92 7. KERAGAMAN GENETIKA NEPENTHES GRACILIS KORTH. DI HUTAN KERANGAS A. Pendahuluan Nepenthes atau kantong semar merupakan salah jenis tumbuhan bawah yang mampu beradaptasi dan tumbuh dominan di habitat hutan kerangas. Kemampuannya mendapatkan pasokan hara dari luar tanah dengan cara memerangkap organisme di dalam kantongnya dan selanjutnya diproses menjadi nutrisi hara yang dapat dipergunakannya, merupakan mekanisme adaptasi yang dimiliki tumbuhan ini sehingga mampu tumbuh dominan di lahan kerangas yang relatif kurang subur. Jenis Nepenthes yang paling banyak ditemukan di berbagai tipe hutan kerangas adalah Nepenthes gracilis (Riswan 1985; Kissinger 2002). Sebaran tumbuh jenis N.gracilis secara geografis cukup luas dan terdapat baik di Kalimantan, Sumatera, Malaysia dan Sulawesi. Jenis ini tumbuh di lahan terbuka, semak, belukar dan di bawah kanopi hutan kerangas yang rendah. N.gracilis umumnya tumbuh pada ketinggian di bawah 100 m dpl dan jarang ditemukan pada ketinggian di atas 1200 m dpl (Adam et al. 1992). Praktek konservasi terhadap suatu spesies memerlukan pengetahuan keragaman genetika agar dapat berjalan dengan efektif dan efisien, karena sasaran utama dari konservasi adalah perlindungan dan pengawetan terhadap spektrum umum dari keragaman genetika dan juga potensi evolusinya. Studi genetika digunakan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dalam pengambilan keputusan permasalahan konservasi, karena dengan studi genetika, informasi tentang keragaman antar individu di dalam dan antar populasi, terutama pada spesies-spesies yang menjadi prioritas konservasi akan dapat diketahui. Penelitian ini berusaha untuk mendapatkan informasi mengenai keanekaragaman genetika N.gracilis di hutan kerangas menggunakan penanda Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). B. Metode Penelitian 1) Objek dan Lokasi Penelitian Objek penelitian adalah tumbuhan N.gracilis yang terdapat dalam kawasan hutan kerangas. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Fakultas Kehutanan IPB. Lokasi pengambilan sampel tumbuhan kantong semar berlokasi di hutan kerangas Desa Guntung Ujung Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Sebagai lokasi referensi bertempat di hutan kerangas di 93 Arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya, Pasir putih-Lenggana Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah, dan Tanjung-Muara Kelanis (Kalimantan Selatan-Kalimantan Tengah). 2) Prosedur Pengumpulan Data Hutan lindung Desa Guntung Ujung mewakili kondisi hutan terdegradasi. Hutan kerangas di Arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya mewakili hutan kerangas yang relatif belum terganggu, penutupan tajuk penuh (oldgrowth). Hutan Kerangas di Tanjung-Muara Kelanis mewakili hutan kerangas terbuka dan hutan sekunder terganggu. Hutan kerangas di Pasir putih-Lenggana Kabupaten Kabupaten Kotawaringin Timur mewakili hutan kerangas terdegradasi. Pada setiap lokasi di buat beberapa titik pengamatan dengan banyaknya titik pengamatan adalah 4 titik (total titik pengamatan adalah 16 titik). Penempatan titik pengamatan dilakukan secara purposive. Pada tiap titik pengamatan di ambil 5 sampel daun dari individu yang berbeda dengan jarak antar titik pengambilan sampel berkisar 5-10 meter. Total sampel yang digunakan adalah 50. Gambaran teknik pengambilan sampel individu kantong semar untuk analisis genetika tertera pada Gambar 7.1. 2 1 5 3 5-10 m 4 Gambar 7.1 Pengambilan sampel individu N.gracilis untuk analisis genetika (metode menurut Szmidt 2011) 3) Analisis Genetika 3.1. Bahan dan Alat Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis genetika dengan penanda PCR-RAPD terbagi dalam beberapa tahapan pekerjaan yaitu: ekstraksi DNA, uji kualitas dan kuantitas DNA, visualisasi DNA dan analisis data. Tabel 7.1. menyajikan beberapa peralatan dan bahan yang digunakan dalam PCR-RAPD. 94 Tabel 7.1 Bahan dan alat teknik PCR-RAPD Tahapan Pekerjaan Analisis RAPD Ekstraksi PCR Visualisasi DNA Alat: sarung tangan karet, gunting, tube 1.5 ml, spidol permanen, mortar, pestel, mikropipet, tips, rak tube, vortex, mesin sentrifugasi, waterbath, freezer, desikator. Bahan: buffer ekstrak, PVP 2%, chloroform IAA, isopropanol dingin, NaCl, etanol 95%, buffer TE. Alat: tube 0,2 ml, spidol permanen, alat tulis, mikro pipet, tips, mesin sentrifugasi, mesin PCR PTC100. Alat: mikropipet, tips, mesin sentrifugasi, bak elektroforesis, cetakan agar, erlenmeyer, sarung tangan, UVtransilluminator, alat foto DNA. Bahan: DNA, aquabidest, H2O, primer RAPD, Taq polymerase. Bahan: agarose, buffer TAE 1x, TBE 1x, blue juice 10x, DNA marker, EtBr, Analisis Data Alat: komputer, softwere POPGENE versi 1.31, , dan Microsoft excel 3.2. Analisis RAPD Analisis DNA pada daun kantong semar dilakukan dengan menggunakan metode RAPD. Secara umum metode RAPD terdiri dari dua tahapan, yaitu Ekstraksi DNA dan analisis RAPD. Ekstraksi DNA Ekstraksi menggunakan metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) yang telah dimodifikasi. Sampel daun pada bagian pangkal, tengah dan ujung daun digerus di dalam pestel yang bersih. Hasil gerusan selanjutnya dipindahkan ke dalam tube 2 mL, lalu ditambahkan 500-700 µl larutan buffer ekstrak (campuran Tris-HCl, EDTA, NaCl, CTAB, dan Air) dan 100 µl PVP 2%. Selanjutnya dilakukan proses inkubasi di dalam waterbath selama 45-60 menit pada suhu 65oC, kemudian dinginkan ± 15 menit. Untuk mengikat DNA ditambahkan kloroform 500 µl dan fenol 10 µl, selanjutnya campuran tersebut disentrifugasi agar menjadi homogeny pafa kecepatan 10.000 rpm selama lima menit. Ambil fase air menggunakan pipet mikro dan pindahkan ke dalam tube baru, fase air ini yang digunakan, sedangkan fase organik disimpan dalam freezer. Selanjutnya ditambahkan isopropanol dingin 500 µl dan NaCl 300 µl, lalu disimpan dalam freezer selama 45-60 menit untuk mendapatkan pelet DNA. Kegiatan selanjutnya adalah proses pencucian DNA dengan menambahkan etanol 100% sebanyak 300 µl, lalu disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama lima menit. Pelet DNA disimpan di dalam desikator selama ± 15 menit 95 dan setelah itu ditambahkan larutan buffer TE 20 mikroliter, lalu divortek, dan selanjutnya disentrifugasi kembali. Visualisasi DNA dilakukan dengan metode elektroforesis. Gel agarose yang dipakai adalah 1 % dengan larutan Buffer TAE. Mencampur pelet DNA 3 µl dan blue juice 2 µl. Running elektroforesis dilakukan dengan memasukan campuran DNA dan blue juice menggunakan pipet mikro ke dalam sumur gel agarose. Setelah proses running, lalu dilanjutkan dengan pewarnaan menggunakan Ethidium Bromida (EtBr) (Campuran EtBr 10 µl dan aquades 190 ml) selama 15 menit. Kemudian dilakukan pemotretan dengan menggunakan deteksi UV transilluminator. Random Amplified Polymerase DNA (RAPD) Reaksi PCR RAPD dilakukan dengan menggunakan 15 µl volume larutan yang terdiri dari H20 (nucleus free water) 2,5 µl, primer masing-masing 1,5 µl, Go Taq Green Master Mix Kit (Promega) 7,5 µl, dan 2 µl cetakan DNA. Amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan mesin PTC-100 Progammable Thermal Cycler (MJ Research, Massachussetts, USA). Proses RAPD akan dilakukan dengan menggunakan lima primer. Pengaturan suhu pada mesin PTC-100 untuk reaksi RAPD adalah: i) pra-denaturasi pada suhu 950C selama 3 menit, ii) denaturasi pada suhu 950C selama 1 menit, iii) annealing pada suhu 350C selama 2 menit dan 720C selama 2 menit iv) ekstensi pada suhu 720C selama 10 menit. Proses ini dilakukan atau diulang sebanyak 35 siklus. Hasil PCR kemudian dielektroforesis dengan gel agarose 2 % dalam larutan Buffer TAE 1 x dan distaining dengan Ethidium Bromida (EtBr). Hasilnya kemudian difoto dan dianalisis dengan melakukan skoring pola pita yang muncul. Hasil interpretasi foto kemudian dianalisis dengan menggunakan software POPGENE 32 Versi 1.32 (Yeh et al. 2000) dan Ntsys 2.0 (Rohlf 1998). Prosedur teknik PCR-RAPD ditampilkan pada Gambar 7.2. 96 Sampel daun kantong semar Ekstraksi DNA Tidak Elektroforesis agar 1% Pewarnaan EtBr (staining) PCR seleksi primer Elektroforesis agar Pewarnaan EtBr (staining) Pemotretan hasil amplifikasi Interpretasi dan analisis data Gambar 7.2 Bagan prosedur teknik penanda molekular RAPD C. Hasil dan Pembahasan 1) Karakterisasi Penanda RAPD Sebanyak 5 primer digunakan dalam analisis RAPD. Deskripsi yang dihasilkan dari penanda RAPD yang digunakan untuk menduga keragaman genetika N.gracilis di hutan kerangas sperti ditunjukkan pada Tabel 7.2. Tabel 7.2 Deskripsi berbagai penanda RAPD yang digunakan Nama Primer OPP09 OPP15 OPP19 OPBH16 OPBH20 Susunan basa Pita Pita total % pita total Keberhasilan monomorf polimorf amplifikasi polimorfisme sampel amplifikasi (%) 5'-GTGGTCCGCA-3' 1 41 42 97,62 80 52,5 5'-GGAAGCCAAC-3' 0 24 24 100 80 30 5'-GGGAAGGACA-3' 5 24 29 82,76 80 36,25 5'-CTGCGGGTTC-3' 0 17 17 100 80 21,25 5'-CACCGACATC-3' 1 40 41 95,24 80 51,25 OPP-09 dan OPBH-20 merupakan primer yang paling tinggi keberhasilan amplifikasinya dengan nilai 52,5% dan 51,25%, sedangkan % band 97 polimorfismenya adalah 97,62% dan 95,24%. Gambaran karakterisasi penanda RAPD dapat dilihat pada gambar 7.3. 1500 bp 500 bp 100 bp OPP-09 OPP-15 OPP-19 1500 bp 500 bp 100 bp OPBH-20 OPBH-16 Gambar 7.3 Pita DNA dari penanda RAPD pada N.gracilis Kisaran pasangan basa untuk ke lima primer adalah dari 150 bp – 1400 bp. Ukuran pasangan basa ini berada dalam kisaran hasil yang penelitian yang menggunakan kelima primer tersebut dengan teknik RAPD, yakni dengan kisaran 150 – 2800 bp untuk mengkarakterisasi keragaman genetik N.khasiana (Bhau et al. 2009). Band monomorfik dalam analisis RAPD menggunakan lima primer ini relatif sedikit ditemukan. Persentase pita polimorfik adalah ≥ 82,76 %. Pita DNA yang berada pada posisi paling atas dan jauh dari sumur merupakan golongan DNA dengan berat molekul ringan, sehingga jumlah pasangan basanya relatif rendah. RAPD dikenal sebagai teknik penanda genetika yang dapat menghasilkan polimorfisme pita DNA dalam jumlah banyak . Beberapa penelitian genetika menggunakan penanda RAPD menemukan besarnya pita polimorfisme yang dihasilkan (Karsinah et al. 2002; Poerba dan Martanti, 2008; Bhau et al. 2009; Anuniwat et al. 2009). 2) Keragaman Genetika N.gracilis di Hutan Kerangas Berdasarkan hasil pengolahan data,deskripsi N.gracilis di hutan kerangas tertera pada Tabel 7.3. keragaman genetika 98 Tabel 7.3 Hasil analisis keragaman genetika populasi N.gracilis Lokasi N lokus % lokus polimorf polimorf na ne He Keterangan Keragaman dalam populasi Guntung Ujung 11 31,5 63% 16,29 14,87 0,26 9 70% 56% 79% 16,99 15,59 17,90 14,92 14,22 15,41 0,29 OPP9,OPP15 OPP19 0,23 0,31 OPBH-16, 20 5 primer: Lokasi Referensi: Tanjung-M.Kelanis Pasir putih-Lenggana Kotim 9 Nyaru Menteng 14 35,5 26 41,5 Keragaman antar populasi (Gst) = 0,27 (N=43, lokus polimorfik= 106, % lokus polimorfik= 99,3%) Keterarangan: N : Jumlah sampel Na : Jumlah alel observasi Ne : Jumlah alel efektif He : Keragaman genetika Hasil yang tertera pada Tabel 7.3 menunjukkan bahwa keragaman genetika N.gracilis dalam populasi hutan kerangas desa Guntung Ujung relatif tinggi (He=0,26). Secara keseluruhan keragaman N.gracilis antar populasi relatif tinggi dengan nilai Gst> 0,15 (Finkelday 2005). Nilai keragaman dalam populasi tersebut akan meningkat jika hasil analisis menggunakan data dari primer yang lebih sedikit. Trend peningkatan juga terjadi pada nilai % lokus polimorfisme. Nilai keragaman genetika tertinggi ditunjukkan oleh N.gracilis yang berada pada lokasi hutan kerangas Nyaru Menteng Palangkaraya (hasil analisis dengan 2 dan 5 primer). Nilai % lokus polimorfisme juga paling tinggi untuk N.gracilis juga berlokasi di hutan kerangas Nyaru Menteng (79%). Relatif tingginya keragaman genetika di lokasi Nyaru Menteng adalah cukup beralasan, karena lokasi ini masih berupa hutan kerangas sekunder yang rendah gangguan. N.gracilis yang terdapat di hutan kerangas Desa Guntung Ujung dan Kotawaringin Timur memiliki keragaman genetika terendah. Kedua tipe hutan kerangas ini merupakan kerangas terbuka dengan tingkat gangguan tinggi. Terdegradasinya hutan menyebabkan berkurangnya variasi genetika dan terhambatnya aliran genetika. Terfragmentasinya hutan menyebabkan perkawinan kekerabatan tinggi dan berpotensi inbreeding. Kebakaran berulang menyebabkan populasi N.gracilis berkurang pada kedua lokasi tersebut. Kerusakan atau tekanan terhadap habitat akan mengurangi keragaman genetika N.gracilis, karena N.gracilis dengan karakter genetika tertentu saja yang akan bertahan dengan semakin ekstrimnya habitat kerangas. Kehilangan variasi genetika menghasilkan gangguan pada frekuensi sebaran genetika yang akan 99 menghambat potensi evolusi dalam proses adaptasi terhadap perubahan lingkungan (Tamaki et al. 2008). Gambaran kekerabatan antar populasi selanjutnya dianalisis lebih lanjut menggunakan program Ntsys 2.0. Data yang digunakan adalah hasil analisis Popgene menggunakan 5 primer. Deskripsi hubungan kekerabatan antara populasi genetika ditunjukkan pada Gambar 7.4. Gt.Ujung 2 Tjg-MK 1 3 NyaruMenteng KOTIM Gambar 7.4 Diagram hubungan kekerabatan N.gracilis di hutan kerangas. Gambar 7.4 mendeskripsikan bahwa variasi genetika N.gracilis terbagi menjadi 3 kluster. Pembentukan kluster tersebut didasari oleh jarak genetika. Penentuan kekerabatan antara populasi dapat ditentukan melalui jarak genetika. Tabel 7.4 Jarak genetika antara populasi N.gracilis di beberapa lokasi No Antara Jarak genetika (%) 1 3 - 2. 2,16 2 2 - Guntung Ujung 10,83 3 2 - 1. 1,51 4 1 - Tanjung M.Kelanis 9,32 5 1 - NyaruMenteng 9,32 6 3 - Kotawaringin Timur 12,99 N.gracilis yang terdapat di Tanjung Muara Kelanis dan Nyaru Menteng Palangkaraya memiliki kekerabatan paling dekat dengan jarak genetika 9,32 % dan koefisien identitas perbedaan antara keduanya kecil (0,19). Rendahnya tingkat gangguan yang terjadi mengakibatkan tetap bertahannya variasi genetika 100 yang besar di kedua populasi hutan kerangas ini. Kekerabatan terdekat N.gracilis dari hutan kerangas Desa Guntung Ujung adalah dengan N.gracilis dari lokasi Tanjung-Muara Kelanis. Jarak genetika yang terbentuk adalah 22,15 % (10,83+1,51+9,32). Temuan ini didukung oleh sejarah pembentukan kerangas antara Desa Guntung Ujung dan Tanjung-Muara Kelanis yang berasosiasi dengan teras sungai Barito. Selain berkaitan dengan penutupan kanopi dan sejarah pembentukan hutan kerangas, terdapat kecenderungan bahwa jarak genetika berkaitan dengan jarak fisik. Jarak fisik antara Tanjung Muara Kelanis dan Nyaru Menteng Palangkaraya adalah ± 214 km. Jarak fisik hutan kerangas desa Guntung Ujung dengan Tanjung-Muara Kelanis juga relatif dekat yaitu ± 218 km. Jarak fisik hutan kerangas Nyaru Menteng dengan hutan kerangas desa Guntung Ujung sebesar ± 208 km. Jarak fisik ini lebih dekat dibandingkan dengan jarak fisik Lokasi Pasirputih-Lenggana Kotawaringin Timur memiliki jarak fisik terjauh dengan lokasi desa Guntung Ujung bila dibandingkan dengan lokasi lain dengan jarak fisik sebesar ± 418 km atau jarak fisik Palangkaraya ke PasirputihLenggana Kabupaten Kotawaringin Timur (± 240 km). Jarak fisik berhubungan dengan terdapatnya barrier alami seperti sungai, yang membatasi distribusi genetika suatu jenis. Barrier sungai yang paling besar terjadi adalah antara hutan kerangas desa Guntung Ujung dengan Pasirputih-Lenggana. Terdapat 5 sungai besar yang memisahkan ke dua lokasi ini, yaitu sungai Barito, sungai Kapuas, sungai Kahayan, sungai Katingan dan sungai Mentaya. Primer RAPD OPP-9 dan OPBH-20 merupakan primer dengan lokus polimorfik tertinggi dibandingkan ke tiga primer lainnya. Berdasarkan hasil analisis kekerabatan menggunakan 5 primer, gambaran kekerabatan yang ditampilkan diindikasikan dalam Gambar 7.4. Sementara itu hasil dari ketiga jenis primer lain, penampilan gambaran kekerabatannya berbeda. Hasil ini memberikan kesimpulan bahwa kedua primer inilah yang berperan dalam deskripsi hubungan kekerabatan N.gracilis di hutan kerangas. Analisis lanjutan dilakukan dengan menyeleksi primer yang digunakan untuk analisis kekerabatan (menggunakan 2 primer OPP-9 dan OPBH-20). Berdasarkan % lokus polimorfik yang terbentuk dan kesamaan pola hubungan kekerabatan yang terbentuk, primer OPBH-20 merupakan primer terbaik dalam mengungkapkan hubungan kekerabatan N.gracilis di hutan kerangas. Primer dengan GC ≥60% merupakan 101 primer yang paling baik untuk analisis RAPD (Bhau et al. 2009). Primer OPP-9 dan OPBH-20 merupakan primer dengan persentase GC ≥60 %. Hasil analisis keragaman genetika ini menunjukkan bahwa secara umum keanekaragaman genetika N.gracilis masih relatif tinggi. Pengetahuan tentang struktur populasi adalah sangat penting bagi konservasi dari populasi alam dengan tetap menjaga potensi total evolusi dan meminimumkan hubungan kekerabatan (Williams and Hamrick, 1996). Peran manusia agar pertukaran gen antar populasi atau input genetika yang jauh kekerabatannya dapat dilakukan untuk mengkonservasi keragaman genetika N.gracilis. Mengkonservasi N.gracilis pada masing-masing lokasinya di hutan kerangas yang sekarang kondisi hutannya terfragmentasi sangatlah penting. Konservasi in situ dapat dilakukan untuk memperkaya keragaman genetika N.gracilis di hutan kerangas di Desa Guntung Ujung. Berdasarkan pendekatan jarak genetika dan diversitas genetika yang dimiliki, penggunaan tumbuhan N.gracilis yang berasal dari hutan kerangas oldgrowth Nyaru Menteng Palangkaraya dan hutan kerangas sekunder Tanjung-Muara Kelanis sebagai sumber bahan genetika dapat dilakukan. Temuan dalam penelitian ini juga menjadi bahan pertimbangan untuk rehabilitiasi hutan, karena keragaman genetika akan terjaga dengan relatif tidak terganggunya tegakan hutan secara keseluruhan. D. Simpulan Keragaman genetika antara populasi dan dalam populasi N.gracilis di hutan kerangas relatif tinggi. Keragaman genetika N.gracilis di lokasi penelitian utama yang merupakan tipe hutan kerangas terdegradasi lebih rendah dibandingkankan dengan hutan kerangas referensi (hutan sekunder dan old growth). Temuan ini memberikan penjelasan bahwa terdegradasinya hutan kerangas merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penurunan keragaman genetika N.gracilis. Berdasarkan jarak genetika antar populasi N.gracilis pada lokasi penelitian, pengelompokan populasi N.gracilis terbagi menjadi 3 kluster. Kekerabatan terdekat dari populasi N.gracilis di lokasi utama penelitian adalah dengan lokasi kerangas di Tanjung-MuaraKelanis dan Palangkaraya. Kedekatan ini berkorelasi dengan sejarah pembentukan hutan kerangas dan kedekatan jarak lokasi di antaranya. Primer RAPD yang paling 102 menentukan dalam pembentukan kluster dalam analisis kekerabatan adalah OPBH-20. Informasi keanekaragaman tumbuhan tingkat genetika dapat dijadikan sebagai dasar spesifik bagi perencanaan program konservasi jenis tumbuhan hutan kerangas. Tingginya keanekaragaman genetika N.gracilis yang didapat memberikan indikasi bahwa strategi reproduksi N.gracilis di hutan kerangas masih berjalan baik. Hal ini memberikan peluang mengembangkan tumbuhan N.gracilis untuk kegiatan konservasi eks situ agar populasi dapat ditingkatkan untuk lebih menjamin kepentingan pemanfaatan berkelanjutan. Kegiatan konservasi eks situ dalam pelaksanaannya tetap didasari oleh informasi habitat aslinya. Berdasarkan informasi kekerabatan genetika yang didapat, proses pengkayaan sumberdaya genetika N.gracilis di lokasi penelitian utama dapat dilakukan. Khusus pada areal-areal terdegradasi dan keragaman rendah jika diperlukan untuk menjaga dinamika genetika dapat diperkaya dengan menggunakan sumber genetika yang berasal dari populasi N.gracilis di TanjungMuara Kelanis dan Palangkaraya.