NEGARA SEJAHTERA DAN PERANAN PEKEEJA SOSIAL ISU DAN IMPLIKASI MUHAMAD FADHIL NURDIN, Ph.D Universitas Padjadjaran Bandung MAKALAH Disajikan pada: SEMINAR ANTARABANGSA KEMAHIRAN INSANIAH DAN KERJA SOSIAL UNIVERSITI TEKNIKAL MALAYSIA MELAKA MELAKA 24-26 Juli 2009 NEGARA SEJAHTERA DAN PERANAN PEKERJA SOSIAL Isu dan Implikasi1 M. Fadhi Nurdin, PhD Social workers do a job which is spiritually, ethically and physically daunting, a job which is a permanent test Of Character and intelegence, a job which requires rare determination and commitment" (Jonathan Dimbleby). PENDAHULUAN Negara Mensejahtrakan Rakyat Konsep negara, memiliki kedaulatan dan kekuasaan tertinggi yang berfungsi menjamin keamanan, ketertiban dan kesejahteraan. Prakteknya, negara yang memiiiki kedauiatan berupaya menyatukan sistem kegiatan dengan meiibaikan berbagai pihak untuk mensejahterakan rakyat. Karena itu, istilah Negara Sejahtera (welfare state) merupakan konsepsi yang sating terkait daiam satu sistem; wujud daiam konsepsi kedaulatan. Konsepsi kedaulatan terkait dengan dukungan kepada pemerintah bukan saja dari rakyat, tetapi juga dari peibagai kepentingan iain yang terdapat di sebuah negara; bisnis dan korporasi daiam negeri maupun internasional. Daiam konteks politik intemasional, kedaulatan sebuah negara bergantung pada pengakuan dunia terhadap eksistensinya; sehingga memerlukan tindakan daiam arena politik antarbangsa. Kedaulatan negara bukan hanya merupakan "kekuasaan" untuk memaksa ketaatan agar rakyat mengikuti kehendak pemerintahnya, tetapi harus juga mampu menghadapi negara lain, seperti mengontrol perusahaan asing, kawasan perbatasan, serta kekuatan dan pengaruh asing. Daiam pandangan ini, asas yang perlu ada pada kedaulatan ialah kemerdekaan dan kekuatan negara itu terlepas dari penjajahan negara lain. Akhirnya, dengan melibatkan banyak pihak (stakeholders) melalui kerjasama internasional dapat juga mewujudkan negara yang sejahtera. 1 Disajikan pada Seminar Kebangsaan Kernahiran Insaniah Dan Kerja Sosial, Universiti Teknikal Malaysia Melaka, Hotei tveriy Resort, Meiaka, 24-26 Juii 2009. Dalam membangun negara yang sejahtera perlu dilindungi oleh undangundang. Negara sejahtera hanya dapat diwujudkan, apabila negara memiliki undang-undang dan kedaulatan dalam arti luas. Peranan negara lebih cenderung kepada upaya memberikan societal services. Namun, fungsi negara modern diharapkan tidak hanya menyediakan kemudahan layanan publik seperti pengangkutan, kesehatan, industri, pertanian dan sebagainya. Negara perlu memiliki azas kedaulatan, karena dalam praktek diperlukan keseimbangan ideologis, kedaulatan negara sama pentingnya dengan layanan publik yang harus diwujudkan melalui usaha-usaha mensejahterakan rakyat. Konsepsi mensejahterakan rakyat merupakan upaya kebaikan, untuk mencapai kesejahteraan hidup. Upaya ini secara filosofis dan profesional diartikan untuk memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan manusia. Dinamika dan perkembangan konsepsi negara sejahtera, yang terjadi di dunia pada era globalisasi telah mengubah dan membawa paradigma baru dalam persepsi, interpretasi dan solusi pemerintah pada suatu negara tentang kemajuan dan upaya memajukan kesejahteraan (rakyat). Pertama, setiap pemerintah pada suatu negara mempunyai persepsi, interpretasi dan pemahaman yang berbeda terhadap konsep kesejahteraan. Upaya mensejahterakan rakyat yang diprogramkan di sebuah negara dapat berbeda antara satu dengan lainnya. Kondisi ini dapat mempengaruhi fungsi kebijakan dan strategi pembangunan yang dirancang dan diimplementasikan oleh sebuah negara ke dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Fungsi dalam mensejahterakan manusia, bukan hanya dipandang sebagai upaya untuk membantu dan melindungi individu dalam masyarakat terrtentu, tetapi jauh lebih luas lingkup aktivitasnya; karena menyangkut luasnya dimensi kesejahteraan manusia. Evolusi mensejahterakan manusia di banyak negara menunjukkan, fungsi dalam setiap upaya mesejahterakan manusia dapat melampaui fungsi-fungsi dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Selain itu, keragaman program, layanan, cebijakan, peraturan dan undang-undang bidang kesejahteraan rakyat dibanyak egara, juga menunjukkan upaya kesejahteraan diwujudkan untuk mengintervensi, nencegah masalah-masalah sosial, memajukan ekonomi masyarakat tertentu dengan mengelola social recources yang dimiliki; memelihara status quo kelompok sosial stentu, memulihkan kelompok masyarakat tertentu, menghukum anggota kelompok ~asyarakat yang salah, memberdayakan (empowering) serta menyatupadukan —asyarakat (social integration). Semua pandangan ini menunjukkan luasnya word-view, bidang dan berbagai hal yang terkait dengan usaha-usaha kesejahteraan hidup manusia. Negara sebenarnya dapat mensejahterakan rakyat, dengan didasarkan pada asumsi-asumsi: • Secara institusional, upaya kesejahteraan bukan hanya membantu golongan tertentu (kelompok miskin), tetapi untuk semua anggota masyarakat. Richard Titmuss (1955), dalam teori social divisions of welfare, menyatakan: keseiahteraan sosial adalah untuk semua anggota masvarakat. Teori Titmuss ini menolak pandangan kesejahteraan sosial tradisional yang memfokuskan kepada golongan miskin saja. Karena itu, kesejahteraan sosial merupakan hak semua warga negara. Strategi kesejahteraan yang diamalkan, dapat terfokus pada economic growth, pemerataan pendapatan, perlindungan sosial, atau pendekatan kolektif: who is welfare for ? • Telah terjadi perubahan gerakan dan perkembangan di banyak negara; dari ideologi dan pendekatan residual welfare kepada ideologi solidaritas dan pendekatan institusional welfare. Perkembangan dan perubahan ini menunjukkan, perubahan paradigma kesejahteraan telah bergeser dari redistributive welfare kepada social invesment model. Kondisi kini menunjukkan banyak negara yang melakukan remodeling sistem usaha kesejahteraan sosial (Gilbert, 1998). • Globalisasi telah melahirkan usaha kesejahteraan sosial dengan agenda internasionalnya di banyak negara. Karena itu, kebutuhan komunitas dunia dan masalah sosial telah mewarnai sistem serta program dan usaha kesejahteraan sosial tidak hanya fokus terhadap warga negara sendiri, tetapi perlu juga diarahkan kepada non-citizen, terutama migrant worker. Dalam rangka meningkatkan berbagai upaya pembangunan kesejahteraan diaplikasikan ke dalam pengertian luas - melalui pra-desain dari seperangkat tindakan, keputusan, dalam situasi kompetitif sekalipun. Gambaran tentang negara sejahtera, hakekatnya memerlukan kerja keras yang berkesinambungan, seperti yang diperankan profesi Pekerjaan social. Profesionalisme Social Worker dalam membangun negara yang sejahtera memiliki kompetensi untuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi manusia dengan efektif; membangun hubungan antara masyarakat dengan sistem-sistem sumber; memfasilitasi interaksi dan membentuk serta membangun hubungan antara masyarakat dengan sistem sumber sosial; memfasilitasi interaksi dan membentuk serta membangun hubungan antara masyarakat di dalam sistem sumber sosial; memberikan kontribusi terhadap pembangunan dan memodifikasi kebijakan sosial; dan memberikan bantuan atau mencarikan sumber bantuan material. Pekerjaan Sosial, suatu profesi untuk membantu memecahkan masalah-masalah pribadi, kelompok, dan masyarakat, serta menciptakan hubungan antar pribadi, kelompok, maupun masyarakat yang memuaskan dengan menggunakan metode-metode tertentu. Pekerja sosial bukan hanya membantu orang memecahkan masalahmasalah mereka sendiri, juga mencegah timbulnya masalah, bahkan dapat digunakan untuk mengembangkan kualitas kehidupan manusia (Fadhil Nurdin, 1986). Negara Sejahtera: Pengalaman Jepang Djatmiko Rahardjo (2008) mengungkap, sistem ketatanegaraan Jepang menganut faham Welfare State. Di Jepang, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat, layanan kepada warga negara meliputi: perlindungan hidup {livelihood protection), asuransi kesehatan, pensiun, tunjangan pengangguran {unemployment benefits) dan asuransi untuk layanan usia lanjut. Perlindungan hidup diatur dengan undang-undang berdasarkan prinsip 'hak untuk hidup' dijamin konstitusi. Tujuannya adalah untuk menjamin tercapainya standar minimum pemenuhan kebutuhan hidup dan mendorong kemandirian setiap warga negara. • • • • Asuransi kesehatan merupakan salah satu bagian dari asuransi sosial dan harus dimiliki oleh setiap warga negara. Pensiun diberikan kepada seluruh warga negara tanpa memandang jenis kelamin, status pekerjaan, status sosial, dengan tujuan untuk menjamin standar hidup minimal. Tunjangan pengangguran diberikan kepada pekerja yang tengah terkena pemutusan hubungan kerja, para pencari kerja, peserta pelatihan yang ditentukan oleh Menteri Kesehatan-Tenaga Kerja-Kesejahteraan. Asuransi usia lanjut diberikan sebagai wujud tanggung jawab kepedulian terhadap penduduk usia lanjut. Seluruh warga negara wajib mengikuti asuransi ini. Lima puluh persen pendapatan berasal dari dana pemerintah sedangkan sisanya ditutupi dari premi asuransi. Cakupan program 'welfare state' demikian luasnya, Pemerintah Jepang tidak dapat bekerja sendiri sehingga dalam pelaksanaannya harus melibatkan Pemerintah Daerah. Hal ini menyebabkan beban kerja Pemerintah Daerah menjadi bertambah dengan adanya program-program ini. Dalam sistem perencanaan pembangunan di Jepang, reformasi administrasi mulai dilakukan pada Januari 2001. Kementerian (Pemerintah Pusat) berperan merumuskan kebijakan, dan ini dilakukan hanya jika mereka (birokrat pusat) memandang terdapat persoalan/isu yang perlu intervensi Pemerintah. Perumusan kebijakan pusat lebih bersifat responsif terhadap masalah yang timbul. Sedangkan peran Pemerintah Daerah sering dikonotasikan incomplete autonomy (otonomi setengah hatij. Hubungan pusat-daerah memiliki ciri; Pemerintah Pusat berperan sebagai pembuat kebijakan, sedangkan Pemerintah Daerah bertindak sebagai pelaksana kebijakan. Pemerintah Pusat hanya dapat mengintervensi Pemerintah Daerah menurut beberapa aturan : Intervensi Pemerintah Pusat hanya dilakukan menurut Undang- Undang.Intervensi Pemerintah Pusat harus berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Daerah. Intervensi Pemerintah Pusat hanya boleh dilakukan apabila telah ada dokumen yang disebarluaskan kepada publik. Gambaran di atas m9nunjukkan, misi P9merintah Jepang mens9jaht9rakan warga negaranya b9rdasarkan undang-undang dan program-program yang sangat jelas dan mudah diukur yakni melalui indikator, misalnya berapa jumlah warga Negara yang telah memliki asuransi dan tunjangan hidup. Pemerintah Pusat di Jepang merespon tuntutan desentralisasi dengan melimpahkan lebih banyak urusan pemerintahan ke daerah, secara konsekuen disaat yang sama terjadi reorganisasi dan perampingan di tubuh birokrasi pusatnya. Dari cara Jepang membuat kategoti unit-unit administrasi pemerintah daerah (city, ward, town dan village, ordinancedesignated cities, special city), menunjukkan keragaman persoalan daerah ditangani sesuai dengan kadamya. Artinya, sedikit sekali terjadi penyeragaman dalam mengatasi persoalan-persoalan di daerah melalui unit-unit pemerintahan daerah. Hubungan pusat dan daerah di Jepang mengalami dinamika dan pasang surut - sesuai dengan kondisi dan perkembangannya sendiri. ISU-ISU NEGARA SEJAHTERA Ideologi dan Falsafah Di Indonesia dan Malaysia Sebagai sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memiliki falsafah kebangsaan dan ideologi Pancasila, sedangkan di Malaysia memiliki Rukun Negara. Di dalamnya mencerminkan welfare state dengan karakteristik dan keunikannya sendiri. Di kedua Negara ini, ada kesamaan falsafah dan ideology, karena meletakkan keutamaan prinsip Ketuhanaan pada kedudukan tertinggi. Azas Ketuhanan dan Keadilan sosial bagi seluruh bangsa, oleh kedua Negara diletakkan kedudukannya; lebih sebagai "semboyan" ideologis ketimbang dilaksanakan sebagai ibadah, baik di kalangan birokrat maupun komunitas (swasta). Fenomena ini, menunjukkan perlunya korelasi yang kuat antara nilai-nilai ketuhanan dengan upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Berbeda dengan Jepang, ideologi dan falsafah Welfare state yang dikemukakan adalah kata, Undang-Undang saja (walau tidak disebut-sebut, kata ataupun istilah Ketuhanan). Namun prakteknya, mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui sistem tatakelola pemerintahan, mekanisme dan indikator-indikator pembangunan untuk mensejahterakan rakyat. Dalam praktek sistem pemerintahan dan ketatanegaraan, baik di Indonesia maupun Malaysia dipersepsi publik; nampak pertautan antara komitmen sistem nilai-nilai falsafah ketuhanan dan prinsip keadilan sosial seolah terputus untuk mensejahterakan rakyat. Misalnya, betapa sukarnya melaksanakan program penanggulangan kemiskinan, yang nyatanya banyak dikatakan oleh perbagai pihak "gagal" implementasinya terkait dengan masih wujud dan kuatnya pengaruh korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dalam keadaan seperti ini, isu-isu KKN selalu dibicarakan dari waktu kewaktu dan tak kunjung selesai. Karena itu, isu ideologis dan falsafah ini masih terus dipertanyakan pada tatanan antara ideologi, kebijakan dan implementasinya. Dalam isu dan konteks permasalahan ideologi dan falsafah ketatanegaraan ini, persoalan aksiologi dan epistimolgisnya, adakah peranan yang perlu dimainkan Pekerja sosial, dan kalaupun ada, bagaimana dan untuk Siapa ? Pemekaran Wilayah dan Otonomi Daerah Pemekaran suatu Daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia diimplementasikan sebagai suatu kebijakan nasional strategis mencakup keseluruhan penataan penyelenggaraan pemerintahan di Daerah/Wilayah. Isu utama Pemekaran Wilayah dan Otonomi Daerah yang perlu disoroti di Indonesia adalah kesejahteraan rakyat, belum berhasil. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, bertujuan memaksimalkan/ mendekatkan pelavanan publik, meninqkatkan kesejahteraan masvarakat, mendemokratisasi masyarakat, efisiensi pemerintahan, dan dukungan pembanpunan potensi ekonomi rakvat. Namun, dalam implementasinya, hanya jargon-jargon para elite lokal, dan setelah pemekaran -dilupakan dan rakyat pun ditinggalkan. • Dari laporan Departemen Dalam Negeri (Februari 2006) dari 204 Daerah Otonom (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) yang dievaluasi sejak pertengahan tahun 2005, 78 dari 96 daerah yang telah dievaluasi masuk kategori bermasalah dan gagal. • Data yang dikeluarkan Departemen Keuangan pada Januari 2007 sewaktu memetakan kemampuan keuangan daerah, terlihat mayoritas daerah-daerah pemekaran tergolong pada klasifikasi rendah. • Kegagalan dan persoalan ini disebabkan: Pemerintah pusat tidak seriu, karena minimnya regulasi, lemahnya monitoring dan evaluasi yang dilakukan terhadap daerah pemekaran, serta tiadanya modul-modul yang fasilitatif bagi pemda sebagai daerah otonom baru dalam mengembangkan daerah pemekaran tersebut. • Pemerintah pusat (Dewan Perwakilan Rakyat, Departemen Dalam Negeri, Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah) terbuai oleh gelontoran rupiah yang mengiringi proses lobbying elite daerah; dan besarnya nafsu kekuasaan para elite lokal yang disebabkan tidak tersedianya "ruang kekuasaan" di daerah. Peraturan Pemerintah No. 8/2003 sebagai pengganti PP No. 84/2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah menghilangkan diskresi daerah otonom untuk membuat kebijakan dan menyusun kelembagaan sesuai dengan kebutuhannya. • Selain itu, kekalahan atau tergusurnya kekuatan status quo oleh angin reformasi menjadi pemicu ledakan pemekaran. Mereka masih ingin berkuasa, tapi tersisih oleh tokoh-tokoh baru. Mau tidak mau pemekaran menjadi opsi yang dianggap legal dan tidak menyalahi aturan. Apalagi kalau desakan tersebut didukung oleh kemampuan finansial yang memadai. Adapun dampak positif Pemekaran Wilayah dan otonomi daerah, antara lain, dengan dikeluarkannya Undang-Undang Otonomi Daerah di akhir 1990-an, jumlah provinsi telah bertambah dari 27 menjadi 33. Jumlah kota-kota dan kabupaten baru pun bertambah pula. Akibatnya, semakin bertambah jumlah gubernur dan bupati/wali kota baru. Dua kasus pengembangan wilayah yang berdampak positif bagi wilayah yang bersangkutan : • • Kepulauan Bangka dan Belitung sejak dari zaman kolonial Belanda sudah terkenal dengandengan tambang timahnya. Sebelum pengembangan wialayah Sumatera Selatan menjadi dua provinsi yaitu, Provinsi Sumatera Selatan, dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, kemakmuran di kedua pulau ini sangat bergantung kepada kinerja PT. Timah. Investor yang ingin menanamkan uangnya dikedua pulau ini, haruslah pergi ke kota Palembang dulu, ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, untuk menyelesaikan proses perizinan. Akibatnya, Kota Pangkal Pinang hampir menjadi kota hantu (ghost city), apalagi setelah terjadi krisis ekonomi dan juga krisis timah di dunia. Kota Pangkal Pinang masih terhambat menuju kehancurannya, karena ditolong oleh burung walet yang kelihatannya demen bersarang dipusat kota. Setelah pemekaran wilayah, kota ini semakin bergairah. Investor mulai berdatangan mengadu untung. Pusat kota baru sebagai pusat pemerintahan mulai dibangun. Harga tanah yang semula dibebaskan oleh kantor gubernur dengan harga Rp15.000 per meter persegi diawal tahun 2004, hari ini sudah menjadi Rp 150.000 per meter persegi. Pemekaran wilayah telah menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru. Kabupaten Mamuju dan kabupaten lainnya dimekarkan menjadi Provinsi Sulawesi Barat. Usul ini karena melihat pengalaman pemekaran wilayah provinsi baru yang telah berhasil menciptakan pusat pertumbuhan baru, seperti di Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Gorontalo, Maluku Utara, Banten. Apakah pemekaran mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat? Jawabnya, Belum, karena baru beberapa wilayah/daerah saja yang telah mampu mensejahetrakan rakyatnya. Kalaupun ada, sudah tentu sangat bergantung kepada para pemuka adat, para pemimpin, dan tokoh-tokoh masyarakat. Dari hasil kajian, kebanyakan daerah belum mempunyai kesiapan yang optimal, baik dalam mengurus, mengatur dan menata pemerintahannya sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, apalagi mensejahetrakan rakyatnya. Hal tersebut akibat kesiapan Daerah/Wilayah "induk", yang akhirnya menjadi Daerah/Wilayah yang berketidakmampuan akibat kehilangan sebagian dari potensi, fasilitas, dan utilitas; utamanya potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun hal ini bisa terjadi sebaliknya, bahwasanya Daerah/Wilayah bentukan baru tidak berkemampuan dalam hal PAD. Untuk mengatasi permasalahan potensi, fasilitas dan utilitas di Daerah yang dimekarkan. perlu pembinaan secara bertahap. Ketimpangan yang menjurus pada konflik kepentingan dan konflik sosial yang berkepanjangan dapat dilakukan kegiatan pembinaan yang intensif dan menyeluruh Dari daerah yang telah dimekarkan, tampaknya fasilitas infrastruktur, terutama telekomunikasi dan jalan darat, belum sebagaimana yang diharapkan, terutama potensi penduduk dan SDM-nya, demikian pula aparatnya. Bagaimanapun, dalam konteks ini, apakah Pekerja sosial dapat menentukan lingkup bidang tugas dan kegiatannya dalam mensejahterakan masyarakat ?. Pembangunan Sosial dan Corporat Social Responsibility (CSR) Pembangunan sosial dikaitkan dengan konsepsi pembangunan ekonomi kapitalistik, dengan pelbagai program intervensi pemerintah maupun swasta dalam kesejahteraan sosial, termasuk layanan kesehatan, pendidikan, perumahan, perbaikan ekonomi anggota masyarakat kurang mampu (miskin), pengangguran dan disintegrasi dan konflik sosial. Secara sosiologis, program pembangunan sosial lebih ditujukan kepada golongan masyarakat tertentu (miskin), antara lain dimulai dari program Jaring Pengaman Sosial (JPS), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Pendidikan Gratis, Beasiswa dan Biaya Operasional Sekolah (BOS), Asuransi dan layanan kesehatan untuk orang kurang mampu dan miskin (ASKES), Asuransi Tenaga Kerja (ASTEK), Banyaknya program Pembangunan sosial ini, prakteknya masih sentralistik, belum spenuhnya di desentralisasikan dan menyatu dalam sistem otonomi daerah. Azas ketuhanan dan komitmen moralitas belum menyatu sebagai pedoman praktek penyelenggaraan pembangunan. Corporat Social Responsibility (CSR) merupakan salah satu program yang lebih khusus, karena hanya terkait dengan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan. Istilah CSR pertama kali digagas Howard Rothmann Browen (1953) untuk menjawab keresahan dunia bisnis, dalam Social Responsibility of the Businessman. Konsep CSR ini telah dikenal sejak awal 1970, yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktek yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. CSR ini tidak hanya merupakan kegiatan kreatif perusahaan dan tidak terbatas hanya pada pemenuhan aturan hukum semata. Belakangan CSR segera diadopsi, karena bisa jadi penawar kesan buruk perusahaan yang terlanjur dalam pikiran masyarakat dan lebih dari itu pengusaha di cap sebagai pemburu uang yang tidak peduli pada dampak kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Kendati sederhana, istilah CSR amat marketable melalu CSR pengusaha tidak perlu diganggu perasaan bersalah. Walau bagaimanapun masih banyak perusahaan belum menjalankan program CSR karena melihat hal tersebut hanya sebagai pengeluaran biaya yang tidak memberi hasil (uang) dalam jangka pendek. Namun CSR akan memberikan hasil keuangan perusahaan di masa mendatang (jangka panjang). Investor juga ingin investasinya aman dan ada kepercayaan masyarakat terhadap perusahaannya karena memiliki citra yang baik di mata masyarakat. Oleh karena itu, program CSR lebih tepat apabila digolongkan sebagai investasi dan hams menjadi strategi bisnis dari suatu perusahaan. Dalam proses perjalanan CSR banyak masalah yang dihadapi, di antaranya : • • • Program CSR belum tersosialisasikan dengan baik di masyarakat Masih terjadi perbedaan pandangan antara departemen hukum dan HAM dengan departemen perindustrian mengenai CSR dikalangan perusahaan dan Industri Belum adanya aturan yang jelas dalam pelaksanaan CSR di kalangan perusahaan. Program CSR ini menyimpan banyak polemik; dikalangan perusahaan dan Industri, dalam serba ketidakpastian. masih Forum Ekonomi Dunia melalui Global Govermance Initiative menggelar World Business Council For Sustainablle Development di New York (2005), salahsatu deklarasi penting disepakati bahwa CSR jadi wujud komitmen dunia usaha untuk membantu PBB dalam merealisasikan Millennium Development Goalds (MDGs), yang bertujuan mengurangi separuh kemiskinan dan kelaparan pada tahun 2015. Ironisnya, pertumbuhan dunia bisnis terus meningkat tetapi kemiskinan bertambah. Untuk mengatasi kemiskinan ini pihak perusahaan perlu menyisihkan uang dari keuntungan yang diperoleh, tetapi bukan dimasukan kedalam biaya investasi yang harus ditanggung pemerintah. Persoalan disini: adakah etika profesi penting bagi para Pekerja Profesional dalam menjalankan tugas-tugas membantu "orang" menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan mereka ? KESIMPULAN 1. Negara memiliki kedaulatan dan kekuasaan untuk mensejahterakan rakyat dengan menyatukan sistem kegiatan dengan melibatkan berbagai pihak di dalam maupun luar negeri. Pada era globalisasi, dinamika praktek Negara telah mampu mengubah dan membawa paradigma baru dalam persepsi, interpretasi dan solusi pemerintah pada suatu negara tentang kemajuan dan upaya memajukan kesejahteraan (rakyat). Profesionalisme Social Worker dalam membangun negara yang sejahtera memiliki kompetensi untuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mampu merubah dan bahkan mengarahkan perubahan kehidupan manusia yang lebih baik. 2. Pengalaman Jepang sebagai Negara Sejahtera, berazas prinsip 'hak untuk hidup' dijamin konstitusi. Tujuannya untuk menjamin tercapainya standar minimum pemenuhan kebutuhan hidup dan mendorong kemandirian setiap warga negara. melalui program-program yang sangat jelas dan mudah diukur dengan indikator, misalnya berapa jumlah warga Negara yang telah memliki asuransi dan tunjangan hidup. Dalam sistem administrasi pemerintahan, penyeragaman dalam mengatasi persoalan-persoalan di daerah dilakukan melalui unit-unit pemerintahan daerah. Hubungan pusat dan daerah di Jepang mengalami dinamika dan pasang surut-sesuai dengan kondisi dan perkembangannya sendiri. 3. Isu-isu utama Negara Sejahtera yang penting, 1) Ideologi dan falsafah Negarasejahtera di Indonesia maupun Malaysia berazaskan ketuhanan (Pancasila & Rukun Negara) dan undang-undang, sedangkan Jepang hanya berazas undang-undang dengan aturan dan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang jelas. 2) Pemekaran wilayah dan otonomi daerah, belum mensejahterakan rakyat. 3) Pembangunan sosial prakteknya masih sentralistik, belum sepenuhnya di desentralisasikan dan menyatu dalam sistem otonomi daerah. Azas ketuhanan dan komitmen moralitas belum menyatu sebagai pedoman praktek penyelenggaraan pembangunan. Sedangkan CSR masih menyimpan banyak polemik; dikalangan perusahaan dan Industri, juga dalam masyarakat yang penuh ketidakpastian dantransparansi. 4. Implikasi dari perkembangan dan kompleksitas permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara, apakah peranan Pekerja Sosial ? Dalam isu dan konteks Negara sejahtera, permasalahan ideologi dan falsafah ketatanegaraan, persoalan aksiologi dan epistimolgisnya, adakah peranan yang perlu dimainkan Pekerja sosial, dan kalaupun ada, bagaimana dan untuk Siapa ? Dalam kontekspemekaran wilayah dan otonomi daerah, apakah Pekerja sosial dapat menentukan lingkup bidang tugas dan kegiatannya dalam mensejahterakan masyarakat ?. Sedangkan dalam pelaksanaan Pembangunan social dan CSR, persoalannya: adakah etika profesi penting bagi para Pekerja Profesional dalam menjalankan tugas-tugas membantu "orang" menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan mereka ? PENUTUP • • Social workers should intervene earlier with complex cases to avert crises but simple early interventions and preventive work should be the role primarily of universal services and/or social work services/social care. The social worker's task is to work alongside people to help them build resilience, maintain hope and optimism and develop their strengths and abilities. It is also to confront and challenge behaviour and manage situations of danger and uncertainty. Social workers must meet people on their own terms, in their own environment whilst retaining the professional detachment needed to help service users to understand, come to terms with or change their behaviour. (THE VISION OF THE SOCIAL WORKER IN THE 21ST CENTURY). KEPUSTAKAAN Abdul Rahman Embong (ed), 2007, Social Science & Malaysian National Development, Kuala Lumpur, Persatuan Sains Sosial Malaysia. Abidin, Zainal. 2002. Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung, Remaja Rosdakarya. Bertens, K. 1994. Etika, PT. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. Bertrand, Jaques. 2004. Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. Djatmiko Rahardjo, 2008, Pengalaman Jepang: Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat melalui Desentralisasi, Majalah Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, Depdagri. Drijarkara, S.J.N. 1978." Percikan Filsafat" Jakarta, PT.Pembangunan Iskandar, Jusman, 1992. Filsafat dan Etika Pckerjaan Sosial. Bandung, Kopma STKS. Mohd Fauzi Yaacob (ed), 2006, Malaysia, Menangani Perubahan dan Pembangunan, Kuala Lumpur, Universiti Malaya. Muhamad Fadhil Nurdin, 1986, Pengantar Studi Kesejahteraan Sosial, Bandung, Angkasa. Muhamad Fadhil Nurdin, 2009, Keamanan Bisnis Korporat: Strategi Pengamanan Bersama Masyarakat, Bandung, UNPAD Press. PP 129 Tahun 2000 Tentang Pemekaran Daerah PP 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Sunoto, 1984 Filsafat Sosial dan Politik Pancasila, Yogyakarta, Andi Offset Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Bandung, Aditama. Sumarnonugroho, 1982. Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta, PT. Hanindita.