daftar isi - IPB Repository

advertisement
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh rasio mol katalis dan suhu pada proses butanolisis
Proses sintesis APG dua tahap diawali oleh proses butanolisis. Penggunaan
bahan baku sakarida yang memiliki dextrose equivalent (DE) yang rendah seperti
sirup dextrosa atau pati melalui proses butanolisis terlebih dahulu (Eskuchen dan
Michael 1997). Pada proses ini terjadi proses hidrolisis asam untuk memutus
ikatan glikosida pada pati kemudian terbentuk gula sederhana. Gula sederhana
tersebut akan berikatan dengan butanol melalui proses alkoholisis hingga
terbentuknya butil monoglikosida atau butil poliglikosida.
Bahan baku pati yang digunakan dalam penelitian ini adalah tapioka. Alasan
pemilihan bahan baku tapioka karena lebih mudah didapatkan, selain itu harga
tapioka yang juga relatif lebih murah, jika dibandingkan dengan jenis pati lain
atau menggunakan gula dengan tingkat derajat ekuivalensi yang tinggi.
Karakteristik fisiko kimia tapioka sesuai dengan pati pada umumnya yang
mengandung amilosa dan amilopektin yang disusun oleh D-glukosa.
Alkoholisis pati membutuhkan kondisi yang lebih ekstrim dibandingkan
proses alkoholisis D-glukosa. Hal ini disebabkan karena pati masih mengandung
amilosa dan amilopektin yang memiliki keterbatasan pelarutan dan sweeling pada
alkohol, khususnya alkohol hidrofobik. Karena hal tersebut maka diperlukan suhu
yang tinggi dan bertekanan, serta kondisi asam untuk memutus ikatan glikosida
pati. Pemecahan pati menjadi D-glukosa diharapkan dapat berikatan dengan
butanol. Pada proses ini terjadi pelepasan H2O akibat proses pembentukan asetal
antara gugus aldehid pati dan alkohol dengan bantuan katalis asam. Suhu yang
tinggi dan kondisi asam selain menyebabkan pemutusan ikatan glikosida pati juga
mampu membuat dehidrasi gula sederhana yang telah terbentuk menjadi hidroksil
metil furfural (HMF). Senyawa HMF ini menyebabkan warna gelap pada produk
hasil proses butanolisis. Selain pembentukan warna gelap juga terdapat residu dari
gula yang tidak ikut bereaksi dengan butanol.
Proses butanolisis diberikan perlakuan penambahan katalis PTSA dengan
rasio mol/mol pati sebesar 0,018 – 0,036, sedangkan perlakuan suhu yang
diberikan yaitu suhu 140 OC dan 150 OC. Proses ini berlangsung selama 30 menit
dengan kondisi tekanan 6-8 kg/cm2 dan kecepatan pengadukan 200 rpm. Dengan
proses penambahan berbagai konsentrasi rasio mol katalis dan perlakuan suhu
diharapkan butil glikosida yang terbentuk akan menjadi maksimal. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah residu total gula ataupun gula pereduksi yang dihasilkan.
Semakin rendah residu total gula, maka dapat diasumsikan butil glikosida yang
terbentuk akan semakin banyak. Jumlah residu gula pereduksi menunjukkan
jumlah glukosa yang tidak bereaksi dengan butanol untuk menghasilkan butil
glikosida. Residu gula
yang dihasilkan dari proses butanolisis akan
mempengaruhi terbentuknya polidekstrosa pada tahap transasetalisasi.
Selain berdampak pada jumlah residu gula yang dihasilkan, perlakuan
penambahan konsentrasi rasio mol katalis dan perlakuan suhu selama proses
butanolisis juga berdampak pada kejernihan produk hasil proses butanolisis.
Semakin tinggi konsentrasi rasio mol maka pH selama proses butanolisis semakin
rendah. pH yang rendah dan suhu yang semakin tinggi dapat menyebabkan
rusaknya gula hingga terbentuknya HMF yang menyebabkan warna menjadi
gelap.
4.1.1 Residu gula pereduksi
Pemecahan ikatan glikosida pati menjadi glukosa akan berikatan dengan
butanol menjadi butil glikosida dengan bantuan katalis PTSA, namun tidak semua
hasil pemecahan pati yang terbentuk mampu menghasilkan butil glikosida.
Terdapat residu glukosa dari proses butanolisis yang terlarut dalam filtrat dan
dihitung sebagai gula pereduksi.
Gula pereduksi adalah gula yang memiliki gugus karbonil yang reduktif.
Sifat pereduksi ini ditentukan oleh ada tidaknya gugus OH bebas yang reaktif.
Gugus reduktif ini terdapat pada atom C no 1 pada glukosa. Jumlah residu gula
reduksi menentukan kualitas APG yang akan dihasilkan, karena jika gula
pereduksi tinggi maka pembentukan polidekstrosa akan semakin tinggi.
Hasil pengukuran gula pereduksi dari produk hasil proses butanolisis
berkisar antara 18.075 – 58.281,25 ppm. Dari hasil analisa ragam menunjukkan
faktor perlakuan rasio mol, faktor perlakuan suhu dan interaksi kedua faktor
berpengaruh nyata. Berdasarkan uji lanjut Duncan (α=0,05) dari faktor rasio mol
katalis, perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol 0,018; 0,027; dan 0,036
masing-masing berbeda nyata satu sama lain. Dari hasil uji lanjut Duncan
(α=0,05) perlakuan rasio mol 0,027 pada suhu 150
O
C (sampel A2B2) dan
perlakuan rasio mol 0,036 pada suhu 140 OC (sampel A3B1) menunjukkan hasil
yang tidak berbeda nyata (Lampiran 2). Pengaruh dari faktor rasio mol katalis dan
faktor suhu terhadap residu gula pereduksi dapat dilihat pada Gambar 9.
Gula Pereduksi (ppm)
70000
Suhu (OC)
60000
140
50000
150
40000
30000
20000
10000
0
0.018
0.027
0.036
Rasio Mol Katalis PTSA/1 mol pati
Gambar 9 Pengaruh faktor rasio mol katalis dan faktor suhu terhadap residu gula
pereduksi.
Semakin tinggi residu gula pereduksi yang dihasilkan pada proses
butanolisis menyebabkan kemungkinan pembentukan warna gelap semakin tinggi
pada proses selanjutnya dalam pembuatan APG. Oleh karena itu diharapkan
residu gula pereduksi yang dihasilkan serendah mungkin. Semakin tinggi rasio
mol katalis PTSA/1 mol pati yang ditambahkan selama proses butanolisis maka
semakin rendah residu gula pereduksi yang dihasilkan. Demikian pula dengan
perlakuan suhu, semakin tinggi perlakuan suhu yang diberikan maka residu gula
pereduksi semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya rasio
katalis maka semakin banyak ion H+ yang dapat digunakan untuk membentuk
asetal antara gugus aldehid glukosa dan butanol. Luders (2000), menyatakan
bahwa diperlukan ion H+ yang cukup dari katalis asam untuk membantu reaksi
antara gula dan butanol.
Panas yang cukup diperlukan untuk membantu reaksi antara glukosa dan
butanol. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa semakin tinggi suhu yang
digunakan maka semakin rendah pula residu gula yang dihasilkan. Perlakuan suhu
150 OC menghasilkan residu gula pereduksi yang rendah dibandingkan dengan
perlakuan suhu 140 OC. Pada suhu 150 OC reaksi antara glukosa dan butanol
lebih banyak terjadi karena dengan meningkatnya suhu maka semakin cepat pula
reaksi yang terjadi. Dengan batasan waktu proses butanolisis selama 30 menit,
perlakuan suhu 150 OC menghasilkan residu gula pereduksi yang lebih rendah.
Hal ini sesuai dengan pendapat Luders (2000), suhu yang digunakan untuk proses
butanolisis adalah 140-165 OC. semakin rendah suhu maka proses reaksi akan
berjalan semakin lambat. Semakin tinggi suhu yang digunakan maka reaksi akan
berjaan lebih cepat, namun proses harus dijaga untuk meminimalkan
pembentukan by-product yang tidak diinginkan pada penggunaan suhu yang
tinggi.
4.1.2 Residu total gula
Tidak semua hasil hidrolisis pati dengan menggunakan asam akan
menghasilkan monosakarida, namun ada juga yang berbentuk oligosakarida atau
polisakarida. Hasil hidrolisis pati ini diukur sebagai total gula. Oligosakarida juga
mampu bereaksi dengan butanol, namun produk yang dihasilkan berupa butil
oligoglikosida. Gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat
bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna oranye
hingga kekuningan yang stabil (Winarno 2008).
Residu total gula yang dihasilkan pada proses butanolisis berasal dari hasil
hidrolisa asam pada tapioka. Semakin banyak residu total gula, maka semakin
tidak efisien proses butanolisis yang terjadi. Kondisi proses reaksi butanolisis
yang menggunakan suhu 140-150 OC dan dalam keadaan asam mendukung untuk
terjadinya proses hidrolisa pati. Hasil penelitian pada perhitungan residu total
gula berkisar antara 44.047,62-143.928,57 ppm, atau sekitar 28,51 – 82,4% dari
total pati yang digunakan.
Dari hasil analisa ragam menunjukkan faktor perlakuan rasio mol, faktor
perlakuan suhu dan interaksi kedua faktor berpengaruh nyata terhadap
pembentukan residu total gula (Lampiran 3). Berdasarkan uji Duncan (α=0,05)
dari faktor rasio mol katalis, perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol
0,018 berbeda nyata dengan perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol
0,027 dan 0,036. Perlakuan penambahan katalis dengan rasio mol 0,027 dan 0,036
tidak berbeda nyata. Hasil uji Duncan (α=0,05) pada tiap perlakuan menunjukkan
hasil yang berbeda nyata, kecuali pada perlakuan rasio mol katalis 0,036 dan suhu
150 OC (sampel A3B1) tidak berbeda nyata dengan perlakuan penambahan rasio
mol katalis 0,027 pada suhu 140 OC dan 150 OC (sampel A2B1 dan A2B2).
Pengaruh dari perlakuan rasio mol katalis dan perlakuan suhu terhadap residu
Total Gula (ppm)
total gula dapat dilihat pada Gambar 10.
160000
Suhu (OC)
140000
140
120000
150
100000
80000
60000
40000
20000
0
0.018
0.027
0.036
Rasio Mol Katalis PTSA/1 mol pati
Gambar 10 Pengaruh rasio mol katalis dan perlakuan suhu terhadap residu total
gula
Semakin tinggi rasio mol katalis dan perlakuan suhu, maka semakin rendah
residu total gula yang dihasilkan. Penambahan katalis yang semakin tinggi
memungkinkan terjadinya kondisi keasaman yang semakin tinggi selama proses
butanolisis. Dengan suasana asam memungkinkan untuk terjadinya hidrolisis pati
dan ion H+ yang diperoleh dari katalis membantu terjadinya ikatan antara gula dan
butanol. Pada perlakuan suhu 150 OC menghasilkan residu total gula yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan perlakuan suhu 140 OC.
Dari data residu total gula dan residu gula sederhana dapat diperoleh data
derajat polimerisasi (DP) dari residu sakarida yang dihasilkan dari hasil proses
butanolisis. Derajat polimerisasi merupakan hasil bagi dari jumlah residu total
gula dan jumlah residu gula pereduksi. Nilai DP dari hasil proses butanolisis
berkisar antara 2-3. Dari nilai DP yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi
gula pereduksi terhadap total gula masih tinggi atau berkisar antara 55,5-34,5%;
sedangkan jumlah persentase total gula terhadap keseluruhan hasil butanolisis
sebesar 25,1-82,4% (Tabel 4). Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi dari
residu total gula yang terdapat pada hasil butanolisis yaitu terbentuknya
polidekstrosa atau membentuk ikatan asetal dengan alkohol lemak rantai panjang
pada tahap transasetalisasi (McCurry 2000).
Tabel 4 Derajat polimerisasi dan persentase residu gula dari berbagai sampel
Sampel
A1B1a
A1B2a
A2B1a
A2B2a
A3B1a
A3B2a
Ludersb
Perlakuan
Katalis 0,018; suhu 140OC
Katalis 0,018; suhu 150OC
Katalis 0,027; suhu 140OC
Katalis 0,027; suhu 150OC
Katalis 0,036; suhu 140OC
Katalis 0,036; suhu 150OC
Katalis 0,012; suhu 165OC
(syrup glukosa low DP)
DP
2,4
1,9
1,8
2,2
2,9
2,4
Residu Gula (%)
82,40
49,75
39,70
31,35
38,20
28,51
n/ac
13,00
Keterangan : aperlakuan penelitian, bLuders (2000), cdata tidak tersedia
4.1.3 Kejernihan
Luders (1991) dan Noerdin (2008) menyatakan bahwa warna produk hasil
butanolisis antara kuning hingga coklat tua. Pembentukan warna ini disebabkan
oleh dehidrasi glukosa dengan kehilangan 3H2O hingga membentuk hidroksil
metil furfural (HMF) (Gambar 5). Perlakuan suhu tinggi hingga 150 OC juga
menjadi penyebab pembentukan warna gelap pada hasil proses butanolisis. Hasil
butanolisis yang berwarna gelap akan mempengaruhi kualitas warna produk APG
selanjutnya. Semakin gelap produk butanolisis, maka produk APG yang
dihasilkan juga akan semakin gelap.
Penetapan kejernihan produk dari hasil butanolisis dilakukan dengan
menggunakan spektrofotometer. Pada perhitungan kejernihan digunakan panjang
gelombang 470 nm (McCurry 1994), dengan menghitung %Transmisi sampel.
Hasil dari perhitungan %Transmisi kecerahan produk butanolisis berkisar antara
0,1 – 80,35 %T. Semakin rendah nilai %T maka semakin gelap produk.
Hasil analisa ragam menunjukkan faktor rasio mol, faktor suhu dan interaksi
kedua faktor berpengaruh nyata (Lampiran 4). Berdasarkan uji Duncan (α=0,05)
dari faktor rasio mol katalis, penambahan katalis dengan rasio mol 0,027; dan
0,036 tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan penambahan katalis
dengan rasio mol 0,018. Dari hasil uji lanjut Duncan (α=0,05) terhadap tiap
kombinasi perlakuan menunjukkan kombinasi perlakuan rasio mol katalis 0,036
pada suhu 140 OC dan 150 OC (A3B1 dan A2B2) serta perlakuan rasio mol katalis
0,027 pada suhu 150 OC tidak berbeda nyata. Kombinasi perlakuan rasio mol
katalis 0,018; suhu 150 OC (A1B2) dan kombinasi perlakuan rasio mol katalis
0,027; suhu 140 OC (A2B1) juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.
Warna dari hasil proses butanolisis yaitu kuning muda hingga hitam. Warna dari
hasil proses butanolisis ini dapat dilihat pada Gambar 11. Grafik kejernihan APG
akibat pengaruh penambahan rasio mol katalis dan perlakuan suhu dapat dilihat
pada Gambar 12.
Keterangan : A (Rasio mol). A1=0,018; A2=0,027; A3=0,036
B (Suhu). B1=140 OC; B2=150 OC
Kejernihan (%T)
Gambar 11 Hasil dari proses butanolisis
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Suhu (OC)
140
150
0.018
0.027
0.036
Rasio Mol Katalis PTSA/1 mol pati
Gambar 12 Pengaruh rasio mol katalis dan suhu terhadap kejernihan (%T)
Semakin tinggi penambahan rasio mol katalis dan semakin tinggi perlakuan
suhu maka kejernihan produk yang dihasilkan akan semakin rendah. Perlakuan
penambahan rasio mol katalis 0,027 dan 0,036 dengan kombinasi perlakuan suhu
150
O
C menghasilkan nilai kejernihan yang sangat rendah. Semakin tinggi
penambahan rasio mol katalis menyebabkan penurunan pH yang semakin tinggi
pula. Kondisi asam ini menyebabkan gula sederhana hasil hidrolisa pati
mengalami dehidrasi hingga membentuk furfural. Hal ini sesuai dengan pendapat
Winarno (1992) yang menyatakan bahwa asam akan menyebabkan dehidrasi pati
menjadi furfural, yaitu suatu turunan aldehid. Perlakuan suhu yang semakin tinggi
menyebabkan reaksi pembentukan warna gelap semakin tinggi. Suhu yang tinggi
dapat meningkatkan pembentukan butil glikosida namun dapat menyebabkan byproduct yang tidak diinginkan yaitu pembentukan warna gelap (Luders 2000).
4.1.4 Pemilihan rasio mol dan suhu terbaik proses butanolisis
Residu total gula diasumsikan sebagai gula yang tidak mampu berikatan
dengan butanol membentuk butil glikosida. Semakin tinggi residu total gula maka
semakin rendah produk butil glikosida yang terbentuk.
Semakin tinggi rasio mol katalis/1 mol pati dan semakin tinggi perlakuan
suhu yang diberikan selama proses butanolisis maka tingkat %Transmisi
kecerahan dari hasil butanolisis semakin rendah, dan produk yang dihasilkan
semakin gelap. Dari Gambar 13 dapat dilihat pada perlakuan rasio mol katalis
0,018 (pada suhu 140 OC dan 150 OC) hasil dari proses butanolisis memiliki
tingkat kejernihan yang tinggi. Pada perlakuan ini diindikasikan bahwa telah
terjadi proses hidrolisis pati menjadi gula sederhana, karena tidak terdapat lagi
suspensi pati. Jika dilihat dari jumlah residu total gula pada kombinasi perlakuan
rasio mol 0,018; suhu 140 OC (A1B1) masih cukup tinggi yaitu 82,40%, artinya
pembentukan butil glikosida masih rendah. Jika suhu dinaikkan menjadi 150 OC
(A1B2) maka total gula akan menurun menjadi 49,75%.
Berdasarkan perbandingan tersebut maka dipilih perlakuan rasio mol 0,027
dan suhu proses butanolisis 140 OC (A2B1) karena memiliki residu total gula yang
cukup rendah (39,7%) dan kejernihan yang masih tinggi (45,75 %T). Hasil
perbandingan residu gula pereduksi, residu total gula dan kejernian dapat dilihat
pada Gambar 13. Perlakuan rasio mol dan suhu ini kemudian digunakan
seterusnya pada proses butanolisis untuk menghasilkan sampel APG.
90
Residu Total Gula (ppm)
Residu Gula Pereduksi (ppm)
Kejernihan (%Transmisi)
Konsentrasi (ppm)
140000
120000
100000
80
70
60
50
80000
40
60000
30
40000
20
20000
10
0
0
A1B1
Keterangan :
%Transmisi
160000
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
A (Rasio mol). A1=0,018; A2=0,027; A3=0,036
B (Suhu). B1=140 OC; B2=150 OC
Gambar 13 Perbandingan hasil pengamatan residu gula pereduksi, residu total
gula dan kejernihan dari tiap perlakuan
4.2 Tahap produksi APG
4.2.1 Proses Sintesis (proses butanolisis dan proses transasetalisasi)
Pada proses butanolisis jumlah rasio mol katalis PTSA yaitu 0,027 mol : 1
mol pati, sedangkan perlakuan suhu yang diberikan yaitu suhu 140 OC sesuai
dengan perlakuan terbaik pada tahap penentuan rasio mol katalis dan suhu proses
butanolisis. Pada proses butanolisis ditambahkan butanol dengan rasio mol 8,5 : 1
mol pati dan H2O dengan rasio mol 8 : 1 mol pati Proses ini berlangsung selama
30 menit dengan kondisi tekanan 6-8 kg/cm2 dan kecepatan pengadukan 200 rpm.
Secara umum proses transasetalisasi merupakan proses penggantian C 4 oleh
C12 dengan katalis asam p-toluena sulfonat. Pada proses ini terjadi pemutusan
ikatan antara sakarida dan butanol kemudian digantikan oleh alkohol lemak C12.
Pada proses ini berlangsung pada suhu 115-120
O
C selama dua jam dengan
kecepatan pengadukan 200 rpm dan dalam keadaan vakum (-15 cmHg). Selama
berlangsungnya proses ini butanol dan air dikeluarkan melalui proses penguapan
dan kondensasi.
Setelah proses transasetalisasi didapatkan hasil berupa cairan berwarna
coklat muda. Derajat keasaman larutan yang dihasilkan yaitu antara pH 2–2,4.
Rata-rata gula pereduksi yang masih terdapat dalam larutan hasil transasetalisasi
yaitu sebesar 563,64 ppm (Lampiran 6), sedangkan menurut Lueders (2000),
kandungan D-glukosa yang tersisa dalam larutan hasil transasetalisasi sebesar 450
ppm.
Polidekstrosa sangat berpengaruh terhadap Pada pembentukan warna gelap
karena jika dilanjutkan pada proses distilasi maka produk APG akan semakin
gelap. McCurry (1994), menyatakan bahwa larutan hasil proses transasetalisasi
terdiri dari dodecil poliglikosida, alkohol lemak berlebih, polidekstrosa dan
sebagian kecil gula yang tidak ikut bereaksi dengan alkohol lemak. Hasil dari
proses transasetalisasi dapat diihat dari Gambar 14.
Gambar 14 Hasil akhir proses transasetalisasi
4.2.2
Proses Pemurnian APG
Proses pemurnian dilakukan untuk memperoleh APG yang memiliki
penampakan lebih jernih, karena aplikasi APG saat ini lebih banyak digunakan
pada industri personal care product yang menuntut kondisi fisik APG yang lebih
menarik dan memiliki kinerja yang bagus. Tahap proses pemurnian meliputi:
penyaringan, netralisasi, penambahan arang aktif dan NaBH4, distilasi dan
pemucatan.
4.2.2.1 Proses Penyaringan
Setelah proses transasetalisasi larutan didinginkan hingga mencapai suhu 80
O
C. Di dasar larutan terdapat endapan coklat tua gelap. Jika endapan ini
dipisahkan menggunakan kain saring akan diperoleh pasta yang akan mengeras
pada suhu ruang. Menurut Eskuchen dan Nitsche (1997), endapan ini merupakan
polidekstrosa hasil polimerisasi glukosa yang tidak bereaksi dengan alkohol
lemak. Endapan ini harus dipisahkan, karena akan menyebabkan penurunan
kualitas fisik dan kinerja APG yang dihasilkan. Tidak semua polidekstrosa dapat
tersaring, karena ada juga yang masih larut dalam larutan. Rata-rata endapan
polidektrosa yang diperoleh dari penelitian ini yaitu 4,3% dari jumlah
transasetalisasi. Hal ini sesuai dengan pendapat McCurry (2000) bahwa
kandungan polidekstrosa berkisar antara 2-13% dan kandungan by-product
lainnya sebesar 1-3% dari hasil proses transasetalisasi.
4.2.2.2
Proses Netralisasi
Proses netralisasi dilakukan untuk menghentikan proses transasetalisasi. Jika
tidak dilakukan netralisasi maka APG yang telah terbentuk dalam larutan hasil
transasetalisasi akan mengalami kerusakan pada proses destilasi. Hal ini
disebabkan karena larutan masih bersifat asam dan suhu yang digunakan >140 OC
yang dapat merusak APG yang telah terbentuk. Perlakuan proses netralisasi
produk dilakukan dengan penambahan NaOH 50% hingga pH larutan mencapai
pH 9. Penambahan NaOH menciptakan suasana basa dalam larutan karena gugus
ether yang terbentuk dari ikatan asetal antara aldehid dan alkohol lebih stabil
dalam kondisi basa (Noerdin 2008).
Penggunaan larutan sodium hidroksida
(NaOH) sangat dianjurkan karena NaOH tidak bereaksi terhadap alkohol ataupun
produk APG (Wuess et al. 1996).
Pada saat penambahan NaOH untuk menetralkan larutan terjadi perubahan
warna pada larutan hasil proses transasetalisasi. Mulanya larutan berwarna coklat
muda kemudian setelah penambahan NaOH larutan berubah menjadi coklat tua
(Gambar 15). Perubahan warna ini disebabkan karena masih terdapat kandungan
sakarida dalam larutan. Menurut Soeharsono (1988), jika sakarida diberikan
larutan basa berkadar tinggi, maka akan terjadi fragmentasi atau polimerisasi, Dglukosa akan berubah menjadi D-manosa atau D-fruktosa. Monosakarida akan
mudah mengalami dekomposisi dan menghasilkan hidroksil metil furfural (HMF)
selama proses pencoklatan non-enzimatis.
Gambar 15 Perubahan warna pada saat netralisasi menggunakan NaOH
4.2.2.3 Penambahan Arang aktif dan NaBH4
Untuk meningkatkan kejernihan produk maka diberikan perlakuan
penambahan arang aktif 0%, 5%, dan 10% setelah netralisasi. Arang aktif
dipisahkan dengan melakukan sentrifugasi dan penyaringan. Setelah itu
ditambahkan NaBH4 sebanyak 0,1%, 0,2% dan 0,3% (b/b). Pada saat penambahan
NaBH4 akan menghasilkan gelembung dan busa yang cukup banyak. Hal ini
menandakan terjadi pelepasan H2 dari NaBH4 yang akan mengubah gugus aldehid
pada sisa glukosa yang tidak bereaksi menjadi gugus alkohol untuk menghasilkan
sorbitol.
4.2.2.4 Proses Distilasi
Proses distilasi dilakukan untuk memisahkan kelebihan alkohol lemak yang
tidak bereaksi. Alkohol lemak C12 (dodekanol) memiliki titik didih 259 OC. Hasil
pengamatan yang dilakukan pada suhu 140 OC dengan tekanan vakum -76cmHg
dan selama kurang lebih 1 jam dodekanol mampu menguap. Proses distilasi
dihentikan jika suhu mencapai 160 OC. Jika dari suhu melebihi 160 OC, maka
produk yang dihasilkan akan gosong dan rusak. Proses aliran dodekanol yang
menguap juga dapat diamati pada lubang kaca yang terdapat pada kondensor, jika
sudah tidak terdapat titik-titik embun, maka proses distilasi dihentikan.
Hasil akhir dari proses distilasi akan diperoleh APG kasar yang berwarna
coklat tua (Gambar 16). Mula-mula APG kasar ini berbentuk cair yang kemudian
akan menjadi keras pada suhu kamar. Hal ini berhubungan dengan titik leleh dari
APG C12 yaitu berkisar antara suhu 116-119OC (Ware et al. 2007)
Gambar 16 APG Kasar Hasil proses destilasi
4.2.2.5 Proses pemucatan (bleaching)
Sebelum dilakukan pemucatan, APG kasar hasil dari proses distilasi
dilarutkan terlebih dahulu dengan perbandingan penambahan akuades (suhu 90
O
C) 1 : 1 dengan APG kasar hingga konsentrasi bahan aktif APG 50%. Setelah
dipanaskan suhu diturunkan hingga 70 OC kemudian dilakukan penambahan MgO
500 ppm dan H2O2 35% sebanyak 2% (b/b) dari larutan. Selama penambahan
H2O2 suhu akan naik hingga 110 OC. Proses ini berlangsung selama kurang lebih
45 menit hingga gelembung akibat penambahan H 2O2 hilang.
Kemurnian H2O2 yg digunakan tidak boleh lebih dari 50% dan penambahan
pada saat bleaching tidak boleh lebih dari 3%, karena sifat H 2O2 yang sangat
oksidatif (Hill et al. 2000). Penambahan H2O2 berlebih akan menyebabkan
kerusakan pada produk APG sehingga APG yang dihasilkan menjadi 2 lapisan.
hal ini menandakan bahwa ikatan antara gugus hidrofilik dan hidrofobiknya telah
rusak. Hasil proses pemucatan dapat dilihat pada Gambar 17.
4.2.2.6 Karakteristik kejernihan
Pembentukan warna gelap selama proses sintesis APG terjadi karena
terbentuknya polidekstrosa selama proses transasetalisasi karena kondisi asam,
suhu tinggi dan kandungan air. Warna gelap juga terbentuk dari degradasi glukosa
menjadi hidroksil metil furfural (HMF). Arang aktif telah dikenal sebagai salah
satu absorben yang mampu menyerap zat warna, sehingga dapat mengurangi
warna gelap produk. NaBH4 merupakan senyawa hidrogenasi yang mampu
mereduksi glukosa menjadi sorbitol yang lebih tahan panas.
Setelah dilakukan pemucatan terjadi perubahan warna pada produk APG,
produk yang dihasilkan berwarna putih kekuningan hingga coklat muda (Gambar
18). APG hasil sintesis berbentuk pasta sedangkan APG komersial bersifat cairan
kental berwarna keruh transparan. Hal ini disebabkan karena APG komersial
mengkombinasikan alkohol lemak C8, C10, C12 dan C14. Menurut Ware et al
(2007) sintesis APG menggunakan alkohol lemak C8 dan C10 akan menghasilkan
APG yang berisfat cairan kental, sedangkan menggunakan alkohol lemak C 12 akan
menghasilkan APG yang berbentuk pasta. Pada alkohol lemak dengan jumlah C
yang lebih tinggi, APG yang dihasilkan akan berbentuk padat pada suhu kamar.
Arang Aktif 0%
Arang Aktif 5%
Arang Aktif
10%
NaBH4
NaBH4
NaBH4 0,3%
NaBH4
0,1%
0,2%
0%
Gambar 17 Produk APG murni hasil proses pemucatan (bleaching)
Hasil penelitian ini menunjukkan nilai kejernihan sebagai %Transmisi
berkisar antara 27,86–63,68. Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa faktor
penambahan arang aktif berbeda nyata terhadap kejernihan APG yang dihasilkan,
demikian pula dari faktor penambahan NaBH 4 berpengaruh nyata terhadap
kecerahan APG yang dihasilkan. Interaksi kedua faktor antara penambahan arang
aktif dan penambahan NaBH4 menunjukkan hasil yang berpengaruh nyata. Hasil
uji Duncan (α=0,05) menunjukkan faktor penambahan NaBH4 0,2% dan 0,3%
tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan penambahan NaBH 4 0% dan
0,1% (Lampiran 8). Hasil penelitian terhadap warna APG dapat dilihat pada
Gambar 18.
70
NaBH4 0%
NaBH4 0,1%
NaBH4 0,2%
NaBH4 0,3%
%Transmisi
60
50
40
30
20
10
0
0
5
Arang Aktif (%)
10
Gambar 18 Hasil analisa kejernihan produk APG sintesis
Hasil analisa warna menunjukkan penggunaan arang aktif 5% mampu
menghasilkan kejernihan produk yang lebih tinggi dengan nilai %Transmisi yang
lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena arang aktif mampu menyerap HMF yang
terbentuk. faktor penambahan arang aktif 10% menyisakan partikel arang aktif
berlebih yang tersisa pada produk, sehingga menyebabkan produk menjadi lebih
gelap.
Perlakuan penambahan NaBH4 mampu meningkatkan kejernihan produk.
Hal ini disebabkan karena NaBH4 mengubah sisa glukosa yang tidak bereaksi
menjadi sorbitol yang lebih tahan pada suhu tinggi selama proses distilasi
(McCurry 2000).
4.2.2.7 R e n d e m e n
Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah
dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan terhadap bahan
baku untuk setiap tahap pada sintesa APG, antara lain yaitu tapioka dan dodekanol
(alkohol lemak C12)
Hasil sidik ragam menunjukkan faktor penambahan arang aktif berpengaruh
nyata terhadap rendemen APG yang dihasilkan. Demikian pula faktor
penambahan NaBH4. Namun interaksi dari kedua faktor tidak berpengaruh nyata
terhadap rendemen yang dihasilkan. Dari hasil uji lanjut Duncan (α=0,05), tiap
perlakuan penambahan arang aktif berbeda nyata. Penambahan NaBH4 0,1%;
0,2%; dan 0,3% tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata pada perlakuan tanpa
penambahan NaBH4 0% (Lampiran 9). Hasil dari perhitungan rendemen dapat
dilihat pada Gambar 19.
65
Rendemen (%)
NaBH4 0%
60
NaBH4 0,1%
NaBH4 0,2%
55
NaBH4 0,3%
50
45
40
0
5
10
Konsentrasi Arang Aktif (%)
Gambar 19 Rendemen APG dari perlakuan penambahan arang aktif dan NaBH 4
Dari hasil perhitungan rendemen, dapat dilihat bahwa semakin tinggi
penambahan arang aktif, maka semakin rendah rendemen yang diperoleh.
Rendemen yang diperoleh antara 47,07– 59,85%. Arang aktif dapat mengurangi
tingkat rendemen karena sifat arang aktif yang mampu menyerap senyawa
surfaktan. Pengaruh penambahan NaBH4 menunjukkan hasil yang lebih rendah
dibandingkan tanpa penambahan NaBH4.
Meskipun rendemen APG yang
dihasilkan rendah, namun beberapa bahan baku masih dapat di recovery dan
digunakan kembali, seperti butanol dan alkohol lemak yang diperoleh dari proses
distilasi.
4.3 Tahap Karakterisasi APG
4.3.1 Kemampuan menurunkan tegangan permukaan
Surfaktan berfungsi sebagai senyawa aktif yang dapat digunakan untuk
menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling larut,
kemampuan ini disebabkan oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki
oleh surfaktan. Surfaktan akan akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya
meningkatkan gaya adhesi sehingga mampu menurunkan tegangan permukaan
(Matheson 1996).
Pengujian kemampuan menurunkan tegangan permukaan dilakukan dengan
berbagai konsentrasi APG murni. Konsentrasi yang digunakan yaitu 0,001%;
0,01%; 0,05%; 0,2%; 0,4%; 0,6%; 0,8%; dan 1%. Dengan berbagai konsentrasi
tersebut akan dilihat kecenderungan penurunan dari kemampuan untuk
menurunkan tegangan permukaan. Dari hasil pengamatan dilihat semakin tinggi
konsentrasi APG yang ditambahkan maka tegangan permukaan cairan akan
semakin rendah (Lampiran 10). Hasil dari uji kemampuan menurunkan tegangan
permukaan air dari APG yang dihasilkan menunjukkan kinerja yang baik. Dari
perhitungan dengan konsentrasi APG 1%, persentase penurunan tegangan
permukaan berkisar antara 60,63 - 61,94%. Sebagai pembanding pada konsentrasi
yang sama, APG komersial memiliki kemampuan menurunkan tegangan
permukaan sebesar 58,89%. Dari hasil uji ragam, penambahan arang aktif
berpengaruh nyata terhadap kemampuan menurunkan tegangan permukaan. Hasil
uji lanjut Duncan (α=0,05) terhadap faktor penambahan arang aktif menunjukkan
bahwa penambahan arang aktif 5% dan 10% tidak berbeda nyata. Hasil uji ragam
menunjukkan faktor penambahan NaBH4 berpengaruh nyata. Hasil uji Duncan
(α=0,05) menunjukkan hanya perlakuan penambahan NaBH4 0,1% tidak berbeda
nyata dengan tanpa penambahan NaBH4. Penambahan NaBH4 0,2% menghasilkan
nilai peningkatan kemampuan menurunkan tegangan permukaan yang lebih tinggi
jika dibandingkan dengan penambahan NaBH4 0%; 0,1% dan 0,3%. Hasil analisa
terhadap kemampuan menurunkan tegangan permukaan dapat dilihat pada
Gambar 20.
Penambahan arang aktif 5% dan 10% menunjukkan hasil kemampuan
menurunkan tegangan permukaan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan
tanpa penggunaan arang aktif. Hal ini disebabkan karena sifat arang aktif yang
non polar. Penambahan arang aktif mampu menyerap gugus hidrofobik, surfaktan
dapat teradsorpsi pada arang aktif karena interaksi hidrofobik (Rosu 1997),
sehingga mampu menurunkan kemampuan APG dalam menurunkan tegangan
permukaan.
Kemampuan menurunkan tegangan
Permukaan (%)
NaBH
62.5
4
62
0%
0,10%
61.5
0,20%
61
0,30%
60.5
60
59.5
0
5
10
Konsentrasi arang aktif (%)
Gambar 20
Kemampuan menurunkan tegangan permukaan dari APG yang
dihasilkan
Penambahan NaBH4 juga mampu mengurangi pembentukan polidekstrosa
yang dapat menyebabkan penurunan kemampuan menurunkan tegangan
permukaan maupun tegangan antar muka. Glukosa yang tidak bereaksi berubah
menjadi sorbitol sehingga mengurangi proses terbentuknya polidekstrosa yang
dapat menurunkan kinerja APG.
Perhitungan kemampuan menurunkan tegangan permukaan dilakukan pada
konsentrasi 1% APG. Pada konsentrasi yang rendah, molekul surfaktan dalam
larutan teradsorpsi pada permukaan udara atau air, jika ditambahkan konsentrasi
surfaktan, maka surfaktan akan teradsorbsi pada permukaan hingga mencapai
kejenuhan dan tegangan permukaan menjadi konstan, pada tahap ini telah
terbentuk misel. Misel terbentuk ketika surfaktan mencapai konsentrasi tertentu
yang disebut Critical Micelle Concentration (CMC). Pada konsentrasi dibawah
CMC tegangan permukaan dan antar muka akan turun dengan meningkatnya
konsentrasi surfaktan. Jika konsentrasinya lebih tinggi maka tidak terjadi
penurunan tegangan permukaan atau penurunannya sangat rendah (Balzer 2000).
4.3.2 Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka
Tegangan antar muka adalah gaya persatuan panjang dari dua fase cair yang
tidak dapat tercampur. Menurut Hargreaves (2003), antar muka adalah bagian
dimana dua fase saling bertemu atau kontak, sedangkan permukaan adalah antar
muka dimana satu fase kontak dengan gas (biasanya udara). Tegangan antar muka
sebanding dengan tegangan permukaan, akan tetapi nilai tegangan antarmuka akan
selalu lebih kecil daripada tegangan permukaan pada konsentrasi yang sama.
Pengukuran tegangan antar muka menunjukkan kemampuan surfaktan untuk
menurunkan tegangan antar muka dua fase yang berbeda dalam larutan. Dalam
aplikasinya kemampuan menurunkan tegangan antarmuka ini erat hubungannya
dengan pembentukan emulsi, kemampuan daya bersih atau dalam penggunaan
sebagai oil recovery.
Perhitungan penurunan kemampuan tegangan antarmuka dilakukan pada
laruran air dan xilena. Tegangan antar muka air dan xilena yaitu 42 dyne/cm.
Konsentrasi penambahan APG hasil sintesis pada campuran air dan xilena yaitu
0,001–1%.
Dengan berbagai konsentrasi tersebut akan dilihat kecenderungan
penurunan dari kemampuan untuk menurunkan tegangan antar muka. Dari hasil
pengamatan dilihat semakin tinggi konsentrasi APG yang ditambahkan maka
tegangan antar muka cairan air dan xilena akan semakin rendah.
APG hasil sintesis dengan konsentrasi 1% bahan aktif memiliki nilai
penurunan tegangan antar muka antara 1,85–2,35 dyne/cm atau memiliki nilai
kemampuan penurunan tegangan antarmuka 95,6–94,4%, dengan konsentrasi
yang sama (1%) APG komersial memiliki nilai penurunan tegangan antar muka
2,7 dyne/cm (kemampuan menurunkan tegangan sebesar 93,57%).
Hasil uji ragam pada faktor penambahan arang aktif, dan faktor penambahan
NaBH4 berpengaruh nyata, namun interaksi kedua faktor menunjukkan hasil yang
tidak berpengaruh nyata. Pada kombinasi perlakuan arang aktif 0% dan NaBH4
0,2% memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka yang paling tinggi
(95,6%) dibandingkan dengan perlakuan kombinasi lainnya. Sedangkan
kombinasi perlakuan arang aktif 10% dan NaBH4 0% merupakan perlakuan yang
memiliki nilai kemampuan menurunkan tegangan antarmuka yang paling rendah
yaitu 94,4%. Semua kombinasi perlakuan antara arang aktif dan NaBH 4 0,2%
memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka yang tertinggi jika
dibandingkan dengan perlakuan arang aktif 0%; 0,1% dan 0,3% (Lampiran 11).
Hal ini menunjukkan penambahan NaBH4 hingga konsentrasi 0,2% mampu
menaikkan kinerja APG untuk menurunkan tegangan antarmuka, namun pada
konsentrasi 0,3% kemampuan APG untuk menurunkan tegangan antar muka tidak
berbeda nyata dengan penambahan NaBH4 0,2%. Pola ini hampir sama dengan
hasil analisa pada kemampuan APG dalam menurunkan tegangan permukaan.
Pada konsentrasi NaBH4 0,3% jika dikombinasikan dengan penambahan arang
aktif (0%, 5%, dan 10%) diduga terjadi reduksi terhadap APG yang telah
terbentuk. Proses reduksi ini terjadi karena tingginya konsentrasi NaBH 4 yang
dapat merusak gugus eter yang telah terbentuk antara glukosa dan alkohol lemak.
Rusaknya gugus ini akan menyebabkan menurunnya kinerja APG. Hasil dari
perhitungan kemampuan menurunkan tegangan antarmuka APG hasil sintesis
pada konsentrasi 1% dapat dilihat pada Gambar 21
Kemampuan menurunkan tegangan
antar muka (%)
NaBH
95.8
95.6
95.4
95.2
95
94.8
94.6
94.4
94.2
94
93.8
4
0
5
0%
0,10%
0,20%
0,30%
10
Konsentrasi Arang Aktif (%)
Gambar 21
Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka APG sintesis pada
konsentrasi 1% bahan aktif
4.3.3 Kestabilan emulsi
Emulsi merupakan penyatuan dari dua atau lebih jenis larutan yang tidak
saling larut, salah satu cairan terdispersi kedalam cairan yang lain (Gambar 22).
Namun karena perbedaan berat molekul ataupun karena pengaruh gaya kohesi
maka larutan tersebut secara perlahan akan terpisah lagi. Alkil poliglikosida
memiliki kemampuan untuk menstabilkan emulsi yang memiliki kepolaran
berbeda, karena memiliki gugus hidrofobik dan hidrofilik, semakin panjang rantai
alkil yang dimiliki oleh APG maka kelarutan surfaktan dalam larutan nonpolar
akan lebih stabil (Sukkary et al. 2007).
Penghitungan kestabilan emulsi dilakukan dengan menambahkan APG
sebanyak 0,1%; 0,5% dan 1% pada larutan air dan xilena kemudian dikocok
menggunakan vortex dan didiamkan selama 300 menit, tinggi emulsi yang
terbentuk kemudian diukur untuk melihat kestabilan emulsinya. Kombinasi
penambahan arang aktif 0% dan NaBH4 0,2% menghasilkan tinggi emulsi yang
lebih tinggi. Perlakuan kombinasi arang aktif 10% dan NaBH4 0% dan 0,3%
menghasilkan kestabilan emulsi yang paling rendah. Kestabilan emulsi
dipengaruhi oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki oleh APG. Pada
pegujian ini digunakan air sebagai bahan polar dan xylene sebagai bahan non
polar, penambahan APG diharapkan dapat membentuk emulsi antara air dan
xilena.
Gambar 22 Proses penghitungan kestabilan emulsi
Penghitungan kestabilan emulsi dilakukan pada tinggi emulsi pada menit ke
300. Hasil uji ragam menunjukkan pengaruh faktor penambahan arang aktif dan
NaBH4 berpengaruh nyata, demikian pula dengan interaksi kedua faktor. Semakin
tinggi penambahan arang aktif maka kestabilan emulsi larutan semakin rendah.
Sedangkan penambahan NaBH4 0,2% menunjukkan kestabilan emulsi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan konsentrasi lainnya. Dari hasil uji lanjut Duncan
(α=0,05) kombinasi perlakuan arang aktif 0% dan NaBH4 0%; dan kombinasi
perlakuan arang aktif 0% dan NaBH4 0,1% menunjukkan tinggi emulsi yang tidak
berbeda nyata. Perlakuan kombinasi arang aktif 0% dan NaBH4 0,2% (A1B3)
yang memiliki kestabilan emulsi paling tinggi (81,71%) berbeda nyata dengan
dengan perlakuan kombinasi arang aktif 5% NaBH4 0,2% (A2B3) , namun
perlakuan kombinasi arang aktif 0% dan NaBH4 0,3% (A1B4) tidak berbeda
nyata pada perlakuan A1B3 dan A2B3. Perlakuan kombinasi arang aktif 10% dan
NaBH4 0% dan 0,3% (A3B1 dan A3B4) merupakan kombinasi perlakuan yang
memiliki kestabilan emulsi yang paling rendah yaitu 67,07%, kedua perlakuan ini
tidak berbeda nyata dengan perlakuan kombinasi arang aktif 10% dan NaBH4 0,1
dan 0,2 (A3B2 dan A3B3) serta perlakuan kombinasi arang aktif 5% dan NaBH4
0% (A2B1). Data hasil uji statistik mengenai kestabilan emulsi dapat dilihat pada
Lampiran 12. Hasil pengukuran kestabilan emulsi pada penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 23.
Penambahan
arang
aktif
selama
proses
pemurnian
APG
dapat
menurunkan jumlah gugus hidrofobik, sehingga kemampuan untuk membuat
emulsi antara air dan xilena pun semakin berkurang. Kemampuan pembentukan
emulsi juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan menurunkan tegangan
antarmuka dari surfaktan (Iglauer et al. 2009)
NaBH
85
Kestabilan emulsi (%)
4
80
0%
0,10%
0,20%
75
0,30%
70
65
60
0
5
10
Konsentrasi Arang Aktif (%)
Gambar 23 Tingkat kestabilan emulsi air dan xilena dari penambahan APG
4.3.4 Pembusaan (tinggi dan kestabilan busa)
Kebanyakan surfaktan dalam larutan dapat membentuk busa baik diinginkan
maupun tidak diinginkan dalam penggunaannya. Busa cair adalah sistem koloid
dengan fase terdispersi gas dan medium pendispersi zat cair. Kestabilan busa
diperoleh dari adanya zat pembusa (surfaktan). Zat pembusa ini teradsorpsi ke
daerah antar fase dan mengikat gelembung-gelembung gas sehingga diperoleh
suatu kestabilan (Noerdin 2008).
Dibandingkan dengan surfaktan anionik yang terkenal sebagai foaming
agent, APG termasuk kategori surfaktan low foam (Ware et al. 2007), oleh karena
itu penggunaannya sangat cocok untuk personal care product. Untuk
meningkatkan jumlah busa dari produk yang menggunakan APG, maka dapat
ditambahkan foaming agent seperti fatty alcohol sulphates atau fatty alcohol ether
sulfate (Anonim 2010a).
Penghitungan tinggi busa dilakukan dengan konsentrasi APG murni 1%.
Hasil sidik ragam menunjukkan perlakuan penambahan arang aktif tidak
berpengaruh nyata pada faktor penambahan arang aktif hadap tinggi busa. Namun
faktor perlakuan penambahan NaBH4 berpengaruh nyata terhadap tinggi busa
yang dihasilkan. Interaksi kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi
busa yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan (α=0,05%) pada faktor penambahan
NaBH4 0%; 0,1%; dan 0,2% berbeda nyata, sedangkan faktor penambahan NaBH4
0,3% tidak berbeda nyata dengan penambahan NaBH4 0,1% dan 0,2%. Tinggi
busa yang terbentuk berkisar antara 55-62% dari tinggi larutan, sedangkan tinggi
busa dari APG komersial yaitu 67,5%. Tinggi busa yang dihasilkan dari penelitian
ini dapat dilihat dari Gambar 24.
64.00
Tinggi Busa (%)
62.00
60.00
NaBH
58.00
4
56.00
0%
0,1%
54.00
0,2%
52.00
0,3%
50.00
0
5
10
Konsentrasi Arang Aktif (%)
Gambar 24 Pengaruh penambahan arang aktif dan NaBH4 terhadap tinggi busa
Stabilitas
busa
adalah
lama
terbentuknya
busa.
Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa busa stabil hingga 300–315 menit. Analisa ragam
menunjukkan faktor penambahan arang aktif, penambahan NaBH4, dan interaksi
kedua faktor berpengaruh nyata. Hasil uji duncan (α=0,05) menunjukkan
perlakuan kombinasi arang aktif 0% dan NaBH4 0%; 0,2% dan 0,3% tidak
berbeda nyata dan memberikan nilai kestabilan busa yang tertinggi yaitu antara
312-320 menit, sedangkan perlakuan kombinasi arang aktif 0% dan NaBH4 0,1%
merupakan perlakuan yang memiliki nilai kestabilan busa yang paling rendah
yaitu 307 menit. Data statistik mengenai pembusaan dapat dilihat pada Lampiran
13 Kestabilan busa yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dilihat dari Gambar
25.
Kestabilan busa (menit)
325.00
320.00
NaBH
315.00
4
310.00
0%
305.00
0,1%
300.00
0,2%
295.00
0,3%
290.00
0
5
10
Konsentrasi Arang Aktif
Gambar 25 Pengaruh penambahan arang aktif dan NaBH4 terhadap stabilitas busa
Kemampuan menghasilkan busa dipengaruhi oleh gugus hidrofobik
surfaktan, semakin panjang rantai alkohol lemak yang digunakan, maka semakin
tinggi kestabilan bisa yang diperoleh. Ware et al. (2007) melakukan perhitungan
kestabilisan busa dengan membandingkan antara APG C8, APG C10, dan APG
C12, hasil yang diperoleh APG C12 menghasilkan tinggi busa dan kestabilan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan APG lainnya.
4.3.5 Penentuan perlakuan terbaik
Penentuan perlakuan terbaik dari berbagai perlakuan penambahan arang
aktif dan NaBH4 dilakukan dengan membandingkan hasil perkalian bobot dari
variabel kinerja APG dan nilai dari tiap sampel. Variabel kinerja yaitu: kejernihan,
kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan antarmuka, kestabilan emulsi,
dan pembusaan. Kejernihan produk memiliki bobot tertinggi yaitu 30%, karena
subjek utama penelitian ini untuk memperoleh APG yang memiliki warna yang
lebih terang. Kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan, kemampuan
untuk menurunkan tegangan antar muka, dan kestabilan emulsi memperoleh nilai
bobot yang sama yaitu 20%, sedangkan nilai bobot untuk kestabilan busa yaitu
10%. Perhitungan skoring dapat dilihat pada Lampiran 14. Nilai skor penentuan
Skor
terbaik dari tiap sampel dapat dilihat pada Gambar 26.
5
4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
4.6
4.2
3.2
2.65
4.25
3.55
2.95
2.45
2.4
2.15 2
1.7
NaBH4 0%
NaBH4 0,1%
NaBH4 0,2%
NaBH4 0,3%
0
5
10
Konsentrasi Arang Aktif (%)
Gambar 26 Skor dari perlakuan penambahan arang aktif dan NaBH4
Dari Gambar 26 dapat dilihat bahwa perlakuan penambahan arang aktif 0%
dan penambahan NaBH4 0,2% adalah perlakuan terbaik. Perlakuan ini memiliki
nilai skor tertinggi dibandingkan dengan pelakuan lainnya. Hasil perkalian bobot
dari variabel kinerja APG dan nilai dari tiap sampel menunjukkan nilai
karakteristik
kemampuan
menurunkan tegangan permukaan,
kemampuan
menurunkan tegangan antarmuka, kestabilan emulsi, dan pembusaan APG yang
dihasilkan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun jika
dilihat dari karakteristik kejernihan masih lebih rendah jika dibandingkan dengan
kombinasi perlakuan penambahan arang aktif 5% dan NaBH4 0,2%.
4.3.6 Analisa Gugus Fungsi
Spektrofotometer infra merah transformasi fourier (FTIR) merupakan alat
untuk mendeteksi gugus fungsi suatu senyawa dengan spektrum infra merah dari
senyawa organik yang memiliki sifat fisik yang khas. Energi radiasi inframerah
akan diabsorpsi oleh senyawa organik sehingga molekulnya akan mengalami
rotasi atau vibrasi. Setiap ikatan kimia yang berbeda seperti C-C, C-H, C=O, O-H
dan sebagainya mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda.
Hasil analisa FTIR menunjukkan peak yang hampir sama antara APG
sintesis dan APG komersial. Gugus eter (C-O-C) pada APG hasil sintesis terdapat
pada serapan jumlah gelombang 1.151,72 cm-1 sedangkan APG komersial terdapat
pada serapan jumlah gelombang 1.153,02 cm-1 . Gugus OH pada APG hasil
sintesis terdapat pada serapan jumlah gelombang 3.368,60 cm-1 sedangkan APG
komersial terdapat pada serapan jumlah gelombang 3395,15 cm-1. Hal ini sesuai
pendapat Sukkary et al (2007), bahwa gugus eter (C-O-C) sebagai komponen
gugus utama pada APG terdapat pada serapan jumlah gelombang 1.120–1.170 cm1
, sedangkan gugus OH terbentuk pada serapan jumlah gelombang 3.200–3400
cm-1. Terbentuknya gugus eter menandakan bahwa sintesis antara glikosida dan
alkohol lemak telah terbentuk dan struktur gugus hidrofobik telah terbentuk,
sedangkan gugus OH menandakan gugus hidrofilik dari APG. Hasil dari
pengamatan perbandingan gugus fungsi FTIR antara APG hasil sintesis dan APG
komersial dapat dilihat pada Gambar 27.
4.3.7 Karakteristik formasi emulsi dengan menentukan nilai HLB
Hydrophilic Lipophilic Balance (HLB) merupakan nilai perbandingan gugus
hidrofilik dan lipofilik pada surfaktan. Semakin panjang rantai lipofilik, maka
semakin rendah nilai HLB. Surfaktan dengan nilai HLB yang rendah larut dalam
minyak dan meningkatkan emulsi air dalam minyak (w/o). Sebaliknya surfaktan
dengan nilai HLB tinggi akan larut dalam air dan meningkatkan emulsi minyak
dalam air (o/w). Nilai HLB berkisar antara 1-20 (Holmberg et al. 2003).
Fungsi surfaktan ditentukan dari nilai HLB surfaktan yang akan digunakan.
Pengelompokan surfaktan berdasarkan nilai HLB dan penggunaannya disajikan
pada Tabel 2.
Gambar 27 Perbandingan gugus fungsi FTIR antara APG hasil sintesis dan APG
komersial
Metode untuk menentukan HLB dari APG yang digunakan adalah metode
titrimetri
dengan metode bilangan air (water number method). Akuades
digunakan sebagai titran dan larutan yang mengandung 1 g dalam 25 ml campuran
(95:5 v/v) piridina dan benzena sebagai titrat. Kepala polar yang diperoleh dari
glukosa yang bersifat hidrofilik akan tarik menarik dengan molekul air yang
besifat polar dan ion nitrogen dari piridina yang bersifat non polar. Ekor dari APG
yang diperoleh dari alkohol lemak bersifat hidrofobik akan menarik molekul
benzena yang non polar dan cincin heterosiklik aromatik molekul piridina. Titik
akhir titrasi dicapai pada saat kekeruhan permanen. Pada kondisi tersebut larutan
telah jenuh dan molekul APG sudah tidak dapat berikatan dengan molekul air
maupun piridina dan benzena (Noerdin 2008).
Perhitungan nilai HLB dengan mencari persamaan liniar dari jenis surfaktan
yang telah diketahui nilainya. Menurut Moectar (1989), nilai HLB tween80 ialah
15, nilai HLB span20 adalah 8,6 dan asam oleat adalah 1. Hasil pengukuran dari
surfaktan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 15. Dari data tersebut dibuatkan
kurva standarnya, dimana pada perhitungan HLB selanjutnya menggunakan kurva
standar tersebut untuk menentukan nilai HLB. Kurva standar HLB dapat dilihat
pada Lampiran 15. Persamaan linear dari kurva standar (y=0,259x-2,38)
digunakan untuk menentukan nilai HLB dari APG sintesis dan APG komersial.
Nilai HLB APG perlakuan terbaik yang diperoleh yaitu 10,24; sedangkan APG
Komersial yaitu 12,01. Dengan demikian APG hasil sintesis merupakan APG
golongan pengemulsi o/w. demikian pula APG komersial yang juga masuk dalam
nilai kisaran jenis surfaktan pengemulsi o/w.
4.3.8 Perbandingan karakteristik APG sintesis dan APG Komersial
Hasil sintesis APG dengan perlakuan terbaik dibandingkan dengan APG
komersial (Glucopon)
menunjukkan
bahwa karakteristik kemampuan untuk
menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka dan kestabilan emulsi
APG hasil sintesis menunjukkan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan APG
komersial, namun dari karakteristik warna dan pembusaan APG komersial
memiliki nilai yang lebih baik. Hasil perbandingan karakteristik APG sintesis dan
APG komersial dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Perbandingan karakteristik APG sintesis dan APG Komersial
Karakteristik
Kejernihan (%T)
Kemampuan untuk
menurunkan tegangan
permukaan (%)
Kemampuan untuk
menurunkan tegangan
antarmuka (%)
Kestabilan emulsi (%)
Tinggi Busa (%)
Kestabilan Busa (menit)
APG Sintesis
Perlakuan penambahan
Perlakuan
arang aktif 0% dan
terbaik proses
NaBH4 0%
pemurnian
27,86
59,02
APG
Komersial
77,04
61,18
61,94
58,89
94,88
95,60
93,57
72,0
57,5
312,5
81,71
62,5
315
73,2
67,5
342,5
Hasil perbandingan ini dapat dilihat bahwa APG hasil sintesis memiliki
karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan APG komersial. Perbedaan
karakteristik ini disebabkan oleh perbedaan penggunaan alkohol lemak. APG
komersial menggunakan alkohol lemak campuran dari C10-C16, sedangkan APG
sintesis menggunakan alkohol lemak C12.
4.4 Perhitungan biaya bahan baku untuk produksi APG
Perhitungan biaya bahan baku untuk memproduksi APG dilakukan dengan
basis 1 ton tapioka. Dari 1 ton tapioka akan menghasilkan 1,8 ton APG kasar atau
3,7 ton APG murni. Bahan baku yang digunakan yaitu: tapioka, PTSA, butanol,
alkohol lemak C12, DMSO, NaOH, NaBH4, H2O2, dan MgO. Perhitungan neraca
massa produksi APG dapat dilihat pada Lampiran 16.
Berdasarkan neraca massa diperoleh kebutuhan bahan baku dan jumlah
produk yang dihasilkan. Untuk memproses 1 ton tapioka dibutuhkan biaya bahan
baku sebesar Rp. 35.341.409 untuk menghasilkan APG murni. Sedangkan jika
hanya memproduksi APG kasar dibutuhkan biaya bahan baku sebesar Rp.
27.645.531. APG murni yaitu APG kasar yang telah melalui proses pemucatan
menggunakan H2O2 dan penambahan akuades hingga konsentrasi bahan aktif
APG 50%. Biaya bahan baku produksi APG dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Biaya bahan baku pembuatan APG
Bahan Baku
Berat (kg)
Harga (Rp./kg)
Tapioka
1.000,00
2.500a
PTSA
47,55
47.500a
Butanol
388,27
10.650a
Dodekanol
1.123,76
15.420a
DMSO
107,38
12.350a
NaOH
27,83
3.500b
NaBH4
12,94
522.500c
H2O2
73,94
12.500b
MgO
1,84
4.500b
Total biaya APG murni
Total biaya APG kasar
Sumber :
a) www.alibaba.com
b) www.icis.com/staticpages/a-e.htm
c) www.linkinghub.elsevier.com
Total (Rp.)
2.500.000,00
2.258.625,00
4.135.092,60
17.328.322,48
1.326.088,03
97.403,56
6.763.237,43
924.321,91
8.318,89
35.341.409,91
27.645.531,67
Download