Bismillahirrahmaanirrahiim FITNAH Siapa pun tahu bahwa fitnah merupakan sifat tercela. Fitnah merupakan kebiasaan seseorang untuk menabur petaka, kekacauan, perpecahan, bencana, musibah atau bentuk keburukan lainnya yang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan pada orang lain, dan sama sekali tidak memberi manfaat dalam agama. Misalnya, membujuk orang lain berbuat jahat dengan cara mengadu domba, atau menyebar gosip untuk menjauhkan nama baik seseorang. Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang beriman, baik lakilaki maupun perempuan, kemudian mereka tidak bertaubat maka bagi mereka azab jahanam, dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar." (Q.S. Al-Buruj, 10). Akibat dari fitnah ini, sudah nyata menimbulkan bencana dunia, baik bagi pelakunya maupun bagi orang lain. Sedangkan bencana akhirat hanyalah ditanggung oleh si pelakunya, yaitu akan dibakar di dalam api neraka jahanam. Lebih bahaya lagi jika fitnah itu bersumber dari seorang da'i, baik melalui ceramah, fatwa lisan maupun tulisannya. Karena dorongan nafsu demi popularitas dan materi duniawinya, dengan segala kebodohan dan kekurangannya, seorang da'i tidak jarang menyampaikan suatu fatwa yang menyesatkan umat yang pemahaman agamanya masih kurang. Pada akhir zaman ini, karena sudah semakin langkanya ulama yang betul-betul faqih dan wara', dikhawatirkan tipe para da'i penabur fitnah ini semakin merajalela. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu (agama) secara langsung dari hamba-hambanya. Allah akan mencabutnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga apabila tidak ada lagi seorang alim, orang-orang akan mengangkat para pemimpin yang bodoh. Ketika ditanya (suatu masalah agama), mereka memberikan fatwa tanpa didasarkan pada ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan kepada yang lain." (H.R. Muslim). Ada juga yang menyampaikan fatwa yang benar tapi tidak hati-hati (wara') atau tidak menjaga kode etik dakwah berkaitan dengan kondisi objek dakwahnya (mad'u), baik karena keluguan dan kepolosannya maupun karena kebiasaan buruknya dengan melakukan sensasi. Misalnya, seorang alim memberikan fatwa bahwa salat tidak sah tanpa membaca fatihah yang sesuai dengan ilmu tajwidnya. Akibat dari fatwanya ini, orang-orang awam yang merasa belum mampu membaca Al-Qur'an secara benar segera meninggalkan salat. Ada juga ulama yang kerjanya menyampaikan fatwa yang dapat menyulut perpecahan antara umat Islam. Contohnya, dengan cara memperuncing masalah yang tidak prinsip (furu') yang jelas-jelas di-ikhtilaf-kan sejak masa Rasul sampai hari kiamat. Demikian salah satu sisi-nya dalam perjalanan dakwah para alim yang terkadang melenceng dari misi yang sebenarnya. Alih-alih menciptakan kemaslahatan umat, yang muncul malah suatu bencana bagi agama. Setiap mukmin wajib menghindari fitnah sekecil apa pun, karena dia akan menimbulkan bencana besar. Adapun di antara cara menghindari penyakit ini adalah sebagai berikut: 1. Menjauhi seluruh penyebabnya; seperti mengikuti hawa nafsu, persaingan duniawi yang tidak bersih sehingga menyulut rasa hasud dan dendam. 2. Menekan gejala penyakit ini seminimal mungkin, melalui pola hidup hati-hati (wara') dalam berbicara, bertindak, bahkan dalam menerima kebenaran suatu informasi yang datang dari seseorang yang terkadang bermaksud "membangunkan" fitnah yang sebelumnya "tertidur". Rasulullah SAW bersabda, "Fitnah itu (sebenarnya) tertidur (tidak pernah nampak). Karena itu, Allah pasti melaknat orang yang membangunkannya."