara penyimpanan dan penyediaannya, sehingga masyarakat dapat melindungi pangan terhadap kemungkinan terjadinya kontaminasi dan kerusakan pangan, yaitu dengan cara penyimpanan, penanganan dan penyiapan yang baik; dan (3) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan dunia internasional terhadap pangan yang diproduksinya (Ditjen POM, 1996). 3.6 SSOP (SANITATION STANDARD OPERATING PROCEDURES) Undang-Undang Pangan RI No. 7 tahun 1996 menjelaskan bahwa sanitasi pangan merupakan upaya pencegahan terhadap berbagai kemungkinan tumbuh dan berkembang biaknya jasad renik 12 pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan kesehatan manusia. SSOP merupakan alat bantu dalam penerapan GMP, yang berisikan tentang perencanaan tertulis untuk menjalankan GMP, syarat agar penerapan GMP dapat dimonitor dan adanya tindakan koreksi jika terdapat komplain, verifikasi dan dokumentasi (FDA, 1995). SSOP menurut FDA (1995) terdiri atas delapan aspek kunci yaitu : 1) keamanan air proses produksi; 2) kondisi kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan; 3) pencegahan kontaminasi silang dari objek yang tidak saniter; 4) kebersihan pekerja; 5) pencegahan atau perlindungan dari adulterasi; 6) pelabelan dan penyimpanan yang tepat; 7) pengendalian kesehatan karyawan; dan 8) pemberantasan hama. 13