POLIGAMI SALAH SATU BENTUK BIAS GENDER Norma Dg. Siame* Abstrak In principle, marriage in Islam is monogamy, polygamy is just another "emergency exit" when a man is feared could not do justice to the orphans that are allowed to marry the mother of orphans, two or a maximum of four, but preferably one just so avoid the act of mayhem. Marriage is a sacred contract that contains a series of agreements between husband and wife. However, they often differ in their view that marriage covenant. Women are more looking at the spiritual element, while men are more looking at the material elements, so that polygamy be a gender bias in marriage. Kata kunci: Monogami, poligami bias gender Pendahuluan Ribuan tahun yang lalu sebelum Islam turun di Jazirah Arab, masyarakat di berbagai belahan bumi sudah mengenal secara luas bahkan telah memperaktekkan perkawinan poligami sehingga ketika itu sulit sekali menemukan bentuk perkawinan monogami, termasuk pada masyarakat yang terkenal jahiliyah. Poligami yang berlangsung saat itu tidak mengenal batas, baik dalam hal jumlah istri maupun syarat moralitas keadilan.1 Menurut keterangan beberapa ahli sejarah “tabiat manusia”, poligami dilakukan oleh raja-raja, ketua-ketua, dan pemuka-pemuka negara dan orang-orang kaya. Mereka mengambil beberapa perempuan ada yang dikawini dan ada pula hanya untuk melepaskan hawa nafsunya saja, dijadikan sebagai gundik peliharaan dan untuk berkhidmat kepada sang tuan. Makin kaya seseorang dan makin tinggi kedudukannya maka makin 1 Mulia, Siti Musda, Menggugat Poligami, Jakarta: Makalah, t.th. 1 142 Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010: 141-152 banyaklah mengumpulkan wanita. Kejadian semacam ini banyak terjadi di daerah-daerah propic karena hawa panas membuat mereka lebih bernafsu.2 Herbert Spencer, dalam bukunya “ilmu bentuk pergaulan” yang dimuat dalam buku Ny.Aisyah, bahwa antara abad V dan XI di Inggeris istriistri boleh diperdagangkan dan diperjual belikan. Bahkan dalam abad XI tersebut ada hukum yang membolehkan meminjamkan isteri kepada lakilaki lain untuk waktu yang dikehendaki. Bahkan lebih mesum lagi seorang bangsawan berhak mencampuri isteri seorang petani dalam masa 24 jam sesudah perkawinannya. Dus Griek dan Roma sudah siang-siang menjalankan poligami. Clotaire Raja Perancis, Valentinianus Constantius, Karel Agung, Frederic Barbarossa dan lain-lain mempunyai banyak isteri. Lotaire dan Arnolphus VII raja Jerman (888), beristeri lebih dari satu. Sebelum itu raja Perancis Charlemagne sudah berpoligami tahun 742-814.3 Dalam sejarah Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad saw, juga disebutkan bahwa poligami sudah ada. Nabi Ibrahim beristeri dua, Siti Hajar ibunda Nabi Ismail dan Siti Sarah ibu Nabi Ishak. Nabi Ya’kub ayah Nabi Yusuf beristeri dua, dan Nabi Sulaeman atau Salamon beristeri banyak, diantaranya Ratu Balqis dari Saba. Dalam cerita pewayangan Jawa orang juga mengenal poligami. Pahlawan Raden Arjuna beristeri banyak yang termasyhur ialah Srikandi.4 Lantas bagaimana poligami itu sesungguhnya, suatu kenyataan yang tidak bisa dibantah namun yang diperlukan bagaimana seharusnya memperkecil poligami, apalagi yang berbias gender, di mana agama selalu menjadi senjata untuk melanggengkan poligami. Karena dari keteranganketerangan yang telah disebutkan pada awal tulisan ini ternyata poligami tidak lahir dari Islam. Bahkan Islam menutup pintu poligami bagi yang tidak memenuhi syarat. Sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Qur’an juz 4, surah an-Nisa ayat 3 berbunyi: 2 Dahlan Ny. Aisyah, Membina Rumah Tangga Bahagia, Peranan Agama dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Yamunu, 1969), 69. 3 Ibid., 70. 4 Ibid., Norma Dg. Siame, Poligami Salah Satu Bentuk 143 Bias Gender Kawinilah perempuan satu, atau dua, atau tiga bahkan sampai empat, tapi apabila kamu merasa tidak mampu berbuat adil maka kawinilah satu orang wanita saja. 5 Pengertian mampu di sini sudah barang tentu bukan hanya mampu memenuhi nafkah lahir saja, atau sebaliknya hanya mampu memenuhi nafkah bathin saja, tetapi harus mampu memenuhi nafkah lahir bathin. Nah di sinilah kesulitan untuk berbuat adil. Salah satu contoh dalam hal kasih sayang atau cinta, bisakah seorang suami mampu untuk membagi kasih sayang atau cinta secara adil pada semua istri, padahal ternyata di lapangan bahwa yang selalu mendapat kasih sayang yang lebih adalah istri yang muda dan cantik, baik dalam pengertian istri yang baru dikawini atau istri yang masih muda usianya selalu menjadi yang utama dan tersayang. Karena tidak dapat berlaku adil dalam hal kasih sayang atau cinta, maka dipastikan dalam hal yang lainpun dipastikan dapat dipengaruhi dalam hal cinta kasih. Oleh karena itu dalam ayat lain surah an-Nisa ayat 129, Allah berfirman: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di atara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, oleh karena itu janganlah kamu terlalu cederung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatungkatung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.6 5 Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Alhidayah, 1998), 113. 6 Ibid., 143-144. 144 Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010: 141-152 Islam dan Poligami Wanita dan Poligami Pra Islam Sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, bangsa Arab terkenal sebagai bangsa yang suka bermusuhan dan gemar berperang antar suku atau kabilah. Akibatnya banyak pula wanita-wanita tawanan dan budak belian. Pada masa itu kaum wanita menempati kedudukan yang terendah sepanjang sejarah umat manusia. Masyarakat Arab pra Islam memandang wanita ibarat wanita piaraan, atau bahkan lebih hina. Mereka sama sekali tidak mendapatkan penghormatan sosial dan tidak memiliki hak apapun. Kaum laki-laki dapat saja mengawini wanita berapa saja sesuka hatinya. Demikian pula sebaliknya gampang saja mereka menceraikannya. Ternyata pada masa itu tidak hanya poligami yang berkembang dalam masyarakat Arab Jahiliah tetapi juga praktek poliandri atas perintah suami. Suami seringkali mengizinkan istrinya bergaul dengan laki-laki lain untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Wanita-wanita lajang biasanya pergi ke luar kota untuk menjalin pergaulan bebas dengan pemuda kampung. Seorang ibu tiri dapat saja dikawini oleh anaknya, bahkan sering terjadi perkawinan sesama saudara kandung. Pada saat itu wanita tidak memiliki hak warisan terhadap harta kekayaan almarhum ayah atau suami atau kerabatnya.7 Di-tengah-tengah kondisi kehidupan masyarakat yang rusak dan bobrok yang memakan waktu cukup lama di mana masyarakat tidak memiliki seorang Nabi, kitab suci, ideologi agama, dan tokoh-tokoh besar yang membimbing mereka. Siti Aminah, janda dari Abdullah yang ketika itu sedang dalam keadaan hamil ditinggal pergi suaminya untuk selamalamanya (wafat), melahirkan seorang anak laki-laki pada hari Senin, 12 Rabiul Awal 571 M. Anak tersebut kemudian diberi nama Muhammad. Dalam perkembangan selanjutnya Muhammad kawin dengan seorang janda muda, wanita berhati mulia, berhati emas, bernama Siti Khadidjah. Ketika itu Muhammad berusia 25 tahun sedang Khadijah sendiri berumur 45 tahun. Namun keduanya menjadi pasangan yang bahagia dan 7 K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern). (cet. ke-4; Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003), 32. Norma Dg. Siame, Poligami Salah Satu Bentuk 145 Bias Gender harmonis. Siti Kahdidjah inilah yang banyak membantu perjuangan Rasulullah dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan memerangi kekhurafatan Jahiliah dan kemunafikan. Khadidjah membantu moril maupun material, menghibur di kala suka dan duka. Dalam perjalanan hidup rumah tangganya, mereka dikaruniai sejumlah anak, namun anakanaknya meninggal dalam usia yang masih kanak-kanak, kecuali seorang putri yang benama Siti Fatimah. Dari Fatimah inilah diketahui peristiwaperisiwa besar dalam Islam. Selama hidupnya Siti Khadidjah, Nabi tidak pernah kawin dengan perempuan lain dengan kata lain berpoligami sampai Nabi berumur 50 tahun. Jadi waktu Nabi masih mudah tidak pernah kawin dengan wanita lain melainkan hanya memiliki satu istri atau monogami. Saudah binti Zama’ah janda dari almarhum Assyakran yang meninggal dunia setelah kembali ke Mekkah dari Madinah karena menghindari penganiayaan kaum Quraisy. Nabi mengambilnya sebagai istri kedua setelah wafat Siti Khadidjah. Sementara perkawinan Nabi yang ketiga yaitu dengan Siti Aisyah binti Abu Bakar As-Siddiq setelah hijrah ke Madinah. Saudah memberikan malam-malam gilirannya kepada Siti Aisyah dengan alasan tidak mampu lagi melayani suami karena sudah tua, tetapi bermohon kepada Nabi agar tidak diceraikan. Dalam sejarah perkawinan Nabi hanya satu kali kawin dengan gadis. Karena perkawinan Nabi memang bukan karena nafsu dan mata keranjang, tidak pula karena mempermainkan wanita atau menghinakan wanita, tapi karena pertimbangan sosial dan perhitungan perjuangan. Siti Aisyah putri dari sahabatnya Abu Bakar asSiddiq, gadis yang dikawininya itu ternyata adalah seorang wanita yang pintar dan bijaksana, alim allamah, ummul mukimin yang disegani, banyak membantu Nabi dalam perjuangan menyampaikan dakwahnya, menegakkan kalimat Allah. Kenapa Islam membolehkan Poligami Sesungguhnya perkawinan adalah perjanjian antara dua orang dewasa yang berlawanan jenis, antara laki-laki dengan perempuan untuk membina kehidupan keluarga yang diliputi kasih sayang. Hal itu mengindikasikan bahwa perkawinan dalam semua agama dipandang sebagai satu-satunya media yang sah untuk melakukan hubungan seksual dan lembaga yang sah 146 Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010: 141-152 untuk mendapatkan keturunan. 8 Maka sistem perkawinan yang ideal yang diajarkan oleh semua agama, tidak terkecuali agama Islam, pada dasarnya adalah menganut sistem monogami, bukan poligami. Akan tetapi Islam diturunkan pada masyarakat Arab yang tidak hampa budaya. Islam lahir dan tumbuh dalam budaya Arab yang sudah sejak lama memperaktekkan poligami. Oleh karena itu Islam tidak serta merta menghapus dan menghilangkan kebiasaan Arab Jahiliah yang sudah tertanam, melainkan dilakukan secara perlahan-lahan atau secara bertahap, yakni dengan melakukan sejumlah modifikasi sesuai watak Islam yang sangat mengangumkan prinsip egalitarian dan keadilan bagi seluruh umat manusia khususnya bagi kelompok yang rentan akan perlakuan tidak adil dan eksploitasi, seperti perempuan.9 Sepintas lalu dapat dikatakan bahwa poligami merusak keluarga, menghancurkan rumah tangga, membuat cinta kasih dan kebahagiaan menjadi berantakan, bahkan hampir dipastikan banyak anak-anak yang kehilangan kasih sayang salah satu dari kedua orang tuanya, bahkan banyak wanita yang kehilangan masa depannya, patah hati dan putus asah karena suami kawin lagi dengan wanita lain dan sebagainya. Di mana poligami dijalankan dipastikan di sana banyak pula air mata kepedihan yang tertumpah, muka suram, penderitaan dan kekalutan hati para ibu-ibu yang dipoligami oleh suaminya. Bahkan mungkin saja terjadi perkelahian antara para istri yang dipoligami karena merasa kebahagiaanya dirampas oleh perempuan lain. Lebih jauh lagi kadang-kadang ada yang minta dicerai karena tidak tahan hidup berpoligami, namun banyak juga yang tidak bercerai karena pertimbangan anak, tapi hidup dalam suasana ketidak tentraman, terjadi perkelahian yang tidak kunjung usai, hampir setiap saat terjadi pertengkaran, percekcokan yang tiada batasnya. Tidak saja terjadi kepada mereka berdua (suami istri), tetapi dapat meluas sampai pada keluarga kedua belah pihak. Terkadang jadilah anak-anak yang memusuhi ayahnya 8 Mulya,Musda Siti, dkk, Meretas Jalan Kehidupan Awal Manusia, (Jakarta: LKAJ, 2003), 76-77. 9 Ibid., 77 Norma Dg. Siame, Poligami Salah Satu Bentuk 147 Bias Gender karena kasihan melihat ibunya yang menderita akibat dari ulah ayahnya yang kawin lagi dengan wanita lain. Kenapa terjadi bencana semacam ini, yang bisa dikatakan meluluh lantakkan mahligai rumah tangga yang tadinya dibangun dengan segala rayuan dan cinta kasih, serta kehangatan. Hal ini tidak lain penyebabnya adalah karena poligami itu dijalankan tidak sesuai dengan ketentuan dan tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam. Bahkan berapa banyak orang (laki-laki) yang menjalankan poligami hanya untuk memenuhi tuntutan materinya (kebutuhan nafsu seksualnyanya) tanpa mengindahkan norma-norma spiritual (kebahagiaan dan kedamaian rumah tangga) dan norma-norma agama termasuk tidak mengindahkan jeritan wanita yang dipoligami, tidak mengindahkan nasib para anakanaknya yang terlantar yang tidak lagi mendapatkan pengawasan dan kasih sayang kedua orang tuanya akibat terjadinya poligami atau akibat ayahnya kawin lagi. Padahal dalam al-Qur’an juz 24, surah al-Mukmin ayat 31 berbunyi : Dan Allah tidak menghendaki berbuat kezaliman terhadap hamba-hamba-Nya.10 Begitu pula dalam juz 2, surat al-Baqarah Allah menjelaskan tentang kelapangan yang diberikan kepada hambanya dimana Allah senantiasa memberikan kelapangan kepada hambanya dalam menjalani hidup dan kehidupan termasuk dalam kehidupan sosial keagamaan bukan kesempitan apalagi kesukaran. Maka poligami dalam Islam sesungguhnya memang dibenarkan atau dibolehkan, tetapi dengan syarat-syarat yang cukup ketat. Islam tidak memerintahkan poligami, tetapi mengatur, memperbaiki dan mengatasi. Merujuk pada tujuan perkawinan yang pada intinya adalah bertujuan: - Membina kehidupan yang rukun, tenang dan bahagia, - Supaya hidup saling cinta mencintai dan kasih mengasihi 10 Ibid., 763. 148 Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010: 141-152 Dalam hadits ditambahkan supaya mendapatkan keturunan yang sah. 11 Maka sesunguhnya dalam hukum Islam perkawinan itu pada perinsipnya adalah monogami, poligami itu hanya merupakan pengecualian atau merupakan pintu darurat, apabila takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim maka boleh menikahi ibu dari anak yatim itu dua atau maksimun empat, tetapi sebaiknya satu saja agar kamu terhindar dari perbuatan aniaya.12 Maka sesungguhnya dalam perkawinan itu sebenarnya ada pedoman, patokan dan rambu-rambu yang seharusnya difahami yang akan dilalui suami istri, demi terdujudnya keluarga yang bahagia dan sejahtra. Keduanya memikul ranggung jawab, hak dan kewajiban baik secara umum maupun kewajiban khusus untuk menjadikan rumah tangganya dan keluarganya sebagai muara yang tenang, pelabuhan yang damai, tempat peristirahatan yang teduh, baik dalam suka maupun duka, yang dilandasi dengan tawakkal dan syukur kepada Allah swt. Undang-Undang No. 1. Tahun 1974 tentang perkawinan itu merupakan salah satu ijtihad baru dari hukum Islam yang sudah sepatutnya menjadi kesadaran yang perlu dipatuhi masayarakat Islam masa kini. Bahwa kesadaran hukum masyarakat Islam dari abad ke 7 setelah Nabi Muhammad saw, menjadi Rasul sampai limapuluhan belakangan ini, katakanlah sudah hampir 14 abad, sampai akhir-akhir ini, bahwa talak itu adalah hak suami yang dapat menjatuhkan talak kepada istrinya kapan saja dia inginkan dan di mana saja mau mentalak istrinya. 13 Dalam ketentuan Undang-Undang No.1. Tahun 1974, menganut asas monogami disebabkan perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia, kekal dan sejahtra, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang - 11 Ny. Dahlan Aisyah, Membina Rumah Tangga Bahagia, 49. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), 130. 13 Ibid.,130. 12 Norma Dg. Siame, Poligami Salah Satu Bentuk 149 Bias Gender pengadilan agama. Efek dari pengaturan dari undang-undang tersebut timbul pula bahwa sesungguhnya dalam hukum Islam itu sesungguhnya perceraian itu sangat diperketat atau dipersukar. Perceraian atau talak baru dapat dijatuhkan apabila telah memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana diatur dalam al-Qur’an surah an-Nisaa ayat 34, yang diatur sebagai berikut: Apabila siistri nusyuz atau melalaikan kewajibannya, maka suami harus menasihati istri tersebut lebih dahulu. Apabila tidak dituruti nasihat suami, maka suami dapat melakukan pisah tempat tidur dan meja makan tetapi tetapi dalam satu rumah. Apabila masih belum berubah maka suami diperkenankan memukul istrinya dengan kata-kata yang lebih tajam. 14 Identifikasi Masalah agama yang Strategis. Mengamati persoalan-persoalan gender, di mana dintaranya poligami sebagai salah satu bias gender yang menyebabkan wanita tidak berdaya apabila laki-laki melakukan poligami yang mengambil alasan bahwa agama membolehkan poligami. Sesungguhnya ada beberapa strategis yang diperlukan untuk penkajian. Pertama, yang menyangkut masalah subordinasi perempuan dalam kedudukan dan martabat yang subordinatif terhadap kaum laki-laki, dimana pada dasarnya semangat dan hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam bersifat adil. Maka apa yang berkembang dalam masyarakat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan semangat keadilan sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an juz 26 surah al-Hujurat ayat 13: Hai manusia, sesungguhnya Aku menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu salim 14 Ibid., 132. 150 Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010: 141-152 kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.15 Dalam ayat lain diantaranya surah an-Nisa ayat 124, dijelaskan : Barang siapa yang mengerjakan amal-amal shaleh baik laki-laki maupun wanita, sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walaupu sedikitpun.16 Pemahaman bias gender lain yang selain meneguhkan subordinasi kaum perempuan juga membawa akibat pada persoalan waris dan kesaksian, dimana nilai perempuan dianggap separuh dari kaum laki-laki. Justru diperlukan analisis konteks sosial terhadap sruktur sosio-kultural pada saat ayat tersebut diturunkan sehingga permasalahan waris dan kesaksian tidak bertentangan dengan perinsip keadilan yang disampaikan dalam ayat-ayat tersebut. Hak Asasi Manusia Jika merujuk pada hak-hak asasi manusia yang bersifat universal, yang artinya setiap orang berhak atas hak-hak asasi tersebut terutama memperolah hak keadilan bagi perempuan karena ia juga adalah manusia. Jadi setiap orang harus diperlakukan sesuai dengan hak-hak itu yang merupakan sarana etis untuk melindungi individu, kelompok dan golongan lemah terhadap kekuatan-kekuatan dalam masyarakat moderen. Hak asasi manusia dalam konteks perubahan sosial sangat relevan dengan Deklarasi Wina ( 1993) yang menyebut kewajiban negera menegakkan hak asasi manusia dan menganjurkan setiap pemerintah menggabungkan standar- 15 16 Departemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahnya, 847. Ibid., 142. Norma Dg. Siame, Poligami Salah Satu Bentuk 151 Bias Gender standar yang terdapat dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional ke dalam hukum nasional masing-masing.17 Dalam konteks universal, manusia yang dimaksudkan memiliki hakhak asasi mengacu pada pengertian biologis, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki hak asasi, sama-sama berhak atas kehidupan, kemerdekaan, kebebasan dan sejumlah hak-hak lainnya tanpa mengenal diskriminasi antara keduanya, dan sebaliknya merupakan pelanggaran hak asasi manusia jika saling meng-eksploitasi antra keduanya.18 Dalam perkawinan al-Qur’an mengemukakan perinsip Mu’asyarah bil Ma’ruf (memperlakukan istri dengan sopan). Perinsip ini jelas sekali dikemukakan dalam surah an-Nisa’ ayat 19 yang artinya: “Pergaulilah istriistrimu dengan sopan, dan apabila kamu tidak lagi mencintai mereka (jangan putuskan tali perkawinan ), karena boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, tetapi Allah menjadikan padanya (di balik itu) kebaikan yang banyak”. Demikian pula dalam hadits Nabi mengemukakan agar suami pemperlakukan istri secara sopan santun. Penutup Perkawinan itu pada dasarnya adalah monogami di dalamnya terjadi akad suci yang mengandung serangkaian perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membina kehidupan berkeluarga yang diliputi kasih sayang lahir bathin. Kebahagiaan dan kedamaian suami istri sangat bergantung pada pemenuhan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut. Namun laki-laki dan perempuan sering berbeda pendapat dalam memandang dua unsur dalam perkawinan. Perempuan memandang unsur spiritual yang lebih penting, sedang laki-laki unsur material, atau sekurangkurangnya keduan unsur itu sama penting baginya. Maka kebahagiaan dan kesejahtraan rumah tangga terletak pada kepedulian dan pengorbanan kedua belah pihak dan ini hanya memungkinkan terjadi pada perkawinan 17 18 Mulya, Musda Siti, dkk, Meretas Jalan Kehidupan Awal Manusia, 22. Ibid., 33. 152 Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010: 141-152 monogami sedang dalam perkawinan poligami sulit dibayangkan akan tercipta kedamaian, karena yang pasti telah tejadi bias gender yang menyepelehkan salah satu pihak terutama pihak wanita yang selalu menjadi korban poligami. Daftar Pustaka Aisyah,Dahlan Ny., Membina Rumah Tangga Bahagia, Peran Agama dalam Rumah Tangga. Jakarta: Yamunu, 1969. Ali K. Sejarah Islam (Tarikh Pramoderen) cet. ke 4, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003 Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Alhidayah, 1998. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1997. Musda, Mulya Siti, dkk, Meretas Jalan Kehidupan Awal Manusia, Jakarta: LKAJ, 2003. Musda, Mulya Siti, Menggugat Poligami, Jakarta: Makalah.tth. *Dosen tetap STAIN Datokarama Palu