Berbagai Kritik Atas Keraguan Terhadap Agama A

advertisement
Pokok Bahasan VIII: Berbagai Kritik Atas Keraguan Terhadap Agama
A. Kritik Atas Keraguan Terhadap Agama yang Dilatarbelakangi Marxisme
Agama dan gereja beserta organisasi keagamaan pada masa itu, oleh
parapemuka materialisme dan khususnya marxisme dianggap sebagai alat reaksi
borjuis untuk mengeksploitasi dan menekan kelas buruh. Mereka menentang
agama serta berkeyakinan bahwa mereka dapat merobohkan agama. Agama
hanyalah suatu bentuk keterasingan manusia dan dirinya sendiri yang bertolak dan
kemampuan proyeksi manusia yang tak berhingga. Agama juga merupakan suatu
bentuk keterasingan manusia dalarn bidang sosial ekonorni. Agama, dalarn hal mi,
memiliki dua fungsi, pertama, orang kapitalis (kelas atas) mempergunakan agarna
sebagai topeng yang dibelakangnya tersernbunyi tuj uantujuan sebenarnya yaitu
mempertahankan kedudukannya (supaya tetap kaya). Kedua, agama bagi rakyat
rendah sebagai candu masyarakat.
Klaim Marxisme atas agama tersebut tidak representatif dan tidak mernadai
Beberapa point dan kelemahan klaim Marxisme dapat diidentifikasi. Pertarna,
ketidakberhinggaan proyeksi manusia berbeda dengan ketidakberhinggaan dalarn
agama. Kedua, agama tidak bersifat subjektif-individual tetapi bahkan lebih bersifat
intersubjektif dan sosial. Ketiga, materialisme dan khususnya marxisme meredusir
fitrah manusia sebagai rnakhluk multidimesional, menjadi hanya sebagai
berdimensi sosial-ekonomi. Kccmpat, kondisi proletariat tidak mesti meningkatkan
semangat untuk beragama, demikian juga sebaliknya taraf hidup sosial-ekonomi
yang mapan tidak selalu melemahkan semangat untuk beragama. Kelima, agamaagama besar telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia dalam
berbagai aspek kehidupan. Keenam, tidak ada jaminan, bahkan dan dirinya sendiri,
bahwa teori materialisme dan marxisme itu benar secara mutlak. Ketujuh, agama
yang dikritik oleh marxisme adalah bukan agama yang sebenamya, tetapi praktek
beragama. Dengan kata lain, marxisme telah salah alamat dalam mengkritik
againa, atau marxisme mengkaburkan pengertian agama dengan keberagamaan.
B. Kritik Atas Keraguan Terhadap Agama yang Dilatarbelakangi Psykologi Freud
Agama, dalam pandangan psikologi adalah suatu neurotis atau semacam
gangguan kesadaran sebagaimana dilontarkan oleh faham psikoanalisa dalam
psikologi.
Faham psikoanalisa pada umumnya berpendapat, agama tidak Iebih dan
sekedar cara yang diterima bersama untuk mengatasi ketegangan, kecemasan,
dan penderitaan. Freud (1856-1939) tokoh senior psikoanalisa berpendapat,
agama adalah suatu khayalan yang bersumber pada adanya kondisi tertekan yang
terpendam dalam pribadi manusia. Kondisi tertekan itu terjadi karena adanya
konflik antara tuntutan naluniah dengan tuntutan sosial. Keyakinan tentang Tuhan
dan agama pada urnumnya berakar pada kebutuhan untuk menemukan komprorni
yang menyenangkan
antara
tuntutan
naluriah
dan
tuntutan
hidup
yang
mengancam. Segala yang tidak dapat dipenuhi manusia, dipenuhi dengan
menciptakan Tuhan. Upaya sernacam itu rnenggarnbarkan ketidakdewasaan.
Agama diciptakan dan kecë’nderungan masa kanak-kanak untuk rnendapatkan
kepuasan dan keamanan karena kondisi tertekan itu. Agarna, bagi Freud,
merugikan pertumbuhan kepribadian manusia (Crapps, 1995: 70-73).
Seorang tokoh psikoanalisa yang lain, yakni Carl Gustav Jung (1875- 1961),
meskipun mempunyai pendapat yang berbeda, namun pada dasarnya tetap
menuduh bahwa agama merupakan suatu bentuk terganggunya kesadaran. Jung
berpendapat, agama merupakan archetypç (arketipe) dan collective unconscious
(ketidaksadaran kolektif). Agama bermula dan ketidaksadaran kolektif manusia.
Manusia mewarisi segala endapan pengalaman nenek moyang yang turuntemurun,
yang
karena
perkembangan
jaman
sedikit
demi
sedikitmengalami
penganekaragaman.manusia juga mewarisi sejarah psikis bersarna dalam
ketidaksadaran kolektif Ketidaksadaran kolektif diwariskan dan satu generasi ke
generasi berikutnya lewat arketipe yang sudah ada sejak jaman silam. Hal mi
terbukti dengan ditemukannya kesamaan lambang-lambang yang dipergunakan
oleh orang dan kelompok agama yang berbeda. Kesamaan itu menjelaskan
kemiripan dalam rangka arketipe (Crapps, 1995: 76).
Perjumpaan psikologi dan agarna tidak selalu akur, meskipun juga
memunculkan informasi yang berrnanfaat tentang hubungan antara si stern
kepercayaan keagarnaan denan hidup rnanusia itu sendiri. Psikologi sering
menuduh agama sebagai gej ala ketidakdewasaan manusia. Sementara, agarna
menuduh psikologi memandang persoalan manusia dan sudut pandang yang
sempit; sehingga interpretasi psikologis atas agama dianggp sebagai campur
tangan yang tidak semestinya. Psikologi mernang tidak rnernpunyai pengertian
yang mendalam dan metode khas yang mampu menyederhanakan kompleksitas
teologis yang terkait dengan pemahaman agama. Masalah-masalah normatif
diubah menjadi masalah fenomenologis. Psikologi tidak membahas apa agama itu
atau bagaimana seharusnya agama, tetapi mengapa manusia beragama dan apa
fungsi agama bagi manusia (Crapps, 1995: 18).
Psikologi belurn menyentuh daerah pinggiran dan agama sekalipun.
Pengalaman keagamaan yang merupakan kehidupan ruhaniah bersumber pada çjjj
mempunyai banyak jenjang. Jenjang-jenjang itu secara teknis disebut ‘alam al-amr
(serangkaian perintah) yang meliputi (jiwa atau semangat di balik perintah), al-khafi
(hal yang merupakan misteri di balik perintah, dan sirr alakhfa (misteri yang
menimbulkan ketakutan dan ketaatan) (Iqbal, 1951: 192). Pertimbangan atau
analisis psikologi hanya dapat diterirna dalarn hubungan dengan gejala emosional
dan simbolis dan agama, watak esensial agama dengan cara apapun tidak terlibat
(Iqbal, 1951: 191).
Teori psikologi modern tentang agama bertolak dan kesalahfahaman
tentang agama. Kesalahfahaman itu adalah adanya anggapan bahwa agama tidak
menghubungkan ego manusia dengan realitas obyektif di luar manusia, agarna
hanya semacam rencana upaya etis melindungi struktur masyarakat. Tujuan akhir
hidup keagamaan adalah membangun ego yang fana dengan mernbuatnya
berhubungan dengan suatu proses hidup yang abadi, sehingga memberikan
kedudukan metafisikal. Agama, tidak tepat bila semata-mata digambarkan hanya
menyediakan cara khayalan untuk melepaskan diri dan, atau menyesuaikan diri
dengan suatu realita yang tidak menyenangkan (Iqbal, 1951: 194).
Agama tidak dapat dianggap sebagai satu respon terhadap satu fantasi
belaka di dalam otak, tidak mungkin memahami agarna dalarn konteks ini,
melainkan agama difahami dalam konteks sebagai respon terhadap suatu suasana
obyektif yang menghasilkan antusiasme baru. Agarna dapat memunculkan
semangat barn, tradisi barn, kepemimpinan baru, dan bahkan peradaban yang
baru (Iqbal, 1951: 190).
Agama bukan semata-mata persoalan emosi. Agama juga bukan masalah
simbolisasi semata. Agama adalah ekspresi seluruh potensi kemanusiaan (Iqbal,
1951:2). Agama itu meliputi keyakinan, pemikiran, dan penemuan (Iqbal,
1951:181). Agama bukan rnasalah gangguan kesadaran, bukan semata-mata
khayalan, bukan pula sernata-mata luapan emosi. Agama itu ada dalarn
obyektivanya. Agama sungguh-sungguh merupakan suatu kenyataan yang mutlak
diperlukan oleh manusia dalam kehidupan ini.
Berbagai kritik atas keraguan terhadap agarna yang bertolak dan
pendekatan yang tidak proporsional akandikembangkan dalam kuliah.
Download