37 III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS 3.1. Usaha Kecil Dan Kebutuhan Kredit Di Indonesia usaha mikro dan kecil menjadi penopang utama kegiatan ekonomi, terutama dilihat dari kontribusi dalam hal penyerapan tenaga kerja dan jumlah unit usaha. Kontribusi usaha mikro dan kecil (UMK) dalam penyerapan tenaga kerja mencapai 94.59 persen dari seluruh pasar tenaga kerja di Indonesia, sedangkan kontribusi usaha mikro dan kecil (UMK) dalam hal jumlah unit usaha di semua sektor ekonomi mencapai 99.91 persen dari total unit usaha di Indonesia (Kemenkop dan UKM, 2009). Secara umum usaha mikro, kecil dan menengah memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian, kondisi yang hampir sama juga terdapat di negara-negara lain bahkan di negara maju sekalipun. Negara-negara maju sering mengatur pola kemitraan tertentu melalui undang-undang anti-trust, untuk menghambat praktek monopoli. Di Amerika Serikat jumlah perusahan berbentuk sole proprietorship mencapai 73.70 persen atau sekitar 14.78 juta unit usaha, perusahaan berbentuk corporation mencapai 18.50 persen atau 3.72 juta unit, dan perusahaan berbentuk partnership mencapai 9.75 persen atau sekitar 1.55 juta unit (Hyman, 1997). Disini terlihat di Amerika Serikat jumlah perusahaan perorangan (sole proprietorship), yang identik dengan perusahan skala kecil juga merupakan mayoritas usaha dan menjadi penopang struktur usaha yang lebih besar diatasnya. Berdasarkan aspek kepemilikan usaha dan legal bisnis, menurut Hyman (1997), terdapat beberapa bentuk perusahaan bisnis, yaitu: (1) sole proprietorship adalah usaha yang dimiliki dan dilakukan oleh perorangan, serta bertanggung jawab atas hutang bisnis, usaha ini merupakan bentuk struktur bisnis legal yang 38 paling dasar dan sederhana, (2) corporation adalah bisnis legal yang didirikan berdasarkan undang-undang negara, dimana ada pemisahan antara kepemilikan pribadi dan kepemilikan perusahaan, korporasi merupakan produk hukum perusahaan, dan ada aturan yang menyeimbangkan kepentingan manajemen yang mengoperasikan perusahaan, kreditur, pemegang saham, dan buruh yang menyumbangkan tenaga, dan (3) partnership adalah bisnis yang dimiliki oleh dua atau lebih, dimana ada pengaturan entitas dan / atau individu yang sepakat untuk bekerja sama untuk memajukan kepentingan mereka. Kemitraan ini terbentuk antara satu atau lebih bisnis di mana mitra (pemilik) bekerja untuk mencapai dan berbagi keuntungan atau kerugian. Perilaku ekonomi dari usaha kecil sebagai perusahaan (firm) memiliki perbedaan dengan perilaku ekonomi dari rumahtangga (household). Perusahaan adalah organisasi ekonomi yang bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan (profit) dengan menggunakan sejumlah sumberdaya yang dikuasainya. Sedangkan pada rumahtangga tujuan yang hendak dicapai adalah untuk memaksimumkan kegunaan (utility) dengan bertindak rasional dalam mengalokasikan modal dan waktu rumahtangga, dan menggunakan pendapatan untuk konsumsi barang dan jasa (Becker, 1965; Evenson, 1976; Kusnadi, 2005; Fariyanti, 2008). Pelaku usaha kecil sebagai produsen dengan asumsi dasar fungsi produksi (Henderson dan Quandt, 1980), memiliki perilaku ekonomi lebih didasarkan pada usaha untuk mencari keuntungan (laba) maksimum, dan untuk memaksimumkan keluaran serta mengoptimumkan penggunaan faktor produksi. Dalam jangka pendek, keuntungan merupakan selisih antara nilai keluaran dengan nilai masukan variabel, sedangkan dalam jangka panjang keuntungan merupakan selisih antara 39 nilai keluaran dengan total biaya masukan. Karena itu menurut Nazar (1980), bagi usaha kecil semua kegiatan produktif tersebut dilakukannya dengan tujuan untuk memaksimumkan keuntungan (laba), dengan tergantung pada harga relatif masukan dan keluaran, dan hubungan teknik dari produksi. Langkah yang dilakukan oleh produsen ini secara teori dikenal sebagai optimisasi. Pada tahap awal kegiatan produksi, usaha kecil akan berusaha memaksimuman produksi dengan kendala anggaran (modal) sehingga dicapai titik keseimbangan produsen. Selanjutnya apabila usaha kecil ingin melakukan perluasan usaha (mencapai titik keseimbangan produsen yang lebih tinggi), maka dibutuhkan tambahan anggaran biaya untuk membeli bahan baku (masukan atau input). Tambahan anggaran biaya ini bisa didapatkan dengan 2 (dua) cara, yaitu: (1) dari internal berupa akumulasi keuntungan (laba) yang dapat disisihkan, dan (2) dari eksternal berupa kredit atau pinjaman (dari lembaga keuangan atau dari pihak luar lainnya). 3.1.1. Perilaku Ekonomi Usaha Kecil Asumsi ekonomi berupa maksimisasi keuntungan (laba) sangat sering dipakai, karena dapat meramalkan perilaku usaha serta mempermudah dalam analisis yang diperlukan. Untuk kegiatan usaha seperti usaha kecil yang dikelola langsung pemiliknya, keuntungan masih mendominasi hampir seluruh keputusan perusahaan (Pindyck dan Rubinfeld, 2001). Namun demikian dalam jangka pendek tujuan lain seperti maksimisasi penerimaan untuk mencapai pertumbuhan pasar, juga sering lebih diprioritaskan oleh pelaku usaha. Hal ini juga didorong oleh kebutuhan manajerial usaha untuk menjaga aspek likuiditas dan aktivitas usaha, sebelum pada akhirnya aspek profitabilitas usaha akan dapat dicapai. 40 3.1.1.1. Kegiatan Produksi dan Biaya Produksi Dalam suatu kegiatan usaha, hubungan antara masukan (input) pada proses produksi dan keluaran (output) digambarkan oleh fungsi produksi. Suatu fungsi produksi (production function) menunjukkan keluaran (y) yang dihasilkan oleh produsen untuk setiap kombinasi masukan (xi) tertentu. Untuk menyederhanakan diasumsikan ada dua masukan, yaitu tenaga kerja (x1) dan modal (x2), sehingga fungsi produksi dapat ditulis sebagai: y = f (x1,x2) ......................................................................................... (01) Pada tingkat teknologi tertentu kombinasi antara masukan x1 dan x2 ini akan menghasilkan keluaran (y) yang sama dan menghasilkan informasi yang disebut isokuan (isoquant). Produsen apabila dimungkinkan oleh garis iso-biaya (isocosts line), maka akan selalu berusaha mencapai titik keseimbangan produsen (keluaran atau output) yang lebih tinggi pada isokuan yang lebih tinggi atau dikenal dengan istilah maksimisasi keluaran dengan kendala biaya. Hal ini secara rasional dilakukan sebagai upaya untuk mengikuti jalur perluasan usaha (expansion path) yang secara teknologi dimungkinkan. Namun demikian pada umumnya produsen akan terkendala oleh modal dari dalam (modal internal) untuk membiayai masukan (input) produksinya, sehingga memerlukan tambahan modal yang berasal dari luar. Dalam kegiatan produksi, kredit sangat berperan sebagai penambah modal dari luar (eksternal) untuk membiayai masukan produksi sehingga produsen dapat meningkatkan produksi menjadi lebih tinggi. Masukan produksi yang dibiayai dengan kredit mempunyai biaya tambahan yang nilai sebesar tingkat bunga kredit. Dengan adanya kredit maka akan ada tambahan biaya untuk kegiatan produksi, 41 sehingga dapat mempengaruhi komposisi penggunaan input optimum pada jalur perluasan usaha (expansion path). Dengan pendekatan konsep biaya produksi, produsen akan menghadapi fungsi produksi sebagai berikut (Baker, 1968). y = f (x1, x2 | xf) ................................................................................... (02) dimana: y = keluaran; dan f menyatakan fungsi daripada xi = masukan variabel xf = masukan lainnya yang dianggap tetap Berdasarkan fungsi produksi tersebut, persamaan biaya dapat dinyatakan sebagai berikut: c = p1x1 + p2x2 + b ............................................................................. (03) dimana: c = biaya total yang dikeluarkan pi = harga per satuan masukan variabel xi b = total biaya tetap Apabila saat ini biaya total c diketahui sejumlah modal tertentu, misalnya sebesar co, maka persamaan biaya menjadi: co = p1x1 + p2x2 + b ........................................................................... (04) Berdasarkan persamaan biaya diatas, maka dapat diperoleh persamaan garis isobiaya, yang menggambarkan permintaan masukan variabel x1 dan x2 pada jumlah modal co tersebut. Persamaan iso-biaya tersebut adalah: x1 = co − b p 2 x2 ........................................................................... (05) p1 p1 42 x2 = co − b p1 x1 ........................................................................... (06) p2 p2 Berdasarkan hubungan x1 dan x2 pada sejumlah biaya co, produsen dapat memaksimalkan keluaran y pada kondisi: − p1 dx 2 = dx1 p 2 dimana – ........................................................................................ (07) dx 2 menunjukan daya substitusi masukan x1 terhadap masukan x2 dan dx1 juga merupakan sudut kemiringan garis iso-biaya, yaitu merupakan tempat kedudukan titik-titik kombinasi penggunaan masukan x1 dan x2 yang dapat dilakukan dalam batas anggaran yang dimiliki, untuk produksi tertentu (Kuntjoro, 1983). Apabila co meningkat jumlahnya, maka akan diperoleh garis perluasan usaha (expansion path). Dalam melakukan kegiatan produksi produsen masih terkendala oleh modal yang dimilikinya, sehingga penggunaan masukan x1 dan x2 juga terbatas jumlahnya. Dengan asumsi bahwa pelaku usaha kecil masih dalam tahap daerah produksi II yang rasional, yaitu produk marjinal masih positif sehingga masih dapat memperbanyak penggunaan masukan untuk menaikkan produksi, maka tambahan modal dari luar (eksternal) dapat diperoleh melalui kredit. Persamaan produksi diatas masih menggunakan masukan produksi yang tidak dibiayai dengan kredit, sehingga harga masukan yang digunakan adalah harga pasar. Jika masukan x1 dan x2 diperoleh dari kredit, maka harga masukan menjadi lebih mahal, karena terbebani biaya kredit. Apabila r1 dan r2 masingmasing adalah biaya marjinal dari modal yang mempengaruhi penggunaan satu 43 satuan masukan x1 dan x2, yaitu tambahan biaya yang dikeluarkan untuk manambah penggunaan satu satuan masukan x1 dan x2, misalnya tingkat bunga kredit, maka kesimbangan penggunaan masukan menjadi (Baker, 1968): − dx 2 = dx1 p1 + r1 p2 + r 2 ............................................................................... (08) Apabila kredit digunakan sebagai tambahan modal untuk membiayai tambahan satu satuan masukan xi yang digunakan, maka harga satu satuan masukan tersebut juga menjadi lebih tinggi dari harga pasar semula. Hal ini tergantung pula pada tingkat bunga yang dibebankan pada masing-masing masukan xi, apakah ada perbedaan tingkat bunga untuk masukan x1 dan x2 ataukah tidak. Apabila ada perbedaan tingkat bunga untuk pinjaman xi sedangkan biayabiaya lainnya tetap, maka akan terjadi perubahan kombinasi penggunaan masukan x1 dan x2. Jika diasumsikan hanya masukan x1 yang dibiayai dari kredit, maka harga satu satuan masukan x1 menjadi p1+r dimana r adalah biaya kredit yang dibebankan tiap satu satuan masukan xi yang dibiayai. Sehingga persamaan keseimbangan penggunaan input yang optimal akan mengalami perubahan menjadi (Kusnadi, 1990): − dx 2 < dx1 p1 + r p2 ................................................................................. (09) Untuk mengimbangi hal ini, maka produsen harus mengurangi jumlah penggunaan masukan x1. Apabila jumlah keluaran atau isokuan y0 tertentu, tetap dipertahankan seperti keadaan semula, maka kebutuhan modal harus ditambah menjadi c1. Dengan menambah modal menjadi c1, maka akan didapat jalur perluasan usaha (expansion path) yang baru. Tampak jalur perluasaan usaha yang 44 baru setelah mendapat kredit cenderung lebih banyak menggunakan masukan x2, seperti tampak pada gambar berikut ini. Gambar.1 memperlihatkan penggunaan masukan pada kondisi biaya minimum tanpa adanya biaya kredit diperoleh pada titik A. Sedangkan jalur perluasan usaha tanpa adanya biaya kredit diperlihatkan oleh garis S1. Apabila penggunaan masukan x1 dibiayai dari kredit, maka harga masukan x1 meningkat menjadi lebih mahal sebesar r, sehingga komposisi penggunaan masukan optimum diperoleh pada titik B, selanjutnya jalur perluasan usaha akan berubah menjadi garis S2 dengan menggunakan masukan x2 lebih besar dibanding sebelumnya (Baker, 1968). 45 3.1.1.2. Penggunaan Kredit dan Maksimisasi Keuntungan Peranan kredit terhadap perekonomian dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu makro dan mikro. Dari sisi makro peranan kredit merupakan alat kebijakan untuk pembangunan ekonomi yang antara lain bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi, pengembangan dunia usaha, dan menciptakan kesempatan kerja. Sedangkan dari sisi mikro, kredit berperan banyak sebagai penambah modal dari luar usaha (modal eksternal), bahkan seringkali kredit dipandang identik dengan masukan produksi (input). Pada sisi mikro ini pula peranan kredit produksi terhadap usaha kecil menjadi sangat diperlukan, karena sifatnya yang dinamis dan digunakan untuk kegiatan usaha yang dapat meningkatkan pendapatan usaha. Pada prinsipnya peranan kredit bagi kegiatan produksi adalah merupakan penambah modal, sehingga pengusaha dapat meningkatkan produksinya pada tingkat yang lebih tinggi. Namun apabila proses produksi dibiayai dengan kredit, maka harga masukan akan menjadi lebih mahal sebesar biaya kredit (tingkat suku bunga kredit). Proses ini selanjutnya akan menyebabkan adanya perbedaan harga masukan, sehingga pengusaha akan mengubah komposisi penggunaan masukan optimal. Keadaan ini pada akhirnya akan mempengaruhi arah jalur perluasan usaha (expansion path)yang akan dipilih oleh pengusaha. Selanjutnya penggunaan masukan dalam proses produksi dengan memanfaatkan tambahan modal yang berasal dari kredit, akan dapat dilanjutkan untuk menganalisis tingkat keuntungan melalui fungsi keuntungan. Di dalam model neo-klasik, diasumsikan bahwa pengusaha berupaya memaksimumkan keuntungan (π) berdasarkan kondisi biaya produksi tidak melebihi dana yang dimilikinya (Kuntjoro, 1983). Berdasarkan fungsi produksi pada persamaan (1), 46 dimana y adalah besarnya keluaran yang dihasilkan merupakan fungsi dari besarnya masukan x1 dan x2 yang digunakan, dan xf ceteris paribus. Apabila harga per satuan keluaran adalah P0, maka total penerimaan akan menjadi: P0.f(x1,x2 | xf) ..................................................................................... (10) sehingga dengan menggunakan persamaan biaya (3) c = p1x1 + p2x2 + b kemudian akan didapat fungsi keuntungan (π) sebesar: π = P0.f(x1,x2 | xf) − p1x1 + p2x2 + b ................................................ (11) Dengan menggunakan kaidah “first order condition”, maka keuntungan (π) maksimum dapat ditentukan, yaitu turunan partial dari keuntungan (π) masingmasing terhadap masukan x1 dan x2, sehingga akan diperoleh: ∂π = P0f1 − p1 = 0 ∂x1 Maka ; P0f1 = p1 .............................................................................. (12) ∂π = P0f2 − p2 = 0 ∂x 2 Maka ; P0f2 = p2 ............................................................................... (13) f1 = p1 ∂y = PMx1 = ....................................................................... (14) Po ∂x1 f2 = p2 ∂y = PMx2 = ....................................................................... (15) Po ∂x 2 Dalam keadaan keseimbangan akan diperoleh P0f1 = p1 , dimana P0 adalah harga per satuan keluaran, f1 adalah produk marjinal penggunaan masukan x1 dan keuntungan (π) maksimum akan tercapai. Atau pada penggunaan masukan yang optimal, apabila untuk setiap masukan yang dipergunakan diperoleh harga 47 per satuan setiap masukan sama dengan nilai produk marjinal setiap masukan. Nilai produk marjinal dari suatu masukan (PMxi) menunjukkan tingkat penambahan penerimaan yang diperoleh pengusaha dengan bertambahnya penggunaan masukan sebanyak satu satuan (Kuntjoro, 1983). Jika pengusaha membiayai kegiatan produksi dengan dana dari pinjaman, maka harga per satuan masukan x1 tersebut akan lebih mahal menjadi p1 (1+λ), di mana nilai λ adalah biaya per satuan pinjaman. Penggunaan sumber produksi dengan biaya yang lebih mahal ini akan menyebabkan produk total dan keuntungan menjadi lebih rendah. Implikasi dari keadaan keseimbangan ini pada alokasi penggunaan sumber produksi akan berpengaruh pada produk total dan nilai produk marjinal dari input x1. Tersedianya kredit produksi dengan tingkat bunga yang rendah (r), dapat meningkatkan penggunaan masukan x1 menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan pinjaman dengan biaya modal sebesar (λ), karena harga p1(1+r) < harga p1(1+λ). Namun demikian penggunaan masukan x1 dalam kegiatan produksi masih lebih rendah atau dibawah penggunaan masukan optimal dengan harga pasar p1(1+0), jika tambahan modal tersebut seluruhnya berasal dari dana sendiri tanpa menggunakan kredit. Implikasi dari adanya bunga kredit terhadap harga masukan seringkali kali kurang diperhitungkan oleh pengambil kebijakan kredit, sehingga diasumsikan harga masukan adalah sama dengan harga pasar. Sehingga besar kemungkinan bahwa pengusaha sesungguhnya tidak menggunakan masukan secara optimal, apabila tingkat bunga untuk memperoleh kredit ternyata fluktuatif dan bervariasi. Penjelasan mengenai hal ini dipertajam oleh uraian dari Ray (1998), yang 48 menampilkan fungsi produksi dari pengusaha yang mengubah modal kerja (L) menjadi keluaran (output). Apabila pengusaha memperoleh sejumlah pinjaman dengan tingkat bunga (i*), maka biaya total pinjaman modal kerja L adalah L(1+i*). Gambar 2. menunjukkan pemberi pinjaman sebenarnya menginginkan garis biaya total pinjaman menjadi securam mungkin dengan membuat tingkat bunga (i) menjadi besar, namun pada saat yang sama pemberi pinjaman tidak dapat mendorong peminjam menerima tingkat bunga (i) melebihi i*. Pemberi pinjaman hanya memiliki kekuatan monopoli terbatas secara lokal dan peminjam akan selalu bisa meminjam dana dari sumber lain setelah tingkat bunga berada diatas i*. Bagi peminjam akan optimal untuk mendapatkan jumlah pinjaman (modal kerja) sebesar L*, karena ini akan memberikan keuntungan maksimum sebesar garis A (perbedaan vertikal tertinggi antara fungsi produksi dan garis biaya adalah pembentuk keuntungan dari kegiatan produktif), kondisi di mana nilai produk marjinal sama dengan biaya marjinal pinjaman. Sehingga pada dasarnya pemberi pinjaman tidak bisa menentukan tingkat bunga (i) begitu tinggi, karena akan mendorong peminjam mencari pinjaman lain dengan tingkat bunga (i) yang lebih murah. Apabila dengan pertimbangan lainnya pemberi kredit melakukan penjatahan kredit (credit rationing) sehingga memberikan jumlah pinjaman sebesar <.L* (kurang dari L*) pada tingkat bunga (i*), maka peminjam hanya akan mendapatkan keuntungan (surplus) sebesar <.A (kurang dari keuntungan tertinggi pada tingkat bunga i*). Kondisi ini menunjukkan pada tingkat bunga i*, peminjam tidak mendapatkan jumlah pinjaman yang optimal, sehingga surplus atau keuntungan maksimal (garis A vertikal) tidak tercapai. Keadaan ini secara 49 tidak langsung dapat mendorong munculnya kredit macet oleh peminjam. Karena itu penting bagi pemberi kredit atau pengambil kebijakan kredit untuk memperhatikan jumlah pinjaman yang optimal pada masing-masing tingkat bunga kredit yang berlaku. Pada daerah produksi rasional di daerah II (penggunaan masukan efisien dan menguntungkan), penurunan tingkat bunga kredit (i) oleh pemberi pinjaman akan mendorong terjadinya peningkatan jumlah pinjaman (L) oleh peminjam. 50 3.1.2. Permintaan Kredit Agar kegiatan usaha kecil dapat terus berlangsung secara terus menerus dan mejadi berkembang, maka yang harus diperhatikan dan dijaga oleh pelaku usaha adalah, (1) likuiditas usaha agar semua kewajiban tunai untuk menjaga kebutuhan modal kerja dan kebutuhan jangka pendek lainnya dapat terpenuhi, (2) aktivitas usaha sehingga efektifitas perputaran usaha dalam menghasilkan barang dan jasa akan selalu terjaga, dan (3) profitabilitas usaha yang merupakan hasil akhir dari sejumlah kebijakan dan keputusan usaha sehingga membentuk tambahan modal secara internal. Ketiga hal ini saling berkaitan satu sama lain, karena itu tingkat likuiditas usaha merupakan langkah awal penting yang harus diperhatikan. Kredit sebagai salah satu pembiayaan usaha non-equity capital yang utama, menurut Kuntjoro (1983) merupakan sumber penting untuk menjaga likuiditas dan sekaligus merupakan suatu kekayaan (asset) yang dapat dikelola untuk kegiatan produksi suatu usaha. Makna lain dari kredit bagi kegiatan usaha adalah kredit merupakan sumber modal dari luar usaha dan sekaligus sebagai barang ekonomi bagi kegiatan usaha. Definisi kredit yang berkembang luas telah menyiratkan pengertian bahwa kredit sangat dibutuhkan oleh semua pengusaha dalam menjalankan aktivitas usahanya. Aktivitas ini membutuhkan keberadaan lembaga keuangan sebagai intermediasi antara pihak yang memiliki kelebihan likuiditas dan pihak yang memiliki kekurangan likuiditas. Peranan lembaga keuangan mikro sebagai pemberi kredit dan pelaku usaha kecil sebagai penerima kredit, juga menyiratkan pengertian bahwa kredit merupakan barang ekonomi. Kebutuhan akan kredit oleh 51 pelaku usaha terjadi karena adanya kebutuhan likuiditas eksternal akibat ketersediaan likuiditas internal yang dimilikinya sendiri tidak mencukupi. Permintaan kredit dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu tingkat suku bunga kredit, skala usaha, tingkat upah, pengeluaran untuk riset, proporsi lahan, tingkat pendidikan, ukuran keluarga, umur kepala keluarga, dan transitory income (Iqbal, 1981). Faktor-faktor tersebut antara lain menggambarkan, perkembangan pasar masukan (input), perubahan teknologi, karakteristik keluarga, dan kondisi sumberdaya yang dimiliki oleh pelaku usaha. Sedangkan permintaan kredit secara tidak langsung merupakan permintaan turunan (derived demand). Fungsi permintaan turunan ini dapat dianalisis berdasarkan dua teori, yaitu (1) kegunaan (utility), teori ini digunakan untuk menganalisis permintaan kredit dari sisi rumahtangga sebagai konsumen sekaligus produsen dan (2) fungsi keuntungan (profit function), teori ini digunakan untuk menganalisis permintaan kredit dari sisi perusahaan (badan usaha) sebagai produsen yang berusaha memaksimumkan keuntungan (profit). Analisis permintaan kredit secara tidak langsung ini, mengasumsikan bahwa kredit sebagai sumber modal bagi kegiatan usaha. Untuk menganalisis permintaan kredit oleh usaha kecil dapat dilakukan dengan pendekatan permintaan langsung dan pendekatan permintaan tidak langsung dengan analisis fungsi keuntungan. 3.1.2.1. Pendekatan Permintaan Langsung Permintaan terhadap suatu barang untuk masukan kegiatan produksi oleh usaha kecil ditentukan oleh beberapa faktor yang dapat dirumuskan dalam suatu 52 fungsi permintaan. Secara matematis fungsi permintaan suatu barang dapat dirumuskan sebagai berikut: qdx = ƒ (xi ) ................................................................................... (16) dimana: qdx xi = jumlah barang yang diminta = faktor-faktor yang diduga turut mempengaruhi permintaan barang tersebut Teori permintaan menjelaskan tentang karakteristik hubungan antar jumlah permintaan barang dan harga barang tersebut, dimana terdapat hubungan yang negatif. Selain itu permintaan terhadap barang ditentukan juga oleh barang lain, konsumen, dan faktor eksternal lainnya. Dengan demikian permintaan kredit (sebagai barang) akan ditentukan oleh empat variabel utama, yaitu: (1) kredit itu sendiri, meliputi tingkat bunga, biaya transaksi, skim kredit, jenis lembaga kredit, (2) endowments dan karakteristik pelaku usaha (peminjam) antara lain meliputi, aset yang dimiliki, skala usaha, tingkat pendidikan, jenis kelamin, pengalaman usaha, (3) pemberi kredit lainnya (kreditor pesaing) antara lain meliputi tingkat bunga kredit lainnya, jenis skim kredit lainnya, struktur pasar kreditnya, dan (4) faktor lainnya meliputi jumlah peminjam (debitor), musim, regulasi dari pemerintah. Hubungan antara tingkat bunga kredit dan jumlah kredit yang diminta adalah negatif, artinya semakin tinggi tingkat bunga kredit maka jumlah kredit yang diminta akan turun. Tingkat bunga kredit ini meliputi tingkat bunga nominal yaitu bunga yang ditetapkan pemberi kredit, dan tingkat bunga efektif yaitu bunga yang harus ditanggung oleh peminjam dimana tingkat bunga efektif ini meliputi tingkat bunga nominal dan biaya peminjaman. Biaya peminjaman ini meliputi 53 biaya transportasi, biaya transaksi lainnya, dan waktu yang diperlukan untuk pencairan kredit. Selain itu jenis lembaga pemberi pinjaman (kredit) diduga juga berpengaruh terhadap permintaan akan kredit, dimana lembaga bank umumnya memberikan kemungkinan plafon kredit yang lebih besar dibandingkan plafon kredit dari lembaga non bank. Hal ini karena bank umumnya mempunyai skim kredit yang lebih banyak dengan batas pengambilan kredit yang lebih tinggi pula. Permintaan akan kredit dipengaruhi pula oleh kekayaan peminjam. Diduga semakin besar kekayaan yang dimiliki maka akan semakin besar pula permintaan terhadap kredit, hal ini terkait juga dengan kemampuan peminjam untuk memenuhi persyaratan jaminan (collateral atau agunan) yang dipersyaratkan oleh bank. Jumlah aset likuid seperti kendaraan, perhiasan, dan ternak besar, serta saldo tabungan yang dimiliki peminjam juga menggambarkan kekayaan peminjam. Tingkat skala usaha juga turut mempengaruhi permintaan kredit, semakin besar skala usaha maka kebutuhan tambahan modal untuk modal kerja (pembelian bahan baku dan bahan pendamping) dan investasi juga semakin besar sehingga berhubungan positif dengan permintaan kredit. Selain itu tingkat pendidikan dan pengalaman usaha diduga juga berpengaruh terhadap permintaan akan kredit, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin lama pengalaman usaha maka permintaan akan kredit akan semakin meningkat. Sedangkan keberadaan pemberi pinjaman lainnya (jumlah bank dan non bank, jenis skim kredit) juga mempengaruhi permintaan akan kredit. Banyaknya jumlah bank dan jenis skim kredit yang ditawarkan akan membuat pasar kredit menjadi semakin kompetitif, sehingga tingkat bunga kredit diharapkan akan 54 kompetitif pula. Karena itu struktur pasar kredit yang kompetitif akan mendorong penurunan tingkat bunga kredit di suatu wilayah. Jumlah peminjam (debitor) juga akan berpengaruh terhadap permintaan terhadap kredit. Jika jumlah peminjam meningkat yang digambarkan oleh tingginya jumlah usaha kecil disuatu wilayah, maka kebutuhan akan tambahan modal usaha juga akan mampu mendorong peningkatan permintaan akan kredit. Selain itu musim diduga juga turut berpengaruh terhadap permintaan akan kredit, hal ini terjadi karena pada jenis usaha tertentu yang kebutuhan modal kerja untuk bahan baku bersifat musiman sehingga kebutuhan kredit juga meningkat pada saat bahan baku tersedia melimpah dan banyak dibutuhkan oleh pengusaha. Dengan demikian permintaan terhadap kredit melalui pendekatan langsung ini secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: Qc = f (rc, Ic, Sc, Ec) ..................................................................... (17) dimana: Qc = permintaan kredit rc = tingkat bunga kredit Ei = skim kredit, jenis lembaga pemberi kredit / pinjaman Ii = karakteristik peminjam (umur, pendidikan, pengalaman usaha) Si = endowments ( skala usaha, aset yang dimiliki, dll) 3.1.2.2. Pendekatan Permintaan Tidak Langsung Peranan kredit dalam kegiatan produksi dari suatu usaha kecil sebagai tambahan modal usaha menunjukkan bahwa secara tidak langsung kredit mempunyai kaitan dalam kegiatan produksi. Kredit akan digunakan untuk membiayai tambahan penggunaan faktor-faktor produksi (masukan atau input produksi) dalam rangka mencapai titik keseimbangan produsen yang lebih tinggi 55 sesuai jalur perluasan usaha (expansion path). Oleh karena itu untuk menduga permintaan terhadap kredit dapat dilakukan dengan pendekatan tidak langsung (derived approach) melalui fungsi produksi (production function) dan fungsi keuntungan (profit function). Asumsinya adalah penggunaan kredit dalam fungsi produksi akan memberikan tambahan likuiditas untuk membiayai pembelian masukan (input) produksi. Pengusaha memutuskan untuk meningkatkan produksinya dalam rangka untuk memperbesar omset penjualan baik melalui peningkatan skala usaha atau dengan meningkatkan perputaran usaha, karena adanya peluang usaha yang lebih baik pada waktu mendatang. Karena ketersediaan modal sendiri yang dimiliki usaha kecil relatif terbatas, maka alternatif pemenuhan modal akan dapat dipenuhi dari sumber kredit. Fungsi produksi yang menggambarkan hubungan teknis antara masukan dan keluaran secara matematis dirumuskan seperti pada persamaan (2) sebagai berikut: y = f (xi | xf) dimana: y = keluaran; dan f menyatakan fungsi daripada xi = masukan variabel xf = masukan lainnya yang dianggap tetap Karakteristik fungsi produksi menurut Henderson dan Quandt (1980), adalah : (1) merupakan fungsi kontinyu (non discrete) atau limit mendekati nol, (2) bernilai tunggal (single value) yaitu setiap masukan (input) berpasangan dengan keluaran (output) tertentu, (3) derivasi atau turunan pertama dan kedua bersifat kontinyu, (4) nilai yang dipakai positif atau y = f (xi), dimana y dan xi > 0, dan (5) fungsi produksi cembung (convex) terhadap titik nol. 56 Dengan asumsi bahwa pengusaha berusaha memaksimumkan keuntungan, memaksimumkan keluaran (output), serta optimalisasi penggunaan masukan produksi, maka keuntungan dalam jangka pendek yaitu merupakan selisih antara nilai keluaran (total penerimaan) dengan total biaya masukan variabel. Sedangkan dalam jangka panjang, karena semua masukan dianggap variabel, maka keuntungan adalah nilai keluaran dikurangi biaya masukan. Dengan memanfaatkan persamaan (2) dan persamaan (11), maka fungsi keuntungan juga dapat dirumuskan secara matematis sebagai berikut : π = P0 . f ( xi | xf ) – ( ∑ ci . xi + b ) ................................................... (18) dimana : π = keuntungan jangka pendek suatu perusahaan P0 = harga keluaran per satuan ci = harga per satuan masukan variabel x Berdasarkan kaidah first order condition maka keuntungan maksimum jangka pendek tercapai pada saat turunan pertama terhadap input xi dari fungsi produksi sama dengan nol. Sehingga produk marjinal masukan xi sama dengan harga per satuan xi , dan secara matematis akan di dapat persamaan : ∂f ( xi; xf ) ∂π − ci = 0 .............................................................. (19) = P0 . ∂xi ∂xi P0 . ∂f ( xi; xf ) = ci ............................................................................. (20) ∂xi atau ∂f ( xi; xf ) = ∂xi ci .............................................................................. (21) Po dari persamaan (21) diketahui bahwa keuntungan maksimum akan tercapai bila nilai produk marjinal sama dengan rasio harga masukan variabel (ci) dengan harga 57 keluaran (P0). Model persamaan ini secara teori dapat digunakan untuk menganalisis beberapa bentuk fungsi produksi, dengan asumsi tersendiri. Kebutuhan tambahan modal bagi kegiatan produksi usaha kecil dapat pula berasal dari pendapatan bersih usaha dari periode-periode sebelumnya. Pendapatan bersih usaha ini merupakan sumber cadangan dana (modal) secara internal sebagai komponen utama pembentukan modal (capital formation) bagi usaha kecil dalam bentuk tabungan, pembelian dan peningkatan alat-alat produksi, serta menjadi sumber dana untuk pengeluaran pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Hal ini terjadi karena usaha kecil yang sebagian besar berada di wilayah perdesaan umumnya belum mampu memisahkan secara tegas pengeluaran untuk kebutuhan produksi, investasi dan konsumsi (Rachmina, 1994). Pada saat yang bersamaan apabila kebutuhan tersebut harus dipenuhi maka prioritas lebih condong untuk membiayai pengeluaran pendidikan dan kesehatan bagi keluarganya, serta pengeluaran untuk kebutuhan sosial kemasyarakatan (sumbangan kematian, hajatan, pembangunan sarana umum dan tempat ibadah), yang sebenarnya juga merupakan investasi jangka panjang menguntungkan bagi pengembangan sumberdaya manusia dan modal sosial di masyarakat. Bagi usaha kecil tambahan modal usaha yang diperoleh dari kredit akan menjadi komponen modal usaha untuk menambah pembelian masukan (input) produksi berupa bahan baku utama dan bahan baku pendamping. Salah satu faktor yang menentukan dalam jumlah penggunaan masukan produksi adalah harga per satuan masukan, apabila harga masukan turun maka jumlah masukan yang digunakan akan bertambah. Selanjutnya penggunaan bahan baku ini dalam proses produksi akan meningkatan kapasitas produksi atau keluaran (produk atau output) 58 sehingga akan penerimaan usaha (total produk) meningkat pula. Penerimaan usaha juga akan meningkat apabila harga jual produk meningkat. Pada proses inilah fungsi produksi, fungsi biaya, dan fungsi penerimaan secara bersama-sama akan menghasilkan fungsi keuntungan yang merupakan keuntungan bersih usaha atau surplus usaha (π), yaitu penerimaan usaha setelah dikurangi biaya produksi. Secara sederhana pembentukan surplus usaha dapat dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut: πt = TRt-1 – TCt-1 ................................................................................ (22) dimana : πt = surplus usaha pada periode t TRt-1 = total penerimaan pada periode t sebelumnya TCt-1 = total biaya produksi pada periode t sebelumnya Adanya asumsi bahwa pelaku usaha kecil yang pada umumnya masih belum mampu memisahkan secara tegas antara kebutuhan pribadi dan kebutuhan usaha kecil, serta asumsi bahwa modal usaha yang dimiliki oleh usaha kecil masih terbatas, maka tambahan modal dari luar (non equity capital) berupa kredit sangat diperlukan untuk menciptakan keuntungan usaha (surplus) yang lebih besar. 3.1.2.3. Kondisi Pasar Kredit Mikro dan Kecil Ada dua macam pasar kredit di perdesaan, yaitu (1) pasar kredit informal yang sangat fleksibel dan mudah diakses, (2) dan pasar kredit formal yang mengikuti mekanis pasar (Syukur et al., 2003). Menurut Ray (1998), masih adanya tingkat bunga yang tinggi terutama pada di pasar kredit mikro dan kecil (pasar kredit informal), terjadi karena pemberi pinjaman memiliki kekuatan monopoli eksklusif atas peminjam, sehingga dapat menetapkan tingkat bunga 59 yang lebih tinggi untuk suatu pinjaman dibanding dengan tingkat bunga pada kredit komersial lainnya yang lebih kompetitif. Secara empiris ini terjadi karena pasar kredit ini tersegmentasi dan pihak pemberi pinjaman memiliki “monopoli lokal’ atas peminjam secara terbatas. Selain itu secara teoritis berkaitan dengan risiko dalam kredit. Risiko kredit macet di pasar kredit ini terjadi karena peminjam mungkin macet dalam pembayaran bunga, atau sebagian dan bahkan seluruh jumlah kredit yang dipinjam. Risiko ini bersumber, (1) dari risiko kredit macet yang tidak disengaja, seperti: gagal panen, pengangguran, sakit, atau kematian, sehingga peminjam mungkin tidak memiliki cukup uang saat pinjaman jatuh tempo, (2) ada risiko kredit macet yang mungkin disengaja secara strategis, dimana peminjam mengambil uang itu dan lari, atau bersikeras tetap menolak untuk membayar, terjadi karena hukum tidak kuat atau berfungsi sangat lemah. Selanjutnya secara sederhana dapat dijelaskan, ada probabilitas p eksogen dari kegagalan pada setiap dana yang dipinjamkan. Persaingan antara pemberi pinjaman dalam mengendalikan tingkat bunga kredit ke titik di mana masingmasing pemberi pinjaman, rata-rata memperoleh keuntungan yang diharapkan sama dengan nol (setara kredit komersial bank formal). Diasumsikan pasar kredit adalah kompetitif. Misalkan L adalah jumlah total dana yang dipinjamkan, sedangkan r adalah tingkat bunga komersial / formal (opportunity cost), dan i adalah tingkat bunga (kredit mikro dan kecil / informal). Karena hanya sebagian dari p pinjaman akan dilunasi (tidak terjadi kredit macet), maka keuntungan pemberi pinjaman yang diharapkan adalah p (1 + i) L - (1 + r) L. L = jumlah dana yang dipinjamkan (jumlah kredit) p = probabilitas kredit macet (1 adalah tidak terjadi kredit macet) r = tingkat bunga kredit komersial / formal (opprtunity cost pemberi 60 pinjaman) i = tingkat bunga kredit mikro dan kecil / informal Kondisi laba nol menyiratkan nilai ini harus nol dalam keseimbangan, yaitu, p(1 + i)L - (1 + r)L = 0 atau i= (1 + r ) −1 p Ketika p = 1, yaitu kondisi tidak ada risiko kredit macet, dimana i = r, tingkat bunga komersial (formal) atau (i) sama dengan tingkat bunga kredit mikro dan kecil (formal) atau (r). Namun, jika p < 1, maka i > r, yaitu tingkat bunga kredit mikro dan kecil akan meningkat lebih tinggi untuk menutupi terjadinya risiko kredit macet (default). Contoh, apabila tingkat bunga kredit komersial / formal (r) sebesar 10 persen per tahun dan peluang terjadinya kredit macet sebesar 20 persen, sehingga p = 0.8. Maka akan menghasilkan nilai tingkat bunga (i) kredit mikro dan kecil / informal sebesar 37.5 persen. Jelaslah, pada kondisi pasar kredit yang kompetitif, maka tingkat bunga kredit mikro dan kecil / informal akan sangat sensitif terhadap risiko kredit macet (default). Seringkali untuk menjaga agar tingkat bunga kredit mikro dan kecil tidak terlalu besar, maka kredit macet diupayakan sebesar 5 persen. Ini merupakan aspek penting dari realitas pasar kredit mikro dan kecil terutama di perdesaan dan adanya risiko kredit macet. Di pasar kredit terutama di negara maju, risiko ini secara substansial menjadi lebih rendah, terutama karena telah berkembangnya dengan baik sistem hukum yang memaksa berlakunya kontrak pinjaman (akad kredit) dan banyak pinjaman yang dijamin. Tidak adanya jaminan hukum (standar yang kuat), akan memunculkan fitur yang membentuk beberapa karakteristik unik dari pasar kredit mikro dan kecil /informal. 61 Karena itu untuk mengatasi adanya kredit macet, terutama pada kredit mikro dan kecil di perdesaan perlu diperhatikan beberapa faktor: 1. Ukuran dan Penggunaan Pinjaman: jumlah kredit yang besar akan menyebabkan risiko kredit macet yang lebih besar pula, karena hal ini berkaitan dengan peluang peminjam untuk memperoleh kesempatan meninggalkan tempat usaha lama, karena jumlah pinjaman yang besar tadi. Selain itu jenis pinjaman juga berperanan terhadap terjadinya kredit macet, jika pinjaman tersebut bisa digunakan peminjam untuk secara permanen menempatkan dalam situasi, di mana peminjam tidak pernah meminjam lagi, maka risiko kredit macet semakin besar. Misalnya, seorang buruh di perdesaan meminjam sejumlah dana sehingga dapat bermigrasi ke kota dan punya usaha kecil di sana, maka risiko kredit macet akan makin besar. Karena itu seringkali terjadi jumlah kredit mikro dan kecil di wilayah perdesaan yang diberikan relatif kecil dan umumnya hanya diperuntukkan bagi kegiatan usaha rutin (modal kerja) atau konsumsi saja. 2. Agunan (Jaminan): rasa takut akan terjadinya kredit macet juga menciptakan kecenderungan bagi pemberi pinjaman untuk meminta jaminan, selama dimungkinkan. Agunan bisa dalam berbagai bentuk, tanah dapat diagunkan sebagai jaminan ke pemberi pinjaman, dan hak untuk menggunakan hasil dari lahan oleh pemberi pinjaman selama pinjaman berlangsung (ijon). Pada dasarnya, agunan terdiri dari dua jenis, (a) agunan yang oleh kedua belah pihak, yaitu pemberi pinjaman dan peminjam dianggap sangat bernilai, agunan jenis ini (bernilai bagi kedua belah pihak) memiliki keuntungan tambahan guna menutup pemberi pinjaman terhadap standar paksa apabila terjadi kredit macet, 62 (b) agunan yang dianggap oleh peminjam sangat bernilai, tetapi oleh pemberi pinjaman tidak dianggap bernilai tinggi, agunan ini bagi pemberi pinjaman tidak terlalu diperhatikan dan akan dijual dengan harga yang kurang baik jika peminjam gagal membayar pinjaman, sementara bagi peminjam sangat bernilai (historis atau sentimentil) misalnya: tanah warisan, dan karenanya akan berusaha membayar kembali pinjamannya bahkan apabila tingkat bunga yang harus dibayarkan sangat tinggi sekalipun. 3. Penjatahan Kredit (credit rationing): adalah situasi di mana pada tingkat bunga kredit yang berlaku di psar kredit, peminjam ingin memperoleh pinjaman dana lebih banyak, tetapi tidak diijinkan atau disetujui oleh pemberi pinjaman. Penjatahan kredit ini umumnya berkaitan dengan adanya informasi yang asimetris (asymmetric information). Tidak semua peminjam memiliki risiko yang sama, ada peminjam berisiko tinggi dan ada peminjam berisiko rendah. Resiko pinjaman dapat bervariasi secara signifikan dari satu peminjam ke peminjam yang lain. Risiko ini berkorelasi dengan karakteristik peminjam yang diamati pemberi pinjaman (seperti: kepemilikan aset, omset, atau akses pemasaran), namun secara substansial juga tergantung pada kualitas dari karakteristik peminjam lainnya, yang tidak diamati oleh pemberi pinjaman (seperti: keterampilan, ketajaman mental dalam menghadapi krisis, kualitas manajemen, dan sebagainya). Ketika terlihat karakteristik yang diamati itu berisiko tinggi, pemberi pinjaman dapat mengenakan tingkat bunga yang sesuai untuk menutup risiko tersebut. Namun, bila ada karateristik peminjam yang tidak diamati dianggap berisiko tinggi oleh pemberi pinjaman, maka akan ada tambahan dimensi baru untuk transaksi pasar kredit tersebut. 63 Dimensi baru ini mungkin menimbulkan situasi di mana pada tingkat bunga yang ditetapkan, pemberi pinjaman cenderung tidak bersedia untuk memenuhi permintaan dana sebesar yang diinginkan oleh peminjam, sehingga pemberi pinjaman akan cenderung melakukan penjatahan kredit (credit rationing). Kecilnya jumlah pinjaman yang diberikan ini pada akhirnya dapat memperbesar munculnya kredit macet oleh peminjam. 3.2. Kinerja Usaha Kecil Dalam kegiatan manajemen produksi istilah kinerja seringkali dipergunakan secara bergantian dengan efisiensi dan produktivitas. Namun demikian terdapat perbedaan yang cukup mendasar secara teknis. Efisiensi dan produktivitas lebih menunjukkan kepada ratio keluaran (output) terhadap masukan (input), sedangkan kinerja menunjukkan pengertian lebih luas dari efisiensi dan produktivitas (Adam dan Ronald, 1986). Istilah produktivitas berasal dari kata produk yang berarti barang atau jasa, sehingga merupakan ukuran dari seluruh keluaran produksi dibagi masukan produksi. Konsep kinerja merupakan singkatan dari kinetika energi kerja yang padanannya dalam bahasa Inggris adalah performance. Kinerja dapat diartikan sebagai keluaran yang dihasilkan oleh fungsi atau indikator suatu pekerjaan dalam waktu tertentu. Dalam kegiatan usaha kecil, pekerjaan adalah aktivitas memproduksi suatu barang dengan menggunakan bahan baku, tenaga kerja dan ketrampilan tertentu. Suatu pekerjaan mempunyai sejumlah fungsi atau indikator yang dapat digunakan untuk mengukur hasil pekerjaan tersebut (Wirawan, 2009). Karena itu kinerja dari kegiatan usaha kecil dapat diukur secara luas, baik dengan ukuran finansial maupun ukuran non finansial. 64 Menurut (Radnor dan Barnes, 2007), dalam manajemen operasi dari suatu usaha kecil pengukuran kinerja usaha antara lain mengacu pada langkah di tingkat perluasan (broadening) dari unit analisis dan kedalaman (deepening) ukuran kinerja usaha. Hal ini akan memberikan gambaran tidak hanya secara kuantitatif, tetapi juga secara kualitatif dari usaha kecil, sehingga dapat mendukung perkembangan secara kualitatif dan meningkatkan daya saing (competitiveness) dari usaha kecil. Ukuran kinerja usaha ini seringkali merupakan sekumpulan pengharapan yang diekspresikan sebagai sekumpulan sasaran yang dapat dirumuskan dalam bentuk hasil penjualan, keuntungan usaha, pangsa pasar, pengembangan hasil produksi, penurunan biaya, atau sasaran lainnya (Dharma, 2005). Sasaran-sasaran yang merupakan kinerja usaha ini akan diukur dalam jangka waktu tertentu dan mempunyai ukuran kuantitatif yang jelas, sehingga menjadi variabel kinerja yang secara kuantitatif mudah dan dapat diukur. Variabel Kinerja yang merupakan ukuran kinerja usaha dari suatu kegiatan produksi dapat dilihat dari tiga perspektif, (1) keluaran produksi dari kegiatan usaha terdiri dari aspek finansial dan non-finansial, (2) proses internal dari kegiatan usaha terdiri antara lain aspek inovasi produk, proses operasi (produksi), pemasaran produk, dan (3) kemampuan sumberdaya terdiri dari aspek tenaga kerja, teknologi, dan organisasi. Pada perspektif yang pertama yaitu keluaran produksi dari kegiatan usaha, variabel kinerja finansial biasanya diukur dengan indikator : penerimaan usaha, keuntungan usaha, pertumbuhan usaha, pangsa pasar, dan ratio keuangan. Sedangkan variabel kinerja non finansial bisa dilihat dari tiga sisi, (1) konsumen, 65 antara lain terdiri: harga produk, tipe pasar, kualitas produk, distribusi dan waktu antar produk, tingkat pembelian ulang, (2) masyarakat dan pemerintah, terdiri: keterlibatan terhadap komunitas (kepedulian sosial), tingkat limbah, umpan balik masyarakat, dan regulasi pemerintah, dan (3) pemasok bahan baku, terdiri: lokasi pemasok dan ukuran pemasok (Wibisono, 2006). Perspektif Kinerja Usaha Indikator Kinerja Usaha Kinerja finansial: - Penerimaan usaha - Keuntungan usaha - Pertumbuhan usaha - Pangsa pasar - Ratio keuangan Output Produksi Ukuran Kinerja Usaha Proses Internal Kinerja non-finansial: - Konsumen : harga, kualitas, tipe pasar,distribusi - Masyarakat & Pemerintah: tingkat limbah, regulasi - Pemasok : ukuran & lokasi Inovasi Proses Produksi Tenaga Kerja Kemampuan Sumberdaya Organisasi Penggunaan Teknologi Sumber: Wibisono, 2006 Variabel kinerja finansial seringkali menjadi fokus perhatian bagi pihak Gambar 3. Ukuran Kinerja Dalam Suatu Kegiatan Produksi internal perusahaan sebagai ukuran keluaran produksi dari kegiatan usaha. 66 Sedangkan variabel kinerja non finansial biasanya menjadi perhatian pelanggan masyarakat dan pemerintah. Pengelolaan variabel kinerja finansial maupun non finansial ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan (stakeholder), dimana kebutuhan tersebut dapat berbeda bahkan seringkali membutuhkan trade-off (memenuhi yang satu dengan mengorbankan yang lain) bagi perusahaan untuk memenuhinya (Wibisono, 2006). Karena itu variabel kinerja yang menjadi indikator kinerja bagi usaha kecil juga bisa berbeda, tergantung kebutuhannya. Terdapat perubahan orientasi dari perusahaan dalam hal indikator kinerja, dimana diketahui bahwa penentuan indikator kinerja bersifat dinamis terutama karena kebutuhan konsumen yang terus berubah. Secara ringkas gambaran tentang perspektif kinerja usaha dalam suatu kegiatan produksi dapat dilihat pada Gambar 3. Beberapa indikator yang digunakan untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah sering pula dijadikan ukuran untuk menilai kinerja usaha kecil yaitu, (1) undang-undang No.20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menggunakan indikator, nilai kekayaan yang dimiliki usaha kecil (asset) dan hasil penjualan (omset) tahunan untuk menilai usaha kecil, (2) Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan indikator jumlah tenaga kerja, (3) Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) menggunakan indikator, nilai kekayaan yang dimiliki usaha kecil (asset) dan hasil penjualan (omset) tahunan, (4) Bank Indonesia menggunakan indikator, nilai kekayaan yang dimiliki usaha kecil (asset), hasil penjualan (omset) tahunan, pelaku usaha, sifat usaha, tingkat penggunaan sumberdaya lokal, tingkat teknologi dan kemudahan keluar masuk 67 industri (barrier to entry and exit), dan (5) Bank Dunia menggunakan indikator, jumlah tenaga kerja, nilai kekayaan yang dimiliki usaha kecil (asset), dan hasil penjualan (omset) tahunan. Indikator-indikator dari berbagai lembaga nasional dan internasional ini cukup beragam, karena disamping menilai kinerja internal usaha yang meliputi keluaran produksi, proses produksi, dan kemampuan sumber daya, juga bisa digunakan untuk menilai kinerja sektoral usaha tersebut. 3.3. Lembaga Keuangan Mikro Dan Ekonomi Wilayah Ekonomi wilayah merupakan salah satu cabang kajian ilmu ekonomi yang dalam pembahasannya memasukkan unsur perbedaan potensi satu wilayah dengan wilayah lain. Kajian ekonomi yang memasukkan unsur-unsur perbedaan potensi wilayah pada dasarnya digunakan untuk mencapai tujuan utama (pokok) kebijakan ekonomi yang menyangkut: (1) pertumbuhan ekonomi, dan (2) full employment (setidaknya terjadi tingkat pengangguran yang rendah) (Tarigan, 2006). Pengertian lebih spesifik dari wilayah dalam ekonomi wilayah ini adalah ekonomi yang berada di bawah suatu daerah administrasi tertentu, misalnya kabupaten. Sehingga wilayah disini merupakan pembagian daerah administratif dalam suatu pemerintahan, atau merupakan wilayah administrasi (Arsyad, 1999). Dalam kajian utama pada pertumbuhan ekonomi, indikator utama yang digunakan adalah produk domestik regional bruto (PDRB) sektoral yang terdiri: (1) PDRB pertanian, (2) PDRB pertambangan, (3) PDRB perindustrian, (4) PDRB listrik, air bersih, dan gas, (5) PDRB bangunan, (6) PDRB perdagangan, (7) PDRB angkutan dan komunikasi, (8) PDRB keuangan, dan (9) PDRB jasa-jasa. Karena itu kaitan antara kredit yang berasal lembaga keuangan mikro sebagai salah satu lembaga perbankan yang merupakan bagian dari alat kebijakan 68 moneter, diharapkan dapat turut serta mendorong perekonomian wilayah khususnya dalam hal pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor ekonomi. Peranan lembaga keuangan mikro dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi dapat dilihat sebagai bagian dari peranan kebijakan moneter terhadap kegiatan ekonomi, karena kredit sebagai produk kuangan mikro akan mendorong kegiatan produksi dan konsumsi usaha mikro dan kecil. Mula-mula sistem moneter akan terpengaruh oleh kebijakan moneter yang selanjutnya akan mempengaruhi tingkat bunga, kredit yang disalurkan dan jumlah uang beredar, serta investasi dan konsumsi sehingga produk domestik bruto akan terpengaruh. Pengaruh kebijakan moneter ini akan direspon perbankan dan kemudian ditransfer ke sektor riil melalui kegiatan investasi dan produksi oleh kelompok usaha kecil di berbagai sektor ekonomi. 3.3.1. Transmisi Kebijakan Moneter ke Sektor Riil Kebijakan moneter yang dilakukan melalui mekanisme transmisi pada akhirnya akan dapat menggeser permintaan agregat, sehingga akan mengubah keseimbangan tingkat pendapatan nasional (Nopirin, 2000). Terdapat beberapa jenis mekanisme transmisi kebijakan moneter, menurut Warjiyo, (2004), meliputi: 1. Saluran Uang (Money Channel): mengacu pada dominasi peranan uang dalam perekonomian oleh Quantity Theory of Money (Fisher,.1911), yang menggambarkan hubungan langsung yang sistematis antara pertumbuhan uang beredar dan inflasi, dalam suatu identitas persamaan: MV = PT , dimana jumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran uang (V) sama dengan jumlah transaksi ekonomi (T) dikalikan dengan tingkat harga (P). Dalam keadaan keseimbangan, jumlah uang beredar yang digunakan oleh 69 seluruh kegiatan transaksi ekonomi (MV) sama dengan jumlah output nominal, dihitung dengan harga yang berlaku, yang ditransaksikan dalam ekonomi (PT). Dalam konteks interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan para pelaku ekonomi seperti diatas, mekanisme transmisi moneter melalui saluran uang merupakan konsekuensi langsung dari proses perputaran uang dalam perekonomian. Kemudian bank sentral melakukan pengendalian uang beredar (M1, M2) melalui pencapaian sasaran operasional uang primer (M2). Disisi lain, bank perlu mengelola likuiditasnya dalam bentuk cadangan dana yang dapat dipergunakan sewaktu-waktu (bank reserves) dari sisi aset dan pendanaan dari simpanan masyarakat dalam bentuk uang beredar (M1, M2) dari sisi liabilities. Selanjutnya pelaku ekonomi menyimpan dan menggunakan uang beredar (M1, M2) untuk kegiatan usahanya. 2. Saluran Kredit (Bank Lending Channel): selain dana yang tersedia, perilaku penawaran kredit perbankan juga dipengaruhi oleh persepsi bank terhadap prospek usaha debitur dan kondisi perbankan itu sendiri, seperti: permodalan (CAR), jumlah kredit macet (NPL), dan loan to deposit ratio (LDR). Selain itu, tidak semua permintaan kredit debitur yang dinilai oleh bank tidak feasible, antara lain karena: tingginya ratio utang terhadap modal (leverage), risiko kredit macet, moral hazard, dan sebagainya. Adanya informasi yang tidak simetris (assymetric information) antara bank dengan debitur seperti itu dapat menyebabkan pasar kredit tidak selalu berada dalam keseimbangan. Karena itu, fungsi intermediasi perbankan tidak selalu berjalan normal, dalam arti kenaikan simpanan masyarakat tidak selalu diikuti dengan kenaikan secara proporsional pada kredit yang disalurkan oleh perbankan. Sehingga, yang 70 lebih berpengaruh terhadap ekonomi riil adalah kredit perbankan dan bukanlah simpanan masyarakat yang tercermin dalam jumlah uang beredar. 3. Saluran Tingkat Suku Bunga (Interest Rate Channel): berbeda dengan saluran uang dan saluran kredit yang mementingkan aspek kuantitas dari proses perputaran uang dalam ekonomi, saluran tingkat suku bunga lebih menekankan pentingnya aspek harga di pasar keuangan terhadap berbagai aktivitas ekonomi di sektor riil. Dalam kaitan ini, kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral akan berpengaruh terhadap perkembangan berbagai suku bunga di sektor keuangan dan selanjutnya akan berpengaruh pada tingkat inflasi dan output riil. Dalam kaitan dengan interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan pelaku ekonomi dalam proses perputaran uang, mekanisme saluran suku bunga ada beberapa tahap, (1) kebijakan moneter dari bank sentral akan berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga jangka pendek (SBI dan PUAB) di pasar uang rupiah, selanjutnya akan mempengaruhi suku bunga deposito yang diberikan perbankan pada simpanan masyarakat dan suku bunga kredit yang dibebankan bank kepada para debiturnya, proses trasmisi suku bunga ini biasanya tidak berlangsung secara segera sehingga terdapat tenggat waktu (time lag), terutama karena kondisi internal perbankan dalam manajemen aset dan kewajibannya (asset and liability management), (2) transmisi suku bunga dari perbankan ke sektor riil akan tergantung pada pengaruhnya terhadap permintaan konsumsi dan investasi dalam perekonomian, pengaruh suku bunga terhadap permintaan konsumsi ini terjadi terutama karena bunga deposito merupakan komponen dari pendapatan masyarakat (income effect) dan bunga kredit sebagai 71 pembiayaan konsumsi (substitution effect), sementara itu pengaruh suku bunga terhadap permintaan investasi terjadi karena suku bunga kredit merupakan komponen biaya modal (cost of capital), disamping yield obligasi dan dividen saham, dalam pembiayaan investasi pengaruh melalui investasi dan konsumsi tersebut selanjutnya akan berdampak pada besarnya permintaan agregat sehingga menentukan tingkat inflasi dan output riil dalam perekonomian. 4. Saluran Nilai Tukar (Exchange Rate Channel): menekankan pentingnya pengaruh perubahan harga aset finansial dalam bentuk valuta asing terhadap berbagai aktivitas ekonomi. Pengaruhnya juga terjadi pada besarnya aliran dana yang masuk dan keluar suatu negara yang terjadi karena aktivitas perdagangan luar negeri maupun alairan modal investasi dalam neraca pembayaran, selanjutnya perkembangan nilai tukar dan aliran dana luar negeri akan berpengaruh terhadap inflasi dan output riil negara tersebut. Semakin terbuka suatu perekonomian, disertai sistem nilai tukar yang mengambang dan sistem devisa bebas, maka semakin besar pula pengaruh nilai tukar dan aliran modal luar negeri tersebut terhadap inflasi dan output riil negara. 5. Saluran Harga Aset (Asset Price Channel): selain pengaruh melalui nilai tukar terhadap aset valutas asing, kebijakan moneter juga berpengaruh terhadap perkembangan harga-harga aset lain, baik harga aset finansial seperti: yield obligasi dan harga saham, harga aset fisik (properti dan emas). Transmisi ini terjadi karena penanaman dana oleh investor dalam portofolio investasinya tidak saja berupa simpanan di bank dan instrumen investasi lainnya (rupiah dan valuta asing), tetapi juga dalam bentuk obligasi, saham dan aset fisik, 72 sehingga mempengaruhi kekayaan yang dimiliki (wealth effect) maupun tingkat pendapatan yang dikonsumsi (disposible income) yang timbul dari penerimaan aset finansial dan aset fisik yang dimiliki para investor (substitution and income effect). 6. Saluran Ekspektasi (Expectation Channel): semakin meningkatnya ketidakpastian dalam ekonomi dan keuangan, membuat saluran ekspektasi semakin penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter ke sektor riil. Pelaku ekonomi dalam menentukan tindakan bisnisnya, akan mendasarkan pada prospek ekonomi dan keuangan ke depan, dan membentuk persepsi tertentu terhadap kecenderungan perkembangan berbagai indikator ekonomi dan keuangan. Semakin kredibel kebijakan moneter, semakin rendah pula deviasi ekspektasi inflasi masyarakat dari sasaran inflasi yang ditetapkan bank sentral, dan karenanya semakin kecil pula distorsi yang ditimbulkan baik terhadap perkembangan output riil maupun efektivitas kebijakan moneter dalam pencapaian sasaran inflasi tersebut. Dalam konteks penyaluran dan permintaan kredit mikro dan kecil di Indonesia, saluran kredit (bank lending channel) dan saluran tingkat suku bunga (interst rate channel), lebih mengena untuk digunakan melihat transmisi kebijakan moneter dalam mempengaruhi berbagai kegiatan ekonomi khususnya output riil secara sektoral. 3.3.1.1. Transmisi Kebijakan Moneter ke Sektor Riil melalui Jalur Kredit Transmisi kebijakan moneter ke sektor riil melalui jalur kredit (bank lending channel) dapat digunakan untuk melihat pengaruh kebijakan moneter dalam menggerakkan penawaran kredit (Haryanto, 2007). Generasi pertama dari 73 model pinjaman perbankan di motivasi dari aksioma Modigliani-Miller dengan dasar informasi asimetrik antara peminjam dan pemberi pinjaman tentang karakteristik yang disepakati. Asumsinya pengusaha memiliki informasi pribadi tentang bisnisnya, yang memiliki tingkat pengembalian yang sama tetapi dengan tingkat keberhasilan yang berbeda. Faktor penting dari jalur pinjaman bank ini adalah bank sentral dapat mempengaruhi penawaran kredit yang diberikan oleh lembaga intermediasi keuangan dengan membatasi kuantitas uang, dan peningkatan biaya modal bagi bank tergantung pada peminjam. Jalur kredit akan mempengaruhi konsisi ekonomi dengan mengarahkan pada variasi dalam biaya modal perusahaan dan kesehatan keuangan perusahaan, seperti pada Gambar 4. Bank Sentral Perbankan Operasi Pasar Terbuka Pasar Uang Rupiah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Peningkatan Kegiatan Ekonomi Sektoral Reserves: Kas Surat berharga Dana Pihak III (Uang Beredar M1, M2) Kredit: Modal Kerja & Investasi Modal Bank Tambahan Modal Kerja & Investasi Bagi Pelaku Usaha Sumber: Warjiyo, 2004 Gambar.4. Mekanisme Transmisi Saluran Kredit ke Sektor Riil Terdapat dua literatur yang menggambarkan mekanisme transmisi kebijakan moneter jalur kredit (Haryanto, 2007), yaitu: 1. Jalur pinjaman bank yang menekankan akibat dari kebijakan moneter pada neraca bank, khususnya pada sisi aset bank. Menurut jalur ini, perbankan berpartisipasi dalam transmisi kebijakan moneter tidak hanya ditransmisikan 74 melalui sisi hutang (pasiva) tetapi juga melalui asetnya (aktiva). Dalam kondisi kontraksi moneter cadangan dan deposit perbankan akan menurun. Dua kondisi yang perlu ada pada jalur ini adalah pinjaman bank dan saham harus merupakan substitusi yang tidak sempurna bagi peminjam (bank yang dependen) dan bank sentral harus dapat membatasi penawaran dari pinjaman bank. Kebijakan moneter dapat mempengaruhi penawaran perbankan terhadap kredit, khususnya bank dengan skala usaha kecil dan hal ini tidak berlaku bagi bank dengan skala besar yang dapat melindungi kebutuhan untuk menawarkan pinjaman besar dengan mencari sumber dana murah dari luar negeri. 2. Jalur neraca dengan penekanan pada akibat dari kebijakan moneter di sisi neraca perusahaan dan akses terhadap kredit perbankan. Nilai aset juga akan memainkan peran penting pada jalur kredit dalam arti luas seperti yang dikembangkan Bernarke dan Gertler (1995) dalam Haryanto (2007). Harga aset adalah sesuatu yang penting terutama dalam menentukan nilai dari jaminan (agunan) dari perusahaan atau konsumen yang mengajukan kredit. Dalam pasar kredit, turunnya nilai jaminan akan meningkatkan beban bagi peminjam karena harus membayar lebih tinggi sehingga menambah beban bagi keuangan eksternal, yang pada gilirannya akan mengurangi aktivitas konsumsi dan investasi. Pengaruh kebijakan ini akan mendorong perubahan pada tingkat suku bunga yang memiliki pengaruh akselerator keuangan. 3.3.1.2. Transmisi Kebijakan Moneter ke Sektor Riil melalui Jalur Suku Bunga Sedangkan transmisi kebijakan moneter ke sektor riil melalui jalur suku bunga (interest rate channel) melengkapi kebijakan moneter dalam menggerakkan 75 penawaran kredit (Warjiyo, 2004). Studi yang dilakukan Kusmiarso et al. (2002), menunjukkan bukti empiris mengenai bekerjanya transmisi saluran suku bunga pada periode sebelum dan sesudah krisis. Secara teoritis mekanisme transmisi saluran suku bunga dapat dilhat pada Gambar 5. Kebijakan Moneter Bank Sentral Suku Bunga: * SBI * Pasar Uang Antar Bank Suku Bunga Deposito Transmisi di Sektor Keuangan Suku Bunga Kredit Konsumsi Investasi Transmisi di Sektor Riil Peningkatan Aktivitas Produksi Pelaku Usaha Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Peningkatan Kegiatan Ekonomi Sektoral Sumber: Warjiyo, 2004 Gambar 5. Mekanisme Transmisi Saluran Suku Bunga ke Sektor Riil Hal ini dilakukan dengan menganalisis bagaimana biaya modal (cost of capital) serta efek substitusi dan pendapatan (substitution and income effect) mentransmisikan perubahan suku bunga yang terjadi karena kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral, periode sebelum dan sesudah krisis: 1. Periode sebelum krisis: bukti empiris menunjukkan suku bunga riil untuk deposito dan kredit investasi dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Namun demikian pertumbuhan 76 investasi tidak sensitif terhadap perkembangan suku bunga kredit terutama karena relatif mudahnya akses perbankan dan dunia usaha terhadap dana luar negeri pada waktu itu. Demikian pula pertumbuhan konsumsi juga tidak sensitif terhadap perubahan suku bunga deposito, antara lain karena suku bunga yang relatif stabil dan rendah. 2. Periode sesudah krisis: menunjukkan bahwa respon suku bunga deposito dan kredit terhadap suku bunga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) relatif lebih lemah dibandingkan dengan periode sebelum krisis, antara lain karena kekhawatiran perbankan terhadap risiko kredit macet dan berbagai kondisi internal bank. Penentuan suku bunga kredit perbankan dipengaruhi oleh suku bunga deposito dan kondisi likuiditas bank. Kondisi likuiditas menjadi faktor yang lebih relevan pada bank swasta nasional dan bank pembangunan daerah, tetapi relatif tidak signifikan pada bank persero dan bank asing-campuran. Dari hasil studi Kusmiarso et al. (2002) ini terlihat bahwa saluran suku bunga (bank lending channel) semakin berperan dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter, terutama pengaruhnya terhadap sektor riil melalui perkembangan konsumsi dan investasi, namun demikian transmisi suku bunga di sektor keuangan belum secepat yang diharapkan. Hal ini terutama disebabkan belum berfungsinya secara normal intermediasi perbankan, sehingga respons bank terhadap perubahan suku bunga bank sentral terjadi tenggat waktu (time lag) dan cenderung asimetris, khususnya menjadi relatif lebih cepat reaksinya ketika terjadi kenaikan suku bunga dari bank sentral. 77 Menurut Jhingan (2000), kebijakan moneter di negara-negara berkembang dapat berfungsi untuk: (1) mendapatkan dan mengambil manfaat dari struktur tingkat suku bunga yang paling sesuai, (2) meraih perimbangan yang tepat antara permintaan dan penawaran uang, (3) manajemen utang, (4) pendirian, pelaksanaan dan perluasan lembaga keuangan, dan (5) menyediakan fasilitas kredit yang tepat bagi perekonomian yang sedang berkembang dan menghentikan perkembangan yang tidak semestinya. Ciri-ciri kebijakan moneter di negara berkembang yang berkaitan dengan microcredit dari lembaga keuangan mikro, menurut ( Jhingan, 2000) adalah: 1. Pendirian dan perluasan lembaga keuangan: tujuannya adalah untuk memperbaiki sistem uang dan sistem perkreditan, serta untuk menyiapkan fasilitas kredit yang lebih besar dan untuk mengalihkan tabungan ke saluran yang produktif. Cabang dan unit perbankan harus diperluas sampai ke daerah perdesaan agar dapat menyediakan kredit kepada para petani dan pedagang kecil. Cengkeraman lintah darat di daerah perdesaan hanya dapat dilepaskan jika bank sentral membentuk lembaga perkreditan baru yang dapat menyediakan kredit jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang kepada petani dengan suku bunga yang lebih rendah. 2. Pengendalian kredit: tujuannya untuk mempengaruhi pola investasi dan produksi, serta mengendalikan tekanan inflasioner yang timbul di dalam proses pembangunan. Ada dua metode yang efektif untuk mengendalikan kredit, yaitu: (a) metode kuantitatif menggunakan rasio cadangan minimum (reserve requirements), sehingga bank sentral dapat memantau perluasan kredit dengan cara menaikkan rasio cadangan minimum, dan (b) metode 78 kualitatif dengan pengendalian kredit secara selektif melalui: persyaratan pagu jaminan (collateral), pengaturan kredit konsumsi, dan rasionalisasi kredit (credit rationing). 3.3.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi Pembangunan ekonomi wilayah (daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Ada beberapa teori yang secara parsial yang dapat membantu memahami arti penting pembangunan ekonomi wilayah. Teori-teori ini membahas: (1) metoda dalam menganalisis perekonomian suatu daerah, dan (2) faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah tertentu (Arsyad, 1999). Teori Pertumbuhan Neoklasik: Model yang dikenal sebagai model Solow-Swan ini menggunakan unsur pertumbuhan penduduk, kemajuan teknologi, akumulasi kapital, dan besarnya output yang saling berinteraksi. Model ini menggunakan model fungsi produksi yang memungkinkan terjadinya substitusi antara kapital (K) dan tenaga kerja (L). Sumber pertumbuhan berasal dari: akumulasi modal, bertambahnya penawaran tenaga kerja, dan kemajuan teknologi. Teknologi terlihat dari peningkatan skill, dan dianggap fungsi dari waktu (Tarigan, 2006). 79 Model ini melihat bahwa mekanisme pasar dapat menciptakan keseimbangan sehingga campur tangan pemerintah cukup sebatas kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Karena itu fungsi produksinya adalah: Yi = fi (K,L,t) Dalam kerangka ekonomi wilayah, Richardson merumuskan menjadi: Yi = aiki + (1-ai)ni + T dimana: Yi = besarnya output ki = tingkat pertumbuhan modal ni = tingkat pertumbuhan tenaga kerja T = kemajuan teknologi a = bagian yang dihasilkan dari faktor modal (1-a) = bagian yang dihasilkan dari faktor di luar modal Agar faktor produksi selalu berada pada kapasitas penuh (full employment) perlu mekanisme yang menyamakan investasi (I) dengan tabungan (S). Sehingga pertumbuhan mantap (steady growth) membutuhkan syarat: MPKi = ai (Yi / Ki) = p MPKi adalah marginal productivity of capital. Apabila p sudah tertentu, dan a tetap konstan, maka Y (pertumbuhan pendapatan) dan K (pertumbuhan modal) harus tumbuh dengan tingkat yang sama. Syarat keseimbangan seluruh sistem adalah: ∑i=1 Ii = ∑i=1 Si Suatu wilayah akan mengimpor modal jika tingkat pertumbuhan modalnya lebih kecil dari rasio tabungan domestik terhadap modal. Dalam pasar persaingan sempurna MPL (marginal productivity of labor) adalah merupakan fungsi 80 langsung tetapi memiliki hubungan terbalik dengan MPK (marginal productivity of capital). Hal ini bisa dilihat dari rasio modal dan tenaga kerja (K/L). Teori Neoklasik selalu mengarahkan kepada pasar persaingan sempurna agar perekonomian bisa tumbuh optimal. Kebijakan yang ditempuh adalah meniadakan berbagai hambatan dalam perdagangan, perpindahan orang, barang dan modal. Sarana dan prasarana transportasi dibangun dengan baik dan terjaminnya keamanan, ketertiban dam kestabilan politik (Tarigan, 2006). 3.4. Lembaga Keuangan Mikro dan Peningkatan Pendapatan Keuangan mikro telah sejak lama dikembangkan, sehingga hampir setiap negara memiliki sejarah lembaga keuangan mikro. Di Irlandia berdiri lembaga pemberi pinjaman dana (Kreditkassen) di sekitar tahun 1720-an, yang menekankan pada: pemantauan pinjaman yang ketat (peer monitoring), cicilan mingguan (weekly instalments), bebas bunga di awal cicilan, dan sumber dana dari donatur. Serta di Jerman pada sekitar tahun 1778 muncul sistem keuangan mikro, yang bersumber pada simpan pinjam berbasis masyarakat (community-based), dan koperasi kredit dan simpanan (savings and credit cooperatives). Lembaga keuangan mikro ini terus berkembang hingga sekarang ini. Perkembangan ini antara lain menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro yang digerakan oleh simpanan (savings-driven) dapat berkembang di perkotaan dan perdesaan, serta jika diawasi dan diatur sebagaimana mestinya (properly regulated and supervised) akan menjadi potensi yang besar bagi pembangunan dan pengurangan kemiskinan baik di perkotaan atau perdesaan (Seibel, 2003). Keterkaitan antara kredit dari lembaga keuangan mikro dan peningkatan pendapatan rumah tangga merupakan salah satu karakteristik kegiatan produksi di 81 negara-negara berkembang. Keterkaitan ini menunjukkan peran kredit mikro dalam mengurangi kemiskinan terutama di wilayah perdesaan. Peranan lembaga keuangan mikro dalam membantu usaha mikro dan mengentaskan kemiskinan ditandai dengan berkembangnya skim kredit mikro yang dikembangkan oleh Grameen Bank tahun 1976 di Bangladesh. Sejak awal beroperasinya Grameen Bank tetap menjaga mandat untuk mengentaskan kemiskinan di perdesaan. Untuk itu bank tidak hanya mengutamakan kelompok peminjam perempuan, akan tetapi sejak tahun 1980-an bank lebih mengutamakan fokus pada kelompok perempuan. Hal ini karena asumsi bahwa perempuan mempunyai kontribusi besar terhadap kesejahteraan keluarga. Hipotesanya adalah perempuan selalu memprioritaskan investasi yang menguntungkan anak-anaknya, karenanya pinjaman kepada perempuan akan memberikan manfaat kualitatif terhadap keluarga yang lebih dibanding pinjaman kepada kaum laki-laki. Dalam masyarakat yang lebih besar ini merupakan bentuk pemberdayaan sosial-ekonomi (Rahman, 1999). Grameen Bank dikenal sebagai sebuah bank bagi masyarakat miskin, yang dalam operasinalnya tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudential banking), dengan memahami kemampuan sumberdaya masyarakat miskin. Skim kredit bank ini dinilai berhasil membantu masyarakat miskin di wilayah perdesaan di Bangladesh. Grameen Bank tidak mengharuskan masyarakat miskin untuk menyediakan agunan (collateral) yang merupakan syarat utama dalam praktek perbankan konvensional, yang umumnya tidak berpihak pada masyarakat miskin. Ketidakperpihakan perbankan konvensional pada masyarakat miskin disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya (1) keharusan adanya agunan (collateral), sesuatu hal yang hampir pasti sulit dimiliki dan disediakan oleh masyarakat 82 miskin, (2) apabila tidak mungkin untuk menyediakan agunan, maka diperlukan orang (pihak ketiga) yang dapat menjadi penjamin. Pada kenyataannya kaum miskin sangat kecil peluangnya untuk mendapatkan orang yang bersedia menjadi penjamin kredit bagi orang miskin, dan (3) jarak lokasi lembaga bank komersial dengan wilayah perdesaan, sangat tidak memungkinkan kaum miskin untuk hadir ke kantor bank yang seringkali jarak cukup jauh sehingga memerlukan tambahan biaya yang memberatkan. Situasi ini yang antara lain mendorong Muhamad Yunus melakukan pilot proyek bank untuk kaum miskin. Dimulai tahun 1976 dengan pilot proyek selama hampir tujuh tahun, maka pada tahun 1983 berdirilah sebuah bank bagi kaum miskin di Bangladesh yang bernama Grameen Bank, yang artinya bank perdesaan (Syukur, 2002). Sebagai sebuah bank yang melayani kaum miskin, Grameen Bank mengalami perkembangan yang sangat pesat di Bangladesh. Hal ini tidak terlepas oleh adanya beberapa elemen esensial (Syukur, 2002), yaitu: (1) sasaran penerima pinjaman ditentukan secara jelas dengan kriteria tertentu (exclusive targeting), misalnya: memiliki lahan kurang dari 0.5 acre atau memiliki kekayaan tidak lebih dari nilai sebidang lahan yang subur seluas 1.0 acre, (2) menekankan pada peminjam perempuan, yang umumnya lebih disiplin dan hanya menggunakan pinjaman untuk kegiatan produktif, (3) lembaga pelayanannya berada pada tingkat yang paling bawah (grassroot level), dengan membentuk kelompok dengan anggota lima orang dan kemudian membentuk enam kelompok, (4) peminjam dikenakan bunga komersial dan pinjaman hanya boleh digunakan untuk kegiatan produktif (income generating activities) dan pengajuannya tanpa agunan, (5) aplikasi dan prosedur pinjaman yang sederhana, serta jumlah pinjaman yang 83 terkontrol (manageable) dan dibayar mingguan, (6) penyaluran pinjaman baru (first loan) terhadap anggota dalam satu kelompok tersebut dilakukan secara bergiliran dengan pola 2-2-1, (7) terdapat sistem insentif dan pinalti, serta akuntabilitas transaksi pada pertemuan mingguan, (8) mobilisasi tabungan yang juga bertujuan untuk mendidik disiplin anggota, (9) otonomi dalam kegiatan operasional dilapangan, dan (10) pelatihan staf secara praktis, disiplin dan teliti, serta kepemimpinan yang memiliki komitmen yang tinggi. Kredit mikro sebagai produk utama lembaga keuangan mikro diharapkan dapat mengurangi kemiskinan dan memperkuat kapasitas kelembagaan dari sistem keuangan tersebut dalam penyaluran pinjaman kepada rumahtangga miskin. Rumahtangga miskin ini mempunyai corak tersendiri yang berbeda dari yang dikehendaki oleh sistem perbankan komersial dalam hal agunan (collateral), tetapi kredit mikro ini telah mampu menggali kelembagaan baru yang mampu menekan resiko dan biaya menjadi lebih kecil pada pinjaman tanpa agunan (uncollateralized loans). Lembaga ini juga telah mampu melayani lebih banyak masyarakat miskin dibandingkan dengan yang dilayani oleh program-program bersubsidi (Morduch, 2000). Selain itu menurut (Schreiner, 2002) keuangan mikro juga akan memberikan manfaat sosial (social benefits) bagi peningkatan kesejahteraan, jika mampu memperbaiki aspek jangkauan (outreach) dengan bidang yang luas dan lebar (wide breadth), jauh dan lama (long length), serta cukup beragam (ample). Menurut Yaron et al. (1996), untuk meningkatkan kinerja lembaga keuangan ini perlu memperkuat aspek jangkauan (outreach) dan keberlanjutan secra mandiri 84 (self-sustainability), sehingga memberikan dampak pembangunan pada peningkatan pendapatan dan pengurangan kemiskinan. Morduch (2000) mengatakan tentang pentingnya menghindari kesalahan masa lalu dari program-program kredit bersubsidi, dimana lembaga keuangan tersebut pada akhirnya menghadapi masalah : (1) biaya transaksi yang tinggi ketika memberikan pinjaman pada usaha mikro dan kecil, (2) sulit sekali menentukan potensi resiko peminjam dan monitoring perkembangan klien kelompok masyarakat miskin dan bergerak di sektor informal, dan (3) rumahtangga berpendapatan rendah umumnya kekurangan aset untuk dijadikan agunan dalam memperoleh kredit. 3.5. Kerangka Pemikiran Operasional Berdasarkan landasan teori dan kerangka pemikiran diatas, maka dapat dibangun kerangka pemikiran yang meliputi dua aspek, yaitu: aspek usaha kecil, serta aspek ekonomi wilayah, seperti terlihat pada Gambar.6 dan Gambar.7. Adapun uraian dari kerangka pemikiran tersebut adalah sebagai berikut: Model Ekonomi Usaha Kecil (Gambar.6), diawali dengan Pengambilan Kredit (PKM) yang dipengaruhi oleh Suku Bunga Kredit (SBK), Pengeluaran Non Tenaga Kerja (PNTK), Tabungan (TABS), Pengalaman Usaha (LTU), dan Dummy Sumber Kredit (DSK). Pengambilan kredit oleh usaha kecil ini akan menjadi komponen utama Modal Usaha (MOUS) untuk mendorong peningkatan kegiatan usaha, yang dicerminkan dengan kenaikan pengeluaran untuk Penggunaan Bahan Baku (PBM), Penggunaan Bahan Bakar (PBB) dan Penggunaan Tenaga Kerja (PTK) sehingga berpengaruh terhadap peningkatan Penerimaan Usaha (PENU) yang juga dipengaruhi oleh Harga Jual Produk (PO) 85 dan Dummy Pemasaran Produk (DPP). Peningkatan penerimaan usaha ini akan meningkatkan Pendapatan Usaha (PEND) setelah dikurangi Total Biaya Produksi (TBP), sehingga pada akhirnya akan mampu menaikkan Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (PPKS), Konsumsi (PKON), serta Tabungan (TABS). Data dari model ini adalah data primer yang diambil dari 90 contoh usaha kecil makanan olahan, sehingga merupakan data cross-section. Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah (Gambar.7), diawali dengan jumlah kredit mikro dan kecil yang disalurkan melalui tiga lembaga keuangan mikro yaitu: BRI Unit dan bank umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Kredit Kupedes BRI Unit (KBRI) ini dipengaruhi oleh Suku Bunga Kredit Konsumsi (SBPK), Jumlah Unit Kantor BRI Unit (JBRI), Jumlah Nasabah per Kantor BRI Unit (RNU), dan Jumlah Pinjaman per Nasabah BRI Unit (RPN). Kredit Kupedes BRI Unit (KBRI) akan mempengaruhi Kredit Modal Kerja KUK dan Kredit Konsumsi-Investasi KUK (KIKK) yang selanjutnya mempengaruhi Total Kredit KUK dari Bank Umum (KUK). Selanjutnya Total Kredit KUK dari Bank Umum (KUK) bersama Total Kredit dari BPR (KBPR) dan Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (KKSP) akan mempengaruhi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk Sektor Pertanian (PDRB1), Sektor Industri Pengolahan (PDRB2), Sektor Perdagangan (PDRB3), dan Sektor Jasa (PDRB4). Selanjutnya secara simultan PDRB Sektoral ini juga akan mempengaruhi jumlah kredit mikro dan kecil yang disalurkan oleh lembaga keuangan mikro tersebut. Data pada model ini adalah data primer pada pengamatan di 29 Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah mulai tahun 2000 sampai dengan tahun 2005, data ini merupakan data pool. 86 87 Keterangan Variabel: SBK = Tingkat Bunga Kredit (persen per tahun) ALK = Aset Kegiatan Usaha (Rp) PO = Harga Jual Produk (Rp per satuan) TP = Tingkat Pendidikan (skor 1 s/d 6) JAK = Jumlah Anggota Keluarga (orang) JTK = Jumlah Tenaga Kerja (HOK yg digunakan dalam usaha kecil) PBBM = Penggunaan Bahan Bakar Minyak (Rp per tahun) PTKP = Penggunaan Tenaga Kerja Perempuan (Rp per tahun) KTK = Konsumsi Tenaga Kerja (Rp per tahun) JAS = Jumlah Anak Sekolah (anak sekolah yg ditanggung / orang) DSK = Dummy Sumber Kredit (0 adalah non bank dan 1 adalah bank) DJG = Dummy Jenis Kelamin (0 adalah perempuan dan 1 adalah laki-laki) DPP = Dummy Daerah Pemasaran Produk (0 adalah Yogyakarta dan Jawa Tengah dan 1 adalah mencapai Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya) PSO = Pengeluaran Sosial (Rp per tahun) PNTK = Pengeluaran Untuk Non Tenaga Kerja (Rp per siklus usaha) LTU = Pengalaman Usaha (tahun) PI = Harga Input (harga input utama dalam usaha tsb, Rp per kg) DJST = Dummy Kelembagaan Tabungan (0 disimpan dirumah / Kelompok, dan 1 disimpan koperasi / bank) PKM = Kredit Yang Diambil Usaha Kecil (Rp) MOUS = Modal Usaha ( Rp per tahun) PBM = Penggunaan Bahan Mentah (Rp per tahun) PBB = Penggunaan Bahan Bakar (Rp per tahun) PTK = Penggunaan Tenaga Kerja (Rp per tahun) TBP = Total Biaya Produksi (Rp per tahun) PENU = Penerimaan Usaha Kecil (Rp per tahun, ukuran kinerja usaha) PEND = Pendapatan Bersih Usaha Kecil (Rp per tahun) TABS = Tabungan (Rp per tahun) PKON = Konsumsi (Rp per tahun) PPKS = Pengeluaran Pendidikan dan Sosial (Rp per tahun) 88 Blok PDRB Jumlah GIRO di Bank Umum(JG) KREDIT InvestKons BPR (KIKB) Jumlah BPR (JBPR) Jumlah Penduduk (JP) Suku Bunga BPR (SBBI) Jumlah Angkatan Kerja (JAK) TOTAL KREDIT BPR (KBPR) KREDIT Modal Kerja BPR (KMB) Suku Bunga BPR (SBBM) Suku Bunga Modal Kerja (SBPM) Jumlah Tabungan (JT) Jml Nasabah BRI-Unit (JNB) Jumlah Kantor KSP (JKSP) KREDIT Modal Kerja KUK(KMK) Suku Bunga Kons (SBPK) TOTAL KREDIT KUK (KUK) Jumlah Pinj/Nasabah PRODUK DOMESTIK REGIONAL-BRUTO (PDRBi) 1.pert-2.industri-3.perdagangan-4.jasa KUKi Suku Bunga Kr.Modal Kerja (SBSM) KREDIT dari KSP (KKSP) Jumlah Modal KSP (JMK) (RPN) KREDIT Kupedes BRI (KBRI) Jumlah Nasabah/Kantor BRI-Unit (RNU) KREDIT Invst Kons KUK (KIKK) Jumlah Kantor BRI (JBRI) Jumlah Angg. KSP (JAKO) Jumlah Deposito (JD) Aset Koperasi (AKO) Suku Bunga Investasi (SBPI) Blok Kredit Dari Lembaga Keuangan Mikro Keterangan: = Variabel Eksogen = Arah Variabel Penjelas Gambar 7. Model Keterkaitan Kredit dan Ekonomi Wilayah = Variabel Endogen 89 Keterangan Variabel SBBM = Suku Bunga Kredit dari BPR untuk Kredit Modal Kerja (persen) SBBI = Suku Bunga Kredit dari BPR untuk Kredit Investasi (persen) JBPR = Jumlah Kantor Bank Perkreditan Rakyat (BPR) (unit) SBPM = Suku Bunga Kredit, Bank Pemerintah untuk KMK (persen) JT = Jumlah Simpanan Tabungan Masyarakat di Bank Umum (Rp) JNB = Jumlah Nasabah Peminjam di BRI-Unit (orang) SBPI = Suku Bunga Kredit Bank Pemerintah untuk Kredit Investasi (persen) JD = Jumlah Simpanan Deposito Masyarakat di Bank Umum (Rp) JBRI = Jumlah Kantor BRI-Unit (unit) SBPK = Suku Bunga Kredit Bank Pemerintah untuk Kredit Konsumen (persen) RPN = Jumlah Pinjaman per Nasabah BRI Unit (Rp) RNU = Jumlah Rata-rata Nasabah Peminjam per BRI-Unit (orang) SBSM = Suku Bunga Kredit dari Bank Swasta untuk KMK (persen) JKSP = Jumlah Kantor Koperasi Simpan Pinjam (unit) JAKO = Jumlah Anggota Koperasi Simpan Pinjam (orang) AKO = Aset Koperasi Simpan Pinjam (Rp) JMK = Jumlah Modal Koperasi Simpan Pinjam (Rp) JP = Jumlah Penduduk (orang) JAK = Jumlah Angkatan Kerja (orang) KMB = Kredit Modal Kerja dari BPR (Rp) KIKB = Kredit Investasi dan Konsumsi dari BPR (Rp) KMK = Kredit Modal Kerja dari KUK (Rp) KIKK = Kredit Investasi dan Konsumsi dari KUK (Rp) KBRI = Kredit Kupedes dari BRI-Unit (Rp) KBPR = Total Kredit dari BPR (Rp) KUK = Total Kredit dari KUK (Rp) KKSP = Kredit / Pinjaman dari Koperasi Simpan Pinjam (Rp) JG = Jumlah Simpanan Giro dari Masyarakat di Bank Umum (Rp) PDRBi = PDRB sektoral ( PDRB1 = PDRB sektor Pertanian, PDRB2 = PDRB sektor Industri Pengolahan, PDRB3 = PDRB sektor Perdagangan, PDRB4 = PDRB sektor Jasa-jasa ) (Rp) 90 3.6. Hipotesis Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan kerangka pemikiran teoritis yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Pengambilan kredit oleh usaha kecil diduga akan mempengaruhi, penggunaan bahan baku, penggunaan bahan bakar, penggunaan tenaga kerja, penerimaan usaha, pendapatan usaha, serta konsumsi, tabungan, dan pengeluaran untuk pendidikan dan sosial. 2. Kredit mikro dan kecil yang berasal dari lembaga keuangan mikro ( bank umum, bank perkreditan rakyat, dan koperasi simpan pinjam), diduga akan mempengaruhi produk domestik regional bruto sektor pertanian, industri pengolahan, perdagangan, dan jasa-jasa.