BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit periodontal merupakan infeksi yang mengakibatkan kerusakan secara progresif pada jaringan pendukung gigi (Kayal, 2013). Penyakit periodontal diderita hampir 90% populasi di seluruh dunia dengan prevalensi periodontitis ringan hingga sedang adalah 13-57% dan prevalensi periodontitis berat adalah 10-25% (Miyajima dkk., 2014). Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI pada tahun 2011, menunjukkan bahwa penyakit gigi dan mulut termasuk karies dan penyakit periodontal merupakan masalah yang cukup tinggi yaitu sekitar 60% (Prasetya, 2013). Periodontitis adalah penyakit periodontal yang diinisiasi oleh akumulasi plak pada sulkus gingiva serta merupakan kelanjutan gingivitis yang tidak dilakukan perawatan (Kajiya, 2010). Adanya akumulasi plak akan memicu respon inflamasi. Produk bakteri, sitokin, serta interaksi antara respon imun bawaan dan adaptif akan meningkatkan infiltrasi leukosit (Kayal, 2013). Monosit merupakan jenis leukosit yang akan berdiferensiasi menjadi makrofag karena dipicu oleh mediator inflamasi (Koh dkk., 2013). Pada kondisi inflamasi kronis seperti periodontitis, makrofag berperan pada proses fagositosis, melakukan fungsi sekresi faktor pertumbuhan dan sitokin, berperan sebagai antigen presenting cell, serta memicu proses angiogenesis dan pembentukan kolagen termasuk dalam proses pembentukan tulang baru (Brancato dkk., 2011; Hasturk dkk., 2016; Wu dkk., 2013). Studi telah membuktikan bahwa 1 2 pada pasien dengan keadaan periodontitis memiliki jumlah makrofag yang lebih banyak dibandingkan dengan individu sehat (Kayal, 2013). Menurut Fujiwara dan Kobayashi (2005), intervensi terapi yang ditargetkan pada makrofag dan produknya dapat membuka jalan baru untuk mengendalikan proses inflamasi termasuk penyembuhan jaringan. Penyakit periodontal perlu dilakukan terapi untuk mempertahankan keadaan alami gigi dalam rongga mulut (Plessas, 2014). Terapi utama untuk penyakit periodontal adalah scaling dan root planing yang bertujuan untuk menghilangkan bakteri penyebab bersama debris dan kalkulus (Rosen dkk., 2004). Terapi farmakologis penyakit periodontal dilakukan untuk meningkatkan hasil terapi mekanis. Pemberian antibiotik atau antimikroba baik secara sistemik maupun lokal mampu mempercepat penyembuhan periodontitis (Ahmed dkk., 2009). Pemberian antimikroba topikal pada poket periodontal secara klinis menunjukkan berkurangnya kedalaman poket saat dilakukan probing serta meningkatnya perlekatan epitelium secara klinis (Rosen dkk., 2004). Bekicot merupakan moluska yang mudah dijumpai di negara beriklim tropis seperti Indonesia dan keberadaannya sering dianggap sebagai hama karena merusak tanaman (Ponder dan Lindberg, 2008). Penggunaan lendir bekicot (Achatina fulica) sebagai obat tradisional sudah lama digunakan oleh masyarakat pedesaan terutama untuk menangani infeksi pada gigi (Berniyanti dkk., 2007). Lendir bekicot mengandung glikosaminoglikan sebagai komponen utama, karbohidrat, protein, dan antibakteri achasin. Glikosaminoglikan merupakan komponen penyusun matriks ekstraseluler yang berperan dalam proses inflamasi 3 termasuk proliferasi, diferensiasi, migrasi, dan adhesi sel-sel serta memodulasi molekul sinyal pada proses penyembuhan jaringan (Taylor dan Gallo, 2006). Heparin, heparan sulfat, dermatan sulfat, kondroitin sulfat, dan acharan sulfat merupakan glikosaminoglikan yang terdapat dalam lendir bekicot (Kim dkk., 2006). Antibakteri dalam lendir bekicot diketahui memiliki pengaruh terhadap bakteri gram positif seperti Escherichia coli dan gram negatif seperti Streptococcus mutans (Berniyanti dkk., 2007). Model hewan uji pada penyakit periodontal merupakan hal penting dalam perkembangan dasar untuk memahami proses patologis penyakit (Ionel dkk., 2015). Tikus Sprague dawley menjadi hewan uji pilihan dalam penelitian ini karena memiliki struktur anatomi gigi, rongga mulut, dan jaringan periodontal yang hampir sama dengan manusia (Miles dan Grigson, 2003). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah yaitu apakah aplikasi gel lendir bekicot (Achatina fulica) berpengaruh terhadap jumlah sel makrofag dalam proses penyembuhan periodontitis pada tikus Sprague dawley? C. Keaslian penelitian Penelitian Ajadi dkk. (2013) menemukan pengaruh kandungan glikosamin dalam lendir bekicot (Achatina fulica) terhadap kemajuan perawatan osteoarthritis pada anjing. Dalam penelitian tersebut, pemberian lendir bekicot dengan konsentrasi 5% secara injeksi intramuskuler pada lutut kanan anjing yang telah dikenai osteoarthritis. Hasil penelitian menunjukkan adanya percepatan penyembuhan osteoarthritis yang ditandai dengan terjadinya peningkatan pada 4 jumlah sel darah putih, monosit, dan IL-6. Penelitian tentang makrofag pada proses remodelling tulang salah satunya telah dilakukan oleh Shantz dkk. (2014), yang menemukan bahwa jumlah sel makrofag akan bertambah pada tulang yang mengalami kerusakan. Dalam proses remodelling tulang, makrofag berperan sebagai kunci regulasi sel-sel osteoprogenitor dalam endosteum dan periosteum melalui produksi sitokin. Sepengetahuan penulis belum terdapat penelitian terkait dengan pengaruh lendir bekicot terhadap jumlah sel makrofag dalam perawatan keadaan patologis rongga mulut seperti periodontitis. D. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi gel lendir bekicot (Achatina fulica) terhadap jumlah sel makrofag dalam proses penyembuhan periodontitis pada tikus Sprague dawley. E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan informasi mengenai efek lendir bekicot (Achatina fulica) pada penyembuhan periodontitis 2. Memberikan dukungan ilmiah bagi pengembangan penelitian selanjutnya mengenai pengaruh pemberian lendir bekicot (Achatina fulica) pada periodontitis 3. Memberikan alternatif pembuatan obat untuk periodontitis yang lebih murah, mudah didapatkan, mudah dibuat, dan alami