KONSEP DASAR KEPERAWATAN GERONTIK PENGERTIAN Ilmu + Keperawatan + Gerontik •Ilmu : pengetahuan dan sesuatu yang dapat dipelajari •Keperawatan : konsisten terhadap hasil lokakarya nasional keperawatan 1983 •Gerontik : gerontologi + geriatrik •Gerontologi adalah cabang ilmu yang membahas/menangani tentang proses penuaan/masalah yang timbul pada orang yang berusia lanjut. •Geriatrik berkaitan dengan penyakit atau kecacatan yang terjadi pada orang yang berusia lanjut. •Keperawatan Gerontik : suatu bentuk pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu dan kiat/teknik keperawatan yang berbentuk bio-psiko-sosio-spritual dan kultural yang holistik, ditujukan pada klien lanjut usia, baik sehat maupun sakit pada tingkat individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. LINGKUP PERAN DAN TANGGUNGJAWAB Fenomena yang menjadi bdang garap keperawatan gerontik adalah tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (KDM) lanjut usia sebagai akibat proses penuaan. Lingkup askep gerontik meliputi: 1. Pencegahan terhadap ketidakmampuan akibat proses penuaan 2. Perawatan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akibat proses penuaan 3. Pemulihan ditujukan untuk upaya mengatasi kebutuhan akibat proses penuaan Dalam prakteknya keperawatan gerontik meliputi peran dan fungsinya sebagai berikut: 1. Sebagai Care Giver /pemberi asuhan langsung 2. Sebagai Pendidik klien lansia 3. Sebagai Motivator 4. Sebagai Advokasi 5. Sebagai Konselor Tanggung jawab Perawat Gerontik 1. Membantu klien lansia memperoleh kesehatan secara optimal 2. Membantu klien lansia untuk memelihara kesehatannya 3. Membantu klien lansia menerima kondisinya 4. Membantu klien lansia menghadapi ajal dengan diperlakukan secara manusiawi sampai dengan meninggal. Sifat Pelayanan Gerontik 1. Independent (layanan tidak tergantung pada profesi lain/mandiri) 2. Interdependent 3. Humanistik (secara manusiawi) 4. Holistik (secara keseluruhan) Model Pemberian Keperawatan Profesional 1. Model Asuhan 2. Model Manajerial◊berkaitan pada pengaturan/manajemen Model asuhan yang sesuai masih dalam penelitian………………………………… Diterima sementara ini “Ad an Adaptation Model of Nursing” (Sister Calista Roy) PENDAHULUAN UMUM Gerontologi adalah bidang studi yang mempelajari aspek sosial, psikologi dan biologi dari proses penuaan. Hal ini berbeda dengan geriatri, yang merupakan cabang dari ilmu kedokteran yang mempelajari penyakit pada lanjut usia (lansia). Istilah geriatri ini berasal dari bahasa Yunani geron yang berarti “orang tua” dan iatros yang berarti “penyembuh” alias dokter atau dukun Meski ilmu ini sudah diperkenalkan sejak 1909, namun perkembangannya tidak sepesat ilmu kedokeran yang lain. Katakanlah ilmu biologi molekuler, saat ini sebagian universitas terkenal di negeri ini “demam” dengan ilmu tersebut. Bisa jadi, penghargaan kita terhadap generasi pendahulu kita perlu diperbaharui. Konotasi “jompo” atau orang yang tidak berdaya, amat lekat pada lansia. Barangkali, bila semakin banyak kelompok lansia yang cukup kaya untuk membiayai kesehatannya, ilmu geriatri ini akan lebih berkembang Di Amerika, ahli geriatri adalah dokter keluarga atau dokter penyakit dalam yang memperoleh pelatihan sesuai kualifikasi ilmu geriatri. Pada pokoknya, dokter untuk lansia ini bekerja di level komunitas. Sedangkan di Inggris, sebagian besar ahli geriatri adalah ahli geriatri yang bekerja di rumah sakit, meskipun memiliki perhatian pula terhadap geriatri komunitas. Pelayanannya meliputi pelayanan orthogeriatrics (fokus pada osteoporosis dan penanganan komplikasinya), psychogeriatrics (fokus pada demensia dan depresi pada geriatri) dan rehabilitasi. Di Indonesia memiliki sejarah yang kurang lebih sama. Adalah Prof Supartondo, ahli penyakit dalam yang merintis bidang ini. Guru besar FKUI ini, merekrut ahli penyakit dalam dari berbagai divisi seperti reumatologi (Prof Harry Isbagio), pulmonologi (dr Asril Bahar), kardiologi (Prof) dan ginjal hipertensi (Dr Suhardjono) untuk membangun divisi Geriatri. Saat ini sudah ada 2 orang ahli geriatri di FKUI yang secara khusus mendalami bidang ini, Dr. Czeresna Heriawan dan Dr. Siti Setiati Perkembangan IPTEK memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan yang terlihat dari angka harapan hidup (AHH) yaitu: AHH di Indonesia tahun 1971 : 46,6 tahun tahun 1999 : 67,5 tahun Populasi lansia akan meningkat juga yaitu: •Pada tahun 1990 jumlah penduduk 60 tahun ± 10 juta jiwa/5,5 % dari total populasi penduduk. •Pada tahun 2020 diperkirakan meningka 3X menjadi ± 29 juta jiwa/11,4 % dari total populasi penduduk (Lembaga Demografi FE-UI-1993). Selanjutnya : Terdapat hasil yang mengejutkan, yaitu: •62,3% lansia di Indonesia masih berpenghasilan dai pekerjaannya sendiri •59,4% dari lansia masih berperan sebagai kepala keluarga •53 % lansia masih menanggung beban kehidupan keluarga •hanya 27,5 % lansia mendapat penghasilan dari anak/menantu DEPKES RI membagi Lansia sebagai berikut: 1. kelompok menjelang usia lanjut (45 - 54 th) sebagai masa VIRILITAS 2. kelompok usia lanjut (55 - 64 th) sebagai masa PRESENIUM 3. kelompok usia lanjut (65 th > ) sebagai masa SENIUM Sedangkan WHO membagi lansia menjadi 3 kategori, yaitu: 1. Usia lanjut : 60 - 74 tahun 2. Usia Tua : 75 - 89 tahun 3. Usia sangat lanjut : > 90 tahun PROSES PENUAAN Proses Terjadinya Penuaan 1. Biologi a. Teori “Genetic Clock”; Teori ini menyatakan bahwa proses menua terjadi akibat adanya program jam genetik didalam nuklei. Jam ini akan berputar dalam jangka waktu tertentu dan jika jam ini sudah habis putarannya maka, akan menyebabkan berhentinya proses mitosis. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Haiflick, (1980) dikutif Darmojo dan Martono (1999) dari teori itu dinyatakan adanya hubungan antara kemampuan membelah sel dalam kultur dengan umur spesies Mutasisomatik (teori error catastrophe) hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam menganalisis faktor-aktor penyebab terjadinya proses menua adalah faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya mutasi somatik. Sekarang sudah umum diketahui bahwa radiasi dan zat kimia dapat memperpendek umur. Menurut teori ini terjadinya mutasi yang progresif pada DNA sel somatik, akan menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel tersebut. b. Teori “Error” Salah satu hipotesis yang yang berhubungan dengan mutasi sel somatik adalah hipotesis “Error Castastrophe” (Darmojo dan Martono, 1999). Menurut teori tersebut menua diakibatkan oleh menumpuknya berbagai macam kesalahan sepanjang kehidupan manusia. Akibat kesalahan tersebut akan berakibat kesalahan metabolisme yang dapat mengakibatkan kerusakan sel dan fungsi sel secara perlahan. c. Teori “Autoimun” Proses menua dapat terjadi akibat perubahan protein pasca tranlasi yang dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri (Self recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada permukaan sel, maka hal ini akan mengakibatkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya Goldstein(1989) dikutip dari Azis (1994). Hal ini dibuktikan dengan makin bertambahnya prevalensi auto antibodi pada lansia (Brocklehurst,1987 dikutif dari Darmojo dan Martono, 1999). Dipihak lain sistem imun tubuh sendiri daya pertahanannya mengalami penurunan pada proses menua, daya serangnya terhadap antigen menjadi menurun, sehingga sel-sel patologis meningkat sesuai dengan menigkatnya umur (Suhana,1994 dikutif dari Nuryati, 1994) d. Teori “Free Radical” Penuaan dapat terjadi akibat interaksi dari komponen radikal bebas dalam tubuh manusia. Radikal bebas dapat berupa : superoksida (O2), Radikal Hidroksil (OH) dan Peroksida Hidrogen (H2O2). Radikal bebas sangat merusak karena sangat reaktif , sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein, dan asam lemak tak jenuh. Menurut Oen (1993) yang dikutif dari Darmojo dan Martono (1999) menyatakan bahwa makin tua umur makin banyak terbentuk radikal bebas, sehingga poses pengrusakan terus terjadi , kerusakan organel sel makin banyak akhirnya sel mati. e. Wear &Tear Teori Kelebihan usaha dan stress menyebaban sel tubuh rusak. f. Teori kolagen Peningkatan jumlah kolagen dalam jaringan menyebabkan kecepatan kerusakan jaringan dan melambatnya perbaikan sel jaringan. 2. Teori Sosiologi a. Activity theory, ketuaan akan menyebabkan penurunan jumlah kegiatan secara langsung. b. Teori kontinuitas, adanya suatu kepribadian berlanjut yang menyebabkan adanya suatu pola prilaku yang meningkatkan stress. c. Disengagement Theory, putusnya hubungan dengan dunia luar seperti hubungan dengan masyarakat, hubungan dengan individu lain. d. Teori Stratifikasi usia, karena orang yang digolongkan dalam usia tua akan mempercepat proses penuaan. 3. Teori Psikologis a. Teori kebutuhan manusia dari Maslow, orang yang bisa mencapai aktualisasi menurut penelitian 5% dan tidak semua orang bisa mencapai kebutuhan yang sempurna. b. Teori Jung, terdapat tingkatan-tingkatan hidup yang mempunyai tugas dalam perkembangan kehidupan. c. Course of Human Life Theory, Seseorang dalam hubungan dengan lingkungan ada tingkat maksimumnya. d. Development Task Theory, Tiap tingkat kehidupan mempunyai tugas perkembangan sesuai dengan usianya. •Penuaan Primer : perubahan pada tingkat sel (dimana sel yang mempunyai inti DNA/RNA pada proses penuaan DNA tidak mampu membuat protein dan RNA tidak lagi mampu mengambil oksigen, sehingga membran sel menjadi kisut dan akibat kurang mampunya membuat protein maka akan terjadi penurunan imunologi dan mudah terjadi infeksi. •Penuaan Skunder : proses penuaan akibat dari faktor lingkungan, fisik, psikis dan sosial . Stress fisik, psikis, gaya hidup dan diit dapat mempercepat proses menjadi tua. Contoh diet ; suka memakan oksidator, yaitu makanan yang hampir expired. Gairah hidup yang dapat mempercepat proses menjadi tua dikaitkan dengan kepribadian seseorang, misal: pada kepribadian tipe A yang tidak pernah puas dengan apa yang diperolehnya. Secara umum perubahan proses fisiologis proses menua adalah: 1. Perubahan Mikro •Berkurangnya cairan dalam sel •Berkurangnya besarnya sel •Berkurangnya jumlah sel 2. Perubahan Makro •Mengecilnya mandibula •Menipisnya discus intervertebralis •Erosi permukaan sendi-sendi •Osteoporosis •Atropi otot (otot semakin mengecil, bila besar berarti ditutupi oleh lemak tetapi kemampuannya menurun) •Emphysema Pulmonum •Presbyopi •Arterosklerosis •Manopause pada wanita •Demintia senilis •Kulit tidak elastis •Rambut memutih Proses menua Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa anak, masa dewasa dan masa tua ( Nugroho, 1992). Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami kemunduran secara fisik maupun psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan kulit yang mengendor, rambut memutih, penurunan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitifitas emosional meningkat dan kurang gairah. Meskipun harus menimbulkan penyakit oleh karenanya lanjut usia harus sehat. Sehat dalam hal ini diartikan : 1) Bebas dari penyakit fisik, mental dan social 2) Mampu melakukan aktifitas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari 3) Mendapat dukungan secara sosial dari keluarga dan masyarakat (Rahardjo, 1996) Akibat perkembangan usia, lanjut usia mengalami perubahan-perubahan yang menuntut dirinya untuk menyesuaikan diri secara terus menerus. Apabila proses penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang berhasil maka timbullah berbagai masalah. Hurlock (1979) seperti dikutip oleh Munandar Ashar Sunyoto ( 1994) menyebutkan masalah-masalah yang menyertai lansia yaitu : 1) Ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang lain 2) Ketidakpastian ekonomi sehingga memerlukan perubahan total dalam pola Hidupnya 3) Membuat teman baru untuk mendapatkan ganti mereka yang telah meninggal atau pindah 4) Mengembangkan aktifitas baru untuk mengisi waktu luang yang bertambah banyak 5) Belajar memperlakukan anak-anak yang telah tumbuh dewasa. Berkaitan dengan perubahan fisik, Hurlock mengemukakan bahwa perubahan fisik yang mendasar adalhan perubahan gerak. Lanjut usia juga mengalami perubahan dalam minat. Pertama minat terhadap diri makin bertambah. Kedua minat terhadap penampilan semakin berkurang. Ketiga minat terhadap uang semakin meningkat, terkhir minta terhadap kegiatan rekreasi tak berubah hanya cenderung menyempit. Untuk itu diperlukan motivasi yang tinggi pada diri lansia untuk selalu menjaga kebugaran fisiknya agar tetap sehat secara fisik. Motivasi tersebut diperlikan untuk melakukan latihan fisik secara benar dan teratur untuk meningkatkan kebugaran fisiknya. Berkaitan dengan perubahan, kemudian Hurlock (1990) mengatakan bahwa perubahan yang dialami oleh setiap orang akan mempengaruhi minatnya terhadap perubahan tersebut dan akhirnya mempengaruhi pola hidupnya. Bagaimana sikap yang ditunjukan apakah memuaskan atau tidak memuaskan, hal ini tergantung dari pengaruh perubahan terhadap peran dan pengalaman pribadinya. Perubahan yang diminati oleh para lanjut usia adalah perubahan yang berkaitan dengan masalah peningkatan kesehatan, ekonmi atau pendapatan dan peran sosial (Goldstein, 1992). Dalam menghadapi perubahan tersebut diperlukan penyesuaian. Ciri-ciri penyesuaian yang tidak baik dari lansia ( Hurlock, 1979) di kutip oleh Munandar (1994) adalah : 1) Minat sempit terhadap kejadian di lingkungannya 2) penarikan diri ke dalam dunia fantasi 3) Selalu mengingat kembali masa lalu 4) Selalu kwuatir karena pengangguran 5) Kurang ada motivasi 6) Rasa kesendirian karena hubungan dengan keluarga kurang baik 7) Tempat tinggal yang tidak diinginkan Dilain pihak ciri penyesuaian diri lanjut usia yang baik antara lain adalah : Minat yang kuat, ketidaktergantungan secara ekonomi, kontak sosial luas, menikmati kerja dan hasil kerja, menikmati kegiatan yang dilakukan saat ini dan memiliki kekuatiran minimal terhadap diri dan orang lain. Faktor faktor yang mempengaruhi penuaan 1)Hereditas atau ketuaan genetic 2)Nutrisi atau makanan 3)Status kesehatan 4)Pengalaman hidup 5)Lingkungan 6)Stres KARAKTERISTIK PENYAKIT PADA LANSIA •Saling berhubungan satu sama lain •Penyakit sering multiple •Penyakit bersifat degeneratif •Berkembang secara perlahan •Gejala sering tidak jelas •Sering bersama-sama problem psikologis dan sosial •Lansia sangat peka terhadap penyakit infeksi akut •Sering terjadi penyakit iatrogenik (penyakit yang disebabkan oleh konsumsi obat yang tidak sesuai dengan dosis) Hasil penelitian Profil Penyakit Lansia di 4 kota (Padang, Bandung, Denpasar, Makasar), sebagai berikut: •Fungsi tubuh dirasakan menurun: Penglihatan (76,24 %), Daya ingat (69,39 %), Sexual (58,04 %), Kelenturan (53,23 %), Gilut (51,12 %). •Masalah kesehatan yang sering muncul Sakit tulang (69,39 %), Sakit kepala (51,15 %), Daya ingat menurun (38,51 %), Selera makan menurun (30,08 %), Mual/perut perih (26,66 %), Sulit tidur (24,88 %) dan sesak nafas (21,28 %). Permasalahan umum a) Makin besar jumlah lansia yang berada dibawah garis kemiskinan b) Makin melemahnya nilai kekerabatan sehinggan anggota keluaraga yang lanjut usia kurang diperhatikan, dihargai dan dihormati. c) Lahirnya kelompok masyarakat industry d) Masih rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga profesional pelayanan lanjut usia e) Belum membudaya dan melembaganya kegiatan pembinaan kesejahteraan lansia Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia 1. Perubahan Fisik Meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua sistem organ tubuh, diantaranya sistem pernafasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh, muskuloskeletal, gastrointestinal, genito urinaria, endokrin dan integumen. a. Sistem pernafasan pada lansia. 1) Otot pernafasan kaku dan kehilangan kekuatan, sehingga volume udara inspirasi berkurang, sehingga pernafasan cepat dan dangkal. 2) Penurunan aktivitas silia menyebabkan penurunan reaksi batuk sehingga potensial terjadi penumpukan sekret. 3) Penurunan aktivitas paru ( mengembang & mengempisnya ) sehingga jumlah udara pernafasan yang masuk keparu mengalami penurunan, kalau pada pernafasan yang tenang kira kira 500 ml. 4) Alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang ( luas permukaan normal 50m²), Ù menyebabkan terganggunya prose difusi. 5) Penurunan oksigen (O2) Arteri menjadi 75 mmHg menggangu prose oksigenasi dari hemoglobin, sehingga O2 tidak terangkut semua kejaringan. 6) CO2 pada arteri tidak berganti sehingga komposisi O2 dalam arteri juga menurun yang lama kelamaan menjadi racun pada tubuh sendiri. 7) kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret & corpus alium dari saluran nafas berkurang sehingga potensial terjadinya obstruksi. b. Sistem persyarafan. 1) Cepatnya menurunkan hubungan persyarafan. 2) Lambat dalam merespon dan waktu untuk berfikir. 3) Mengecilnya syaraf panca indera. 4) Berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya syaraf pencium & perasa lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin. c. Perubahan panca indera yang terjadi pada lansia. 1) Penglihatan a) Kornea lebih berbentuk skeris. b) Sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar. c) Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa). d)Meningkatnya ambang pengamatan sinar : daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam cahaya gelap. e) Hilangnya daya akomodasi. F Menurunnya lapang pandang & berkurangnya luas pandang. g) Menurunnya daya membedakan warna biru atau warna hijau pada skala. 2) Pendengaran a) Presbiakusis (gangguan pada pendengaran) : Hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara, antara lain nada nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata kata, 50 % terjadi pada usia diatas umur 65 tahun. b) Membran timpani menjadi atropi menyebabkan otosklerosis. c) Terjadinya pengumpulan serumen, dapat mengeras karena meningkatnya kreatin. 3) Pengecap dan penghidu. a) Menurunnya kemampuan pengecap. b) Menurunnya kemampuan penghidu sehingga mengakibatkan selera makan berkurang. 4) Peraba. a) Kemunduran dalam merasakan sakit. b) Kemunduran dalam merasakan tekanan, panas dan dingin. b. Perubahan cardiovaskuler pada usia lanjut. 1) Katub jantung menebal dan menjadi kaku. 2) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1 % pertahun sesudah berumur 20 tahun. Hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya. 3) Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Kurangnya efektifitasnya pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, perubahan posisi dari tidur keduduk ( duduk ke berdiri ) bisa menyebabkan tekanan darah menurun menjadi 65 mmHg ( mengakibatkan pusing mendadak ). 4) Tekanan darah meningkat akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer (normal ± 170/95 mmHg ). c. Sistem genito urinaria. 1) Ginjal, Mengecil dan nephron menjadi atropi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50 %, penyaringan diglomerulo menurun sampai 50 %, fungsi tubulus berkurang akibatnya kurangnya kemampuan mengkonsentrasi urin, berat jenis urin menurun proteinuria ( biasanya + 1 ) ; BUN meningkat sampai 21 mg % ; nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat. 2) Vesika urinaria / kandung kemih, Otot otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau menyebabkan frekwensi BAK meningkat, vesika urinaria susah dikosongkan pada pria lanjut usia sehingga meningkatnya retensi urin. 3) Pembesaran prostat ± 75 % dimulai oleh pria usia diatas 65 tahun. 4) Atropi vulva. 5) Vagina, Selaput menjadi kering, elastisotas jaringan menurun juga permukaan menjadi halus, sekresi menjadi berkurang, reaksi sifatnya lebih alkali terhadap perubahan warna. 6Daya sexual, Frekwensi sexsual intercouse cendrung menurun tapi kapasitas untuk melakukan dan menikmati berjalan terus. d. Sistem endokrin / metabolik pada lansia. 1) Produksi hampir semua hormon menurun. 2) Fungsi paratiroid dan sekesinya tak berubah. 3) Pituitary, Pertumbuhan hormon ada tetapi lebih rendah dan hanya ada di pembuluh darah dan berkurangnya produksi dari ACTH, TSH, FSH dan LH. 4) Menurunnya aktivitas tiriod Ù BMR turun dan menurunnya daya pertukaran zat. 5) Menurunnya produksi aldosteron. 6) Menurunnya sekresi hormon bonads : progesteron, estrogen, testosteron. 7) Defisiensi hormonall dapat menyebabkan hipotirodism, depresi dari sumsum tulang serta kurang mampu dalam mengatasi tekanan jiwa (stess). e. Perubahan sistem pencernaan pada usia lanjut. 1) Kehilangan gigi, Penyebab utama adanya periodontal disease yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk. 2) Indera pengecap menurun, Adanya iritasi yang kronis dari selaput lendir, atropi indera pengecap (± 80 %), hilangnya sensitivitas dari syaraf pengecap dilidah terutama rasa manis, asin, asam & pahit. 3) Esofagus melebar. 4) Lambung, rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun ), asam lambung menurun, waktu mengosongkan menurun. 5) Peristaltik lemah & biasanya timbul konstipasi. 6) Fungsi absorbsi melemah ( daya absorbsi terganggu ). 7) Liver ( hati ), Makin mengecil & menurunnya tempat penyimpanan, berkurangnya aliran darah. f. Sistem muskuloskeletal. 1) Tulang kehilangan densikusnya Ù rapuh. 2) resiko terjadi fraktur. 3) kyphosis. 4) persendian besar & menjadi kaku. 5) pada wanita lansia > resiko fraktur. 6) Pinggang, lutut & jari pergelangan tangan terbatas. 7) Pada diskus intervertebralis menipis dan menjadi pendek ( tinggi badan berkurang ). a. Gerakan volunter / gerakan berlawanan. b. Gerakan reflektonik / Gerakan diluar kemauan sebagai reaksi terhadap rangsangan pada lobus. c. Gerakan involunter / Gerakan diluar kemauan, tidak sebagai reaksi terhadap suatu perangsangan terhadap lobus d. Gerakan sekutu / Gerakan otot lurik yang ikut bangkit untuk menjamin efektifitas dan ketangkasan otot volunter. g. Perubahan sistem kulit & karingan ikat. 1). Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak. 2). Kulit kering & kurang elastis karena menurunnya cairan dan hilangnya jaringan adiposa 3). Kelenjar kelenjar keringat mulai tak bekerja dengan baik, sehingga tidak begitu tahan terhadap panas dengan temperatur yang tinggi. 4). Kulit pucat dan terdapat bintik bintik hitam akibat menurunnya aliran darah dan menurunnya sel sel yang meproduksi pigmen. 5). Menurunnya aliran darah dalam kulit juga menyebabkan penyembuhan luka luka kurang baik. 6). Kuku pada jari tangan dan kaki menjadi tebal dan rapuh. 7). Pertumbuhan rambut berhenti, rambut menipis dan botak serta warna rambut kelabu. 8). Pada wanita > 60 tahun rambut wajah meningkat kadang kadang menurun. 9).Temperatur tubuh menurun akibat kecepatan metabolisme yang menurun. 10).Keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak rendahnya akitfitas otot. 11). Perubahan sistem reproduksi dan kegiatan sexual. 1) Perubahan sistem reprduksi. a) selaput lendir vagina menurun/kering. b) menciutnya ovarium dan uterus. c) atropi payudara. d) testis masih dapat memproduksi meskipun adanya penurunan secara berangsur berangsur. e) dorongan sex menetap sampai usia diatas 70 tahun, asal kondisi kesehatan baik. 2) Kegiatan sexual. Sexualitas adalah kebutuhan dasar manusia dalam manifestasi kehidupan yang berhubungan dengan alat reproduksi. Setiap orang mempunyai kebutuhan sexual, disini kita bisa membedakan dalam tiga sisi : 1) fisik, Secara jasmani sikap sexual akan berfungsi secara biologis melalui organ kelamin yang berhubungan dengan proses reproduksi, 2) rohani, Secara rohani Ù tertuju pada orang lain sebagai manusia, dengan tujuan utama bukan untuk kebutuhan kepuasan sexualitas melalui pola pola yang baku seperti binatang dan 3) sosial, Secara sosial Ù kedekatan dengan suatu keadaan intim dengan orang lain yang merupakan suatu alat yang apling diharapkan dalammenjalani sexualitas. Sexualitas pada lansia sebenarnya tergantung dari caranya, yaitu dengan cara yang lain dari sebelumnya, membuat pihak lain mengetahui bahwa ia sangat berarti untuk anda. Juga sebagai pihak yang lebih tua tampa harus berhubungan badan, msih banyak cara lain unutk dapat bermesraan dengan pasangan anda. Pernyataan pernyataan lain yang menyatakan rasa tertarik dan cinta lebih banyak mengambil alih fungsi hubungan sexualitas dalam pengalaman sex. 2. Perubahan-perubahan mental/ psikologis Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah : a. Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa. b. kesehatan umum c. Ttingkat pendidikan d. Keturunan (herediter) e. Lingkungan f. Gangguan saraf panca indra, timbul kebutaan dan ketulian g. Gangguan konsep diri akibat kehilangan jabatan h. Rangkaian dari kehilangan yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan famili i. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri dan perubahan konsep diri Perubahan kepribadian yang drastis keadaan ini jarang terjadi lebih sering berupa ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang, kekakuan mungkin oleh karena faktor lain seperti penyakit-penyakit. Kenangan (memory) ada dua; 1) kenangan jangka panjang, berjam-jam sampai berharihari yang lalu, mencakup beberapa perubahan, 2) Kenangan jangka pendek atau seketika (0-10 menit), kenangan buruk. Intelegentia Quation; 1) tidakberubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal, 2) berkurangnya penampilan,persepsi dan keterampilan psikomotorterjadi perubahan pada daya membayangkan, karena tekanan-tekanan dari faktro waktu. Pengaruh proses penuaan pada fungsi psikososial. 1. perubahan fisik, sosial mengakibatkan timbulnya penurunan fungsi, kemunduran orientasi, penglihatan, pendengaran mengakibatkan kurangnya percaya diri pada fungsi mereka. 2. Mundurnya daya ingat, penurunan degenerasi sel sel otak. 3. Gangguan halusinasi. 4. Lebih mengambil jarak dalam berinteraksi. 5. Fungsi psikososial, seperti kemampuan berfikir dan gambaran diri. 3. Perubahan Spiritual Agama atau kepercayaan makin terintegarsi dalam kehidupannya (Maslow,1970). Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam berpikir dan bertindak dalam sehari-hari. (Murray dan Zentner,1970) Konsep Model Florence Nightingle Inti konsep Florence Nightingale, pasien dipandang dalam kontek lingkungan secara keseluruhan, terdiri dari lingkungan fisik, lingkungan psikologis dan lingkungan sosial. a. Lingkungan fisik (physical enviroment) Merupakan lingkungan dasar/alami yan berhubungan dengan ventilasi dan udara. Faktor tersebut mempunyai efek terhadap lingkungan fisik yang bersih yang selalu akan mempengaruhi pasien dimanapun dia berada didalam ruangan harus bebas dari debu, asap, bau-bauan.Tempat tidur pasien harus bersih, ruangan hangat, udara bersih, tidak lembab, bebas dari bau-bauan. Lingkungan dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan perawatan baik bagi orang lain maupun dirinya sendiri. Luas, tinggi penempatan tempat tidur harus memberikan memberikan keleluasaan pasien untuk beraktifitas. Tempat tidur harus mendapatkan penerangan yang cukup, jauh dari kebisingan dan bau limbah. Posisi pasien ditempat tidur harus diatur sedemikian rupa supaya mendapat ventilasi. b. Lingkungan psikologi (psychologi enviroment) F. Nightingale melihat bahwa kondisi lingkungan yang negatif dapat menyebabkan stress fsiik dan berpengaruh buruk terhadap emosi pasien. Oleh karena itu ditekankan kepada pasien menjaga rangsangan fisiknya. Mendapatkan sinar matahari, makanan yang menarik dan aktivitas manual dapat merangsang semua faktor untuk membantu pasien dalam mempertahankan emosinya. Komunikasi dengan pasien dipandang dalam suatu konteks lingkungan secara menyeluruh, komunikasi jangan dilakukan secara terburu-buru atau terputus-putus. Komunikasi tentang pasien yang dilakukan dokter dan keluarganya sebaiknya dilakukan dilingkungan pasien dan kurang baik bila dilakukan diluar lingkungan pasien atau jauh dari pendengaran pasien. Tidak boleh memberikan harapan yang terlalu muluk, menasehati yang berlebihan tentang kondisi penyakitnya. Selain itu membicarkan kondisi-kondisi lingkungan dimana dia berada atau cerita hal-hal yang menyenangkan dan para pengunjung yang baik dapat memberikan rasa nyaman. c. Lingkungan sosial (social environment) Observasi dari lingkungan sosial terutama huhbungan yang spesifik, kumpulan datadata yang spesifik dihubungkan dengan keadaan penyakit, sangat penting untuk pencegahan penyakit. Dengan demikian setiap perawat harus menggunakan kemampuan observasi dalam hubungan dengan kasus-kasus secara spesifik lebih dari sekedar data-data yang ditunjukkan pasien pada umumnya. Seperti juga hubungan komuniti dengan lingkungan sosial dugaannya selalu dibicarakan dalam hubungnya individu pasien yaitu lingkungan pasien secara menyeluruh tidak hanya meliputi lingkungan rumah atau lingkungan rumah sakit tetapi juga keseluruhan komunitas yang berpengaruh terhadap lingkungan secara khusus. d. Hubungan teori Florence Nightingale dengan beberapa konsep Hubungan teori Florence Nightingale dengan konsep keperawatan : 1) Individu / manusia Memiliki kemampuan besar untuk perbaikan kondisinya dalam menghadapi penyakit. 2) Keperawatan Bertujuan membawa / mengantar individu pada kondisi terbaik untuk dapat melakukan kegiatan melalui upaya dasar untuk mempengaruhi lingkungan. 3) Sehat / sakit Fokus pada perbaikan untuk sehat. 4) Masyarakaat / lingkungan Melibatkan kondisi eksternal yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan individu, fokus pada ventilasi, suhu, bau, suara dan cahaya. e. Hubungan teori Florence Nightingale dengan proses keperawatan 1) Pengkajian / pengumpulan data Data pengkajian Florence N lebih menitik beratkan pada kondisi lingkungan (lingkungan fisik, psikis dan sosial). 2 Analisa data Data dikelompokkan berdasarkan lingkungan fisik, sosial dan mental yang berkaitan dengan kondisi klien yang berhubungan dengan lingkungan keseluruhan. 3) Masalah Difokuskan pada hubungan individu dengan lingkungan misalnya : Kurangnya informasi tentang kebersihan lingkungan ♣ Ventilasi ♣ Pembuangan sampah ♣ Pencemaran lingkungan ♣ Komunikasi sosial, dll ♣ 4) Diagnosa keperawatan Berrbagai masalah klien yang berhubungan dengan lingkungan antara lain : Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap efektivitas asuhan. ♣ Penyesuaian terhadap lingkungan. ♣ Pengaruh stressor lingkungan terhadap efektivitas asuhan. ♣ 5) Implementasi Upaya dasar merubah / mempengaruhi lingkungan yang memungkinkan terciptanya kondisi lingkungan yang baik yang mempengaruhi kehidupan, perrtumbuhan dan perkembangan individu. 6) Evaluasi Mengobservasi dampak perubahan lingkungan terhadap kesehatan individu. f. Hubungan teori Florence Nightingale dengan teori-teori lain : 1) Teori adaptasi Adaptasi menunjukkan penyesuaian diri terhadap kekuatan yang melawannya. Kekuatan dipandang dalam konteks lingkungan menyeluruh yang ada pada dirinya sendiri. Berrhasil tidaknya respon adapatsi seseorang dapat dilihat dengan tinjauan lingkungan yang dijelaskan Florence N. Kemampuan diri sendiri yang alami dapat bertindak sebagai pengaruh dari lingkungannya berperanpenting pada setiap individu dalam berespon adaptif atau mal adaptif. 2) Teori kebutuhan Menurut Maslow pada dasarnya mengakui pada penekanan teori Florence N, sebagai contoh kebutuhan oksigen dapat dipandang sebagai udara segar, ventilasi dan kebutuhan lingkungan yang aman berhubungan dengan saluran yang baik dan air yang bersih. Teori kebutuhan menekankan bagaimana hubungan kebutuhan yang berhubungan dengan kemampuan manusia dalam mempertahankan hidupnya. 3) Teori stress Stress meliputi suatu ancaman atau suatu perubahan dalam lingkungan, yang harus ditangani. Stress dapat positip atau negatip tergantung pada hasil akhir. Stress dapat mendorong individu untuk mengambil tindakan positip dalam mencapai keinginan atau kebutuhan. Stress juga dapat menyebabkan kelelahan jika stress begitu kuat sehingga individu tidak dapat mengatasi. Florence N, menekankan penempatan pasien dalam lingkungan yang optimum sehingga akan menimumkan efek stressor, misalnya tempat yang gaduh, membangunkan pasien dengan tiba-tiba, ,semuanya itu dipandang sebagai suatu stressor yang negatif. Jumlah dan lamanya stressor juga mempunyai pengaruh kuat pada kemampuan koping individu. 5. Teori Kejiwaan sosial a) Aktifitas atau kegiatan ( activity theory ) Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah secara langsung. Teri ini menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut dalam banyak kegiatan sosial Ukuran optimum ( pola hidup ) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia b) Kepribadian berlanjut ( continuity theory ) Dasar kepribadian aatau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personality yang dimiliki. c) Teori Pembebasan ( Disengagement theory ) Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara bengangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjadi kehilangan ganda ( tripel loss ), yakni 1) kehilangan peran 2) hambatan kontak sosial 3) berkurangnya kontak komitmen Tanda-Tanda Bahaya Kala Nifas Infeksi Masa Nifas Setelah persalinan terjadi beberapa perubahan penting diantaranya makin meningkatnya pembentukkan urin untuk mengurangi hemodilusi darah, terjadi penyerapan beberapa bahan tertentu melalui pembuluh darah vena sehingga terjadi peningkatan suhu badan sekitar 0,5 oC yang bukan merupakan keadaan patologis atau menyimpang pada hari pertama. Perlukaan karena persalinan merupakan tempat masuknya kuman kedalam tubuh, sehingga menimbulkan infeksi pada kala nifas. Infeksi kala nifas adalah infeksi peradangan pada semua alat genitalia pada masa nifas oleh sebab apapun dengan ketentuan meningkatnya suhu badan melebihi 38 oC tanpa menghitung hari pertama dan berturut-turut selama dua hari. Gambaran klinis infeksi umum dapat dalam bentuk : 1. Infeksi Lokal 1. Pembengkakan luka episiotomi. 2. Terjadi penanahan. 3. Perubahan warna lokal. 4. Pengeluaran lochia bercampur nanah. 5. Mobilisasi terbatas karena rasa nyeri. 6. Temperatur badan dapat meningkat. 2. Infeksi General 1. Tampak sakit dan lemah. 2. Temperatur meningkat diatas 39 oC. 3. Tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat. 4. Pernapasan dapat meningkat dan napas terasa sesak. 5. Kesadaran gelisah sampai menurun dan koma. 6. Terjadi gangguan involusi uterus. 7. Lochia : berbau, bernanah serta kotor. Faktor Predisposisi Infeksi Masa Nifas Faktor predisposisi infeksi masa nifas diantaranya adalah : 1.Persalinan berlangsung lama sampai terjadi persalinan terlantar. 2.Tindakan operasi persalinan. 3.Tertinggalnya plasenta selaput ketuban dan bekuan darah. 4.Ketuban pecah dini atau pada pembukaan masih kecil melebihi enam jam. 5.Keadaan yang dapat menurunkan keadaan umum, yaitu perdarahan antepartum dan post partum, anemia pada saat kehamilan, malnutrisi, kelelahan dan ibu hamil dengan penyakit infeksi. Terjadinya Infeksi Masa Nifas Terjadinya infeksi masa nifas adalah sebagai berikut: 1.Manipulasi penolong: terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam, alat yang dipakai kurang suci hama. 2.Infeksi yang didapat di rumah sakit (nosokomial). 3.Hubungan seks menjelang persalinan. 4.Sudah terdapat infeksi intrapartum: persalinan lama terlantar, ketuban pecah lebih dari enam jam, terdapat pusat infeksi dalam tubuh (lokal infeki). Keadaan abnormal pada rahim Beberapa keadaan abnormal pada rahim adalah : 1. Sub involusi uteri. Proses involusi rahim tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga proses pengecilan rahim terhambat. Penyebab terjadinya sub involusi uteri adalah terjadinya infeksi pada endometrium, terdapat sisa plasenta dan selaputnya, terdapat bekuan darah, atau mioma uteri. 2. Pendarahan masa nifas sekunder. Adalah pendarahan yang terjadi pada 24 jam pertama. Penyebabnya adalah terjadinya infeksi pada endometrium dan terdapat sisa plasenta dan selaputnya. 3. Flegmansia alba dolens. Merupakan salah satu bentuk infeksi puerpuralis yang mengenai pembuluh darah vena femoralis. Gejala kliniknya adalah : 1. Terjadi pembengkakan pada tungkai. 2. Berwarna putih. 3. Terasa sangat nyeri. 4. Tampak bendungan pembuluh darah. 5Temperatur badan dapat meningkat. Keadaan abnormal pada payudara Beberapa keadaan abnormal yang mungkin terjadi adalah : 1. Bendungan ASI Disebabkan oleh penyumbatan pada saluran ASI. Keluhan mamae bengkak, keras, dan terasa panas sampai suhu badan meningkat. 2. Mastitis dan Abses Mamae Infeksi ini menimbulkan demam, nyeri lokal pada mamae, pemadatan mamae dan terjadi perubahan warna kulit mamae. Keadaan abnormal pada psikologis 1Psikologi Pada Masa Nifas Perubahan emosi selama masa nifas memiliki berbagai bentuk dan variasi. Kondisi ini akan berangsur-angsur normal sampai pada minggu ke 12 setelah melahirkan. Pada 0 – 3 hari setelah melahirkan, ibu nifas berada pada puncak kegelisahan setelah melahirkan karena rasa sakit pada saat melahirkan sangat terasa yang berakibat ibu sulit beristirahat, sehingga ibu mengalami kekurangan istirahat pada siang hari dan sulit tidur dimalam hari. Pada 3 -10 hari setelah melahirkan, Postnatal blues biasanya muncul, biasanya disebut dengan 3th day blues. Tapi pada kenyataanya berdasarkan riset yang dilakukan paling banyak muncul pada hari ke lima. Postnatal blues adalah suatu kondisi dimana ibu memiliki perasaan khawatir yang berlebihan terhadap kondisinya dan kondisi bayinya sehingga ibu mudah panik dengan sedikit saja perubahan pada kondisi dirinya atau bayinya. Pada 1 – 12 minggu setelah melahirkan, kondisi ibu mulai membaik dan menuju pada tahap normal. Pengembalian kondisi ibu ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya, misalnya perhatian dari anggota keluarga terdekat. Semakin baik perhatian yang diberikan maka semakin cepat emosi ibu kembali pada keadaan normal. 2. Depresi Pada Masa Nifas Riset menunjukan 10% ibu mengalami depresi setelah melahirkan dan 10%nya saja yang tidak mengalami perubahan emosi. Keadaan ini berlangsung antara 3-6 bulan bahkan pada beberapa kasus terjadi selama 1 tahun pertama kehidupan bayi. Penyebab depresi terjadi karena reaksi terhadap rasa sakit yang muncul saat melahirkan dan karena sebab-sebab yang kompleks lainnya. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan menunjukan faktor-faktor penyebab depresi adalah terhambatnya karir ibu karena harus melahirkan, kurangnya perhatian orangorang terdekat terutama suami dan perubahan struktur keluarga karena hadirnya bayi, terutama pada ibu primipara. Surabaya, 2/8/2007 (Kominfo-Newsroom) - Yayasan Gerontologi Abiyoso (YGA) Propinsi Jatim siap memantau penerapan peraturan daerah (Perda) Lanjut Usia (Lansia) Propinsi Jatim, untuk memastikan kesejahateraan kehidupan para lansia di Jatim dapat terjamin dan terpenuhi. “Perda tersebut merupakan payung hukum bagi lansia di Jatim dalam memperoleh kesejahteraan hidupnya,” kata Ketua Yayasan Gerontologi Abiyoso (YGA) Propinsi Jatim Trimarjono, ditemui di kantornya Surabaya, Rabu (1/8). Karenanya, ia sangat mengharapkan pemerintah Kabupaten/Kota segera mengadopsi perda lansia ini yang sudah disahkan DPRD Jatim, Selasa (31/7). Selama ini, kesejahteraan para lansia di Jatim dinilai masih kurang, akibat kurangnya perhatian dari semua pihak yang terkait, sehingga dengan adanya perda lansia ini diharapkan mereka mendapatkan payung hukum dalam memperoleh kesejahteraan. Perda tersebut sudah disahkan dan kini tinggal menunggu teknis pelaksanaan di lapangan. Sementara Wakil Ketua IV YGA Prop Jatim, Soerjadi Tjokrosoewito, mengemukakn petunjuk teknis pelaksanaan dari perda itu akan diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub). Petunjuk teknis dari perda tersebut, mengatur mekanisme dan sistem pelaksanaannya, mulai dari mengatur tentang pelanggaran hingga ke penindakan. ”Tentang siapa yang berhak menindak apabila ditemukan ada yang melanggar perda lansia, itu akan disebutkan pada pergub,” paparnya. Jumlah lansia di Jatim tahun 2006, sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim, tercatat sebanyak 3,94 juta orang dan dari jumlah itu sekitar 20 persen diantaranya belum mendapatkan perhatian baik dari peroarangan, kelompok, LSM ataupun pemerintah. Dengan adanya Perda, para lansia yang tidak mendapatkan perhatian dapat mengadukan kepada pihak terkait agar dapat segera ditindak tegas sesuai kebijakan perda lansia yang sudah terbentuk ini. Kebanyakan dari mereka yang tidak mendapatkan perhatian itu berdomisili di pedesaan yaitu sekitar 76% dan sisanya, keberadaannya tinggal di perkotaan. Sementara berdasar data YGA, jumlah lansia di Jatim sebanyak 3,94 juta orang terdiri dari laki-laki 1,75 juta orang dan perempuan 2,18 juta orang. Sedangkan rata-rata lansia di tiap Kecamatan terbanyak terdapat di Kota Malang, Kota Kediri, Kab Malang, dan Kab Madiun. Sedangkan terbayak jumlah lansia di desa-desa atau kelurahan berada di Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Batu, Kota Madiun, dan Kab Jember. ( www.d-infokom-jatim.go.id/hsn/toeb) Thursday, January 22, 2009 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN GERONTOLOGI I. PENDAHULUAN Salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa seringkali dilihat dari umur harapan hidup penduduknya. Demikian juga Indonesia sebagai suatu negara berkembang, dengan perkembangannya yang cukup baik, diproyeksikan angka harapan hidupnya dapat mencapai lebih dari 70 tahun pada tahun 2020 yang akan datang. Hal ini semua merupakan gambaran yang terjadi pada seluruh negara di dunia berkat adanya kemajuan teknologi dan kondisi sosio-ekonomi yang dialaminya. Menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki / mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994). Ilmu pengetahuan dan teknologi masih ditantang untuk menerangkan penyebab orang menjadi tua. Banyak teori yang diajukan dan belum dapat memuaskan semua pihak. Yang jelas ialah bahwa proses menua merupakan kombinasi berbagai faktor yang saling berkaitan. Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari segala aspek yang berhubungan dengan masalah lanjut usia atau dapat pula diartikan sebagai suatu pendekatan ilmiah dari berbagai aspek proses penuaan ditinjau dari segi kesehatan, sosial, ekonomi, perilaku, hukum, lingkungan dan lain-lain. Perkembangan ilmu ini tidak dapat dipisahkan dari kemajuan ilmu dan teknologi, karena sampai setengah abad yang lalu ilmu ini memang belum dikenal. Tujuan hidup manusia adalah menjadi tua tapi tetap sehat (healthy aging). Tujuan geriatri / gerontologi adalah mewujudkan healthy aging tersebut dengan jalan melaksanakan P4 di bidang kesehatan, yaitu peningkatan mutu kesehatan (promotion), pencegahan penyakit (preventive), pengobatan penyakit (curative), dan pemulihan kesehatan (rehabilitation). Dengan mengembangkan kerangka model seperti di atas, jelaslah peranan dan sasaran kerja promosi dan prevensi di bidang geriatri. Masalah lanjut usia akan dihadapi oleh setiap insan dan akan berkembang menjadi masalah yang lebih kompleks karena : 1.Umur harapan hidup (life expectancy) pada saat itu akan berada di atas usia 70 tahun, sehingga populasi lanjut usia di Indonesia tidak saja akan melebihi jumlah balita tetapi dapat menduduki peringkat ke-empat di dunia setelah RRC, India dan Amerika Serikat. 2.Sistem pensiun atau tunjangan kesehatan yang memadai sampai saat ini masih belum dipikirkan secara mendasar, padahal angka kesakitan dan kemiskinan pada lanjut usia tentunya akan meningkat. 3.Setiap keluarga pada saat itu rata-rata akan mempunyai 2 orang anak. Para lansia akan menghadapi kedaan dimana semua anak mereka harus bekerja dan berkarier. Sehingga muncul pertanyaan : siapakah yang dapat diharapkan dan mau menjadi care provider bagi mereka? Masalah globalisasi akan menuntut perkembangan keluarga yang tadinya berintikan nilai tradisional / keluarga guyub beralih dan cenderung berkembang menjadi keluarga individual / patembayan. Norma masyarakat juga akan bergeser dan mengarah pada kehidupan yang egosentris. Masalah gender akan berkembang menjadi topik besar, karena jumlah lansia wanita akan melebihi jumlah prianya (karena umur harapan hidup wanita memang lebih tinggi), sedangkan kelompok wanita tua lebih bercirikan kekurangmampuan/ kemiskinan, kurangnya ketrampilan yang dimiliki dibandingkan dengan kelompok pria dan ketidakberdayaan. Di lain pihak, kelompok yang melayani lansia umumnya terdiri dari para wanita. Terbatasnya aksebilitas lansia sehingga mobilitas menjadi sangat terbatas. Terbatasnya hubungan dan komunikasi lanjut usia dan lingkungannya dan penurunan kesempatan dan produktivitas kerja. Terbatasnya kemampuan dalam memanfaatkan dan mendayagunakan sumbersumber yang ada. Terberantasnya penyakit infeksi yang disebabkan kuman dan parasit, berkembangnya ilmu kesehatan lingkungan serta keberhasilan program keluarga berencana menyebabkan meningkatnya angka harapan hidup dan tentunya dibarengi konsekuensi lainnya yang lebih kompleks. Perkembangan ilmu kesehatan yang berkaitan dengan lansia juga tumbuh lebih cepat, karena penyakit lanjut usia memiliki karakteristik tertentu yang jarang didapatkan pada masa anak dan dewasa muda. Masalah lainnya pun berkembang cepat sehingga sampai saat ini dikenal berbagai cabang ilmu seperti : Proses biologik pada usia lanjut Socio-gerontology Psycho-gerontology Medical-gerontology yang mencakup aspek preventif, kuratif dan rehabilitatif. Sementara itu, ilmu geriatri praktis mempelajari aspek kedokteran klinis dan tidak terlampau banyak membicarakan aspek preventif Anthropo-gerontology, dan lain sebagainya. Semua pihak hendaknya mengantisipasi hal ini dan mempersiapkan diri menghadapi permasalahan yang sangat kompleks yang akan timbul. Permasalahan potensial yang akan terjadi tidak hanya ditimbulkan oleh faktor kependudukan, akan tetapi juga disebabkan oleh faktor biologis, sosial budaya, ekonomi, hukum dan etika, psikologis dan perilaku, kesehatan, pembinaan, perawatan, pelayanan serta jaringan kerjasama tingkat lokal, nasional, regional, bahkan global. Belum lagi sering terjadi saling mempengaruhi antar berbagai faktor yang disebutkan tadi. Beberapa produk hukum telah dikembangkan dan yang terbaru adalah UndangUndang Republik Indonesia nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia. Produk hukum tersebut dapat dijadikan pedoman guna memperbaiki kinerja para pelaksana sehingga diperoleh kegiatan yang lebih terarah, terpadu, efektif dan efisien dengan tujuan akhirnya, yaitu membuat lansia dan keluarganya sejahtera. Dengan demikian iklim yang tercipta perlu dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya oleh seluruh pihak yang berkiprah dalam pembangunan lanjut usia. ii. Demografi Lanjut Usia Transisi Demografi Pada pertemuan di Madrid, WHO mengungkapkan bahwa semasa abad yang lalu telah terjadi perubahan-perubahan besar sebelum perang dunia pertama, dimana hampir semua Negara-negara di seluruh dunia tercekam oleh penyakitpenyakit menular, kekurangan gizi dan menurunnya status kesehatan lingkungan sehingga umur harapan hidup sangat rendah. Setelah Ilmu Kesehatan Masyarakat dikembangkan, maka penyakit-penyakit tadi dapat ditekan, oleh sebab itu sejak 60 tahun yang lalu ada paradigma kesehatan baru yang disebut dengan epidemiological shift. Lalu berkembang suatu masa dimana sejak perang dunia kedua, hampir semua penduduk dunia berkembang biak dengan jumlah anak-anak kecil yang dilahirkan tanpa suatu program khusus, jadi dalam keluarga tersebut bisa memiliki 10 orang anak bahkan lebih sehingga jumlah penduduk menjadi tidak terkontrol. Saat itulah terjadi suatu gerakan dunia untuk mengingatkan agar jangan sampai dunia mengalami kekurangan pangan bagi penduduk-penduduk baru dan diproklamirkan suatu gerakan berencana internasional yang disebut family planning program. Di Indonesia gerakan family planning program ternyata cukup berhasil. Maka kira-kira 30 tahun lalu terjadi suatu pergeseran baru dalam kesehatan yang disebut dengan demographical shift. Pada akhir abad yang lalu disinyalir umur lansia semakin banyak. Ada negaranegara yang mempunyai jumlah lansia diatas 10% dan disebut dengan Aging Populated Countries. Di Indonesia, kini populasi lansia rata-rata 7,5% dari jumlah total penduduk dan dalam waktu 20 tahun lagi jumlah lansia Indonesia akan melebihi balita. Pada saat itulah WHO mengatakan bahwa milenium ini ditandai dengan apa yang disebut dengan gerontological shift, dimana jumlah lansia dengan permasalahannya akan jauh lebih besar, lebih serius dan lebih kompleks. Karena itu diperlukan suatu program-program yang lebih terarah dan hanya bisa dimulai bila institusi-institusi mulai memberikan perhatian. Dan diharapkan lembaga-lembaga lainnya akan turut berperan serta dalam usaha ini. Seperti diketahui bahwa Indonesia saat ini sedang berada dalam transisi demografi dengan persentasi lansia diproyeksikan menjadi 11,34% pada tahun 2020. Keberhasilan pembangunan akan meningkatkan derajat kesehatan penduduk yang ditandai dengan menurunnya tingkat kelahiran dan kematian serta diikuti oleh semakin luasnya cakupan dan meningkatnya mutu pelayanan kesehatan dan gizi rakyat telah mendorong terjadinya pergeseran berbagai paramater demografi ke arah yang lebih baik. Salah satu diantaranya adalah meningkatnya usia harapan hidup dari 45,7 tahun pada tahun 1968 menjadi 61,3 tahun pada tahun 1992. Diproyeksikan usia harapan hidup penduduk Indonesia akan semakin meningkat. Salah satu konsekuensinya yang perlu diantisipasi sejak dini adalah meningkatnya baik jumlah maupun persentasi penduduk lansia. Pada tahun 1990 penduduk berusia 60 tahun ke atas sudah mencapai 11,3 juta atau 6,4 % dari jumlah penduduk dan akan terus meningkat. Pada tahun 2005 jumlah lanjut usia diramalkan akan menjadi 19 juta (8,5%) dan pada tahun 2010 akan melebihi jumlah balita. Keadaan ini mempunyai implikasi yang besar pada kebijakan makro di berbagai sektor pembangunan. Kebijakan makro pun akan banyak mengalami pergeseran. Secara alami proses manjadi tua menyebabkan para lansia mengalami kemunduran fisik dan mental. Makin lanjut usia seseorang, makin banyak ia mengalami permasalahan terutama fisik, mental, spiritual, ekonomi dan sosial sehingga diperlukan upaya khusus yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif agar para lanjut usia tetap dapat mandiri dan tidak menjadi beban bagi dirinya maupun keluarga dan masyarakat. Struktur masyarakat Indonesia berubah dari masyarakat / populasi “muda” (1971) enjadi populasi yang lebih “tua” pada tahun 2020. Piramida penduduk Indonesia berubah bentuk dengan basis lebar (fertilitas tinggi) menjadi piramida berbentuk bawang yang menunjukan rendahnya fertilitas dan mortalitas. Pergeseran ini menuntut perubahan dalam strategi pelayanan kesehatan, dengan kata lain perhatian dan prioritas untuk penyakit-penyakit dewasa dan lanjut usia akan lebih dibutuhkan, namun penyakit-penyakit anak dan balita masih juga belum diselesaikan (beban ganda). Perubahan struktur ini juga akan mempengaruhi rasio ketergantungan (Dependency Ratio). Dengan demikian lapisan kaum lansia dalam struktur demografi Indonesia menjadi makin tebal, dan sebaliknya kaum muda menjadi relatif lebih sedikit. Dengan kata lain, timbul regenerasi yang bisa membawa akibat negatif. Proses ini berlangsung beberapa tahap, antara lain : Tahap I Timbul kesenjangan antar generasi (generation gap), karena kaum muda secara lebih dinamis mengikuti kemajuan teknologi canggih, sedangkan kaum lansia acuh, tetap tertinggal dan membiarkan kaum muda berjalan terus. Keadaan ini belum berbahaya. Tahap II Karena makin tebalnya lapisan lansia dan makin meningkatnya tingkat kesehatan,mereka pun masih mampu mengimbangi kaum muda dan menghendaki tetap pada jabatannya, sehingga tidak mau digeser. Pada saat inilah timbul tekanan pada generasi muda (generation pressure) yang lebih berbahaya dari keadaan tahap I. Tahapan Indonesia saat ini adalah tahap I dan mulai memasuki tahap II dengan timbulnya isu peningkatan usia pensiun. Tahap III Adalah yang paling berbahaya, ditandai dengan timbulnya konflik anyar generasi (generation conflict). Dalam keadaan ini para lansia yang jumlahnya makin banyak merasa makin kuat dan terus-menerus menekan generasi di bawahnya, sedangkan generasi muda bereaksi dan melawan tekanan-tekanan tersebut sehingga timbul konflik yang berkepanjangan dan sulit diatasi dengan segera. Ini merupakan keadaan yang berbahaya. Untuk mencegah proses regenerasi menuju keadaan yang berbahaya, maka antara lain harus dilaksanakan hal-hal sebagai berikut : 1. menyelenggarakan program pensiun secara terpadu dan merata 2. menciptakan lapangan kerja/kegiatan bagi lanjut usia yang tidak bertentangan dengan kebutuhan kaum muda. Pengaruh Proses Industrialisasi Di negara-negara maju ternyata kualitas hidup dapat ditingkatkan dengan cepat berkat industrialisasi. Hal ini umpamanya terjadi di Jepang yang pada tahun 1955 masih mempunyai persentase orang-orang usia lanjut sebesar 5,3%, pada tahun 1975 telah meningkat menjadi 8,6% dan menjadi 14,3% pada tahun 2000. Dengan kata lain, bahwa dengan adanya industrialisasi maka penggunaan teknologi modern dapat lebih dimanfaatkan demi peningkatan derajat hidup. Tetapi perkembangan industri membawa serta pula kontaminasi lingkungan dan gangguan kelestarian lingkungan hidup, sehingga memerlukan pengaturan dan pengawasan yang baik. Bila tidak, maka polusi ini akan berpengaruh buruk pada lingkungannya dan terutama yang akan terkena lebih dahulu dampaknya ialah anak-anak dan orang lanjut usia (WHO, 1974). Dengan adanya industrialisasi, urbanisasi juga terjadi, sehingga menambah kepadatan penduduk kota dan segala macam problemanya, yang secara langsung atau tak langsung akan mempengaruhi perkembangan geriatri (gerontologi) pada umumnya. Selain itu industrialisasi juga membawa pikiran-pikiran yang lebih materialistik dan dapat mendesak budaya tradisional yang baik. Jadi perkembangan industri disini bisa berpengaruh positif, tetapi bila tidak diawasi dengan baik juga dapat memberi dampak negatif terhadap golongan penduduk berusia lanjut. Pada era industrialisasi,baik suami maupun istri harus bekerja, sedangkan anak-anak harus bersekolah. Seorang nenek atau kakek haruslah sendirian di rumah. Masalah akan timbul bila mereka sudah lemah dan sakit-sakitan, maka justru disini perlu adanya apa yang disebut “day care center” atau “day hospital” untuk pengawasan, rehabilitasi dan lain sebagainya. Para lansia tersebut pada sore / malam hari dapat dijemput pulang ke rumah kembali. Di Indonesia hal ini praktis belum dikembangkan. Indikator Demografi Berbagai indikator demografi yang lazim dipakai adalah sebagai berikut : 1. Indeks Penuaan (The Ageing Index) Rasio penduduk lanjut usia terhadap penduduk usia kurang dari 15 tahun. 2. Usia Median (Median Age) Membagi sama penduduk usia muda dan tua. 3. Penuaan Penduduk Tua ( The Ageing of the Elderly Population) Proporsi penduduk lansia diatas 75 tahun dibanding lanjut usia diatas. 4. Besar dan Proporsi Penduduk Lanjut Usia ( The Relative Weight of Elderly) Angka 10% merupakan tanda transisi struktur penduduk muda ke arah tua. 5. Komposisi Penduduk Lanjut Usia Pria - Wanita (The Sex Composition of the Elderly Population) 6. Angka Ketergantungan Penduduk Lanjut Usia ( The Aged Dependency Ratio) Jumlah penduduk lanjut usia terhadap 100 penduduk usia kerja yang berusia 15-59 tahun. iii. Sejarah Gerontologi Studi mengenai proses penuaan telah dikenal jauh dalam sejarah. Dalam sebuah literatur kuno, tercantum bahwa Aristoteles mengajukan pertanyaanpertanyaan seputar proses menua. Dia berdiskusi mengenai umur harapan hidup, teori penuaan, dan umur maksimal dari berbagai spesies. Kemudian Galen dan Roger Bacon turut memberikan kontribusi berupa literatur-literatur yang topiknya seputar masalah penuaan. Pada zaman Renaissance, Francis Bacon menulis sebuah tulisan berjudul “History of Life and Death”. Sebuah monograf yang ditulis oleh Joseph Freeman menampilkan sebuah kilas balik yang menakjubkan yang beisi catatan sejarah mengenai riset seputar masalah penuaan yang dilakukan lebih dari 2500 tahun yang lalu. Era modern dalam riset mengenai masalah penuaan terjadi pada abad ke-20. Sebagai contoh, pada tahun 1908, Elie Metchnikoff menerima penghargaan nobel atas kontribusinya yang sangat besar dalam bidang biologi dan penelitian tentang penuaan. Ia memperkenalkan konsep bahwa proses penuaan disebabkan absorpsi toksin yang berasal dari bakteri usus. Periode Gerontologi modern dimulai sekitar tahun 1950. Ketika itu studi yang telah bersifat sistematik menjelaskan perubahan yang terjadi pada proses menua, ditinjau secara fisiologi, biokimia dan morfologi seluler yang terjadi. Beberapa penelitian pada zaman itu telah memperkenalkan kita pada teori-teori penuaan. Secara garis besar, teori penuaan dapat dibagi menjadi 2 grup utama. Grup pertama menjelaskan bahwa proses menua terjadi karena adanya fenomena “wear and tear”. Kelompok lainnya berpendapat bahwa penuaan dipengaruhi oleh lingkungan, sebagai contoh misalnya toksin, sinar kosmis, gravitasi dan lain-lain. Di USA terutama pada tahun 1940, banyak studi yang difokuskan seputar masalah panjang umur. Tujuannya adalah untuk memperpanjang umur harapan hidup manusia. Pada tahun 1939 edisi pertama dari “Problems of Aging” yang ditulis oleh Cowdry menandai awal era modern dalam penelitian seputar masalah penuaan. Secara kronologis, dibawah ini akan dijabarkan perkembangan gerontologi khususnya di Indonesia dan kongres atau pertemuan internasional yang memberi pengaruh pada perkembangan gerontologi di Indonesia. Kurun Waktu 1965-1974 Kesejahteraan sosial lanjut usia selama kurun waktu 1965-1974 dilaksanakan berdasarkan berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 4 tahun 1965 tentang Pemberian Bantuan Bagi Orang Jompo. Setelah tahun 1974 telah dikeluarkan perundang-undangan lannya yang materinya terkait dengan kesejahteraan sosial lanjut usia baik secara langsung maupun tak langsung, diantaranya Undang-undang No. 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial dan Undang-undang No.10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sejahtera.Dengan meningkatnya lanjut usia dituntut adanya upaya yang lebih proporsional dalam meningkatkan kesejahteraan lanjut usia yang tidak saja kesejahteraan sosial sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 4 tahun 1965 tetapi juga pelayanan kesejahteraan lanjut usia dalam arti luas. Pra WAA II World Assembly on Ageing (1982) Sejak PBB menggelar World Assembly on Ageing pada tahun 1982 di Wina dan mengingatkan semua negara bahwa masalah lanjut usia akan menjadi masalah besar, beberapa peserta yang berasal dari Indonesia telah mengambil prakarsa di bidang ini dan sesampainya di Indonesia mulai menyebarkan informasi seluas mungkin seputar permasalahan lanjut usia. Terbentuknya PERGERI (1984) Beberapa tokoh masyarakat dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Universitas Indonesia dan Universitas Trisakti menggelar simposium yang bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan masalah tersebut dan berupaya memecahkan problema yang kompleks tersebut. Kemudian didirikannya Perhimpunan Gerontologi Indonesia (PERGERI) pada tahun 1984 yang merupakan salah satu organisasi tertua di Indonesia yang mulai merintis dan melangkah di bidang ini. Dengan didirikannya PERGERI yang diakui sebagai satu-satunya organisasi yang mewakili Indonesia dalam International Association of Gerontology / IAG, para pakar dapat menemukan wadah dalam menyalurkan pendapat dan aspirasinya. Dengan adanya aktivitas PERGERI saat itu, hubungan dengan instansi pemerintah maupun LSM lain mulai digarap, sehingga saat ini nama PERGERI mulai dikenal baik di lingkungan pemerintahan maupun dalam kalangan ilmu pengetahuan, dan suuatu saat PERGERI juga diakui sebagai anggota Forum Organisasi Profersi di Indonesia / FOPI. Demikian pula di tingkat regional, UN-ESCAP (united Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific) perwakilan PBB untuk regio Asia Pasifik. Pencanangan Hari Lanjut Usia Nasional (1996) Melalui melalui berbagai pendekatan terbentuklah suatu Kelompok Kerja Tetap di lingkup Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang selain mengkoordinasikan beberapa kementrerian / departemen yang terkait, juga menampung beberapa anggota masyarakat baik dari PERGERI, PWRI maupun wakil cerdik pandai dari kalangan universitas dan di dalam kerjasamanya mereka menghasilkan beberapa butir kesepakatan, antara lain : 1.Agar Indonesia memiliki kelompok kerja / team-work yang secara konsisten memikirkan masalah kesejahteraan lansia di Indonesia. 2.Agar Indonesia juga memutuskan ditentukannya Hari Lanjut Usia Nasional, yang tanggal-tanggalnya sudah disesuaikan pada pemerintah sebagai alternatif. 3.Agar Indonesia juga setiap tahun dapat menyelenggarakan kegiatan yang dapat dikordinasikan dengan departemen terkait secara bergilir, dan mempunyai tema khusus bagi lanjut usia di Indonesia. Melalui Surat Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat No. 15/KEP/MENKO/KESRA/IX/1994, telah dibentuk Panitia Nasional Pelembagaan Lanjut Usia dalam Kehidupan Bangsa. Panitia Nasional tersebut antara lain bertugas mempersiapkan bahan untuk mendukung terlaksananya pencanangan Hari Lanjut Usia Nasional oleh presiden, menyiapkan konsepkonsep dasar untuk bahan penyusunan rancangan peraturan perundangundangan yang mendukung kehidupan bagi lanjut usia dalam tatanan pembangunan nasional dan menyiapkan pola umum dan standar-standar yang berkaitan dengan pelembagaan lansia dalam kehidupan bangsa. Suatu saat diputuskan bahwa Indonesia memang layak mempunyai Hari Lanjut Usia Nasional yang dicanangkan oleh presiden pada tanggal 29 Mei 1996 di Semarang. Diperingatinya Hari Lanjut Usia secara rutin diharapkan akan membantu meresapkan ke dalam budaya kita bahwa masalah lanjut usia adalah masalah nasional yang tidak bisa dihindarkan oleh siapa pun dan menyangkut semua pihak. Peraturan perundang-undangan diperlukan untuk memberi hak fundamental kepada Lanjut Usia sebagai imbalan dari perjuangan mereka setelah bertahun-tahun mengabdi masyarakat, agar nyata bahwa mereka dihargai dan dihormati, bukan dikasihani. Untuk itu dipergunakan adanya pola umum agar upaya pelembagaan lanjut usia dalam kehidupan bangsa yang menyangkut berbagai sektor mengacu pada pedoman yang sama. Musyawarah Nasional II PERGERI dan cikal bakal berdirinya LKLU (1997) Selanjutnya kegiatan terus bergulir sampai PERGERI menyelenggarakan musyawarah nasionalnya yang kedua pada bulan Desember tahun 1997, dimana menteri sosial saat itu mengisyaratkan agar PERGERI mengambil prakarsa untuk membentuk Badan Nasional untuk dijadikan counter part pemerintah yang nantinya menjadi cikal bakal National Council on Ageing. Ternyata perkembangan menjadi lebih cepat sehingga pada tahun 1998 itu pun telah dicantumkan dalam “GBHN” baru yang disahkan pada bulan Maret 1998 dan sebelum demisioner, Menteri Sosial Dra. Inten Suweno masih sempat mengukuhkan didirikannya Lembaga Kesejahteraan Lanjut Usia / LKLU (dikukuhkan pada tanggal 24 Februari 1998). Tugas LKLU : memberikan sumbangan, pemikiran dan masukan kepada pemerintah untuk perumusan dan penetapan kebijaksanaan upaya pelembagaan lanjut usia dalam kehidupan bangsa. Fungsi LKLU : 1. Merumuskan kebijaksanaan dan menetapkan pedoman umum baik yang berkenaan dengan perencanaan program/kegiatan maupun pelaksanaan secara terpadu dan terkordinasi. 2. Menyelenggarakan koordinasi dengan berbagai instansi terkait, organisasi sosial, LSM, dalam rangka keterpaduan perumusan dan penetapan kebijaksanaan. 3. Melakukan pemasyarakatan, pemantauan dan pengendalian sesuai ketentuan yang berlaku. Pencetusan Deklarasi Macao oleh UN-ESCAP (1998) Di kawasan Asia Pasifik, UN-ESCAP (United Nations Economic and Social Commission For Asia and the Pacific) berhasil mencetuskan deklarasi Macao tentang lanjut usia di Asia dan Pasifik. Deklarasi dicetuskan pada akhir Regional Meeting On A Plan Of Action On Ageing For Asia And The Pacific yang diselanggarakan di Macao , 28 September - 1 Oktober 1998. UN-ESCAP berhasil meyakinkan pemerintah di daerah Asia Pasifik bahwa masalah lanjut usia merupakan masalah aktual yang harus diselesaikan secara bersamaan. Upaya yang telah dirintis selama ini akan bermuara pada satu tujuan utama yaitu tindakan preventif maupun promotif agar lanjut usia masih dapat tetap produktif, sehingga mereka dapat menyumbangkan pengetahuan, tenaga dan aspirasinya secara tepat demi kemajuan/perkembangan sosioekonomi negara masing-masing. Untuk itu dibutuhkan sarana infrastruktur yang baru dalam menghadapi kebutuhan sosial, medik, finansial serta emosional bagi penduduk yang sedang mengalami pergeseran demografik tersebut. Untuk itu, plan of action yang dilahirkan pada regional meeting tersebut diarahkan pada tujuh masalah besar yang dihadapi pada lanjut usia, yakni: Social Position of Older Persons (kedudukan lanjut usia dalam masyarakat) : 1.Older Persons and the Family (kedudukan lanjut usia dalam keluarga) 2.Health and Nutrition (masalah kesehatan dan gizi) Housing and Transportation (masalah perumahan dan transportasi) 3.Older Person and the Market (lanjut usia sebagai konsumen) 4.Income Security, maintenance an Employment (jaminan hari tua / jaminan sosial, pemeliharaan serta penyaluran kegiatannya) 5.Social Service and the Community (pelayanan sosial dan masyarakat) Dalam memperingati Hari Lanjut Usia Internasional pada tanggal 1 Oktober 1998, Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan telah mencanangkan International Year of Older Persons (IYOP). Dalam kesempatan itu, selain tema yang dikumandangkan berjudul “Towards A Society Of All Ages” di markas PBB di New York, juga diselenggarakan pertemuan satu hari penuh yang diprakarsai oleh NGO Comittee on Ageing dan bekerjasama dengan UN programme on Ageing serta UN Departement of Public Information. Peringatan dan Acara Tahun Lanjut Usia Internasional ini akan berlangsung sampai akhir Desember 1999. Penetapan Hari Kebangkitan Lansia RI (2000) Di Indonesia telah ditetapkan hari Kebangkitan Lansia RI yaitu pada 20 Mei 2000. Dan diharapkan adanya lembaga untuk Lansia yang diresmikan oleh Presiden. Kemudian adanya usaha dari UN-ESCAP yaitu pengajuan proposal kepada PBB agar memiliki organisasi di bawah sekjen untuk Lansia dan tiap negara diharapkan mengembangkan pengamanan sosial bagi lansia. Pertemuan Gerontologi di Valencia (2002) Pertemuan gerontologi di Valencia tahun 2002 yang diprakarsai oleh IAG (International Association of Gerontology). Indonesia diwakili oleh Dr. Tony Setiabudi. Sp.KJ. Ph.D. Program Healthy Ageing dikemukakan dalam forum gerontologi di Valencia, Spanyol. Program bagi lanjut usia ini berisi hal-hal sebagai berikut : 1.Aspek demografi Aspek demografi adalah hal-hal yang menyangkut masalah kependudukan, antara lain: proyeksi populasi penduduk, umur harapan hidup, masalah gender (perbedaan jenis kelamin) dan distribusi lansia regional. Proyeksi populasi Indonesia telah dibuat oleh pemerintah Indonesia dari tahun 1971-2020. Dalam proyeksi tersebut terlihat bahwa jumlah penduduk balita akan semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh keberhasilan program KB. Di sisi lain jumlah penduduk lanjut usia semakin bertambah. Hal ini setidaknya merupakan hasil positif karena peningkatan pelayanan kesehatan dari pemerintah yang diperlihatkan dari meningkatnya usia harapan hidup. 2. Aspek nasional-regional-global 3. Hal-hal yang perlu diantisipasi 4. Sumber daya manusia 5. Masalah dalam negeri Indonesia Kongres WAA II di Madrid, Spanyol (2002) Setelah pertemuan IAG diadakan kongres WAA II di Madrid, Spanyol pada tanggal 8-12 April 2002 yang membahas masalah lansia dengan lebih serius kemudian menghasilkan Deklarasi Madrid. Pada pertemuan di Madrid, WHO mengungkapkan bahwa semasa abad yang lalu telah terjadi perubahan-perubahan besar pertama sebelum perang dunia, dimana hampir semua negara-negara di dunia tercekam oleh penyakit-penyakit menular sehingga umur harapan hidup sangat rendah misalnya karena infeksi, kekurangan gizi, kesehatan lingkungan turun dan penyakit-penyakit parasiter. Setelah IKM (Ilmu Kesehatan Masyarakat) dikembangkan maka penyakitpenyakit tadi itu bisa ditekan, oleh sebab itu sejak 60 tahun lalu ada paradigma kesehatan baru yang disebut dengan epidemiological shift. Lalu berkembang suatu masa dimana setelah perang dunia II hampir semua penduduk dunia berkembang biak dengan jumlah anak-anak kecil yang dilahirkan tanpa suatu program khusus. Jadi dalam keluarga itu bisa memiliki 5 orang anak, 10 orang anak dan bahkan lebih sehingga jumlah penduduk ini tidak terkontrol. Saat itulah terjadi suatu gerakan dunia untuk mengingatkan agar jangan sampai dunia mengalami kekurangan pangan bagi penduduk baru dan diproklamirkan suatu gerakan berencana internasional yang disebut family planning program. Di Indonesia gerakan family planning program ternyata cukup berhasil. Maka kira-kira 30 tahun lalu terjadi suatu pergeseran baru dalam kesehatan yang disebut dengan Demographical Shift. Pada akhir abad yang lalu disinyalir umur lansia semakin banyak. Ada negaranegara yang mempunyai jumlah lansia diatas 10% dan disebut dengan Aging Populated Countries. Di Indonesia, kini populasi lansia rata-rata 7,5% dari jumlah total penduduk dan dalam waktu 20 tahun lagi jumlah lansia Indonesia akan melebihi balita. Pada saat itulah WHO mengatakan bahwa millenium ini ditandai dengan apa yang disebut dengan Gerontological Shift, dimana jumlah lansia dengan permasalahannya akan jauh lebih besar, lebih serius dan lebih kompleks. Karena itu diperlukan suatu program-program yang lebih terarah dan hanya bisa dimulai bila institusi-institusi mulai memberikan perhatian. Dan diharapkan lembaga-lembaga lainnya akan turut berperan serta dalam usaha ini. Di dalam Mukadimah deklarasi Madrid diungkapkan bahwa potensi para lansia harus dapat dimaksimalkan agar bisa disumbangkan kepada masyarakat dan negaranya. oleh karena itu diharapkan supaya sikap masyarakat, kebijakan pemerintah, maupun perilaku masyarakat harus diubah sehingga bisa muncul persepsi bahwa orang tua bukannya harus disingkirkan tapi harus diupayakan, digandeng bersama-sama untuk ikut serta dalam pembangunan. Perlu diketahui juga bahwa lansia itu berhak untuk hidup lebih lama dengan rasa aman dan bermartabat, tentunya juga para lansia boleh tetap berperan serta dalam pembangunan dan mempunyai hak sebagai warga negara yang penuh. Isi deklarasi Madrid yang utama yaitu peran lanjut usia dalam pembangunan harus dimaksimalkan dan tentunya peran tersebut hanya mungkin dimaksimalkan kalau derajat kesehatan dan kesejahteraannya juga ditingkatkan. Kedua hal tersebut hanya mungkin dilaksanakan apabila disertai partisipasi dari masyarakat itu sendiri. Kondisi lansia perlu dimaksimalkan karena lansia merasa masih menjadi “orang” jika mereka merasa ikut berpartisipasi aktif, mereka masih diperlukan dalam perkembangan masyarakat secara menyeluruh Hal penting lainnya general issues sangat luar biasa karena pertama-tama dinilai bahwa lansia khususnya di negara miskin harapan hidup perempuannya lebih banyak dari laki-laki, sehingga hampir semua panti werdha wanita lebih banyak tetapi di negara miskin karena wanita praktis tidak mendapat pendidikan yang tinggi maka kehidupannya terpuruk karena kemiskinan dan kurangnya pendidikan. Ternyata general issues tidak berhenti sampai disitu, para tenaga yang melayani lansia dengan caregivers dimanapun di dunia dilakukan oleh kelompok-¬kelompok wanita. Caregivers adalah yang mereka yang berusia 40 tahun keatas dan kebanyakan wanita, maka wanita yang berusia 40 tahun keatas harus disiapkan untuk melayani orang tuanya. Akan tetapi di Singapore terjadi suatu proses perubahan yang besar seperti halnya di Jepang dimana para wanita mulai masuk ke karir sehingga merasa lebih mandiri dan tidak butuh dukungan siapa-siapa lagi. Secara singkat, tema yang ingin dibahas dan disampaikan pada WAA II adalah: Peningkatan partisipasi lanjut usia dalam pembangunan, peningkatan dukungan masyarakat bagi kesejahteraan lanjut usia, perlindungan dan jaminan sosial bagi lanjut usia, perluasan akses dan kemudahan layanan kesehatan bagi lanjut usia serta mempertimbangkan pembentukan komisi nasional lanjut usia. Rencana Pertemuan Internasional yang Berkaitan dengan Perkembangan Gerontologi di Indonesia World Congress Rio de Janeiro 2005 dan Paris 2009 (Korea mencalonkan diri sebagai tempat pertemuan selanjutnya untuk tahun 2013) CIGP 2006 akan diadakan di Indonesia. Kegiatan Pelayanan Lanjut Usia di Indonesia Landasan hukum : Undang-undang No.6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Undang-undang No.13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Undang-undang No.22 tahun 2000 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang No.25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, bidang Pembangunan Sosial Budaya. Keputusan Menkokesra No.15/KEP/IX/1994 tentang Panitia Nasional Pelembagaan Lanjut Usia dalam Kehidupan Bangsa. Keputusan Menteri Sosial No.10/HUK/1998 tentang Lembaga Kesejahteraan Lanjut Usia Sesuai Undang-undang No.13 tahun 1998, mengamanaykan bahwa pemerintah dan masyarakat berkewajiban memberikan pelayanan sosial kepada lanjut usia. Pemberikan pelayanan berlandaskan pada filosofi dan nilai budaya masyarakat Indonesia yang berasas Three Generation in One Roof yang mengandung arti yaitu adanya pertautan yang bernuansa antar 3 generasi, yaitu: anak, orang tua dan kakek / nenek. Sarana pelayanan kesehatan yang dipergunakan untuk melayani Lanjut Usia digolongkan dalam berbagai tingkatan, yaitu : a. Pelayanan Tingkat Masyarakat Pelayanan yang ditujukan kepada Lanjut Usia, keluarga yang mempunyai lanjut usia, kelompok lanjut usia atau kelompok masyarakat seperti : Karang Werdha Adalah suatu perkumpulan/paguyuban dari para lansia yang biasanya berasal dari satu lingkungan hunian. Di dalam klub ini, para lansia yang sehat mandiri dapat mengadakan berbagai kegiatan fisik, rohani,social-ekonomi secara bersama-sama Posyandu Lansia Day Care Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa PUSAKA Dana Sehat Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) b. Pelayanan Tingkat Dasar Pelayanan diselenggarakan oleh berbagai instansi dan swasta serta organisasi masyarakat, organisasi profesi dan yayasan seperti: praktek dokter, praktek dokter gigi, balai pengobatan dan klinik, Puskesmas, Balai Kesehatan Masyarakat, Panti Tresna Werdha, Pusat Pelayanan dan Perawatan Lanjut Usia. c. Pelayanan Rujukan Tingkat I dan Tingkat II Pelayanan yang diberikan dapat bersifat sederhana, sedang, lengkap, dan paripurna : Rumah sakit yang memiliki : Poliklinik Geriatri / Gerontologi, unit rehabilitasi, ruang rawat, laboratorium, Day Hospital, Unit Gawat Darurat, Instalasi Gawat Darurat, Bangsal Akut. Rumah Sakit Jiwa Rumah Sakit Khusus (lainnya) Sasana Tresna Werdha Sasana Tresna Werdha adalah suatu institusi hunian bersama dari para lansia yang secara fisik/kesehatan masih mandiri, akan tetapi (terutama) memiliki keterbatasan di bidang sosial / ekonomi. Kebutuhan harian dari para penghuni biasanya disediakan pengurus panti. Diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta. Hospitium Melalui pelayanan kesehatan yang dikerjakan terpadu dengan pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, ketenagakerjaan, hukum dan bidang-bidang lainnya, diharapkan angka kesakitan (morbiditas), angka kematian (mortalitas) serta permasalahan lanjut usia semakin menurun. Hal ini akan menunjang tercapainya mutu kehidupan lanjut usia yang sehat secara fisik, psikis, mental spiritual, serta sosial. ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS DALAM GERONTOLOGI I. PENDAHULUAN Ilmu Kedokteran Komunitas (Community Medicine) adalah cabang ilmu kedokteran yang berurusan dengan kesehatan warga-warga suatu komunitas atau suatu wilayah. Didalamnya dibagi lagi menjadi beberapa bidang, seperti kedokteran keluarga, lansia, lingkungan, okupasi, industri, olahraga, kelautan, dan kedirgantaraan. Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara berbagai faktor yang menentukan frekuensi dan distribusi penyakit pada komunitas manusia. Demografi adalah ilmu yang mempelajari kependudukan, mencakup jumlah, presentase kenaikan, jenis kelamin, umur harapan hidup, lokasi, distribusi, dan perpindahan, angka kematian, pekerjaan dan penghasilan, status perkawinan, pendidikan, gaya hidup, dan lain-lain tentang penduduk. Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari masalah Lanjut Usia. Yang disebut Lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. Kelompok ini memerlukan perhatian khusus di abad 21 ini, mengingat jumlahnya yang meningkat cepat dan berpotensi menimbulkan permasalahan yang akan mempengaruhi kelompok penduduk lain, sehingga aspek demografi dari kelompok lanjut usia perlu diketahui dan dipahami untuk mengambil langkah antisipasi dalam mengatasi permasalahan lanjut usia. Menurut laporan data demografi penduduk Internasional yang dikeluarkan oleh Bureau of the Census USA (1993), dilaporkan bahwa Indonesia pada tahun 1990-2025 akan mempunyai kenaikan jumlah Lansia sebesar 414%, suatu angka paling tinggi di dunia. Pada tahun 2000, dua diantara tiga Lansia di seluruh dunia yang berjumlah 600 juta, akan hidup dan bertempat tinggal di negara- negara sedang berkembang. Sebelumnya angka ini adalah 50% di tahun 1960. Kenaikan jumlah ini terutama di Asia. Di Cina dan India, pertambahan mencapai 270 juta Lansia. Pertambahan penduduk Lansia di Indonesia dan Brazil diproyeksikan naik masing-masing melebihi 20 juta orang, sedang kenaikan kira-kira setengah jumlah tersebut adalah di Meksiko, Nigeria, dan Pakistan. Tahun 1980, Indonesia adalah urutan ke-10, pada tahun 2020 akan menjadi urutan ke-5 atau 6, sebagai Negara yang banyak jumlah populasi Lansianya. (WHO,1989). Dimana dari 33 propinsi di Indonesia saat ini, Yogyakarta memiliki jumlah Lansia terbanyak (13,72%). Di Eropa pada tahun 2000 diproyeksikan jumlah populasi lansia 60+ akan berjumlah 20%, bahkan akan terjadi kenaikan yang cepat pada populasi 80+. II. ASPEK DEMOGRAFI Transisi Demografi Saat ini Indonesia ada dalam transisi demografi, persentase Lansia diproyeksikan menjadi 11,34% pada tahun 2020 yang akan datang. Struktur masyarakat Indonesia berubah dari masyarakat atau populasi muda menjadi populasi tua pada tahun 2020. Piramida penduduk Indonesia berubah dari bentuk dengan basis lebar (fertilitas tinggi), menjadi piramida berbentuk kubah mesjid atau bawang (fertilitas dan mortalitas rendah) pada tahun 2020. Pergeseran ini menuntut perubahan dalam strategi pelayanan kesehatan, dengan kata lain lebih minta perhatian dan prioritas untuk penyakit-penyakit pada usia dewasa dan Lansia. Tapi dalam hal ini penyakit-penyakit pada balita dan anak-anak masih menjadi masalah yang belum diselesaikan. Ini menjadi beban ganda. Perubahan struktur penduduk ini juga akan mempengaruhi ratio ketergantungan (Dependency Ratio), baik pada golongan anak yang tidak produktif (<15 tahun), dan golongan Lansia (>60 tahun), terhadap golongan usia 15-60 tahun yang produktif. Tahun 1971, Dependency Ratio total 86,84%. Angka ini makin menurun, sehingga tahun 2000, Dependency Ratio total 53,17%, seterusnya akan menurun sampai 41,38 pada tahun 2020, Dengan catatan Dependency Ratio Lansia akan makin naik dan Dependency Ratio anak muda makin menurun. Di Negara industri maju, Dependency Ratio ini sudah sangat rendah, yang berarti golongan produktif sudah sangat tinggi persentasenya. IV. UPAYA PELAYANAN KESEHATAN Upaya Mengatasi Permasalahan Kesehatan pada Lansia Upaya pembinaan kesehatan Upaya pelayanan kesehatan : # Upaya promotif # Upaya preventif # Diagnosa dini dan pengobatan # Pencegahan kecacatan # Upaya rehabilitatif Upaya perawatan Upaya pelembagaan Lansia Prinsip pelayanan kesehatan pada Lansia a. Prinsip holistik ♥ Seorang penderita lanjut usia harus dipandang sebagai manusia seutuhnya (lingkungan psikologik dan sosial ekonomi). Hal ini ditunjukkan dengan asesmen geriatri sebagai aspek diagnostik, yang meliputi seluruh organ dan sistem, juga aspek kejiwaan dan lingkungan sosial ekonomi. ♥ Sifat holistik mengandung artian baik secara vertikal ataupun horizontal. Secara vertikal dalam arti pemberian pelayanan di masyarakat sampai ke pelayanan rujukan tertinggi, yaitu rumah sakit yang mempunyai pelayanan subspesialis geriatri. Holistik secara horizontal berarti bahwa pelayanan kesehatan harus merupakan bagian dari pelayanan kesejahteraan lansia secara menyeluruh. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan harus bekerja secara lintas sektoral dengan dinas/ lembaga terkait di bidang kesejahteraan, misalnya agama, pendidikan, dan kebudayaan, serta dinas sosial. ♥ Pelayanan holistik juga berarti bahwa pelayanan harus mencakup aspek pencegahan (preventif), promotif, penyembuhan (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif). Begitu pentingnya aspek pemulihan, sehingga WHO menganjurkan agar diagnosis penyakit pada Lansia harus meliputi 4 tingkatan penyakit : â–ª Disease (penyakit), yaitu diagnosis penyakit pada penderita, misalnya penyakit jantung iskemik. â–ª Impairment (kerusakan/ gangguan), yaitu adanya gangguan atau kerusakan dari organ akibat penyakit, missal pada MCI akut ataupun kronis. â–ª Disability (ketidakmampuan), yaitu akibat obyektif pada kemampuan fungsional dari organ atau dari individu tersebut. Pada kasus di atas misalnya terjadi decompensasi jantung. â–ª Handicap (hambatan), yaitu akibat sosial dari penyakit. Pada kasus tersebut di atas adalah ketidakmampuan penderita untuk melakukan aktivitas sosial, baik di rumah maupun di lingkungan sosialnya. b. Prinsip tatakerja dan tatalaksana secara TIM Tim geriatrik merupakan bentuk kerjasama multidisipliner yang bekerja secara inter-disipliner dalam mencapai tujuan pelayanan geriatrik yang dilaksanakan. Yang dimaksud dengan multidisiplin si sini adalah berbagai disiplin ilmu kesehatan yang secara bersama-sama melakukan penanganan pada penderita lanjut usia. Komponen utama tim geriatrik terdiri dari dokter, pekerja sosio medik, dan perawat. Tergantung dari kompleksitas dan jenis layanan yang diberikan. Anggota tim dapat ditambah dengan tenaga rehabilitasi medik (dokter, fisioterapist, terapi okupasi, terapi bicara, dll.), psikolog, dan atau psikiater, farmasis, ahli gizi,dan tenaga lain yang bekerja dalam layanan tersebut. Istilah interdisiplin diartikan sebagai suatu tatakerja dimana masing-masing anggotanya saling tergantung (interdependent) satu sama lain. Jika tim multidisiplin yang bekerja secara multidisiplin, dimana tujuan seolah-olah dibagi secara kaku berdasarkan disiplin masing-masing anggota. Pada tim interdisiplin, tujuan merupakan tujuan bersama. Masing-masing anggota mengerjakan tugas sesuai disiplinnya sendiri-sendiri, tetapi tidak secara kaku. Disiplin lain dapat memberi saran demi tercapainya tujuan bersama. Secara periodik dilakukan pertemuan anggota tim untuk mengadakan evaluasi kerja yang telah dicapai, dan kalau perlu mengadakan perubahan demi tujuan bersama yang hendak dicapai. Pada tim multidisiplin, kerjasama terutama bersifat pada pembuatan dan penyerasian konsep. Sedangkan pada tim interdisiplin, kerjasama meliputi pembuatan dan penyerasian konsep serta penyerasian tindakan. Tim geriatri disamping mengadakan asesmen atas masalah yang ada, juga mengadakan asesmen atas sumber daya manusia dan sosial ekonomi yang bisa digunakan untuk membantu pelaksanaan masalah penderita tersebut. V. PELAKSANAAN PELAYANAN KESEHATAN USIA LANJUT Pembinaan Kesehatan Tujuannya adalah meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan untuk mencapai masa tua yagn bahagia dan berguna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sesuai dengan keberadaannya dalam masyarakat. Informasi yang diperlukan usia 40-45 tahun (masa virilitas) 1. Mengetahui sedini mungkin adanya akibat proses penuaan (keluhan mudah jatuh, mudah lelah, nyeri dada, berdebar-debar, sesak nafas waktu beraktivitas. 2. Mengetahui pentingnya pemeriksaan kesehatan secara berkala. 3. Melakukan latihan kesegaran jasmani. 4. Melakukan diet dengan menu seimbang. 5. Meningkatkan kegiatan sosial di masyarakat. 6. Meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Informasi yang diperlukan usia 55-64 tahun (masa presenium) 1. Pemeriksaan kesehatan secara berkala. 2. Perawatan gizi/ diet seimbang 3. Kegiatan olahraga/ kesegaran jasmani. 4. Perlunya berbagai alat bantu untuki tetap berdaya guna. 5. Pengembangan dan peningkatan hubungan sosial di masyarakat. 6. Peningkatan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Informasi yang diperlukan > 65 tahun dan kelompok resiko tinggi 1. Pembinaan diri sendiri dalam hal pemenuhan kebutuhan pribadi, aktivitas di dalam rumah maupun di luar rumah. 2. pemakaian alat bantu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang ada pada mereka. 3. Pemeriksaan kesehatan secara berkala. 4. Perawatan fisioterapi di RS terdekat. 5. Latihan kesegaran jasmani. 6. Meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pelayanan kesehatan a. Upaya peningkatan / Promosi Kesehatan Pada dasarnya merupakan upaya pencegahan primer ( primary prevention). Anjuran dari Prof. Dr. Slamet Suyono (RSCM, 1997) adalah : BAHAGIA Berat badan berlebihan agar dihindari dan dikurangi Aturlah makanan hingga seimbang Hindari faktor risiko penyakit degeneratif Agar terus berguna dengan mempunyai hobi yang bermanfaat Gerak badan teratur agar terus dilakukan Iman dan takwa tingkatkan, hindari dan tangkal situasi yang menegangkan Awasi kesehatan dengan memeriksakan badan secara periodik DepKes RI 1998, Buku Pedoman pemeliharaan Kesehatan Usia Lanjut, memuat anjuran untuk hidup sehat : • Perkuat ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa untuk mengendalikan stress • Periksakan kesehatan secara berkala • Makan dan minum kurangi gula, lemak, dan garam perbanyak buah, sayur, susu tanpa lemak dan ikan hindari alkohol berhenti merokok perbanyak minum air putih 6-8 gelas per hari atau sesuai anjuran petugas kesehatan • Kegiatan fisik dan psikososial pertahankan berat badan normal lakukan kegiatan fisik sesuai kemampuan lakukan latihan kesegaran jasmani sesuai kemampuan seperti jalan kaki, senam, berenang, dan bersepeda tingkatkan silaturahmi sempatkan rekreasi dan salurkan hobi secara teratur dan bergairah gunakan obat-obatan atas saran petugas kesehatan pertahankan hubungan harmonis dalam keluarga tetap melakukan kegiatan seksual dengan pasangan hidup b. Upaya pencegahan / Prevention ♣ Bagaimanapun hebatnya penemuan dalam bidang teknologi dan obat-obatan untuk merawat dan menyembuhkan Lansia yang sakit, tetapi peranan prevensi (pencegahan) semakin besar, karena bila dilaksanakan secara cermat dan terus menerus akan memberikan hasil yang lebih baik dengan biaya yang lebih murah. ♣ Yang dimaksudkan dengan prevensi bukanlah menghindarkan ketuaan atau proses menjadi tua, melainkan menghindarkan sejauh mungkin penyakitpenyakit yang dapat timbul dan mengusahakan agar fungsi tubuh selama mungkin dapat dipertahankan. 1. Upaya pencegahan primer (Primary prevention) Ditujukan kepada Lansia yang sehat, mempunyai risiko akan tetapi belum menderita penyakit. Dapat digolongkan pada upaya peningkatan 2. Upaya pencegahan sekunder (Secondary prevention) Ditujukan kepada penderita tnpa gejala, yang mengidap faktor risiko. Upaya ini dilakukan sejak awal penyakit hingga awal timbulnya gejala atau keluhan. Menurut DepKes RI 1998, keluhan yang perlu diwaspadai : - cepat lelah - nyeri pinggang - nyeri dada - nyeri sendi - sesak napas - gangguan gerak - berdebar-debar - kaki bengkak - sulit tidur - kesemutan - batuk - sering haus - gangguan penglihatan - gangguan BAB/ BAK - gangguan pendengaran - benjolan tidak normal / daging - gangguan mulut tumbuh - nafsu makan meningkat atau menurun - keluarnya darah atau cairan melalui vagina secara terus-menerus 3. Upaya pencegahan tersier (Tertiary prevention) Ditujukan kepada penderita penyakit dan penderita cacat, yang telah memperlihatkan gejala penyakit. * Tahap I : Ketika Lansia dirawat di RS * Tahap II : Ketika Lansia pada masa rehabilitasi atau rawat jalan * Tahap III : Ketika Lansia pada saat pemeliharaan jangka panjang ♣ Tindakan pencegahan praktis yang dapat dilaksanakan : a. Hindari berat badan berlebihan (obesitas ataupun overweight) b. Kurangi makan dan pilihlah makanan yang sesuai c. Olahraga yang ringan dan teratur harus dilakukan d. Menghindari faktor resiko PJK - faktor resiko yang tidak dapat dihindari : umur, jenis kelamin, keturunan - faktor resiko yang sukar dihindari : kepribadian - faktor resiko yang dapat dihindari/ dibatasi : merokok, kelebihan BB, hiperkolesterolemia, hipertensi, DM e. Menghindari timbulnya kecelakaan pada Lansia f. Tindakan yang mengisi kehidupan Lansia g. Persiapan menghadapi pensiun h. Pemeriksaan kesehatan secara periodik b. Diagnosa dini dan pengobatan / Early diagnosis and prompt treatment Dilaksanakan oleh Lansia, keluarga, petugas professional, dan petugas panti. Pengobatan dijalankan terhadap gangguan sistem, mengurangi gejala yang terjadi dan mengatasi manifestasi klinik. Kegiatan dilaksanakan di tingkat keluarga, fasilitas pelayanan tingkat dasar, dan fasilitas pelayanan rujukan tingkat I dan tingkat II. 1. Diagnosa dini oleh Lansia dan keluarga Di Amerika Serikat, bimbingan diberikan oleh National Health Information Clearinghouse (1994), untuk memungkinkan para Lansia memberi skor terhadap gaya hidup sehat (healthstyle self-test) dengan menghitung skor merokok, pemakaian alkohol, dan obat, kebiasaan makan, olahraga, dan kebugaran, pengendalian stres, juga pengamanan diri terhadap kecelakaan dan cedera. Medical screening schedule (prosedur penapisan) dianjurkan U.S. Preventive Services Task Force (1994), meliputi: a. Penapisan :  Anamnesa diarahkan terhadap tanda gejala nyeri dada, kebiasaan diet, kebiasaan olahraga, pemakaian alcohol dan kebiasaan merokok, serta ada atau tidaknya gangguan fungsi di rumah Pemeriksaan fisik : berat dan tinggi badan, tekanan darah, visus, fungsi pendengaran, alat Bantu dengar, pemeriksaan payudara, pemeriksaan laboratorium, glukosa dan kolesterol, fungsi kelenjar tiroid, EKG, pap smear, sigmoidoskopi, kolonoskopi b. Konseling : Olahraga dan latihan tertentu, diet, lemak, kolesterol, karbohidrat, kalori, penyalahgunaan narkotika, alcohol, zat adiktif, pencegahan kecelakaan, kesehatan gigi, glaucoma, pengobatan estrogen. c. Imunisasi : Hepatitis B, Vaksin influenza Di Indonesia Buku Kesehatan Pribadi dianjurkan untuk dimiliki oleh masyarakat, termasuk Lansia¬ ¬ Buku Pedoman Pemeliharaan Kesehatan Usia Lanjut (1998), agar diisi oleh para Lansia, keluarga, atau pemberi pelayanan kesehatan setiap diberikan pelayanan kesehatan, sehingga dapat terjalin komunikasi dan tukar menukar informasi penting diantara Lansia dengan petugas pelayanan kesehatan setiap saat. Kartu Menuju Sehat Usia Lanjut (1993, 1997), yang disimpan oleh Lansia sendiri¬ 2. Diagnosa dini oleh petugas profesional atau tim a. Pemeriksaan status fisik : Pemeriksaan fisik diagnostik lengkap♣ b. Pemeriksaan laboratorium lengkap Gula darah dan puasa 2 jam setelah makan♣ HDL dan LDL kolesterol, Trigliserid♣ Kadar hormon♣ Kanker prostat, pari♣ Tumor marker (jika perlu)♣ c. Skrining kesehatan d. Pemeriksaan status kejiwaan Status mental (memori, konsentrasi, orientasi, komunikasi, verbalisasi)♣ Status psikologis (kesan umum, mood/ afek, dan perilaku)♣ e. Pemeriksaan status sosial ekonomi Kontak sosial♣ Penyesuaian diri (terhadap keadaan saat ini, terhadap masa depan)♣ ♣ Evaluasi orang yang merawat Lansia (usia, status kesehatan, ketrampilan, derajat stress, kepandaian, tanggung jawab sebagai keluarga) f. Pemeriksaan status fungsi tubuh Mandiri (independent)♣ Kurang mandiri (partially independent)♣ Tidak mandiri/ tergantung (dependent)♣ 3. Pengobatan a. Pengobatan terhadap gangguan sistem dan gejala yang timbul (sistem muskuloskeletal, kardiovaskular, pernapasan, pencernaan, urogenital, hormonal, saraf, kulit, kuku, dan rambut) b. Pengobatan terhadap manifestasi klinik (nyeri kepala, nyeri dada, nyeri pinggang, nyeri tungkai, nyeri kaki, demam, hipotermi, tidak ada nafsu makan, kelemahan umum, sesak napas, edema, obstipasi, gangguan kemih, gangguan neuropsikiatri, hipertensi, klimakterium, prostat) c. Pengobatan terhadap Geriatric Giant (RSCM, 1997), (pikiran kacau, jatuh, imobilisasi, dekubitus, incontinentia urinae, incontinentia alvi, gangguan mata, gangguan telinga, osteoarthrosis. Dasar Klinis Preventive Health Care Untuk Lansia, Rekomendasi Pemeriksaan Kesehatan Berkala Prevensi Primer dan Sekunder Frekuensi Edukasi Tiap 4 tahun Prevensi terhadap kecelakaan Penggunaan seat belts Pengecekan sendiri : kulit, mulut, payudara, testis Melaporkan perdarahan postmenopause Promosi Kebiasaan Sehat Olah raga Gizi Obesitas Tiap 4 tahun atau kalaudiperlukan Kebersihan mulut Tidur Penggunaan obat Prevensi terhadap Penyakit Skrining kolesterol Tiap 4 tahun Imunisasi Influenza Tiap tahun Pneumococcus Sekali Tetanus Booster Tiap 10 tahun Pemeriksaan gigi Penyakit periodontal Caries gigi Tiap tahun Skrining untuk Penyakit dini Penurunan pendengaran Deteksi pada kelompok resiko tinggi Hipertensi Pengukuran tekanan darah tiap 1/ 2 tahun Hipothyroid Pemeriksaan klinis tiap 2 tahun Ca mamae Pemeriksaan payudara tiap thn Mammogram tiap thn sampai usia 80 thn Ca serviks Pap smear tiap 5 thn, tiap 2 thn sp usia 70, tiap 3 tahun Ca colorectal Pemeriksaan rectal tiap tahun atau setahun 2 kali Sigmoidoscopy tiap 4 tahun Ca mulut Pemeriksaan mulut tiap tahun setelah usia 75 tahun Ca kulit Inspeksi dan konseling, frekuensi tergantung diagnosa klinis Malnutrisi 2 kali setahun, 65-74 thn, tiap tahun untuk usia 75+ Kelompok resiko tinggi Seperti indikasi diagnosa klinisTBC Ketidakmampuan progresif sesuai usia Penilaian fungsi fisik, sosial, dan mental Dengan kunjungan rumah tiap 2 thn (65-74 thn), tiap tahun (75+) c. Pembatasan kecacatan / Disability limitation Kecacatan : kesukaran dalam memfungsikan otot dan alat gerak atau sistem saraf Kecacatan : bersifat sementara dan dapat diperbaikiϖ menetap yang tidak dapat dipulihkan tapi masih mungkin dapat diganti dengan alat bantuϖ progresif yang tidak dapat pulih dan tidak dapat diganti dengan alat bantuϖ Kegiatan yang dilakukan dalam pembatasan kecacatan : a. Pemeriksaan (Assessment) b. Identifikasi masalah ( Problem identification) c. Perencanaan ( Planning) d. Pelaksanaan ( Implementation) e. Penilaian (Evaluation) d. Upaya pemulihan / Rehabilitasi Rehabilitasi dilaksanakan oleh tim rehabilitasi (petugas medik, paramedik, non medik) Prinsip : a. Pertahankan lingkungan yang aman b. Pertahankan kenyamanan (istirahat, aktivitas, mobilitas) c. Pertahankan kecukupan gizi d. Pertahankan fungsi pernapasan e. Pertahankan fungsi aliran darah f. Pertahankan fungsi aliran kemih g. Meningkatkan fungsi psikososial h. Pertahankan komunikasi i. Mendorong pelaksanaan tugas VI. TINGKAT PELAYANAN KESEHATAN Untuk mengupayakan prinsip holistik yang berkesinambungan, secara garis besar pelayanan kesehatan pada Lansia dapat dibagi sebagai berikut (HadiMartono, 1993, 1996) 1. Pelayanan Kesehatan Lansia di Masyarakat (Community Based Geriatric Service) Semua upaya kesehatan yang berhubungan dan dilaksanakan oleh masyarakat harus diupayakan berperan serta dalam menangani kesehatan para Lansia. Puskesmas dan dokter praktek swasta merupakan tulang punggung layanan di tingkat ini. Puskesmas berperan dalam membentuk kelompok/ klub Lansia. Di dalam dan melalui klub Lansia ini, pelayanan kesehatan dapat lebih mudah dilaksanakan, baik usaha promotif, preventif, kuratif, atau rehabilitatif. Dokter praktek swasta terutama menangani para Lansia yang memerlukan tindakan kuratif insidental. Semua pelayanan kesehatan harus diintegrasikan dengan layanan kesejahteraan yang lain dari dinas sosial, agama, pendidikan, kebudayaan, dll. Peran serta LSM untuk membentuk layanan sukarela misalnya dalam pendirian badan yang memberikan layanan bantu perawatan (home nursing), kebersihan rumah, atau pemberian makanan bagi para lansia (meals on wheels) juga perlu didorong. Pada dasarnya, layanan kesehatan Lansia di tingkat masyarakat seharusnya mendayagunakan dan mengikutsertakan masyarakat (termasuk para Lansianya) semaksimal mungkin. Yang perlu dikerjakan adalah meningkatkan kepedulian dan pengetahuan masyarakat, dengan berbagai cara, antara lain ceramah, simposium, lokakarya, dan penyuluhan-penyuluhan. 2. Pelayanan Kesehatan Lansia di Masyarakat Berbasis Rumah Sakit (Hospital Based Community Geriatric Service) Pada layanan tingkat ini, rumah sakit setempat yang telah melakukan layanan geriatri bertugas membina Lansia yang berada di wilayahnya, baik secara langsung atau tidak langsung melalui pembinaan pada Puskesmas yang berada di wilayah kerjanya. “Transfer of Knowledge” berupa lokakarya, symposium, ceramah-ceramah, baik kepada tenaga kesehatan ataupun kepada awam perlu dilaksanakan. Di lain pihak, rumah sakit harus selalu bersedia bertindak sebagai rujukan dari layanan kesehatan yang ada di masyarakat. 3. Layanan Kesehatan Lansia Berbasis Rumah Sakit (Hospital Based Geriatric Service) Pada layanan ini rumah sakit, tergantung dari jenis layanan yang ada, menyediakan berbagai layanan bagi para Lansia, sampai pada layanan yang lebih maju, misalnya bangsal akut, klinik siang terpadu (day hospital), bangsal kronis, dan atau panti rawat wredha (nursing homes). Di samping itu, rumah sakit jiwa juga menyediakan layanan kesehatan jiwa bagi Lansia sengan pola yang sama. Pada tingkat ini, sebaiknya dilaksanakan suatu layanan terkait (con-joint care) antara unit geriatri rumah sakit umum dengan unit psikogeriatri suatu rumah sakit jiwa, terutama untuk menangani penderita penyakit fisik dengan komponen gangguan psikis berat dan sebaliknya. Tingkatan sarana pelayanan kesehatan: a. Pelayanan tingkat masyarakat Pelayanan yang ditujukan kepada Lansia, keluarga yang mempunyai Lansia, kelompok Lansia atau kelompok masyarakat seperti : 1. Karang Wredha 2. Pos Yandu Lansia 3. Day Care 4. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa 5. PUSAKA 6. Dana Sehat atau Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) b. Pelayanan tingkat dasar Pelayanan diselenggarakan oleh berbagai instansi dan swasta serta organisasi masyarakat, organisasi profesi dan yayasan seperti : 1. Praktek Dokter 2. Praktek Dokter Gigi 3. Balai Pengobatan dan Klinik 4. Puskesmas 5. Balai Kesehatan Masyarakat 6. Panti Tresna Wredha 7. Pusat Pelayanan dan Perawatan Lanjut Usia c. Pelayanan rujukan tingkat I dan tingkat II Pelayanan yang diberikan dapat bersifat sederhana, sedang, lengkap, dan paripurna : 1. Rumah sakit yang memiliki Poliklinik Geriatri/ Gerontologi, Unit Rehabilitasi, Ruang Rawat, Laboratorium, Day Hospital, Unit Gawat Darurat, Instalasi Gawat Darurat, Bangsal Akut. 2. Rumah Sakit Jiwa 3. Rumah Sakit Khusus lainnya 4. Sasana Tresna Wredha 5. Hospitium 1. Poliklinik geriatri : layanan geriatri di mana diberikan jasa asesmen, tindakan kuratif sederhana, dan konsultasi, bagi penderita rawat jalan. Sifatnya adalah subspesialistik, sehingga hanya penderita yang telah melewati poliklinik spesialis lain dan memenuhi syarat sebagai penderita geriatri bisa dikonsulkan ke poliklinik ini. 2. Bangsal geriatri akut : bangsal di mana penderita geriatri dengan penyakit akut atau subakut (stroke, pneumonia, keto-asidosis diabetika, penyakit jantung kongestif akut, dll.). Pada penderita tersebut dilakukan tindakan asesmen, kuratif, dan rehabilitasi jalur cepat oleh tim geriatri. 3. Day-hospital : layanan geriatri yang dapat melaksanakan semua tindakan yang dilakukan oleh bangsalakut atau kronis, tetapi tanpa penderita harus rawat inap, dan layanan hanya dilakukan pada jam kerja. Jasa yang diberikan antara lain : asesmen, kuratif, ambulatoir, rehabilitasi, dan rekreasi. Oleh karenanya tenaga yang diperlukan selain geriatris/ internis, perawat dan sosiomedik, juga tenaga rehabilitasi, psikolog, rekreasionis, dll. 4. Bangsal geriatri kronis : bangsal ini diperlukan untuk merawat penderita dengan penyakit kronis yang memerlukan tindakan kuratif inap dalam jangka waktu lama. “Turn over rate”-nya rendah, sehingga pembiayaannya menjadi sangat mahal. 5. Panti rawat wredha : Di negara maju, layanan ini disebut “nursing home”, yaitu suatu institusi yang memberikan layanan bagi penderita Lansia dengan masalah medis kronis yang sudah tidak memerlukan tindakan perawatan di RS, akan tetapi masih terlalu berat untuk bisa dirawat di rumah sendiri. Oleh karena tidak memerlukan tindakan spesialistik oleh dokter, maka biayanya bisa ditekan. Turn over rate juga rendah, tetapi untuk kepentingan pendidikan, adanya bangsal ini di suatu RS pemerintah dapat menggantikan keberadaan suatu bangsal kronis. 6. Rehabilitasi geriatri : merupakan suatu keharusan untuk dikerjakan pada semua penderita geriatrik. Rehabilitasi jalur cepat (fast stream rehabilitation) dikerjakan selama penderita masih dirawat di bangsal geriatri, oleh karena itu pelaksanaannya sebaiknya diintegrasikan dengan pelayanan geriatri. Rehabilitasi jalur lambat (slow stream rehabilitation) dilaksanankan secara kronis, yang bisa dilaksanakan oleh unit rehabilitasi medik atau bisa juga diintegrasikan ke dalam pelayanan geriatri. 7. Konsultasi geriatri : yaitu surat layanan konsultatif dari bagian lain terhadap seorang penderita Lansia. Dari tindakan konsultatif ini, pada penderita yang bersangkutan dapat diberikan pengobatan bahkan pindah perawatan ke bagian geriatri. 8. Pendidikan dan riset : merupakan bagian implisit dari pelayanan geriatri. Riset dilaksanakan baik untuk publikasi atau yang lebih penting adalah untuk memperbaiki pelayanan itu sendiri. VII. PELAYANAN SOSIAL BAGI USIA LANJUT Pelayanan sosial pada Lansia merupakan bagian dari layanan holistik horizontal pada populasi Lansia. Berbagai layanan yang bisa diberikan kepada : Institusi yang memberikan akomodasi, antara lain panti wredha (terutama bagi para Lansia dengan keterbatasan sosial-ekonomi), akomodasi terlindung (sheltered accomodation) bagi mereka dengan ketergantungan fisik sebagian (semi/ partial dependency) Bantuan pengerjaan aspek domestik (home help services), misalnya membersihkan rumah, cuci-setrika, dll. Bantuan penyediaan makan sehari-hari (meals on wheels) Penjagaan penderita di malam hari (night attendants) Penyediaan pramu wredha Dll. Pelayanan sosial ini sebaiknya merupakan kegiatan dari badan-badan sukarela/ partisipasi masyarakat, yang dikoordinasikan oleh dinas sosial dan atau dinas kesehatan setempat. Kaum Lansia Perlu Mendapat Konsep Penanganan Terpadu JAKARTA (Media): Kaum lanjut usia (lansia) harus mendapatkan perhatian lebih. Karena itu, perlu konsep terpadu agar penanganan kaum lansia semakin baik. Keberadaan para lansia tersebut diharapkan tidak membebani semua orang. Pakar gerontologi dr Tony Setiabudhi menegaskan hal itu di Jakarta, Sabtu (11/12), di sela-sela acara simposium Healthy and Active Ageing bertema Successfull ageing an emerging paradigm of gerontology illness, crisis, and loss, yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Masalah Lansia bersama Majelis Fakultas Kedokteran Swasta Indonesia, Universitas Trisakti, dan Universitas Krida Wacana. Jumlah populasi lansia di Indonesia pada tahun-tahun mendatang akan melonjak sangat pesat, ucapnya selaku ketua umum simposium tersebut. Berdasarkan proyeksi yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2002, jumlah penduduk Indonesia pada 2050 mencapai 293 juta jiwa. Selain masalah jumlah penduduk, maka masalah struktur penduduk juga harus diperhatikan. Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), pada 2050 akan terjadi perubahan struktur umur yang akan didominasi oleh mereka yang berusia 60 tahun ke atas. Dengan jumlah lansia sekarang telah mencapai 15 juta lebih penduduk, ia memperkirakan, persentase kenaikannya pada 20 tahun lagi menjadi makin besar dibanding negara lain. ''Kenyataan itu mesti diantisipasi sebelumnya karena proses tersebut akan membawa konsekuensi yang kompleks,'' ulas Tony, didampingi pakar gerontologi lainnya, Dr dr Frits August Kakiailatu. Dalam pertemuan ini pula, dia mengingatkan agar lembaga swadaya masyarakat (LSM) bersama kalangan profesional menyadari bahwa lansia harus memperoleh perhatian lebih. Menurut dia, pemerintah juga diminta untuk memberikan perhatian lebih kepada lansia walaupun beberapa instansi pemerintah telah menciptakan program-program yang menyejahterakan mereka. Namun, ia mengungkapkan, program-program itu belum dirasakan maksimal oleh lansia sehingga diperlukan konsep terpadu supaya penanganan bagi mereka bisa menjadi lebih baik. Bahkan, Tony mengharapkan, seluruh organisasi penanganan lansia memikirkan, bagaimana agar para orang tua tersebut kelak tidak menjadi beban bagi keluarga, masyarakat, dan negara. Maka, pihaknya memandang pentingnya menomorsatukan program kesehatan untuk kelompok lansia karena mereka yang miskin cukup banyak, meskipun pertumbuhannya masih berkisar 7% sampai 8%. Untungnya, jelas Tony, sebagian besar lansia di Indonesia masih dalam perawatan anak maupun cucunya di rumah yang dihuni bersama. ''Hal ini suatu yang baik di negara kita.'' Tetapi pada satu saat, apabila anak dan cucu mereka terpaksa bekerja di luar rumah sehingga orang tua atau kakek/nenek ditinggal sendiri, ia khawatir, akan timbul masalah. Tony yang merupakan spesialis kesehatan jiwa meyakini, kenyataan tersebut kemungkinan terjadi 10 tahun mendatang. Maka kita wajib memikirkan dan menyiapkan solusinya dari sekarang. Dalam simposium awam, Prof R Boedho Darmojo mengutip data demografi penduduk internasional yang dikeluarkan Bureau of the Cencus, 1993, bahwa Indonesia pada 1990-2025 mengalami peningkatan jumlah lansia sebesar 414%. ''Suatu angka yang paling tinggi di seluruh dunia,'' ujarnya, seraya membandingkannya dengan yang terjadi di negara Kenya sebanyak 347%, Brasil 255%, India 242%, China 220%, Jepang 129%, Jerman 66%, dan Swedia 33%. Pakar gerontologi tersebut mengingatkan, Indonesia saat ini berada dalam transisi demografi dengan persentase kaum lansia diproyeksikan menjadi 11,34% pada 2020 mendatang. DPR mendukung Sementara itu, dalam rapat dengar pendapat antara Kepala BKKBN Sumarjati Arjoso dan jajarannya dengan Komisi IX DPR pada Selasa (7/12) lalu, menurut Sumarjati, Komisi XI dapat memahami misi dan visi program Keluarga Berencana (KB) Nasional. ''Karena itu, DPR meminta BKKBN secara sungguh-sungguh untuk mengimplementasikan program kerja 10 tahun ke depan yang meliputi pengendalian kelahiran, memperkecil angka kematian terutama ibu dan anak serta meningkatkan kualitas program KB,'' kata dia. Dalam rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi IX Muhyidin Arubusman, Sumarjati menegaskan, Komisi IX mendukung BKKBN untuk mempertahankan posisi Indonesia sebagai salah satu Center of Excellence di bidang kependudukan dan keluarga berencana yang telah banyak ditiru oleh negara-negara berkembang di dunia. (Rse/V-2) VIII. KESIMPULAN Karena jumlah Lansia dari hari ke hari makin meningkat dengan cepat, dan hal ini dapat menimbulkan permasalahan yang akan mempengaruhi kelompok penduduk lain, maka aspek demografi dari kelompok Lansia ini penting diketahui dan dipahami, sehingga dapat diambil langkah antisipasi untuk mengatasi permasalahan yang dapat timbul tadi. Dengan kemajuan teknologi dan umur manusia yang makin panjang, maka terjadi pergeseran sebab-sebab kematian, dari penyakit infeksi kearah penyakit degeneratif. Hal ini tentu memerlukan pendekatan yang berbeda di bidang kesehatan. Peranan prevensi/ pencegahan semakin besar, karena jika dilakukan secara cermat dan terus menerus akan memberikan hasil yang lebih baik dengan biaya yang lebih murah. Maksud dari prevensi sendiri adalah menghindarkan sejauh mungkin penyakit-penyakit yang dapat timbul dan mengusahakan agar fungsi tubuh selama mungkin dapat dipertahankan Karena alasan-alasan di atas, prinsip pelayanan kesehatan pada Lansia adalah holistik dan bekerja di dalam tim. Sedangkan pelaksanaannya sendiri melibatkan masyarakat juga Rumah Sakit dan berada dalam tingkatantingkatan. Pelayanannya sendiri dikelompokkan menjadi 5, promosi, prevensi, diagnosis dini dan pengobatan, pembatasan kecacatan, dan rehabilitasi. Sebagai pelengkap adalah pelayanan sosial. DAFTAR PUSTAKA Darmojo, Boedhi: Bunga Rampai Karangan Ilmiah : UPF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro / RS Dr. Kariadi Semarang, 1996. Darmojo, Boedhi; Martono, Hadi : Buku Ajar Geriatri : Balai Penerbit FKUI Jakarta, 1999. Hardywinoto; Setiabudhi, Tony : Panduan Gerontologi Tinjauan dari Berbagai Aspek : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005 Hazzard, William R : Principle of Geriatric Medicine and Gerontology, 2nd edition : Mc Graw Hill Inc. USA. 1990. posting, realse,transfer by : ivanishadisofyan.blogspot.com / IVAN ISHADI SOFYAN, SKp [email protected] / [email protected] PANTI WERDHA SEBUAH PILIHAN Keberhasilan pembangunan terutama dalam bidang kesejahteraan dan kesehatan berdampak terhadap meningkatnya usia harapan hidup. Peningkatan usia harapan hidup ini berbading terbalik dengan angka kelahiran yang disebabkan oleh keberhasilan program Keluarga Berencana dan keengganan ibu-ibu untuk melahirkan anak lebih dari dua orang. Akibatnya terjadi perubahan struktur penduduk menjadi berbentuk piramid terbalik, dimana jumlah orang lanjut usia lebih banyak dibandingkan anak berusia 14 tahun kebawah. Sekarang ini indonesia menempati peringkat keempat dunia dengan penduduk orang berusia lanjut terbanyak di Dunia dibawah Cina, India, dan Amerika Serikat. Berdasarkan data dari BPS penduduk orang lanjut usia (60 tahun keatas) cenderung meningkat. Jumlah penduduk orang lanjut usia di Indonesia tahun 2000 adalah 17.767.709 orang atau 7.97 % dari jumlah penduduk Indonesia. Pada tahun 2010 Diprediksikan jumlah orang lanjut usia meningkat menjadi 9,58 % dan pada tahun 2020 sebesar 11,20 %. Peningkatan populsi orang lanjut usia diikuti pula berbagai persoalan-persoalan bagi orang lanjut usia itu sendiri. Penurunan kondisi fisik dan psikis, menurunnya penghasilan akibat pensiun, kesepian akibat ditinggal oleh pasangan atau teman seusia dan lain-lain. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu perhatian besar dan penanganan khusus bagi orang lanjut usia tersebut. Untuk mengatasi salah satu dari berbagai persoalan orang lanjut usia, pemerintah dalam hal ini Departemen Sosial mengupayakan suatu wadah atau sarana untuk menampung orang lanjut usia dalam satu institusi yang disebut Panti Werdha. Pada awalnya intitusi ini dimaksudkan untuk menampung orang lanjut usia yang miskin dan terlantar untuk diberikan fasilatas yang layak mulai dari kebutuhan makan minum sampai kebutuhan aktualisasi. Namun lambat laun dirasakan bahwa yang membutuhkan pelayanan kesejahteraan lanjut usia yang berbasis panti tidak hanya bagi mereka yang miskin dan terlantar saja, tetapi orang yang berkecukupan dan mapan pun membutuhkannya. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang yang menyebabkannya, Pertama; perubahan tipe keluarga dari keluarga besar (extended family) menjadi keluarga kecil (nuclear family). Dimana pada awalnya dalam keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Tapi sesuai dengan perkembangan keluarga ada tahap dimana keluarga menghadapi anak yang menikah atau membentuk keluarga sendiri, sehingga yang terjadi adalah orang tua akan tinggal berdua saja, tentu saja kondisi ini membutuhkan peran pengganti keluarga Kedua adalah perubah peran ibu. Pada awalnya peran ibu adalah mengurus rumah tangga, anak-anak, dan lain-lain. Sekarang telah mengalami perubahan dimana ibu juga bertindak sebagai pencari nafkah bekerja di Kantoran dan sebagainya. Sehingga anggota keluarga seperti anak-anak dan kakek serta nenek dititipkan pada institusi tertentu. Ketiga kebutuhan sosialisasi orang lanjut usia itu sendiri. Apabila ia tinggal dalam keluarga mungkin ia akan mengalami perasaan yang bosan ditinggal sendiri, anaknya mungkin berangkat bekerja dan cucunya kesekolah. Sehingga ia membutuhkan suatu lingkungan sosial diamana didalam komunitas tersebut terdapat beberapa kesamaan sehingga ia merasa betah dan kembali bersemangat. Inilah dilema yang terjadi, diperhadapkannya seseorang pada suatu pilihan yang sulit, dimana keluarga mengalami situasi yang tidak memungkinkan untuk merawat sendiri ayah dan ibu yang telah senja karena alasan pekerjaan dan kesibukan lainnya, membuat keluarga tidak memiliki waktu untuk lebih banyak bersama kedua orang tua. Sebaliknya karena lebih seringnya ditinggal seorang diri di Rumah membuat orang tua merasa kesepian dan membutuhakan suatu lingkungan dengan komunitas yang sama. Menjadi tua bukanlah pilihan tetapi hidup di panti werdha adalah sebuah pilihan Tidak dipungkiri bahwa keluargalah yang merupakan unit yang paling tepat untuk memberikan pelayananan terhadap orang tuanya yang lanjut usia, dan peran-peran keluarga ini perlu diamaksimalkan. Tetapi jika menghadapi kondisi yang disebutkan diatas maka inilah yang dapat dikatakan sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi oleh keluarga yang memiliki orang tua lanjut usia. Dengan menggunakan jasa panti werdha sebagai suatu solusi adalah tepat. Asalkan pengambilan keputusan/kesepakatan untuk tinggal di Panti Werdha melibatkan seluruh anggota keluarga serta persetujuan orang tua kita yang sudah lansia. Keluarga yang memasukkan orang tuanya ke panti werdha harus tetap menunjukkan kasih sayangnya meski mereka berada di Panti Werdha. Panti Werdha bisa menjadi pilihan yang baik untuk menikmati hari tua. Akan tetapi sebagian masyarakat Indonesia memandangnya sebagai suatu yang negative. Pandangan masyarakat tentang Panti Jompo dan orang tua yang dititipkan di sana agaknya perlu diluruskan. Orang tua yang dititipkan di Panti Werdha tidak berarti mereka terbuang, mereka tetap memiliki keluarga yang merupakan bagian penting dari keberadaannya. Di Panti Werdha mereka menemukan teman yang relative seusia dengannya dimana mereka dapat berbagi cerita. Karena kebereadaan lansia di Panti dengan berbagai karakter serta memiliki berbagai ragam problematika maka dipandang perlu untuk memberikan suatu penanganan khusus sesuai kelebihan serta kekurangan yang mereka miliki. Di Panti Werdha selain mendapatkan pelayanan berupa pemenuhan kebutuhan dasar juga diberikan fungsi positif lainnya yaitu program-program pelayanan sosial yang bisa memberikan kesibukan buat mereka sebagai pengisian waktu luang diantaranya pemberian Bimbingan Sosial, Bimbingan Mental Spiritual serta Rekreasi, penyaluran bakat dan hoby, terapi kelompok, senam dan banyak kegiatan lainnya. Di Panti mereka mendapatkan fasilitas serta kemudahan– kemudahan/aksesibilitas lainnya. selain bersama teman seusianya, mereka juga mendapatkan pelayanan maksimal dari para Pekerja Sosial dimana mereka menemukan hari-harinya dengan ceria ISSUE DAN KECENDRUNGAN KEPERAWATAN GERONTIK Perubahan, tantangan dan peluang merupakan tiga aspek inti yang sedang terjadi dalam pelayanan keperawatan di Indonesia saat ini. Disamping itu, suatu proses yang mendasar untuk merestrukturisasi pelayanan kesehatan telah mempengaruhi proses perubahan dalam pelayanan keperawatan. Fokus dan orientasi system pelayanan kesehatan telah mempengaruhi proses perubahan dalam pelayanan keperawatan. Fokus dan orientasi system pelayanan kesehatan dan suatu penyakit dan pelayanan kesehatan akut telah berubah menjadi focus kepada kesahatan/kesejahteraan dan berorientasi pada masyarakat. Sejalan dengan situasi-tersebut, maka profesi keperawatan seyogyanya harus mampu berespon darn meningkatkan diri agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Salah satu cara adalah untuk meningkatkan sumber daya tenaga keperawatan adalah dengan meningkatkan pengetahuan, ketrampilan memimpin dan kompetensi (Nurachmah, 1999). Pada masa lalu [dan bahkan sebagian besar sampai sekarang keperawatan dilakukan berdasarkan intuisi dan tradisi sehingga keperawatan dianggap sebagai kiat tanpa komponen ilmiah. Pandangan ini telah menempatkan keperawatan hanya sebagai `pelengkap' atau bagian dari disiplin kesehatan lain dengan ketidakpastian tentang keperawatan sebagai disiplin ilmu vang unik. Sementara sebagai profesi, keperawatan harus memiliki ilmu dan kiat vang diprasyaratkan untuk dapat secara otonom mengendalikan mutu pendidikan dan praktik keperawatan (Hamid, 1999). Sementara itu, untuk dapat melakukan perubahan, menghadapi tantangan dan mengacnbil peluang serta merubai persepsi tentang profesi keperawatan yang tidak benar memerlukan kesiapan sernua komponen keperawatan yang secara factual masih acak¬acakan dan penuh ketidakpastian. Untuk dapat mengembangkan pelayanan keperawatan dibidang gerontik perlu adanya pengembangan yang serasi tiga komponen cikal bakal pengembangan disiplin keperawatan, yang secara skematis ditunjukan dalam diagram berikut: Sumber Hamid, 1999 Dengan demikian perawatan system pelayanan keperawatan gerontik akan kuat karena didukung oleh teori yang kokoh, prakti keperawatan gerontik yang terstandarisasi dan penelitian yang berkelanjutan untuk mengembangkan kedua komponen tersebut. Pertanyaannya yang muncul adalah: bagaimana pengembangan penelitian gerotik di Indonesia sekarang ?. Jawabnya untuk saat sekarang ini adalah bisa tapi sangat sulit karena banyak faktor yang mempengaruhinya. Kita sepakat bahwa penelitian ceperawatan diperlukan dan harus dikembangkan namun pada waktu yang akan datang. Dikatakan bisa karena terbuka lebar tempat penelilian, fenomena penelitian dan banyak area penelitian gerontik yang belum tersentuh. Dalain melakukan penelitian keperawatan di pelayanan gerontik kita harus melakukan analisa SWOT sehingga kita sadar dan memandang persoalan secara jernih. Faktor-faktor yang mempersulit penelitian keperawatan gerontik adalah: I. Sumber daya manusia keperawatan Tingkat pendidikan keperawatan di Indonesia sekarang ini masih sangat bervariasi dari jenjang pendidikan menengah sampai jeniang pendidikan tinggi. Keheterogenitasan inilah yang akan mempersulit pengembangan penelitian tersebut karena jenjang pendidikan keperawatan didoininasi oleh pendidikan keperawatan tingkat menengah yang secara konseptual dan kemampuan sangat terbatas. Kelompok pendidikan keperawatan menegah diperkirakan menguasai 80 % dari seluruh jumlah tenaga keperawatan yang ada di Indonesia saat ini. Jumlah perawat dengan kwalifikasi sarjana keperawatan (SI keperawatan), .magisler keperawatan dan Dok-tor 2. Model praktek keperawafan yang belum baku Setelah peraturan menteri kesehatan nomer 647 diterbitkan, sampai sekarang belum ada bentuk konkrit praktek keperawatan yang akan dikembangkan. Bentuk praktek keperawatan yang jelas sangat penting termasuk praktek keperavatan gerontik karena penelitian keperawatan yang akan dilakukan akan berhubungan erat dengan system atau bentuk praktek yang dikembangkan. Padahal dalam Musyawarah nasional ke VI di bandung telah menyepakati beberapa butir untuk menindaklanjuti peraturan menteri kesehatan no 647 yang salah satunya memberikan amanat agar Pengurus Pusat PPNI untuk membuat petujuk tekhnis operasional (Bina sehat 2000). 3. Sistem pelayanan kesehatan yang masih buruk. Selama ini bentuk pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di Indonesia masih beorientasi pada pelayanan medis (medical oriented). Selama ini kebijakan yang dilahirkan oleh depatemen kesehatan se!alu berorientasi medis dan menempatkan dokter sebagai 'penguasa tunggal' dalam pelayanan kesehatan. Para dokter selalu berangapan bahwa pendekatan tim terhadap upaya penyembuhan dan pemulihan memerlukan adanya seorang kordinator, disini seorang tenaga medis/dokter yang bertindak sebagai nahkoda (Yusa, 2000). Sehingga apapun kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan selalu berorientasi medis. Sebagai contoh konkrit baliwa pelayanan kesehatan hanya dibagi menjadi pelayanan kedokteran (medical services) dan pelayanan keseliatan masyarakat (public health services) (Az_war, 1996) sehingga mengangap profesi-profesi kesehatan diluar kedokteran sebagai pelengkap atau sebagal subsistem pelayanan kedokteran. Semestinya perlu dikembangkan secara professional sehingga masing - masing profesi yang telah diakui oleh Peraturan Pemerintah No 32 tentang tenaga kesehatan (Hanafiah dan Amir, 1999) diberi kebebasan mengembangkan diri sesual dengan sudut padang dan otonomi profesi tersebut yang salah satunya dikembangkan melalui penelitian. Jangan semua keputusan pengembangan system pelayana kesehatan di tentukan oleh Departemen Kesehatan tapi organisasi profesi tak gterlibat. Berdasarkan masalah-masalah yang ada diatas sudah saatnya dilakukan restrukturisasi pelayanan kesehatan secara bertahap dan berkelanjutan sehingga semua profesi di area kesehatan mempunyai kesempatan mengembangkan diri, mengembangkan praktek yang pada akhirnya mengembangakan pelayanan kesehatannya kepada masyarakat. Restrukturisasi pelayana kesehatan merupakan suatu upaya mencapai suatu perubahan yang diharapkan melalui perancangan kembali aspek-aspek yang dianggap menjadi penghambat terjadinya perubahan (Nurachmah, 2000). Selama restrukturisasi ini belum dilakukan maka selama ilu juga terjadi kesulitan pengembangan profesi keperawatan termasuk dalam hal penelitian karena- akan berbentura.n dengan system yang masih buruk. 4. Sumber pembiayaan penelitian yang ada belum terkoordinir Keperawatan sebagai profesi, saat li masih dalam fase pengembangan sehingga dibutuhkan kerja keras serta infrastruktur yang menunjang perubahan tersebut. Sebagai organisasi profesi yang datam tahap pengembangan, perawat masih lemah dari segala segi termasuk dalam pendanaan, bargaining power dan penentuan kebijakan (regulasi). Penelitian untuk mengembangkan pelayanan keperawatan termasuk pelayanan keperawatan gerontik akan sangat memerlukan dana yang sangat besar untuk ini perlu dikembangkan usaha untuk menghimpun dana dari berbagai pihak sehingga semua penelitian keperawatan dapat di danai dari dana yang terkumpul tersebut. Perlu satu badan yang mengurusi tentang pendanaan penelitian keperawatan. Badan tersebut berfungsi mencari donatur insidentil dan donatur tetap serta melakukan mobilisasi terhadap dana yang terkumpul demi kepentingan penelitian keperatvatan. Jika perawat hanya mengandalkan dana penelitian yang disedikan oleh departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial akan selalu menemui hambatan/kesulitan karena akan berbenturan dengan system yang berlaku sekarang ini dan proporsi pendanaan yang disedikan juga tidak seimbang untuk masing-tnasing profesi. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, oerlu dilakukan klasifikasi karakteristik dan prioritas penelitian keperawatan. Menurut Diers (dikutip Cracen dan Hirnle, 1996) secara umum karakteristik penelitian keperawatan yang diperlukan adalah: 1. Riset keperatvatan harus berfokus pada variabel yang meningkatkan asuhan keperawatan. 2. Riset keperawatan mempunvai potensi untuk berkontribusi pada pengembangan teori dan pengembangan tubuh ilmu pengetahuan keperarwatan. 3. Masalah riset merupakan masalah riset keperawatan apabila perawat mempunyai akses dan kendali terhadap fenomena yang diteliti. 4. Perawat yang tertarik terhadap penelitian harus mempunyai keingintahuan dan pertanyaan yang perlu dijawab secara ilmiah. Prioritas penelitian atau risetnva adalah sebagai berikut(Hamid, 1999 dengan modifikasi): 1. Meningkatkan kesehatan, kesejahteraan dan kemampuan merawat diri sendiri sehingga tiap lansia baik di rumah sakit, keluarga, kelompok, dan masyarakat. 2. Meminimalkan atau mencegah perilaku atau lingkungan yang menimbulkan masalah kesehatan dan berdampak pada menurunnya kualitas hidup dan produktifitas. 3. Meminimalkan dampak negatif dari teknologi kcsehatan baru terhadap kemampuan adaptif individu lansia dan keluarga yang sedang mengalami masalah kesehatan akut dan kronik. 4. Memastikan bahwa asuhan keperawatan yang diperlukan bagi kelompok yang beresiko: seperti lansia dengan penyakit kronik, lansia dengan gangguan jiwa, lansia pada masyarakat miskin dengan cara yang dapat diterima dan efektif. 5. Mengklasifikasi fenomena praktek keperawatan gerontik. 6. Memastikan prinsip etik sebagai pegangan dalam melakukan riset keperawatan 7. Mengembangkan instrumen untuk mengukur hasil intervensi keperawatan. 8. Mengembangkan metodologi yang integrative untuk mengkaji manusia secara holistic dan kontek keluarga dan gaya hidup. 9. Merancang dan mengevaluasi model alternatif teori keperawatan dan pelayanan keperawatan dan system pelayanan kesehatan sehingga perawat mampu meningkatkan mutu dan menghemat biaya yang dikeluarkan dalam mernenuhi kebutuhan 'tansia khususnya dan masyarakat pada umumnya. 10. Mengevaluasi keberhasilan pendekatan altematif yang memerlukan pengetahuan yang luas dan ketrampilan yang tinggi dalam praktek pelayanan keperawatan geonlik. 11. Mengidentifikasi dan menganalisa faktor-faktor histories dan kontenporer yang mempengaruhi bentuk keterlibatan keperawatan porofesional dalam pengembangan kebijakan kesehatan nasional. ASKEP ISK GERONTIK Realese by Ivan LAPORAN PENDAHULUAN INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) A. Pengertian KeInfeksi Saluran mih (ISK) atau Urinarius Tractus Infection (UTI) adalah suatu keadaan adanya infasi mikroorganisme pada saluran kemih. (Agus Tessy, 2001) Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu keadaan adanya infeksi bakteri pada saluran kemih. (Enggram, Barbara, 1998) B. Klasifikasi Jenis Infeksi Saluran Kemih, antara lain: 1. Kandung kemih (sistitis) 2. uretra (uretritis) 3. prostat (prostatitis) 4. ginjal (pielonefritis) Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut, dibedakan menjadi: 1. ISK uncomplicated (simple) ISK sederhana yang terjadi pada penderita dengan saluran kencing tak baik, anatomic maupun fungsional normal. ISK ini pada usi lanjut terutama mengenai penderita wanita dan infeksi hanya mengenai mukosa superficial kandung kemih. 2. ISK complicated Sering menimbulkan banyak masalah karena sering kali kuman penyebab sulit diberantas, kuman penyebab sering resisten terhadap beberapa macam antibiotika, sering terjadi bakterimia, sepsis dan shock. ISK ini terjadi bila terdapat keadaan-keadaan sebagi berikut: a. Kelainan abnormal saluran kencing, misalnya batu, reflex vesiko uretral obstruksi, atoni kandung kemih, paraplegia, kateter kandung kencing menetap dan prostatitis. b. Kelainan faal ginjal: GGA maupun GGK. c. Gangguan daya tahan tubuh d. Infeksi yang disebabkan karena organisme virulen sperti prosteus spp yang memproduksi urease. C. Etiologi 1. Jenis-jenis mikroorganisme yang menyebabkan ISK, antara lain: a. Escherichia Coli: 90 % penyebab ISK uncomplicated (simple) b. Pseudomonas, Proteus, Klebsiella : penyebab ISK complicated c. Enterobacter, staphylococcus epidemidis, enterococci, dan-lain-lain. 2. Prevalensi penyebab ISK pada usia lanjut, antara lain: a. Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih yang kurang efektif b. Mobilitas menurun c. Nutrisi yang sering kurang baik d. Sistem imunitas menurun, baik seluler maupun humoral e. Adanya hambatan pada aliran urin f. Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat D. Patofisiologi Infeksi Saluran Kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik dalam traktus urinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui : kontak langsung dari tempat infeksi terdekat, hematogen, limfogen. Ada dua jalur utama terjadinya ISK, asending dan hematogen. Secara asending yaitu: ? masuknya mikroorganisme dalm kandung kemih, antara lain: factor anatomi dimana pada wanita memiliki uretra yang lebih pendek daripada laki-laki sehingga insiden terjadinya ISK lebih tinggi, factor tekanan urine saat miksi, kontaminasi fekal, pemasangan alat ke dalam traktus urinarius (pemeriksaan sistoskopik, pemakaian kateter), adanya dekubitus yang terinfeksi. ? Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal Secara hematogen yaitu: sering terjadi pada pasien yang system imunnya rendah sehingga mempermudah penyebaran infeksi secara hematogen Ada beberapa hal yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal sehingga mempermudah penyebaran hematogen, yaitu: adanya bendungan total urine yang mengakibatkan distensi kandung kemih, bendungan intrarenal akibat jaringan parut, dan lain-lain. Pada usia lanjut terjadinya ISK ini sering disebabkan karena adanya: ? Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap atau kurang efektif. ? Mobilitas menurun ? Nutrisi yang sering kurang baik ? System imunnitas yng menurun ? Adanya hambatan pada saluran urin ? Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat. Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat tersebut mengakibatkan distensii yang berlebihan sehingga menimbulkan nyeri, keadaan ini mengakibatkan penurunan resistensi terhadap invasi bakteri dan residu kemih menjadi media pertumbuhan bakteri yang selanjutnya akan mengakibatkan gangguan fungsi ginjal sendiri, kemudian keadaan ini secara hematogen menyebar ke suluruh traktus urinarius. Selain itu, beberapa hal yang menjadi predisposisi ISK, antara lain: adanya obstruksi aliran kemih proksimal yang menakibtakan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter yang disebut sebagai hidronefroses. Penyebab umum obstruksi adalah: jaringan parut ginjal, batu, neoplasma dan hipertrofi prostate yang sering ditemukan pada laki-laki diatas usia 60 tahun. Pathway : terlampir E. Tanda dan Gejala Tanda dan gejala ISK pada bagian bawah (sistitis): ? Nyeri yang sering dan rasa panas ketika berkemih ? Spasame pada area kandung kemih dan suprapubis ? Hematuria ? Nyeri punggung dapat terjadi Tanda dan gejala ISK bagian atas (pielonefritis) ? Demam ? Menggigil ? Nyeri panggul dan pinggang ? Nyeri ketika berkemih ? Malaise ? Pusing ? Mual dan muntah F. Pemeriksaan Penunjang 1. Urinalisis ? Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK. Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sediment air kemih ? Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis. 2. Bakteriologis ? Mikroskopis ? Biakan bakteri 3. Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik 4. Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari urin tampung aliran tengah atau dari specimen dalam kateter dianggap sebagai criteria utama adanya infeksi. 5. Metode tes ? Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes Griess untuk pengurangan nitrat). Tes esterase lekosit positif: maka psien mengalami piuria. Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit. ? Tes Penyakit Menular Seksual (PMS): Uretritia akut akibat organisme menular secara seksual (misal, klamidia trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes simplek). ? Tes- tes tambahan: Urogram intravena (IVU). Pielografi (IVP), msistografi, dan ultrasonografi juga dapat dilakukan untuk menentukan apakah infeksi akibat dari abnormalitas traktus urinarius, adanya batu, massa renal atau abses, hodronerosis atau hiperplasie prostate. Urogram IV atau evaluasi ultrasonic, sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab kambuhnya infeksi yang resisten. G. Penatalaksanaan Penanganan Infeksi Saluran Kemih (ISK) yang ideal adalah agens antibacterial yang secara efektif menghilangkan bakteri dari traktus urinarius dengan efek minimal terhaap flora fekal dan vagina. Terapi Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut dapat dibedakan atas: ? Terapi antibiotika dosis tunggal ? Terapi antibiotika konvensional: 5-14 hari ? Terapi antibiotika jangka lama: 4-6 minggu ? Terapi dosis rendah untuk supresi Pemakaian antimicrobial jangka panjang menurunkan resiko kekambuhan infeksi. Jika kekambuhan disebabkan oleh bakteri persisten di awal infeksi, factor kausatif (mis: batu, abses), jika muncul salah satu, harus segera ditangani. Setelah penanganan dan sterilisasi urin, terapi preventif dosis rendah. Penggunaan medikasi yang umum mencakup: sulfisoxazole (gastrisin), trimethoprim/sulfamethoxazole (TMP/SMZ, bactrim, septra), kadang ampicillin atau amoksisilin digunakan, tetapi E. Coli telah resisten terhadap bakteri ini. Pyridium, suatu analgesic urinarius jug adapt digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat infeksi. Pemakaian obat pada usia lanjut perlu dipikirkan kemungkina adanya: ? Gangguan absorbsi dalam alat pencernaan ? Interansi obat ? Efek samping obat ? Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal Resiko pemberian obat pada usia lanjut dalam kaitannya dengan faal ginjal: 1. Efek nefrotosik obat 2. Efek toksisitas obat Pemakaian obat pada usia lanjut hendaknya setiasp saat dievalusi keefektifannya dan hendaknya selalu menjawab pertanyaan sebagai berikut: ? Apakah obat-obat yang diberikan benar-benar berguna/diperlukan/ ? Apakah obat yang diberikan menyebabkan keadaan lebih baik atau malh membahnayakan/ ? Apakah obat yang diberikan masih tetap diberikan? ? Dapatkah sebagian obat dikuranngi dosisnya atau dihentikan? H. Pengkajian 1. Pemerikasaan fisik: dilakukan secara head to toe dan system tubuh 2. Riwayat atau adanya faktor-faktor resiko: ? Adakah riwayat infeksi sebelumnya? ? Adakah obstruksi pada saluran kemih? 3. Adanya factor yang menjadi predisposisi pasien terhadap infeksi nosokomial. ? Bagaimana dengan pemasangan kateter foley? ? Imobilisasi dalam waktu yang lama. ? Apakah terjadi inkontinensia urine? 4. Pengkajian dari manifestasi klinik infeksi saluran kemih ? Bagaimana pola berkemih pasien? untuk mendeteksi factor predisposisi terjadinya ISK pasien (dorongan, frekuensi, dan jumlah) ? Adakah disuria? ? Adakah urgensi? ? Adakah hesitancy? ? Adakah bau urine yang menyengat? ? Bagaimana haluaran volume orine, warna (keabu-abuan) dan konsentrasi urine? ? Adakah nyeri-biasanya suprapubik pada infeksi saluran kemih bagian bawah ? Adakah nyesi pangggul atau pinggang-biasanya pada infeksi saluran kemih bagian atas ? Peningkatan suhu tubuh biasanya pada infeksi saluran kemih bagian atas. 5. Pengkajian psikologi pasien: ? Bagaimana perasaan pasien terhadap hasil tindakan dan pengobatan yang telah dilakukan? Adakakan perasaan malu atau takut kekambuhan terhadap penyakitnya. I. Diagnosa Keperawatan Yang Timbul 1. Nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan inflamasi dan infeksi uretra, kandung kemih dan sruktur traktus urinarius lain. 2. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan obstruksi mekanik pada kandung kemih ataupun struktur traktus urinarius lain. 3. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi. J. Intervensi Keperawatan 1. Dx 1 : Nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan inflamasi dan infeksi uretra, kandung kemih dan struktur traktus urinarius lain. Kriteria evaluasi: Tidak nyeri waktu berkemih, tidak nyeri pada perkusi panggul Intervensi: a. Pantau haluaran urine terhadap perubahan warna, baud an pola berkemih, masukan dan haluaran setiap 8 jam dan pantau hasil urinalisis ulang Rasional: untuk mengidentifikasi indikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan b. Catat lokasi, lamanya intensitas skala (1-10) penyebaran nyeri. Rasional: membantu mengevaluasi tempat obstruksi dan penyebab nyeri c. Berikan tindakan nyaman, seprti pijatan punggung, lingkungan istirahat; Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot. d. Bantu atau dorong penggunaan nafas berfokus Relaksasi: membantu mengarahkan kembali perhatian dan untuk relaksasi otot. e. Berikan perawatan perineal Rasional: untuk mencegah kontaminasi uretra f. Jika dipaang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2 nkali per hari. Rasional: Kateter memberikan jalan bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan. g. Kolaborasi: ? Konsul dokter bila: sebelumnya kuning gading-urine kuning, jingga gelap, berkabut atau keruh. Pla berkemih berubah, sring berkemih dengan jumlah sedikit, perasaan ingin kencing, menetes setelah berkemih. Nyeri menetap atau bertambah sakit Rasional: Temuan- temuan ini dapat memeberi tanda kerusakan jaringan lanjut dan perlu pemeriksaan luas ? Berikan analgesic sesuia kebutuhan dan evaluasi keberhasilannya Rasional: analgesic memblok lintasan nyeri sehingga mengurangi nyeri h. Berikan antibiotic. Buat berbagai variasi sediaan minum, termasuk air segar . Pemberian air sampai 2400 ml/hari Rasional: akibta dari haluaran urin memudahkan berkemih sering dan membentu membilas saluran berkemih 2. Dx 2: Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan obstruksi mekanik pada kandung kemih ataupun struktur traktus urinarius lain. Kriteria Evaluasi: Pola eliminasi membaik, tidak terjadi tanda-tanda gangguan berkemih (urgensi, oliguri, disuria) Intervensi: a. Awasi pemasukan dan pengeluaran karakteristi urin Rasional: memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi b. Tentukan pola berkemih pasien c. Dorong meningkatkan pemasukan cairan Rasional: peningkatan hidrasi membilas bakteri. d. Kaji keluhan kandung kemih penuh Rasional: retensi urin dapat terjadi menyebabkan distensi jaringan(kandung kemih/ginjal) e. Observasi perubahan status mental:, perilaku atau tingkat kesadaran Rasional: akumulasi sisa uremik dan ketidakseimbangan elektrolit dapat menjadi toksik pada susunan saraf pusat f. Kecuali dikontraindikasikan: ubah posisi pasien setiap dua jam Rasional: untuk mencegah statis urin g. Kolaborasi: ? Awasi pemeriksaan laboratorium; elektrolit, BUN, kreatinin Rasional: pengawasan terhadap disfungsi ginjal ? Lakukan tindakan untuk memelihara asam urin: tingkatkan masukan sari buah berri dan berikan obat-obat untuk meningkatkan aam urin. Rasional: aam urin menghalangi tumbuhnya kuman. Peningkatan masukan sari buah dapt berpengaruh dalm pengobatan infeksi saluran kemih. 3. Dx 3: Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi. Kriteria Evaluasi: menyatakna mengerti tentang kondisi, pemeriksaan diagnostic, rencana pengobatan, dan tindakan perawatan diri preventif. Intervensi: a. Kaji ulang prose pemyakit dan harapan yang akan datanng Rasional: memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan beradasarkan informasi. b. Berikan informasi tentang: sumber infeksi, tindakan untuk mencegah penyebaran, jelaskna pemberian antibiotic, pemeriksaan diagnostic: tujuan, gambaran singkat, persiapan ynag dibutuhkan sebelum pemeriksaan, perawatan sesudah pemeriksaan. Rasional: pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan m,embantu mengembankan kepatuhan klien terhadap rencan terapetik. c. Pastikan pasien atau orang terdekat telah menulis perjanjian untuk perawatan lanjut dan instruksi tertulis untuk perawatn sesudah pemeriksaan Rasional: instruksi verbal dapat dengan mudah dilupakan d. Instruksikan pasien untuk menggunakan obat yang diberikan, inum sebanyak kurang lebih delapan gelas per hari khususnya sari buah berri. Rasional: Pasien sering menghentikan obat mereka, jika tanda-tanda penyakit mereda. Cairan menolong membilas ginjal. Asam piruvat dari sari buah berri membantu mempertahankan keadaan asam urin dan mencegah pertumbuhan bakteri e. Berikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan dan masalah tentang rencana pengobatan. Rasional: Untuk mendeteksi isyarat indikatif kemungkinan ketidakpatuhan dan membantu mengembangkan penerimaan rencana terapeutik. DAFTAR PUSTAKA Doenges, Marilyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Alih Bahasa: I Made Kariasa, Ni made Sumarwati. Edisi: 3. Jakrta: EGC. Enggram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Nugroho, Wahyudi. (2000). Keperawatan Gerontik. Edisi: 2. Jakarta: EGC. Parsudi, Imam A. (1999). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: FKUI Price, Sylvia Andrson. (1995). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit: pathophysiologi clinical concept of disease processes. Alih Bahasa: Peter Anugrah. Edisi: 4. Jakarta: EGC Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddart. Alih Bhasa: Agung Waluyo. Edisi: 8. Jakarta: EGC. Tessy Agus, Ardaya, Suwanto. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Infeksi Saluran Kemih. Edisi: 3. Jakarta: FKUI.