iii. kerangka pemikiran teoritis

advertisement
37
III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
3.1.
Usaha Kecil Dan Kebutuhan Kredit
Di Indonesia usaha mikro dan kecil menjadi penopang utama kegiatan
ekonomi, terutama dilihat dari kontribusi dalam hal penyerapan tenaga kerja dan
jumlah unit usaha. Kontribusi usaha mikro dan kecil (UMK) dalam penyerapan
tenaga kerja mencapai 94.59 persen dari seluruh pasar tenaga kerja di Indonesia,
sedangkan kontribusi usaha mikro dan kecil (UMK) dalam hal jumlah unit usaha
di semua sektor ekonomi mencapai 99.91 persen dari total unit usaha di Indonesia
(Kemenkop dan UKM, 2009). Secara umum usaha mikro, kecil dan menengah
memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian, kondisi yang hampir
sama juga terdapat di negara-negara lain bahkan di negara maju sekalipun.
Negara-negara maju sering mengatur pola kemitraan tertentu melalui
undang-undang anti-trust, untuk menghambat praktek monopoli. Di Amerika
Serikat jumlah perusahan berbentuk sole proprietorship mencapai 73.70 persen
atau sekitar 14.78 juta unit usaha, perusahaan berbentuk corporation mencapai
18.50 persen atau 3.72 juta unit, dan perusahaan berbentuk partnership mencapai
9.75 persen atau sekitar 1.55 juta unit (Hyman, 1997). Disini terlihat di Amerika
Serikat jumlah perusahaan perorangan (sole proprietorship), yang identik dengan
perusahan skala kecil juga merupakan mayoritas usaha dan menjadi penopang
struktur usaha yang lebih besar diatasnya.
Berdasarkan aspek kepemilikan usaha dan legal bisnis, menurut Hyman
(1997), terdapat beberapa bentuk perusahaan bisnis, yaitu: (1) sole proprietorship
adalah usaha yang dimiliki dan dilakukan oleh perorangan, serta bertanggung
jawab atas hutang bisnis, usaha ini merupakan bentuk struktur bisnis legal yang
38
paling dasar dan sederhana, (2) corporation adalah bisnis legal yang didirikan
berdasarkan undang-undang negara, dimana ada pemisahan antara kepemilikan
pribadi dan kepemilikan perusahaan, korporasi merupakan produk hukum
perusahaan, dan ada aturan yang menyeimbangkan kepentingan manajemen yang
mengoperasikan perusahaan, kreditur, pemegang saham, dan buruh yang
menyumbangkan tenaga, dan (3) partnership adalah bisnis yang dimiliki oleh dua
atau lebih, dimana ada pengaturan entitas dan / atau individu yang sepakat untuk
bekerja sama untuk memajukan kepentingan mereka. Kemitraan ini terbentuk
antara satu atau lebih bisnis di mana mitra (pemilik) bekerja untuk mencapai dan
berbagi keuntungan atau kerugian.
Perilaku ekonomi dari usaha kecil sebagai perusahaan (firm) memiliki
perbedaan dengan perilaku ekonomi dari rumahtangga (household). Perusahaan
adalah organisasi ekonomi yang bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan
(profit) dengan menggunakan sejumlah sumberdaya yang dikuasainya. Sedangkan
pada rumahtangga tujuan yang hendak dicapai adalah untuk memaksimumkan
kegunaan (utility) dengan bertindak rasional dalam mengalokasikan modal dan
waktu rumahtangga, dan menggunakan pendapatan untuk konsumsi barang dan
jasa (Becker, 1965; Evenson, 1976; Kusnadi, 2005; Fariyanti, 2008).
Pelaku usaha kecil sebagai produsen dengan asumsi dasar fungsi produksi
(Henderson dan Quandt, 1980), memiliki perilaku ekonomi lebih didasarkan pada
usaha untuk mencari keuntungan (laba) maksimum, dan untuk memaksimumkan
keluaran serta mengoptimumkan penggunaan faktor produksi. Dalam jangka
pendek, keuntungan merupakan selisih antara nilai keluaran dengan nilai masukan
variabel, sedangkan dalam jangka panjang keuntungan merupakan selisih antara
39
nilai keluaran dengan total biaya masukan. Karena itu menurut Nazar (1980), bagi
usaha kecil semua kegiatan produktif tersebut dilakukannya dengan tujuan untuk
memaksimumkan keuntungan (laba), dengan tergantung pada harga relatif
masukan dan keluaran, dan hubungan teknik dari produksi. Langkah yang
dilakukan oleh produsen ini secara teori dikenal sebagai optimisasi.
Pada tahap awal kegiatan produksi, usaha kecil akan berusaha
memaksimuman produksi dengan kendala anggaran (modal) sehingga dicapai titik
keseimbangan produsen. Selanjutnya apabila usaha kecil ingin melakukan
perluasan usaha (mencapai titik keseimbangan produsen yang lebih tinggi), maka
dibutuhkan tambahan anggaran biaya untuk membeli bahan baku (masukan atau
input). Tambahan anggaran biaya ini bisa didapatkan dengan 2 (dua) cara, yaitu:
(1) dari internal berupa akumulasi keuntungan (laba) yang dapat disisihkan, dan
(2) dari eksternal berupa kredit atau pinjaman (dari lembaga keuangan atau dari
pihak luar lainnya).
3.1.1. Perilaku Ekonomi Usaha Kecil
Asumsi ekonomi berupa maksimisasi keuntungan (laba) sangat sering
dipakai, karena dapat meramalkan perilaku usaha serta mempermudah dalam
analisis yang diperlukan. Untuk kegiatan usaha seperti usaha kecil yang dikelola
langsung pemiliknya, keuntungan masih mendominasi hampir seluruh keputusan
perusahaan (Pindyck dan Rubinfeld, 2001).
Namun demikian dalam jangka
pendek tujuan lain seperti maksimisasi penerimaan untuk mencapai pertumbuhan
pasar, juga sering lebih diprioritaskan oleh pelaku usaha. Hal ini juga didorong
oleh kebutuhan manajerial usaha untuk menjaga aspek likuiditas dan aktivitas
usaha, sebelum pada akhirnya aspek profitabilitas usaha akan dapat dicapai.
40
3.1.1.1. Kegiatan Produksi dan Biaya Produksi
Dalam suatu kegiatan usaha, hubungan antara masukan (input) pada proses
produksi dan keluaran (output) digambarkan oleh fungsi produksi. Suatu fungsi
produksi (production function) menunjukkan keluaran (y) yang dihasilkan oleh
produsen untuk setiap kombinasi masukan (xi) tertentu. Untuk menyederhanakan
diasumsikan ada dua masukan, yaitu tenaga kerja (x1) dan modal (x2), sehingga
fungsi produksi dapat ditulis sebagai:
y = f (x1,x2) ......................................................................................... (01)
Pada tingkat teknologi tertentu kombinasi antara masukan x1 dan x2 ini akan
menghasilkan keluaran (y) yang sama dan menghasilkan informasi yang disebut
isokuan (isoquant). Produsen apabila dimungkinkan oleh garis iso-biaya (isocosts
line), maka akan selalu berusaha mencapai titik keseimbangan produsen (keluaran
atau output) yang lebih tinggi pada isokuan yang lebih tinggi atau dikenal dengan
istilah maksimisasi keluaran dengan kendala biaya. Hal ini secara rasional
dilakukan sebagai upaya untuk mengikuti jalur perluasan usaha (expansion path)
yang secara teknologi dimungkinkan. Namun demikian pada umumnya produsen
akan terkendala oleh modal dari dalam (modal internal) untuk membiayai
masukan (input) produksinya, sehingga memerlukan tambahan modal yang
berasal dari luar.
Dalam kegiatan produksi, kredit sangat berperan sebagai penambah modal
dari luar (eksternal) untuk membiayai masukan produksi sehingga produsen dapat
meningkatkan produksi menjadi lebih tinggi. Masukan produksi yang dibiayai
dengan kredit mempunyai biaya tambahan yang nilai sebesar tingkat bunga kredit.
Dengan adanya kredit maka akan ada tambahan biaya untuk kegiatan produksi,
41
sehingga dapat mempengaruhi komposisi penggunaan input optimum pada jalur
perluasan usaha (expansion path).
Dengan pendekatan konsep biaya produksi, produsen akan menghadapi
fungsi produksi sebagai berikut (Baker, 1968).
y = f (x1, x2 | xf) ................................................................................... (02)
dimana:
y = keluaran; dan f menyatakan fungsi daripada
xi = masukan variabel
xf = masukan lainnya yang dianggap tetap
Berdasarkan fungsi produksi tersebut, persamaan biaya dapat dinyatakan
sebagai berikut:
c = p1x1 + p2x2 + b
............................................................................. (03)
dimana:
c = biaya total yang dikeluarkan
pi = harga per satuan masukan variabel xi
b = total biaya tetap
Apabila saat ini biaya total c diketahui sejumlah modal tertentu, misalnya sebesar
co, maka persamaan biaya menjadi:
co = p1x1 + p2x2 + b
........................................................................... (04)
Berdasarkan persamaan biaya diatas, maka dapat diperoleh persamaan garis isobiaya, yang menggambarkan permintaan masukan variabel x1 dan x2 pada jumlah
modal co tersebut. Persamaan iso-biaya tersebut adalah:
x1 =
co − b p 2
x2 ........................................................................... (05)
p1
p1
42
x2 =
co − b p1
x1 ........................................................................... (06)
p2
p2
Berdasarkan hubungan x1 dan x2 pada sejumlah biaya co, produsen dapat
memaksimalkan keluaran y pada kondisi:
−
p1
dx 2
=
dx1 p 2
dimana –
........................................................................................ (07)
dx 2
menunjukan daya substitusi masukan x1 terhadap masukan x2 dan
dx1
juga merupakan sudut kemiringan garis iso-biaya, yaitu merupakan tempat
kedudukan titik-titik kombinasi penggunaan masukan x1 dan x2 yang dapat
dilakukan dalam batas anggaran yang dimiliki, untuk produksi tertentu (Kuntjoro,
1983). Apabila co meningkat jumlahnya, maka akan diperoleh garis perluasan
usaha (expansion path).
Dalam melakukan kegiatan produksi produsen masih terkendala oleh
modal yang dimilikinya, sehingga penggunaan masukan x1 dan x2 juga terbatas
jumlahnya. Dengan asumsi bahwa pelaku usaha kecil masih dalam tahap daerah
produksi II yang rasional, yaitu produk marjinal masih positif sehingga masih
dapat memperbanyak penggunaan masukan untuk menaikkan produksi, maka
tambahan modal dari luar (eksternal) dapat diperoleh melalui kredit.
Persamaan produksi diatas masih menggunakan masukan produksi yang
tidak dibiayai dengan kredit, sehingga harga masukan yang digunakan adalah
harga pasar. Jika masukan x1 dan x2 diperoleh dari kredit, maka harga masukan
menjadi lebih mahal, karena terbebani biaya kredit. Apabila r1 dan r2 masingmasing adalah biaya marjinal dari modal yang mempengaruhi penggunaan satu
43
satuan masukan x1 dan x2, yaitu tambahan biaya yang dikeluarkan untuk
manambah penggunaan satu satuan masukan x1 dan x2, misalnya tingkat bunga
kredit, maka kesimbangan penggunaan masukan menjadi (Baker, 1968):
−
dx 2
=
dx1
p1 + r1
p2 + r 2
............................................................................... (08)
Apabila kredit digunakan sebagai tambahan modal untuk membiayai
tambahan satu satuan masukan xi yang digunakan, maka harga satu satuan
masukan tersebut juga menjadi lebih tinggi dari harga pasar semula. Hal ini
tergantung pula pada tingkat bunga yang dibebankan pada masing-masing
masukan xi, apakah ada perbedaan tingkat bunga untuk masukan x1 dan x2 ataukah
tidak. Apabila ada perbedaan tingkat bunga untuk pinjaman xi sedangkan biayabiaya lainnya tetap, maka akan terjadi perubahan kombinasi penggunaan masukan
x1 dan x2.
Jika diasumsikan hanya masukan x1 yang dibiayai dari kredit, maka harga
satu satuan masukan x1 menjadi p1+r
dimana r adalah biaya kredit yang
dibebankan tiap satu satuan masukan xi yang dibiayai. Sehingga persamaan
keseimbangan penggunaan input yang optimal akan mengalami perubahan
menjadi (Kusnadi, 1990):
−
dx 2
<
dx1
p1 + r
p2
................................................................................. (09)
Untuk mengimbangi hal ini, maka produsen harus mengurangi jumlah
penggunaan masukan x1. Apabila jumlah keluaran atau isokuan y0 tertentu, tetap
dipertahankan seperti keadaan semula, maka kebutuhan modal harus ditambah
menjadi c1. Dengan menambah modal menjadi c1, maka akan didapat jalur
perluasan usaha (expansion path) yang baru. Tampak jalur perluasaan usaha yang
44
baru setelah mendapat kredit cenderung lebih banyak menggunakan masukan x2,
seperti tampak pada gambar berikut ini.
Gambar.1 memperlihatkan penggunaan masukan pada kondisi biaya
minimum tanpa adanya biaya kredit diperoleh pada titik A. Sedangkan jalur
perluasan usaha tanpa adanya biaya kredit diperlihatkan oleh garis S1. Apabila
penggunaan masukan x1 dibiayai dari kredit, maka harga masukan x1 meningkat
menjadi lebih mahal sebesar r, sehingga komposisi penggunaan masukan
optimum diperoleh pada titik B, selanjutnya jalur perluasan usaha akan berubah
menjadi garis S2 dengan menggunakan masukan x2 lebih besar dibanding
sebelumnya (Baker, 1968).
45
3.1.1.2. Penggunaan Kredit dan Maksimisasi Keuntungan
Peranan kredit terhadap perekonomian dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu
makro dan mikro. Dari sisi makro peranan kredit merupakan alat kebijakan untuk
pembangunan ekonomi yang antara lain bertujuan mendorong pertumbuhan
ekonomi, pengembangan dunia usaha, dan
menciptakan kesempatan kerja.
Sedangkan dari sisi mikro, kredit berperan banyak sebagai penambah modal dari
luar usaha (modal eksternal), bahkan seringkali kredit dipandang identik dengan
masukan produksi (input). Pada sisi mikro ini pula peranan kredit produksi
terhadap usaha kecil menjadi sangat diperlukan, karena sifatnya yang dinamis dan
digunakan untuk kegiatan usaha yang dapat meningkatkan pendapatan usaha.
Pada prinsipnya peranan kredit bagi kegiatan produksi adalah merupakan
penambah modal, sehingga pengusaha dapat meningkatkan produksinya pada
tingkat yang lebih tinggi. Namun apabila proses produksi dibiayai dengan kredit,
maka harga masukan akan menjadi lebih mahal sebesar biaya kredit (tingkat suku
bunga kredit). Proses ini selanjutnya akan menyebabkan adanya perbedaan harga
masukan, sehingga pengusaha akan mengubah komposisi penggunaan masukan
optimal. Keadaan ini pada akhirnya akan mempengaruhi arah jalur perluasan
usaha (expansion path)yang akan dipilih oleh pengusaha.
Selanjutnya penggunaan masukan dalam proses produksi dengan
memanfaatkan tambahan modal yang berasal dari kredit, akan dapat dilanjutkan
untuk menganalisis tingkat keuntungan melalui fungsi keuntungan. Di dalam
model neo-klasik, diasumsikan bahwa pengusaha berupaya memaksimumkan
keuntungan (π) berdasarkan kondisi biaya produksi tidak melebihi dana yang
dimilikinya (Kuntjoro, 1983). Berdasarkan fungsi produksi pada persamaan (1),
46
dimana y adalah besarnya keluaran yang dihasilkan merupakan fungsi dari
besarnya masukan x1 dan x2 yang digunakan, dan xf ceteris paribus. Apabila
harga per satuan keluaran adalah P0, maka total penerimaan akan menjadi:
P0.f(x1,x2 | xf) ..................................................................................... (10)
sehingga dengan menggunakan persamaan biaya (3)
c = p1x1 + p2x2 + b
kemudian akan didapat fungsi keuntungan (π) sebesar:
π = P0.f(x1,x2 | xf) − p1x1 + p2x2 + b
................................................ (11)
Dengan menggunakan kaidah “first order condition”, maka keuntungan (π)
maksimum dapat ditentukan, yaitu turunan partial dari keuntungan (π) masingmasing terhadap masukan x1 dan x2, sehingga akan diperoleh:
∂π
= P0f1 − p1 = 0
∂x1
Maka ; P0f1 = p1 .............................................................................. (12)
∂π
= P0f2 − p2 = 0
∂x 2
Maka ; P0f2 = p2 ............................................................................... (13)
f1 =
p1
∂y
= PMx1 =
....................................................................... (14)
Po
∂x1
f2 =
p2
∂y
= PMx2 =
....................................................................... (15)
Po
∂x 2
Dalam keadaan keseimbangan akan diperoleh
P0f1 = p1 , dimana P0
adalah harga per satuan keluaran, f1 adalah produk marjinal penggunaan masukan
x1 dan keuntungan (π) maksimum akan tercapai. Atau pada penggunaan masukan
yang optimal, apabila untuk setiap masukan yang dipergunakan diperoleh harga
47
per satuan setiap masukan sama dengan nilai produk marjinal setiap masukan.
Nilai produk marjinal dari suatu masukan (PMxi) menunjukkan tingkat
penambahan penerimaan yang diperoleh pengusaha dengan bertambahnya
penggunaan masukan sebanyak satu satuan (Kuntjoro, 1983).
Jika pengusaha membiayai kegiatan produksi dengan dana dari pinjaman,
maka harga per satuan masukan x1 tersebut akan lebih mahal menjadi p1 (1+λ), di
mana nilai λ adalah biaya per satuan pinjaman. Penggunaan sumber produksi
dengan biaya yang lebih mahal ini akan menyebabkan produk total dan
keuntungan menjadi lebih rendah. Implikasi dari keadaan keseimbangan ini pada
alokasi penggunaan sumber produksi akan berpengaruh pada produk total dan
nilai produk marjinal dari input x1.
Tersedianya kredit produksi dengan tingkat bunga yang rendah (r), dapat
meningkatkan penggunaan masukan x1 menjadi lebih tinggi jika dibandingkan
dengan pinjaman dengan biaya modal sebesar (λ), karena harga p1(1+r) < harga
p1(1+λ). Namun demikian penggunaan masukan x1 dalam kegiatan produksi
masih lebih rendah atau dibawah penggunaan masukan optimal dengan harga
pasar p1(1+0), jika tambahan modal tersebut seluruhnya berasal dari dana sendiri
tanpa menggunakan kredit.
Implikasi dari adanya bunga kredit terhadap harga masukan seringkali kali
kurang diperhitungkan oleh pengambil kebijakan kredit, sehingga diasumsikan
harga masukan adalah sama dengan harga pasar. Sehingga besar kemungkinan
bahwa pengusaha sesungguhnya tidak menggunakan masukan secara optimal,
apabila tingkat bunga untuk memperoleh kredit ternyata fluktuatif dan bervariasi.
Penjelasan mengenai hal ini dipertajam oleh uraian dari Ray (1998), yang
48
menampilkan fungsi produksi dari pengusaha yang mengubah modal kerja (L)
menjadi keluaran (output). Apabila pengusaha memperoleh sejumlah pinjaman
dengan tingkat bunga (i*), maka biaya total pinjaman modal kerja L adalah
L(1+i*). Gambar 2. menunjukkan pemberi pinjaman sebenarnya menginginkan
garis biaya total pinjaman menjadi securam mungkin dengan membuat tingkat
bunga (i) menjadi besar, namun pada saat yang sama pemberi pinjaman tidak
dapat mendorong peminjam menerima tingkat bunga (i) melebihi i*. Pemberi
pinjaman hanya memiliki kekuatan monopoli terbatas secara lokal dan peminjam
akan selalu bisa meminjam dana dari sumber lain setelah tingkat bunga berada
diatas i*. Bagi peminjam akan optimal untuk mendapatkan jumlah pinjaman
(modal kerja) sebesar L*, karena ini akan memberikan keuntungan maksimum
sebesar garis A (perbedaan vertikal tertinggi antara fungsi produksi dan garis
biaya adalah pembentuk keuntungan dari kegiatan produktif), kondisi di mana
nilai produk marjinal sama dengan biaya marjinal pinjaman. Sehingga pada
dasarnya pemberi pinjaman tidak bisa menentukan tingkat bunga (i) begitu tinggi,
karena akan mendorong peminjam mencari pinjaman lain dengan tingkat bunga
(i) yang lebih murah.
Apabila dengan pertimbangan lainnya pemberi kredit melakukan
penjatahan kredit (credit rationing) sehingga memberikan jumlah pinjaman
sebesar <.L* (kurang dari L*) pada tingkat bunga (i*), maka peminjam hanya
akan mendapatkan keuntungan (surplus) sebesar <.A (kurang dari keuntungan
tertinggi pada tingkat bunga i*). Kondisi ini menunjukkan pada tingkat bunga i*,
peminjam tidak mendapatkan jumlah pinjaman yang optimal, sehingga surplus
atau keuntungan maksimal (garis A vertikal) tidak tercapai. Keadaan ini secara
49
tidak langsung dapat mendorong munculnya kredit macet oleh peminjam. Karena
itu penting bagi pemberi kredit atau pengambil kebijakan kredit untuk
memperhatikan jumlah pinjaman yang optimal pada masing-masing tingkat bunga
kredit yang berlaku. Pada daerah produksi rasional di daerah II (penggunaan
masukan efisien dan menguntungkan), penurunan tingkat bunga kredit (i) oleh
pemberi pinjaman akan mendorong terjadinya peningkatan jumlah pinjaman (L)
oleh peminjam.
50
3.1.2. Permintaan Kredit
Agar kegiatan usaha kecil dapat terus berlangsung secara terus menerus
dan mejadi berkembang, maka yang harus diperhatikan dan dijaga oleh pelaku
usaha adalah, (1) likuiditas usaha agar semua kewajiban tunai untuk menjaga
kebutuhan modal kerja dan kebutuhan jangka pendek lainnya dapat terpenuhi, (2)
aktivitas usaha sehingga efektifitas perputaran usaha dalam menghasilkan barang
dan jasa akan selalu terjaga, dan (3) profitabilitas usaha yang merupakan hasil
akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan usaha sehingga membentuk
tambahan modal secara internal. Ketiga hal ini saling berkaitan satu sama lain,
karena itu tingkat likuiditas usaha merupakan langkah awal penting yang harus
diperhatikan.
Kredit sebagai salah satu pembiayaan usaha non-equity capital yang
utama, menurut Kuntjoro (1983) merupakan sumber penting untuk menjaga
likuiditas dan sekaligus merupakan suatu kekayaan (asset) yang dapat dikelola
untuk kegiatan produksi suatu usaha. Makna lain dari kredit bagi kegiatan usaha
adalah kredit merupakan sumber modal dari luar usaha dan sekaligus sebagai
barang ekonomi bagi kegiatan usaha.
Definisi kredit yang berkembang luas telah menyiratkan pengertian bahwa
kredit sangat dibutuhkan oleh semua pengusaha dalam menjalankan aktivitas
usahanya. Aktivitas ini membutuhkan keberadaan lembaga keuangan sebagai
intermediasi antara pihak yang memiliki kelebihan likuiditas dan pihak yang
memiliki kekurangan likuiditas. Peranan lembaga keuangan mikro sebagai
pemberi kredit dan pelaku usaha kecil sebagai penerima kredit, juga menyiratkan
pengertian bahwa kredit merupakan barang ekonomi. Kebutuhan akan kredit oleh
51
pelaku usaha terjadi karena adanya kebutuhan likuiditas eksternal akibat
ketersediaan likuiditas internal yang dimilikinya sendiri tidak mencukupi.
Permintaan kredit dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu tingkat suku
bunga kredit, skala usaha, tingkat upah, pengeluaran untuk riset, proporsi lahan,
tingkat pendidikan, ukuran keluarga, umur kepala keluarga, dan transitory income
(Iqbal, 1981). Faktor-faktor tersebut antara lain menggambarkan, perkembangan
pasar masukan (input), perubahan teknologi, karakteristik keluarga, dan kondisi
sumberdaya yang dimiliki oleh pelaku usaha.
Sedangkan permintaan kredit secara tidak langsung merupakan permintaan
turunan (derived demand). Fungsi permintaan turunan ini dapat dianalisis
berdasarkan dua teori, yaitu (1) kegunaan (utility), teori ini digunakan untuk
menganalisis permintaan kredit dari sisi rumahtangga sebagai konsumen sekaligus
produsen dan (2) fungsi keuntungan (profit function), teori ini digunakan untuk
menganalisis permintaan kredit dari sisi perusahaan (badan usaha) sebagai
produsen yang berusaha memaksimumkan keuntungan (profit). Analisis
permintaan kredit secara tidak langsung ini, mengasumsikan bahwa kredit sebagai
sumber modal bagi kegiatan usaha.
Untuk menganalisis permintaan kredit oleh usaha kecil dapat dilakukan
dengan pendekatan permintaan langsung dan pendekatan permintaan tidak
langsung dengan analisis fungsi keuntungan.
3.1.2.1. Pendekatan Permintaan Langsung
Permintaan terhadap suatu barang untuk masukan kegiatan produksi oleh
usaha kecil ditentukan oleh beberapa faktor yang dapat dirumuskan dalam suatu
52
fungsi permintaan. Secara matematis fungsi permintaan suatu barang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
qdx
= ƒ (xi ) ................................................................................... (16)
dimana:
qdx
xi
= jumlah barang yang diminta
= faktor-faktor yang diduga turut mempengaruhi permintaan barang
tersebut
Teori permintaan menjelaskan tentang karakteristik hubungan antar jumlah
permintaan barang dan harga barang tersebut, dimana terdapat hubungan yang
negatif. Selain itu permintaan terhadap barang ditentukan juga oleh barang lain,
konsumen, dan faktor eksternal lainnya. Dengan demikian permintaan kredit
(sebagai barang) akan ditentukan oleh empat variabel utama, yaitu: (1) kredit itu
sendiri, meliputi tingkat bunga, biaya transaksi, skim kredit, jenis lembaga kredit,
(2) endowments dan karakteristik pelaku usaha (peminjam) antara lain meliputi,
aset yang dimiliki, skala usaha, tingkat pendidikan, jenis kelamin, pengalaman
usaha, (3) pemberi kredit lainnya (kreditor pesaing) antara lain meliputi tingkat
bunga kredit lainnya, jenis skim kredit lainnya, struktur pasar kreditnya, dan (4)
faktor lainnya meliputi jumlah peminjam (debitor), musim, regulasi dari
pemerintah.
Hubungan antara tingkat bunga kredit dan jumlah kredit yang diminta
adalah negatif, artinya semakin tinggi tingkat bunga kredit maka jumlah kredit
yang diminta akan turun. Tingkat bunga kredit ini meliputi tingkat bunga nominal
yaitu bunga yang ditetapkan pemberi kredit, dan tingkat bunga efektif yaitu bunga
yang harus ditanggung oleh peminjam dimana tingkat bunga efektif ini meliputi
tingkat bunga nominal dan biaya peminjaman. Biaya peminjaman ini meliputi
53
biaya transportasi, biaya transaksi lainnya, dan waktu yang diperlukan untuk
pencairan kredit. Selain itu jenis lembaga pemberi pinjaman (kredit) diduga juga
berpengaruh terhadap permintaan akan kredit, dimana lembaga bank umumnya
memberikan kemungkinan plafon kredit yang lebih besar dibandingkan plafon
kredit dari lembaga non bank. Hal ini karena bank umumnya mempunyai skim
kredit yang lebih banyak dengan batas pengambilan kredit yang lebih tinggi pula.
Permintaan akan kredit dipengaruhi pula oleh kekayaan peminjam. Diduga
semakin besar kekayaan yang dimiliki maka akan semakin besar pula permintaan
terhadap kredit, hal ini terkait juga dengan kemampuan peminjam untuk
memenuhi persyaratan jaminan (collateral atau agunan) yang dipersyaratkan oleh
bank. Jumlah aset likuid seperti kendaraan, perhiasan, dan ternak besar, serta
saldo tabungan yang dimiliki peminjam juga menggambarkan kekayaan
peminjam. Tingkat skala usaha juga turut mempengaruhi permintaan kredit,
semakin besar skala usaha maka kebutuhan tambahan modal untuk modal kerja
(pembelian bahan baku dan bahan pendamping) dan investasi juga semakin besar
sehingga berhubungan positif dengan permintaan kredit. Selain itu tingkat
pendidikan dan pengalaman usaha diduga juga berpengaruh terhadap permintaan
akan kredit, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin lama
pengalaman usaha maka permintaan akan kredit akan semakin meningkat.
Sedangkan keberadaan pemberi pinjaman lainnya (jumlah bank dan non
bank, jenis skim kredit) juga mempengaruhi permintaan akan kredit. Banyaknya
jumlah bank dan jenis skim kredit yang ditawarkan akan membuat pasar kredit
menjadi semakin kompetitif, sehingga tingkat bunga kredit diharapkan akan
54
kompetitif pula. Karena itu struktur pasar kredit yang kompetitif akan mendorong
penurunan tingkat bunga kredit di suatu wilayah.
Jumlah peminjam (debitor) juga akan berpengaruh terhadap permintaan
terhadap kredit. Jika jumlah peminjam meningkat yang digambarkan oleh
tingginya jumlah usaha kecil disuatu wilayah, maka kebutuhan akan tambahan
modal usaha juga akan mampu mendorong peningkatan permintaan akan kredit.
Selain itu musim diduga juga turut berpengaruh terhadap permintaan akan kredit,
hal ini terjadi karena pada jenis usaha tertentu yang kebutuhan modal kerja untuk
bahan baku bersifat musiman sehingga kebutuhan kredit juga meningkat pada saat
bahan baku tersedia melimpah dan banyak dibutuhkan oleh pengusaha.
Dengan demikian permintaan terhadap kredit melalui pendekatan langsung
ini secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
Qc
= f (rc, Ic, Sc, Ec) ..................................................................... (17)
dimana:
Qc
= permintaan kredit
rc
= tingkat bunga kredit
Ei
= skim kredit, jenis lembaga pemberi kredit / pinjaman
Ii
= karakteristik peminjam (umur, pendidikan, pengalaman usaha)
Si
= endowments ( skala usaha, aset yang dimiliki, dll)
3.1.2.2. Pendekatan Permintaan Tidak Langsung
Peranan kredit dalam kegiatan produksi dari suatu usaha kecil sebagai
tambahan modal usaha menunjukkan bahwa secara tidak langsung kredit
mempunyai kaitan dalam kegiatan produksi. Kredit akan digunakan untuk
membiayai tambahan penggunaan faktor-faktor produksi (masukan atau input
produksi) dalam rangka mencapai titik keseimbangan produsen yang lebih tinggi
55
sesuai jalur perluasan usaha (expansion path). Oleh karena itu untuk menduga
permintaan terhadap kredit dapat dilakukan dengan pendekatan tidak langsung
(derived approach) melalui fungsi produksi (production function) dan fungsi
keuntungan (profit function). Asumsinya adalah penggunaan kredit dalam fungsi
produksi akan memberikan tambahan likuiditas untuk membiayai pembelian
masukan (input) produksi. Pengusaha memutuskan untuk meningkatkan
produksinya dalam rangka untuk memperbesar omset penjualan baik melalui
peningkatan skala usaha atau dengan meningkatkan perputaran usaha, karena
adanya peluang usaha yang lebih baik pada waktu mendatang. Karena
ketersediaan modal sendiri yang dimiliki usaha kecil relatif terbatas, maka
alternatif pemenuhan modal akan dapat dipenuhi dari sumber kredit. Fungsi
produksi yang menggambarkan hubungan teknis antara masukan dan keluaran
secara matematis dirumuskan seperti pada persamaan (2) sebagai berikut:
y = f (xi | xf)
dimana:
y = keluaran; dan f menyatakan fungsi daripada
xi = masukan variabel
xf = masukan lainnya yang dianggap tetap
Karakteristik fungsi produksi menurut Henderson dan Quandt (1980), adalah : (1)
merupakan fungsi kontinyu (non discrete) atau limit mendekati nol, (2) bernilai
tunggal (single value) yaitu setiap masukan (input) berpasangan dengan keluaran
(output) tertentu, (3) derivasi atau turunan pertama dan kedua bersifat kontinyu,
(4) nilai yang dipakai positif atau y = f (xi), dimana y dan xi > 0, dan (5) fungsi
produksi cembung (convex) terhadap titik nol.
56
Dengan asumsi bahwa pengusaha berusaha memaksimumkan keuntungan,
memaksimumkan keluaran (output), serta optimalisasi penggunaan masukan
produksi, maka keuntungan dalam jangka pendek yaitu merupakan selisih antara
nilai keluaran (total penerimaan) dengan total biaya masukan variabel. Sedangkan
dalam jangka panjang, karena semua masukan dianggap variabel, maka
keuntungan
adalah
nilai
keluaran
dikurangi
biaya
masukan.
Dengan
memanfaatkan persamaan (2) dan persamaan (11), maka fungsi keuntungan juga
dapat dirumuskan secara matematis sebagai berikut :
π = P0 . f ( xi | xf ) – ( ∑ ci . xi + b )
................................................... (18)
dimana :
π = keuntungan jangka pendek suatu perusahaan
P0 = harga keluaran per satuan
ci = harga per satuan masukan variabel x
Berdasarkan kaidah first order condition maka keuntungan maksimum
jangka pendek tercapai pada saat turunan pertama terhadap input xi dari fungsi
produksi sama dengan nol. Sehingga produk marjinal masukan xi sama dengan
harga per satuan xi , dan secara matematis akan di dapat persamaan :
∂f ( xi; xf )
∂π
− ci = 0 .............................................................. (19)
= P0 .
∂xi
∂xi
P0 .
∂f ( xi; xf )
= ci ............................................................................. (20)
∂xi
atau
∂f ( xi; xf )
=
∂xi
ci
.............................................................................. (21)
Po
dari persamaan (21) diketahui bahwa keuntungan maksimum akan tercapai bila
nilai produk marjinal sama dengan rasio harga masukan variabel (ci) dengan harga
57
keluaran (P0). Model persamaan ini secara teori dapat digunakan untuk
menganalisis beberapa bentuk fungsi produksi, dengan asumsi tersendiri.
Kebutuhan tambahan modal bagi kegiatan produksi usaha kecil dapat pula
berasal dari pendapatan bersih usaha dari periode-periode sebelumnya.
Pendapatan bersih usaha ini merupakan sumber cadangan dana (modal) secara
internal sebagai komponen utama pembentukan modal (capital formation) bagi
usaha kecil dalam bentuk tabungan, pembelian dan peningkatan alat-alat produksi,
serta menjadi sumber dana untuk pengeluaran pendidikan dan sosial
kemasyarakatan. Hal ini terjadi karena usaha kecil yang sebagian besar berada di
wilayah perdesaan umumnya belum mampu memisahkan secara tegas
pengeluaran untuk kebutuhan produksi, investasi dan konsumsi (Rachmina,
1994). Pada saat yang bersamaan apabila kebutuhan tersebut harus dipenuhi maka
prioritas lebih condong untuk membiayai pengeluaran pendidikan dan kesehatan
bagi keluarganya, serta pengeluaran untuk kebutuhan sosial kemasyarakatan
(sumbangan kematian, hajatan, pembangunan sarana umum dan tempat ibadah),
yang sebenarnya juga merupakan investasi jangka panjang menguntungkan bagi
pengembangan sumberdaya manusia dan modal sosial di masyarakat.
Bagi usaha kecil tambahan modal usaha yang diperoleh dari kredit akan
menjadi komponen modal usaha untuk menambah pembelian masukan (input)
produksi berupa bahan baku utama dan bahan baku pendamping. Salah satu faktor
yang menentukan dalam jumlah penggunaan masukan produksi adalah harga per
satuan masukan, apabila harga masukan turun maka jumlah masukan yang
digunakan akan bertambah. Selanjutnya penggunaan bahan baku ini dalam proses
produksi akan meningkatan kapasitas produksi atau keluaran (produk atau output)
58
sehingga akan penerimaan usaha (total produk) meningkat pula. Penerimaan
usaha juga akan meningkat apabila harga jual produk meningkat. Pada proses
inilah fungsi produksi, fungsi biaya, dan fungsi penerimaan secara bersama-sama
akan menghasilkan fungsi keuntungan yang merupakan keuntungan bersih usaha
atau surplus usaha (π), yaitu penerimaan usaha setelah dikurangi biaya produksi.
Secara sederhana pembentukan surplus usaha dapat dirumuskan dalam
persamaan sebagai berikut:
πt = TRt-1 – TCt-1 ................................................................................ (22)
dimana :
πt
= surplus usaha pada periode t
TRt-1 = total penerimaan pada periode t sebelumnya
TCt-1 = total biaya produksi pada periode t sebelumnya
Adanya asumsi bahwa pelaku usaha kecil yang pada umumnya masih
belum mampu memisahkan secara tegas antara kebutuhan pribadi dan kebutuhan
usaha kecil, serta asumsi bahwa modal usaha yang dimiliki oleh usaha kecil masih
terbatas, maka tambahan modal dari luar (non equity capital) berupa kredit sangat
diperlukan untuk menciptakan keuntungan usaha (surplus) yang lebih besar.
3.1.2.3. Kondisi Pasar Kredit Mikro dan Kecil
Ada dua macam pasar kredit di perdesaan, yaitu (1) pasar kredit informal
yang sangat fleksibel dan mudah diakses, (2) dan pasar kredit formal
yang
mengikuti mekanis pasar (Syukur et al., 2003). Menurut Ray (1998), masih
adanya tingkat bunga yang tinggi terutama pada di pasar kredit mikro dan kecil
(pasar kredit informal), terjadi karena pemberi pinjaman memiliki kekuatan
monopoli eksklusif atas peminjam, sehingga dapat menetapkan tingkat bunga
59
yang lebih tinggi untuk suatu pinjaman dibanding dengan tingkat bunga pada
kredit komersial lainnya yang lebih kompetitif. Secara empiris ini terjadi karena
pasar kredit ini tersegmentasi dan pihak pemberi pinjaman memiliki “monopoli
lokal’ atas peminjam secara terbatas. Selain itu secara teoritis berkaitan dengan
risiko dalam kredit. Risiko kredit macet di pasar kredit ini terjadi karena
peminjam mungkin macet dalam pembayaran bunga, atau sebagian dan bahkan
seluruh jumlah kredit yang dipinjam. Risiko ini bersumber, (1) dari risiko kredit
macet yang tidak disengaja, seperti: gagal panen, pengangguran, sakit, atau
kematian, sehingga peminjam mungkin tidak memiliki cukup uang saat pinjaman
jatuh tempo, (2) ada risiko kredit macet yang mungkin disengaja secara strategis,
dimana peminjam mengambil uang itu dan lari, atau bersikeras tetap menolak
untuk membayar, terjadi karena hukum tidak kuat atau berfungsi sangat lemah.
Selanjutnya secara sederhana dapat dijelaskan, ada probabilitas p eksogen
dari kegagalan pada setiap dana yang dipinjamkan. Persaingan antara pemberi
pinjaman dalam mengendalikan tingkat bunga kredit ke titik di mana masingmasing pemberi pinjaman, rata-rata memperoleh keuntungan yang diharapkan
sama dengan nol (setara kredit komersial bank formal). Diasumsikan pasar kredit
adalah kompetitif. Misalkan L adalah jumlah total dana yang
dipinjamkan,
sedangkan r adalah tingkat bunga komersial / formal (opportunity cost), dan i
adalah tingkat bunga (kredit mikro dan kecil / informal). Karena hanya sebagian
dari p pinjaman akan dilunasi (tidak terjadi kredit macet), maka keuntungan
pemberi pinjaman yang diharapkan adalah p (1 + i) L - (1 + r) L.
L = jumlah dana yang dipinjamkan (jumlah kredit)
p = probabilitas kredit macet (1 adalah tidak terjadi kredit macet)
r = tingkat bunga kredit komersial / formal (opprtunity cost pemberi
60
pinjaman)
i = tingkat bunga kredit mikro dan kecil / informal
Kondisi laba nol menyiratkan nilai ini harus nol dalam keseimbangan, yaitu,
p(1 + i)L - (1 + r)L = 0
atau
i=
(1 + r )
−1
p
Ketika p = 1, yaitu kondisi tidak ada risiko kredit macet, dimana i = r, tingkat
bunga komersial (formal) atau (i) sama dengan tingkat bunga kredit mikro dan
kecil (formal) atau (r). Namun, jika p < 1, maka i > r, yaitu tingkat bunga kredit
mikro dan kecil akan meningkat lebih tinggi untuk menutupi terjadinya risiko
kredit macet (default). Contoh, apabila tingkat bunga kredit komersial / formal (r)
sebesar 10 persen per tahun dan peluang terjadinya kredit macet sebesar 20
persen, sehingga p = 0.8. Maka akan menghasilkan nilai tingkat bunga (i) kredit
mikro dan kecil / informal sebesar 37.5 persen. Jelaslah, pada kondisi pasar kredit
yang kompetitif, maka tingkat bunga kredit mikro dan kecil / informal akan sangat
sensitif terhadap risiko kredit macet (default). Seringkali untuk menjaga agar
tingkat bunga kredit mikro dan kecil tidak terlalu besar, maka kredit macet
diupayakan sebesar 5 persen.
Ini merupakan aspek penting dari realitas pasar kredit mikro dan kecil
terutama di perdesaan dan adanya risiko kredit macet. Di pasar kredit terutama di
negara maju, risiko ini secara substansial menjadi lebih rendah, terutama karena
telah berkembangnya dengan baik sistem hukum yang memaksa berlakunya
kontrak pinjaman (akad kredit) dan banyak pinjaman yang dijamin. Tidak adanya
jaminan hukum (standar yang kuat), akan memunculkan fitur yang membentuk
beberapa karakteristik unik dari pasar kredit mikro dan kecil /informal.
61
Karena itu untuk mengatasi adanya kredit macet, terutama pada kredit
mikro dan kecil di perdesaan perlu diperhatikan beberapa faktor:
1. Ukuran dan Penggunaan Pinjaman: jumlah kredit yang besar akan
menyebabkan risiko kredit macet yang lebih besar pula, karena hal ini
berkaitan
dengan
peluang
peminjam
untuk
memperoleh
kesempatan
meninggalkan tempat usaha lama, karena jumlah pinjaman yang besar tadi.
Selain itu jenis pinjaman juga berperanan terhadap terjadinya kredit macet, jika
pinjaman tersebut bisa digunakan peminjam untuk secara permanen
menempatkan dalam situasi, di mana peminjam tidak pernah meminjam lagi,
maka risiko kredit macet semakin besar. Misalnya, seorang buruh di perdesaan
meminjam sejumlah dana sehingga dapat bermigrasi ke kota dan punya usaha
kecil di sana, maka risiko kredit macet akan makin besar. Karena itu seringkali
terjadi jumlah kredit mikro dan kecil di wilayah perdesaan yang diberikan
relatif kecil dan umumnya hanya diperuntukkan bagi kegiatan usaha rutin
(modal kerja) atau konsumsi saja.
2. Agunan (Jaminan): rasa takut akan terjadinya kredit macet juga menciptakan
kecenderungan bagi pemberi pinjaman untuk meminta jaminan, selama
dimungkinkan. Agunan bisa dalam berbagai bentuk, tanah dapat diagunkan
sebagai jaminan ke pemberi pinjaman, dan hak untuk menggunakan hasil dari
lahan oleh pemberi pinjaman selama pinjaman berlangsung (ijon). Pada
dasarnya, agunan terdiri dari dua jenis, (a) agunan yang oleh kedua belah
pihak, yaitu pemberi pinjaman dan peminjam dianggap sangat bernilai, agunan
jenis ini (bernilai bagi kedua belah pihak) memiliki keuntungan tambahan guna
menutup pemberi pinjaman terhadap standar paksa apabila terjadi kredit macet,
62
(b) agunan yang dianggap oleh peminjam sangat bernilai, tetapi oleh pemberi
pinjaman tidak dianggap bernilai tinggi, agunan ini bagi pemberi pinjaman
tidak terlalu diperhatikan dan akan dijual dengan harga yang kurang baik jika
peminjam gagal membayar pinjaman, sementara bagi peminjam sangat bernilai
(historis atau sentimentil) misalnya: tanah warisan, dan karenanya akan
berusaha membayar kembali pinjamannya bahkan apabila tingkat bunga yang
harus dibayarkan sangat tinggi sekalipun.
3. Penjatahan Kredit (credit rationing): adalah situasi di mana pada tingkat
bunga kredit yang berlaku di psar kredit, peminjam ingin memperoleh
pinjaman dana lebih banyak, tetapi tidak diijinkan atau disetujui oleh pemberi
pinjaman. Penjatahan kredit ini umumnya berkaitan dengan adanya informasi
yang asimetris (asymmetric information). Tidak semua peminjam memiliki
risiko yang sama, ada peminjam berisiko tinggi dan ada peminjam berisiko
rendah. Resiko pinjaman dapat bervariasi secara signifikan dari satu peminjam
ke peminjam yang lain. Risiko ini berkorelasi dengan karakteristik peminjam
yang diamati pemberi pinjaman (seperti: kepemilikan aset, omset, atau akses
pemasaran), namun secara substansial juga tergantung pada kualitas dari
karakteristik peminjam lainnya, yang tidak diamati oleh pemberi pinjaman
(seperti: keterampilan, ketajaman mental dalam menghadapi krisis, kualitas
manajemen, dan sebagainya). Ketika terlihat karakteristik yang diamati itu
berisiko tinggi, pemberi pinjaman dapat mengenakan tingkat bunga yang
sesuai untuk menutup risiko tersebut. Namun, bila ada karateristik peminjam
yang tidak diamati dianggap berisiko tinggi oleh pemberi pinjaman, maka
akan ada tambahan dimensi baru untuk transaksi pasar kredit tersebut.
63
Dimensi baru ini mungkin menimbulkan situasi di mana pada tingkat bunga
yang ditetapkan, pemberi pinjaman cenderung tidak bersedia untuk memenuhi
permintaan dana sebesar yang diinginkan oleh peminjam, sehingga pemberi
pinjaman akan cenderung melakukan penjatahan kredit (credit rationing).
Kecilnya jumlah pinjaman yang diberikan ini pada akhirnya dapat
memperbesar munculnya kredit macet oleh peminjam.
3.2.
Kinerja Usaha Kecil
Dalam
kegiatan
manajemen
produksi
istilah
kinerja
seringkali
dipergunakan secara bergantian dengan efisiensi dan produktivitas. Namun
demikian terdapat perbedaan yang cukup mendasar secara teknis. Efisiensi dan
produktivitas lebih menunjukkan kepada ratio keluaran (output) terhadap masukan
(input), sedangkan kinerja menunjukkan pengertian lebih luas dari efisiensi dan
produktivitas (Adam dan Ronald, 1986). Istilah produktivitas berasal dari kata
produk yang berarti barang atau jasa, sehingga merupakan ukuran dari seluruh
keluaran produksi dibagi masukan produksi.
Konsep kinerja merupakan singkatan dari kinetika energi kerja yang
padanannya dalam bahasa Inggris adalah performance. Kinerja dapat diartikan
sebagai keluaran yang dihasilkan oleh fungsi atau indikator suatu pekerjaan dalam
waktu tertentu. Dalam kegiatan usaha kecil, pekerjaan adalah aktivitas
memproduksi suatu barang dengan menggunakan bahan baku, tenaga kerja dan
ketrampilan tertentu. Suatu pekerjaan mempunyai sejumlah fungsi atau indikator
yang dapat digunakan untuk mengukur hasil pekerjaan tersebut (Wirawan, 2009).
Karena itu kinerja dari kegiatan usaha kecil dapat diukur secara luas, baik dengan
ukuran finansial maupun ukuran non finansial.
64
Menurut (Radnor dan Barnes, 2007), dalam manajemen operasi dari suatu
usaha kecil pengukuran kinerja usaha antara lain mengacu pada langkah di tingkat
perluasan (broadening) dari unit analisis dan kedalaman (deepening) ukuran
kinerja usaha. Hal ini akan memberikan gambaran tidak hanya secara kuantitatif,
tetapi juga secara kualitatif dari usaha kecil, sehingga dapat mendukung
perkembangan secara kualitatif dan meningkatkan daya saing (competitiveness)
dari usaha kecil.
Ukuran kinerja usaha ini seringkali merupakan sekumpulan pengharapan
yang diekspresikan sebagai sekumpulan sasaran yang dapat dirumuskan dalam
bentuk hasil penjualan, keuntungan usaha, pangsa pasar, pengembangan hasil
produksi, penurunan biaya, atau sasaran lainnya (Dharma, 2005). Sasaran-sasaran
yang merupakan kinerja usaha ini akan diukur dalam jangka waktu tertentu dan
mempunyai ukuran kuantitatif yang jelas, sehingga menjadi variabel kinerja yang
secara kuantitatif mudah dan dapat diukur.
Variabel Kinerja yang merupakan ukuran kinerja usaha dari suatu kegiatan
produksi dapat dilihat dari tiga perspektif, (1) keluaran produksi dari kegiatan
usaha terdiri dari aspek finansial dan non-finansial, (2) proses internal dari
kegiatan usaha terdiri antara lain aspek inovasi produk, proses operasi (produksi),
pemasaran produk, dan (3) kemampuan sumberdaya terdiri dari aspek tenaga
kerja, teknologi, dan organisasi.
Pada perspektif yang pertama yaitu keluaran produksi dari kegiatan usaha,
variabel kinerja finansial biasanya diukur dengan indikator : penerimaan usaha,
keuntungan usaha, pertumbuhan usaha, pangsa pasar, dan ratio keuangan.
Sedangkan variabel kinerja non finansial bisa dilihat dari tiga sisi, (1) konsumen,
65
antara lain terdiri: harga produk, tipe pasar, kualitas produk, distribusi dan waktu
antar produk, tingkat pembelian ulang, (2) masyarakat dan pemerintah, terdiri:
keterlibatan terhadap komunitas (kepedulian sosial), tingkat limbah, umpan balik
masyarakat, dan regulasi pemerintah, dan (3) pemasok bahan baku, terdiri: lokasi
pemasok dan ukuran pemasok (Wibisono, 2006).
Perspektif Kinerja Usaha
Indikator Kinerja Usaha
Kinerja finansial:
- Penerimaan usaha
- Keuntungan usaha
- Pertumbuhan usaha
- Pangsa pasar
- Ratio keuangan
Output
Produksi
Ukuran
Kinerja
Usaha
Proses
Internal
Kinerja non-finansial:
- Konsumen : harga, kualitas,
tipe pasar,distribusi
- Masyarakat & Pemerintah:
tingkat limbah, regulasi
- Pemasok : ukuran & lokasi
Inovasi
Proses
Produksi
Tenaga
Kerja
Kemampuan
Sumberdaya
Organisasi
Penggunaan
Teknologi
Sumber: Wibisono, 2006
Variabel kinerja finansial seringkali menjadi fokus perhatian bagi pihak
Gambar 3. Ukuran Kinerja Dalam Suatu Kegiatan Produksi
internal perusahaan sebagai ukuran keluaran produksi dari kegiatan usaha.
66
Sedangkan variabel kinerja non finansial biasanya menjadi perhatian pelanggan
masyarakat dan pemerintah. Pengelolaan variabel kinerja finansial maupun non
finansial
ditujukan
untuk
memenuhi
kebutuhan
pemangku
kepentingan
(stakeholder), dimana kebutuhan tersebut dapat berbeda bahkan seringkali
membutuhkan trade-off (memenuhi yang satu dengan mengorbankan yang lain)
bagi perusahaan untuk memenuhinya (Wibisono, 2006). Karena itu variabel
kinerja yang menjadi indikator kinerja bagi usaha kecil juga bisa berbeda,
tergantung kebutuhannya. Terdapat perubahan orientasi dari perusahaan dalam hal
indikator kinerja, dimana diketahui bahwa penentuan indikator kinerja bersifat
dinamis terutama karena kebutuhan konsumen yang terus berubah. Secara ringkas
gambaran tentang perspektif kinerja usaha dalam suatu kegiatan produksi dapat
dilihat pada Gambar 3.
Beberapa
indikator
yang
digunakan
untuk
mendefinisikan
dan
mengklasifikasikan usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah sering pula
dijadikan ukuran untuk menilai kinerja usaha kecil yaitu, (1) undang-undang
No.20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menggunakan
indikator, nilai kekayaan yang dimiliki usaha kecil (asset) dan hasil penjualan
(omset) tahunan untuk menilai usaha kecil, (2) Badan Pusat Statistik (BPS)
menggunakan indikator jumlah tenaga kerja, (3) Kementrian Negara Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah (UKM) menggunakan indikator, nilai kekayaan yang
dimiliki usaha kecil (asset) dan hasil penjualan (omset) tahunan, (4) Bank
Indonesia menggunakan indikator, nilai kekayaan yang dimiliki usaha kecil
(asset), hasil penjualan (omset) tahunan, pelaku usaha, sifat usaha, tingkat
penggunaan sumberdaya lokal, tingkat teknologi dan kemudahan keluar masuk
67
industri (barrier to entry and exit), dan (5) Bank Dunia menggunakan indikator,
jumlah tenaga kerja, nilai kekayaan yang dimiliki usaha kecil (asset), dan hasil
penjualan (omset) tahunan. Indikator-indikator dari berbagai lembaga nasional
dan internasional ini cukup beragam, karena disamping menilai kinerja internal
usaha yang meliputi keluaran produksi, proses produksi, dan kemampuan sumber
daya, juga bisa digunakan untuk menilai kinerja sektoral usaha tersebut.
3.3.
Lembaga Keuangan Mikro Dan Ekonomi Wilayah
Ekonomi wilayah merupakan salah satu cabang kajian ilmu ekonomi yang
dalam pembahasannya memasukkan unsur perbedaan potensi satu wilayah dengan
wilayah lain. Kajian ekonomi yang memasukkan unsur-unsur perbedaan potensi
wilayah pada dasarnya digunakan untuk mencapai tujuan utama (pokok)
kebijakan ekonomi yang menyangkut: (1) pertumbuhan ekonomi, dan (2) full
employment (setidaknya terjadi tingkat pengangguran yang rendah) (Tarigan,
2006). Pengertian lebih spesifik dari wilayah dalam ekonomi wilayah ini adalah
ekonomi yang berada di bawah suatu daerah administrasi tertentu, misalnya
kabupaten. Sehingga wilayah disini merupakan pembagian daerah administratif
dalam suatu pemerintahan, atau merupakan wilayah administrasi (Arsyad, 1999).
Dalam
kajian utama pada pertumbuhan ekonomi, indikator utama yang
digunakan adalah produk domestik regional bruto (PDRB) sektoral yang terdiri:
(1) PDRB pertanian, (2) PDRB pertambangan, (3) PDRB perindustrian, (4) PDRB
listrik, air bersih, dan gas, (5) PDRB bangunan, (6) PDRB perdagangan, (7)
PDRB angkutan dan komunikasi, (8) PDRB keuangan, dan (9) PDRB jasa-jasa.
Karena itu kaitan antara kredit yang berasal lembaga keuangan mikro sebagai
salah satu lembaga perbankan yang merupakan bagian dari alat kebijakan
68
moneter, diharapkan dapat turut serta mendorong perekonomian wilayah
khususnya dalam hal pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor ekonomi.
Peranan lembaga keuangan mikro dalam peningkatan pertumbuhan
ekonomi dapat dilihat sebagai bagian dari peranan kebijakan moneter terhadap
kegiatan ekonomi, karena kredit sebagai produk kuangan mikro akan mendorong
kegiatan produksi dan konsumsi usaha mikro dan kecil. Mula-mula sistem
moneter akan terpengaruh oleh kebijakan moneter yang selanjutnya akan
mempengaruhi tingkat bunga, kredit yang disalurkan dan jumlah uang beredar,
serta investasi dan konsumsi sehingga produk domestik bruto akan terpengaruh.
Pengaruh kebijakan moneter ini akan direspon perbankan dan kemudian ditransfer
ke sektor riil melalui kegiatan investasi dan produksi oleh kelompok usaha kecil
di berbagai sektor ekonomi.
3.3.1. Transmisi Kebijakan Moneter ke Sektor Riil
Kebijakan moneter yang dilakukan melalui mekanisme transmisi pada
akhirnya akan dapat menggeser permintaan agregat, sehingga akan mengubah
keseimbangan tingkat pendapatan nasional (Nopirin, 2000). Terdapat beberapa
jenis mekanisme transmisi kebijakan moneter, menurut Warjiyo, (2004), meliputi:
1. Saluran Uang (Money Channel): mengacu pada dominasi peranan uang dalam
perekonomian oleh Quantity Theory of Money (Fisher,.1911), yang
menggambarkan hubungan langsung yang sistematis antara pertumbuhan uang
beredar dan inflasi, dalam suatu identitas persamaan: MV = PT , dimana
jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran uang (V) sama
dengan jumlah transaksi ekonomi (T) dikalikan dengan tingkat harga (P).
Dalam keadaan keseimbangan, jumlah uang beredar yang digunakan oleh
69
seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan jumlah output
nominal, dihitung dengan harga yang berlaku, yang ditransaksikan dalam
ekonomi (PT). Dalam konteks interaksi antara bank sentral dengan perbankan
dan para pelaku ekonomi seperti diatas, mekanisme transmisi moneter melalui
saluran uang merupakan konsekuensi langsung dari proses perputaran uang
dalam perekonomian. Kemudian bank sentral melakukan pengendalian uang
beredar (M1, M2) melalui pencapaian sasaran operasional uang primer (M2).
Disisi lain, bank perlu mengelola likuiditasnya dalam bentuk cadangan dana
yang dapat dipergunakan sewaktu-waktu (bank reserves) dari sisi aset dan
pendanaan dari simpanan masyarakat dalam bentuk uang beredar (M1, M2)
dari
sisi
liabilities.
Selanjutnya
pelaku
ekonomi
menyimpan
dan
menggunakan uang beredar (M1, M2) untuk kegiatan usahanya.
2. Saluran Kredit (Bank Lending Channel): selain dana yang tersedia, perilaku
penawaran kredit perbankan juga dipengaruhi oleh persepsi bank terhadap
prospek usaha debitur dan kondisi perbankan itu sendiri, seperti: permodalan
(CAR), jumlah kredit macet (NPL), dan loan to deposit ratio (LDR). Selain
itu, tidak semua permintaan kredit debitur yang dinilai oleh bank tidak
feasible, antara lain karena: tingginya ratio utang terhadap modal (leverage),
risiko kredit macet, moral hazard, dan sebagainya. Adanya informasi yang
tidak simetris (assymetric information) antara bank dengan debitur seperti itu
dapat menyebabkan pasar kredit tidak selalu berada dalam keseimbangan.
Karena itu, fungsi intermediasi perbankan tidak selalu berjalan normal, dalam
arti kenaikan simpanan masyarakat tidak selalu diikuti dengan kenaikan secara
proporsional pada kredit yang disalurkan oleh perbankan. Sehingga, yang
70
lebih berpengaruh terhadap ekonomi riil adalah kredit perbankan dan bukanlah
simpanan masyarakat yang tercermin dalam jumlah uang beredar.
3. Saluran Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Channel): berbeda dengan saluran
uang dan saluran kredit yang mementingkan aspek kuantitas dari proses
perputaran uang dalam ekonomi, saluran tingkat suku bunga lebih
menekankan pentingnya aspek harga di pasar keuangan terhadap berbagai
aktivitas ekonomi di sektor riil. Dalam kaitan ini, kebijakan moneter yang
ditempuh bank sentral akan berpengaruh terhadap perkembangan berbagai
suku bunga di sektor keuangan dan selanjutnya akan berpengaruh pada tingkat
inflasi dan output riil. Dalam kaitan dengan interaksi antara bank sentral
dengan perbankan dan pelaku ekonomi dalam proses perputaran uang,
mekanisme saluran suku bunga ada beberapa tahap, (1) kebijakan moneter
dari bank sentral akan berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga
jangka pendek (SBI dan PUAB) di pasar uang rupiah, selanjutnya akan
mempengaruhi suku bunga deposito yang diberikan perbankan pada simpanan
masyarakat dan suku bunga kredit yang dibebankan bank kepada para
debiturnya, proses trasmisi suku bunga ini biasanya tidak berlangsung secara
segera sehingga terdapat tenggat waktu (time lag), terutama karena kondisi
internal perbankan dalam manajemen aset dan kewajibannya (asset and
liability management), (2) transmisi suku bunga dari perbankan ke sektor riil
akan tergantung pada pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi dan
investasi dalam perekonomian, pengaruh suku bunga terhadap permintaan
konsumsi ini terjadi terutama karena bunga deposito merupakan komponen
dari pendapatan masyarakat (income effect) dan bunga kredit sebagai
71
pembiayaan konsumsi (substitution effect), sementara itu pengaruh suku
bunga terhadap permintaan investasi terjadi karena suku bunga kredit
merupakan komponen biaya modal (cost of capital), disamping yield obligasi
dan dividen saham, dalam pembiayaan investasi pengaruh melalui investasi
dan konsumsi tersebut selanjutnya akan berdampak pada besarnya permintaan
agregat sehingga menentukan tingkat inflasi dan output riil dalam
perekonomian.
4. Saluran Nilai Tukar (Exchange Rate Channel):
menekankan pentingnya
pengaruh perubahan harga aset finansial dalam bentuk valuta asing terhadap
berbagai aktivitas ekonomi. Pengaruhnya juga terjadi pada besarnya aliran
dana yang masuk dan keluar suatu negara yang terjadi karena aktivitas
perdagangan luar negeri maupun alairan modal investasi dalam neraca
pembayaran, selanjutnya perkembangan nilai tukar dan aliran dana luar negeri
akan berpengaruh terhadap inflasi dan output riil negara tersebut. Semakin
terbuka suatu perekonomian, disertai sistem nilai tukar yang mengambang dan
sistem devisa bebas, maka semakin besar pula pengaruh nilai tukar dan aliran
modal luar negeri tersebut terhadap inflasi dan output riil negara.
5. Saluran Harga Aset (Asset Price Channel): selain pengaruh melalui nilai tukar
terhadap aset valutas asing, kebijakan moneter juga berpengaruh terhadap
perkembangan harga-harga aset lain, baik harga aset finansial seperti: yield
obligasi dan harga saham, harga aset fisik (properti dan emas). Transmisi ini
terjadi karena penanaman dana oleh investor dalam portofolio investasinya
tidak saja berupa simpanan di bank dan instrumen investasi lainnya (rupiah
dan valuta asing), tetapi juga dalam bentuk obligasi, saham dan aset fisik,
72
sehingga mempengaruhi kekayaan yang dimiliki (wealth effect) maupun
tingkat pendapatan yang dikonsumsi (disposible income) yang timbul dari
penerimaan aset finansial dan aset fisik yang dimiliki para investor
(substitution and income effect).
6. Saluran
Ekspektasi
(Expectation
Channel):
semakin
meningkatnya
ketidakpastian dalam ekonomi dan keuangan, membuat saluran ekspektasi
semakin penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter ke sektor riil.
Pelaku ekonomi dalam menentukan tindakan bisnisnya, akan mendasarkan
pada prospek ekonomi dan keuangan ke depan, dan membentuk persepsi
tertentu terhadap kecenderungan perkembangan berbagai indikator ekonomi
dan keuangan. Semakin kredibel kebijakan moneter, semakin rendah pula
deviasi ekspektasi inflasi masyarakat dari sasaran inflasi yang ditetapkan bank
sentral, dan karenanya semakin kecil pula distorsi yang ditimbulkan baik
terhadap perkembangan output riil maupun efektivitas kebijakan moneter
dalam pencapaian sasaran inflasi tersebut.
Dalam konteks penyaluran dan permintaan kredit mikro dan kecil di
Indonesia, saluran kredit (bank lending channel) dan saluran tingkat suku bunga
(interst rate channel), lebih mengena untuk digunakan melihat transmisi
kebijakan moneter dalam mempengaruhi berbagai kegiatan ekonomi khususnya
output riil secara sektoral.
3.3.1.1. Transmisi Kebijakan Moneter ke Sektor Riil melalui Jalur Kredit
Transmisi kebijakan moneter ke sektor riil melalui jalur kredit (bank
lending channel) dapat digunakan untuk melihat pengaruh kebijakan moneter
dalam menggerakkan penawaran kredit (Haryanto, 2007). Generasi pertama dari
73
model pinjaman perbankan di motivasi dari aksioma Modigliani-Miller dengan
dasar informasi asimetrik antara peminjam dan pemberi pinjaman tentang
karakteristik yang disepakati. Asumsinya pengusaha memiliki informasi pribadi
tentang bisnisnya, yang memiliki tingkat pengembalian yang sama tetapi dengan
tingkat keberhasilan yang berbeda. Faktor penting dari jalur pinjaman bank ini
adalah bank sentral dapat mempengaruhi penawaran kredit yang diberikan oleh
lembaga intermediasi keuangan dengan membatasi kuantitas uang, dan
peningkatan biaya modal bagi bank tergantung pada peminjam. Jalur kredit akan
mempengaruhi konsisi ekonomi dengan mengarahkan pada variasi dalam biaya
modal perusahaan dan kesehatan keuangan perusahaan, seperti pada Gambar 4.
Bank Sentral
Perbankan
Operasi Pasar Terbuka
Pasar Uang
Rupiah
Produk
Domestik
Regional
Bruto (PDRB)
Peningkatan
Kegiatan
Ekonomi
Sektoral
Reserves:
Kas
Surat berharga
Dana Pihak III
(Uang Beredar
M1, M2)
Kredit: Modal Kerja
& Investasi
Modal Bank
Tambahan Modal Kerja &
Investasi Bagi Pelaku Usaha
Sumber: Warjiyo, 2004
Gambar.4. Mekanisme Transmisi Saluran Kredit ke Sektor Riil
Terdapat dua literatur yang menggambarkan mekanisme transmisi
kebijakan moneter jalur kredit (Haryanto, 2007), yaitu:
1. Jalur pinjaman bank yang menekankan akibat dari kebijakan moneter pada
neraca bank, khususnya pada sisi aset bank. Menurut jalur ini, perbankan
berpartisipasi dalam transmisi kebijakan moneter tidak hanya ditransmisikan
74
melalui sisi hutang (pasiva) tetapi juga melalui asetnya (aktiva). Dalam
kondisi kontraksi moneter cadangan dan deposit perbankan akan menurun.
Dua kondisi yang perlu ada pada jalur ini adalah pinjaman bank dan saham
harus merupakan substitusi yang tidak sempurna bagi peminjam (bank yang
dependen) dan bank sentral harus dapat membatasi penawaran dari pinjaman
bank. Kebijakan moneter dapat mempengaruhi penawaran perbankan terhadap
kredit, khususnya bank dengan skala usaha kecil dan hal ini tidak berlaku bagi
bank dengan skala besar yang dapat melindungi kebutuhan untuk menawarkan
pinjaman besar dengan mencari sumber dana murah dari luar negeri.
2. Jalur neraca dengan penekanan pada akibat dari kebijakan moneter di sisi
neraca perusahaan dan akses terhadap kredit perbankan. Nilai aset juga akan
memainkan peran penting pada jalur kredit dalam arti luas seperti yang
dikembangkan Bernarke dan Gertler (1995) dalam Haryanto (2007). Harga
aset adalah sesuatu yang penting terutama dalam menentukan nilai dari
jaminan (agunan) dari perusahaan atau konsumen yang mengajukan kredit.
Dalam pasar kredit, turunnya nilai jaminan akan meningkatkan beban bagi
peminjam karena harus membayar lebih tinggi sehingga menambah beban
bagi keuangan eksternal, yang pada gilirannya akan mengurangi aktivitas
konsumsi dan investasi. Pengaruh kebijakan ini akan mendorong perubahan
pada tingkat suku bunga yang memiliki pengaruh akselerator keuangan.
3.3.1.2. Transmisi Kebijakan Moneter ke Sektor Riil melalui Jalur Suku
Bunga
Sedangkan transmisi kebijakan moneter ke sektor riil melalui jalur suku
bunga (interest rate channel) melengkapi kebijakan moneter dalam menggerakkan
75
penawaran kredit (Warjiyo, 2004). Studi yang dilakukan Kusmiarso et al. (2002),
menunjukkan bukti empiris mengenai bekerjanya transmisi saluran suku bunga
pada periode sebelum dan sesudah krisis. Secara teoritis mekanisme transmisi
saluran suku bunga dapat dilhat pada Gambar 5.
Kebijakan
Moneter Bank
Sentral
Suku Bunga:
* SBI
* Pasar Uang
Antar Bank
Suku Bunga
Deposito
Transmisi
di Sektor
Keuangan
Suku Bunga
Kredit
Konsumsi
Investasi
Transmisi di
Sektor Riil
Peningkatan Aktivitas Produksi
Pelaku Usaha
Produk
Domestik
Regional
Bruto (PDRB)
Peningkatan Kegiatan
Ekonomi Sektoral
Sumber: Warjiyo, 2004
Gambar 5. Mekanisme Transmisi Saluran Suku Bunga ke Sektor Riil
Hal ini dilakukan dengan menganalisis bagaimana biaya modal (cost of
capital) serta efek substitusi dan pendapatan (substitution and income effect)
mentransmisikan perubahan suku bunga yang terjadi karena kebijakan moneter
yang ditempuh bank sentral, periode sebelum dan sesudah krisis:
1. Periode sebelum krisis: bukti empiris menunjukkan suku bunga riil untuk
deposito dan kredit investasi dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan
suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Namun demikian pertumbuhan
76
investasi tidak sensitif terhadap perkembangan suku bunga kredit terutama
karena relatif mudahnya akses perbankan dan dunia usaha terhadap dana luar
negeri pada waktu itu. Demikian pula pertumbuhan konsumsi juga tidak
sensitif terhadap perubahan suku bunga deposito, antara lain karena suku
bunga yang relatif stabil dan rendah.
2. Periode sesudah krisis: menunjukkan bahwa respon suku bunga deposito dan
kredit terhadap suku bunga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) relatif lebih
lemah dibandingkan dengan periode sebelum krisis, antara lain karena
kekhawatiran perbankan terhadap risiko kredit macet dan berbagai kondisi
internal bank.
Penentuan suku bunga kredit perbankan dipengaruhi oleh suku bunga
deposito dan kondisi likuiditas bank. Kondisi likuiditas menjadi faktor yang lebih
relevan pada bank swasta nasional dan bank pembangunan daerah, tetapi relatif
tidak signifikan pada bank persero dan bank asing-campuran. Dari hasil studi
Kusmiarso et al. (2002) ini terlihat bahwa saluran suku bunga (bank lending
channel) semakin berperan dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter,
terutama pengaruhnya terhadap sektor riil melalui perkembangan konsumsi dan
investasi, namun demikian transmisi suku bunga di sektor keuangan belum
secepat yang diharapkan. Hal ini terutama disebabkan belum berfungsinya secara
normal intermediasi perbankan, sehingga respons bank terhadap perubahan suku
bunga bank sentral terjadi tenggat waktu (time lag) dan cenderung asimetris,
khususnya menjadi relatif lebih cepat reaksinya ketika terjadi kenaikan suku
bunga dari bank sentral.
77
Menurut Jhingan (2000), kebijakan moneter di negara-negara berkembang
dapat berfungsi untuk: (1) mendapatkan dan mengambil manfaat dari struktur
tingkat suku bunga yang paling sesuai, (2) meraih perimbangan yang tepat antara
permintaan dan penawaran uang, (3) manajemen utang, (4) pendirian, pelaksanaan
dan perluasan lembaga keuangan, dan (5) menyediakan fasilitas kredit yang tepat
bagi perekonomian yang sedang berkembang dan menghentikan perkembangan
yang tidak semestinya.
Ciri-ciri kebijakan moneter di negara berkembang yang berkaitan dengan
microcredit dari lembaga keuangan mikro, menurut ( Jhingan, 2000) adalah:
1.
Pendirian dan perluasan lembaga keuangan: tujuannya adalah untuk
memperbaiki sistem uang dan sistem perkreditan, serta untuk menyiapkan
fasilitas kredit yang lebih besar dan untuk mengalihkan tabungan ke saluran
yang produktif. Cabang dan unit perbankan harus diperluas sampai ke
daerah perdesaan agar dapat menyediakan kredit kepada para petani dan
pedagang kecil. Cengkeraman lintah darat di daerah perdesaan hanya dapat
dilepaskan jika bank sentral membentuk lembaga perkreditan baru yang
dapat menyediakan kredit jangka pendek, jangka menengah maupun jangka
panjang kepada petani dengan suku bunga yang lebih rendah.
2.
Pengendalian kredit: tujuannya untuk mempengaruhi pola investasi dan
produksi, serta mengendalikan tekanan inflasioner yang timbul di dalam
proses pembangunan. Ada dua metode yang efektif untuk mengendalikan
kredit, yaitu: (a) metode kuantitatif menggunakan rasio cadangan minimum
(reserve requirements), sehingga bank sentral dapat memantau perluasan
kredit dengan cara menaikkan rasio cadangan minimum, dan (b) metode
78
kualitatif dengan pengendalian kredit secara selektif melalui: persyaratan
pagu jaminan (collateral), pengaturan kredit konsumsi, dan rasionalisasi
kredit (credit rationing).
3.3.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pembangunan ekonomi wilayah (daerah adalah suatu proses di mana
pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada dan
membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta
untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan
ekonomi di wilayah tersebut. Ada beberapa teori yang secara parsial yang dapat
membantu memahami arti penting pembangunan ekonomi wilayah. Teori-teori ini
membahas: (1) metoda dalam menganalisis perekonomian suatu daerah, dan (2)
faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah tertentu
(Arsyad, 1999).
Teori Pertumbuhan Neoklasik:
Model yang dikenal sebagai model Solow-Swan ini menggunakan unsur
pertumbuhan penduduk, kemajuan teknologi, akumulasi kapital, dan besarnya
output yang saling berinteraksi. Model ini menggunakan model fungsi produksi
yang memungkinkan terjadinya substitusi antara kapital (K) dan tenaga kerja (L).
Sumber pertumbuhan berasal dari: akumulasi modal, bertambahnya penawaran
tenaga kerja, dan kemajuan teknologi. Teknologi terlihat dari peningkatan skill,
dan dianggap fungsi dari waktu (Tarigan, 2006).
79
Model ini melihat bahwa mekanisme pasar dapat menciptakan
keseimbangan sehingga campur tangan pemerintah cukup sebatas kebijakan
moneter dan kebijakan fiskal. Karena itu fungsi produksinya adalah:
Yi = fi (K,L,t)
Dalam kerangka ekonomi wilayah, Richardson merumuskan menjadi:
Yi = aiki + (1-ai)ni + T
dimana:
Yi
= besarnya output
ki
= tingkat pertumbuhan modal
ni
= tingkat pertumbuhan tenaga kerja
T
= kemajuan teknologi
a
= bagian yang dihasilkan dari faktor modal
(1-a)
= bagian yang dihasilkan dari faktor di luar modal
Agar faktor produksi selalu berada pada kapasitas penuh (full employment) perlu
mekanisme yang menyamakan investasi (I) dengan tabungan (S). Sehingga
pertumbuhan mantap (steady growth) membutuhkan syarat:
MPKi = ai (Yi / Ki) = p
MPKi adalah marginal productivity of capital. Apabila p sudah tertentu, dan a
tetap konstan, maka Y (pertumbuhan pendapatan) dan K (pertumbuhan modal)
harus tumbuh dengan tingkat yang sama. Syarat keseimbangan seluruh sistem
adalah:
∑i=1 Ii = ∑i=1 Si
Suatu wilayah akan mengimpor modal jika tingkat pertumbuhan modalnya lebih
kecil dari rasio tabungan domestik terhadap modal. Dalam pasar persaingan
sempurna MPL (marginal productivity of labor) adalah merupakan fungsi
80
langsung tetapi memiliki hubungan terbalik dengan MPK (marginal productivity
of capital). Hal ini bisa dilihat dari rasio modal dan tenaga kerja (K/L).
Teori Neoklasik selalu mengarahkan kepada pasar persaingan sempurna
agar perekonomian bisa tumbuh optimal. Kebijakan yang ditempuh adalah
meniadakan berbagai hambatan dalam perdagangan, perpindahan orang, barang
dan modal. Sarana dan prasarana transportasi dibangun dengan baik dan
terjaminnya keamanan, ketertiban dam kestabilan politik (Tarigan, 2006).
3.4.
Lembaga Keuangan Mikro dan Peningkatan Pendapatan
Keuangan mikro telah sejak lama dikembangkan, sehingga hampir setiap
negara memiliki sejarah lembaga keuangan mikro. Di Irlandia berdiri lembaga
pemberi pinjaman dana (Kreditkassen) di sekitar tahun 1720-an, yang
menekankan pada: pemantauan pinjaman yang ketat (peer monitoring), cicilan
mingguan (weekly instalments), bebas bunga di awal cicilan, dan sumber dana dari
donatur. Serta di Jerman pada sekitar tahun 1778 muncul sistem keuangan mikro,
yang bersumber pada simpan pinjam berbasis masyarakat (community-based), dan
koperasi kredit dan simpanan (savings and credit cooperatives). Lembaga
keuangan mikro ini terus berkembang hingga sekarang ini. Perkembangan ini
antara lain menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro yang digerakan oleh
simpanan (savings-driven) dapat berkembang di perkotaan dan perdesaan, serta
jika diawasi dan diatur sebagaimana mestinya (properly regulated and supervised)
akan menjadi potensi yang besar bagi pembangunan dan pengurangan kemiskinan
baik di perkotaan atau perdesaan (Seibel, 2003).
Keterkaitan antara kredit dari lembaga keuangan mikro dan peningkatan
pendapatan rumah tangga merupakan salah satu karakteristik kegiatan produksi di
81
negara-negara berkembang. Keterkaitan ini menunjukkan peran kredit mikro
dalam mengurangi kemiskinan terutama di wilayah perdesaan. Peranan lembaga
keuangan mikro dalam membantu usaha mikro dan mengentaskan kemiskinan
ditandai dengan berkembangnya skim kredit mikro yang dikembangkan oleh
Grameen Bank tahun 1976 di Bangladesh. Sejak awal beroperasinya Grameen
Bank tetap menjaga mandat untuk mengentaskan kemiskinan di perdesaan. Untuk
itu bank tidak hanya mengutamakan kelompok peminjam perempuan, akan tetapi
sejak tahun 1980-an bank lebih mengutamakan fokus pada kelompok perempuan.
Hal ini karena asumsi bahwa perempuan mempunyai kontribusi besar terhadap
kesejahteraan keluarga. Hipotesanya adalah perempuan selalu memprioritaskan
investasi yang menguntungkan anak-anaknya, karenanya pinjaman kepada
perempuan akan memberikan manfaat kualitatif terhadap keluarga yang lebih
dibanding pinjaman kepada kaum laki-laki. Dalam masyarakat yang lebih besar
ini merupakan bentuk pemberdayaan sosial-ekonomi (Rahman, 1999).
Grameen Bank dikenal sebagai sebuah bank bagi masyarakat miskin, yang
dalam operasinalnya tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudential
banking), dengan memahami kemampuan sumberdaya masyarakat miskin. Skim
kredit bank ini dinilai berhasil membantu masyarakat miskin di wilayah perdesaan
di Bangladesh. Grameen Bank tidak mengharuskan masyarakat miskin untuk
menyediakan agunan (collateral) yang merupakan syarat utama dalam praktek
perbankan konvensional, yang umumnya tidak berpihak pada masyarakat miskin.
Ketidakperpihakan perbankan konvensional pada masyarakat miskin disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya (1) keharusan adanya agunan (collateral),
sesuatu hal yang hampir pasti sulit dimiliki dan disediakan oleh masyarakat
82
miskin, (2) apabila tidak mungkin untuk menyediakan agunan, maka diperlukan
orang (pihak ketiga) yang dapat menjadi penjamin. Pada kenyataannya kaum
miskin sangat kecil peluangnya untuk mendapatkan orang yang bersedia menjadi
penjamin kredit bagi orang miskin, dan (3) jarak lokasi lembaga bank komersial
dengan wilayah perdesaan, sangat tidak memungkinkan kaum miskin untuk hadir
ke kantor bank yang seringkali jarak cukup jauh sehingga memerlukan tambahan
biaya yang memberatkan. Situasi ini yang antara lain mendorong Muhamad
Yunus melakukan pilot proyek bank untuk kaum miskin. Dimulai tahun 1976
dengan pilot proyek selama hampir tujuh tahun, maka pada tahun 1983 berdirilah
sebuah bank bagi kaum miskin di Bangladesh yang bernama Grameen Bank, yang
artinya bank perdesaan (Syukur, 2002).
Sebagai sebuah bank yang melayani kaum miskin, Grameen Bank
mengalami perkembangan yang sangat pesat di Bangladesh. Hal ini tidak terlepas
oleh adanya beberapa elemen esensial (Syukur, 2002), yaitu: (1) sasaran penerima
pinjaman ditentukan secara jelas dengan kriteria tertentu (exclusive targeting),
misalnya: memiliki lahan kurang dari 0.5 acre atau memiliki kekayaan tidak lebih
dari nilai sebidang lahan yang subur seluas 1.0 acre, (2) menekankan pada
peminjam perempuan, yang umumnya lebih disiplin dan hanya menggunakan
pinjaman untuk kegiatan produktif, (3) lembaga pelayanannya berada pada tingkat
yang paling bawah (grassroot level), dengan membentuk kelompok dengan
anggota lima orang dan kemudian membentuk enam kelompok, (4) peminjam
dikenakan bunga komersial dan pinjaman hanya boleh digunakan untuk kegiatan
produktif (income generating activities) dan pengajuannya tanpa agunan, (5)
aplikasi dan prosedur pinjaman yang sederhana, serta jumlah pinjaman yang
83
terkontrol (manageable) dan dibayar mingguan, (6) penyaluran pinjaman baru
(first loan) terhadap anggota dalam satu kelompok tersebut dilakukan secara
bergiliran dengan pola 2-2-1, (7) terdapat sistem insentif dan pinalti, serta
akuntabilitas transaksi pada pertemuan mingguan, (8) mobilisasi tabungan yang
juga bertujuan untuk mendidik disiplin anggota, (9) otonomi dalam kegiatan
operasional dilapangan, dan (10) pelatihan staf secara praktis, disiplin dan teliti,
serta kepemimpinan yang memiliki komitmen yang tinggi.
Kredit mikro sebagai produk utama lembaga keuangan mikro diharapkan
dapat mengurangi kemiskinan dan memperkuat kapasitas kelembagaan dari sistem
keuangan tersebut dalam penyaluran pinjaman kepada rumahtangga miskin.
Rumahtangga miskin ini mempunyai corak tersendiri yang berbeda dari yang
dikehendaki oleh sistem perbankan komersial dalam hal agunan (collateral),
tetapi kredit mikro ini telah mampu menggali kelembagaan baru yang mampu
menekan resiko dan biaya menjadi lebih kecil pada pinjaman tanpa agunan
(uncollateralized loans). Lembaga ini juga telah mampu melayani lebih banyak
masyarakat miskin dibandingkan dengan yang dilayani oleh program-program
bersubsidi (Morduch, 2000).
Selain itu menurut (Schreiner, 2002) keuangan mikro juga akan
memberikan manfaat sosial (social benefits) bagi peningkatan kesejahteraan, jika
mampu memperbaiki aspek jangkauan (outreach) dengan bidang yang luas dan
lebar (wide breadth), jauh dan lama (long length), serta cukup beragam (ample).
Menurut Yaron et al. (1996), untuk meningkatkan kinerja lembaga keuangan ini
perlu memperkuat aspek jangkauan (outreach) dan keberlanjutan secra mandiri
84
(self-sustainability),
sehingga
memberikan
dampak
pembangunan
pada
peningkatan pendapatan dan pengurangan kemiskinan.
Morduch (2000) mengatakan tentang pentingnya menghindari kesalahan
masa lalu dari program-program kredit bersubsidi, dimana lembaga keuangan
tersebut pada akhirnya menghadapi masalah : (1) biaya transaksi yang tinggi
ketika memberikan pinjaman pada usaha mikro dan kecil, (2) sulit sekali
menentukan potensi resiko peminjam dan monitoring perkembangan klien
kelompok masyarakat miskin dan bergerak di sektor informal, dan (3)
rumahtangga berpendapatan rendah umumnya kekurangan aset untuk dijadikan
agunan dalam memperoleh kredit.
3.5.
Kerangka Pemikiran Operasional
Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran diatas, maka dapat
dibangun kerangka pemikiran yang meliputi dua aspek, yaitu: aspek usaha kecil,
serta aspek ekonomi wilayah, seperti terlihat pada Gambar.6 dan Gambar.7.
Adapun uraian dari kerangka pemikiran tersebut adalah sebagai berikut:
Model Ekonomi Usaha Kecil (Gambar.6), diawali dengan Pengambilan
Kredit (PKM) yang dipengaruhi oleh Suku Bunga Kredit (SBK), Pengeluaran
Non Tenaga Kerja (PNTK), Tabungan (TABS), Pengalaman Usaha (LTU), dan
Dummy Sumber Kredit (DSK). Pengambilan kredit oleh usaha kecil ini akan
menjadi komponen utama Modal Usaha (MOUS) untuk mendorong peningkatan
kegiatan usaha, yang dicerminkan dengan kenaikan pengeluaran untuk
Penggunaan Bahan Baku (PBM), Penggunaan Bahan Bakar (PBB) dan
Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) sehingga berpengaruh terhadap peningkatan
Penerimaan Usaha (PENU) yang juga dipengaruhi oleh Harga Jual Produk (PO)
85
dan Dummy Pemasaran Produk (DPP). Peningkatan penerimaan usaha ini akan
meningkatkan Pendapatan Usaha (PEND) setelah dikurangi Total Biaya Produksi
(TBP), sehingga pada akhirnya akan mampu menaikkan Pengeluaran Pendidikan
dan Sosial (PPKS), Konsumsi (PKON), serta Tabungan (TABS). Data dari model
ini adalah data primer yang diambil dari 90 contoh usaha kecil makanan olahan,
sehingga merupakan data cross-section.
Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah (Gambar.7), diawali
dengan jumlah kredit mikro dan kecil yang disalurkan melalui tiga lembaga
keuangan mikro yaitu: BRI Unit dan bank umum, Bank Perkreditan Rakyat
(BPR), dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Kredit Kupedes BRI Unit (KBRI) ini
dipengaruhi oleh Suku Bunga Kredit Konsumsi (SBPK), Jumlah Unit Kantor BRI
Unit (JBRI), Jumlah Nasabah per Kantor BRI Unit (RNU), dan Jumlah Pinjaman
per Nasabah BRI Unit (RPN). Kredit Kupedes BRI Unit (KBRI) akan
mempengaruhi Kredit Modal Kerja KUK dan Kredit Konsumsi-Investasi KUK
(KIKK) yang selanjutnya mempengaruhi Total Kredit KUK dari Bank Umum
(KUK). Selanjutnya Total Kredit KUK dari Bank Umum (KUK) bersama Total
Kredit dari BPR (KBPR) dan Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (KKSP)
akan mempengaruhi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk Sektor
Pertanian (PDRB1), Sektor Industri Pengolahan (PDRB2), Sektor Perdagangan
(PDRB3), dan Sektor Jasa (PDRB4). Selanjutnya secara simultan PDRB Sektoral
ini juga akan mempengaruhi jumlah kredit mikro dan kecil yang disalurkan oleh
lembaga keuangan mikro tersebut. Data pada model ini adalah data primer pada
pengamatan di 29 Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah mulai tahun 2000 sampai
dengan tahun 2005, data ini merupakan data pool.
86
87
Keterangan Variabel:
SBK
= Tingkat Bunga Kredit (persen per tahun)
ALK = Aset Kegiatan Usaha (Rp)
PO
= Harga Jual Produk (Rp per satuan)
TP
= Tingkat Pendidikan (skor 1 s/d 6)
JAK
= Jumlah Anggota Keluarga (orang)
JTK
= Jumlah Tenaga Kerja (HOK yg digunakan dalam usaha kecil)
PBBM = Penggunaan Bahan Bakar Minyak (Rp per tahun)
PTKP = Penggunaan Tenaga Kerja Perempuan (Rp per tahun)
KTK = Konsumsi Tenaga Kerja (Rp per tahun)
JAS
= Jumlah Anak Sekolah (anak sekolah yg ditanggung / orang)
DSK = Dummy Sumber Kredit (0 adalah non bank dan 1 adalah bank)
DJG
= Dummy Jenis Kelamin (0 adalah perempuan dan 1 adalah laki-laki)
DPP
= Dummy Daerah Pemasaran Produk (0 adalah Yogyakarta dan
Jawa Tengah dan 1 adalah mencapai Jawa Timur, Jawa Barat,
Jakarta dan sekitarnya)
PSO
= Pengeluaran Sosial (Rp per tahun)
PNTK = Pengeluaran Untuk Non Tenaga Kerja (Rp per siklus usaha)
LTU
= Pengalaman Usaha (tahun)
PI
= Harga Input (harga input utama dalam usaha tsb, Rp per kg)
DJST = Dummy Kelembagaan Tabungan (0 disimpan dirumah /
Kelompok, dan 1 disimpan koperasi / bank)
PKM = Kredit Yang Diambil Usaha Kecil (Rp)
MOUS = Modal Usaha ( Rp per tahun)
PBM = Penggunaan Bahan Mentah (Rp per tahun)
PBB
= Penggunaan Bahan Bakar (Rp per tahun)
PTK
= Penggunaan Tenaga Kerja (Rp per tahun)
TBP
= Total Biaya Produksi (Rp per tahun)
PENU = Penerimaan Usaha Kecil (Rp per tahun, ukuran kinerja usaha)
PEND = Pendapatan Bersih Usaha Kecil (Rp per tahun)
TABS = Tabungan (Rp per tahun)
PKON = Konsumsi (Rp per tahun)
PPKS = Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (Rp per tahun)
88
Blok
PDRB
Jumlah GIRO
di Bank Umum(JG)
KREDIT InvestKons BPR (KIKB)
Jumlah
BPR
(JBPR)
Jumlah
Penduduk (JP)
Suku Bunga
BPR (SBBI)
Jumlah
Angkatan
Kerja (JAK)
TOTAL KREDIT
BPR (KBPR)
KREDIT Modal
Kerja BPR (KMB)
Suku Bunga
BPR (SBBM)
Suku Bunga
Modal Kerja
(SBPM)
Jumlah
Tabungan (JT)
Jml Nasabah
BRI-Unit (JNB)
Jumlah
Kantor KSP
(JKSP)
KREDIT Modal
Kerja KUK(KMK)
Suku Bunga
Kons (SBPK)
TOTAL KREDIT
KUK (KUK)
Jumlah
Pinj/Nasabah
PRODUK DOMESTIK
REGIONAL-BRUTO (PDRBi)
1.pert-2.industri-3.perdagangan-4.jasa
KUKi
Suku Bunga
Kr.Modal Kerja
(SBSM)
KREDIT dari
KSP (KKSP)
Jumlah Modal
KSP (JMK)
(RPN)
KREDIT Kupedes
BRI (KBRI)
Jumlah
Nasabah/Kantor
BRI-Unit (RNU)
KREDIT Invst
Kons KUK (KIKK)
Jumlah
Kantor
BRI (JBRI)
Jumlah
Angg. KSP
(JAKO)
Jumlah
Deposito (JD)
Aset
Koperasi
(AKO)
Suku Bunga
Investasi (SBPI)
Blok
Kredit Dari
Lembaga Keuangan Mikro
Keterangan:
= Variabel Eksogen
= Arah Variabel Penjelas
Gambar 7. Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah
= Variabel Endogen
89
Keterangan Variabel
SBBM = Suku Bunga Kredit dari BPR untuk Kredit Modal Kerja (persen)
SBBI = Suku Bunga Kredit dari BPR untuk Kredit Investasi (persen)
JBPR = Jumlah Kantor Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
(unit)
SBPM = Suku Bunga Kredit, Bank Pemerintah untuk KMK (persen)
JT
= Jumlah Simpanan Tabungan Masyarakat di Bank Umum (Rp)
JNB
= Jumlah Nasabah Peminjam di BRI-Unit (orang)
SBPI = Suku Bunga Kredit Bank Pemerintah untuk Kredit Investasi (persen)
JD
= Jumlah Simpanan Deposito Masyarakat di Bank Umum (Rp)
JBRI = Jumlah Kantor BRI-Unit (unit)
SBPK = Suku Bunga Kredit Bank Pemerintah untuk Kredit Konsumen (persen)
RPN
= Jumlah Pinjaman per Nasabah BRI Unit (Rp)
RNU = Jumlah Rata-rata Nasabah Peminjam per BRI-Unit (orang)
SBSM = Suku Bunga Kredit dari Bank Swasta untuk KMK (persen)
JKSP = Jumlah Kantor Koperasi Simpan Pinjam (unit)
JAKO = Jumlah Anggota Koperasi Simpan Pinjam (orang)
AKO = Aset Koperasi Simpan Pinjam (Rp)
JMK = Jumlah Modal Koperasi Simpan Pinjam (Rp)
JP
= Jumlah Penduduk (orang)
JAK
= Jumlah Angkatan Kerja (orang)
KMB = Kredit Modal Kerja dari BPR (Rp)
KIKB = Kredit Investasi dan Konsumsi dari BPR (Rp)
KMK = Kredit Modal Kerja dari KUK (Rp)
KIKK = Kredit Investasi dan Konsumsi dari KUK (Rp)
KBRI = Kredit Kupedes dari BRI-Unit (Rp)
KBPR = Total Kredit dari BPR (Rp)
KUK = Total Kredit dari KUK (Rp)
KKSP = Kredit / Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (Rp)
JG
= Jumlah Simpanan Giro dari Masyarakat di Bank Umum (Rp)
PDRBi = PDRB sektoral ( PDRB1 = PDRB sektor Pertanian, PDRB2 =
PDRB sektor Industri Pengolahan, PDRB3 = PDRB sektor
Perdagangan, PDRB4 = PDRB sektor Jasa-jasa ) (Rp)
90
3.6.
Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan
kerangka pemikiran teoritis yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan
hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Pengambilan kredit oleh usaha kecil diduga akan mempengaruhi, penggunaan
bahan baku, penggunaan bahan bakar, penggunaan tenaga kerja, penerimaan
usaha, pendapatan usaha, serta konsumsi, tabungan, dan pengeluaran untuk
pendidikan dan sosial.
2. Kredit mikro dan kecil yang berasal dari lembaga keuangan mikro ( bank
umum, bank perkreditan rakyat, dan koperasi simpan pinjam), diduga akan
mempengaruhi produk domestik regional bruto sektor pertanian, industri
pengolahan, perdagangan, dan jasa-jasa.
Download