BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian
Masa remaja dipandang sebagai masa yang berpotensi untuk meraih
kegemilangan karena seluruh aspek perkembangan berkembang secara pesat. Scherf
(2011, hlm. 1) memaparkan remaja merupakan waktu terjadinya perkembangan fisik,
kognitif, emosi, moral, sosial secara dramatis. Aspek perkembangan yang dapat
berjalan secara seimbang memfasilitasi peningkatan potensi individu.
Remaja dapat mengintegrasikan informasi yang diperoleh dengan tantangan di
masa mendatang dan merencanakan masa depan. Kemampuan mengintegrasikan
berkaitan dengan perkembangan kognitif remaja yang berada pada tahap operasi
formal yang memungkinkan remaja berpikir tidak hanya sebatas pada peristiwa yang
terjadi tetapi dapat membayangkan berbagai kemungkinan dalam situasi yang
beragam (Papalia, et all, 2008, hlm. 555). Remaja dinilai sudah mampu berfikir logis
tentang gagasan yang abstrak, dapat berfikir hipotesis, ilmiah dan sistematis dalam
berupaya menyelesaikan masalah (Yusuf, 2007, hlm. 194).
Pencapaian tugas perkembangan akan membentuk pribadi yang efektif.
Blocher (dalam Budiman, 2012, hlm. 36) mengatakan yang dimaksud dengan pribadi
yang efektif adalah pribadi yang mampu mempertimbangkan kemampuan diri,
ketersediaan waktu dan tenaganya dan bersedia menanggung berbagai resiko secara
ekonomis, psikologis dan fisik. Pribadi yang efektif juga mampu mengenal,
mendefinisikan dan menyelesaikan masalah dengan memberdayakan kemampuan
berpikirnya secara genuine dan kreatif sehingga mampu mengontrol dorongandorongan untuk merespon situasi frustasi, permusuhan dan ketidakjelasan secara
wajar.
Remaja tidak semua dibesarkan dalam kondisi yang ideal. Beberapa remaja
berada pada kondisi perceraian orang tua, kekerasan dalam keluarga, interaksi sosial
Evi Astuti, 2015
TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
2
negatif atau status ekonomi. Situasi kurang ideal dapat menghambat perkembangan
sosial, emosi, dan kognitif sehingga potensi remaja yang mengalaminya di masa
dewasa akan terganggu. Zolkozki & Lyndal (2012, hlm. 2296) menyatakan individu
yang mengalami permasalahan yang kompleks beresiko mengalami kegagalan dalam
mengatasi kesulitan. Rak dan Patterson (dalam Zolkozki & Lyndal, 2012, hlm. 2296)
menyatakan kemiskinan, kekerasan, disonasi keluarga memiliki kerentanan yang
cukup tinggi sehingga mengkhawatirkan adanya ketidakmampuan individu untuk
mengoptimalkan potensinya dimasa dewasa dalam keadaan yang kurang beruntung.
Waxman (2003, hlm. 1) melaporkan pelajar yang beresiko mengalami kegagalan
dalam akademik cenderung memiliki latarbelakang masalah kemiskinan, kesehatan,
dan kondisi sosial lainnya sehingga menghambat kesuksesannya disekolah.
Pada saat remaja tidak mampu menghadapi permasalahan yang kompleks
dalam hidupnya, remaja cenderung menunjukkan perilaku-perilaku yang mengarah
pada tindakan destruktif bagi diri dan lingkungan sekitarnya. Ha-Na & Hyung (2005,
hlm. 1) memaparkan temuan yang menunjukkan peserta didik dengan perceraian
orang tua yang dalam hal ini dianggap sebagai pemicu ketidakidealan menunjukkan
kenakalan yang lebih tinggi dan prestasi akademik yang lebih rendah dibandingkan
peserta didik dari keluarga utuh. Rutter & Garmezy (dalam Santrock, 2007, hlm.
296) menemukan fakta apabila sejumlah stressor dialami secara kumulatif, akan
menimbulkan efek yang bersifat gabungan, sehingga individu yang dikepung oleh
dua stressor hidup yang kronis, memiliki kecenderungan empat kali lebih besar
membutuhkan layanan psikologis, dibandingkan yang harus mengatasi sebuah
stressor. Liu & Tein (dalam Santrock, 2007, hlm. 296) memaparkan studi terkait
remaja yang memiliki ide bunuh diri cenderung pernah mengalami peristiwa hidup
yang negatif ditahun sebelumnya dibandingkan remaja yang tidak memiliki ide bunuh
diri.
Tindakan destruktif lain yang sering dijumpai di kalangan remaja ketika
mengalami kesulitan adalah merokok. Informasi bahaya rokok sudah menyebar luas,
jumlah perokok semakin meningkat. Departemen Pendidikan Nasional (dalam
Khairun, 2011, hlm. 5) mencatat jumlah perokok dikalangan remaja pada usia 15-24
Evi Astuti, 2015
TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
3
tahun sekitar 25, 56%. Merokok disebut sebagai proses kompensatoris setiap tekanan
yang terjadi pada individu. Komalasari (2000, hlm. 39) mengulas pernyataan Klinke
& Meeker, motif perokok adalah relaksasi karena merokok dapat mengurangi
ketegangan dan memudahkan berkonsentrasi, sehingga merokok disebut sebagai
proses kompensatoris dari rasa tertekan yang dialami oleh individu.
Kondisi yang menghimpit, tidak selalu membuat remaja mampu membentuk
pribadi tangguh untuk tetap berjuang menjalani kehidupan yang lebih konstruktif.
Hasil penyelidikan yang dilakukan MacArthur Foundation Research Network (dalam
Lioyd & Berlin, 2004, hlm. 13) terhadap 1.000 orang berusia 10 hingga 30 tahun
menunjukkan apabila dibandingkan dengan orang dewasa, remaja memiliki fokus
yang lebih pendek dalam mempertimbangkan konsekuensi dari perilaku yang
memiliki potensi beresiko, keadaan yang menghimpit remaja membuatnya lebih
mudah untuk melakukan tindakan yang bersifat merusak.
Individu yang berhasil terlepas dari kesulitan, mengindikasikan memiliki
ketangguhan, kekuatan dan faktor yang membantu mengatasi kondisi buruk yang
dirasakan. Menurut Hersberger (2012, hlm. 3) sebesar apapun tingkat kesulitan yang
dialami individu yang tangguh tidak akan berpengaruh besar pada kehidupan yang
dijalani. Kemampuan individu untuk bangkit kembali dari keterpurukan dan
menghadapi tantangan baru disebut sebagai resiliensi (Winder, 2006, hlm. 8).
Pooley & Cohen (dalam Grant & Kinman, 2012, hlm. 606) mendefinisikan
resiliensi sebagai kemampuan untuk mengatasi masalah dengan menggunakan
sumber daya internal dan eksternal dalam konteks dan perkembangan tantangan yang
berbeda. Davoudi (2013, hlm. 5) menyatakan “resilience is not a fixed asset, property
or character that people or places have or do not have. It is acontinually evolving
and fluctuating process. It is not a being, but a becoming”, artinya resiliensi adalah
sebuah kompetensi yang harus dilatihkan dan dikembangkan bukan sebuah kelebihan
yang mutlak dimiliki oleh setiap individu tanpa melalui sebuah proses.
Pada setting sekolah, penelitian terkait resiliensi diantaranya penelitian
Munawaroh (2011) yang menggambarkan resiliensi akademik peserta didik SMK
Daarut-Tauhid Boarding School Bandung yang memiliki tantangan akademik lebih
Evi Astuti, 2015
TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
4
banyak karena jumlah mata pelajaran dan waktu belajar lebih padat dari pada sekolah
regular lainnya. Hasil penelitian menunjukkan 19,5% peserta didik memiliki
resiliensi akademik kategori tinggi, 63,4% pada kategori sedang dan 17% pada
kategori rendah. Artinya, lebih dari setengah peserta didik memiliki ketangguhan
dalam menghadapi tantangan akademik.
Fenomena tentang resiliensi secara umum di sekolah terbuka juga dipaparkan
oleh Hudzaifa (2012) dalam penelitiannya terkait dengan resiliensi di SMP terbuka
menggambarkan 1% peserta didik memiliki kategori sangat sesuai dalam artian
peserta didik memiliki resiliensi yang sangat tinggi, 73% pada kategori sesuai yang
artinya memiliki resiliensi yang tinggi, 26% kategori ragu-ragu, 0% pada kategori
tidak sesuai dan 0% pada kategori sangat tidak sesuai. Secara keseluruhan, profil
penelitian di SMP terbuka menunjukkan peserta didik memiliki tingkat resiliensi
yang tinggi meskipun mayoritas peserta didik SMP terbuka berasal dari keluarga
berekonomi rendah. Artinya kesulitan yang dihadapi peserta didik di SMP Terbuka
tidak berpengaruh negatif terhadap kehidupannya secara umum.
Penelitian terhadap profil resiliensi siswa penerima Bantuan Khusus Murid
(BKM) di SMA Negeri 1 Cimalaka Tahun Ajaran 2013/2014 dilakukan oleh Widianti
(2014). Hasil menunjukkan 8,82% siswa yang termasuk ke dalam kriteria diatas ratarata yang berarti siswa tersebut sudah mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang adversif dan sudah mampu belajar memperkuat diri mengubah kondisi adversif
menjadi kondisi yang kondusif. Siswa yang termasuk kriteria rata-rata mencapai
77,94% dan siswa yang termasuk kriteria di bawah rata-rata mencapai 13,24%
ditandai dengan ketidakmampuan siswa dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang adversif .
Kondisi tidak ideal yang terjadi pada setiap individu seharusnya tidak
berpengaruh negatif pada kehidupan yang dijalani. Individu diharapkan memiliki
daya lentur atau fleksibilitas dalam menjalani kehidupan walaupun bagi remaja bukan
sesuatu yang mudah untuk dihadapi. Menurut Hall (Santrock, 2007, hlm. 6) usia
remaja yang berkisar antara 12 hingga 23 tahun diwarnai dengan berbagai pergolakan
yang dipenuhi konflik dan perubahan suasana hati yang lebih dikenal sebagai storm
Evi Astuti, 2015
TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
5
and stress view. Sebagian besar remaja mengalami masa storm and strees sebagai
konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial
yang baru (Nurihsan & Agustin, 2011, hlm. 66). Offer dan koleganya (dalam
Santrock, 2007, hlm.10) menemukan pandangan berbeda terhadap remaja, 73% dari
remaja memiliki citra diri yang positif, optimis, percaya diri, mampu menilai dirinya
sebagai sosok yang mampu melatih kontrol diri, menghargai pekerjaan dan sekolah,
merasa memiliki kapasitas untuk mengatasi tekanan hidup dan tidak persis menyamai
gambaran stress and storm yang dikemukakan oleh Hall.
Penanganan yang serius terhadap kondisi remaja yang rentan perlu
dirumuskan untuk menghindari atau mengatasi vulnerability (kerentanan). Bimbingan
dan konseling memiliki peranan yang penting dalam mengantisipasi kerentanan
peserta didik yang mengalami kesulitan, karena layanan bimbingan dan konseling
berfokus pada pengembangan segi-segi pribadi dan sosial serta pemecahan masalah
secara individual (Sukmadinata, 2007, hlm.4).
Beberapa upaya bimbingan dan konseling telah teruji efektif dalam
meningkatkan resiliensi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Suwarjo (2008) yang
menggunakan konseling teman sebaya untuk meningkatkan resiliensi anak asuh di
panti asuhan sosial anak. Mashudi (2012) menggunakan konseling rasional emotive
behavioral untuk meningkatkan resiliensi remaja di SMK Negeri 9 Bandung. Hasil
penelitian Mashudi (2012) tentang konseling rasional emotif behavioral untuk
meningkatkan resiliensi remaja menunjukkan konseling rasional emotif behavioral
teruji efektif dalam mengembangkan seluruh aspek resiliensi, terutama terhadap
aspek keterampilan pemecahan masalah dan kemampuan menggunakan humor secara
efektif.
Penelitian Hernandez dan Mendoza (2011, hlm. 375) menunjukan Shame
Resilience Theory (SRT) mampu memicu adanya perubahan secara signifikan pada
aspek kesehatan general, gejala depresi, rasa malu yang berlebihan, pengaruh
kesadaran diri, dan resiliensi. Shame Resilience Theory (SRT) mengupayakan
responden untuk bisa membuka diri, merasakan empati terhadap kesulitan yang
dialami oleh orang lain, membangun kemampuan untuk dapat menyampaikan
Evi Astuti, 2015
TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
6
perasaan dan kebutuhan responden secara efektif, sehingga akan muncul karakteristik
resilien (Hernandez & Mendoza, 2011, hlm. 375).
Penelitian terkait resiliensi telah dilakukan pula oleh Barret, et all (dalam
Tanpa nama, 2007, hlm.14) yang membuktikan efektivitas Cognitif Behavioral
Therapy (CBT) kepada satu kelompok berusia 10 sampai 12 tahun atau 15-16 tahun.
Barlow & Hall (dalam Grant & Kinman, 2012, hlm. 615) menyatakan pendekatan
Cognitive Behavioural Therapy dapat mengatur distress dan meningkatkan resiliensi
pada individu dengan mengembangkan strategi alternatif untuk mengatur emosi dan
perilaku.
Peneliti menggunakan pendekatan CBT sebagai upaya untuk meningkatkan
resiliensi peserta didik dengan asumsi kunci resiliensi adalah kemampuan mengenali
pikiran sendiri dan struktur keyakinan, memanfaatkan kekuatan untuk meningkatkan
keakuratan dan fleksibilitas berpikir sehingga mampu mengatur konsekuensi emosi
dan perilaku secara lebih baik (Reivich & Shatte, 2002, hlm. 52). Salah satu teknik
CBT yang efektif meningkatkan resiliensi adalah teknik restrukturisasi kognitif
(Hing, 2013, hlm. 175).
Gottlieb menyatakan restrukturisasi kognitif mampu membuat individu
bersikap adaptif terhadap kesulitan yang dihadapinya (dalam Hing, 2013, hlm. 175).
Sesuai dengan definisi resiliensi yang diungkapkan Coatsworth (2003, hlm. 3), yaitu
kemampuan individu untuk beradaptasi dengan baik dalam menghadapi kesulitan.
Pada dimensi lain, Engle (1996, hlm. 4) mengungkapkan resiliensi merupakan
kebalikan dari vulnerability (kerentanan), kerangka vulnerability menekankan
kelemahan psikososial dan hidup penuh resiko, sehingga memungkinkan individu
untuk
berkeyakinan
irasional.
Teknik
restrukturisasi
kognitif
membantu
mengidentifikasi ide-ide atau keyakinan yang irasional dan menggantinya dengan
pernyataan-pernyataan yang lebih realistis dan rasional (Suryaningrum, 2007, hlm.
66).
Berdasarkan pengamatan peneliti di SMP Negeri 43 Bandung pada bulan
Januari hingga bulan Mei 2014, menunjukkan adanya indikasi resiliensi yang rendah.
Indikasi perilaku tidak resilien yang ditampilkan peserta didik kelas VII tahun ajaran
Evi Astuti, 2015
TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
7
2013/2014 yaitu tidak mengikuti pelajaran salah satu guru yang dianggap galak, tidak
sekolah karena sering dibully oleh teman sekelasnya, pura-pura sakit saat mata
pelajaran yang dianggap sulit, memilih untuk tidak berangkat sekolah karena tidak
memiliki ongkos, memilih untuk tidak bersosialisasi karena sering merasa
tersinggung dengan gaya bercanda salah satu teman sekelasnya, bahkan memutuskan
untuk tidak melanjutkan sekolah saat merasa tidak mampu mengatasi kesulitan yang
dihadapi disekolah.
Berdasarkan fenomena yang diutarakan, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian secara empiris mengenai efektivitas teknik restrukturisasi kognitif untuk
meningkatkan resiliensi peserta didik agar kesulitan yang dialami tidak menimbulkan
efek buruk bagi kehidupan di masa depan.
1.2
Identifikasi dan Perumusan Masalah
Masa remaja dikenal sebagai masa transisi antara masa anak-anak dan masa
dewasa. Terdapat banyak perubahan yang terjadi pada masa remaja, diantaranya
perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007, hlm. 19). Setiap
perubahan tidak menutup kemungkinan menimbulkan permasalahan bagi remaja dan
berpengaruh pada cara pandang individu terhadap setiap keadaan yang menimpanya.
Remaja yang hidup dalam kondisi yang kurang menyenangkan, seperti
kesulitan ekonomi keluarga, hubungan keluarga yang kurang harmonis, hubungan
pertemanan yang kurang dinamis, kekerasan dari lingkungan sekitar akan terasa lebih
sulit. Akhirnya remaja melakukan tindakan yang beresiko negatif, seperti bolos
sekolah, tidak peduli dengan aktivitas belajar, merokok, terlibat aksi kenakalan
remaja, menunjukkan perilaku mudah kecewa, menunjukkan respon emosi secara
berlebihan, mudah menyerah, tidak berdaya menghadapi masalah tanpa bantuan
orang lain. Artinya terdapat kekeliruan dalam sistem kognitif remaja yang
menyebabkan diri bersikap salah suai terhadap realita keadaan hidupnya.
Dipandang perlu untuk mengembangkan bantuan layanan bimbingan dan
konseling bagi peserta didik yang sedang mengalami kondisi sulit untuk dapat
bangkit kembali dan menjalani kehidupan sebagaimana mestinya tanpa merasa
Evi Astuti, 2015
TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
8
terbebani dengan permasalahan yang dihadapi. Kemampuan bangkit disebut dengan
resiliensi yaitu proses, kemampuan, atau hasil kesuksesan untuk beradaptasi
meskipun dalam lingkungan yang menantang atau dalam keadaan yang mengancam
(Howard & Johnson dalam Martin, 2002, hlm. 35). Individu yang resilien memiliki
kemampuan untuk bertahan dalam krisis, pengaruh perubahan, tetapi menjadi pribadi
yang sehat (Collussi & Michelle, 2000, hlm. 4). Individu yang resilien mampu
mengatasi stress dan tekanan, menerima tantangan setiap hari, menerima kekecewaan
dan kesulitan secara positif, berkembang dan memiliki tujuan yang realistis serta
mampu memperlakukan diri dan orang lain dengan penuh penghargaan (Brooks &
Goldstein, 2001, hlm.1).
Salah satu pendekatan yang dinilai tepat untuk meningkatkan resiliensi remaja
pada umumnya adalah dengan menggunakan teknik restrukturisasi kognitif. Teknik
restrukturisasi
kognitif
diharapkan
dapat
membantu
peserta
didik
untuk
meningkatkan resiliensi agar menjadikan peserta didik tangguh dalam menghadapi
setiap kesulitan yang dialaminya dengan mendorong pemikiran remaja agar lebih
rasional.
Berdasarkan
pertimbangan
teknik
restrukturisasi
kognitif
mampu
meningkatkan resiliensi remaja, secara umum rumusan masalah yang akan diteliti
pada penelitian adalah “Apakah teknik restrukturisasi kognitif efektif untuk
meningkatkan resiliensi peserta didik?"
Rumusan masalah diturunkan menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1) Bagaimana rancangan teknik restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan
resiliensi peserta didik kelas VIII SMP Negeri 43 Bandung Tahun Ajaran
2014/2015?
2) Bagaimana gambaran efektifitas teknik restrukturisasi kognitif untuk
meningkatkan resiliensi peserta didik kelas VIII SMP Negeri 43 Bandung
Tahun Ajaran 2014/2015?
1.3
Tujuan Penelitian
Evi Astuti, 2015
TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
9
Tujuan umum dari penelitian adalah menghasilkan gambaran secara empiris
efektivitas teknik restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan resiliensi peserta didik.
Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dari penelitian yaitu menghasilkan:.
1) Rancangan intervensi teknik restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan
resiliensi peserta didik kelas VIII SMP Negeri 43 Bandung Tahun Ajaran
2014/2015.
2) Gambaran efektifitas teknik restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan
resiliensi peserta didik kelas VIII SMP Negeri 43 Bandung Tahun Ajaran
2014/2015.
1.4
Manfaat Penelitian
1) Bagi Departemen
Bagi departemen menambah hasil penelitian tentang intervensi teknik
restrukturisasi kognitif untuk meningkatkan resiliensi peserta didik melalui
layanan bimbingan dan konseling.
2) Bagi Konselor/Guru BK
Bagi Konselor/ guru BK menjadi panduan layanan bimbingan dan konseling
untuk meningkatkan resiliensi peserta didik. Hasil penelitian diharapkan
menjadi rujukan bagi guru bimbingan dan konseling dalam meningkatkan
resiliensi peserta didik dengan menggunakan teknik restrukturisasi kognitif.
3) Bagi Peneliti Selanjutnya.
Bagi peneliti selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan kajian pengembangan
penelitian tentang resiliensi dan teknik restrukturisasi kognitif.
1.5
Struktur Organisasi Skripsi
Struktur organisasi skripsi disusun bertujuan untuk memberikan gambaran
secara keseluruhan dan mempermudah penyusunan skripsi. Struktur organisasi
skripsi berisi urutan penulisan setiap bab dan bagian bab dalam skripsi. Berikut
adalah struktur organisasi dalam skripsi.
Evi Astuti, 2015
TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
10
Bab I Pendahuluan, meliputi latar belakang penelitian, identifikasi dan
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi
skripsi. Bab II Kajian Pustaka, meliputi konsep resiliensi, dan konsep teknik
restrukturisasi kognitif. Bab III Metode Penelitian, meliputi subjek dan lokasi
penelitian, pendekatan dan desain penelitian, definisi operasional variabel,
pengembangan instrumen penelitian, langkah-langkah penelitian, program intervensi,
teknik analisis data penelitian. Bab IV Temuan dan Pembahasan, meliputi hasil
analisis data dan pembahasan berdasarkan data temuan. Bab V Simpulan, Implikasi
dan Rekomendasi.
Evi Astuti, 2015
TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI PESERTA DIDIK
Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Download