membangun konsep aksiologis ushul fiqh

advertisement
DISKRESI: ANTARA KEBIJAKSANAAN DAN PENYALAHGUNAAN
WEWENANG
Jayusman
IAIN Raden Intan Lampung
E-mail : [email protected]
Abstrak
Tulisan ini berkaitan dengan kebijaksanaan dalam sistem hukum. Mewakili
kebijaksanaan kewenangan hakim putusan dengan bunga mempertimbangkan rasa
keadilan, kepentingan umum dan moralitas yang berkembang di masyarakat dari di
memutuskan sesuai dengan peraturan yang tertera dalam kode. Otoritas ini atau
untuk mengisi kelemahan dalam menerapkan legalitas utama dalam sistem hukum
sipil di Indonesia. Dengan demikian diharapkan berbagi hukum yang maksimal
melayani kepentingan masyarakat yang dinamis. Menggunakan kuasa ini, seorang
hakim memperhatikan prinsip-prinsip dalam eksekusi dan juga perlu adanya
pengamatan terkait Institute. Jadi yang diharapkan oleh otoritas ini tidak dapat
disalahgunakan untuk tertentu secara ilegal.
Kata kunci : kebijaksanaan, otoritas.
Abstract
This paper is concerned with discretion in the legal system. It represents the wisdom of
judge's ruling authority with interest considering the sense of justice, public interest and
morality of society developing in the severed in accordance with the regulations provided
in the code. This authority or to fill weaknesses in applying the legality of civil law
system in Indonesia. Thus the expected share maximum law serves the interests of the
community. Using this power, a judge having regard to the principles in the execution
and also the need for observations related to the institute. So expected by this authority
cannot be abused illegally for certain interest.
Keywords : discretion, authority.
Pendahuluan
Inti dan arti penegakan hukum secara konseptual menurut Soerjono
1
Soekanto adalah terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,
memelihara, dan mempertahankan kedamaian dalam hidup. Penegakan hukum
sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
CV. Rajawali, 1983), h.15.
1
1
menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidahkaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.
Diskresi merupakan bagian dari bentuk kebebasan hakim dalam
menciptakan hukum. Putusan hakim dalam perkara perdata pada dasarnya
dibatasi oleh hukum yang berlaku (adat), sedangkan dalam perkara pidana
dibatasi oleh asas legalitas baik hukum substantif maupun hukum acara dan apa
yang didakwakan jaksa.
Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah
bagaimana hakim dalam mengikuti yurisprudensi. Kebebasan hakim dalam
menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum, Wirjono
Prodjodikuro menolak pendapat orang yang mengatakan hakim menciptakan
hukum. Menurutnya hakim hanya merumuskan hukum. Pekerjaan hakim
menurutnya mendekati pembuatan undang-undang tetapi tidak sama.
Prodjodikuro berpendapat bahwa walaupun Ter Haar menyatakan isi hukum
adat baru tercipta secara resmi dianggap ada apabila ada beberapa putusan dari
penguasa terutama para hakim, ucapan Ter Haar itupun tidak dapat dianggap
bahwa dengan putusan hakim dan lain penguasa itu terciptalah hukum adat,
tetapi hanya merumuskan hukum adat itu.2
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa diskresi merupakan putusan
hakim yang dianggap ―telah keluar‖ dari apa yang ditentukan oleh undangundang inilah yang disebut dengan diskresi hukum. Selanjutnya dalam makalah
ini akan dibahas lebih lanjut pengertian diskresi, latar belakang kemunculan
penerapan kewenangan diskresi, diskresi dalam bidang hukum, tolok ukur serta
penyimpangan pelaksanaannya, dan diskresi dalam wacana hukum Islam.
Pembahasan tentang diskresi ini penting dialakukan untuk memberikan
pemahaman yang komprehensif kepada masyarakat. Karena masih banyak
orang yang belum memahami diskresi, batas dan ketentuannya. Selain itu, perlu
penjelasan komprehensif tentang perbedaan diskresi sebagai langkah progresif
hakim demi memenuhi rasa keadilan dengan penyalahgunaan wewenang.
Pembahasan
A. Pengertian Diskresi
Discretion secara bahasa adalah freedom or authority to make decisions
and chooses power to judge or act.3 Alvina Treut Burrows menyatakan
discretion: ability to choose wisely or to judge one self (kemampuan untuk
memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi diri sendiri).4
Prajudi Atmosoedirdjo menerjemahkan discretion sebagai kebebasan
bertindak atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri.5
Adapun secara istilah, berikut kutipan beberapa pendapat:
Dikutip oleh Jur A. Hamzah, Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman,
makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional, yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan
HAM, di Denpasar, 14-18 Juli 2003, h. 9.
2
Neufeldt [ed], Webster New World (USA: Macmillan, tt), h.99
Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum (Jakarta: PT Bina Aksara,
1987), h. 180.
5 Ibid., h. 181.
3
4
2
a. Yan Pramadya Puspa menyatakan discretionair (Belanda) berarti
kebijaksanaan; memutuskan sesuatu tidak berdasarkan ketentuanketentuan peraturan, undang-undang, atau hukum yang berlaku tetapi
atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan.6
b. Steven H. Gifs menyatakan discretion; the reasonable exercise of a power or
right to act in an official capacity; involves the idea of choice, of an exercise of
the will, so that abuse of discretion involves more than a difference in judicial
opinion between the trial and appellate court, and in order to constitute an
“abuse” of discretion. The judgment must demonstrate a perversity of will, a
defiance of good judgment or bias.7
c. Erlyn Indarti mendefinisikan diskresi sebagai kemerdekaan dan atau
otoritas (kewenangan) untuk membuat keputusan serta kemudian
mengambil tindakan yang dianggap tepat/ sesuai dengan situasi dan
kondisi yang dihadapi, yang dilakukan secara bijaksana dan dengan
memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang
memungkinkan.8
Dari beberapa definisi di atas dapat dinyatakan bahwa pengertian
diskresi itu mencakup kewenangan yang bersifat merdeka untuk
mengambil keputusan yang tepat atau sesuai dengan situasi dan kondisi
yang dihadapi, tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undangundang, atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan,
pertimbangan, atau keadilan.
Selain dalam bidang hukum, diskresi juga dikenal dalam institusi
yang lain. Misalnya juga ditemukan dalam bidang administrasi negara dan
institusi kepolisian. Diskresi dalam bidang administrasi negara dikenal
dengan istilah freis ermessen. Freis Ermessen berarti salah satu sarana yang
memberikan ruang gerak bagi pejabat atau badan administrasi negara
untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undangundang.9 Diskresi adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan
pada pejabat publik yang berwenang berdasarkan pendapat sendiri.
Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum
yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara
harus berdasarkan ketentuan undang-undang, akan tetapi tidak mungkin
bagi undang-undang untuk mengatur segala macam hal dalam praktek
kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, diperlukan adanya kebebasan atau
diskresi pada pejabat publik dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan
kewajiban yang dibebankan kepadanya.10
Kebijakan yang berdasarkan kewenangan freis ermessen disebut
peraturan kebijakan, yaitu peraturan yang semata-mata berkaitan dengan
doelmatigheid sehingga tidak terkait dengan unsur rechmatigheid, bahkan
dapat menyimpangi rechmatigheid. Kesan seperti ini adalah keliru. Unsur
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum (Semarang: Aneka Ilmu, 2004), h. 84.
Steven H Gifs, Law Dictionary (New York: Barron‘s Educational Series, Inc., 1975), h. 61.
8 Erlyn Indarti, Diskresi Polisi (Semarang: Badan Penerbit Undip, 2002), h. 120.
9 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (ttp.: tnp., 2007), h. 177.
10Penyalahgunaan
Diskresi
pada
Kebijakan
Mobil
Nasional,
zuryawanisvandiarzoebir.blogspot.com.
6
7
3
doelmatigheid sebagai landasan kewenangan freis ermessen haruslah suatu
tujuan atau manfaat yang dibenarkan hukum.11
Tindakan yang termasuk kategori freis esmessen ini–setiap tindakan
administrasi negara di luar wewenang yang telah ditetapkan secara
hukum– antara lain: tindakan yang melampaui wewenang (detournement de
pouvoir), bahkan dapat melawan hukum (onrechmatigover-heidsdaad), atau
penyalahgunaan wewenang (misbruik van recht).12
Dalam institusi POLRI juga dikenal adanya kewenangan diskresi.
Diskresi kepolisian merupakan realisasi dari azas kewajiban (salah satu
azas yang melandasi penggunaan wewenang Polri dalam menjalankan
tugas). Azas kewajiban ini bersifat preventif dan represif non-yustisiil
(pemeliharaan ketertiban) dalam menghadapi pencegahan suatu tindak
pidana yang akan terjadi.
Konsep mengenai diskresi kepolisian terdapat dalam pasal 18
Undang-undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002, yang berbunyi :
a. Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
bertindak menurut penilaiannya sendiri.
b. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan dlam keadaan yang sangat perlu dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Rumusan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan
kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum Kepolisian
(plichtmatigheids beginsel) yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan
kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut
penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga,
memelihara ketertiban, dan menjamin keamanan umum.
Secara umum, kewenangan ini dikenal sebagai diskresi kepolisian
yang keabsahannya didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk
tugas kewajiban (pflichtmassiges ermessen). Substansi Pasal 18 ayat (1)
Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 merupakan konsep
kewenangan kepolisian yang baru diperkenalkan walaupun dalam
kenyataan sehari-hari selalu digunakan. Oleh karena itu, pemahaman
tentang ―diskresi kepolisian‖ dalam pasal 18 ayat (1) harus dikaitkan juga
dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam pasal 1, 32, dan
33 Undang-undang No. 2/2002, akan mampu mengambil tindakan secara
tepat dan profesional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka
pelaksanaan tugasnya.
Rumusan dalam pasal 18 ayat (2) merupakan rambu-rambu bagi
pelaksanaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu selain asas
keperluan, tindakan diskresi tetap harus sesuai dan memperhatikan
11 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia(Satu Kajian Teoritik) (Yogyakarta: FH UUI Press,
2004), h. 16.
12 Ibid.
4
peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia.13
B. Latar Belakang Munculnya Penerapan Kewenangan Diskresi
Jika kita melihat peradilan dalam dinamika masyarakat dari waktu
ke waktu, dan kita berhenti pada peralihan abad ke-19 ke abad 20, maka
kita akan menyaksikan terjadinya perubahan dari peran pengadilan
sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi menjadi pengadilan
(untuk) rakyat. Pengadilan yang terisolasi ini dinyatakan sebagai
pengadilan sebagai corong undang-undang. Semangat liberal dan
legalistik-positivistik memberikan landasan teori bagi peradilan terisolasi
dari masyarakat di mana pengadilan berada, yang selanjutnya
mengundang asosiasi ke arah kediktatoran pengadilan. Karena ia memutus
semata-mata menurut tafsiran hukum terlepas dari dinamika masyarakat.
Sehingga, secara sosiologis pengadilan itu menjadi benda asing di tubuh
masyarakat.14
Sementara itu, dinamika masyarakat menampakkan era baru seperti
perkembangan demokrasi dan bangkitnya kekuatan baru seperti buruh
yang kemudian mengubah peta sosial politik secara mendalam. Dan
berlalunya era kaum borjuis yang banyak dikaitkan dengan hukum liberal,
menjadi hukum (untuk) rakyat.
Pada masa peralihan dari orde hukum liberal ke orde dinamika
masyarakat, terjadi ―pembangkangan-pembangkangan‖ oleh pengadilan.
Aliran legalistik-positivistik digantikan realisme hukum –realisme
Skandinavia dan realisme Amerika– dengan tokohnya Benjamin Cardozo
dan Oliver Wendell Holmes. Misalnya, hakim membuat putusan yang
sebetulnya melampaui peran pengadilan yang hanya menkonkritkan
undang-undang.15
Diasumsikan bahwa praktek diskresi ini berkembang pada sistem
hukum common law yang menganut aliran realisme hukum. Aliran realisme
hukum dikenal dengan konsep yang radikal tentang proses peradilan.
Mereka menyatakan bahwa hakim tidak hanya menentukan hukum, akan
tetapi membentuk hukum. Hakim harus memilih, menentukan prinsipprinsip yang akan dipakai dan pihak yang dimenangkan.16
Keputusan hakim sering kali mendahului penggunaan prinsipprinsip hukum formal. Keputusan pengadilan dan doktrin hukum selalu
dapat dikembangkan untuk menunjang hasil proses hukum. Keputusan
pengadilan dibuat berdasarkan konsepsi-konsepsi hakim yang
bersangkutan tentang keadilan dan dirasionalisasikan dalam pendapat
tertulis. Ahli-ahli hukum dari aliran ini menaruh perhatian yang sangat
13
Kewenangan Diskresi Kepolisian dan Pertanggungjawabannya secara Hukum.
www.contohskripsitesis.com diakses pada 12 Maret 2011.
14 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, cet. ke-3 (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2008), h. 38.
15 Ibid., h. 39.
16 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006),
h. 44.
5
besar tentang keadilan walaupun mereka berpendapat secara ilmiah tidak
dapat ditentukan apa yang dinamakan hukum yang adil.17
Adapun dalam sistem hukum civil law, diskresi ini muncul sebagai
alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan dalam penerapan azas
legalitas. Bagi negara yang bersifat welfare state, azas legalitas saja tidak
cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani kepentingan
masyarakat, yang berkembang pesat sejalan dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pertimbangan lainnya adalah adanya realitas
bahwa suatu kebijakan atau peraturan tidak mungkin mampu merespons
banyak aspek dan kepentingan semua pihak sebagai akibat adanya
keterbatasan prediksi para aktor atau stakeholders dalam proses perumusan
suatu kebijakan atau peraturan.18
Indonesia adalah jajahan Belanda dan mewarisi sistem hukumnya.
Di sisi lain, kita tidak bisa terlepas dari pengaruh global sistem hukum
yang ada di dunia. Indonesia dikatakan tidak mutlak lagi menganut sistem
hukum civil law tapi bagi Indonesia berjalan juga dengan dasar-dasar lain
yang mewarnai sistem hukumnya.19
Kelaziman di Indonesia, hakim yang satu memakai undang-undang
sebagai dasar keputusannya, hakim yang lain memakai ―rasa‖ sebagai
dasar keputusannya, yang lain memakai hukum adat sebagai dasar
keputusannya, dan ada lagi yang mendasarkannya kepada yurisprudensi.
Hal tersebut di atas mengingat Undang-undang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman No. 35 tahun 1999 perubahan dari Undang-undang
No. 14 tahun 1970 secara jelas menyatakan bahwa hakim dan juga semua
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai yang hidup dalam masyarakat. Ini memberi peluang kepada hakim di
Indonesia untuk memperbaiki citra miring terhadap sistem hukum yang
berkembang di Indonesia.20
Menurut Sabian Utsman, sistem hukum Indonesia sekarang lebih
didominasi oleh aliran legal realism dengan cara dan karakteristik budaya
bangsa Indonesia. Dengan tidak mengabaikan kenyataan saat ini dengan
beberapa perundang-undangan, maka Indonesia sesungguhnya lebih dekat
dengan sistem hukum common law. Alasannya, karena masyarakat
Indonesia dan hukum kebiasaan (customary law) tumbuh dan mengakar di
masyarakat sehingga menjadi living law yang ada bersama-sama dengan
budaya dan agama (terlebih agama Islam). Ini membuat semakin dekatnya
kita dengan sistem common law ketimbang sistem hukum roman law.21
C. Diskresi dalam Masalah Hukum
Ibid., h. 45.
Agus Dwiyanto dkk, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia (Yogyakartaa: Galang Pritika,
2002), h.23
19 Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Resposif, cet. ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), h. 71.
20 Ibid., h. 71-72.
21 Ibid., h. 73.
17
18
6
Pemikiran (mind-set) positif-tekstual kurang lebih hanya akan
"mengeja" suatu peraturan, menerapkan undang-undang, dan prosedur.
Cara berpikir hukum seperti itu disebut "linier". Memang itu mudah, tetapi
dangkal, dan menggunakan kecerdasan rasional semata. Paul Scholten,
seorang pemikir hukum Belanda mengatakan ‖hukum itu ada dalam UU,
tetapi masih harus ditemukan.‖ Maka menjadi salah sekaligus dangkal bila
orang hanya "mengeja" peraturan.22
Perlu untuk melakukan perenungan (contemplation) dan mencari
makna lebih dalam dari suatu peraturan. Ini sesuai gagasan Paul Scholten.
Apabila "pintu perenungan makna" dibuka, terbentanglah panorama baru
di hadapan hakim. Perenungan tidak akan berhenti pada dimensi
subyektif, tetapi juga sosial. Hakim tidak hanya mendengarkan dengan
telinga subyektif, tetapi juga dengan "telinga sosial‖ dan menggunakan
kecerdasan spritual sehingga dapat menyelami kaedah yang merupakan
landasan suatu hukum.23
Jika pendefinisian diskresi dikaitkan dengan masalah penetapan
hukum tentu saja muaranya kebijaksanaan yang diambil oleh hakim dalam
memutuskan perkara di antara para pihak yang bersengketa. Berikut ini
berapa contoh perkara hukum yang terkait dengan kewenangan diskresi:
a. Keputusan kontroversial Bismar, hukuman pidana bagi pengedar ganja
ketika dia menjabat Ketua Pengadilan Tinggi di Medan. Seorang
terdakwa yang dituntut jaksa 10 bulan penjara, Bismar
melipatgandakannya menjadi 10 tahun. Tuntutan 15 bulan menjadi 15
tahun. Karena itu, dia sangat prihatin dengan keputusan hakim yang
menjatuhkan hukuman hanya 4 tahun penjara kepada ratu ekstasi
Zarima. Padahal, Zarima tertangkap membawa 29 ribu pil setan. Apakah
hakim tidak mengetahui dan merasakan akibat dari perbuatan Zarima.
Jika Bismar yang jadi hakimnya, Zarima layak dihukum mati sebagai
shock therapy buat pengedar narkoba.24
b. Kasus Cut Mariana dan Bachtiar Tahir yang oleh Pengadilan Negeri
Medan dihukum 10 bulan penjara karena dituduh memperdagangkan
161 kg ganja. Vonis ini kemudian diubah Bismar yang waktu itu
menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, menjadi 15 dan 10
tahun penjara. 25
c. Hukuman 7 bulan penjara yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Tanjung
Balai terhadap kepala sebuah SMP Negeri di Kisaran, Sumatera Utara,
yang dituduh berbuat cabul dengan anak didiknya, diubah Bismar
menjadi 3 tahun penjara. Statusnya sebagai pegawai negeri juga dicabut.
Bismar sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, dengan
menafsirkan kata ‖barang‖ dalam Pasal 378 KUHP yang dituduhkan
dilanggar oleh terdakwa bisa berarti ‖jasa‖. Ini dikaitkannya dengan
istilah ―bonda‖ (barang) dalam bahasa Tapanuli, yang juga bisa berarti
22
23
Rahardjo, Membedah., h. 20 dan 31.
Ibid., h. 20, 56 dan 122.
24 Bismar Siregar, www.ghabo.com
25
Ibid.
7
alat kelamin. Jadi, bila saksi menyerahkan kehormatannya kepada
terdakwa sama dengan menyerahkan ―bonda‖, ujar Bismar berdalih.26
Penerapan kewenangan diskresi dalam instansi Kepolisian RI dapat
kita contohkan dengan memberikan diskresi kepada anak-anak yang
mengonsumsi narkoba. Penyebutan anak pengguna narkoba sebagai
tersangka tidak (kurang) tepat, dan lebih baik diganti dengan istilah
korban. Anak-anak korban narkoba ini dikembalikan kepada orang tuanya
untuk selajutnya direhabilitasi. Orang tua mengambil peran penting dalam
membentengi anak dari pengaruh buruk perkembangan zaman khususnya
dari narkoba sangat penting. Orang tua harus lebih komunikatif dengan
anak bisa memahami dan mengikuti setiap perkembangan anak. Contoh
penerapan kewenangan diskresi dalam bidang administrasi pemerintahan
adalah surat edaran, juklak, dan juknis yang dikeluarkan oleh lembaga
administrasi negara.27
D. Tolok Ukur Pemberlakuan Diskresi
Dikatakan bahwa untuk mengatur hal-hal yang lebih rinci dari
pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang, hakim, pelaksana
administrasi negara, juga kepolisian diberikan kebebasan untuk mengambil
keputusan berdasarkan pendapat sendiri. Namun tidak berarti tidak ada
rambu-rambu atau koridor hukum yang membatasinya. Menurut Muchsan,
pembatasan penggunaan diskresi adalah (1) Tidak boleh bertentangan
dengan sistem hukum yang berlaku (kaedah hukum positif); (2) Ditujukan
untuk kepentingan umum. Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur
diskresi adalah:
a. Tindakan itu untuk kepentingan publik
b. Tindakan itu dimungkinkan oleh hukum
c. Tindakan itu diambil untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang
dianggap krusial.
d. Tindakan ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan
maupun secara hukum.28
Lebih lanjut, Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa
pembuatan keputusan pemerintah yang dibuat oleh pejabat publik terikat
kepada 3 (tiga) asas hukum, yaitu :
a. Asas yuridikitas (rechtsmatigheid), artinya keputusan pemerintah tidak
boleh melanggar hukum;
b. Asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan pemerintah harus
diambil berdasarkan suatu ketentuan perundang-undangan;
c. Asas diskresi (freies ermessen), artinya pejabat publik tidak boleh menolak
mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturannya. Sehingga
diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya
sendiri asal tidak melanggar asas yuridikitas dan asas legalitas tersebut
di atas. Pendapat pribadinya tersebut tetap harus merupakan
26 Bismar, Pendekar Hukum Jalan Lurus, www.tokohindonesia.com
27
28
Bagir Manan, Hukum., h. 15.
Ridwan HR, Hukum, h. 178.
8
pengejawantahan undang-undang. Selanjutnya, asas moralitas dan rasa
keadilan masyarakat seharusnya tetap menjiwai kewenangan diskresi
tersebut.29
Penerapan kewenangan diskresi ini berdasarkan demi kepentingan
umum. Secara hukum mungkin ia melanggar, tetapi secara asas ia tidak
melanggar kepentingan umum dan hal ini merupakan instant decision
(tanpa rencana) dan itu bukan pelanggaran tindak pidana.30 Satjipto
Rahardjo menyatakan seorang pejabat publik tidak melaksanakan
peraturan tertulis secara ―hitam putih‖, melainkan selalu bertanya, apakah
yang dilakukannya sudah baik untuk masyarakat. Penegak hukum bukan
mesin otomat undang-undang dan prosedur. Tetapi selalu dihantui
keinginan untuk memberikan keadilan kepada masyarakat (bringing justice
to the people). Sehingga pengadilan menjadi pengadilan yang murni dan
memiliki nurani (court with conscience). Dengan kata lain ketika
memutuskan suatu perkara selain menggunakan logika peraturan, hakim
juga mempertimbangkan logika kepatutan sosial (social reasonableness), dan
logika keadilan.31
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat digarisbawahi bahwa tolok
ukur kewenangan pemberlakuan diskresi tersebut:
1) Tidak bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaedah
hukum positif).
2) Ditujukan untuk kepentingan umum.
3) Tindakan itu diambil untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang
dianggap krusial.
4) Tindakan ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada
Tuhan maupun secara hukum.
5) Asas moralitas.
6) Rasa keadilan yang berkembang di tengah masyarakat.
E. Penyimpangan Kewenangan Diskresi
Diskresi ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, bersifat positif apabila
diterapkan pada konteks masyarakat yang dinamis akan sangat membantu
untuk melakukan berbagai penyesuaian. Diharapkan peraturan yang ada
tetap mampu menjawab tuntutan aspirasi dan dinamika masyarakat yang
berkembang. Namun di sisi lain, ia bisa menjadi bumerang bagi hakim.
Karena kewenangan ini sangat terkait dengan subjektifitas dan kebebasan
hakim sehingga rentan pada penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang.
Hakim dimungkinkan memutuskan suatu perkara dengan tidak memenuhi
rasa keadilan dan kemudian mereka berlindung di belakang kewenangan
diskresi yang dimilikinya.
Luasnya diskresi membuka peluang untuk penyalahgunaan wewenang
dan pelanggaran. Hal ini jelas perlu diantisipasi dengan pengaturan yang
Ibid.
Toni Ariadi, Kepolisian dalam Perspektif Penegakan Hukum, polair-riau.com.
31 Rahardjo, Membedah., h. 32, 123, dan 124.
29
30
9
lebih rinci, limitatif, dan memiliki tolok ukur yang obyektif untuk menilai
bagaimana aparat penegak hukum dan hakim harus menjalankan tugas dan
wewenangnya.
Kelemahannya adalah selama ini diskresi aparat penegak hukum dan
hakim masih sangat besar dan belum disertai tolok ukur yang obyektif dalam
pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam diskresi yang luas dan
subyektif bagi penyelidik/penyidik/penuntut/hakim untuk mengartikan
―bukti yang cukup, ada kekhawatiran tersangka/terdakwa melarikan diri,
atau menghilangkan alat bukti‖ sebagai dasar penahanan tersangka atau
terdakwa. Selain itu, masalah diskresi ini pun dapat dilihat dalam aturan MA,
di mana tidak ada batas waktu yang jelas bagi hakim agung untuk
menyelesaikan suatu perkara. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu pembatasan
atas penggunaan diskresi bagi aparat penegak hukum dan hakim. Selain itu,
untuk menutup peluang penyalahgunaan wewenang. Jadi, pengaturan
tentang diskresi yang teknis, baik itu standard operation procedure (SOP), buku
pedoman, prosedur tetap, atau istilah lainnya penting sebagai dasar untuk
menilai performance dan perilaku aparat penegak hukum dan hakim.32
Telah disinggung sebelumnya, kewenangan diskresi ini juga terdapat
pada lembaga adminstrasi negara maupun institusi kepolisian negara.
Sehingga penyelewengan penggunaan kewenangan diskresi ini terjadi pada
lini ini. Seperti kasus proyek mobil nasional yang dicanangkan di masa rezim
orde baru. Dengan dalih untuk memajukan industri otomotif di Indonesia
agar setaraf dengan negara maju, Soeharto sebagai seorang pejabat publik
telah dengan sengaja melakukan pelanggaran beberapa asas hukum yang
seharusnya dipedomani. Sekalipun kebijakan yang dibuatnya dikategorikan
ke dalam suatu bentuk diskresi, yaitu:
a. Keputusan pemerintah untuk memberikan keistimewan pembebasan pajak
kepada PT. Timor Putra Nasional telah melanggar asas legalitas terhadap
Undang-undang Perpajakan yang seharusnya dikenakan secara sama pada
setiap pengusaha;
b. Saat diberlakukan keputusan pemerintah tersebut, ada reaksi pasar yang
negatif baik dalam maupun luar negeri. Tetapi pemerintah tetap
memaksakan kebijakannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan
reaksi tersebut maka legitimasi keputusan pemerintah sangat kurang dan
oleh karenanya tidak layak untuk tetap dipertahankan;
c. Telah dilanggarnya prinsip rasa keadilan masyarakat yang seharusnya
diperhatikan dan dijunjung tinggi oleh pembuat kebijakan. Masyarakat
Indonesia mengetahui bahwa kebijakan yang dibuat oleh Soeharto adalah
upaya memperkaya diri sendiri, keluarga, atau kroni-kroninya.
Terdapat istilah-istilah yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang
ini seperti discretionery corruption: koprupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun nampaknya bersifat sah.33
caplang.wordpress.com.
Hartiwiningsih, ―Perilaku Menyimpang Birokrasi serta Upaya Pertanggungjawabannya,‖
dalam Ahmad Gunaryo (ed), Hukum dan Birokrasi Kekuasaan di Indonesia (Semarang: WRI, 2001), h.
324.
32
33
10
Salah satu kasus terkait adalah perkara korupsi pengadaan mobil pemadam
kebakaran. Pusaran kasus ini adalah Radiogram Depdagri yang
ditandatangani Dirjen Otonomi Daerah Oentarto Sindung Mawardi. Dalam
sidang, Emin Adi Muhaimin dari Bappenas menegaskan, kedudukan
Radiogram itu lebih rendah dari Keppres pengadaan barang dan jasa. Karena
itu, Radiogram tidak boleh bertentangan dengan Keppres tersebut.
Denny Indrayana, ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada
menjelaskan bahwa penyelenggara negara berwenang mengeluarkan diskresi
atau kebijakan yang menyimpang dari peraturan dalam kondisi tertentu.
Misalnya dalam keadaan darurat atau dalam keadaan mendesak. Sayang,
diskresi yang dibuat kerap hanya menguntungkan penguasa dan kronikroninya. Diskresi semacam itu harus diproses melalui hukum pidana.34
Selain memenuhi unsur ‗menguntungkan‘, diskresi jenis ini juga masuk
kualifikasi unsur melawan hukum. Biasanya diskresi yang dihasilkan
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Misalnya Peraturan
Pemerintah (PP) 37/2007 tentang insentif DPR. PP tersebut bertentangan
dengan UU No. 10/2004. Dalam UU 10/2004 peraturan perundang-undangan
dilarang untuk berlaku surut. Sementara PP malah melegalkan pemberian
insentif secara surut. Hal ini merupakan bentuk penyalahgunaan
kewenangan.35
Dalam institusi kepolisian negara, kita juga sering mendengar dan
menyaksikan tindakan polisi yang dianggap ―menyimpang‖ ketika
menangani tindak kejahatan di tengah-tengah masyarakat. Dan ketika ditanya
wartawan, mereka lalu berlindung di bawah ―payung‖ diskresi. Misalnya
penembakan Nia Sari. Banyak pihak mengecam keras aksi anggota Satuan
Intelijen Keamanan Kepolisian Resor Bogor, Brigadir (Pol) Suwandi, yang
menembak mati seorang anak perempuan berusia 15 tahun, Nia Sari, di
bagian kepalanya. Jenazah Nia, ditemukan di belakang Kantor Desa Tengah,
Cibinong, Bogor. Tidak hanya itu, kronologis versi Polres Bogor soal kejadian
itu pun dinilai mengada-ada dan sekadar menjadi alibi yang sengaja dibuat
untuk melindungi pelaku. Peristiwa seperti itu menunjukkan adanya
penyalahgunaan serius kewenangan diskresi yang dimiliki polisi.36
F. Diskresi dalam Wacana Hukum Islam
Hukum Islam mengenal adanya istilah ijtihâd (proses penggalian
hukum Islam).37 Ijtihâd ini dilakukan oleh seseorang yang dikategorikan
sebagai mujtahîd (ahli hukum Islam) dalam menjawab problematika hukum
Islam yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Proses kreatif ini dapat
dianalogikan dengan proses seorang hakim dalam tugasnya dalam
memutuskan perkara hukum.
34 www.kompas.com, ‖Pelaku Korupsi Sering Berlindung di balik Kebijakan.‖diakses pada
23 Februari 2011.
35 Ibid
36 Penembakan Nia Sari, Polisi Salah Gunakan Kewenangan Diskresi, 64.203.71.11/kompascetak/0708/31/Politikhukum/3800815
37 Ijtihâd adalah proses pengerahan segenap kemampuan (oleh seorang mujtahîd) dalam
penggalian hukum Islam dari al-Qur`an dan Sunnah
11
Metode ijtihâd memungkinkan adanya kasus-kasus yang diputuskan
dengan diskresi. Ini adalah sebuah indikasi awal bahwa para mujtahîd tidak
terpaku begitu saja terhadap ayat al-Qur`an dan hadis nabi secara literal.
Tetapi mereka juga mempertimbangkan azas-azas, maksud, dan tujuan di
balik teks nash tersebut. Sehingga ketika menetapkan suatu hukum, boleh jadi
mereka ―keluar‖ dari ketentuan yang secara eksplisit terdapat dalam alQur`an dan Sunah. Pada dasarnya, ijtihâd itu dilakukan oleh para ulama
mujtahîd berlandaskan maqâsid asy-syarî’ah; yaitu memelihara agama, jiwa,
harta, kehormatan, dan keturunan pada tataran darūrī, hajjī, dan tahsīnī.
Diskresi dalam wacana hukum Islam menurut penilaian penulis bukan
saja dipraktekkan oleh para mujtahîd di era keemasan ilmu-ilmu keislaman; di
masa imam mazhab yang empat dan kemudian diteruskan oleh para pengikut
mereka. Tapi jauh sebelumnya pada masa tabi‘in dan sahabat. Bahkan nabi
pun selaku seorang yang bertugas menyampaikan wahyu Allah berupa alQur`an kepada umatnya pernah memaknai suatu hukum berbeda dengan
yang dijelaskan dalam al-Qur`an.38
Ada beberapa metode ijtihâd yang dapat ditempuh oleh para mujtahîd
dalam proses penggalian hukum Islam. Terkait dengan bahasan tentang
diskresi hukum, maka yang akan disinggung berikut dibatasi pada metode
ijtihâd yang memungkinkan terjadinya diskresi hukum.
a. Istihsân
Istihsân adalah beralih dari penggunaan suatu qiyâs kepada qiyâs lain
dari padanya (qiyâs pertama). Dalam hal ini mujtahîd tidak menggunakan
qiyâs zhâhir dalam memutuskan permasalahan hukum yang dihadapinya
tapi beralih menggunakan qiyâs khâfî. Karena menurut pertimbangannya
cara itulah yang paling tepat.39 Dalam istihsân ini, seorang mujtahîd tidak
menggunakan ketentuan yang telah secara jelas yang terdapat dalam alQur`an dan atau hadis. Tapi ia beralih menggunakan ketentuan lain yang
dianggap lebih kuat.
Berikut ini beberapa contoh kasus penetapan hukum dengan
menggunakan istihsân:
1) Sanksi hukum terhadap pencuri.
Menurut ketentuan umum berdasarkan ketentuan dalam alQur`an, sanksi bagi orang yang mencuri adalah potong. Jika telah
memenuhi ketentuan pemberlakuan hukuman potong tangan, maka
diberlakukanlah hukuman potong tangan. Namun bila pencurian
tersebut dilakukan pada masa paceklik; kelaparan dan dilakukan dalam
keadaan terpaksa untuk mempertahankan hidup, maka hukum potong
tangan yang bersifat umum itu tidak diberlakukan. Hal ini karena
dalam kasus ini berlaku hukum khusus. Peralihan dari hukum umum
kepada hukum khusus ini dalam ilmu ushul fiqh disebut dengan
Dalam pembahasan kedudukan hadis Rasulullah terhadap al-Qur`an; salah satu hadis
nabi adalah menetapkan hukum baru yang belum ditegaskan secara eksplisit dalam al-Qur`an. Ini
sebuah petunjuk awal dimungkinkannya Rasulullah pernah melakukan diskresi hukum. Namun
karena masih debatable di kalangan para ulama sehingga penulis tidak membahasnya lebih lanjut.
39 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 304-308.
38
12
istihsân. Praktek ini pernah dicontohkan oleh Umar ibn Khattâb di masa
pemerintahannya.40
2) Orang yang makan dan minum karena lupa ketika ia sedang berpuasa
Ibadah puasa pada hakikatnya adalah menahan makan, minum,
dan segala hal yang membatalkannya mulai terbit fajar hingga
terbenam matahari. Maka ibadah puasa seseorang itu batal ketika ia
makan minum sedang berpuasa. Namun hukum itu dikecualikan oleh
hadis nabi yang menyatakan:
Siapa yang makan dan minum karena lupa tidak batal puasanya. Karena hal
itu merupakan rizki yang diturunkan Allah kepadanya. (HR. at-Tirmizî).41
3) Dokter melihat aurat pasien wanita pada saat pemeriksaan kesehatan
Secara umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tetapi
dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka pakaiannya untuk
dilakukan pemeriksaan dan pendiagnosaan penyakitnya. Berdasarkan
pertimbangan kemashlahatan orang tersebut, maka menurut kaedah
istihsân seorang dokter laki-laki diperbolehkan melihat aurat pasiennya
yang perempuan.42
b. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah adalah apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan
dengan tujuan syara‘ dalam menetapkan hukum; namun tidak ada
petunjuk syara‘ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk
syara‘ yang menolaknya.43 Berdasarkan metode maslahah mursalah ini
dimungkinkan terjadinya suatu hukum yang telah digariskan secara jelas
oleh al-Qur`an dan atau hadis kemudian ―diabaikan‖ dan beralih
mengambil ketentuan hukum lain yang sebenarnya lebih sesuai dengan
kemaslahat umum.
Berikut ini diuraikan beberapa kasus diskresi hukum yang terjadi
pada metode maslahah mursalah:
1) Memerangi mâni’ az-zakâh pada masa pemerintahan Abū Bakar asSiddîq.
Kewajiban membayar zakat merupakan salah satu kewajiban
yang harus ditunaikan oleh setiap muslim yang mampu dengan syaratsyarat yang telah ditentukan. Kewajiban ini merupakan salah satu
ajaran dasar dalam Islam, sebagai rukun Islam yang ketiga.
Setelah Rasulullah wafat, pada masa pemerintahan Abū Bakar
as-Siddîq, sebagian masyarakat Islam enggan mengeluarkan kewajiban
ini. Mereka menyangka zakat semacam ―upeti‖ kepada Rasulullah. Dan
setelah beliau wafat, maka gugurlah kewajiban tersebut. Abū Bakar
dengan pertimbangan untuk kemaslahatan umat, kemudian
memerintahkan untuk memerangi mereka.
4) Tidak memberikan hak zakat untuk para muallaf pada masa Umar ibn
Khattâb
Ibid., h. 240, 309, 310, dan 312.
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 106.
42 Ibid., h. 107.
43 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 332.
40
41
13
Dalam QS. at-Taubah [9]: 60 ditegaskan bahwa salah satu asnâf
(kelompok) yang berhak atas harta zakat adalah para muallaf (mereka
yang baru masuk Islam). Pada masa pemerintahannya, `Umar tidak
mengeluarkan bagian para muallaf ini. Menurut `Umar, kondisi umat
Islam telah kuat sehingga tidak perlu lagi memberikan reward kepada
orang yang baru masuk Islam melalui harta zakat. Hal ini merupakan
ujian kepada para muallaf atas keyakinannya untuk masuk Islam-masuk
Islam bukan karena iming-iming materi.
5) Penanganan onta-onta yang tersesat pada masa `Usmân ibn `Affân
Nabi telah memberikan petunjuk dalam menangani onta yang
tersesat; terpisah dari pemiliknya. Di masa Nabi, onta-onta tersebut
dibiarkan lepas untuk mencari makan sendiri dan tidak boleh
ditangkap.
Kebijakan ini lalu dirobah oleh khalifah `Usmân ibn `Affân.
Pada masa pemerintahan khalifah `Usmân ibn `Affân, keadaan
masyarakat telah mulai pengalami pergeseran. Di tengah-tengah
masyarakat mulai banyak yang kurang baik akhlaknya dan tangan jahil
yang suka mengambil milik orang lain dengan cara yang tidak
dibenarkan agama. Dengan ijtihâdnya, `Usmân menetapkan bahwa
onta yang tersesat itu harus ditangkap lalu dijual. Kemudian hasil
penjualannya akan diserahkan kepada pemilik onta yang sah nantinya.
Ketentuan ini diberlakukan `Usmân berdasarkan pertimbangan kalau
onta tersebut tidak ditangkap—dibiarkan lepas mencari makan sendiri,
maka akan dicuri orang dan hilanglah hak pemiliknya. Sedang kalau
onta tersebut dijual, hak si pemilik akan terpelihara.44
c. Sad az-Zarî`ah
Sad az-zarî`ah menutup jalan terjadinya kerusakan. Dasar pegangan
para ulama dalam penggunaan sad az-Zarî`ah adalah kehati-hatian dalam
beramal ketika menghadapi benturan antara maslahah dan mafsadah. Jika
faktor maslahah-nya yang dominan maka perbuatan itu boleh dilakukan.
Namun jika sebaliknya; mafsadah-nya yang dominan maka perbuatan itu
harus ditinggalkan. Dan jika sama kuat antara keduanya maka untuk ihtiyât
diambil. Prinsip yang berlaku, ‖dar’u al-mafâsid muqaddam `alâ jalb almasâlih‖. Dalam metode ijtihâd ini akan kita lihat permasalahan yang pada
dasarnya dibolehkan dalam syari‘at Islam. Namun kemudian dipalingkan
dari ketentuan dasar yang memperbolehkan permasalahan tersebut karena
ternyata terdapat ke-mafsadah-an besar yang akan terjadi di baliknya. Di sini
letak diskresi dalam metode ijtihâd ini. Berikut ini dipaparkan beberapa
contoh:
1) Pernikahan Tahlîl
Syari‘at Islam pada dasarnya menganjurkan seseorang untuk
menikah. Banyak sekali ayat al-Qur`an dan teks hadis yang menegaskan
hal tersebut. Ditinjau dari segi motivasi melakukan sesuatu, maka suatu
pekerjaan yang awalnya dianjurkan oleh syara‘ menjadi terlarang ketika
44
Ibid., h. 240-241.
14
dilakukan berdasarkan motivasi yang tidak benar seperti kasus nikah
tahlîl. Nikah tahlîl adalah pernikahan ―bohong-bohongan‖ seorang lakilaki dengan seorang janda yang telah bercerai talak tiga dengan suami
sebelumnya. Ini adalah sebagai syarat bagi sang janda untuk menikah
kembali dengan mantan suaminya yang telah menjatuhkan talak tiga
tersebut.45
2) Larangan laki-laki muslim menikahi wanita ahl al-kitâb
Al-Qur`an menyatakan tentang kebolehan seorang laki-laki
muslim menikah dengan perempuan ahl al-kitâb. Namun para ulama
termasuk di dalamnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) lalu melarang
(mengharamkan)
bentuk
pernikahan
tersebut.
Pertimbangan
pengharaman ini adalah sad az-Zarî`ah; dalam kondisi masyarakat
sekarang ini dikhawatirkan seorang pria muslim dengan rayuan dan
pengaruh istrinya dapat saja melakukan konversi agama. Tentu saja hal
ini kontra-produktif dengan alasan pembolehan awal bentuk pernikahan
ini yakni; dalam rangka dakwah islamiyah untuk mengajak istri yang ahl
kitâb untuk memeluk agama Islam.46
Simpulan
Diskresi merupakan kewenangan mencakup kewenangan yang bersifat
merdeka untuk mengambil keputusan yang tepat/ sesuai dengan situasi dan
kondisi yang dihadapi, tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan,
undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan,
pertimbangan atau keadilan.
Diskresi tidak diperbolehkan begitu saja tanpa ada ketentuan yang
mengikat dan harus ditaati seorang hakim. Pijakan dasar diperbolehkannya
diskresi adalah penegakan keadilan yang tidak hanya bersifat procedural, akan
tetapi juga keadilan substantif.
Ijtihâd sebagai metode dalam menemukan hukum Islam sangat
memungkinkan dan membuka peluang adanya diskresi. Hal ini karena tujuan
hukum Islam merupakan penegakkan mashlahah. Mujtahid harus
mempertimbangkan azas-azas, maksud, dan tujuan di balik teks nash. Sehingga
ketika menetapkan suatu hukum, boleh jadi mereka ―keluar‖ dari ketentuan
yang secara eksplisit terdapat dalam al-Qur`an dan sunah. Pada dasarnya, ijtihâd
itu dilakukan oleh para ulama mujtahîd berlandaskan maqâsid asy-syarî`ah.
Metode-metode ijtihâd yang memungkinkan terjadinya diskresi hukum antara
lain: istihsân, maslahah mursalah, dan sad az-Zarî`ah.
Daftar Pustaka
Agus Dwiyanto, dkk, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakartaa: Galang
Pritika, 2002.
45
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, h. 169.
Ibid.
46
15
Ahmad Gunaryo (ed), Hukum dan Birokrasi Kekuasaan di Indonesia, Semarang:
WRI, tt.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik), Yogyakarta: FH UUI
Press, 2004.
Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum, Jakarta: PT Bina
Aksara, 1987.
Erlyn Indarti, Diskresi Polisi, Semarang: Badan Penerbit Undip, 2002.
Gifs, Steven H, Law Dictionary, New York: Barron‘s Educational Series, Inc., 1975.
Jur A. Hamzah, Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, makalah
disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional, yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman dan HAM, di Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Neufeldt [ed], Webster New World, USA: Macmillan, tt.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, ttp.: tnp., tt.
Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Resposif, cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, cet. ke-3, Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara, 2008.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2006.
----------, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: CV.
Rajawali, 1983.
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Semarang: Aneka Ilmu, 2004.
Sumber dari Internet:
Kewenangan Diskresi Kepolisian dan Pertanggungjawabannya secara Hukum.
www.contohskripsitesis.com diakses pada 12 Maret 2011.
Bismar Siregar, www.ghabo.com, diakses pada 21 Februari 2011
Bismar, Pendekar Hukum Jalan Lurus, www.tokohindonesia.com diakses pada 23
Maret 2011.
www.kompas.com, ‖Pelaku Korupsi Sering Berlindung di balik
Kebijakan.‖diakses pada 23 Februari 2011.
16
Download