poligami salah satu bentuk bias gender

advertisement
POLIGAMI SALAH SATU BENTUK BIAS GENDER
Norma Dg. Siame*
Abstrak
In principle, marriage in Islam is monogamy, polygamy is
just another "emergency exit" when a man is feared could
not do justice to the orphans that are allowed to marry the
mother of orphans, two or a maximum of four, but
preferably one just so avoid the act of mayhem. Marriage
is a sacred contract that contains a series of agreements
between husband and wife. However, they often differ in
their view that marriage covenant. Women are more
looking at the spiritual element, while men are more
looking at the material elements, so that polygamy be a
gender bias in marriage.
Kata kunci: Monogami, poligami bias gender
Pendahuluan
Ribuan tahun yang lalu sebelum Islam turun di Jazirah Arab,
masyarakat di berbagai belahan bumi sudah mengenal secara luas bahkan
telah memperaktekkan perkawinan poligami sehingga ketika itu sulit sekali
menemukan bentuk perkawinan monogami, termasuk pada masyarakat
yang terkenal jahiliyah. Poligami yang berlangsung saat itu tidak mengenal
batas, baik dalam hal jumlah istri maupun syarat moralitas keadilan.1
Menurut keterangan beberapa ahli sejarah “tabiat manusia”, poligami
dilakukan oleh raja-raja, ketua-ketua, dan pemuka-pemuka negara dan
orang-orang kaya. Mereka mengambil beberapa perempuan ada yang
dikawini dan ada pula hanya untuk melepaskan hawa nafsunya saja,
dijadikan sebagai gundik peliharaan dan untuk berkhidmat kepada sang
tuan. Makin kaya seseorang dan makin tinggi kedudukannya maka makin
1
Mulia, Siti Musda, Menggugat Poligami, Jakarta: Makalah, t.th. 1
142
Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010: 141-152
banyaklah mengumpulkan wanita. Kejadian semacam ini banyak terjadi di
daerah-daerah propic karena hawa panas membuat mereka lebih bernafsu.2
Herbert Spencer, dalam bukunya “ilmu bentuk pergaulan” yang
dimuat dalam buku Ny.Aisyah, bahwa antara abad V dan XI di Inggeris istriistri boleh diperdagangkan dan diperjual belikan. Bahkan dalam abad XI
tersebut ada hukum yang membolehkan meminjamkan isteri kepada lakilaki lain untuk waktu yang dikehendaki. Bahkan lebih mesum lagi seorang
bangsawan berhak mencampuri isteri seorang petani dalam masa 24 jam
sesudah perkawinannya. Dus Griek dan Roma sudah siang-siang
menjalankan poligami. Clotaire Raja Perancis, Valentinianus Constantius,
Karel Agung, Frederic Barbarossa dan lain-lain mempunyai banyak isteri.
Lotaire dan Arnolphus VII raja Jerman (888), beristeri lebih dari satu.
Sebelum itu raja Perancis Charlemagne sudah berpoligami tahun 742-814.3
Dalam sejarah Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad saw, juga
disebutkan bahwa poligami sudah ada. Nabi Ibrahim beristeri dua, Siti
Hajar ibunda Nabi Ismail dan Siti Sarah ibu Nabi Ishak. Nabi Ya’kub ayah
Nabi Yusuf beristeri dua, dan Nabi Sulaeman atau Salamon beristeri banyak,
diantaranya Ratu Balqis dari Saba. Dalam cerita pewayangan Jawa orang
juga mengenal poligami. Pahlawan Raden Arjuna beristeri banyak yang
termasyhur ialah Srikandi.4
Lantas bagaimana poligami itu sesungguhnya, suatu kenyataan yang
tidak bisa dibantah namun yang diperlukan bagaimana seharusnya
memperkecil poligami, apalagi yang berbias gender, di mana agama selalu
menjadi senjata untuk melanggengkan poligami. Karena dari keteranganketerangan yang telah disebutkan pada awal tulisan ini ternyata poligami
tidak lahir dari Islam. Bahkan Islam menutup pintu poligami bagi yang tidak
memenuhi syarat. Sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Qur’an juz 4,
surah an-Nisa ayat 3 berbunyi:
2
Dahlan Ny. Aisyah, Membina Rumah Tangga Bahagia, Peranan Agama dalam Rumah
Tangga, (Jakarta: Yamunu, 1969), 69.
3
Ibid., 70.
4
Ibid.,
Norma Dg. Siame, Poligami Salah Satu Bentuk 143
Bias Gender
           
  
Kawinilah perempuan satu, atau dua, atau tiga bahkan sampai
empat, tapi apabila kamu merasa tidak mampu berbuat adil
maka kawinilah satu orang wanita saja. 5
Pengertian mampu di sini sudah barang tentu bukan hanya mampu
memenuhi nafkah lahir saja, atau sebaliknya hanya mampu memenuhi
nafkah bathin saja, tetapi harus mampu memenuhi nafkah lahir bathin. Nah
di sinilah kesulitan untuk berbuat adil. Salah satu contoh dalam hal kasih
sayang atau cinta, bisakah seorang suami mampu untuk membagi kasih
sayang atau cinta secara adil pada semua istri, padahal ternyata di lapangan
bahwa yang selalu mendapat kasih sayang yang lebih adalah istri yang muda
dan cantik, baik dalam pengertian istri yang baru dikawini atau istri yang
masih muda usianya selalu menjadi yang utama dan tersayang. Karena tidak
dapat berlaku adil dalam hal kasih sayang atau cinta, maka dipastikan dalam
hal yang lainpun dipastikan dapat dipengaruhi dalam hal cinta kasih.
Oleh karena itu dalam ayat lain surah an-Nisa ayat 129, Allah
berfirman:
          
         
 
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di atara
istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
oleh karena itu janganlah kamu terlalu cederung (kepada yang
kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatungkatung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara
diri (dari kecurangan), Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.6
5
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Alhidayah,
1998), 113.
6
Ibid., 143-144.
144
Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010: 141-152
Islam dan Poligami
Wanita dan Poligami Pra Islam
Sebelum Nabi Muhammad SAW lahir, bangsa Arab terkenal sebagai
bangsa yang suka bermusuhan dan gemar berperang antar suku atau
kabilah. Akibatnya banyak pula wanita-wanita tawanan dan budak belian.
Pada masa itu kaum wanita menempati kedudukan yang terendah sepanjang
sejarah umat manusia. Masyarakat Arab pra Islam memandang wanita
ibarat wanita piaraan, atau bahkan lebih hina. Mereka sama sekali tidak
mendapatkan penghormatan sosial dan tidak memiliki hak apapun. Kaum
laki-laki dapat saja mengawini wanita berapa saja sesuka hatinya. Demikian
pula sebaliknya gampang saja mereka menceraikannya.
Ternyata pada masa itu tidak hanya poligami yang berkembang dalam
masyarakat Arab Jahiliah tetapi juga praktek poliandri atas perintah suami.
Suami seringkali mengizinkan istrinya bergaul dengan laki-laki lain untuk
mendapatkan tambahan penghasilan. Wanita-wanita lajang biasanya pergi
ke luar kota untuk menjalin pergaulan bebas dengan pemuda kampung.
Seorang ibu tiri dapat saja dikawini oleh anaknya, bahkan sering terjadi
perkawinan sesama saudara kandung. Pada saat itu wanita tidak memiliki
hak warisan terhadap harta kekayaan almarhum ayah atau suami atau
kerabatnya.7
Di-tengah-tengah kondisi kehidupan masyarakat yang rusak dan
bobrok yang memakan waktu cukup lama di mana masyarakat tidak
memiliki seorang Nabi, kitab suci, ideologi agama, dan tokoh-tokoh besar
yang membimbing mereka. Siti Aminah, janda dari Abdullah yang ketika itu
sedang dalam keadaan hamil ditinggal pergi suaminya untuk selamalamanya (wafat), melahirkan seorang anak laki-laki pada hari Senin, 12
Rabiul Awal 571 M. Anak tersebut kemudian diberi nama Muhammad.
Dalam perkembangan selanjutnya Muhammad kawin dengan seorang janda
muda, wanita berhati mulia, berhati emas, bernama Siti Khadidjah.
Ketika itu Muhammad berusia 25 tahun sedang Khadijah sendiri
berumur 45 tahun. Namun keduanya menjadi pasangan yang bahagia dan
7
K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern). (cet. ke-4; Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2003), 32.
Norma Dg. Siame, Poligami Salah Satu Bentuk 145
Bias Gender
harmonis. Siti Kahdidjah inilah yang banyak membantu perjuangan
Rasulullah dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan
memerangi kekhurafatan Jahiliah dan kemunafikan. Khadidjah membantu
moril maupun material, menghibur di kala suka dan duka. Dalam perjalanan
hidup rumah tangganya, mereka dikaruniai sejumlah anak, namun anakanaknya meninggal dalam usia yang masih kanak-kanak, kecuali seorang
putri yang benama Siti Fatimah. Dari Fatimah inilah diketahui peristiwaperisiwa besar dalam Islam. Selama hidupnya Siti Khadidjah, Nabi tidak
pernah kawin dengan perempuan lain dengan kata lain berpoligami sampai
Nabi berumur 50 tahun. Jadi waktu Nabi masih mudah tidak pernah kawin
dengan wanita lain melainkan hanya memiliki satu istri atau monogami.
Saudah binti Zama’ah janda dari almarhum Assyakran yang
meninggal dunia setelah kembali ke Mekkah dari Madinah karena
menghindari penganiayaan kaum Quraisy. Nabi mengambilnya sebagai istri
kedua setelah wafat Siti Khadidjah. Sementara perkawinan Nabi yang
ketiga yaitu dengan Siti Aisyah binti Abu Bakar As-Siddiq setelah hijrah ke
Madinah. Saudah memberikan malam-malam gilirannya kepada Siti Aisyah
dengan alasan tidak mampu lagi melayani suami karena sudah tua, tetapi
bermohon kepada Nabi agar tidak diceraikan. Dalam sejarah perkawinan
Nabi hanya satu kali kawin dengan gadis. Karena perkawinan Nabi memang
bukan karena nafsu dan mata keranjang, tidak pula karena mempermainkan
wanita atau menghinakan wanita, tapi karena pertimbangan sosial dan
perhitungan perjuangan. Siti Aisyah putri dari sahabatnya Abu Bakar asSiddiq, gadis yang dikawininya itu ternyata adalah seorang wanita yang
pintar dan bijaksana, alim allamah, ummul mukimin yang disegani, banyak
membantu Nabi dalam perjuangan menyampaikan dakwahnya, menegakkan
kalimat Allah.
Kenapa Islam membolehkan Poligami
Sesungguhnya perkawinan adalah perjanjian antara dua orang dewasa
yang berlawanan jenis, antara laki-laki dengan perempuan untuk membina
kehidupan keluarga yang diliputi kasih sayang. Hal itu mengindikasikan
bahwa perkawinan dalam semua agama dipandang sebagai satu-satunya
media yang sah untuk melakukan hubungan seksual dan lembaga yang sah
146
Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010: 141-152
untuk mendapatkan keturunan. 8 Maka sistem perkawinan yang ideal yang
diajarkan oleh semua agama, tidak terkecuali agama Islam, pada dasarnya
adalah menganut sistem monogami, bukan poligami. Akan tetapi Islam
diturunkan pada masyarakat Arab yang tidak hampa budaya. Islam lahir
dan tumbuh dalam budaya Arab yang sudah sejak lama memperaktekkan
poligami. Oleh karena itu Islam tidak serta merta menghapus dan
menghilangkan kebiasaan Arab Jahiliah yang sudah tertanam, melainkan
dilakukan secara perlahan-lahan atau secara bertahap, yakni dengan
melakukan sejumlah modifikasi sesuai watak Islam yang sangat
mengangumkan prinsip egalitarian dan keadilan bagi seluruh umat manusia
khususnya bagi kelompok yang rentan akan perlakuan tidak adil dan
eksploitasi, seperti perempuan.9
Sepintas lalu dapat dikatakan bahwa poligami merusak keluarga,
menghancurkan rumah tangga, membuat cinta kasih dan kebahagiaan
menjadi berantakan, bahkan hampir dipastikan banyak anak-anak yang
kehilangan kasih sayang salah satu dari kedua orang tuanya, bahkan banyak
wanita yang kehilangan masa depannya, patah hati dan putus asah karena
suami kawin lagi dengan wanita lain dan sebagainya. Di mana poligami
dijalankan dipastikan di sana banyak pula air mata kepedihan yang
tertumpah, muka suram, penderitaan dan kekalutan hati para ibu-ibu yang
dipoligami oleh suaminya. Bahkan mungkin saja terjadi perkelahian antara
para istri yang dipoligami karena merasa kebahagiaanya dirampas oleh
perempuan lain.
Lebih jauh lagi kadang-kadang ada yang minta dicerai karena tidak
tahan hidup berpoligami, namun banyak juga yang tidak bercerai karena
pertimbangan anak, tapi hidup dalam suasana ketidak tentraman, terjadi
perkelahian yang tidak kunjung usai, hampir setiap saat terjadi
pertengkaran, percekcokan yang tiada batasnya. Tidak saja terjadi kepada
mereka berdua (suami istri), tetapi dapat meluas sampai pada keluarga
kedua belah pihak. Terkadang jadilah anak-anak yang memusuhi ayahnya
8
Mulya,Musda Siti, dkk, Meretas Jalan Kehidupan Awal Manusia, (Jakarta: LKAJ,
2003), 76-77.
9
Ibid., 77
Norma Dg. Siame, Poligami Salah Satu Bentuk 147
Bias Gender
karena kasihan melihat ibunya yang menderita akibat dari ulah ayahnya
yang kawin lagi dengan wanita lain.
Kenapa terjadi bencana semacam ini, yang bisa dikatakan meluluh
lantakkan mahligai rumah tangga yang tadinya dibangun dengan segala
rayuan dan cinta kasih, serta kehangatan. Hal ini tidak lain penyebabnya
adalah karena poligami itu dijalankan tidak sesuai dengan ketentuan dan
tidak memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam.
Bahkan berapa banyak orang (laki-laki) yang menjalankan poligami hanya
untuk memenuhi tuntutan materinya (kebutuhan nafsu seksualnyanya)
tanpa mengindahkan norma-norma spiritual (kebahagiaan dan kedamaian
rumah tangga) dan norma-norma agama termasuk tidak mengindahkan
jeritan wanita yang dipoligami, tidak mengindahkan nasib para anakanaknya yang terlantar yang tidak lagi mendapatkan pengawasan dan kasih
sayang kedua orang tuanya akibat terjadinya poligami atau akibat ayahnya
kawin lagi. Padahal dalam al-Qur’an juz 24, surah al-Mukmin ayat 31
berbunyi :
    
Dan Allah tidak menghendaki berbuat kezaliman terhadap
hamba-hamba-Nya.10
Begitu pula dalam juz 2, surat al-Baqarah Allah menjelaskan tentang
kelapangan yang diberikan kepada hambanya dimana Allah senantiasa
memberikan kelapangan kepada hambanya dalam menjalani hidup dan
kehidupan termasuk dalam kehidupan sosial keagamaan bukan kesempitan
apalagi kesukaran.
Maka poligami dalam Islam sesungguhnya memang dibenarkan atau
dibolehkan, tetapi dengan syarat-syarat yang cukup ketat. Islam tidak
memerintahkan poligami, tetapi mengatur, memperbaiki dan mengatasi.
Merujuk pada tujuan perkawinan yang pada intinya adalah bertujuan:
- Membina kehidupan yang rukun, tenang dan bahagia,
- Supaya hidup saling cinta mencintai dan kasih mengasihi
10
Ibid., 763.
148
Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010: 141-152
Dalam hadits ditambahkan supaya mendapatkan keturunan yang
sah. 11
Maka sesunguhnya dalam hukum Islam perkawinan itu pada
perinsipnya adalah monogami, poligami itu hanya merupakan pengecualian
atau merupakan pintu darurat, apabila takut tidak akan berlaku adil
terhadap anak yatim maka boleh menikahi ibu dari anak yatim itu dua atau
maksimun empat, tetapi sebaiknya satu saja agar kamu terhindar dari
perbuatan aniaya.12
Maka sesungguhnya dalam perkawinan itu sebenarnya ada pedoman,
patokan dan rambu-rambu yang seharusnya difahami yang akan dilalui
suami istri, demi terdujudnya keluarga yang bahagia dan sejahtra. Keduanya
memikul ranggung jawab, hak dan kewajiban baik secara umum maupun
kewajiban khusus untuk menjadikan rumah tangganya dan keluarganya
sebagai muara yang tenang, pelabuhan yang damai, tempat peristirahatan
yang teduh, baik dalam suka maupun duka, yang dilandasi dengan tawakkal
dan syukur kepada Allah swt.
Undang-Undang No. 1. Tahun 1974 tentang perkawinan itu
merupakan salah satu ijtihad baru dari hukum Islam yang sudah sepatutnya
menjadi kesadaran yang perlu dipatuhi masayarakat Islam masa kini. Bahwa
kesadaran hukum masyarakat Islam dari abad ke 7 setelah Nabi Muhammad
saw, menjadi Rasul sampai limapuluhan belakangan ini, katakanlah sudah
hampir 14 abad, sampai akhir-akhir ini, bahwa talak itu adalah hak suami
yang dapat menjatuhkan talak kepada istrinya kapan saja dia inginkan dan
di mana saja mau mentalak istrinya. 13
Dalam ketentuan Undang-Undang No.1. Tahun 1974, menganut asas
monogami disebabkan perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia,
kekal dan sejahtra, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk
mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian
harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang
-
11
Ny. Dahlan Aisyah, Membina Rumah Tangga Bahagia, 49.
Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), 130.
13
Ibid.,130.
12
Norma Dg. Siame, Poligami Salah Satu Bentuk 149
Bias Gender
pengadilan agama. Efek dari pengaturan dari undang-undang tersebut
timbul pula bahwa sesungguhnya dalam hukum Islam itu sesungguhnya
perceraian itu sangat diperketat atau dipersukar. Perceraian atau talak baru
dapat dijatuhkan apabila telah memenuhi beberapa persyaratan
sebagaimana diatur dalam al-Qur’an surah an-Nisaa ayat 34, yang diatur
sebagai berikut:
 Apabila siistri nusyuz atau melalaikan kewajibannya, maka suami
harus menasihati istri tersebut lebih dahulu.
 Apabila tidak dituruti nasihat suami, maka suami dapat melakukan
pisah tempat tidur dan meja makan tetapi tetapi dalam satu rumah.
 Apabila masih belum berubah maka suami diperkenankan memukul
istrinya dengan kata-kata yang lebih tajam. 14
Identifikasi Masalah agama yang Strategis.
Mengamati persoalan-persoalan gender, di mana dintaranya poligami
sebagai salah satu bias gender yang menyebabkan wanita tidak berdaya
apabila laki-laki melakukan poligami yang mengambil alasan bahwa agama
membolehkan poligami. Sesungguhnya ada beberapa strategis yang
diperlukan untuk penkajian. Pertama, yang menyangkut masalah
subordinasi perempuan dalam kedudukan dan martabat yang subordinatif
terhadap kaum laki-laki, dimana pada dasarnya semangat dan hubungan
laki-laki dan perempuan dalam Islam bersifat adil. Maka apa yang
berkembang dalam masyarakat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan
semangat keadilan sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an juz 26
surah al-Hujurat ayat 13:
         
            
Hai manusia, sesungguhnya Aku menjadikan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu salim
14
Ibid., 132.
150
Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010: 141-152
kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di
antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.15
Dalam ayat lain diantaranya surah an-Nisa ayat 124, dijelaskan :
         
      
Barang siapa yang mengerjakan amal-amal shaleh baik laki-laki
maupun wanita, sedang ia orang yang beriman, maka mereka
itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walaupu
sedikitpun.16
Pemahaman bias gender lain yang selain meneguhkan subordinasi
kaum perempuan juga membawa akibat pada persoalan waris dan
kesaksian, dimana nilai perempuan dianggap separuh dari kaum laki-laki.
Justru diperlukan analisis konteks sosial terhadap sruktur sosio-kultural
pada saat ayat tersebut diturunkan sehingga permasalahan waris dan
kesaksian tidak bertentangan dengan perinsip keadilan yang disampaikan
dalam ayat-ayat tersebut.
Hak Asasi Manusia
Jika merujuk pada hak-hak asasi manusia yang bersifat universal,
yang artinya setiap orang berhak atas hak-hak asasi tersebut terutama
memperolah hak keadilan bagi perempuan karena ia juga adalah manusia.
Jadi setiap orang harus diperlakukan sesuai dengan hak-hak itu yang
merupakan sarana etis untuk melindungi individu, kelompok dan golongan
lemah terhadap kekuatan-kekuatan dalam masyarakat moderen. Hak asasi
manusia dalam konteks perubahan sosial sangat relevan dengan Deklarasi
Wina ( 1993) yang menyebut kewajiban negera menegakkan hak asasi
manusia dan menganjurkan setiap pemerintah menggabungkan standar-
15
16
Departemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahnya, 847.
Ibid., 142.
Norma Dg. Siame, Poligami Salah Satu Bentuk 151
Bias Gender
standar yang terdapat dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia
internasional ke dalam hukum nasional masing-masing.17
Dalam konteks universal, manusia yang dimaksudkan memiliki hakhak asasi mengacu pada pengertian biologis, baik laki-laki maupun
perempuan sama-sama memiliki hak asasi, sama-sama berhak atas
kehidupan, kemerdekaan, kebebasan dan sejumlah hak-hak lainnya tanpa
mengenal diskriminasi antara keduanya, dan sebaliknya merupakan
pelanggaran hak asasi manusia jika saling meng-eksploitasi antra
keduanya.18
Dalam perkawinan al-Qur’an mengemukakan perinsip Mu’asyarah
bil Ma’ruf (memperlakukan istri dengan sopan). Perinsip ini jelas sekali
dikemukakan dalam surah an-Nisa’ ayat 19 yang artinya: “Pergaulilah istriistrimu dengan sopan, dan apabila kamu tidak lagi mencintai mereka
(jangan putuskan tali perkawinan ), karena boleh jadi kamu tidak
menyenangi sesuatu, tetapi Allah menjadikan padanya (di balik itu)
kebaikan yang banyak”. Demikian pula dalam hadits Nabi mengemukakan
agar suami pemperlakukan istri secara sopan santun.
Penutup
Perkawinan itu pada dasarnya adalah monogami di dalamnya terjadi
akad suci yang mengandung serangkaian perjanjian antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan untuk membina kehidupan berkeluarga yang
diliputi kasih sayang lahir bathin. Kebahagiaan dan kedamaian suami istri
sangat bergantung pada pemenuhan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian
tersebut. Namun laki-laki dan perempuan sering berbeda pendapat dalam
memandang dua unsur dalam perkawinan. Perempuan memandang unsur
spiritual yang lebih penting, sedang laki-laki unsur material, atau sekurangkurangnya keduan unsur itu sama penting baginya. Maka kebahagiaan dan
kesejahtraan rumah tangga terletak pada kepedulian dan pengorbanan
kedua belah pihak dan ini hanya memungkinkan terjadi pada perkawinan
17
18
Mulya, Musda Siti, dkk, Meretas Jalan Kehidupan Awal Manusia, 22.
Ibid., 33.
152
Musawa, Vol. 2, No. 2, Desember 2010: 141-152
monogami sedang dalam perkawinan poligami sulit dibayangkan akan
tercipta kedamaian, karena yang pasti telah tejadi bias gender yang
menyepelehkan salah satu pihak terutama pihak wanita yang selalu menjadi
korban poligami.
Daftar Pustaka
Aisyah,Dahlan Ny., Membina Rumah Tangga Bahagia, Peran Agama dalam Rumah
Tangga. Jakarta: Yamunu, 1969.
Ali K. Sejarah Islam (Tarikh Pramoderen) cet. ke 4, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Alhidayah, 1998.
Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1997.
Musda, Mulya Siti, dkk, Meretas Jalan Kehidupan Awal Manusia, Jakarta: LKAJ,
2003.
Musda, Mulya Siti, Menggugat Poligami, Jakarta: Makalah.tth.
*Dosen tetap STAIN Datokarama Palu
Download