DISKRESI: ANTARA KEBIJAKSANAAN DAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG Jayusman IAIN Raden Intan Lampung E-mail : [email protected] Abstrak Tulisan ini berkaitan dengan kebijaksanaan dalam sistem hukum. Mewakili kebijaksanaan kewenangan hakim putusan dengan bunga mempertimbangkan rasa keadilan, kepentingan umum dan moralitas yang berkembang di masyarakat dari di memutuskan sesuai dengan peraturan yang tertera dalam kode. Otoritas ini atau untuk mengisi kelemahan dalam menerapkan legalitas utama dalam sistem hukum sipil di Indonesia. Dengan demikian diharapkan berbagi hukum yang maksimal melayani kepentingan masyarakat yang dinamis. Menggunakan kuasa ini, seorang hakim memperhatikan prinsip-prinsip dalam eksekusi dan juga perlu adanya pengamatan terkait Institute. Jadi yang diharapkan oleh otoritas ini tidak dapat disalahgunakan untuk tertentu secara ilegal. Kata kunci : kebijaksanaan, otoritas. Abstract This paper is concerned with discretion in the legal system. It represents the wisdom of judge's ruling authority with interest considering the sense of justice, public interest and morality of society developing in the severed in accordance with the regulations provided in the code. This authority or to fill weaknesses in applying the legality of civil law system in Indonesia. Thus the expected share maximum law serves the interests of the community. Using this power, a judge having regard to the principles in the execution and also the need for observations related to the institute. So expected by this authority cannot be abused illegally for certain interest. Keywords : discretion, authority. Pendahuluan Inti dan arti penegakan hukum secara konseptual menurut Soerjono 1 Soekanto adalah terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian dalam hidup. Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), h.15. 1 1 menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidahkaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Diskresi merupakan bagian dari bentuk kebebasan hakim dalam menciptakan hukum. Putusan hakim dalam perkara perdata pada dasarnya dibatasi oleh hukum yang berlaku (adat), sedangkan dalam perkara pidana dibatasi oleh asas legalitas baik hukum substantif maupun hukum acara dan apa yang didakwakan jaksa. Masalah kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah bagaimana hakim dalam mengikuti yurisprudensi. Kebebasan hakim dalam menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum, Wirjono Prodjodikuro menolak pendapat orang yang mengatakan hakim menciptakan hukum. Menurutnya hakim hanya merumuskan hukum. Pekerjaan hakim menurutnya mendekati pembuatan undang-undang tetapi tidak sama. Prodjodikuro berpendapat bahwa walaupun Ter Haar menyatakan isi hukum adat baru tercipta secara resmi dianggap ada apabila ada beberapa putusan dari penguasa terutama para hakim, ucapan Ter Haar itupun tidak dapat dianggap bahwa dengan putusan hakim dan lain penguasa itu terciptalah hukum adat, tetapi hanya merumuskan hukum adat itu.2 Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa diskresi merupakan putusan hakim yang dianggap ―telah keluar‖ dari apa yang ditentukan oleh undangundang inilah yang disebut dengan diskresi hukum. Selanjutnya dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut pengertian diskresi, latar belakang kemunculan penerapan kewenangan diskresi, diskresi dalam bidang hukum, tolok ukur serta penyimpangan pelaksanaannya, dan diskresi dalam wacana hukum Islam. Pembahasan tentang diskresi ini penting dialakukan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif kepada masyarakat. Karena masih banyak orang yang belum memahami diskresi, batas dan ketentuannya. Selain itu, perlu penjelasan komprehensif tentang perbedaan diskresi sebagai langkah progresif hakim demi memenuhi rasa keadilan dengan penyalahgunaan wewenang. Pembahasan A. Pengertian Diskresi Discretion secara bahasa adalah freedom or authority to make decisions and chooses power to judge or act.3 Alvina Treut Burrows menyatakan discretion: ability to choose wisely or to judge one self (kemampuan untuk memilih secara bijaksana atau mempertimbangkan bagi diri sendiri).4 Prajudi Atmosoedirdjo menerjemahkan discretion sebagai kebebasan bertindak atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri.5 Adapun secara istilah, berikut kutipan beberapa pendapat: Dikutip oleh Jur A. Hamzah, Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, di Denpasar, 14-18 Juli 2003, h. 9. 2 Neufeldt [ed], Webster New World (USA: Macmillan, tt), h.99 Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum (Jakarta: PT Bina Aksara, 1987), h. 180. 5 Ibid., h. 181. 3 4 2 a. Yan Pramadya Puspa menyatakan discretionair (Belanda) berarti kebijaksanaan; memutuskan sesuatu tidak berdasarkan ketentuanketentuan peraturan, undang-undang, atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan.6 b. Steven H. Gifs menyatakan discretion; the reasonable exercise of a power or right to act in an official capacity; involves the idea of choice, of an exercise of the will, so that abuse of discretion involves more than a difference in judicial opinion between the trial and appellate court, and in order to constitute an “abuse” of discretion. The judgment must demonstrate a perversity of will, a defiance of good judgment or bias.7 c. Erlyn Indarti mendefinisikan diskresi sebagai kemerdekaan dan atau otoritas (kewenangan) untuk membuat keputusan serta kemudian mengambil tindakan yang dianggap tepat/ sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, yang dilakukan secara bijaksana dan dengan memperhatikan segala pertimbangan maupun pilihan yang memungkinkan.8 Dari beberapa definisi di atas dapat dinyatakan bahwa pengertian diskresi itu mencakup kewenangan yang bersifat merdeka untuk mengambil keputusan yang tepat atau sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undangundang, atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan, atau keadilan. Selain dalam bidang hukum, diskresi juga dikenal dalam institusi yang lain. Misalnya juga ditemukan dalam bidang administrasi negara dan institusi kepolisian. Diskresi dalam bidang administrasi negara dikenal dengan istilah freis ermessen. Freis Ermessen berarti salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagi pejabat atau badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undangundang.9 Diskresi adalah kebebasan bertindak atau mengambil keputusan pada pejabat publik yang berwenang berdasarkan pendapat sendiri. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan undang-undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang-undang untuk mengatur segala macam hal dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, diperlukan adanya kebebasan atau diskresi pada pejabat publik dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewajiban yang dibebankan kepadanya.10 Kebijakan yang berdasarkan kewenangan freis ermessen disebut peraturan kebijakan, yaitu peraturan yang semata-mata berkaitan dengan doelmatigheid sehingga tidak terkait dengan unsur rechmatigheid, bahkan dapat menyimpangi rechmatigheid. Kesan seperti ini adalah keliru. Unsur Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum (Semarang: Aneka Ilmu, 2004), h. 84. Steven H Gifs, Law Dictionary (New York: Barron‘s Educational Series, Inc., 1975), h. 61. 8 Erlyn Indarti, Diskresi Polisi (Semarang: Badan Penerbit Undip, 2002), h. 120. 9 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (ttp.: tnp., 2007), h. 177. 10Penyalahgunaan Diskresi pada Kebijakan Mobil Nasional, zuryawanisvandiarzoebir.blogspot.com. 6 7 3 doelmatigheid sebagai landasan kewenangan freis ermessen haruslah suatu tujuan atau manfaat yang dibenarkan hukum.11 Tindakan yang termasuk kategori freis esmessen ini–setiap tindakan administrasi negara di luar wewenang yang telah ditetapkan secara hukum– antara lain: tindakan yang melampaui wewenang (detournement de pouvoir), bahkan dapat melawan hukum (onrechmatigover-heidsdaad), atau penyalahgunaan wewenang (misbruik van recht).12 Dalam institusi POLRI juga dikenal adanya kewenangan diskresi. Diskresi kepolisian merupakan realisasi dari azas kewajiban (salah satu azas yang melandasi penggunaan wewenang Polri dalam menjalankan tugas). Azas kewajiban ini bersifat preventif dan represif non-yustisiil (pemeliharaan ketertiban) dalam menghadapi pencegahan suatu tindak pidana yang akan terjadi. Konsep mengenai diskresi kepolisian terdapat dalam pasal 18 Undang-undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002, yang berbunyi : a. Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. b. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dlam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Rumusan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 ini merupakan kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum Kepolisian (plichtmatigheids beginsel) yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban, dan menjamin keamanan umum. Secara umum, kewenangan ini dikenal sebagai diskresi kepolisian yang keabsahannya didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk tugas kewajiban (pflichtmassiges ermessen). Substansi Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 merupakan konsep kewenangan kepolisian yang baru diperkenalkan walaupun dalam kenyataan sehari-hari selalu digunakan. Oleh karena itu, pemahaman tentang ―diskresi kepolisian‖ dalam pasal 18 ayat (1) harus dikaitkan juga dengan konsekuensi pembinaan profesi yang diatur dalam pasal 1, 32, dan 33 Undang-undang No. 2/2002, akan mampu mengambil tindakan secara tepat dan profesional berdasarkan penilaiannya sendiri dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Rumusan dalam pasal 18 ayat (2) merupakan rambu-rambu bagi pelaksanaan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu selain asas keperluan, tindakan diskresi tetap harus sesuai dan memperhatikan 11 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia(Satu Kajian Teoritik) (Yogyakarta: FH UUI Press, 2004), h. 16. 12 Ibid. 4 peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.13 B. Latar Belakang Munculnya Penerapan Kewenangan Diskresi Jika kita melihat peradilan dalam dinamika masyarakat dari waktu ke waktu, dan kita berhenti pada peralihan abad ke-19 ke abad 20, maka kita akan menyaksikan terjadinya perubahan dari peran pengadilan sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi menjadi pengadilan (untuk) rakyat. Pengadilan yang terisolasi ini dinyatakan sebagai pengadilan sebagai corong undang-undang. Semangat liberal dan legalistik-positivistik memberikan landasan teori bagi peradilan terisolasi dari masyarakat di mana pengadilan berada, yang selanjutnya mengundang asosiasi ke arah kediktatoran pengadilan. Karena ia memutus semata-mata menurut tafsiran hukum terlepas dari dinamika masyarakat. Sehingga, secara sosiologis pengadilan itu menjadi benda asing di tubuh masyarakat.14 Sementara itu, dinamika masyarakat menampakkan era baru seperti perkembangan demokrasi dan bangkitnya kekuatan baru seperti buruh yang kemudian mengubah peta sosial politik secara mendalam. Dan berlalunya era kaum borjuis yang banyak dikaitkan dengan hukum liberal, menjadi hukum (untuk) rakyat. Pada masa peralihan dari orde hukum liberal ke orde dinamika masyarakat, terjadi ―pembangkangan-pembangkangan‖ oleh pengadilan. Aliran legalistik-positivistik digantikan realisme hukum –realisme Skandinavia dan realisme Amerika– dengan tokohnya Benjamin Cardozo dan Oliver Wendell Holmes. Misalnya, hakim membuat putusan yang sebetulnya melampaui peran pengadilan yang hanya menkonkritkan undang-undang.15 Diasumsikan bahwa praktek diskresi ini berkembang pada sistem hukum common law yang menganut aliran realisme hukum. Aliran realisme hukum dikenal dengan konsep yang radikal tentang proses peradilan. Mereka menyatakan bahwa hakim tidak hanya menentukan hukum, akan tetapi membentuk hukum. Hakim harus memilih, menentukan prinsipprinsip yang akan dipakai dan pihak yang dimenangkan.16 Keputusan hakim sering kali mendahului penggunaan prinsipprinsip hukum formal. Keputusan pengadilan dan doktrin hukum selalu dapat dikembangkan untuk menunjang hasil proses hukum. Keputusan pengadilan dibuat berdasarkan konsepsi-konsepsi hakim yang bersangkutan tentang keadilan dan dirasionalisasikan dalam pendapat tertulis. Ahli-ahli hukum dari aliran ini menaruh perhatian yang sangat 13 Kewenangan Diskresi Kepolisian dan Pertanggungjawabannya secara Hukum. www.contohskripsitesis.com diakses pada 12 Maret 2011. 14 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, cet. ke-3 (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2008), h. 38. 15 Ibid., h. 39. 16 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 44. 5 besar tentang keadilan walaupun mereka berpendapat secara ilmiah tidak dapat ditentukan apa yang dinamakan hukum yang adil.17 Adapun dalam sistem hukum civil law, diskresi ini muncul sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan dalam penerapan azas legalitas. Bagi negara yang bersifat welfare state, azas legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani kepentingan masyarakat, yang berkembang pesat sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pertimbangan lainnya adalah adanya realitas bahwa suatu kebijakan atau peraturan tidak mungkin mampu merespons banyak aspek dan kepentingan semua pihak sebagai akibat adanya keterbatasan prediksi para aktor atau stakeholders dalam proses perumusan suatu kebijakan atau peraturan.18 Indonesia adalah jajahan Belanda dan mewarisi sistem hukumnya. Di sisi lain, kita tidak bisa terlepas dari pengaruh global sistem hukum yang ada di dunia. Indonesia dikatakan tidak mutlak lagi menganut sistem hukum civil law tapi bagi Indonesia berjalan juga dengan dasar-dasar lain yang mewarnai sistem hukumnya.19 Kelaziman di Indonesia, hakim yang satu memakai undang-undang sebagai dasar keputusannya, hakim yang lain memakai ―rasa‖ sebagai dasar keputusannya, yang lain memakai hukum adat sebagai dasar keputusannya, dan ada lagi yang mendasarkannya kepada yurisprudensi. Hal tersebut di atas mengingat Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 35 tahun 1999 perubahan dari Undang-undang No. 14 tahun 1970 secara jelas menyatakan bahwa hakim dan juga semua penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai yang hidup dalam masyarakat. Ini memberi peluang kepada hakim di Indonesia untuk memperbaiki citra miring terhadap sistem hukum yang berkembang di Indonesia.20 Menurut Sabian Utsman, sistem hukum Indonesia sekarang lebih didominasi oleh aliran legal realism dengan cara dan karakteristik budaya bangsa Indonesia. Dengan tidak mengabaikan kenyataan saat ini dengan beberapa perundang-undangan, maka Indonesia sesungguhnya lebih dekat dengan sistem hukum common law. Alasannya, karena masyarakat Indonesia dan hukum kebiasaan (customary law) tumbuh dan mengakar di masyarakat sehingga menjadi living law yang ada bersama-sama dengan budaya dan agama (terlebih agama Islam). Ini membuat semakin dekatnya kita dengan sistem common law ketimbang sistem hukum roman law.21 C. Diskresi dalam Masalah Hukum Ibid., h. 45. Agus Dwiyanto dkk, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia (Yogyakartaa: Galang Pritika, 2002), h.23 19 Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Resposif, cet. ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 71. 20 Ibid., h. 71-72. 21 Ibid., h. 73. 17 18 6 Pemikiran (mind-set) positif-tekstual kurang lebih hanya akan "mengeja" suatu peraturan, menerapkan undang-undang, dan prosedur. Cara berpikir hukum seperti itu disebut "linier". Memang itu mudah, tetapi dangkal, dan menggunakan kecerdasan rasional semata. Paul Scholten, seorang pemikir hukum Belanda mengatakan ‖hukum itu ada dalam UU, tetapi masih harus ditemukan.‖ Maka menjadi salah sekaligus dangkal bila orang hanya "mengeja" peraturan.22 Perlu untuk melakukan perenungan (contemplation) dan mencari makna lebih dalam dari suatu peraturan. Ini sesuai gagasan Paul Scholten. Apabila "pintu perenungan makna" dibuka, terbentanglah panorama baru di hadapan hakim. Perenungan tidak akan berhenti pada dimensi subyektif, tetapi juga sosial. Hakim tidak hanya mendengarkan dengan telinga subyektif, tetapi juga dengan "telinga sosial‖ dan menggunakan kecerdasan spritual sehingga dapat menyelami kaedah yang merupakan landasan suatu hukum.23 Jika pendefinisian diskresi dikaitkan dengan masalah penetapan hukum tentu saja muaranya kebijaksanaan yang diambil oleh hakim dalam memutuskan perkara di antara para pihak yang bersengketa. Berikut ini berapa contoh perkara hukum yang terkait dengan kewenangan diskresi: a. Keputusan kontroversial Bismar, hukuman pidana bagi pengedar ganja ketika dia menjabat Ketua Pengadilan Tinggi di Medan. Seorang terdakwa yang dituntut jaksa 10 bulan penjara, Bismar melipatgandakannya menjadi 10 tahun. Tuntutan 15 bulan menjadi 15 tahun. Karena itu, dia sangat prihatin dengan keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman hanya 4 tahun penjara kepada ratu ekstasi Zarima. Padahal, Zarima tertangkap membawa 29 ribu pil setan. Apakah hakim tidak mengetahui dan merasakan akibat dari perbuatan Zarima. Jika Bismar yang jadi hakimnya, Zarima layak dihukum mati sebagai shock therapy buat pengedar narkoba.24 b. Kasus Cut Mariana dan Bachtiar Tahir yang oleh Pengadilan Negeri Medan dihukum 10 bulan penjara karena dituduh memperdagangkan 161 kg ganja. Vonis ini kemudian diubah Bismar yang waktu itu menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, menjadi 15 dan 10 tahun penjara. 25 c. Hukuman 7 bulan penjara yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Tanjung Balai terhadap kepala sebuah SMP Negeri di Kisaran, Sumatera Utara, yang dituduh berbuat cabul dengan anak didiknya, diubah Bismar menjadi 3 tahun penjara. Statusnya sebagai pegawai negeri juga dicabut. Bismar sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, dengan menafsirkan kata ‖barang‖ dalam Pasal 378 KUHP yang dituduhkan dilanggar oleh terdakwa bisa berarti ‖jasa‖. Ini dikaitkannya dengan istilah ―bonda‖ (barang) dalam bahasa Tapanuli, yang juga bisa berarti 22 23 Rahardjo, Membedah., h. 20 dan 31. Ibid., h. 20, 56 dan 122. 24 Bismar Siregar, www.ghabo.com 25 Ibid. 7 alat kelamin. Jadi, bila saksi menyerahkan kehormatannya kepada terdakwa sama dengan menyerahkan ―bonda‖, ujar Bismar berdalih.26 Penerapan kewenangan diskresi dalam instansi Kepolisian RI dapat kita contohkan dengan memberikan diskresi kepada anak-anak yang mengonsumsi narkoba. Penyebutan anak pengguna narkoba sebagai tersangka tidak (kurang) tepat, dan lebih baik diganti dengan istilah korban. Anak-anak korban narkoba ini dikembalikan kepada orang tuanya untuk selajutnya direhabilitasi. Orang tua mengambil peran penting dalam membentengi anak dari pengaruh buruk perkembangan zaman khususnya dari narkoba sangat penting. Orang tua harus lebih komunikatif dengan anak bisa memahami dan mengikuti setiap perkembangan anak. Contoh penerapan kewenangan diskresi dalam bidang administrasi pemerintahan adalah surat edaran, juklak, dan juknis yang dikeluarkan oleh lembaga administrasi negara.27 D. Tolok Ukur Pemberlakuan Diskresi Dikatakan bahwa untuk mengatur hal-hal yang lebih rinci dari pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang, hakim, pelaksana administrasi negara, juga kepolisian diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapat sendiri. Namun tidak berarti tidak ada rambu-rambu atau koridor hukum yang membatasinya. Menurut Muchsan, pembatasan penggunaan diskresi adalah (1) Tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaedah hukum positif); (2) Ditujukan untuk kepentingan umum. Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur diskresi adalah: a. Tindakan itu untuk kepentingan publik b. Tindakan itu dimungkinkan oleh hukum c. Tindakan itu diambil untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dianggap krusial. d. Tindakan ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan maupun secara hukum.28 Lebih lanjut, Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa pembuatan keputusan pemerintah yang dibuat oleh pejabat publik terikat kepada 3 (tiga) asas hukum, yaitu : a. Asas yuridikitas (rechtsmatigheid), artinya keputusan pemerintah tidak boleh melanggar hukum; b. Asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan pemerintah harus diambil berdasarkan suatu ketentuan perundang-undangan; c. Asas diskresi (freies ermessen), artinya pejabat publik tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturannya. Sehingga diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri asal tidak melanggar asas yuridikitas dan asas legalitas tersebut di atas. Pendapat pribadinya tersebut tetap harus merupakan 26 Bismar, Pendekar Hukum Jalan Lurus, www.tokohindonesia.com 27 28 Bagir Manan, Hukum., h. 15. Ridwan HR, Hukum, h. 178. 8 pengejawantahan undang-undang. Selanjutnya, asas moralitas dan rasa keadilan masyarakat seharusnya tetap menjiwai kewenangan diskresi tersebut.29 Penerapan kewenangan diskresi ini berdasarkan demi kepentingan umum. Secara hukum mungkin ia melanggar, tetapi secara asas ia tidak melanggar kepentingan umum dan hal ini merupakan instant decision (tanpa rencana) dan itu bukan pelanggaran tindak pidana.30 Satjipto Rahardjo menyatakan seorang pejabat publik tidak melaksanakan peraturan tertulis secara ―hitam putih‖, melainkan selalu bertanya, apakah yang dilakukannya sudah baik untuk masyarakat. Penegak hukum bukan mesin otomat undang-undang dan prosedur. Tetapi selalu dihantui keinginan untuk memberikan keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the people). Sehingga pengadilan menjadi pengadilan yang murni dan memiliki nurani (court with conscience). Dengan kata lain ketika memutuskan suatu perkara selain menggunakan logika peraturan, hakim juga mempertimbangkan logika kepatutan sosial (social reasonableness), dan logika keadilan.31 Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat digarisbawahi bahwa tolok ukur kewenangan pemberlakuan diskresi tersebut: 1) Tidak bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaedah hukum positif). 2) Ditujukan untuk kepentingan umum. 3) Tindakan itu diambil untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dianggap krusial. 4) Tindakan ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan maupun secara hukum. 5) Asas moralitas. 6) Rasa keadilan yang berkembang di tengah masyarakat. E. Penyimpangan Kewenangan Diskresi Diskresi ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, bersifat positif apabila diterapkan pada konteks masyarakat yang dinamis akan sangat membantu untuk melakukan berbagai penyesuaian. Diharapkan peraturan yang ada tetap mampu menjawab tuntutan aspirasi dan dinamika masyarakat yang berkembang. Namun di sisi lain, ia bisa menjadi bumerang bagi hakim. Karena kewenangan ini sangat terkait dengan subjektifitas dan kebebasan hakim sehingga rentan pada penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang. Hakim dimungkinkan memutuskan suatu perkara dengan tidak memenuhi rasa keadilan dan kemudian mereka berlindung di belakang kewenangan diskresi yang dimilikinya. Luasnya diskresi membuka peluang untuk penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran. Hal ini jelas perlu diantisipasi dengan pengaturan yang Ibid. Toni Ariadi, Kepolisian dalam Perspektif Penegakan Hukum, polair-riau.com. 31 Rahardjo, Membedah., h. 32, 123, dan 124. 29 30 9 lebih rinci, limitatif, dan memiliki tolok ukur yang obyektif untuk menilai bagaimana aparat penegak hukum dan hakim harus menjalankan tugas dan wewenangnya. Kelemahannya adalah selama ini diskresi aparat penegak hukum dan hakim masih sangat besar dan belum disertai tolok ukur yang obyektif dalam pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam diskresi yang luas dan subyektif bagi penyelidik/penyidik/penuntut/hakim untuk mengartikan ―bukti yang cukup, ada kekhawatiran tersangka/terdakwa melarikan diri, atau menghilangkan alat bukti‖ sebagai dasar penahanan tersangka atau terdakwa. Selain itu, masalah diskresi ini pun dapat dilihat dalam aturan MA, di mana tidak ada batas waktu yang jelas bagi hakim agung untuk menyelesaikan suatu perkara. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu pembatasan atas penggunaan diskresi bagi aparat penegak hukum dan hakim. Selain itu, untuk menutup peluang penyalahgunaan wewenang. Jadi, pengaturan tentang diskresi yang teknis, baik itu standard operation procedure (SOP), buku pedoman, prosedur tetap, atau istilah lainnya penting sebagai dasar untuk menilai performance dan perilaku aparat penegak hukum dan hakim.32 Telah disinggung sebelumnya, kewenangan diskresi ini juga terdapat pada lembaga adminstrasi negara maupun institusi kepolisian negara. Sehingga penyelewengan penggunaan kewenangan diskresi ini terjadi pada lini ini. Seperti kasus proyek mobil nasional yang dicanangkan di masa rezim orde baru. Dengan dalih untuk memajukan industri otomotif di Indonesia agar setaraf dengan negara maju, Soeharto sebagai seorang pejabat publik telah dengan sengaja melakukan pelanggaran beberapa asas hukum yang seharusnya dipedomani. Sekalipun kebijakan yang dibuatnya dikategorikan ke dalam suatu bentuk diskresi, yaitu: a. Keputusan pemerintah untuk memberikan keistimewan pembebasan pajak kepada PT. Timor Putra Nasional telah melanggar asas legalitas terhadap Undang-undang Perpajakan yang seharusnya dikenakan secara sama pada setiap pengusaha; b. Saat diberlakukan keputusan pemerintah tersebut, ada reaksi pasar yang negatif baik dalam maupun luar negeri. Tetapi pemerintah tetap memaksakan kebijakannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan reaksi tersebut maka legitimasi keputusan pemerintah sangat kurang dan oleh karenanya tidak layak untuk tetap dipertahankan; c. Telah dilanggarnya prinsip rasa keadilan masyarakat yang seharusnya diperhatikan dan dijunjung tinggi oleh pembuat kebijakan. Masyarakat Indonesia mengetahui bahwa kebijakan yang dibuat oleh Soeharto adalah upaya memperkaya diri sendiri, keluarga, atau kroni-kroninya. Terdapat istilah-istilah yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang ini seperti discretionery corruption: koprupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun nampaknya bersifat sah.33 caplang.wordpress.com. Hartiwiningsih, ―Perilaku Menyimpang Birokrasi serta Upaya Pertanggungjawabannya,‖ dalam Ahmad Gunaryo (ed), Hukum dan Birokrasi Kekuasaan di Indonesia (Semarang: WRI, 2001), h. 324. 32 33 10 Salah satu kasus terkait adalah perkara korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran. Pusaran kasus ini adalah Radiogram Depdagri yang ditandatangani Dirjen Otonomi Daerah Oentarto Sindung Mawardi. Dalam sidang, Emin Adi Muhaimin dari Bappenas menegaskan, kedudukan Radiogram itu lebih rendah dari Keppres pengadaan barang dan jasa. Karena itu, Radiogram tidak boleh bertentangan dengan Keppres tersebut. Denny Indrayana, ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa penyelenggara negara berwenang mengeluarkan diskresi atau kebijakan yang menyimpang dari peraturan dalam kondisi tertentu. Misalnya dalam keadaan darurat atau dalam keadaan mendesak. Sayang, diskresi yang dibuat kerap hanya menguntungkan penguasa dan kronikroninya. Diskresi semacam itu harus diproses melalui hukum pidana.34 Selain memenuhi unsur ‗menguntungkan‘, diskresi jenis ini juga masuk kualifikasi unsur melawan hukum. Biasanya diskresi yang dihasilkan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Misalnya Peraturan Pemerintah (PP) 37/2007 tentang insentif DPR. PP tersebut bertentangan dengan UU No. 10/2004. Dalam UU 10/2004 peraturan perundang-undangan dilarang untuk berlaku surut. Sementara PP malah melegalkan pemberian insentif secara surut. Hal ini merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan.35 Dalam institusi kepolisian negara, kita juga sering mendengar dan menyaksikan tindakan polisi yang dianggap ―menyimpang‖ ketika menangani tindak kejahatan di tengah-tengah masyarakat. Dan ketika ditanya wartawan, mereka lalu berlindung di bawah ―payung‖ diskresi. Misalnya penembakan Nia Sari. Banyak pihak mengecam keras aksi anggota Satuan Intelijen Keamanan Kepolisian Resor Bogor, Brigadir (Pol) Suwandi, yang menembak mati seorang anak perempuan berusia 15 tahun, Nia Sari, di bagian kepalanya. Jenazah Nia, ditemukan di belakang Kantor Desa Tengah, Cibinong, Bogor. Tidak hanya itu, kronologis versi Polres Bogor soal kejadian itu pun dinilai mengada-ada dan sekadar menjadi alibi yang sengaja dibuat untuk melindungi pelaku. Peristiwa seperti itu menunjukkan adanya penyalahgunaan serius kewenangan diskresi yang dimiliki polisi.36 F. Diskresi dalam Wacana Hukum Islam Hukum Islam mengenal adanya istilah ijtihâd (proses penggalian hukum Islam).37 Ijtihâd ini dilakukan oleh seseorang yang dikategorikan sebagai mujtahîd (ahli hukum Islam) dalam menjawab problematika hukum Islam yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Proses kreatif ini dapat dianalogikan dengan proses seorang hakim dalam tugasnya dalam memutuskan perkara hukum. 34 www.kompas.com, ‖Pelaku Korupsi Sering Berlindung di balik Kebijakan.‖diakses pada 23 Februari 2011. 35 Ibid 36 Penembakan Nia Sari, Polisi Salah Gunakan Kewenangan Diskresi, 64.203.71.11/kompascetak/0708/31/Politikhukum/3800815 37 Ijtihâd adalah proses pengerahan segenap kemampuan (oleh seorang mujtahîd) dalam penggalian hukum Islam dari al-Qur`an dan Sunnah 11 Metode ijtihâd memungkinkan adanya kasus-kasus yang diputuskan dengan diskresi. Ini adalah sebuah indikasi awal bahwa para mujtahîd tidak terpaku begitu saja terhadap ayat al-Qur`an dan hadis nabi secara literal. Tetapi mereka juga mempertimbangkan azas-azas, maksud, dan tujuan di balik teks nash tersebut. Sehingga ketika menetapkan suatu hukum, boleh jadi mereka ―keluar‖ dari ketentuan yang secara eksplisit terdapat dalam alQur`an dan Sunah. Pada dasarnya, ijtihâd itu dilakukan oleh para ulama mujtahîd berlandaskan maqâsid asy-syarî’ah; yaitu memelihara agama, jiwa, harta, kehormatan, dan keturunan pada tataran darūrī, hajjī, dan tahsīnī. Diskresi dalam wacana hukum Islam menurut penilaian penulis bukan saja dipraktekkan oleh para mujtahîd di era keemasan ilmu-ilmu keislaman; di masa imam mazhab yang empat dan kemudian diteruskan oleh para pengikut mereka. Tapi jauh sebelumnya pada masa tabi‘in dan sahabat. Bahkan nabi pun selaku seorang yang bertugas menyampaikan wahyu Allah berupa alQur`an kepada umatnya pernah memaknai suatu hukum berbeda dengan yang dijelaskan dalam al-Qur`an.38 Ada beberapa metode ijtihâd yang dapat ditempuh oleh para mujtahîd dalam proses penggalian hukum Islam. Terkait dengan bahasan tentang diskresi hukum, maka yang akan disinggung berikut dibatasi pada metode ijtihâd yang memungkinkan terjadinya diskresi hukum. a. Istihsân Istihsân adalah beralih dari penggunaan suatu qiyâs kepada qiyâs lain dari padanya (qiyâs pertama). Dalam hal ini mujtahîd tidak menggunakan qiyâs zhâhir dalam memutuskan permasalahan hukum yang dihadapinya tapi beralih menggunakan qiyâs khâfî. Karena menurut pertimbangannya cara itulah yang paling tepat.39 Dalam istihsân ini, seorang mujtahîd tidak menggunakan ketentuan yang telah secara jelas yang terdapat dalam alQur`an dan atau hadis. Tapi ia beralih menggunakan ketentuan lain yang dianggap lebih kuat. Berikut ini beberapa contoh kasus penetapan hukum dengan menggunakan istihsân: 1) Sanksi hukum terhadap pencuri. Menurut ketentuan umum berdasarkan ketentuan dalam alQur`an, sanksi bagi orang yang mencuri adalah potong. Jika telah memenuhi ketentuan pemberlakuan hukuman potong tangan, maka diberlakukanlah hukuman potong tangan. Namun bila pencurian tersebut dilakukan pada masa paceklik; kelaparan dan dilakukan dalam keadaan terpaksa untuk mempertahankan hidup, maka hukum potong tangan yang bersifat umum itu tidak diberlakukan. Hal ini karena dalam kasus ini berlaku hukum khusus. Peralihan dari hukum umum kepada hukum khusus ini dalam ilmu ushul fiqh disebut dengan Dalam pembahasan kedudukan hadis Rasulullah terhadap al-Qur`an; salah satu hadis nabi adalah menetapkan hukum baru yang belum ditegaskan secara eksplisit dalam al-Qur`an. Ini sebuah petunjuk awal dimungkinkannya Rasulullah pernah melakukan diskresi hukum. Namun karena masih debatable di kalangan para ulama sehingga penulis tidak membahasnya lebih lanjut. 39 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 304-308. 38 12 istihsân. Praktek ini pernah dicontohkan oleh Umar ibn Khattâb di masa pemerintahannya.40 2) Orang yang makan dan minum karena lupa ketika ia sedang berpuasa Ibadah puasa pada hakikatnya adalah menahan makan, minum, dan segala hal yang membatalkannya mulai terbit fajar hingga terbenam matahari. Maka ibadah puasa seseorang itu batal ketika ia makan minum sedang berpuasa. Namun hukum itu dikecualikan oleh hadis nabi yang menyatakan: Siapa yang makan dan minum karena lupa tidak batal puasanya. Karena hal itu merupakan rizki yang diturunkan Allah kepadanya. (HR. at-Tirmizî).41 3) Dokter melihat aurat pasien wanita pada saat pemeriksaan kesehatan Secara umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tetapi dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka pakaiannya untuk dilakukan pemeriksaan dan pendiagnosaan penyakitnya. Berdasarkan pertimbangan kemashlahatan orang tersebut, maka menurut kaedah istihsân seorang dokter laki-laki diperbolehkan melihat aurat pasiennya yang perempuan.42 b. Maslahah Mursalah Maslahah mursalah adalah apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara‘ dalam menetapkan hukum; namun tidak ada petunjuk syara‘ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syara‘ yang menolaknya.43 Berdasarkan metode maslahah mursalah ini dimungkinkan terjadinya suatu hukum yang telah digariskan secara jelas oleh al-Qur`an dan atau hadis kemudian ―diabaikan‖ dan beralih mengambil ketentuan hukum lain yang sebenarnya lebih sesuai dengan kemaslahat umum. Berikut ini diuraikan beberapa kasus diskresi hukum yang terjadi pada metode maslahah mursalah: 1) Memerangi mâni’ az-zakâh pada masa pemerintahan Abū Bakar asSiddîq. Kewajiban membayar zakat merupakan salah satu kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap muslim yang mampu dengan syaratsyarat yang telah ditentukan. Kewajiban ini merupakan salah satu ajaran dasar dalam Islam, sebagai rukun Islam yang ketiga. Setelah Rasulullah wafat, pada masa pemerintahan Abū Bakar as-Siddîq, sebagian masyarakat Islam enggan mengeluarkan kewajiban ini. Mereka menyangka zakat semacam ―upeti‖ kepada Rasulullah. Dan setelah beliau wafat, maka gugurlah kewajiban tersebut. Abū Bakar dengan pertimbangan untuk kemaslahatan umat, kemudian memerintahkan untuk memerangi mereka. 4) Tidak memberikan hak zakat untuk para muallaf pada masa Umar ibn Khattâb Ibid., h. 240, 309, 310, dan 312. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 106. 42 Ibid., h. 107. 43 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 332. 40 41 13 Dalam QS. at-Taubah [9]: 60 ditegaskan bahwa salah satu asnâf (kelompok) yang berhak atas harta zakat adalah para muallaf (mereka yang baru masuk Islam). Pada masa pemerintahannya, `Umar tidak mengeluarkan bagian para muallaf ini. Menurut `Umar, kondisi umat Islam telah kuat sehingga tidak perlu lagi memberikan reward kepada orang yang baru masuk Islam melalui harta zakat. Hal ini merupakan ujian kepada para muallaf atas keyakinannya untuk masuk Islam-masuk Islam bukan karena iming-iming materi. 5) Penanganan onta-onta yang tersesat pada masa `Usmân ibn `Affân Nabi telah memberikan petunjuk dalam menangani onta yang tersesat; terpisah dari pemiliknya. Di masa Nabi, onta-onta tersebut dibiarkan lepas untuk mencari makan sendiri dan tidak boleh ditangkap. Kebijakan ini lalu dirobah oleh khalifah `Usmân ibn `Affân. Pada masa pemerintahan khalifah `Usmân ibn `Affân, keadaan masyarakat telah mulai pengalami pergeseran. Di tengah-tengah masyarakat mulai banyak yang kurang baik akhlaknya dan tangan jahil yang suka mengambil milik orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan agama. Dengan ijtihâdnya, `Usmân menetapkan bahwa onta yang tersesat itu harus ditangkap lalu dijual. Kemudian hasil penjualannya akan diserahkan kepada pemilik onta yang sah nantinya. Ketentuan ini diberlakukan `Usmân berdasarkan pertimbangan kalau onta tersebut tidak ditangkap—dibiarkan lepas mencari makan sendiri, maka akan dicuri orang dan hilanglah hak pemiliknya. Sedang kalau onta tersebut dijual, hak si pemilik akan terpelihara.44 c. Sad az-Zarî`ah Sad az-zarî`ah menutup jalan terjadinya kerusakan. Dasar pegangan para ulama dalam penggunaan sad az-Zarî`ah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi benturan antara maslahah dan mafsadah. Jika faktor maslahah-nya yang dominan maka perbuatan itu boleh dilakukan. Namun jika sebaliknya; mafsadah-nya yang dominan maka perbuatan itu harus ditinggalkan. Dan jika sama kuat antara keduanya maka untuk ihtiyât diambil. Prinsip yang berlaku, ‖dar’u al-mafâsid muqaddam `alâ jalb almasâlih‖. Dalam metode ijtihâd ini akan kita lihat permasalahan yang pada dasarnya dibolehkan dalam syari‘at Islam. Namun kemudian dipalingkan dari ketentuan dasar yang memperbolehkan permasalahan tersebut karena ternyata terdapat ke-mafsadah-an besar yang akan terjadi di baliknya. Di sini letak diskresi dalam metode ijtihâd ini. Berikut ini dipaparkan beberapa contoh: 1) Pernikahan Tahlîl Syari‘at Islam pada dasarnya menganjurkan seseorang untuk menikah. Banyak sekali ayat al-Qur`an dan teks hadis yang menegaskan hal tersebut. Ditinjau dari segi motivasi melakukan sesuatu, maka suatu pekerjaan yang awalnya dianjurkan oleh syara‘ menjadi terlarang ketika 44 Ibid., h. 240-241. 14 dilakukan berdasarkan motivasi yang tidak benar seperti kasus nikah tahlîl. Nikah tahlîl adalah pernikahan ―bohong-bohongan‖ seorang lakilaki dengan seorang janda yang telah bercerai talak tiga dengan suami sebelumnya. Ini adalah sebagai syarat bagi sang janda untuk menikah kembali dengan mantan suaminya yang telah menjatuhkan talak tiga tersebut.45 2) Larangan laki-laki muslim menikahi wanita ahl al-kitâb Al-Qur`an menyatakan tentang kebolehan seorang laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahl al-kitâb. Namun para ulama termasuk di dalamnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) lalu melarang (mengharamkan) bentuk pernikahan tersebut. Pertimbangan pengharaman ini adalah sad az-Zarî`ah; dalam kondisi masyarakat sekarang ini dikhawatirkan seorang pria muslim dengan rayuan dan pengaruh istrinya dapat saja melakukan konversi agama. Tentu saja hal ini kontra-produktif dengan alasan pembolehan awal bentuk pernikahan ini yakni; dalam rangka dakwah islamiyah untuk mengajak istri yang ahl kitâb untuk memeluk agama Islam.46 Simpulan Diskresi merupakan kewenangan mencakup kewenangan yang bersifat merdeka untuk mengambil keputusan yang tepat/ sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan. Diskresi tidak diperbolehkan begitu saja tanpa ada ketentuan yang mengikat dan harus ditaati seorang hakim. Pijakan dasar diperbolehkannya diskresi adalah penegakan keadilan yang tidak hanya bersifat procedural, akan tetapi juga keadilan substantif. Ijtihâd sebagai metode dalam menemukan hukum Islam sangat memungkinkan dan membuka peluang adanya diskresi. Hal ini karena tujuan hukum Islam merupakan penegakkan mashlahah. Mujtahid harus mempertimbangkan azas-azas, maksud, dan tujuan di balik teks nash. Sehingga ketika menetapkan suatu hukum, boleh jadi mereka ―keluar‖ dari ketentuan yang secara eksplisit terdapat dalam al-Qur`an dan sunah. Pada dasarnya, ijtihâd itu dilakukan oleh para ulama mujtahîd berlandaskan maqâsid asy-syarî`ah. Metode-metode ijtihâd yang memungkinkan terjadinya diskresi hukum antara lain: istihsân, maslahah mursalah, dan sad az-Zarî`ah. Daftar Pustaka Agus Dwiyanto, dkk, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakartaa: Galang Pritika, 2002. 45 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, h. 169. Ibid. 46 15 Ahmad Gunaryo (ed), Hukum dan Birokrasi Kekuasaan di Indonesia, Semarang: WRI, tt. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001. Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik), Yogyakarta: FH UUI Press, 2004. Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987. Erlyn Indarti, Diskresi Polisi, Semarang: Badan Penerbit Undip, 2002. Gifs, Steven H, Law Dictionary, New York: Barron‘s Educational Series, Inc., 1975. Jur A. Hamzah, Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, di Denpasar, 14-18 Juli 2003. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Neufeldt [ed], Webster New World, USA: Macmillan, tt. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, ttp.: tnp., tt. Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Resposif, cet. ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, cet. ke-3, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2008. Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006. ----------, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: CV. Rajawali, 1983. Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Semarang: Aneka Ilmu, 2004. Sumber dari Internet: Kewenangan Diskresi Kepolisian dan Pertanggungjawabannya secara Hukum. www.contohskripsitesis.com diakses pada 12 Maret 2011. Bismar Siregar, www.ghabo.com, diakses pada 21 Februari 2011 Bismar, Pendekar Hukum Jalan Lurus, www.tokohindonesia.com diakses pada 23 Maret 2011. www.kompas.com, ‖Pelaku Korupsi Sering Berlindung di balik Kebijakan.‖diakses pada 23 Februari 2011. 16