92 7. KERAGAMAN GENETIKA NEPENTHES

advertisement
92
7. KERAGAMAN GENETIKA NEPENTHES GRACILIS KORTH.
DI HUTAN KERANGAS
A. Pendahuluan
Nepenthes atau kantong semar merupakan salah jenis tumbuhan bawah
yang mampu beradaptasi dan tumbuh dominan di habitat hutan kerangas.
Kemampuannya mendapatkan pasokan hara dari luar tanah dengan cara
memerangkap organisme di dalam kantongnya dan selanjutnya diproses menjadi
nutrisi hara yang dapat dipergunakannya, merupakan mekanisme adaptasi yang
dimiliki tumbuhan ini sehingga mampu tumbuh dominan di lahan kerangas yang
relatif kurang subur. Jenis Nepenthes yang paling banyak ditemukan di berbagai
tipe hutan kerangas adalah Nepenthes gracilis (Riswan 1985; Kissinger 2002).
Sebaran tumbuh jenis N.gracilis secara geografis cukup luas dan terdapat
baik di Kalimantan, Sumatera, Malaysia dan Sulawesi. Jenis ini tumbuh di lahan
terbuka, semak, belukar dan di bawah kanopi hutan kerangas yang rendah.
N.gracilis umumnya tumbuh pada ketinggian di bawah 100 m dpl dan jarang
ditemukan pada ketinggian di atas 1200 m dpl (Adam et al. 1992).
Praktek konservasi terhadap suatu spesies memerlukan pengetahuan
keragaman genetika agar dapat berjalan dengan efektif dan efisien, karena
sasaran utama dari konservasi adalah perlindungan dan pengawetan terhadap
spektrum umum dari keragaman genetika dan juga potensi evolusinya. Studi
genetika digunakan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dalam
pengambilan keputusan permasalahan konservasi, karena dengan studi
genetika, informasi tentang keragaman antar individu di dalam dan antar
populasi, terutama pada spesies-spesies yang menjadi prioritas konservasi akan
dapat diketahui. Penelitian ini berusaha untuk mendapatkan informasi mengenai
keanekaragaman genetika N.gracilis di hutan kerangas menggunakan penanda
Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD).
B. Metode Penelitian
1) Objek dan Lokasi Penelitian
Objek penelitian adalah tumbuhan N.gracilis yang terdapat dalam kawasan
hutan kerangas. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Fakultas
Kehutanan IPB. Lokasi pengambilan sampel tumbuhan kantong semar berlokasi
di hutan kerangas Desa Guntung Ujung Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar
Kalimantan Selatan. Sebagai lokasi referensi bertempat di hutan kerangas di
93
Arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya, Pasir putih-Lenggana Kabupaten
Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah, dan Tanjung-Muara Kelanis (Kalimantan
Selatan-Kalimantan Tengah).
2) Prosedur Pengumpulan Data
Hutan lindung Desa Guntung Ujung mewakili kondisi hutan terdegradasi.
Hutan kerangas di Arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya mewakili hutan
kerangas yang relatif belum terganggu, penutupan tajuk penuh (oldgrowth).
Hutan Kerangas di Tanjung-Muara Kelanis mewakili hutan kerangas terbuka dan
hutan sekunder terganggu. Hutan kerangas di Pasir putih-Lenggana Kabupaten
Kabupaten Kotawaringin Timur mewakili hutan kerangas terdegradasi.
Pada setiap lokasi di buat beberapa titik pengamatan dengan banyaknya
titik pengamatan adalah 4 titik (total titik pengamatan adalah 16 titik).
Penempatan titik pengamatan dilakukan secara purposive.
Pada tiap titik
pengamatan di ambil 5 sampel daun dari individu yang berbeda dengan jarak
antar titik pengambilan sampel berkisar 5-10 meter. Total sampel yang
digunakan adalah 50. Gambaran teknik pengambilan sampel individu kantong
semar untuk analisis genetika tertera pada Gambar 7.1.
2
1
5
3
5-10 m
4
Gambar 7.1
Pengambilan sampel individu N.gracilis untuk analisis
genetika (metode menurut Szmidt 2011)
3) Analisis Genetika
3.1. Bahan dan Alat
Alat dan bahan yang digunakan untuk analisis genetika dengan penanda
PCR-RAPD terbagi dalam beberapa tahapan pekerjaan yaitu: ekstraksi DNA, uji
kualitas dan kuantitas DNA, visualisasi DNA dan analisis data.
Tabel 7.1.
menyajikan beberapa peralatan dan bahan yang digunakan dalam PCR-RAPD.
94
Tabel 7.1 Bahan dan alat teknik PCR-RAPD
Tahapan Pekerjaan
Analisis
RAPD
Ekstraksi
PCR
Visualisasi DNA
Alat: sarung tangan
karet, gunting, tube
1.5 ml, spidol
permanen, mortar,
pestel, mikropipet,
tips, rak tube,
vortex, mesin
sentrifugasi,
waterbath, freezer,
desikator.
Bahan: buffer
ekstrak, PVP 2%,
chloroform IAA,
isopropanol dingin,
NaCl, etanol 95%,
buffer TE.
Alat: tube 0,2 ml,
spidol permanen,
alat tulis, mikro
pipet, tips, mesin
sentrifugasi,
mesin PCR PTC100.
Alat: mikropipet,
tips, mesin
sentrifugasi, bak
elektroforesis,
cetakan agar,
erlenmeyer,
sarung tangan,
UVtransilluminator,
alat foto DNA.
Bahan: DNA,
aquabidest, H2O,
primer RAPD,
Taq polymerase.
Bahan: agarose,
buffer TAE 1x,
TBE 1x, blue juice
10x, DNA marker,
EtBr,
Analisis
Data
Alat:
komputer,
softwere
POPGENE
versi 1.31, ,
dan
Microsoft
excel
3.2. Analisis RAPD
Analisis DNA pada daun kantong semar dilakukan dengan menggunakan
metode
RAPD. Secara umum metode RAPD terdiri dari dua tahapan, yaitu
Ekstraksi DNA dan analisis RAPD.
Ekstraksi DNA
Ekstraksi menggunakan metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium
Bromide) yang telah dimodifikasi. Sampel daun pada bagian pangkal, tengah dan
ujung daun digerus di dalam pestel yang bersih. Hasil gerusan selanjutnya
dipindahkan ke dalam tube 2 mL, lalu ditambahkan 500-700 µl larutan buffer
ekstrak (campuran Tris-HCl, EDTA, NaCl, CTAB, dan Air) dan 100 µl PVP 2%.
Selanjutnya dilakukan proses inkubasi di dalam waterbath selama 45-60 menit
pada suhu 65oC, kemudian dinginkan ± 15 menit. Untuk mengikat DNA
ditambahkan kloroform 500 µl dan fenol 10 µl, selanjutnya campuran tersebut
disentrifugasi agar menjadi homogeny pafa kecepatan 10.000 rpm selama lima
menit. Ambil fase air menggunakan pipet mikro dan pindahkan ke dalam tube
baru, fase air ini yang digunakan, sedangkan fase organik disimpan dalam
freezer. Selanjutnya ditambahkan isopropanol dingin 500 µl dan NaCl 300 µl, lalu
disimpan dalam freezer selama 45-60 menit untuk mendapatkan pelet DNA.
Kegiatan selanjutnya adalah proses pencucian DNA dengan menambahkan
etanol 100% sebanyak 300 µl, lalu disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm
selama lima menit. Pelet DNA disimpan di dalam desikator selama ± 15 menit
95
dan setelah itu ditambahkan larutan buffer TE 20 mikroliter, lalu divortek, dan
selanjutnya disentrifugasi kembali.
Visualisasi DNA dilakukan dengan metode elektroforesis. Gel agarose
yang dipakai adalah 1 % dengan larutan Buffer TAE. Mencampur pelet DNA 3 µl
dan blue juice 2 µl.
Running elektroforesis dilakukan dengan memasukan
campuran DNA dan blue juice menggunakan pipet mikro ke dalam sumur gel
agarose.
Setelah
proses
running,
lalu
dilanjutkan
dengan
pewarnaan
menggunakan Ethidium Bromida (EtBr) (Campuran EtBr 10 µl dan aquades 190
ml) selama 15 menit. Kemudian dilakukan pemotretan dengan menggunakan
deteksi UV transilluminator.
Random Amplified Polymerase DNA (RAPD)
Reaksi PCR RAPD dilakukan dengan menggunakan 15 µl volume larutan
yang terdiri dari H20 (nucleus free water) 2,5 µl, primer masing-masing 1,5 µl, Go
Taq Green Master Mix Kit (Promega) 7,5 µl, dan 2 µl cetakan DNA. Amplifikasi
DNA dilakukan dengan menggunakan mesin PTC-100 Progammable Thermal
Cycler (MJ Research, Massachussetts, USA). Proses RAPD akan dilakukan
dengan menggunakan lima primer. Pengaturan suhu pada mesin PTC-100 untuk
reaksi RAPD adalah: i) pra-denaturasi pada suhu 950C selama 3 menit, ii)
denaturasi pada suhu 950C selama 1 menit, iii) annealing pada suhu 350C
selama 2 menit dan 720C selama 2 menit iv) ekstensi pada suhu 720C selama 10
menit. Proses ini dilakukan atau diulang sebanyak 35 siklus.
Hasil PCR kemudian dielektroforesis dengan gel agarose 2 % dalam
larutan Buffer TAE 1 x dan distaining dengan Ethidium Bromida (EtBr). Hasilnya
kemudian difoto dan dianalisis dengan melakukan skoring pola pita yang muncul.
Hasil interpretasi foto kemudian dianalisis dengan menggunakan software
POPGENE 32 Versi 1.32 (Yeh et al. 2000) dan Ntsys 2.0 (Rohlf 1998). Prosedur
teknik PCR-RAPD ditampilkan pada Gambar 7.2.
96
Sampel daun kantong
semar
Ekstraksi DNA
Tidak
Elektroforesis agar 1%
Pewarnaan EtBr (staining)
PCR seleksi primer
Elektroforesis agar
Pewarnaan EtBr (staining)
Pemotretan hasil amplifikasi
Interpretasi dan analisis data
Gambar 7.2 Bagan prosedur teknik penanda molekular RAPD
C. Hasil dan Pembahasan
1) Karakterisasi Penanda RAPD
Sebanyak 5 primer digunakan dalam analisis RAPD. Deskripsi yang
dihasilkan dari penanda RAPD yang digunakan untuk menduga keragaman
genetika N.gracilis di hutan kerangas sperti ditunjukkan pada Tabel 7.2.
Tabel 7.2 Deskripsi berbagai penanda RAPD yang digunakan
Nama
Primer
OPP09
OPP15
OPP19
OPBH16
OPBH20
Susunan basa
Pita
Pita
total
% pita
total Keberhasilan
monomorf polimorf amplifikasi polimorfisme sampel amplifikasi (%)
5'-GTGGTCCGCA-3'
1
41
42
97,62
80
52,5
5'-GGAAGCCAAC-3'
0
24
24
100
80
30
5'-GGGAAGGACA-3'
5
24
29
82,76
80
36,25
5'-CTGCGGGTTC-3'
0
17
17
100
80
21,25
5'-CACCGACATC-3'
1
40
41
95,24
80
51,25
OPP-09 dan OPBH-20 merupakan primer yang paling tinggi keberhasilan
amplifikasinya
dengan
nilai
52,5%
dan
51,25%,
sedangkan
%
band
97
polimorfismenya adalah 97,62% dan 95,24%. Gambaran karakterisasi penanda
RAPD dapat dilihat pada gambar 7.3.
1500 bp
500 bp
100 bp
OPP-09
OPP-15
OPP-19
1500 bp
500 bp
100 bp
OPBH-20
OPBH-16
Gambar 7.3 Pita DNA dari penanda RAPD pada N.gracilis
Kisaran pasangan basa untuk ke lima primer adalah dari 150 bp – 1400 bp.
Ukuran pasangan basa ini berada dalam kisaran hasil yang penelitian yang
menggunakan
kelima primer tersebut dengan teknik RAPD, yakni dengan
kisaran 150 – 2800 bp untuk mengkarakterisasi keragaman genetik N.khasiana
(Bhau et al. 2009). Band monomorfik dalam analisis RAPD menggunakan lima
primer ini relatif sedikit ditemukan. Persentase pita polimorfik adalah ≥ 82,76 %.
Pita DNA yang berada pada posisi paling atas dan jauh dari sumur merupakan
golongan DNA dengan berat molekul ringan, sehingga jumlah pasangan basanya
relatif rendah. RAPD dikenal sebagai teknik penanda genetika yang dapat
menghasilkan polimorfisme pita DNA dalam jumlah banyak . Beberapa penelitian
genetika menggunakan penanda RAPD menemukan besarnya pita polimorfisme
yang dihasilkan (Karsinah et al. 2002; Poerba dan Martanti, 2008; Bhau et al.
2009; Anuniwat et al. 2009).
2) Keragaman Genetika N.gracilis di Hutan Kerangas
Berdasarkan
hasil
pengolahan
data,deskripsi
N.gracilis di hutan kerangas tertera pada Tabel 7.3.
keragaman
genetika
98
Tabel 7.3 Hasil analisis keragaman genetika populasi N.gracilis
Lokasi
N
lokus
% lokus
polimorf polimorf
na
ne
He
Keterangan
Keragaman dalam populasi
Guntung Ujung
11 31,5
63%
16,29
14,87
0,26
9
70%
56%
79%
16,99
15,59
17,90
14,92
14,22
15,41
0,29 OPP9,OPP15
OPP19
0,23
0,31 OPBH-16, 20
5 primer:
Lokasi Referensi:
Tanjung-M.Kelanis
Pasir putih-Lenggana Kotim
9
Nyaru Menteng
14
35,5
26
41,5
Keragaman antar populasi (Gst) = 0,27 (N=43, lokus polimorfik= 106, % lokus polimorfik= 99,3%)
Keterarangan:
N : Jumlah sampel
Na : Jumlah alel observasi
Ne : Jumlah alel efektif
He : Keragaman genetika
Hasil yang tertera pada Tabel 7.3 menunjukkan bahwa keragaman
genetika N.gracilis dalam populasi hutan kerangas desa Guntung Ujung relatif
tinggi (He=0,26). Secara keseluruhan keragaman N.gracilis antar populasi relatif
tinggi dengan nilai Gst> 0,15 (Finkelday 2005). Nilai keragaman dalam populasi
tersebut akan meningkat jika hasil analisis menggunakan data dari primer yang
lebih sedikit. Trend peningkatan juga terjadi pada nilai % lokus polimorfisme. Nilai
keragaman genetika tertinggi ditunjukkan oleh N.gracilis yang berada pada lokasi
hutan kerangas Nyaru Menteng Palangkaraya (hasil analisis dengan 2 dan 5
primer). Nilai % lokus polimorfisme juga paling tinggi untuk N.gracilis juga
berlokasi di hutan kerangas Nyaru Menteng (79%). Relatif tingginya keragaman
genetika di lokasi Nyaru Menteng adalah cukup beralasan, karena lokasi ini
masih berupa hutan kerangas sekunder yang rendah gangguan. N.gracilis yang
terdapat di hutan kerangas Desa Guntung Ujung dan Kotawaringin Timur
memiliki keragaman genetika terendah. Kedua tipe hutan kerangas ini
merupakan kerangas terbuka dengan tingkat gangguan tinggi.
Terdegradasinya hutan menyebabkan berkurangnya variasi genetika dan
terhambatnya
aliran
genetika.
Terfragmentasinya
hutan
menyebabkan
perkawinan kekerabatan tinggi dan berpotensi inbreeding. Kebakaran berulang
menyebabkan populasi N.gracilis berkurang pada kedua lokasi tersebut.
Kerusakan atau tekanan terhadap habitat akan mengurangi keragaman genetika
N.gracilis, karena N.gracilis dengan karakter genetika tertentu saja yang akan
bertahan dengan semakin ekstrimnya habitat kerangas. Kehilangan variasi
genetika menghasilkan gangguan pada frekuensi sebaran genetika yang akan
99
menghambat potensi evolusi dalam proses adaptasi terhadap perubahan
lingkungan (Tamaki et al. 2008).
Gambaran kekerabatan antar populasi selanjutnya dianalisis lebih lanjut
menggunakan program Ntsys 2.0. Data yang digunakan adalah hasil analisis
Popgene menggunakan 5 primer. Deskripsi hubungan kekerabatan antara
populasi genetika ditunjukkan pada Gambar 7.4.
Gt.Ujung
2
Tjg-MK
1
3
NyaruMenteng
KOTIM
Gambar 7.4 Diagram hubungan kekerabatan N.gracilis di hutan kerangas.
Gambar 7.4 mendeskripsikan bahwa variasi genetika N.gracilis terbagi
menjadi 3 kluster. Pembentukan kluster tersebut didasari oleh jarak genetika.
Penentuan kekerabatan antara populasi dapat ditentukan melalui jarak genetika.
Tabel 7.4 Jarak genetika antara populasi N.gracilis di beberapa lokasi
No
Antara
Jarak genetika (%)
1
3 - 2.
2,16
2
2 - Guntung Ujung
10,83
3
2 - 1.
1,51
4
1 - Tanjung M.Kelanis
9,32
5
1 - NyaruMenteng
9,32
6
3 - Kotawaringin Timur
12,99
N.gracilis yang terdapat di Tanjung Muara Kelanis dan Nyaru Menteng
Palangkaraya memiliki kekerabatan paling dekat dengan jarak genetika 9,32 %
dan koefisien identitas perbedaan antara keduanya kecil (0,19). Rendahnya
tingkat gangguan yang terjadi mengakibatkan tetap bertahannya variasi genetika
100
yang besar di kedua populasi hutan kerangas ini. Kekerabatan terdekat
N.gracilis dari hutan kerangas Desa Guntung Ujung adalah dengan N.gracilis
dari lokasi Tanjung-Muara Kelanis. Jarak genetika yang terbentuk adalah 22,15
% (10,83+1,51+9,32). Temuan ini didukung oleh sejarah pembentukan kerangas
antara Desa Guntung Ujung dan Tanjung-Muara Kelanis yang berasosiasi
dengan teras sungai Barito.
Selain berkaitan dengan penutupan kanopi dan sejarah pembentukan
hutan kerangas, terdapat kecenderungan bahwa jarak genetika berkaitan dengan
jarak fisik. Jarak fisik antara Tanjung Muara Kelanis dan Nyaru Menteng
Palangkaraya adalah ± 214 km. Jarak fisik hutan kerangas desa Guntung Ujung
dengan Tanjung-Muara Kelanis juga relatif dekat yaitu ± 218 km. Jarak fisik
hutan kerangas Nyaru Menteng dengan hutan kerangas desa Guntung Ujung
sebesar ± 208 km. Jarak fisik ini lebih dekat dibandingkan dengan jarak fisik
Lokasi Pasirputih-Lenggana Kotawaringin Timur memiliki jarak fisik terjauh
dengan lokasi desa Guntung Ujung bila dibandingkan dengan lokasi lain dengan
jarak fisik sebesar ± 418 km atau jarak fisik Palangkaraya ke PasirputihLenggana Kabupaten Kotawaringin Timur (± 240 km). Jarak fisik berhubungan
dengan terdapatnya barrier alami seperti sungai, yang membatasi distribusi
genetika suatu jenis. Barrier sungai yang paling besar terjadi adalah antara hutan
kerangas desa Guntung Ujung dengan Pasirputih-Lenggana. Terdapat 5 sungai
besar yang memisahkan ke dua lokasi ini, yaitu sungai Barito, sungai Kapuas,
sungai Kahayan, sungai Katingan dan sungai Mentaya.
Primer RAPD OPP-9 dan OPBH-20 merupakan primer dengan lokus
polimorfik tertinggi dibandingkan ke tiga primer lainnya. Berdasarkan hasil
analisis kekerabatan menggunakan 5 primer, gambaran kekerabatan yang
ditampilkan diindikasikan dalam Gambar 7.4. Sementara itu hasil dari ketiga jenis
primer
lain,
penampilan
gambaran
kekerabatannya
berbeda.
Hasil
ini
memberikan kesimpulan bahwa kedua primer inilah yang berperan dalam
deskripsi hubungan kekerabatan N.gracilis di hutan kerangas. Analisis lanjutan
dilakukan dengan menyeleksi primer yang digunakan untuk analisis kekerabatan
(menggunakan 2 primer OPP-9 dan OPBH-20). Berdasarkan % lokus polimorfik
yang terbentuk dan kesamaan pola hubungan kekerabatan yang terbentuk,
primer OPBH-20 merupakan primer terbaik dalam mengungkapkan hubungan
kekerabatan N.gracilis di hutan kerangas. Primer dengan GC ≥60% merupakan
101
primer yang paling baik untuk analisis RAPD (Bhau et al. 2009). Primer OPP-9
dan OPBH-20 merupakan primer dengan persentase GC ≥60 %.
Hasil analisis keragaman genetika ini menunjukkan bahwa secara umum
keanekaragaman genetika N.gracilis masih relatif tinggi. Pengetahuan tentang
struktur populasi adalah sangat penting bagi konservasi dari populasi alam
dengan tetap menjaga potensi total evolusi dan meminimumkan hubungan
kekerabatan (Williams and Hamrick, 1996).
Peran manusia agar pertukaran gen antar populasi atau input genetika
yang jauh kekerabatannya dapat dilakukan untuk mengkonservasi keragaman
genetika N.gracilis. Mengkonservasi N.gracilis pada masing-masing lokasinya di
hutan kerangas yang sekarang kondisi hutannya terfragmentasi sangatlah
penting. Konservasi in situ dapat dilakukan untuk memperkaya keragaman
genetika N.gracilis di hutan kerangas di Desa Guntung Ujung.
Berdasarkan
pendekatan jarak genetika dan diversitas genetika yang dimiliki, penggunaan
tumbuhan N.gracilis yang berasal dari hutan kerangas oldgrowth Nyaru Menteng
Palangkaraya dan hutan kerangas sekunder Tanjung-Muara Kelanis sebagai
sumber bahan genetika dapat dilakukan. Temuan dalam penelitian ini juga
menjadi bahan pertimbangan untuk rehabilitiasi hutan, karena keragaman
genetika akan terjaga dengan relatif tidak terganggunya tegakan hutan secara
keseluruhan.
D. Simpulan
Keragaman genetika antara populasi dan dalam populasi N.gracilis di
hutan kerangas relatif tinggi. Keragaman genetika N.gracilis di lokasi penelitian
utama yang merupakan tipe hutan kerangas terdegradasi lebih rendah
dibandingkankan dengan hutan kerangas referensi (hutan sekunder dan old
growth). Temuan ini memberikan penjelasan bahwa terdegradasinya hutan
kerangas merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penurunan
keragaman genetika N.gracilis.
Berdasarkan jarak genetika antar populasi
N.gracilis pada lokasi penelitian, pengelompokan populasi N.gracilis terbagi
menjadi 3 kluster. Kekerabatan terdekat dari populasi N.gracilis di lokasi utama
penelitian adalah dengan lokasi kerangas di Tanjung-MuaraKelanis dan
Palangkaraya. Kedekatan ini berkorelasi dengan sejarah pembentukan hutan
kerangas dan kedekatan jarak lokasi di antaranya. Primer RAPD yang paling
102
menentukan dalam pembentukan kluster dalam analisis kekerabatan adalah
OPBH-20.
Informasi keanekaragaman tumbuhan tingkat genetika dapat dijadikan
sebagai dasar spesifik bagi perencanaan program konservasi jenis tumbuhan
hutan kerangas. Tingginya keanekaragaman genetika N.gracilis yang didapat
memberikan indikasi bahwa strategi reproduksi N.gracilis di hutan kerangas
masih berjalan baik. Hal ini memberikan peluang mengembangkan tumbuhan
N.gracilis untuk kegiatan konservasi eks situ agar populasi dapat ditingkatkan
untuk lebih menjamin kepentingan pemanfaatan berkelanjutan. Kegiatan
konservasi eks situ dalam pelaksanaannya tetap didasari oleh informasi habitat
aslinya. Berdasarkan informasi kekerabatan genetika yang didapat, proses
pengkayaan sumberdaya genetika N.gracilis di lokasi penelitian utama dapat
dilakukan. Khusus pada areal-areal terdegradasi dan keragaman rendah jika
diperlukan
untuk
menjaga
dinamika
genetika
dapat
diperkaya
dengan
menggunakan sumber genetika yang berasal dari populasi N.gracilis di TanjungMuara Kelanis dan Palangkaraya.
Download