BUDAYA DAYAK KENYAH DALAM TRANSCULTURAL

advertisement
BUDAYA DAYAK KENYAH DALAM TRANSCULTURAL NURSING
A. Pengertian Transultural Nursing dan Kebudayaan
Keperawatan Transkultural adalah suatu proses belajar dan pelayanan
keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara
budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai
budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk
memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya
kepada manusia (Leininger, 2002).
Tujuan
dari transcultural nursing adalah untuk mengidentifikasi,
menguji, mengerti dan menggunakan norma pemahaman keperawatan
transkultural
dalam meningkatkan kebudayaan spesifik dalam asuhan
keperawatan. Asumsinya adalah berdasarkan teori caring, caring adalah esensi
dari, membedakan, mendominasi serta mempersatukan tindakan keperawatan.
Perilaku caring diberikan
kepada manusia sejak lahir hingga meninggal
dunia. Human caring merupakan fenomena universal dimana,ekspresi,
struktur polanya bervariasi diantara kultur satu tempat dengan tempat lainnya.
Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia.
Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural, agama maupun geografis
yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di
wilayah Negara kesatuan republik indonesia (NKRI) sekitar 13.000 pulau
besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa,
terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda.
Selain itu mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam
seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta
berbagai macam aliran kepercayaan .
Kebudayaan adalah salah satu aset penting bagi sebuah Negara
berkembang, kebudayaan tersebut untuk sarana pendekatan sosial, simbol
karya daerah, asset kas daerah dengan menjadikannya tempat wisata, karya
ilmiah dan lain sebagainya. Dalam hal ini suku Dayak Kalimantan yang
mengedepankan budaya leluhurnya, sehingga kebudayaan tersebut sebagai
ritual ibadah mereka dalam menyembah sang pencipta yang dilatarbelakangi
kepercayaan tradisional yang disebut Kaharingan.
Menurut sensus BPS tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di
Kalimantan Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku
Dayak Indonesia (268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non
Dayak dan non Banjar). Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah Budaya
maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai
arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai,
terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.
B. Sejarah Perkembangan Suku Dayak Kenyah
Orang yang disebut Dayak itu hanyalah ada di Kalimantan, sedang
kenapa mereka disebut Dayak atau “Orang Dayak“ dalam bahasa Kalimantan
secara umum berarti “Orang Pedalaman“ yang jauh dan terlepas dari
kehidupan kota.
Dulunya memang begitu. Di mana-mana ada perkampungan suku
dayak. Mereka selalu berpindah ke satu daerah lain, jika di mana mereka
tinggal itu ada orang dari suku lain yang juga tinggal atau membuka
perkampungan di dekat wilayah tinggal mereka.
Disebut ‘Dayak’ berarti tidaklah hanya untuk satu suku, melainkan
bermacam-macam seperti
Suku Dayak Kenyah, Suku Dayak Hiban, Suku Dayak Tunjung, Suku
Dayak Bahau, Suku Dayak Benua, Dayak Basaf, dan Dayak Punan yang
masih pula disertai puluhan “Uma “ (anak suku) dan tersebar diberbagai
wilayah Kalimantan.
Pada kurun waktu sebelum abad 20, secara keseluruhan Suku Dayak
ini tak mengenal agama Kristen dan Islam. Yang ada pada mereka hanyalah
kepercayaan pada leluhur, binatang-binatang, batu batuan, serta isyarat alam
pembawaan kepercayaan Hindu kuno. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari
mereka mempercayai berbagai pantangan yang tandanya diberikan oleh alam.
Pantangan dalam kehidupan masyarakat Dayak hanya ada dua. Yaitu
pantangan yang membawa kebebasan sehingga populasi mereka bertambah
banyak dan ada pula karena pantangan berakibat populasi mereka semakin
sedikit dan kini malah hampir punah. Seperti misal kehidupan yang tak boleh
berbaur dengan masyarakat lain dari suku mereka.
Pantangan ini membuat mereka selalu hidup tak tenang dan selalu
berpindah pindah. Sehingga kehidupan mereka tak pernah maju bahkan
cendrung tambah primitif. Misalnya saja seperti Suku Dayak Punan. Suku
yang satu ini sulit berkomunikasi dengan masyarakat umum. Kebanyakan
mereka tinggal di hutan hutan lebat, di dalam goa-goa batu dan pegunungan
yang sulit dijangkau. Sebenarnya hal tersebut bukanlah kesalahan mereka.
Namun karena budaya pantangan leluhur yang tak berani mereka langgar
terjadilah keadaan demikian. Hal ini sebenarnya adalah kesalahan dari leluhur
mereka.
Dalam riwayat atau cerita, leluhur mereka ini asal-usulnya datang dari
negeri yang bernama “Yunan “ sebuah daerah dari daratan Cina. Mereka
berasal dari keluarga salah satu kerajaan Cina yang kalah berperang yang
kemudian lari bersama perahu-perahu, sehingga sampai ke tanah Pulau
Kalimantan. Karena merasa aman, mereka lalu menetap di daratan tersebut.
Walau demikian, mungkin akibat trauma peperangan, mereka takut bertemu
dengan kelompok masyarakat manapun. Mereka kuatir pembantaian dan
peperangan terulang kembali sehingga mereka bisa habis atau punah tak
bersisa. Karena itulah oleh para leluhur mereka dilakukan pelarangan dan
pantangan bertemu dengan orang yang bukan dari kalangan mereka.
Lihat saja anak-anak dayak tinggal Nanga Nyabo tak ubahnya seperti bocah
zaman sekarang yang mengenakan pakaian biasa. Yang unik adalah, mereka
masih tinggal di rumah Betang. Rumah Betang merupakan rumah adat asli
suku Dayak. Rumah Betang tak jauh berbeda dengan rumah panggung, rumah
Betang terlihat berupa bangunan tinggi dari permukaan tanah. Konon, hal ini
dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang meresahkan para penghuni,
seperti menghindari musuh yang dapat datang tiba-tiba, binatang buas,
ataupun banjir yang terkadang melanda. Sebuah rumah Betang bisa ditinggali
oleh beberapa keluarga. Karena struktur bangunan yang memanjang dan luas.
Namun, banyak juga dari mereka yang memilih untuk tinggal sekeluarga saja.
Mata pencaharian Suku Dayak kebanyakan adalah nelayan dan petani.
Karena tempat ini dekat dengan Sungai Kapuas dan juga perkebunan. Inilah
Suku Dayak masa kini. Sedikit demi sedikit mereka mulai meninggalkan
mitos-mitos yang dulu sempat ada di masa lalu.
C. Karakteristik Budaya (Demografi/Geografi/Adat Istiadat)
1. Adat Kelahiran Dayak Kenyah
Jika ada istri dari Suku Dayak Kenyah melahirkan maka bunyibunyian gong dan gendang terus dikumandangkan jangan sampai tangisan
anak itu terdengar oleh binatang-binatang dihutan sebab itu adalah
pantangan maka akan berkembang mitos “Anakmu akan sial sepanjang
Zaman”.
2. Upacara Pemberian Nama Dayak Kenyah
Bagi keluarga yang baru saja mendapat momongan harus mengundang
seluruh penduduk kampung yang berhak memberi nama adalah nenek,
ibu, atau perempuan lain yang berasal dari lingkungan keluarga mereka.
Sedangkan laki-laki dan bahkan ayahnya sendiri sangat dipantangkan
memberikan nama. Bila anak mereka laki-laki Ayam jantan harus
dikorbankan Darahnya diletakan diatas mandau (parang) dan lalu
dioleskan ketanah sebelah kanan bayi dan bersama itu mantra dibacakan
“Berilah anak ini air kehidupan”.
3. Pengobatan Oleh Dayak Kenyah
Dukun dari suku dayak bernama Dayung dia bisa menyembuhkan
sakit seseorang dengan cara telur ayam di letakan diatas kepala dan yang
Dayung pun mengucapkan Mantera yaitu : Ni atau Sio diman, menyat
tolong lait nyengau” diterimahkan” tolong berikan air yang dapat
menghidupkan’. Kepada sisakit, ayam dibunuh lalu darahnya di teteskan
ketubuhnya, kepada hantu-hantu, doa dipanjatkan yaitu semoga penderita
disembuhkan. Bila si penderita tidak dapat tertolong di pukulah gong
sebagai pemberitahuan kepada penduduk yang ada dikampung atau di
hutan bahwa sudah terjadi kematian, lelaki warga kampung bersenjata
membacoki dinding Rumah dan tiang-tiang sebagai tanda memerangi
hantu-hantu yang mengakibatkan kematian.
4. Kematian Dayak Kenyah
Mayat di berikan diatas tikar, keluarga si mati berkumpul bertangistangisan sambil menyanyikan syair-syair pujian atas jasa almarhum yang
telah meninggalkan keluarga. Sementara itu, senjata-senjata perang harus
diletakan disamping jenazah. Sungai terdekat dengan kampung disediakan
pedoman kaki mayat membujur ke hilir. Kepala mengarah ke hulu
menurut arus sungai mengalir. Peti mati, Lungun namanya, jenazah diberi
harta dan senjata perangnya. Empat hari empat malam mayat
disemayamkan. Pemuda-pemuda membuat tekalong atau rumah-rumahan,
diatasnya duduk keluarga yang si mati, dihadapan peti mati bertangistangisan, sementara itu kepala adat memberikan petuah kepada para
pemikul rumah-rumahan.
5. Tabu Kematian Dayak Kenyah
Bila perempuan Dayak kenyah mati melahirkan satu kampung harus
membiarkan kalau ditolong membawa bencana itulah perintah dari dewadewa. Penduduk kampung hanya membuatkan peti mati yang diletakan
diatas kuburan sedangkan mayat hanya diurus suami sendiri atau saudara
dari perempuan yang mati tersebut ke dalam “kiba” (kiba adalah sejenis
keranjang berukuran tinggi. Kiba dibuat dari anyaman rotan kiba diusung
dibelakang dan diberi tali untuk diusungkan ke kedua ketiak) mayat
diletakan pada saat membawa kekuburan jangan melewati rumah orang
karena seluruh kampung akan kena bencana sial atau kalah dalam perang
itulah peraturan yang diberikan oleh roh nenek moyang.
6. Setangis Dayak Kenyah
Dalam acara upacara setangis di situlah seluruh keluarga menagis pelanpelan, peti mati dimasukan kedalam kubur diiringi bunyi-bunyian
kelentengan gong dan gendang. Setangis adalah upacara pemakaman yang
diiringi kesenian JAMOK HARANG, main alu dan sabung Ayam. Dalam
upacara setangis dihidangkan ketan hitam, roti-rotian telur masak dan
segala macam makanan yang lain.
7. Rapat Adat Dayak Kenyah
Para peserta rapat harus berbaju kulit binatang dan bercawat kain hitam
sebelum rapat dimulai para peserta rapat memakan bubur tepung beras
yakni sebagai lambang persatuan. Sebagai acara kedua para peserta rapat
beramai-ramai meminum air “tapai” (tape) sambil menyanyikan lagu-lagu
lama, acara ketiga kepala adat dipersilahkan memayungi seekor babi
sebagai lambang Perlindungan Tuhan Bunga Malan yang bisa memaafkan
kesalahan semua orang. Acara keempat kepala adat dipersilahkan
menghidangkan delapan gelas “jakan” (Minuman keras) kepada
bangsawan tertinggi dan bila minuman sudah dihabisi barulah rapat boleh
dimulai.
8. Tanda-tanda Alam
Bungan Malan adalah nama tuhan mereka dia yang menyampaikan
perintah dan permintaan kepada manusia dan sebagai perantaranya adalah
BALI UTUNG. Mereka percaya apabila mereka melihat burung pelatuk
dan burung elang terbang berarti kebaikan akan datang tapi apabila burung
tersebut terbangnya menghalang atau melintang itu bertanda tibanya
kecelakaan karena itu bila mereka menempuh perjalanan dihutan
sebaiknya cepat-cepat pulang karena itulah larangan tuhan mereka yang
disampaikan dengan perantara binatang. Mereka percaya apabila larangan
itu tidak diajarkan Bungan Malan akan murka lalu dikirim hantu-hantu
untuk menyiksa manusia. Mereka percaya hantu masing-masing punya
nama. Ada yang bernama Bali Meet, Bali Tenget, Bali Ketatang, Bali Li-it
dan Bali Sakit. Hantu-hantu adalah piaraan Tuhan Bangun malan yang
bisa mencelakakan jiwa seseorang.
9. Upacara Agama Suku Dayak Kenyah
Agama nenek moyang mereka dinamakan Bungan Ibadat mereka tidak
teratur dan tertentu mereka beribadat hanya pada saat-saat yang perlu
dengan sesajen melimpah-ruah, dan memakan waktu yang lama sering
mengadakan pesta, berupa pesta:
a. Erau kepala adalah pesta memohon doa agar Bungan Malan dan Bali
Utung memberikan kesuburan kepada tanah ladang yang baru dibuka.
b. Ukaw Mending adalah pesta yang dilakukan ketika kampung ditimpa
bencana. Sebelum Ukaq Mending di mulai seluruh penduduk
diberitahu untuk ber”tabu” selam tiga hari yaitu: jangan memancing,
jangan berburu, jangan menumbuk padi, menjahit, keluar kampung
dan jangan pula menerima tamu selama bertabu itu. Penguasa pesta
terus-menerus membaca mantera agar Bungan Malan melenyapkan
malapetaka.
c. Erau Bunut adalah pesta pemberian nama yang dilaksanakan semeriahmeriahnya.
D. Masalah Kesehatan Apa Saja Yang Ada Di Budaya Tersebut
Bagi Suku Dayak di pedalaman Kalimantan, penyakit beserta
pengobatannya, sangat erat kaitannya dengan alam religius mereka tentang
ajaran Kaharingan. Masyarakat Dayak cenderung melihat penyebab dari suatu
penyakit dengan cara metafisik. Suku Dayak mempercayai Balian sebagai
penyembuh mereka. Masyarakat Dayak biasa menggunakan ritual tertentu
yang dipimpin oleh seorang Balian dalam pengobatan suatu penyakit.
Bagi masyarakat Dayak keberadaan Balian sudah ada sejak zaman
nenek moyang mereka. Balian adalah seorang perempuan yang bertugas
sebagai mediator dan komunikator antara manusia dengan mahluk lain yang
keberadaannya tidak terlihat secara kasat mata.( Riwut, 2003:259) Balian
menduduki tempat yang penting dalam kebudayaan Dayak. Masyarakat
Dayak percaya bahwa Balian memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh
setiap orang, oleh karenanya Balian mampu mengobati penyakit terutama
penyakit-penyakit yang mereka percaya disebabkan oleh mahluk halus.
Dengan masuknya para misionaris di masa kolonial ke pedalaman
Kalimantan, sedikit banyak terjadi pergeseran dalam sistem pengobatan pada
masyarakat setempat. Para misionaris awal yang masuk ke Kalimantan
berusaha mengenalkan sistem pengobatan modern pada masyarakat setempat.
Scharer (dalam Ukur, 1971:192) menceritakan pertobatan seorang Balian
setelah menerima pelayanan medis di Tumbang Lahang. Balian ini pada
awalnya sangat menentang Injil masuk ke Tumbang Lahang. Ia merupakan
orang yang paling gigih memperingatkan penduduk agar tetap setia pada adat
istiadat nenek moyang. Namun suatu saat anak tunggalnya sakit, dan setelah
tidak berhasil melalui pengobatan secara Balian, sangat berat hati ia meminta
bantuan dari para misionaris. Akhirnya setelah dilakukan pengobatan secara
intensif anak Balian tadi sembuh dari sakit yang dideritanya. Setelah peristiwa
tersebut, Balian tadi beserta keluarganya menjadi pemeluk Kristen. Setelah
usaha di bidang pengobatan ditingkatkan lewat pendirian poliklinik, rumah
sakit, dan dengan sosialisasi masalah sanitasi dan kebersihan, nampak sekali
kemajuan yang nampak pada Suku Dayak dalam bidang kesehatan.
Meskipun pengobatan moderen sudah di terima Suku Dayak, namun
hingga saat ini pengobatan secara tradisional juga masih bertahan. Seperti
pada masyarakat Dayak Ngaju, yang tinggal di Desa Kasongan Baru,
Kalimantan Tengah. Kebanyakan penduduk Desa Kasongan Baru memiliki
pengetahuan tentang meracik obat-obatan tradisional. Hampir setiap rumah
tangga di Desa Kasongan Baru salah satu anggota keluarganya memiliki
kemampuan tentang obat-obatan tradisional. Penduduk Desa Kasongan Baru
menyebut ramuan tradisional dengan istilah obat kampung. Obat kampung ini
biasanya menggunakan daun-daunan dan kayu-kayuan yang tumbuh di sekitar
tempat tinggal orang Dayak (Hintan,Mutia,2003:55)
Masyarakat Dayak masih sangat percaya dengan khasiat obat
kampung. Mereka masih mengkonsumsi obat kampung pada penyakitpenyakit yang biasa diderita, seperti diare dan berbagai jenis penyakit kulit.
Bagi mereka obat kampung merupakan alternatif pengobatan, dan
keberadaannya masih tetap bertahan hingga saat ini.. Hal tersebut terbukti
bahwa di setiap desa di Kalimantan memiliki seorang Balian, atau dukun, dan
Basir ( Hintan,2003:56-57). Basir seperti halnya Balian adalah mediator dan
komunikator antara manusia dengan mahluk halus. Di masa silam, Basir
selalu seorang laki-laki yang bersifat dan bertingkah laku seperti perempuan,
namun pada masa sekarang hal tersebut sudah tidak berlaku lagi. Dalam dunia
spiritual Basir memiliki kemampuan lebih dalam hal pengobatan, khususnya
penyembuhan penyakit yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat mistik
(Riwut, 2003:259-260).
DAFTAR PUSTAKA

Effendy, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori Dan Praktik
Dalam Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika

Setiadi, Elly M, dkk. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta : Kencana

Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta : Salemba
Medika

http://leksi-ndolu.blogspot.com/
Download