TINJAUAN PUSTAKA Botani tanaman Menurut Tjitrosoepomo, G

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Botani tanaman
Menurut Tjitrosoepomo, G., (2005), sistematika tanaman kakao adalah
sebagai berikut : Kingdom: Plantae ; Divisi : Spermatophyta ; Sub division :
Angiospermae; Kelas : Dicotyledoneae ; Ordo : Malvales ; Family : Sterculiaceae;
Genus : Theobroma ; Spesies : Theobroma cacao L.
Perakaran kakao tumbuh cepat pada bibit dari biji yang baru berkecambah,
dari panjang akar 1 cm pada umur 1 minggu tumbuh menjadi 16-18 cm pada umur
1 bulan dan 25 cm pada umur 3 bulan. Pertumbuhan akar mencapai 50 cm pada
umur 2 tahun. Jadi makin lama kecepatan pertumbuhan akar semakin berkurang.
Pada tanah yang dalam dan drainasenya baik, perakaran kakao dewasa mencapai
1,0-1,5 m. Akar lateral sebagian besar sekitar 56% tumbuh pada lapisan tanah
sedalam 0-10 cm. Sedangkan 26% pada bagian yang lebih dalam (11-20 cm), dan
sekitar 14% pada bagian yang lebih dalam lagi (21-30 cm), dan hanya sekitar 4%
tumbuh pada kedalaman lebih dari 30 cm. Jangkauan akar lateral jauh diluar
proyeksi tajuk tanaman (Susanto, 1994).
Tanaman kakao, percabangannya bersifat dimorphik. Batang utama yang
tumbuh lurus sampai ketinggian 1-2 m bersifat orthotophik. Namun pada setiap
ketiak daun yang tumbuh dibatang utama akan tumbuh tunas air. Tunas air ini
pertumbuhannya bersifat Orthrotophik dan akan membentuk ”Jourqutte”. Tunas
air disebut ”Chupon”. Bila chupon chupon ini dibiarkan tumbuh, maka chupon
akan membentuk batang baru dan cabang kipas baru. Demikian seterusnya
sehingga akan terbentuk batang baru yang bertingkat tingkat dan bisa berbentuk 34 tingkat sehingga tinggi tanaman mencapai lebih 15 m. Cabang yang terbentuk
Universitas Sumatera Utara
pada waktu terbentuknya Jourqutte disebut cabang kipas dan bersifat
Plagiotrophik. Pertumbuhan kesamping dibentuk dari cabang kipas baru. Secara
umum disebutkan bahwa percabangan pada tanaman kakao dibedakan cabang
yang tumbuh vertikal disebut ”Orthotoph” dan cabang yang tumbuh horizontal
disebut ”Plagiothroph”. Cabang Orthotoph atau chupon hanya tumbuh dari cabang
orthotroph dan cabang plagiothroph atau cabang kipas hanya tumbuh dari cabang
plagiothroph atau cabang kipas (PTPN IV, 1996).
Tanaman kakao asal biji, setelah mencapai tinggi 0,9-1,5 meter akan
berhenti tumbuh dan membentuk jorket
(jourqutte). Jorket adalah tempat
percabangan dari pola percabangan ortotrop ke pola plagiotrop dan khas hanya
pada tanaman kakao. Pembentukan jorket didahului dengan berhentinya
pertumbuhan tunas ortotrop karena ruas ruasnya tidak memanjang. Pada ujung
tunas tersebut, stipula (semacam sisik pada kuncup bunga) dan kuncup ketiak
daun serta tunas daun tidak berkembang. Dari ujung pemberhentian tersebut
selanjutnya tumbuh 3-6 cabang yang arah pertumbuhannya condong kesamping
membentuk sudut 0-600 dengan arah horizontal. Cabang cabang itu disebut
dengan cabang primer (cabang plagiotrop). Pada cabang primer tersebut kemudian
tumbuh cabang cabang lateral (fan) sehingga tanaman membentuk tajuk yang
rimbun (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).
Sama dengan sifat percabangannya, daun kakao juga bersifat dimorfisme.
Pada tunas ortotrop , tangkai daunnya panjang, yaitu 7,5-10 cm sedangkan pada
tunas plagiotrop panjang tangkai daunnya hanya sekitar 2,5 cm. Tangkai daun
bentuknya silinder dan bersisik halus, bergantung pada tipenya. Salah satu sifat
khusus daun kakao yaitu adanya dua persendian (articulation) yang terletak
Universitas Sumatera Utara
dipangkal dan ujung tangkai daun. Dengan persendian ini dilaporkan daun mampu
membuat gerakan untuk menyesuaikan dengan arah datangnya sinar matahari
(Karmawati, dkk., 2010).
Bentuk helai daun bulat memanjang (oblongus) ujung daun meruncing
(acuminatus) dan pangkal daun runcing (acutus). Susunan daun tulang menyirip
dan tulang daun menonjol ke permukaan bawah helai daun. Tepi daun rata, daging
daun tipis tetapi kuat seperti perkamen. Warna daun dewasa hijau tua bergantung
pada kultivarnya. Panjang daun dewasa 30 cm dan lebarnya 10 cm. Permukaan
daun licin dan mengkilap (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).
Perkembangan bunga kakao bersifat kauliflori, yakni bunga tumbuh dan
berkembang
dari
bekas
ketiak
daun.
Bunga
kakao
mengikuti
rumus
K5C5A5+5G(5) yang berarti bunga tersusun atas 5 daun kelopak bunga yang
tidak terkait satu sama lain, 5 daun mahkota, 10 tangkai sari (tersusun dalam 2
lingkaran) masing masing terdiri dari 5 tangkai sari, dan 5 daun buah yang
bersatu. Adapun ciri ciri umum dari morfologi bunga kakao adalah sebagai
berikut; berwarna putih, ungu atau kemerahan. Warna yang kuat terdapat pada
benang sari dan daun mahkota. Warna bunga ini khas untuk setiap kultivar.
Tangkai bunga kecil, tetapi panjang dengan ukuran 1-1,5 cm. Daun mahkota
berukuran panjang 6-8 mm dan terdiri atas dua bagian, yakni dibagian pangkal
menyerupai kuku binatang dan di bagian ujung berbentuk lembaran tipis berwarna
putih yang fleksibel (wahyudi, dkk., 2008).
Warna buah kakao sangat beragam, tetapi pada dasarnya hanya ada dua
macam warna. Buah yang ketika muda berwarna hijau atau hijau agak putih jika
sudah masak akan berwarna kuning. Sementara itu, buah yang ketika muda
Universitas Sumatera Utara
berwarna merah, setelah masak berwarna jingga (oranye). Kulit buah memiliki 10
alur dalam dan dangkal yang letaknya berselang-seling. Pada tipe criollo dan
trinitario alur kelihatan jelas. Kulit buahnya tebal tetapi lunak dan permukaannya
kasar. Sebaliknya, pada tipe forastero, permukaan kulit buah pada umumnya halus
(rata); kulitnya tipis, tetapi dan liat. Buah akan masak setelah berumur enam
bulan. Pada saat itu ukurannya beragam, dari panjang 10 hingga 30 cm, pada
kultivar
dan
faktor-faktor
lingkungan
selama
perkembangan
buah
(Karmawati, dkk., 2010).
Syarat tumbuh
Iklim
Kakao mempunyai persyaratan tumbuh sebagai berikut : curah hujan
1.600 - 3.000 mm/tahun atau rata-rata optimalnya 1.500 mm tahun terbagi merata
sepanjang tahun (tidak ada bulan kering), garis lintang 20° LS sampai 20° LU,
tinggi tempat 0 s/d 600 m dpl, suhu yang terbaik 24°C - 28°C dan angin yang kuat
(lebih dari 10 m/detik) berpengaruh jelek terhadap tanaman kakao. Kecepatan
angin yang baik bagi tanaman kakao adalah 2-5 m detik karena dapat membantu
penyerbukan (Sutanto, 1994).
Pengaruh suhu terhadap kakao erat kaitannya dengan ketersedian air, sinar
matahari dan kelembaban. Faktor - faktor tersebut dapat dikelola melalui
pemangkasan, penataan tanaman pelindung dan irigasi. Suhu sangat berpengaruh
terhadap pembentukan flush, pembungaan, serta kerusakan daun. Menurut hasil
penelitian, suhu ideal bagi tanaman kakao adalah 30o – 32oC (maksimum) dan
18º - 21oC (minimum). Kakao juga dapat tumbuh dengan baik pada suhu
minimum 15oC per bulan. Suhu ideal lainnya dengan distribusi tahunan 16,6oC
Universitas Sumatera Utara
masih baik untuk pertumbuhan kakao asalkan tidak didapati musim hujan yang
panjang (Karmawati, dkk., 2010).
Tanaman kakao menghendaki lingkungan yang dengan kelembaban tinggi
dan konstan, yakni diatas 80%. Nilai kelembapan ini merupakan mikroklimat
hutan tropis yang dapat menjaga kestabilitas tanaman. Kelembapan tinggi bisa
mengimbangi evapotranspirasi tanaman dan mengompensasi curah hujan yang
rendah (Wahyudi, dkk., 2008).
Kakao tergolong tanaman C3 yang mampu berfotosintesis pada suhu daun
rendah. Fotosintesis maksimum diperoleh pada saat penerimaan cahaya pada tajuk
sebesar 20 persen dari pencahayaan penuh. Kejenuhan cahaya di dalam
fotosintesis setiap daun yang telah membuka sempurna berada pada kisaran 3-30
persen cahaya matahari atau pada 15 persen cahaya matahari penuh. Hal ini
berkaitan pula dengan pembukaan stomata yang lebih besar bila cahaya matahari
yang diterima lebih banyak (Karmawati, dkk., 2010).
Sebagai tanaman C3, kakao memiliki laju fotorespirasi tinggi, yaitu 2050% dari hasil total fotosintesis. Fotorespirasi meningkat seiring dengan naiknya
suhu udara. Di daerah tropis ideanya laju fotorespirasi mencapai 40%. Tidak
seperti fotosintesis, fotorespirasi tidak menghsilkan energi energi yang bermanfaat
bagi tanaman sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Oleh karena itu,
upaya menekan laju fotorespirasi identik dengan upaya meningkatkan
produktivitas, diantaranya dengan pemberian naungan (Wahyudi, dkk., 2008).
Pada kondisi optimum, laju fotosintesis tanaman kakao mencapai 7,5 mg
CO2 per dm2 luas daun atau ekuivalen dengan 60 mg per dm2 per hari dengan
asumsi fotosintesis berlangsung dari pukul 08.00–16.00. Tanaman kakao memiliki
Universitas Sumatera Utara
kemampuan untuk menyerap CO2 sebesar 80.000 kg/ha/tahun dengan melepaskan
CO2 sebesar 63.000 kg/ha/tahun sehingga serapan bersih tiap tahun mencapai
73.000 kg/ha/tahun untuk diubah menjadi karbohidrat. Dengan luas lahan kakao
di Indonesia yang mencapai 1.563.423 ha akan memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap penyerapan karbon di udara (Yuliasmara, dkk., 2009).
Lingkungan hidup alami tanaman kakao ialah hutan hujan tropis yang di
dalam pertumbuhannya membutuhkan naungan untuk mengurangi pencahayaan
penuh. Cahaya matahari yang terlalu banyak akan mengakibatkan lilit batang
kecil, daun sempit, dan batang relatif pendek. Pemanfaatan cahaya matahari
semaksimal mungkin dimaksudkan untuk mendapatkan intersepsi cahaya dan
pencapaian indeks luas daun optimum (Firdausil, dkk., 2008).
Tanah
Tanaman kakao dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki pH
6-7,5; tidak lebih tinggi dari 8 serta tidak lebih rendah dari 4, paling tidak pada
kedalaman 1 meter. Hal ini disebabkan terbatasnya ketersediaan harapada pH
tinggi
dan
efek
racun
dari
Al,
Mn,
dan
Fe
pada
pH
rendah
(Karmawati, dkk., 2010).
Tekstur tanah yang baik untuk tanaman kakao adalah lempung liat berpasir
dengan komposisi 30-40 % fraksi liat,50% pasir, dan 10-20 persen debu. Susunan
demikian akan mempengaruhi ketersediaan air dan hara serta aerasi tanah.
Struktur tanah yang remah dengan agregat yang mantap menciptakan gerakan air
dan udara di dalam tanah sehingga menguntungkan bagi akar. Tanah tipe latosol
dengan fraksi liat yang tinggi ternyata sangat kurang menguntungkan tanaman
Universitas Sumatera Utara
kakao, sedangkan tanah regosol dengan tekstur lempung berliat walaupun
mengandung kerikil masih baik bagi tanaman kakao (Firdausil, dkk., 2008).
Seperti tanaman pada umumnya, kakao juga menghendaki tanah yang
mudah diterobos oleh akar tanaman, dapat menyimpan air terutama pada musim
hujan drainase dan aerasenya baik. Perakaran kakao pada umumnya dapat
mencapai kedalaman sekitar 1-1,5 m untuk akar tunggangnya. Sedangkan akar
lateral sebagian besar terdapat pada lapisan atas, sedalam sekitar 30 cm. Maka
untuk memperoleh perakaran yang baik, yang mampu menghisap air dan unsur
hara, tanaman tahan kekeringan dan tidak mudah rebah, diperlukan kedalaman
efektif tanah sekitar 1,5 m. Disamping itu, tanah bebas dari batu-batuan dan cadas
yang mengganggu perkembangan akar (Susanto, 1994).
Tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi, yaitu
di atas 3%. Kadar bahan organik yang tinggi akan memperbaiki struktur tanah,
biologi tanah, kemampuan penyerapan (absorbsi) hara, dan daya simpan lengas
tanah. Tingginya kemampuan absorbsi menandakan bahwa daya pegang tanah
terhadap unsur – unsur hara cukup tinggi dan selanjutnya melepaskannya untuk
diserap akar tanaman (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).
Tanaman kakao dapat tumbuh dan berproduksi pada jenis tanah ultisol
yang dikenal dengan solum tanahnya antara 1,3-5,0 m, tanah podsolik merah
hingga kuning, teksturnya lempung berpasir sampai lempung liat, gembur,
kandungan haranya rendah, tanah andosol dapat dikenal dengan solum tanah yang
tebal antara 1-2 m, berwarna hitam kelabu sampai kakao tua (Widya, 2008).
Areal penanaman tanaman kakao yang baik tanahnya mengandung fosfor
antara 257-550 ppm pada berbagai kedalaman (0-127,5 cm), dengan persentase
Universitas Sumatera Utara
liat dari 10,8-43,3 persen; kedalaman efektif 150 cm; tekstur rata-rata 0-50 cm >
SC, CL, SiCL; kedalaman Gley dari permukaan tanah150 cm; pH-H2O (1:2,5)
adalah 6-7; bahan organik 4 persen; KTK rata-rata 0-50 cm > 24 me/100 gram;
kejenuhan basa rata rata 0-50 cm >50% (Karmawati, dkk., 2010).
Pemupukan tanaman kakao
Pemupukan bertujuan untuk memenuhi jumlah kebutuhan hara yang
kurang sesuai di dalam tanah, sehingga produksi meningkat. Hal ini berarti
penggunaan pupuk dan input lainnya diusahakan agar mempunyai efisiensi tinggi.
Efisiensi pemupukan haruslah dilakukan, karena kelebihan atau ketidaktepatan
pemberian pupuk merupakan pemborosan yang berarti mempertinggi input.
Keefisienan pupuk diartikan sebagai jumlah kenaikan hasil yang dapat dipanen
atau parameter pertumbuhan lainnya yang diukur sebagai akibat pemberian satu
satuan pupuk/hara (Lindawati, dkk., 2000).
Tabel 1. Dosis umum pemupukan tanaman kakao
Umur/fase
Satuan
N
P2O2
K2O
MgO
Bibit
Gram/bibit
2
2
2
1
0-1 Tahun
Gram/Pohon/Tahun 10
10
10
5
1-2 Tahun
Gram/Pohon/Tahun 20
20
20
10
2-3 Tahun
Gram/Pohon/Tahun 40
40
40
15
3-4 Tahun
Gram/Pohon/Tahun 80
80
80
20
>4 Tahun
Gram/Pohon/Tahun 80
80
100
30
Sumber: (Pusat penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2010).
Jika menggunakan pupuk Urea, TSP, KCL, dan Kieserit dosis pupuknya
sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Dosis umum pemupukan tanaman kakao dengan menggunakan pupuk
Urea, TSP, KCL, dan Kieserit
Umur/Fase
Satuan
Urea
TSP
KCL
Kieserit
Bibit
Gram/Bibit
5
5
4
4
0-1 Tahun
Gram/Pohon/tahun 25
25
20
20
1-2 Tahun
Gram/Pohon/tahun 45
45
35
40
2-3 Tahun
Gram/Pohon/tahun 90
90
70
60
3-4 Tahun
Gram/Pohon/tahun 180
180
135
7
>4 Tahun
Gram/Pohon/tahun 220
180
170
115
Sumber: (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2010).
Manfaat utama dari pupuk yang berkaitan dengan sifat fisik tanah, yaitu :
memperbaiki struktur tanah dari padat menjadi gembur, mengurangi erosi pada
permukaan tanah, sebagai penutup tanah dan dapat memperbaiki struktur tanah
dibagian permukaan. Manfaat pupuk yang berkaitan dengan sifat kimia tanah
menyediakan unsur hara yang diperlukan bagian tanaman, membantu mencegah
kehilangan unsur hara yang cepat hilang seperti nitrogen, fosfor dan kalium,
memperbaiki keasaman tanah (Marsono, 2001).
Nitrogen adalah komponen utama dari berbagai substansi penting dalam
tanaman. Sekira 40-50% kandungan protoplasma yang merupakan substansi hidup
dari sel tumbuhan terdiri dari senyawa nitrogen. Senyawa nitrogen digunakan oleh
tanaman untuk membentuk asam amino yang akan diubah menjadi protein.
Nitrogen juga dibutuhkan untuk membentuk senyawa penting seperti klorofil,
asam nukleat, dan enzim. Karena itu, nitrogen dibutuhkan dalam jumlah relatif
besar pada setiap tahap pertumbuhan tanaman, khususnya pada tahap
pertumbuhan vegetatif, seperti pembentukan tunas, atau perkembangan batang
dan daun. Memasuki tahap pertumbuhan generatif, kebutuhan nitrogen mulai
Universitas Sumatera Utara
berkurang. Tanpa suplai nitrogen yang cukup, pertumbuhan tanaman yang baik
tidak akan terjadi (Novizan, 2002).
Menurut Lindawati, dkk (2000), pupuk nitrogen merupakan pupuk yang
sangat penting bagi semua tanaman, karena nitrogen merupakan penyusun dari
semua senyawa protein, lemak, dan berbagai persenyawaan organik lainnya.
Nitrogen juga memiliki peranan yaitu merangsang pertumbuhan tanaman secara
keseluruhan, khususnya batang, cabang, dan daun. Nitrogen penting dalam hal
pembentukan hijau daun yang berguna sekali dalam proses fotosintesis.
Pemupukan bertujuan untuk memenuhi jumlah kebutuhan hara yang kurang
sesuai di dalam tanah, sehingga produksi meningkat. Hal ini berarti penggunaan
pupuk dan input lainnya diusahakan agar mempunyai efisiensi tinggi. Efisiensi
pemupukan haruslah dilakukan, karena kelebihan atau ketidaktepatan pemberian
pupuk merupakan pemborosan yang berarti mempertinggi input. Keefisienan
pupuk diartikan sebagai jumlah kenaikan hasil yang dapat dipanen atau parameter
pertumbuhan lainnya yang diukur sebagai akibat pemberian satu satuan
pupuk/hara.
Pemupukan Nitrogen akan menaikkan produksi tanaman, kadar protein,
dan kadar selulosa, tetapi sering menurunkan kadar sukrosa, polifruktosa, dan
pati. Hasil asimilasi CO2 diubah menjadi karbohidrat dan karbohidrat ini akan
disimpan dalam jaringan tanaman apabila tanaman kekurangan unsur Nitrogen.
Untuk pertumbuhan yang optimum selama fase vegetatif, pemupukan N harus
diimbangi dengan pemupukan unsur lain. Pembentukan senyawa N organik
tergantung pada imbangan imbangan ion lain, termasuk Mg untuk pembentukan
klorofil dan ion fosfat untuk sintesis asam nukleat. Penyerapan N nitrat untuk
Universitas Sumatera Utara
sintesis
menjadi
protein
juga
dipengaruhi
oleh
ketersediaan
ion
K+
(Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
Di dalam metabolisme tanaman fosfor memegang peranan langsung
sebagai pembawa energi. Fungsi ini dimungkinkan karena adanya beberapa ikatan
yang melalui proses hidrolisis dapat menghasilkan energi. Senyawa fosfor yang
mempunyai energi tinggi dan mempunyai potensi menyimpan dan melepaskan
energi untuk proses proses metabolisme di dalam tanaman disebut Adenosin Tri
Fosfat (ATP). Di dalam proses oksidasi terjadi pembebasan energi, dimana
sebagian energi bebas berupa panas dan sebagian lagi ditangkap oleh molekul
ADP yang kemudian menjadi ATP. Secara fisik ATP memegang peranan dalam
hal mengahasilkan panas, cahaya dan gerak, secara kimia peranannya dapat dilihat
dalam proses fotosintesis dan respirasi (Damanik, dkk., 2011).
Fosfor terdapat pada seluruh sel hidup tanaman. Beberapa fungsi fosfor
adalah membentuk asam nukleat, menyimpan serta memindahkan energi
Adenosin Tri Phosphat dan Adenosin Di Phosphat, merangsang pembelahan sel,
dan membantu proses asimilasi dan respirasi (Novizan, 2002).
Pupuk guano
Kotoran kelelawar yang sering disebut guano, ternyata menyimpan
potensi besar sebagai pupuk organik. Salah satu penelitian yang mampu
membuktikan kegunaan guano sebagai bahan dasar pupuk organik adalah
penelitian
Universitas Cornell di New York-Amerika Serikat. Perbandingan
nutrien pada beberapa hewan dapat dilihat pada tabel 1. perbandingan nutrien
feses pada beberapa hewan (%) :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3. Perbandingan nutrien feses pada beberapa hewan (%)
Jenis hewan
Nitrogen
P (P2O5)
Ayam
3.6
1.3
Sapi potong
2.0
0.65
Sapi Perah
3.3
0.35
Bebek
2.6
0.8
Kambing
4.0
0.61
Guano kelelawar
5.7
8.6
Kuda
2.5
0.25
Manusia
2
1
Babi
2.8
1
Burung merpati
6.5
2.4
Kelinci
4.8
2.8
Domba
3.5
0.55
Kalkun
5
0.6
Sumber : http.www.css. Cornell, educ. fertilizer analisis.pdf.
K (K2O)
1.3
1.6
2.0
0.5
2.8
2.0
0.8
0.2
1.2
2.5
1.2
1
0.8
Pada tabel dapat dilihat bahwa guano memiliki tingkat nitrogen
terbesar setelah kotoran merpati. Namun, menduduki urutan pertama dalam
bagian kadar unsur fosfat dan menduduki urutan ketiga terbesar bersama kotoran
sapi perah dalam kadar kalium. Dari keterangan tersebut guano kelelawar
mengandung paling banyak fosfat. Fosfat merupakan bahan utama penyusun
pupuk selain nitrogen dan Potasium. Guano juga mengandung unsur mikro
seperti
magnesium
dibutuhkan
tanaman.
oksida (MgO)
Tidak
dan
seperti
kalsium
oksida
(CaO)
yang
pupuk kimia buatan, guano tidak
mengandung zat pengisi. Guano tertahan lebih lama dalam jaringan tanah,
meningkatkan produktivitas tanah dan menyediakan makanan bagi tanaman
lebih lama dari pada pupuk kimia buatan.
Pupuk organik memiliki keunggulan, yaitu : mengandung unsur hara
makro dan mikro lengkap, namun jumlahnya sedikit dan dapat memperbaiki
struktur tanah, sehingga tanah menjadi gembur, memiliki daya simpan air
Universitas Sumatera Utara
(water holding capacity) yang tinggi, beberapa tanaman yang dipupuk dengan
pupuk organik lebih tahan terhadap serangan hama, meningkatkan aktivitas
mikroorganisme tanah yang menguntungkan dan memiliki residual effect yang
positif, sehingga tanaman yang ditanam pada musim berikutnya tetap bagus
pertumbuhan dan produktivitasnya (Hadisuwito, S, 2012).
Pupuk KCL
Pupuk KCl memiliki kadar hara K tinggi berkisar antara 60%-62% K2O.
Namun yang diperdagangkan hanya memiliki kadar K2O sekitar 50%. Pupuk ini
berupa butiran-butiran kecil atau berupa tepung dengan warna putih sampai
kemerah-merahan, dan lebih banyak digunakan karena harganya relatif murah
(Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
Pupuk anorganik seperti Urea, ZA dan KCl termasuk pupuk fast release
ditaburkan ke tanah, dalam waktu singkat unsur hara yang dikandungnya dapat
dimanfaatkan oleh tanaman. Kelemahan dari pupuk anorganik ialah terlalu cepat
habis bukan hanya diserap oleh tanaman, tetapi juga karena menguap dan tercuci
oleh air. Dalam pemberian pupuk perlu diperhatikan mobilitas (mudah tidaknya
berpindah) unsur hara. Artinya dalam penggunaan pupuk harus mengetahui
apakah jenis pupuk yang diberikan mengandung unsur hara yang mudah
berpindah, tercuci atau menguap. Fosfor (P) hampir tidak bersifat mobil (mudah
berpindah). Akibatnya pupuk P tetap berada di tempat semula (tidak jauh dari
tempat pemberian pupuk), sehingga harus diberikan lebih banyak pada pupuk
dasar dan dekat dengan area perakaran. Pemberian pupuk P sebaiknya dengan
cara pembuatan tugalan atau larikan disamping tanaman, sebab jika dengan cara
penebaran (ditaburkan saja) pemanfaatan pupuk P cenderung tidak efektif. Pupuk
Universitas Sumatera Utara
Kalium dan Nitrogen cenderung mudah bergerak (mobil) dari tempat asal
penebarannya. Pola pergerakannya vertikal ke bawah bersama air. Sehingga
dalam memberikan pupuk Kalium dan Nitrogen secara bertahap supaya
kemungkinan terjadinya penguapan atau pencucian tidak terlalu besar
(Azhari, M, 2001).
Adapun unsur hara yang terkandung dalam pupuk KCl yakni unsur K yang
memiliki manfaat membantu pembentukan protein, karbohidrat dan gula dari daun
ke buah, memperkuat jaringan tanaman serta meningkatkan daya tahan terhadap
penyakit, adapun gejala tanaman yang membutuhkan pupuk ini adalah daun
mengerut atau keriting, timbul bercak bercak merah cokelat, lalu kering dan mati.
Perkembangan akar lambat, buah tumbuh tidak sempurna, kecil, kualitas jelek dan
tidak tahan lama (Novizan, 2002).
Kalium tergolong unsur yang mobil dalam tanaman baik dalam sel, dalam
jaringan tanaman, maupun dalam xylem dan floem. Kalium banyak terdapat
dalam sitoplasma; garam kalium berperanan dalam tekanan osmose sel. Dalam
sitoplasma kisaran konsentrasi K relatif sempit, yaitu 100 – 120 mM dan dalam
kloroplas lebih bervariasi, yaitu 20- 200 mM. Peranan K dalam mengatur turgor
sel
diduga
berkaitan
dengan
konsentrasi
K
dalam
vakuola
(Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
Tanaman menyerap ion K+ hasil pelapukan, pelepasan dari situs
pertukaran kation tanah dan dekomposisi bahan organic yang terlarut dalam
larutan tanah. Kadar K-tukar tanah biasanya sekitar 0.5-0.6 % dari total K tanah.
Ketersediaan K terkait dengan reaksi tanah dan status kejenuhan basa (KB). Pada
pH dan kejenuhan basa yang rendah berarti ketersediaan K juga rendah. Nilai
Universitas Sumatera Utara
kritis k adalah 0.01 me/ 100g (3,9 mg) atau sekitar 2-3% jumlah basah tertukar
(Hanafia, 2005)
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kalium memegang peranan
penting dalam peristiwa peristiwa fisiologis berikut: (1) metabolisme karbohidrat,
pembentukan, pemecahan dan translokasi pati, translokasi (pemindahan) gula
pada pembentukan pati dan protein (2) metabolisme protein dan sintesis protein,
(3) mengawasi dan mengatur aktivitas berbagai unsur mineral, (4) mengaktifkan
berbagai
enzim,
(5)
mempercepat
pertumbuhan
jaringan
meristematik,
(6) mengatur membuka dan menutup stomata dan hal hal yang berkaitan dengan
air (Damanik, dkk., 2011).
Tanah ultisol
Tanah Ultisol memiliki ciri reaksi tanah sangat masam (pH 4,1-4,8).
Kandungan bahan organik lapisan atas yang tipis (8-12 cm) umumnya rendah
sampai sedang. Rasio C/N tergolong rendah (5-10). Kandungan P-potensial yang
rendah dan K-potensial yang bervariasi sangat rendah sampai rendah, baik lapisan
atas maupun lapisan bawah. Jumlah basa-basa tukar yang rendah, kandungan
K-dd hanya berkisar 0-0,1 me/100g tanah di semua lapisan termasuk rendah,
dapat disimpulkan potensi kesuburan alami tanah Ultisol sangat rendah sampai
rendah (Subagyo, dkk., 2000).
Pada umumnya ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada
klasifikasi lama, ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kuning (PMK).
Warna tanah pada horizon argilik sangat bervariasi dengan hue dari 10YR hingga
10R, nilai 3−6 dan kroma 4−8. Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain bahan organik yang menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan
Universitas Sumatera Utara
mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan
warna putih keabuan, serta oksida besi seperti goethit dan hematit yang
memberikan warna kecoklatan hingga merah. Makin coklat warna umumnya
makin tinggi kandungan goethit, dan makin merah warna tanah makin tinggi
kandungan hematit (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Tanah Ultisol sering diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi
sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian potensial, asalkan
dilakukan pengelolaan yang memperhatikan kendala yang ada pada pada tanah
tersebut. Ultisol ternyata dapat merupakan lahan potensial apabila iklimnya
mendukung. Untuk meningkatkan produktivitas ultisol, dapat dilakukan melalui
pemberian kapur, pemupukan, penambahan bahan organik, penanaman tanaman
adaptif, penerapan tekhnik budidaya tanaman lorong (atau tumpang sari),
terasering, drainase dan pengolahan tanah yang seminim mungkin. Pengapuran
yang dimaksudkan untuk mempengaruhi sifat fisik tanah, sifat kimia dan kegiatan
jasad renik tanah. Pengapuran pada ultisol di daerah beriklim humid basah seperti
di Indonesia tidak perlu mencapai pH tanah 6,5 (netral), tetapi sampai pada pH 5,5
sudah dianggap baik sebab yang terpenting adalah bagaimana meniadakan
pengaruh meracun dari aluminium dan penyediaan hara kalsium bagi
pertumbuhan tanaman (Hakim, dkk., 1986).
Kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah karena pencucian
basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena
proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi. Pada tanah Ultisol
yang mempunyai horizon kandik, kesuburan alaminya hanya bergantung pada
bahan organik di lapisan atas. Dominasi kaolinit pada tanah ini tidak memberi
Universitas Sumatera Utara
kontribusi pada kapasitas tukar kation tanah, sehingga kapasitas tukar kation
hanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi liat. Oleh karena itu,
peningkatan produktivitas tanah Ultisol dapat dilakukan melalui perbaikan tanah
(ameliorasi),
pemupukan,
dan
pemberian
bahan
organik
(Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Pemanfaatan ultisol sebagai areal pertanian menemui berbagai kendala,
baik kendala kimia maupun kendala fisik. Kendala kimia berupa kemasaman
tanah dan kandungan alumunium pada taraf meracun tanaman, kekahatan unsur
hara makro dan mikro, serta kapasitas tukar kation, kejenuhan basah, dan kadar
bahan organik rendah. Sedangkan kendala fisik antara lain peka terhadap erosi
dan jumlah pori makro rendah. Hal ini mengakibatkan perkolasi dan infiltrasi
rendah serta aliran permukaan dan laju erosi besar (Busyra, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Download