4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh rasio mol katalis dan suhu pada proses butanolisis Proses sintesis APG dua tahap diawali oleh proses butanolisis. Penggunaan bahan baku sakarida yang memiliki dextrose equivalent (DE) yang rendah seperti sirup dextrosa atau pati melalui proses butanolisis terlebih dahulu (Eskuchen dan Michael 1997). Pada proses ini terjadi proses hidrolisis asam untuk memutus ikatan glikosida pada pati kemudian terbentuk gula sederhana. Gula sederhana tersebut akan berikatan dengan butanol melalui proses alkoholisis hingga terbentuknya butil monoglikosida atau butil poliglikosida. Bahan baku pati yang digunakan dalam penelitian ini adalah tapioka. Alasan pemilihan bahan baku tapioka karena lebih mudah didapatkan, selain itu harga tapioka yang juga relatif lebih murah, jika dibandingkan dengan jenis pati lain atau menggunakan gula dengan tingkat derajat ekuivalensi yang tinggi. Karakteristik fisiko kimia tapioka sesuai dengan pati pada umumnya yang mengandung amilosa dan amilopektin yang disusun oleh D-glukosa. Alkoholisis pati membutuhkan kondisi yang lebih ekstrim dibandingkan proses alkoholisis D-glukosa. Hal ini disebabkan karena pati masih mengandung amilosa dan amilopektin yang memiliki keterbatasan pelarutan dan sweeling pada alkohol, khususnya alkohol hidrofobik. Karena hal tersebut maka diperlukan suhu yang tinggi dan bertekanan, serta kondisi asam untuk memutus ikatan glikosida pati. Pemecahan pati menjadi D-glukosa diharapkan dapat berikatan dengan butanol. Pada proses ini terjadi pelepasan H2O akibat proses pembentukan asetal antara gugus aldehid pati dan alkohol dengan bantuan katalis asam. Suhu yang tinggi dan kondisi asam selain menyebabkan pemutusan ikatan glikosida pati juga mampu membuat dehidrasi gula sederhana yang telah terbentuk menjadi hidroksil metil furfural (HMF). Senyawa HMF ini menyebabkan warna gelap pada produk hasil proses butanolisis. Selain pembentukan warna gelap juga terdapat residu dari gula yang tidak ikut bereaksi dengan butanol. Proses butanolisis diberikan perlakuan penambahan katalis PTSA dengan rasio mol/mol pati sebesar 0,018 – 0,036, sedangkan perlakuan suhu yang diberikan yaitu suhu 140 OC dan 150 OC. Proses ini berlangsung selama 30 menit dengan kondisi tekanan 6-8 kg/cm2 dan kecepatan pengadukan 200 rpm. Dengan proses penambahan berbagai konsentrasi rasio mol katalis dan perlakuan suhu diharapkan butil glikosida yang terbentuk akan menjadi maksimal. Hal ini dapat dilihat dari jumlah residu total gula ataupun gula pereduksi yang dihasilkan. Semakin rendah residu total gula, maka dapat diasumsikan butil glikosida yang terbentuk akan semakin banyak. Jumlah residu gula pereduksi menunjukkan jumlah glukosa yang tidak bereaksi dengan butanol untuk menghasilkan butil glikosida. Residu gula yang dihasilkan dari proses butanolisis akan mempengaruhi terbentuknya polidekstrosa pada tahap transasetalisasi. Selain berdampak pada jumlah residu gula yang dihasilkan, perlakuan penambahan konsentrasi rasio mol katalis dan perlakuan suhu selama proses butanolisis juga berdampak pada kejernihan produk hasil proses butanolisis. Semakin tinggi konsentrasi rasio mol maka pH selama proses butanolisis semakin rendah. pH yang rendah dan suhu yang semakin tinggi dapat menyebabkan rusaknya gula hingga terbentuknya HMF yang menyebabkan warna menjadi gelap. 4.1.1 Residu gula pereduksi Pemecahan ikatan glikosida pati menjadi glukosa akan berikatan dengan butanol menjadi butil glikosida dengan bantuan katalis PTSA, namun tidak semua hasil pemecahan pati yang terbentuk mampu menghasilkan butil glikosida. Terdapat residu glukosa dari proses butanolisis yang terlarut dalam filtrat dan dihitung sebagai gula pereduksi. Gula pereduksi adalah gula yang memiliki gugus karbonil yang reduktif. Sifat pereduksi ini ditentukan oleh ada tidaknya gugus OH bebas yang reaktif. Gugus reduktif ini terdapat pada atom C no 1 pada glukosa. Jumlah residu gula reduksi menentukan kualitas APG yang akan dihasilkan, karena jika gula pereduksi tinggi maka pembentukan polidekstrosa akan semakin tinggi. Hasil pengukuran gula pereduksi dari produk hasil proses butanolisis berkisar antara 18.075 – 58.281,25 ppm. Dari hasil analisa ragam menunjukkan faktor perlakuan rasio mol, faktor perlakuan suhu dan interaksi kedua faktor berpengaruh nyata. Berdasarkan uji lanjut Duncan (α=0,05) dari faktor rasio mol katalis, perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol 0,018; 0,027; dan 0,036 masing-masing berbeda nyata satu sama lain. Dari hasil uji lanjut Duncan (α=0,05) perlakuan rasio mol 0,027 pada suhu 150 O C (sampel A2B2) dan perlakuan rasio mol 0,036 pada suhu 140 OC (sampel A3B1) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (Lampiran 2). Pengaruh dari faktor rasio mol katalis dan faktor suhu terhadap residu gula pereduksi dapat dilihat pada Gambar 9. Gula Pereduksi (ppm) 70000 Suhu (OC) 60000 140 50000 150 40000 30000 20000 10000 0 0.018 0.027 0.036 Rasio Mol Katalis PTSA/1 mol pati Gambar 9 Pengaruh faktor rasio mol katalis dan faktor suhu terhadap residu gula pereduksi. Semakin tinggi residu gula pereduksi yang dihasilkan pada proses butanolisis menyebabkan kemungkinan pembentukan warna gelap semakin tinggi pada proses selanjutnya dalam pembuatan APG. Oleh karena itu diharapkan residu gula pereduksi yang dihasilkan serendah mungkin. Semakin tinggi rasio mol katalis PTSA/1 mol pati yang ditambahkan selama proses butanolisis maka semakin rendah residu gula pereduksi yang dihasilkan. Demikian pula dengan perlakuan suhu, semakin tinggi perlakuan suhu yang diberikan maka residu gula pereduksi semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya rasio katalis maka semakin banyak ion H+ yang dapat digunakan untuk membentuk asetal antara gugus aldehid glukosa dan butanol. Luders (2000), menyatakan bahwa diperlukan ion H+ yang cukup dari katalis asam untuk membantu reaksi antara gula dan butanol. Panas yang cukup diperlukan untuk membantu reaksi antara glukosa dan butanol. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa semakin tinggi suhu yang digunakan maka semakin rendah pula residu gula yang dihasilkan. Perlakuan suhu 150 OC menghasilkan residu gula pereduksi yang rendah dibandingkan dengan perlakuan suhu 140 OC. Pada suhu 150 OC reaksi antara glukosa dan butanol lebih banyak terjadi karena dengan meningkatnya suhu maka semakin cepat pula reaksi yang terjadi. Dengan batasan waktu proses butanolisis selama 30 menit, perlakuan suhu 150 OC menghasilkan residu gula pereduksi yang lebih rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Luders (2000), suhu yang digunakan untuk proses butanolisis adalah 140-165 OC. semakin rendah suhu maka proses reaksi akan berjalan semakin lambat. Semakin tinggi suhu yang digunakan maka reaksi akan berjaan lebih cepat, namun proses harus dijaga untuk meminimalkan pembentukan by-product yang tidak diinginkan pada penggunaan suhu yang tinggi. 4.1.2 Residu total gula Tidak semua hasil hidrolisis pati dengan menggunakan asam akan menghasilkan monosakarida, namun ada juga yang berbentuk oligosakarida atau polisakarida. Hasil hidrolisis pati ini diukur sebagai total gula. Oligosakarida juga mampu bereaksi dengan butanol, namun produk yang dihasilkan berupa butil oligoglikosida. Gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna oranye hingga kekuningan yang stabil (Winarno 2008). Residu total gula yang dihasilkan pada proses butanolisis berasal dari hasil hidrolisa asam pada tapioka. Semakin banyak residu total gula, maka semakin tidak efisien proses butanolisis yang terjadi. Kondisi proses reaksi butanolisis yang menggunakan suhu 140-150 OC dan dalam keadaan asam mendukung untuk terjadinya proses hidrolisa pati. Hasil penelitian pada perhitungan residu total gula berkisar antara 44.047,62-143.928,57 ppm, atau sekitar 28,51 – 82,4% dari total pati yang digunakan. Dari hasil analisa ragam menunjukkan faktor perlakuan rasio mol, faktor perlakuan suhu dan interaksi kedua faktor berpengaruh nyata terhadap pembentukan residu total gula (Lampiran 3). Berdasarkan uji Duncan (α=0,05) dari faktor rasio mol katalis, perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol 0,018 berbeda nyata dengan perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol 0,027 dan 0,036. Perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol 0,027 dan 0,036 tidak berbeda nyata. Hasil uji Duncan (α=0,05) pada tiap perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda nyata, kecuali pada perlakuan rasio mol katalis 0,036 dan suhu 150 OC (sampel A3B1) tidak berbeda nyata dengan perlakuan penambahan rasio mol katalis 0,027 pada suhu 140 OC dan 150 OC (sampel A2B1 dan A2B2). Pengaruh dari perlakuan rasio mol katalis dan perlakuan suhu terhadap residu Total Gula (ppm) total gula dapat dilihat pada Gambar 10. 160000 Suhu (OC) 140000 140 120000 150 100000 80000 60000 40000 20000 0 0.018 0.027 0.036 Rasio Mol Katalis PTSA/1 mol pati Gambar 10 Pengaruh rasio mol katalis dan perlakuan suhu terhadap residu total gula Semakin tinggi rasio mol katalis dan perlakuan suhu, maka semakin rendah residu total gula yang dihasilkan. Penambahan katalis yang semakin tinggi memungkinkan terjadinya kondisi keasaman yang semakin tinggi selama proses butanolisis. Dengan suasana asam memungkinkan untuk terjadinya hidrolisis pati dan ion H+ yang diperoleh dari katalis membantu terjadinya ikatan antara gula dan butanol. Pada perlakuan suhu 150 OC menghasilkan residu total gula yang lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan suhu 140 OC. Dari data residu total gula dan residu gula sederhana dapat diperoleh data derajat polimerisasi (DP) dari residu sakarida yang dihasilkan dari hasil proses butanolisis. Derajat polimerisasi merupakan hasil bagi dari jumlah residu total gula dan jumlah residu gula pereduksi. Nilai DP dari hasil proses butanolisis berkisar antara 2-3. Dari nilai DP yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi gula pereduksi terhadap total gula masih tinggi atau berkisar antara 55,5-34,5%; sedangkan jumlah persentase total gula terhadap keseluruhan hasil butanolisis sebesar 25,1-82,4% (Tabel 4). Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi dari residu total gula yang terdapat pada hasil butanolisis yaitu terbentuknya polidekstrosa atau membentuk ikatan asetal dengan alkohol lemak rantai panjang pada tahap transasetalisasi (McCurry 2000). Tabel 4 Derajat polimerisasi dan persentase residu gula dari berbagai sampel Sampel A1B1a A1B2a A2B1a A2B2a A3B1a A3B2a Ludersb Perlakuan Katalis 0,018; suhu 140OC Katalis 0,018; suhu 150OC Katalis 0,027; suhu 140OC Katalis 0,027; suhu 150OC Katalis 0,036; suhu 140OC Katalis 0,036; suhu 150OC Katalis 0,012; suhu 165OC (syrup glukosa low DP) DP 2,4 1,9 1,8 2,2 2,9 2,4 Residu Gula (%) 82,40 49,75 39,70 31,35 38,20 28,51 n/ac 13,00 Keterangan : aperlakuan penelitian, bLuders (2000), cdata tidak tersedia 4.1.3 Kejernihan Luders (1991) dan Noerdin (2008) menyatakan bahwa warna produk hasil butanolisis antara kuning hingga coklat tua. Pembentukan warna ini disebabkan oleh dehidrasi glukosa dengan kehilangan 3H2O hingga membentuk hidroksil metil furfural (HMF) (Gambar 5). Perlakuan suhu tinggi hingga 150 OC juga menjadi penyebab pembentukan warna gelap pada hasil proses butanolisis. Hasil butanolisis yang berwarna gelap akan mempengaruhi kualitas warna produk APG selanjutnya. Semakin gelap produk butanolisis, maka produk APG yang dihasilkan juga akan semakin gelap. Penetapan kejernihan produk dari hasil butanolisis dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer. Pada perhitungan kejernihan digunakan panjang gelombang 470 nm (McCurry 1994), dengan menghitung %Transmisi sampel. Hasil dari perhitungan %Transmisi kecerahan produk butanolisis berkisar antara 0,1 – 80,35 %T. Semakin rendah nilai %T maka semakin gelap produk. Hasil analisa ragam menunjukkan faktor rasio mol, faktor suhu dan interaksi kedua faktor berpengaruh nyata (Lampiran 4). Berdasarkan uji Duncan (α=0,05) dari faktor rasio mol katalis, penambahan katalis dengan rasio mol 0,027; dan 0,036 tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan penambahan katalis dengan rasio mol 0,018. Dari hasil uji lanjut Duncan (α=0,05) terhadap tiap kombinasi perlakuan menunjukkan kombinasi perlakuan rasio mol katalis 0,036 pada suhu 140 OC dan 150 OC (A3B1 dan A2B2) serta perlakuan rasio mol katalis 0,027 pada suhu 150 OC tidak berbeda nyata. Kombinasi perlakuan rasio mol katalis 0,018; suhu 150 OC (A1B2) dan kombinasi perlakuan rasio mol katalis 0,027; suhu 140 OC (A2B1) juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Warna dari hasil proses butanolisis yaitu kuning muda hingga hitam. Warna dari hasil proses butanolisis ini dapat dilihat pada Gambar 11. Grafik kejernihan APG akibat pengaruh penambahan rasio mol katalis dan perlakuan suhu dapat dilihat pada Gambar 12. Keterangan : A (Rasio mol). A1=0,018; A2=0,027; A3=0,036 B (Suhu). B1=140 OC; B2=150 OC Kejernihan (%T) Gambar 11 Hasil dari proses butanolisis 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Suhu (OC) 140 150 0.018 0.027 0.036 Rasio Mol Katalis PTSA/1 mol pati Gambar 12 Pengaruh rasio mol katalis dan suhu terhadap kejernihan (%T) Semakin tinggi penambahan rasio mol katalis dan semakin tinggi perlakuan suhu maka kejernihan produk yang dihasilkan akan semakin rendah. Perlakuan penambahan rasio mol katalis 0,027 dan 0,036 dengan kombinasi perlakuan suhu 150 O C menghasilkan nilai kejernihan yang sangat rendah. Semakin tinggi penambahan rasio mol katalis menyebabkan penurunan pH yang semakin tinggi pula. Kondisi asam ini menyebabkan gula sederhana hasil hidrolisa pati mengalami dehidrasi hingga membentuk furfural. Hal ini sesuai dengan pendapat Winarno (1992) yang menyatakan bahwa asam akan menyebabkan dehidrasi pati menjadi furfural, yaitu suatu turunan aldehid. Perlakuan suhu yang semakin tinggi menyebabkan reaksi pembentukan warna gelap semakin tinggi. Suhu yang tinggi dapat meningkatkan pembentukan butil glikosida namun dapat menyebabkan byproduct yang tidak diinginkan yaitu pembentukan warna gelap (Luders 2000). 4.1.4 Pemilihan rasio mol dan suhu terbaik proses butanolisis Residu total gula diasumsikan sebagai gula yang tidak mampu berikatan dengan butanol membentuk butil glikosida. Semakin tinggi residu total gula maka semakin rendah produk butil glikosida yang terbentuk. Semakin tinggi rasio mol katalis/1 mol pati dan semakin tinggi perlakuan suhu yang diberikan selama proses butanolisis maka tingkat %Transmisi kecerahan dari hasil butanolisis semakin rendah, dan produk yang dihasilkan semakin gelap. Dari Gambar 13 dapat dilihat pada perlakuan rasio mol katalis 0,018 (pada suhu 140 OC dan 150 OC) hasil dari proses butanolisis memiliki tingkat kejernihan yang tinggi. Pada perlakuan ini diindikasikan bahwa telah terjadi proses hidrolisis pati menjadi gula sederhana, karena tidak terdapat lagi suspensi pati. Jika dilihat dari jumlah residu total gula pada kombinasi perlakuan rasio mol 0,018; suhu 140 OC (A1B1) masih cukup tinggi yaitu 82,40%, artinya pembentukan butil glikosida masih rendah. Jika suhu dinaikkan menjadi 150 OC (A1B2) maka total gula akan menurun menjadi 49,75%. Berdasarkan perbandingan tersebut maka dipilih perlakuan rasio mol 0,027 dan suhu proses butanolisis 140 OC (A2B1) karena memiliki residu total gula yang cukup rendah (39,7%) dan kejernihan yang masih tinggi (45,75 %T). Hasil perbandingan residu gula pereduksi, residu total gula dan kejernian dapat dilihat pada Gambar 13. Perlakuan rasio mol dan suhu ini kemudian digunakan seterusnya pada proses butanolisis untuk menghasilkan sampel APG. 90 Residu Total Gula (ppm) Residu Gula Pereduksi (ppm) Kejernihan (%Transmisi) Konsentrasi (ppm) 140000 120000 100000 80 70 60 50 80000 40 60000 30 40000 20 20000 10 0 0 A1B1 Keterangan : %Transmisi 160000 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2 A (Rasio mol). A1=0,018; A2=0,027; A3=0,036 B (Suhu). B1=140 OC; B2=150 OC Gambar 13 Perbandingan hasil pengamatan residu gula pereduksi, residu total gula dan kejernihan dari tiap perlakuan 4.2 Tahap produksi APG 4.2.1 Proses Sintesis (proses butanolisis dan proses transasetalisasi) Pada proses butanolisis jumlah rasio mol katalis PTSA yaitu 0,027 mol : 1 mol pati, sedangkan perlakuan suhu yang diberikan yaitu suhu 140 OC sesuai dengan perlakuan terbaik pada tahap penentuan rasio mol katalis dan suhu proses butanolisis. Pada proses butanolisis ditambahkan butanol dengan rasio mol 8,5 : 1 mol pati dan H2O dengan rasio mol 8 : 1 mol pati Proses ini berlangsung selama 30 menit dengan kondisi tekanan 6-8 kg/cm2 dan kecepatan pengadukan 200 rpm. Secara umum proses transasetalisasi merupakan proses penggantian C 4 oleh C12 dengan katalis asam p-toluena sulfonat. Pada proses ini terjadi pemutusan ikatan antara sakarida dan butanol kemudian digantikan oleh alkohol lemak C12. Pada proses ini berlangsung pada suhu 115-120 O C selama dua jam dengan kecepatan pengadukan 200 rpm dan dalam keadaan vakum (-15 cmHg). Selama berlangsungnya proses ini butanol dan air dikeluarkan melalui proses penguapan dan kondensasi. Setelah proses transasetalisasi didapatkan hasil berupa cairan berwarna coklat muda. Derajat keasaman larutan yang dihasilkan yaitu antara pH 2–2,4. Rata-rata gula pereduksi yang masih terdapat dalam larutan hasil transasetalisasi yaitu sebesar 563,64 ppm (Lampiran 6), sedangkan menurut Lueders (2000), kandungan D-glukosa yang tersisa dalam larutan hasil transasetalisasi sebesar 450 ppm. Polidekstrosa sangat berpengaruh terhadap Pada pembentukan warna gelap karena jika dilanjutkan pada proses distilasi maka produk APG akan semakin gelap. McCurry (1994), menyatakan bahwa larutan hasil proses transasetalisasi terdiri dari dodecil poliglikosida, alkohol lemak berlebih, polidekstrosa dan sebagian kecil gula yang tidak ikut bereaksi dengan alkohol lemak. Hasil dari proses transasetalisasi dapat diihat dari Gambar 14. Gambar 14 Hasil akhir proses transasetalisasi 4.2.2 Proses Pemurnian APG Proses pemurnian dilakukan untuk memperoleh APG yang memiliki penampakan lebih jernih, karena aplikasi APG saat ini lebih banyak digunakan pada industri personal care product yang menuntut kondisi fisik APG yang lebih menarik dan memiliki kinerja yang bagus. Tahap proses pemurnian meliputi: penyaringan, netralisasi, penambahan arang aktif dan NaBH4, distilasi dan pemucatan. 4.2.2.1 Proses Penyaringan Setelah proses transasetalisasi larutan didinginkan hingga mencapai suhu 80 O C. Di dasar larutan terdapat endapan coklat tua gelap. Jika endapan ini dipisahkan menggunakan kain saring akan diperoleh pasta yang akan mengeras pada suhu ruang. Menurut Eskuchen dan Nitsche (1997), endapan ini merupakan polidekstrosa hasil polimerisasi glukosa yang tidak bereaksi dengan alkohol lemak. Endapan ini harus dipisahkan, karena akan menyebabkan penurunan kualitas fisik dan kinerja APG yang dihasilkan. Tidak semua polidekstrosa dapat tersaring, karena ada juga yang masih larut dalam larutan. Rata-rata endapan polidektrosa yang diperoleh dari penelitian ini yaitu 4,3% dari jumlah transasetalisasi. Hal ini sesuai dengan pendapat McCurry (2000) bahwa kandungan polidekstrosa berkisar antara 2-13% dan kandungan by-product lainnya sebesar 1-3% dari hasil proses transasetalisasi. 4.2.2.2 Proses Netralisasi Proses netralisasi dilakukan untuk menghentikan proses transasetalisasi. Jika tidak dilakukan netralisasi maka APG yang telah terbentuk dalam larutan hasil transasetalisasi akan mengalami kerusakan pada proses destilasi. Hal ini disebabkan karena larutan masih bersifat asam dan suhu yang digunakan >140 OC yang dapat merusak APG yang telah terbentuk. Perlakuan proses netralisasi produk dilakukan dengan penambahan NaOH 50% hingga pH larutan mencapai pH 9. Penambahan NaOH menciptakan suasana basa dalam larutan karena gugus ether yang terbentuk dari ikatan asetal antara aldehid dan alkohol lebih stabil dalam kondisi basa (Noerdin 2008). Penggunaan larutan sodium hidroksida (NaOH) sangat dianjurkan karena NaOH tidak bereaksi terhadap alkohol ataupun produk APG (Wuess et al. 1996). Pada saat penambahan NaOH untuk menetralkan larutan terjadi perubahan warna pada larutan hasil proses transasetalisasi. Mulanya larutan berwarna coklat muda kemudian setelah penambahan NaOH larutan berubah menjadi coklat tua (Gambar 15). Perubahan warna ini disebabkan karena masih terdapat kandungan sakarida dalam larutan. Menurut Soeharsono (1988), jika sakarida diberikan larutan basa berkadar tinggi, maka akan terjadi fragmentasi atau polimerisasi, Dglukosa akan berubah menjadi D-manosa atau D-fruktosa. Monosakarida akan mudah mengalami dekomposisi dan menghasilkan hidroksil metil furfural (HMF) selama proses pencoklatan non-enzimatis. Gambar 15 Perubahan warna pada saat netralisasi menggunakan NaOH 4.2.2.3 Penambahan Arang aktif dan NaBH4 Untuk meningkatkan kejernihan produk maka diberikan perlakuan penambahan arang aktif 0%, 5%, dan 10% setelah netralisasi. Arang aktif dipisahkan dengan melakukan sentrifugasi dan penyaringan. Setelah itu ditambahkan NaBH4 sebanyak 0,1%, 0,2% dan 0,3% (b/b). Pada saat penambahan NaBH4 akan menghasilkan gelembung dan busa yang cukup banyak. Hal ini menandakan terjadi pelepasan H2 dari NaBH4 yang akan mengubah gugus aldehid pada sisa glukosa yang tidak bereaksi menjadi gugus alkohol untuk menghasilkan sorbitol. 4.2.2.4 Proses Distilasi Proses distilasi dilakukan untuk memisahkan kelebihan alkohol lemak yang tidak bereaksi. Alkohol lemak C12 (dodekanol) memiliki titik didih 259 OC. Hasil pengamatan yang dilakukan pada suhu 140 OC dengan tekanan vakum -76cmHg dan selama kurang lebih 1 jam dodekanol mampu menguap. Proses distilasi dihentikan jika suhu mencapai 160 OC. Jika dari suhu melebihi 160 OC, maka produk yang dihasilkan akan gosong dan rusak. Proses aliran dodekanol yang menguap juga dapat diamati pada lubang kaca yang terdapat pada kondensor, jika sudah tidak terdapat titik-titik embun, maka proses distilasi dihentikan. Hasil akhir dari proses distilasi akan diperoleh APG kasar yang berwarna coklat tua (Gambar 16). Mula-mula APG kasar ini berbentuk cair yang kemudian akan menjadi keras pada suhu kamar. Hal ini berhubungan dengan titik leleh dari APG C12 yaitu berkisar antara suhu 116-119OC (Ware et al. 2007) Gambar 16 APG Kasar Hasil proses destilasi 4.2.2.5 Proses pemucatan (bleaching) Sebelum dilakukan pemucatan, APG kasar hasil dari proses distilasi dilarutkan terlebih dahulu dengan perbandingan penambahan akuades (suhu 90 O C) 1 : 1 dengan APG kasar hingga konsentrasi bahan aktif APG 50%. Setelah dipanaskan suhu diturunkan hingga 70 OC kemudian dilakukan penambahan MgO 500 ppm dan H2O2 35% sebanyak 2% (b/b) dari larutan. Selama penambahan H2O2 suhu akan naik hingga 110 OC. Proses ini berlangsung selama kurang lebih 45 menit hingga gelembung akibat penambahan H 2O2 hilang. Kemurnian H2O2 yg digunakan tidak boleh lebih dari 50% dan penambahan pada saat bleaching tidak boleh lebih dari 3%, karena sifat H 2O2 yang sangat oksidatif (Hill et al. 2000). Penambahan H2O2 berlebih akan menyebabkan kerusakan pada produk APG sehingga APG yang dihasilkan menjadi 2 lapisan. hal ini menandakan bahwa ikatan antara gugus hidrofilik dan hidrofobiknya telah rusak. Hasil proses pemucatan dapat dilihat pada Gambar 17. 4.2.2.6 Karakteristik kejernihan Pembentukan warna gelap selama proses sintesis APG terjadi karena terbentuknya polidekstrosa selama proses transasetalisasi karena kondisi asam, suhu tinggi dan kandungan air. Warna gelap juga terbentuk dari degradasi glukosa menjadi hidroksil metil furfural (HMF). Arang aktif telah dikenal sebagai salah satu absorben yang mampu menyerap zat warna, sehingga dapat mengurangi warna gelap produk. NaBH4 merupakan senyawa hidrogenasi yang mampu mereduksi glukosa menjadi sorbitol yang lebih tahan panas. Setelah dilakukan pemucatan terjadi perubahan warna pada produk APG, produk yang dihasilkan berwarna putih kekuningan hingga coklat muda (Gambar 18). APG hasil sintesis berbentuk pasta sedangkan APG komersial bersifat cairan kental berwarna keruh transparan. Hal ini disebabkan karena APG komersial mengkombinasikan alkohol lemak C8, C10, C12 dan C14. Menurut Ware et al (2007) sintesis APG menggunakan alkohol lemak C8 dan C10 akan menghasilkan APG yang berisfat cairan kental, sedangkan menggunakan alkohol lemak C 12 akan menghasilkan APG yang berbentuk pasta. Pada alkohol lemak dengan jumlah C yang lebih tinggi, APG yang dihasilkan akan berbentuk padat pada suhu kamar. Arang Aktif 0% Arang Aktif 5% Arang Aktif 10% NaBH4 NaBH4 NaBH4 0,3% NaBH4 0,1% 0,2% 0% Gambar 17 Produk APG murni hasil proses pemucatan (bleaching) Hasil penelitian ini menunjukkan nilai kejernihan sebagai %Transmisi berkisar antara 27,86–63,68. Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa faktor penambahan arang aktif berbeda nyata terhadap kejernihan APG yang dihasilkan, demikian pula dari faktor penambahan NaBH 4 berpengaruh nyata terhadap kecerahan APG yang dihasilkan. Interaksi kedua faktor antara penambahan arang aktif dan penambahan NaBH4 menunjukkan hasil yang berpengaruh nyata. Hasil uji Duncan (α=0,05) menunjukkan faktor penambahan NaBH4 0,2% dan 0,3% tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan penambahan NaBH 4 0% dan 0,1% (Lampiran 8). Hasil penelitian terhadap warna APG dapat dilihat pada Gambar 18. 70 NaBH4 0% NaBH4 0,1% NaBH4 0,2% NaBH4 0,3% %Transmisi 60 50 40 30 20 10 0 0 5 Arang Aktif (%) 10 Gambar 18 Hasil analisa kejernihan produk APG sintesis Hasil analisa warna menunjukkan penggunaan arang aktif 5% mampu menghasilkan kejernihan produk yang lebih tinggi dengan nilai %Transmisi yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena arang aktif mampu menyerap HMF yang terbentuk. faktor penambahan arang aktif 10% menyisakan partikel arang aktif berlebih yang tersisa pada produk, sehingga menyebabkan produk menjadi lebih gelap. Perlakuan penambahan NaBH4 mampu meningkatkan kejernihan produk. Hal ini disebabkan karena NaBH4 mengubah sisa glukosa yang tidak bereaksi menjadi sorbitol yang lebih tahan pada suhu tinggi selama proses distilasi (McCurry 2000). 4.2.2.7 R e n d e m e n Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan terhadap bahan baku untuk setiap tahap pada sintesa APG, antara lain yaitu tapioka dan dodekanol (alkohol lemak C12) Hasil sidik ragam menunjukkan faktor penambahan arang aktif berpengaruh nyata terhadap rendemen APG yang dihasilkan. Demikian pula faktor penambahan NaBH4. Namun interaksi dari kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen yang dihasilkan. Dari hasil uji lanjut Duncan (α=0,05), tiap perlakuan penambahan arang aktif berbeda nyata. Penambahan NaBH4 0,1%; 0,2%; dan 0,3% tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata pada perlakuan tanpa penambahan NaBH4 0% (Lampiran 9). Hasil dari perhitungan rendemen dapat dilihat pada Gambar 19. 65 Rendemen (%) NaBH4 0% 60 NaBH4 0,1% NaBH4 0,2% 55 NaBH4 0,3% 50 45 40 0 5 10 Konsentrasi Arang Aktif (%) Gambar 19 Rendemen APG dari perlakuan penambahan arang aktif dan NaBH 4 Dari hasil perhitungan rendemen, dapat dilihat bahwa semakin tinggi penambahan arang aktif, maka semakin rendah rendemen yang diperoleh. Rendemen yang diperoleh antara 47,07– 59,85%. Arang aktif dapat mengurangi tingkat rendemen karena sifat arang aktif yang mampu menyerap senyawa surfaktan. Pengaruh penambahan NaBH4 menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan tanpa penambahan NaBH4. Meskipun rendemen APG yang dihasilkan rendah, namun beberapa bahan baku masih dapat di recovery dan digunakan kembali, seperti butanol dan alkohol lemak yang diperoleh dari proses distilasi. 4.3 Tahap Karakterisasi APG 4.3.1 Kemampuan menurunkan tegangan permukaan Surfaktan berfungsi sebagai senyawa aktif yang dapat digunakan untuk menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling larut, kemampuan ini disebabkan oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan. Surfaktan akan akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya meningkatkan gaya adhesi sehingga mampu menurunkan tegangan permukaan (Matheson 1996). Pengujian kemampuan menurunkan tegangan permukaan dilakukan dengan berbagai konsentrasi APG murni. Konsentrasi yang digunakan yaitu 0,001%; 0,01%; 0,05%; 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%; dan 1%. Dengan berbagai konsentrasi tersebut akan dilihat kecenderungan penurunan dari kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan. Dari hasil pengamatan dilihat semakin tinggi konsentrasi APG yang ditambahkan maka tegangan permukaan cairan akan semakin rendah (Lampiran 10). Hasil dari uji kemampuan menurunkan tegangan permukaan air dari APG yang dihasilkan menunjukkan kinerja yang baik. Dari perhitungan dengan konsentrasi APG 1%, persentase penurunan tegangan permukaan berkisar antara 60,63 - 61,94%. Sebagai pembanding pada konsentrasi yang sama, APG komersial memiliki kemampuan menurunkan tegangan permukaan sebesar 58,89%. Dari hasil uji ragam, penambahan arang aktif berpengaruh nyata terhadap kemampuan menurunkan tegangan permukaan. Hasil uji lanjut Duncan (α=0,05) terhadap faktor penambahan arang aktif menunjukkan bahwa penambahan arang aktif 5% dan 10% tidak berbeda nyata. Hasil uji ragam menunjukkan faktor penambahan NaBH4 berpengaruh nyata. Hasil uji Duncan (α=0,05) menunjukkan hanya perlakuan penambahan NaBH4 0,1% tidak berbeda nyata dengan tanpa penambahan NaBH4. Penambahan NaBH4 0,2% menghasilkan nilai peningkatan kemampuan menurunkan tegangan permukaan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan penambahan NaBH4 0%; 0,1% dan 0,3%. Hasil analisa terhadap kemampuan menurunkan tegangan permukaan dapat dilihat pada Gambar 20. Penambahan arang aktif 5% dan 10% menunjukkan hasil kemampuan menurunkan tegangan permukaan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tanpa penggunaan arang aktif. Hal ini disebabkan karena sifat arang aktif yang non polar. Penambahan arang aktif mampu menyerap gugus hidrofobik, surfaktan dapat teradsorpsi pada arang aktif karena interaksi hidrofobik (Rosu 1997), sehingga mampu menurunkan kemampuan APG dalam menurunkan tegangan permukaan. Kemampuan menurunkan tegangan Permukaan (%) NaBH 62.5 4 62 0% 0,10% 61.5 0,20% 61 0,30% 60.5 60 59.5 0 5 10 Konsentrasi arang aktif (%) Gambar 20 Kemampuan menurunkan tegangan permukaan dari APG yang dihasilkan Penambahan NaBH4 juga mampu mengurangi pembentukan polidekstrosa yang dapat menyebabkan penurunan kemampuan menurunkan tegangan permukaan maupun tegangan antar muka. Glukosa yang tidak bereaksi berubah menjadi sorbitol sehingga mengurangi proses terbentuknya polidekstrosa yang dapat menurunkan kinerja APG. Perhitungan kemampuan menurunkan tegangan permukaan dilakukan pada konsentrasi 1% APG. Pada konsentrasi yang rendah, molekul surfaktan dalam larutan teradsorpsi pada permukaan udara atau air, jika ditambahkan konsentrasi surfaktan, maka surfaktan akan teradsorbsi pada permukaan hingga mencapai kejenuhan dan tegangan permukaan menjadi konstan, pada tahap ini telah terbentuk misel. Misel terbentuk ketika surfaktan mencapai konsentrasi tertentu yang disebut Critical Micelle Concentration (CMC). Pada konsentrasi dibawah CMC tegangan permukaan dan antar muka akan turun dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan. Jika konsentrasinya lebih tinggi maka tidak terjadi penurunan tegangan permukaan atau penurunannya sangat rendah (Balzer 2000). 4.3.2 Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka Tegangan antar muka adalah gaya persatuan panjang dari dua fase cair yang tidak dapat tercampur. Menurut Hargreaves (2003), antar muka adalah bagian dimana dua fase saling bertemu atau kontak, sedangkan permukaan adalah antar muka dimana satu fase kontak dengan gas (biasanya udara). Tegangan antar muka sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama. Pengukuran tegangan antar muka menunjukkan kemampuan surfaktan untuk menurunkan tegangan antar muka dua fase yang berbeda dalam larutan. Dalam aplikasinya kemampuan menurunkan tegangan antarmuka ini erat hubungannya dengan pembentukan emulsi, kemampuan daya bersih atau dalam penggunaan sebagai oil recovery. Perhitungan penurunan kemampuan tegangan antarmuka dilakukan pada laruran air dan xilena. Tegangan antar muka air dan xilena yaitu 42 dyne/cm. Konsentrasi penambahan APG hasil sintesis pada campuran air dan xilena yaitu 0,001–1%. Dengan berbagai konsentrasi tersebut akan dilihat kecenderungan penurunan dari kemampuan untuk menurunkan tegangan antar muka. Dari hasil pengamatan dilihat semakin tinggi konsentrasi APG yang ditambahkan maka tegangan antar muka cairan air dan xilena akan semakin rendah. APG hasil sintesis dengan konsentrasi 1% bahan aktif memiliki nilai penurunan tegangan antar muka antara 1,85–2,35 dyne/cm atau memiliki nilai kemampuan penurunan tegangan antarmuka 95,6–94,4%, dengan konsentrasi yang sama (1%) APG komersial memiliki nilai penurunan tegangan antar muka 2,7 dyne/cm (kemampuan menurunkan tegangan sebesar 93,57%). Hasil uji ragam pada faktor penambahan arang aktif, dan faktor penambahan NaBH4 berpengaruh nyata, namun interaksi kedua faktor menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata. Pada kombinasi perlakuan arang aktif 0% dan NaBH4 0,2% memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka yang paling tinggi (95,6%) dibandingkan dengan perlakuan kombinasi lainnya. Sedangkan kombinasi perlakuan arang aktif 10% dan NaBH4 0% merupakan perlakuan yang memiliki nilai kemampuan menurunkan tegangan antarmuka yang paling rendah yaitu 94,4%. Semua kombinasi perlakuan antara arang aktif dan NaBH 4 0,2% memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka yang tertinggi jika dibandingkan dengan perlakuan arang aktif 0%; 0,1% dan 0,3% (Lampiran 11). Hal ini menunjukkan penambahan NaBH4 hingga konsentrasi 0,2% mampu menaikkan kinerja APG untuk menurunkan tegangan antarmuka, namun pada konsentrasi 0,3% kemampuan APG untuk menurunkan tegangan antar muka tidak berbeda nyata dengan penambahan NaBH4 0,2%. Pola ini hampir sama dengan hasil analisa pada kemampuan APG dalam menurunkan tegangan permukaan. Pada konsentrasi NaBH4 0,3% jika dikombinasikan dengan penambahan arang aktif (0%, 5%, dan 10%) diduga terjadi reduksi terhadap APG yang telah terbentuk. Proses reduksi ini terjadi karena tingginya konsentrasi NaBH 4 yang dapat merusak gugus eter yang telah terbentuk antara glukosa dan alkohol lemak. Rusaknya gugus ini akan menyebabkan menurunnya kinerja APG. Hasil dari perhitungan kemampuan menurunkan tegangan antarmuka APG hasil sintesis pada konsentrasi 1% dapat dilihat pada Gambar 21 Kemampuan menurunkan tegangan antar muka (%) NaBH 95.8 95.6 95.4 95.2 95 94.8 94.6 94.4 94.2 94 93.8 4 0 5 0% 0,10% 0,20% 0,30% 10 Konsentrasi Arang Aktif (%) Gambar 21 Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka APG sintesis pada konsentrasi 1% bahan aktif 4.3.3 Kestabilan emulsi Emulsi merupakan penyatuan dari dua atau lebih jenis larutan yang tidak saling larut, salah satu cairan terdispersi kedalam cairan yang lain (Gambar 22). Namun karena perbedaan berat molekul ataupun karena pengaruh gaya kohesi maka larutan tersebut secara perlahan akan terpisah lagi. Alkil poliglikosida memiliki kemampuan untuk menstabilkan emulsi yang memiliki kepolaran berbeda, karena memiliki gugus hidrofobik dan hidrofilik, semakin panjang rantai alkil yang dimiliki oleh APG maka kelarutan surfaktan dalam larutan nonpolar akan lebih stabil (Sukkary et al. 2007). Penghitungan kestabilan emulsi dilakukan dengan menambahkan APG sebanyak 0,1%; 0,5% dan 1% pada larutan air dan xilena kemudian dikocok menggunakan vortex dan didiamkan selama 300 menit, tinggi emulsi yang terbentuk kemudian diukur untuk melihat kestabilan emulsinya. Kombinasi penambahan arang aktif 0% dan NaBH4 0,2% menghasilkan tinggi emulsi yang lebih tinggi. Perlakuan kombinasi arang aktif 10% dan NaBH4 0% dan 0,3% menghasilkan kestabilan emulsi yang paling rendah. Kestabilan emulsi dipengaruhi oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki oleh APG. Pada pegujian ini digunakan air sebagai bahan polar dan xylene sebagai bahan non polar, penambahan APG diharapkan dapat membentuk emulsi antara air dan xilena. Gambar 22 Proses penghitungan kestabilan emulsi Penghitungan kestabilan emulsi dilakukan pada tinggi emulsi pada menit ke 300. Hasil uji ragam menunjukkan pengaruh faktor penambahan arang aktif dan NaBH4 berpengaruh nyata, demikian pula dengan interaksi kedua faktor. Semakin tinggi penambahan arang aktif maka kestabilan emulsi larutan semakin rendah. Sedangkan penambahan NaBH4 0,2% menunjukkan kestabilan emulsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi lainnya. Dari hasil uji lanjut Duncan (α=0,05) kombinasi perlakuan arang aktif 0% dan NaBH4 0%; dan kombinasi perlakuan arang aktif 0% dan NaBH4 0,1% menunjukkan tinggi emulsi yang tidak berbeda nyata. Perlakuan kombinasi arang aktif 0% dan NaBH4 0,2% (A1B3) yang memiliki kestabilan emulsi paling tinggi (81,71%) berbeda nyata dengan dengan perlakuan kombinasi arang aktif 5% NaBH4 0,2% (A2B3) , namun perlakuan kombinasi arang aktif 0% dan NaBH4 0,3% (A1B4) tidak berbeda nyata pada perlakuan A1B3 dan A2B3. Perlakuan kombinasi arang aktif 10% dan NaBH4 0% dan 0,3% (A3B1 dan A3B4) merupakan kombinasi perlakuan yang memiliki kestabilan emulsi yang paling rendah yaitu 67,07%, kedua perlakuan ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan kombinasi arang aktif 10% dan NaBH4 0,1 dan 0,2 (A3B2 dan A3B3) serta perlakuan kombinasi arang aktif 5% dan NaBH4 0% (A2B1). Data hasil uji statistik mengenai kestabilan emulsi dapat dilihat pada Lampiran 12. Hasil pengukuran kestabilan emulsi pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 23. Penambahan arang aktif selama proses pemurnian APG dapat menurunkan jumlah gugus hidrofobik, sehingga kemampuan untuk membuat emulsi antara air dan xilena pun semakin berkurang. Kemampuan pembentukan emulsi juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan menurunkan tegangan antarmuka dari surfaktan (Iglauer et al. 2009) NaBH 85 Kestabilan emulsi (%) 4 80 0% 0,10% 0,20% 75 0,30% 70 65 60 0 5 10 Konsentrasi Arang Aktif (%) Gambar 23 Tingkat kestabilan emulsi air dan xilena dari penambahan APG 4.3.4 Pembusaan (tinggi dan kestabilan busa) Kebanyakan surfaktan dalam larutan dapat membentuk busa baik diinginkan maupun tidak diinginkan dalam penggunaannya. Busa cair adalah sistem koloid dengan fase terdispersi gas dan medium pendispersi zat cair. Kestabilan busa diperoleh dari adanya zat pembusa (surfaktan). Zat pembusa ini teradsorpsi ke daerah antar fase dan mengikat gelembung-gelembung gas sehingga diperoleh suatu kestabilan (Noerdin 2008). Dibandingkan dengan surfaktan anionik yang terkenal sebagai foaming agent, APG termasuk kategori surfaktan low foam (Ware et al. 2007), oleh karena itu penggunaannya sangat cocok untuk personal care product. Untuk meningkatkan jumlah busa dari produk yang menggunakan APG, maka dapat ditambahkan foaming agent seperti fatty alcohol sulphates atau fatty alcohol ether sulfate (Anonim 2010a). Penghitungan tinggi busa dilakukan dengan konsentrasi APG murni 1%. Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan penambahan arang aktif tidak berpengaruh nyata pada faktor penambahan arang aktif hadap tinggi busa. Namun faktor perlakuan penambahan NaBH4 berpengaruh nyata terhadap tinggi busa yang dihasilkan. Interaksi kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi busa yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan (α=0,05%) pada faktor penambahan NaBH4 0%; 0,1%; dan 0,2% berbeda nyata, sedangkan faktor penambahan NaBH4 0,3% tidak berbeda nyata dengan penambahan NaBH4 0,1% dan 0,2%. Tinggi busa yang terbentuk berkisar antara 55-62% dari tinggi larutan, sedangkan tinggi busa dari APG komersial yaitu 67,5%. Tinggi busa yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dilihat dari Gambar 24. 64.00 Tinggi Busa (%) 62.00 60.00 NaBH 58.00 4 56.00 0% 0,1% 54.00 0,2% 52.00 0,3% 50.00 0 5 10 Konsentrasi Arang Aktif (%) Gambar 24 Pengaruh penambahan arang aktif dan NaBH4 terhadap tinggi busa Stabilitas busa adalah lama terbentuknya busa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa busa stabil hingga 300–315 menit. Analisa ragam menunjukkan faktor penambahan arang aktif, penambahan NaBH4, dan interaksi kedua faktor berpengaruh nyata. Hasil uji duncan (α=0,05) menunjukkan perlakuan kombinasi arang aktif 0% dan NaBH4 0%; 0,2% dan 0,3% tidak berbeda nyata dan memberikan nilai kestabilan busa yang tertinggi yaitu antara 312-320 menit, sedangkan perlakuan kombinasi arang aktif 0% dan NaBH4 0,1% merupakan perlakuan yang memiliki nilai kestabilan busa yang paling rendah yaitu 307 menit. Data statistik mengenai pembusaan dapat dilihat pada Lampiran 13 Kestabilan busa yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dilihat dari Gambar 25. Kestabilan busa (menit) 325.00 320.00 NaBH 315.00 4 310.00 0% 305.00 0,1% 300.00 0,2% 295.00 0,3% 290.00 0 5 10 Konsentrasi Arang Aktif Gambar 25 Pengaruh penambahan arang aktif dan NaBH4 terhadap stabilitas busa Kemampuan menghasilkan busa dipengaruhi oleh gugus hidrofobik surfaktan, semakin panjang rantai alkohol lemak yang digunakan, maka semakin tinggi kestabilan bisa yang diperoleh. Ware et al. (2007) melakukan perhitungan kestabilisan busa dengan membandingkan antara APG C8, APG C10, dan APG C12, hasil yang diperoleh APG C12 menghasilkan tinggi busa dan kestabilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan APG lainnya. 4.3.5 Penentuan perlakuan terbaik Penentuan perlakuan terbaik dari berbagai perlakuan penambahan arang aktif dan NaBH4 dilakukan dengan membandingkan hasil perkalian bobot dari variabel kinerja APG dan nilai dari tiap sampel. Variabel kinerja yaitu: kejernihan, kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan antarmuka, kestabilan emulsi, dan pembusaan. Kejernihan produk memiliki bobot tertinggi yaitu 30%, karena subjek utama penelitian ini untuk memperoleh APG yang memiliki warna yang lebih terang. Kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan, kemampuan untuk menurunkan tegangan antar muka, dan kestabilan emulsi memperoleh nilai bobot yang sama yaitu 20%, sedangkan nilai bobot untuk kestabilan busa yaitu 10%. Perhitungan skoring dapat dilihat pada Lampiran 14. Nilai skor penentuan Skor terbaik dari tiap sampel dapat dilihat pada Gambar 26. 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 4.6 4.2 3.2 2.65 4.25 3.55 2.95 2.45 2.4 2.15 2 1.7 NaBH4 0% NaBH4 0,1% NaBH4 0,2% NaBH4 0,3% 0 5 10 Konsentrasi Arang Aktif (%) Gambar 26 Skor dari perlakuan penambahan arang aktif dan NaBH4 Dari Gambar 26 dapat dilihat bahwa perlakuan penambahan arang aktif 0% dan penambahan NaBH4 0,2% adalah perlakuan terbaik. Perlakuan ini memiliki nilai skor tertinggi dibandingkan dengan pelakuan lainnya. Hasil perkalian bobot dari variabel kinerja APG dan nilai dari tiap sampel menunjukkan nilai karakteristik kemampuan menurunkan tegangan permukaan, kemampuan menurunkan tegangan antarmuka, kestabilan emulsi, dan pembusaan APG yang dihasilkan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun jika dilihat dari karakteristik kejernihan masih lebih rendah jika dibandingkan dengan kombinasi perlakuan penambahan arang aktif 5% dan NaBH4 0,2%. 4.3.6 Analisa Gugus Fungsi Spektrofotometer infra merah transformasi fourier (FTIR) merupakan alat untuk mendeteksi gugus fungsi suatu senyawa dengan spektrum infra merah dari senyawa organik yang memiliki sifat fisik yang khas. Energi radiasi inframerah akan diabsorpsi oleh senyawa organik sehingga molekulnya akan mengalami rotasi atau vibrasi. Setiap ikatan kimia yang berbeda seperti C-C, C-H, C=O, O-H dan sebagainya mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda. Hasil analisa FTIR menunjukkan peak yang hampir sama antara APG sintesis dan APG komersial. Gugus eter (C-O-C) pada APG hasil sintesis terdapat pada serapan jumlah gelombang 1.151,72 cm-1 sedangkan APG komersial terdapat pada serapan jumlah gelombang 1.153,02 cm-1 . Gugus OH pada APG hasil sintesis terdapat pada serapan jumlah gelombang 3.368,60 cm-1 sedangkan APG komersial terdapat pada serapan jumlah gelombang 3395,15 cm-1. Hal ini sesuai pendapat Sukkary et al (2007), bahwa gugus eter (C-O-C) sebagai komponen gugus utama pada APG terdapat pada serapan jumlah gelombang 1.120–1.170 cm1 , sedangkan gugus OH terbentuk pada serapan jumlah gelombang 3.200–3400 cm-1. Terbentuknya gugus eter menandakan bahwa sintesis antara glikosida dan alkohol lemak telah terbentuk dan struktur gugus hidrofobik telah terbentuk, sedangkan gugus OH menandakan gugus hidrofilik dari APG. Hasil dari pengamatan perbandingan gugus fungsi FTIR antara APG hasil sintesis dan APG komersial dapat dilihat pada Gambar 27. 4.3.7 Karakteristik formasi emulsi dengan menentukan nilai HLB Hydrophilic Lipophilic Balance (HLB) merupakan nilai perbandingan gugus hidrofilik dan lipofilik pada surfaktan. Semakin panjang rantai lipofilik, maka semakin rendah nilai HLB. Surfaktan dengan nilai HLB yang rendah larut dalam minyak dan meningkatkan emulsi air dalam minyak (w/o). Sebaliknya surfaktan dengan nilai HLB tinggi akan larut dalam air dan meningkatkan emulsi minyak dalam air (o/w). Nilai HLB berkisar antara 1-20 (Holmberg et al. 2003). Fungsi surfaktan ditentukan dari nilai HLB surfaktan yang akan digunakan. Pengelompokan surfaktan berdasarkan nilai HLB dan penggunaannya disajikan pada Tabel 2. Gambar 27 Perbandingan gugus fungsi FTIR antara APG hasil sintesis dan APG komersial Metode untuk menentukan HLB dari APG yang digunakan adalah metode titrimetri dengan metode bilangan air (water number method). Akuades digunakan sebagai titran dan larutan yang mengandung 1 g dalam 25 ml campuran (95:5 v/v) piridina dan benzena sebagai titrat. Kepala polar yang diperoleh dari glukosa yang bersifat hidrofilik akan tarik menarik dengan molekul air yang besifat polar dan ion nitrogen dari piridina yang bersifat non polar. Ekor dari APG yang diperoleh dari alkohol lemak bersifat hidrofobik akan menarik molekul benzena yang non polar dan cincin heterosiklik aromatik molekul piridina. Titik akhir titrasi dicapai pada saat kekeruhan permanen. Pada kondisi tersebut larutan telah jenuh dan molekul APG sudah tidak dapat berikatan dengan molekul air maupun piridina dan benzena (Noerdin 2008). Perhitungan nilai HLB dengan mencari persamaan liniar dari jenis surfaktan yang telah diketahui nilainya. Menurut Moectar (1989), nilai HLB tween80 ialah 15, nilai HLB span20 adalah 8,6 dan asam oleat adalah 1. Hasil pengukuran dari surfaktan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 15. Dari data tersebut dibuatkan kurva standarnya, dimana pada perhitungan HLB selanjutnya menggunakan kurva standar tersebut untuk menentukan nilai HLB. Kurva standar HLB dapat dilihat pada Lampiran 15. Persamaan linear dari kurva standar (y=0,259x-2,38) digunakan untuk menentukan nilai HLB dari APG sintesis dan APG komersial. Nilai HLB APG perlakuan terbaik yang diperoleh yaitu 10,24; sedangkan APG Komersial yaitu 12,01. Dengan demikian APG hasil sintesis merupakan APG golongan pengemulsi o/w. demikian pula APG komersial yang juga masuk dalam nilai kisaran jenis surfaktan pengemulsi o/w. 4.3.8 Perbandingan karakteristik APG sintesis dan APG Komersial Hasil sintesis APG dengan perlakuan terbaik dibandingkan dengan APG komersial (Glucopon) menunjukkan bahwa karakteristik kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka dan kestabilan emulsi APG hasil sintesis menunjukkan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan APG komersial, namun dari karakteristik warna dan pembusaan APG komersial memiliki nilai yang lebih baik. Hasil perbandingan karakteristik APG sintesis dan APG komersial dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Perbandingan karakteristik APG sintesis dan APG Komersial Karakteristik Kejernihan (%T) Kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan (%) Kemampuan untuk menurunkan tegangan antarmuka (%) Kestabilan emulsi (%) Tinggi Busa (%) Kestabilan Busa (menit) APG Sintesis Perlakuan penambahan Perlakuan arang aktif 0% dan terbaik proses NaBH4 0% pemurnian 27,86 59,02 APG Komersial 77,04 61,18 61,94 58,89 94,88 95,60 93,57 72,0 57,5 312,5 81,71 62,5 315 73,2 67,5 342,5 Hasil perbandingan ini dapat dilihat bahwa APG hasil sintesis memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan APG komersial. Perbedaan karakteristik ini disebabkan oleh perbedaan penggunaan alkohol lemak. APG komersial menggunakan alkohol lemak campuran dari C10-C16, sedangkan APG sintesis menggunakan alkohol lemak C12. 4.4 Perhitungan biaya bahan baku untuk produksi APG Perhitungan biaya bahan baku untuk memproduksi APG dilakukan dengan basis 1 ton tapioka. Dari 1 ton tapioka akan menghasilkan 1,8 ton APG kasar atau 3,7 ton APG murni. Bahan baku yang digunakan yaitu: tapioka, PTSA, butanol, alkohol lemak C12, DMSO, NaOH, NaBH4, H2O2, dan MgO. Perhitungan neraca massa produksi APG dapat dilihat pada Lampiran 16. Berdasarkan neraca massa diperoleh kebutuhan bahan baku dan jumlah produk yang dihasilkan. Untuk memproses 1 ton tapioka dibutuhkan biaya bahan baku sebesar Rp. 35.341.409 untuk menghasilkan APG murni. Sedangkan jika hanya memproduksi APG kasar dibutuhkan biaya bahan baku sebesar Rp. 27.645.531. APG murni yaitu APG kasar yang telah melalui proses pemucatan menggunakan H2O2 dan penambahan akuades hingga konsentrasi bahan aktif APG 50%. Biaya bahan baku produksi APG dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Biaya bahan baku pembuatan APG Bahan Baku Berat (kg) Harga (Rp./kg) Tapioka 1.000,00 2.500a PTSA 47,55 47.500a Butanol 388,27 10.650a Dodekanol 1.123,76 15.420a DMSO 107,38 12.350a NaOH 27,83 3.500b NaBH4 12,94 522.500c H2O2 73,94 12.500b MgO 1,84 4.500b Total biaya APG murni Total biaya APG kasar Sumber : a) www.alibaba.com b) www.icis.com/staticpages/a-e.htm c) www.linkinghub.elsevier.com Total (Rp.) 2.500.000,00 2.258.625,00 4.135.092,60 17.328.322,48 1.326.088,03 97.403,56 6.763.237,43 924.321,91 8.318,89 35.341.409,91 27.645.531,67