BAB II Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian 2.1 Landasan Teori

advertisement
BAB II
Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan ( Agency Theory )
Teori prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau
lebih individu, kelompok, atau organisasi. Jensen dan Meckling (1976),
mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak dimana satu atau lebih
(prinsipal) menyewa orang lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa untuk
kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan
keputusan kepada agen. Hubungan prinsipal-agen terjadi apabila tindakan yang
dilakukan seseorang memiliki dampak pada orang lain atau ketika seseorang sangat
tergantung pada tindakan orang (Halim dan Abdullah, 2006).
Agency theory mengasumsikan bahwa prinsipal dan agen termotivasi oleh
kepentingannya sendiri, dan seringkali kepentingan antara keduanya berbenturan
(Ikhsan dan Ishak, 2005:56). Perbedaan kepentingan ini masing-masing pihak
berusaha memperbesar keuntungan bagi diri sendiri. Usulan yang diajukan oleh
eksekutif
(agen)
memiliki
muatan
mengutamakan
kepentingan
eksekutif.
Kewenangan yang diberikan prinsipal kepada agen sering mendatangkan masalah
karena tujuan prinsipal berbenturan dengan tujuan pribadi agen. Hubungan antara
prinsipal dan agen ini mengakibatkan adanya konflik yaitu terjadi asimetri informasi
dan konflik kepentingan. Ahmad et al. (2012) menyatakan bahwa asimetri informasi
berkaitan dengan efektivitas arus informasi dan interaksi antara prinsipal dan agen
dalam melakukan tugas tertentu.
Teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi publik. dimana Negara
demokrasi modern didasarkan pada serangkaian hubungan prinsipal – agen (Lane,
2000). Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Moe (1984) yang menjelaskan konsep
ekonomika organisasi sektor publik dengan menggunakan teori keagenan, di
pemerintahan terdapat suatu keterkaitan dalam kesepakatan - kesepakatan principalagent yang dapat ditelusuri melalui proses anggaran: pemilih-legislatur, legislaturpemerintah, menteri keuangan-pengguna anggaran, perdana menteri-birokrat, dan
pejabat-pemberi pelayanan.
Hubungan keagenan dalam penyusunan anggaran daerah
Teori keagenan menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih
individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu
kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan
harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan
oleh prinsipal. Halim dan Abdullah (2006) menyatakan bahwa teori keagenan dapat
diterapkan dalam organisasi sektor publik. Lane menyatakan bahwa negara demokrasi
modern didasarkan pada serangkaian hubungan prinsipal-agen. Lane (2000)
menyatakan bahwa rerangka hubungan prinsipal agen merupakan suatu pendekatan
yang sangat penting untuk menganalisis komitmen-komitmen kebijakan publik.
Penyusunan APBD diawali dengan terbentuknya kesepakatan antara
eksekutif dan legislatif tentang Kebijakan Umum APBD dan Prioritas dan Plafon
Anggaran yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan
anggaran belanja. Setelah itu, eksekutif akan membuat rancangan APBD sesuai
dengan Kebijakan Umum APBD dan Prioritas dan Plafon Anggaran yang kemudian
diberikan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum
ditetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda). Dalam sudut pandang teori keagenan,
hal ini merupakan sebuah bentuk kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat
bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif.
Hubungan keagenan antara eksekutif dan legislatif
Masalah keagenan paling tidak melibatkan dua pihak, yakni prinsipal, yang
memiliki otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan, dan agen, yang menerima
pendelegasian otoritas dari prinsipal. Dalam konteks pembuatan kebijakan oleh
legislatif, legislatur adalah prinsipal yang mendelegasikan kewenangan kepada agen
seperti pemerintah atau panitia di legislatif untuk membuat kebijakan baru. Halim dan
Abdullah (2006) menyatakan bahwa dalam hubungan keagenan di pemerintahan
antara eksekutif dan legislatif, eksekutif adalah agent dan legislatif adalah principal.
Hubungan keagenan terjadi setelah agen membuat usulan kebijakan kemudian
berakhir setelah usulan tersebut diterima atau ditolak oleh pihak prinsipal.
Hubungan keagenan antara legislatif dan publik
Hubungan keagenan antara legislatif dan publik (voters), legislatif adalah
agen dan publik adalah prinsipal. Von Hagen (2002) menyatakan bahwa hubungan
prinsipal-agen yang terjadi antara pemilih (voters) dan legislatif pada dasarnya
menunjukkan bagaimana voters memilih politisi untuk membuat keputusan-keputusan
tentang belanja publik untuk mereka dan mereka memberikan dana dengan membayar
pajak.
Sebagai sebuah lembaga yang merupakan perwakilan dari rakyat di
pemerintahan, legislatif diharapkan mampu untuk mensejahterakan masyarakat dan
mengembangkan potensi yang ada di daerah. Ketika legislatif kemudian terlibat
dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja dalam anggaran, maka
mereka diharapkan mewakili kepentingan atau preferensi prinsipal atau pemilihnya.
Namun legislatif tidak selalu memiliki kepentingan yang sejalan dengan publik.
Menurut Lupia & McCubbins (2000) Kedudukan legislatif atau parlemen sebagai
agen dalam hubungannya dengan publik menunjukkan bahwa legislatif memiliki
masalah keagenan karena akan berusaha untuk memaksimalkan utilitasnya (selfinterest) dalam pembuatan keputusan yang terkait dengan publik. Tidak adanya
lembaga atau institusi formal yang dimiliki oleh masyarakat sebagai prinsipal dalam
mengawasi kinerja dari lembaga legislatif menyebabkan perilaku yang menyimpang
ini dapat terjadi dengan mudah.
Hubungan keagenan dalam pemanfaatan anggaran daerah
Semua kewajiban dan hak pihak-pihak yang terlibat dalam pemerintahan
tertuang didalam peraturan perundang-undangan tersebut. Peraturan perundangundangan secara implisit merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif, dan
publik. Di Indonesia dokumen anggaran daerah disebut anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun kabupaten dan kota. Anggaran
daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi landasan dalam tiap-tiap
pelaksanaan pelayanan publik.
2.1.2 Teori Fiscal Federalism
Teori Fiscal Federalism merupakan teori yang dikembangkan oleh Hayek
(1945), Musgrave (1959) dan Oates (1972). Teori Fiscal Federalism menyatakan
bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai dengan desentralisasi fiskal melalui
pelaksanaan otonomi daerah. Teori tentang Fiscal Federalism menurut Oates (1999)
bahwa untuk barang atau jasa publik tertentu seperti barang publik daerah,
desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas alokasi sumber daya.
Hal ini sebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:
a) Pemerintah daerah dapat lebih baik dikelola menurut daerah dan letak
geografisnya.
b) Pemerintah daerah memiliki posisi yang lebih baik untuk mengenali preferensi
dan kebutuhan daerah.
c) Tekanan dari persaingan jurisdiksi yang mendorong pemerintah daerah untuk
menjadi inovatif dan memiliki akuntabilitas bagi warga dan penduduknya.
Teori fiscal federalism ini terbagi ke dalam dua perspektif yakni teori
tradisional dan teori perspektif baru. Teori tradisional dikemukakan oleh Hayek
(1945) yang menekankan keuntungan alokatif dari desentralisasi. Penekanan terhadap
keuntungan alokatif dari desentralisasi untuk mendapatkan kemudahan informasi dari
masyarakat merupakan pandangan teori tradisional tentang fiscal federalism. Terdapat
dua gagasan yang mendasari keuntungan alokatif ini. Gagasan yang pertama tentang
penggunaan ‘knowledge in society’ yang menurut Hayek (1945) adalah bentuk
kemudahan pengambilan keputusan yang dapat dicapai karena penggunaan informasi
yang efisien. Pemerintah daerah memiliki informasi yang lebih baik dibandingkan
pemerintah pusat terkait kondisi daerah masing-masing. Kedua, Tiebout (1956)
memperkenalkan dimensi persaingan dalam pemerintah dan kompetisi antar daerah
tentang alokasi pengeluaran publik memungkinkan masyarakat memilih berbagai
barang dan jasa publik yang sesuai dengan selera dan keinginan mereka.
Desentralisasi fiskal dikatakan menawarkan sejumlah manfaat bagi tata
kelola sektor publik, termasuk pertumbuhan, akuntabilitas dan responsivitas para
pejabat pemerintah terhadap tuntutan lokal dan kebutuhan (Amagoh & Amin, 2012).
Desentralisasi fiskal memberikan struktur insentif yang lebih besar bagi pemerintah
untuk menjadi lebih efisien dalam mengalokasikan sumber daya fiskal, namun itu
tidak selalu mengarah pada pertumbuhan yang kuat karena meningkatnya
kesenjangan antar daerah terutama di tingkat kapasitas pembangunan dan sumber
daya (Tirtosuharto, 2010). Adanya penerapkan sistem pemerintahan terdesentralisasi,
pemerintah daerah akan dikejar untuk meningkatkan usahanya dalam memberikan
pelayanan publik yang lebih baik di wilayahnya (Suhardjanto,dkk., 2009).
2.1.3 Teori Kontinjensi
Teori kontinjensi dapat digunakan untuk menganalisis desain dan sistem
akuntansi manajemen untuk memberikan informasi yang dapat digunakan perusahaan
untuk berbagai macam tujuan (Otley, 1980). Riyanto (2003) yang mengatakan
perlunya penelitian mengenai pendekatan kontinjensi dalam menguji faktor
kontekstual yang mempengaruhi hubungan antara sistem pengendalian dengan
kinerja. Sistem pengendalian termasuk sistem pengendalian akuntansi dan anggaran.
Penelitian ini menggunakan teori kontijensi untuk menguji faktor kontekstual yang
mempengaruhi tingkat kemiskinan dilihat dari kinerja keuangan daerah. Menurut
Govindarajan (1998) diperlukan upaya untuk merekonsiliasi ketidakkonsistenan
dengan cara mengidentifikasikan faktor-faktor kondisional antara kedua variabel
tersebut dengan pendekatan kontinjensi. Penggunaan pendekatan kontijensi tersebut
memungkinkan adanya variabel-variabel lain yang bertindak sebagai variabel
moderating atau variabel intervening. Pengaruh kinerja keuangan terhadap tingkat
kemiskinan mempunyai faktor-faktor kontijensi, dalam penelitian faktor yang akan
dibahas adalah faktor pertumbuhan ekonomi. Faktor pertumbuhan ekonomi adalah
variabel moderasi yang dapat memperkuat atau memperlemah pengaruh kinerja
keuangan terhadap tingkat kemiskinan.
2.1.4 Kemiskinan
Kemiskinan menjadi salah satu ukuran terpenting untuk mengetahui tingkat
kesejahteraan suatu wilayah bahkan suatu negara. Kemiskinan merupakan suatu
konsep yang multidimensional artinya kemiskinan tidak hanya dapat dilihat dari sisi
ekonomi tapi juga dapat dilihat dari segi sosial, budaya, dan politik. Definisi
kemiskinan ini semakin berkembang sesuai dengan penyebabnya. Keberhasilan dan
kegagalan pembangunan seringkali diukur berdasarkan perubahan pada tingkat
kemiskinan (Suryahadi dan Sumarto, 2001). Kemiskinan merupakan masalah
pembangunan
yang
ditandai
dengan
pengangguran,
keterbelakangan,
dan
keterpurukan. Masyarakat miskin lemah dalam kemampuan berusaha dan mempunyai
akses yang terbatas kepada kegiatan sosial ekonomi (Undang Undang Nomor 25
Tahun 2000 Tentang Propenas). Secara ekonomi, kemiskinan merupakan suatu
kondisi kehidupan serba kekurangan yang dialami seseorang sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhan minimal hidupnya.
Terjadinya kemiskinan ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
saling berkaitan satu sama lain yaitu : tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan,
akses terhadap barang dan jasa, kondisi geografis dan lainnya. Standar kehidupan atau
kebutuhan minimal berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, tergantung
kebiasaan/adat, fasilitas transportasi dan distribusi serta letak geografisnya. Cahyat
(2004) menyatakan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memperluas
pilihan-pilihan hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian tidak adanya
partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik sebagai salah satu indikator
kemiskinan. Tingkat kemiskinan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (BPS,
2008):
Tingkat Kemiskinan =
Banyaknya Penduduk Miskin
Jumlah Penduduk
x 100%...................(1)
2.1. 5 Kinerja Keuangan Daerah
Pengertian kinerja seperti yang dikemukakan oleh Bastian (2001: 329)
adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/
program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi
terutang dalam perumusan skema strategis suatu organisasi. Sistem pengukuruan
kinerja publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik
menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur financial dan non financial (
Mardiasmo, 2002).
Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator
keuangan. Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja
di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan
yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut. Salah
satu alat untuk menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah adalah dengan
melaksanakan
analisis
rasio
terhadap
APBD
yang
telah
ditetapkan
dan
dilaksanakannya (Halim, 2008: 230). Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan
dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan
periode sebelumnya sehinggga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang
terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio
keuangan pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat
ataupun potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi keuangan
pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya.
Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 108/2000 pihak-pihak yang
berkepentingan dengan rasio keuangan pada APBD ini adalah:
1) DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)
DPRD adalah badan yang memberikan otorisasi kepada pemerintah daerah
untuk mengelola laporan keuangan daerah.
2) Badan eksekutif
Badan eksekutif merupakan badan penyelenggara pemerintahan yang
menerima otorisasi pengelolaan keuangan daerah dari DPRD, seperti Gubernur,
Bupati, Walikota, serta pimpinan unit Pemerintah Daerah linnya.
3) Badan pengawas keuangan
Badan Pengawas Keuangan adalah badan yang melakukan pengawasan atas
pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Yang
termasuk dalam badan ini adalah Inspektorat Jendral, Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKP), dan Badan Pemeriksa Keuangan.
4) Investor, kreditor dan donatur
Badan atau organisasi baik pemerintah, lembaga keuangan, maupun lainnya
baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang menyediakan sumber keuangan bagi
pemerintah daerah.
5) Analisis ekonomi dan pemerhati pemerintah daerah
Analisis ekonomi dan pemerhati pemerintah daerah yaitu pihak-pihak yang
menaruh perhatian atas aktivitas yang dilakukan Pemerintah Daerah, seperti lembaga
pendidikan, ilmuwan, peneliti dan lain-lain.
6) Rakyat
Rakyat disini adalah kelompok masyarakat yang menaruh perhatian kepada
aktivitas pemerintah khususnya yang menerima pelayanan pemerintah daerah atau
yang menerima produk dan jasa dari pemerintah daerah.
7) Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat memerlukan laporan keuangan pemerintah daerah untuk
menilai pertanggungjawaban Gubernur sebagai wakil pemerintah.
Halim (2007:232) menyatakan bahwa terdapat beberapa rasio yang dapat
digunakan untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah, antara lain:
1) Rasio kemandirian keuangan (otonomi fiskal)
2) Rasio efesiensi keuangan daerah
3) Rasio efektivitas terhadap PAD
4) Rasio Pertumbuhan Pendapatan
2.1.6 Rasio Kemandirian Keuangan
Berkaitan dengan hakekat otonomi daerah mengenai pelimpahan wewenang
pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan
dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat, maka peranan data
keuangan daerah sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber
pembiayaan daerah serta jenis dan besar balanja yang harus dikeluarkan agar
perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien (Sholikhah,
2011). Secara konseptual, pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah harus
dilakukan sesuai dengan kemandirian keuangan daerah dalam membiayai pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan, walaupun pengukuran kemampuan keuangan daerah
ini akan menimbulkan perbedaan.
Rasio kemandirian menunjukan kemampuan pemerintah daerah dalam
membiayai kegiatan pemerintah, pembangunan, pelayanan kepada masyarakat yang
telah membayar pajak dan retribusi sebagai pendapatan yang diperlukan daerah
(Halim, 2007:232). Rasio ini juga menggambarkan ketergantungan pemerintah daerah
terhadap sumber dana eksternal. Semakin tinggi rasio ini, maka tingkat
ketergantungan pemerintah daerah terhadap sumber dana eksternal semakin rendah,
begitu juga sebaliknnya (Hamzah, 2008).
Halim (2001:188) mengemukakan mengenai pola hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah terutama
pelaksanaan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, antara lain:
1) Pola hubungan instruktif, dimana peranan pemerintah pusat lebih dominan dari
pada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan
otonomi daerah).
2) Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah mulai
berkurang karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi
daerah.
3) Pola hubungan partisipatif, peranan pemerintah pusat sudah sangat berkurang
mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu
melaksanakan otonomi daerah.
4) Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada
karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan
otonomi daerah.
Kemandirian keuangan daerah ditunjukan oleh besar kecilnya Pendapat Asli
Daerah (PAD) di bandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber
yang lain misal, bantuan Pemerintah Pusat atau dari Pinjaman. (Halim, 2004:284).
Sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan dengan kemandirian daerah (dari sisi
keuangan) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Rasio Kemandirian Keuangan =
Pendapatan Asli Daerah x 100%...........(2)
Bantuan Pemerintah Pusat/Provinsi
Pedoman dalam melihat pola hubungan dengan tingkat kemandirian daerah
dan kemampuan keuangan daerah dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Pola Hubungan dan Tingkat Kemandirian Daerah
Kemampuan Daerah
Kemandirian (%)
Rendah sekali
Pola Hubungan
0-25
Instruktif
Rendah
>25-50
Kosultatif
Sedang
>50-75
Partisipatif
Tinggi
>75-100
Delegatif
Sumber : Halim, 2007
2.1.7 Rasio Efisiensi Keuangan Daerah
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara
besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi
pendapatan yang diterima (Halim, 2004:286). Rasio efisiensi tidak dinyatakan dalam
bentuk absolute tetapi dalam bentuk relative, contohnya unit A lebih efisien tahun ini
dibanding tahun lalu (Mardiasmo, 2002 : 134).
Semakin kecil rasio ini, maka semakin efisien, begitu pula sebaliknya. Hal
ini
mengasumsikan
bahwa
pengeluaran
yang
dibelanjakan
sesuai
dengan
peruntukkannya dan memenuhi dari apa yang direncanakan. Pada sektor pelayanan
masyarakat adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan baik dan pengorbanan
seminimal mungkin. Suatu kegiatan dikatakan telah dikerjakan secara efisien jika
pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai hasil (output) dengan biaya (input)
yang terendah atau dengan biaya minimal diperoleh hasil yang diinginkan.
Tingkat efesiensi keuangan daerah dapat dihitung dengan cara sebagai
berikut Halim (2007;234)
Rasio Efisiensi =
Realisasi Pengeluaran
Realisasi penerimaan
x 100%......................................(3)
Kriteria penilaian efisiensi berdasarkan pada Kepmendagri Nomor 690.900
327 tahun 1996 tentang Pedoman Penilaian dan Kinerja Keuangan dinyatakan sebagai
berikut yang dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Tingkat Efisiensi Keuangan Daerah
Tingkat
Efisiensi
Daerah
(%)
Kriteria
>100
Tidak efisien
>90-100
Kurang efisien
>80-90
Cukup efisien
>60-80
Efisien
<60
Sangat efisien
Sumber : Halim, 2007
2.1.8 Rasio Efektivitas PAD
Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil program dengan target yang
diterapkan dan secara sederhana efektivitas merupakan perbandingan antara outcome
dan output (Mardiasmo, 2002). Rasio Efektivitas menggambarkan kemampuan
pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan,
dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah dan
dinyatakan dalam persentase (Halim, 2007:234).
Rumusan Rasio efektifitas :
Rasio Efektivitas =
Realisai Penerimaan PAD
Target Penerimaan PAD yang Ditetapkan
x 100%...........(4)
(Berdasarkan Potensi Riil Daerah)
Kriteria penilaian efektivitas berdasarkan pada Kepmendagri Nomor 690.900
327 Tahun 1996 tentang Pedoman Penilaian dan Kinerja Keuangan dinyatakan
sebagai berikut yang dapat dilihat pada Tabel 2.3
Tabel 2.3 Tingkat Efektivitas Keuangan Daerah
Tingkat
Efektivitas
Daerah
(%)
Kriteria
>100
Sangat efektif
>90-100
Efektif
>80-90
Cukup efektif
>60-80
Kurang efektif
<60
Tidak efektif
Sumber : Halim, 2007
2.1.9 Rasio Pertumbuhan Pendapatan
Analisis pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui perkembangan kinerja
keuangan serta kecenderungan baik berupa kenaikan atau penurunan kinerja selama
kurun waktu tertentu. Rasio pertumbuhan (growth ratio) mengukur seberapa besar
kemapuan
pemerintah
daerah
dalam
mempertahankan
dan
meningkatkan
keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Dengan
diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber pendapatan dan
pengeluaran, dapat digunakan untuk mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu
mendapat perhatian, yang dapat dihitung dengan cara sebagai berikut (Halim,
2007:241):
Pertumbuhan Pendapatan =
Keterangan:
PPi - PPi-1
PPi-1
x 100%...........................................(5)
Pendapatan periode (PPi)
: Total pendapatan periode i
Pendapatan periode (PPi-1)
: Total pendapatan periode i-1
2.1.10 Pertumbuhan Ekonomi
Secara umum pertumbuhan ekonomi dapat diartikan perkembangan kegiatan
dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam
masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Pertumbuhan
ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor
ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi
yang terjadi. Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran utama keberhasilan
pembangunan, dan hasil pertumbuhan ekonomi dapat pula dinikmati oleh masyarakat
sampai yang paling bawah, baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan
pemerintah (Hamzah, 2008). Bagi daerah, indikator ini penting untuk mengetahui
keberhasilan pembangunan dimasa yang akan datang. Pertumbuhan ekonomi
menunjukkan sejauh mana aktivitas perekomian akan menghasilkan tambahan
pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Karena pada dasarnya aktivitas
perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi untuk
menghasilkan output, maka proses ini pada gilirannya akan menghasilkan suatu aliran
balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan adanya
pertumbuhan ekonomi maka diharapkan pendapatan masyarakat sebagai pemilik
faktor produksi juga akan meningkat (Sukirno, 2006:423).
Tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tujuan penting pemerintah
daerah maupun pemerintah pusat. Terdapat hubungan kointegrasi antar variabel yang
memperlihatkan adanya hubungan
jangka panjang yang stabil antara kebijakan
pemerintah dan pertumbuhan ekonomi (Seftarita, 2005). Upaya untuk meningkatkan
pendapatan asli daerah tidak akan memberikan arti apabila tidak diikuti dengan
peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana
terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil (Cahyono
dan Darwanto, 2002). Pertumbuhan harus berjalan beriringan dan terencana,
mengupayakan terciptanya pemerataan dan pembagian hasil-hasil pembangunan
dengan lebih merata. Dengan demikian maka daerah yang miskin, tertinggal dan tidak
produktif akan menjadi produktif, yang akhirnya akan mempercepat pertumbuhan itu
sendiri. Rahardja dan Manurung (2008:131) menyatakan bahwa penghitungan
pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk melihat apakah kondisi perekonomian suatu
daerah makin membaik. Pertumbuhan ekonomi dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Pertumbuhan Ekonomi = PDRBt – PDRBt-1
PDRBt-1
x 100% …..………….……. (6)
Keterangan:
PDRBt
: Produk Domestik Regional Bruto pada tahun t
PDRBt-1
: Produk Domestik Regional Bruto satu tahun sebelum tahun t
2.1.11 Pendapatan Asli Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, pendapatan asli daerah didefinisikan
sebagai pendapatan yang diperoleh daerah dari pungutan yang berdasarkan peraturan
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pemerintah daerah yang berlaku
dan digunakan untuk membiayai pembangunan daerah. Yani (2002) juga
menyebutkan bahwa PAD adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumbersumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam UU No. 33 tahun 2004
tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pada
bab V (lima) nomor 1 (satu) disebutkan bahwa PAD bersumber dari pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD
yang sah, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh pemerintah.
2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Sholikhah (2011), Kemampuan Keuangan Daerah berpengaruh negatif tetapi
tidak signifikan terhadap Pertumbuhan ekonomi (growth), artinya semakin tinggi
tingkat kemampuan keuangan daearah tidak akan mengurangi tingkat pertumbuhan
ekonomi. Kemandirian Daerah berpengaruh positif dan signifikan, artinya semakin
tinggi rasio kemandirian daerahnya maka akan menambah tingkat pertumbuhan
ekonomi. Saputra (2011) Analisis pengaruh jumlah penduduk, PDRB, IPM,
Pengangguran terhadap Tingkat Kemiskinan di kabupaten/kota Jawa Tengah.
Triariani (2012) Analisis Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Jumlah Pengangguran
Dan Indeks Pembangunan Manusia (Ipm) Terhadap Jumlah Penduduk Miskin Di
Kabupaten Berau.
Penelitian sejenis lainnya yaitu penelitian oleh Kristanto (2014) Analisis
Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten Dilihat Dari Pendapatan
Daerah Pada Apbd 2010-2012, penelitian oleh Putri Ani (2012) antara kinerja
keuangan terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa rasio kemandirian berpengaruh
negatif secara signifikan terhadap kemiskinan, dan rasio efektivitas, rasio efisiensi,
serta pertumbuhan pendapatan tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan.
Ardhini (2011) menyatakan bahwa tingkat kemandirian keuangan daerah
tidak berpengaruh signifikan negatif terhadap belanja modal, tingkat efektivitas
berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal, Efisiensi tidak perpengaruh
signifikan terhadap belanja modal, SiLPA berpengaruh positif signifikan terhadap
belanja modal, Belanja Modal berpengaruh negatif signifikan terhadap Pertumbuhan
Ekonomi yang diproksikan dengan Rasio Gini.
2.3 Hipotesis Penelitian
2.3.1 Pengaruh Kinerja Keuangan (Rasio Kemandirian Keuangan) pada Tingkat
Kemiskinan
Rasio Kemandirian Daerah mencerminkan keadaan otonomi suatu daerah
yang diukur dengan besarnya PAD terhadap jumlah total pendapatan daerah. Rasio
kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern.
Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan
daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan provinsi)
semakin rendah, dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga
menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin
tinggi rasio kemandirian semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar
pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan daerah.
Semakin
tinggi
masyarakat
membayar
pajak
dan
retribusi
daerah
akan
menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi (Halim,
2002).
Putri Ani (2014) dan Niken (2015) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa
kemandirian daerah berpengaruh terhadap kemiskinan dengan pola hubungan yang
negatif, hal ini dapat dijelaskan karena dana perimbangan yang merupakan dana yang
berasal dari pemerintah pusat maupun lain-lain pendapatan daerah yang sah tidak
semuanya dialokasikan untuk penanggulangan kemiskinan. Dana Alokasi Umum
(DAU) yang telah diterima oleh Kabupaten dan Kota cukup besar, karena DAU
berasal dari Pendapatan Netto Dalam Negeri yang diberikan kepada daerah sesuai
dengan celah fiskal dan alokasi dasar. Perhitungan celah fiskal memperhitungkan
jumlah penduduk, luas wilayah, IPM dan PDRB sedangkan perhitungan alokasi dasar
dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Sehingga dari sini
dapat diketahui bahwa alokasi DAU secara prioritas dialokasikan untuk membiayai
belanja pegawai.
Dari sisi Dana Alokasi Khusus (DAK), DAK yang diterima oleh Kab dan
Kota relatif sedikit dibandingkan dengan DAU. DAK merupakan dana dari
pemerintah yang harus dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang bersifat khusus
yang menjadi prioritas Nasional seperti pengurangan kemiskinan. Kegiatan yang
bersifat khusus disini artinya adalah kegiatan yang bersifat teknis untuk mendanai
kegiatan- kegiatan atau proyek-proyek fisik. Semakin besar DAK maka dapat
mengurangi kemiskinan. Jika pemerintah hanya mengandalkan dari segi DAK saja
dalam menanggulangi kemiskinan maka itu merupakan alokasi yang relatif kecil
karena alokasi DAK yang lebih kecil dari pada DAU.
Sedangkan dari sisi DBH, yang diterima oleh Kabupaten dan Kota sifatnya
tidak menentu jumlahnya tergantung pendapatan hasil pajak dan non pajak dari
pemerintah pusat. Hampir secara keseluruhan DBH ini dialokasikan kepada daerah
agar daerah dapat meningkatkan pajak yang dihasilkan tersebut. Dengan ini
dimungkinkan pendanaan untuk urusan kemiskinan hanya sedikit sekali jumlahnya
melihat setiap DBH yang dialokasikan diberikan untuk tujuan yang berbeda-beda.
Pada Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah merupakan sumber lain pendapatan
daerah, misalnya sumbangan-sumbangan dari pihak ke tiga kepada daerah ataupun
dana darurat yang diberikan oleh pemerintah pusat. Sumbangan pihak ketiga atau bisa
disebut dengan hibah daerah di alokasikan kepada daerah guna meningkatkan fungsi
pemerintahan dan pemberdayaan aparatur pemerintah. Sedangkan pada dana darurat
yang diberikan kepada daerah ditujukan untuk penggunaan kondisi-kondisi darurat
seperti adanya bencana alam ataupun kondisi luar biasa yang tidak bisa ditangani oleh
APBD. Sehingga dengan hasil demikian alokasi lain-lain pendapatan daerah yang sah
tidak sepenuhnya dapat di alokasikan untuk penanggunalangan kemiskinan.
Berdasarkan uraian diatas maka diajukan hipotesis sebagai berikut :
Ha1: Kinerja Keuangan berupa rasio kemandirian berpengaruh negatif pada Tingkat
Kemiskinan Kabupaten dan Kota Provinsi Bali
2.3.2 Pengaruh Kinerja Keuangan (Rasio Efisiensi Keuangan Daerah) pada
Tingkat Kemiskinan
Rasio Efisiensi Daerah, diukur dengan cara membandingkan total
pengeluaran daerah dengan total pendapatan daerah. Suatu daerah dikatakan efisien
jika pengeluaran daerah kecil dan total pendapatannya tinggi. Rasio efisiensi adalah
rasio yang menggambarkan perbandingan antara output dan input atau realisasi
pengeluaran dengan realisasi penerimaan daerah. Semakin kecil rasio ini, maka
semakin efisien, begitu pula sebaliknya. Dalam hal ini dengan mengasumsikan bahwa
pengeluaran yang dibelanjakan sesuai dengan peruntukkannya dan memenuhi dari apa
yang direncanakan. Pada sektor pelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang
dilakukan dengan baik dan pengorbanan seminimal mungkin. Suatu kegiatan
dikatakan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah
mencapai hasil (output) dengan biaya (input) yang terendah atau dengan biaya
minimal diperoleh hasil yang diinginkan.
Semakin kecil rasio efisiensi menggambarkan tingkat pendapatan daerah
semakin tinggi, dengan pendapatan daerah yang tinggi dapat digunakan untuk
menambah alokasi belanja modal yang mana belanja modal digunakan untuk
membiayai kegiatan investasi (menambah asset) yang ditujukan untuk peningkatan
sarana dan prasarana publik yang hasilnya dapat digunakan langsung oleh masyarakat
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan dapat mengurangi tingkat
kemiskinan.
Ha2:
Kinerja Keuangan berupa rasio efisiensi berpengaruh positif pada Tingkat
Kemiskinan Kabupaten dan Kota Provinsi Bali.
2.3.3 Pengaruh Kinerja Keuangan (Rasio Efektifitas PAD) pada Tingkat
Kemiskinan
Rasio Efektivitas, diukur dengan cara membandingkan jumlah realisasi PAD
dan target PAD yang dihitung berdasarkan alokasi PAD tahun bersangkutan, sehingga
suatu daerah dapat dikatakan efektif apabila jumlah realisasi pendapatan lebih tinggi
daripada target yang ditetapkan. Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan
pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan
dibandingkan dengan terget yang ditetapkan berdasar potensi riil daerah. Kemampuan
daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang di capai
menimal sebesar 1 (satu) ataupun 100 persen. Namun demikian semakin tinggi rasio
efektivitas, menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik.
Yuana (2014) menyatakan Rasio efektivitas merupakan rasio derajat
keberhasilan yang akan didapat dari target yang telah ditetapkan oleh pemerintah
daerah tersebut. Apabila daerah tersebut mampu merealisasikan peningkatan PAD
dengan pelayanan masyarakat yang optimal maka rasio efektivitas akan tinggi.
Derajat keberhasilan suatu daerah dalam mengelola anggararan maupun mengelola
potensi yang terdapat didaerah tersebut dapat dikaitkan dengan perkembangan
perekonomian didaerah itu, semakin berhasil dalam mencapai target yang diinginkan
atau semakin efektif, maka seharusnya perkembangan perekonomian akan meningkat.
Perekonomian yang berkembang akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, yang
dapat menurunkan tingkat kemiskinan daerah. Berdasarkan uraian diatas maka
diajukan hipotesis sebagai berikut :
Ha3:
Kinerja keuangan berupa rasio efektifitas berpengaruh negatif terhadap tingkat
kemiskininan Kabupaten dan Kota Provinsi Bali.
2.3.4 Pengaruh Kinerja Keuangan (Rasio Pertumbuhan Pendapatan) pada
Tingkat Kemiskinan
Rasio Pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui perkembangan kinerja
keuangan serta kecenderungan baik berupa kenaikan atau penurunan kinerja selama
kurun waktu tertentu. Rasio pertumbuhan (growth ratio) mengukur seberapa besar
kemapuan
pemerintah
daerah
dalam
mempertahankan
dan
meningkatkan
keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Rasio
pertumbuhan dikatakan baik, jika setiap tahunnya mengalami pertumbuhan positif
atau mengalami peningkatan.
Semakin tinggi nilai PAD dan belanja modal yang diikuti oleh semakin
rendahnya Belanja Rutin, maka pertumbuhannya adalah positif. Artinya bahwa
daerah yang bersangkutan telah mampu mempertahankan dan meningkatkan
pertumbuhannya dari periode satu ke periode yang berikutnya. Selanjutnya jika
semakin tinggi nilai PAD, dan Belanja Rutin yang diikuti oleh semakin rendahnya
Belanja modal, maka pertumbuhannya adalah negatif. Artinya bahwa daerah yang
bersangkutan belum mampu mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhannya
dari periode yang satu ke periode yang berikutnya. Semakin tinggi rasio pertumbuhan
pendapatan maka semakin rendah tingkat kemiskinan hal ini disebabkan oleh semakin
meningkatnya PAD dan Belanja modal yang dapat digunakan untuk menambah
anggaran untuk program-program pengentasan kemiskinan.
Ha4: Kinerja keuangan berupa rasio pertumbuhan pendapatan berpengaruh negatif
terhadap tingkat kemiskininan Kabupaten dan Kota Provinsi Bali.
2.3.5 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi pada Tingkat Kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi daerah adalah angka yang ditunjukkan oleh besarnya
tingkat pertumbuhan produk domestik regional bruto suatu daerah yang diukur atas
dasar harga konstan. Bagi suatu daerah provinsi, kabupaten/kota gambaran PDRB
yang mencerminkan adanya laju pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dalam data
sektor- sektor ekonomi yang meliputi pertanian, pertambangan dan penggalian,
industri pengolahan, listrik gas dan air bersih, bangunan, perdagangan hotel dan
restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan persewaan dan jasa perusahaan
dan jasa- jasa lainnya. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari data konsumsi rumah
tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal bruto, perubahan persediaan,
ekspor dan impor.
Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator untuk melihat keberhasilan
pembangunan dan merupakan syarat bagi pengurangan tingkat kemiskinan. Hasil
pertumbuhan ekonomi harus menyebar disetiap golongan masyarakat,termasuk di
golongan penduduk miskin (Siregar dan Wahyuniarti, 2007). Penelitian yang
dilakukan Wongdesimiwati (2009), menemukan bahwa terdapat hubungan yang
negatif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan. Kenaikan pertumbuhan
ekonomi akan menurunkan tingkat kemiskinan. Hubungan ini menunjukan
pentingnya mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk menurunkan tingkat
kemiskinan.
Ha5: Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh negatif pada tingkat kemiskinan di
Kabupaten dan Kota Provinsi Bali.
2.3.6 Pengaruh Moderasi Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Kinerja Keuangan
pada Tingkat Kemiskinan
Secara umum pertumbuhan ekonomi dapat diartikan perkembangan kegiatan
dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam
masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Pertumbuhan
ekonomi dapat juga diartikan sebagai kenaikan Gross Domestic Product (GDP) atau
Gross National Product (GNP) tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar
atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur
ekonomi terjadi atau tidak (Arsyad, 1999). Kemandirian dan pengelolaan secara
ekonomis, efektif, dan efisiensi suatu daerah atau wilayah akan dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Hal ini dikarenakan kurang atau tidak adanya
intervensi dalam hal kebijakan terkait dengan pengelolaan daerah tersebut. Di
samping itu, aparatur daerah dapat secara inisiatif dan kreatif dalam mengelola daerah
untuk mendorong pertumbuhan daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah selanjutnya
akan mengurangi tingkat pengangguran dan menurunkan tingkat kemiskinan pada
daerah tersebut. Hasil penelitian Hamzah (2008) menunjukkan bahwa kinerja
keuangan yang meliputi:
Rasio kemandirian, yang menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam
mengelola dan membiayai pembangunan daerahnya masing-masing menunjukkan
adanya pengaruh positif dan secara statistik signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa daerah telah mampu mengurangi
ketergantungannya terhadap bantuan keuangan dari pemerintah pusat. Dengan
semakin mandiri daerah tersebut, maka pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut
dapat mengalami peningkatan.
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam
merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan dengan
target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2007). Dari pengertian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin besar realisasi penerimaan PAD
dibandingkan dengan target penerimaan PAD, dapat dikatakan kinerja keuangan
pemerintah semakin efektif. Semakin efektif kinerja pemerintah, maka diharapkan
akan mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
Rasio efisiensi berpengaruh positif dan secara statistik signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa realisasi pengeluaran pemerintah
untuk
memperoleh
pendapatannya
lebih
kecil
dari
realisasi
penerimaan
pendapatannya. Melalui efisiensi ini, maka terjadi kelebihan atau surplus yang dapat
dialokasikan untuk belanja lain (publik) sehingga mendorong terjadinya pertumbuhan
ekonomi.
Rasio Pertumbuhan, mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah
daerah untuk mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan kinerja keuangannya
dari periode ke periode berikutnya. Dalam penelitian ini, menekankan
pada
pertumbuhan pendapatan daerah. Komaidi (2006), menemukan bahwa penerimaan
pemerintah berpengaruh positif dan secara ststistik signifikan dalam mempengaruhi
suatu perekonomian. Apabila terjadi kenaikan penerimaan pemerintah baik dari pajak
maupun hibah akan menyebabkan kenaikan pertumbuhan ekonomi (Komaidi, 2006).
Berdasarkan uraian diatas maka diajukan hipotesis sebagai berikut :
Ha6:
Pertumbuhan Ekonomi mampu memoderasi pengaruh Kinerja Keuangan
berupa rasio kemandirian pada Tingkat Kemiskinan di Kabupaten dan Kota
Provinsi Bali.
Ha7:
Pertumbuhan Ekonomi mampu memoderasi pengaruh Kinerja Keuangan
berupa rasio efisiensi pada Tingkat Kemiskinan di Kabupaten dan Kota
Provinsi Bali.
Ha8:
Pertumbuhan Ekonomi mampu memoderasi pengaruh Kinerja Keuangan
berupa rasio efektifitas pada Tingkat Kemiskinan di Kabupaten dan Kota
Provinsi Bali.
Ha9:
Pertumbuhan Ekonomi mampu memoderasi pengaruh Kinerja Keuangan
berupa rasio pertumbuhan pendapatan pada Tingkat Kemiskinan di Kabupaten
dan Kota Provinsi Bali.
Download