Pola Konsumsi Pangan Hewani dan Status Gizi

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Remaja
Istilah remaja adolesence berasal dari kata adolescere yang berarti
“tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1994). Masa remaja dimulai
pada saat anak perempuan mengalami menstruasi yang pertama atau menarche,
sedangkan pada anak laki-laki yaitu pada saat keluarnya cairan semen. Waktu
terjadi proses kematangan seksual pada laki-laki dan perempuan berbeda, hal ini
dipengaruhi oleh asupan zat gizi pada saat anak-anak. Kematangan seksual di
negara miskin berjalan lebih lama dibandingkan di negara yang lebih maju. Hal
ini dipengaruhi oleh status sosial ekonomi di masing-masing negara (Arisman
2004).
Batasan usia remaja sangat beragam. Tidak satupun angka yang pasti
dapat memberikan tanda bahwa individu sedang berada pada masa remaja.
Beberapa ahli memberikan batasan usia remaja yang berbeda-beda. Monks et al.
(1982) mengemukakan suatu analisa yang cermat mengenai semua aspek
perkembangan dalam masa remaja yang secara global berlangsung antara umur
12-21 tahun, dengan pembagiannya: 1) 12-15 tahun termasuk masa remaja awal,
2) 15-18 tahun termasuk masa remaja pertengahan, dan 3) 18-21 tahun
termasuk remaja akhir.
Banyak para ahli mengemukakan berbagai pendapat mengenai batasan
usia remaja. Dari berbagai pendapat mengenai batasan usia remaja, disimpulkan
bahwa secara teoritis dan empiris, rentang usia remaja berada dalam usia 12-21
tahun bagi wanita dan 13-22 tahun bagi pria. Jika dibedakan atas remaja awal
dan akhir, maka remaja awal berada pada usia 12 atau 13 tahun sampai 17 atau
18 tahun dan remaja akhir pada rentang usia 17 atau 18 tahun hingga usia 21
atau 22 tahun (Panuju & Umami 1999).
Pada masa ini terjadi keunikan pertumbuhan dan perkembangan
karakteristiknya yaitu sebagai berikut (Husaini & Husaini 1989):
1.
Pertumbuhan fisik yang sangat cepat (adolescent growth spurt).
2.
Pertumbuhan dan perkembangan pada remaja putri terjadi lebih awal, yaitu
pada usia 11-13 tahun, sehingga pada usia 13-14 tahun remaja putri terlihat
lebih tinggi dan besar.
3.
Pertumbuhan remaja putra dan putri berbeda dalam besar dan susunan
tubuh sehingga kebutuhan gizinya pun berbeda.
6
4.
Pertumbuhan fisik dan pematangan fungsi-fungsi tubuh adalah proses akhir
dari masa remaja. Keadaan ini menentukan pada waktu dewasa seperti
bertambah pendek atau tinggi, lamban atau energik, ulet atau pasrah.
5.
Terjadi perubahan hormon seks.
Remaja merupakan kelompok usia yang sedang berada dalam fase
pertumbuhan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang relatif besar
jumlahnya. Pada remaja laki-laki kegiatan jasmaniah sangat meningkat, karena
pada masa inilah perhatian untuk olahraga sedang tinggi-tingginya seperti atletik,
mendaki gunung, sepak bola, hiking, dan sebagainya. Bila konsumsi berbagai
sumber zat gizi tidak ditingkatkan, mungkin terjadi defisiensi terutama defisiensi
vitamin-vitamin. Defisiensi sumber energi akan menyebabkan kelompok remaja
langsing bahkan kurus (Sediaoetama 2000).
Tidak sedikit survei yang mencatat ketidakcukupan asupan zat gizi para
remaja. Mereka bukan hanya melewatkan waktu makan (terutama sarapan)
dengan alasan sibuk, tetapi juga terlihat sangat senang mengkonsumsi junk food
(Johnson et al. 1994 dalam Arisman 2004). Disamping itu, kekhawatiran menjadi
gemuk telah memaksa mereka untuk mengurangi jumlah pangan yang
seharusnya dikonsumsi (Brownel et al. 1994 dalam Arisman 2004). Diet tersebut
disusun berdasarkan pengaruh teman-teman sebaya, bukan hasil konsultasi
dengan para ahli di bidangnya. Beberapa remaja cenderung menabukan jenis
makanan tertentu. Sikap ini terbentuk karena sifat remaja yang sering mencoba
hal baru (Arisman 2004).
Pola Konsumsi Pangan
Pola
konsumsi
pangan
diartikan
sebagai
cara
seseorang
atau
sekelompok orang dalam memilih dan mengkonsumsi pangan sebagai
tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologi, budaya dan sosial serta
ekonomi. Pola konsumsi dinamakan pula kebiasaan makan, kebiasaan pangan
atau pola pangan. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi cara makan dan
kebiasaan pangan individu, tiga faktor yang terpenting adalah ketersediaan
pangan, pola sosial budaya dan faktor pribadi (Riyadi 2006).
Wulandari (2000) menyatakan konsumsi pangan secara garis besar
adalah kuantitas pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok
orang dengan tujuan tertentu dengan jenis tunggal atau beragam. Ada tiga hal
yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu kuantitas dan ragam pangan yang
tersedia dan diproduksi, pendapatan, dan tingkat pengetahuan gizi. Menurut
7
Sanjur (1982) konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan dan
sikap terhadap makanan yang tergantung pada lingkungan baik masyarakat
maupun keluarga.
Khomsan dan Sulaeman (1996) menyatakan pangan mempunyai fungsi
yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pangan merupakan kebutuhan
dasar manusia yang terpenting dalam peningkatan kualitas fisik, mental dan
kecerdasan. Disamping untuk menghilangkan rasa lapar, fungsi utama dari
makanan adalah sebagai sumber kehidupan. Yaitu sebagai sumber zat gizi untuk
memenuhi kebutuhan tubuh akan energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin,
mineral, air dan sebagainya sehingga kita mampu melaksanakan segala aktivitas
kehidupan dengan sehat dan kuat. Fungsi lainnya dari makanan adalah sebagai
sumber kenikmatan karena makanan memberikan cita rasa yang enak dan
menyenangkan.
Manusia makan untuk hidup dan bukan sebaliknya hidup untuk makan
maka berdasar fungsi makanan untuk kehidupan ini, apa yang dimakan oleh
seseorang haruslah dapat menjamin bahwa makanan tersebut dapat memenuhi
kebutuhan zat gizinya, tidak menimbulkan gejala kesakitan dan kejiwaan (aman)
dan tentunya harus dapat memenuhi selera (Khomsan & Sulaeman 1996).
Sediaoetama (2000) menyatakan bahwa konsumsi makanan adalah faktor yang
berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi seseorang. Konsumsi makanan
yang tidak memadai kebutuhan tubuh baik kuantitas maupun kualitas akan
menyebabkan masalah gizi.
Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan merupakan istilah untuk menggambarkan kebiasaan
dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan seperti tata krama,
frekuensi makan, pola makanan yang dimakan, kepercayaan tentang makan,
distribusi makan antar anggota keluarga. Kebiasaan makan adalah suatu
perilaku yang berhubungan dengan makan seseorang, pola makanan atau
susunan hidangan yang dimakan, pantangan, distribusi makanan dalam anggota
keluarga (Suhardjo 1989).
Kebiasaan makan remaja sangat khas dan berbeda jika dibandingkan
dengan usia lainnya, kebiasaan makan mereka seperti 1) tidak makan, terutama
makan pagi atau sarapan, 2) kegemaran makan snack dan kembang gula, 3)
mereka cenderung memilih-milih makanan, ada makanan yang disukai dan ada
makanan yang tidak disukai. Jenis makanan tersebut berbeda untuk tiap budaya
8
dan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, remaja terutama putri biasanya
percaya bahwa mereka dapat mengontrol berat badannya dengan cara tidak
makan pagi atau siang (Robert & Williams 1996 dalam Waluya 2007).
Kebiasaan makan anak remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain teman sebaya, keadaan emosional, pelaksanaan diet, penurunan berat
badan, lingkungan termasuk snack dan fast food, dan pengetahuan gizi remaja
(Burton et al. 1988). Ketidakcukupan makan pada remaja usia sekolah
disebabkan karena 1) asupan yang lebih rendah dari yang dianjurkan, seperti
meninggalkan salah satu waktu makan misalnya sarapan, 2) makan siang yang
tidak mencukupi karena makan di luar rumah, 3) pemilihan makanan,
membiarkan anak memilih makanan tanpa petunjuk orang dewasa, 4) kurang
mengkonsumsi daging, sayur, telur, buah dan 5) pengeluaran uang jajan untuk
makanan rendah kalori (Burton et al. 1988).
Pada masa ini, remaja mulai memilih makanan yang disukai dan tidak
disukai. Pemilihan makanan remaja biasanya tidak didasarkan pada kandungan
gizinya, melainkan didasarkan pada kesenangan dan kegiatan sosialisasi agar
tidak kehilangan status. Aktivitas remaja banyak dilakukan di luar rumah dan
sangat dipengaruhi oleh rekan sebayanya. Hal tersebut terkadang membuat
mereka tidak lagi makan bersama keluarga di rumah (Khomsan 2002).
Truswell (1999) dalam Kusumaningsih (2007) menjelaskan sepuluh hal
yang terkait dengan kebiasaan makan pada remaja, yaitu:
1.
Meninggalkan makan lengkap, terutama sarapan.
2.
Mengemil, biasanya dilakukan pada sore hari atau setelah pulang sekolah
dan umumnya snack yang dikonsumsi rendah kalori.
3.
Mulai mengkonsumsi fast food. Remaja umumnya tidak memilih makanan
yang seimbang dari yang ditawarkan dan disediakan serta tidak tersedia
informasi yang cukup tentang komposisi gizi dari fast food.
4.
Makanan yang tidak konvensional, yang dimakan dalam bentuk kombinasi
dimana anggota keluarga yang lain tidak terlalu membutuhkannya, namun
sering ditambahkan untuk mencukupi kebutuhan zat gizi.
5.
Mulai mengkonsumsi alkohol. Konsumsi alkohol adalah hal yang paling
berbahaya dari kebiasaan makan remaja yang baru. Alkohol dihubungkan
dengan kecelakaan yang menjadi penyebab kematian tertinggi pada usia 1524 tahun.
9
6.
Soft drink, jenis minuman ini rendah kalori dan dapat menghambat
penyerapan kalsium di dalam tubuh.
7.
Kesukaan dan ketidaksukaan terhadap suatu makanan. Kesukaan terhadap
makanan dipengaruhi oleh budaya dan berbeda antara laki-laki dan
perempuan.
8.
Asupan energi yang tinggi, banyak remaja melewati masa ini dengan makan
yang lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa, kadang-kadang
mencapai 4000 kal.
9.
Kekurangan zat gizi tertentu, seperti besi dan kalsium. Menurut beberapa
penelitian kekurangan vitamin A, vitamin C, zink dan besi umumnya terjadi
pada remaja perempuan yang mengalami menstruasi, dan membatasi
asupan makanan mereka.
10. Diet pada remaja.
Kebiasaan makan dapat berubah karena pendidikan dan pengetahuan
tentang gizi dan kesehatan, serta aktivitas perdagangan makanan. Selain itu,
tingkat
pendapatan
mempengaruhi
juga
kebiasaan
merupakan
makan,
salah
dimana
satu
secara
faktor
utama
signifikan,
dalam
dengan
meningkatnya pendidikan, konsumsi makan mahal akan dibeli dan dikonsumsi
lebih banyak. Terkait dengan pendapatan, jumlah anggota keluarga juga
berpengaruh secara tidak langsung terhadap kebiasaan makan seseorang,
karena jumlah anggota keluarga akan berpengaruh terhadap pendapatan
perkapita yang akan menentukan kemampuan pembelian makan (Hartog et al.
dalam Waluya 2007)
Penilaian Konsumsi Makanan
Penilaian konsumsi pangan dilakukan sebagai cara untuk mengukur
keadaan konsumsi pangan yang kadang-kadang merupakan salah satu cara
yang digunakan untuk menilai status gizi. Penilaian konsumsi pangan dilakukan
dengan cara survei (Suhardjo et al. 1980). Survei diet atau penilaian konsumsi
makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi
perorangan atau kelompok (Supariasa et al. 2001)
Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi
makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu bersifat kualitatif dan
kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi
makan. Frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali
informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh
10
bahan makanan tersebut. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui
jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi
dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar
lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar
Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak (Supariasa et
al. 2001).
Salah satu metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu yang
bersifat kuantitatif adalah metode recall 24 jam. Prinsip dari metode recall 24 jam,
dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi
pada periode 24 jam yang lalu. Recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulangulang dan harinya tidak berturut-turut. Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali
(1x24
jam),
maka
data
yang
diperoleh
kurang
representatif
untuk
menggambarkan kebiasaan makan individu (Supariasa et al. 2001). Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut,
dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan
variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Sanjur 1997 dalam
Supariasa et al. 2001).
Penentuan jumlah hari recall sangat ditentukan oleh keragaman jenis
konsumsi antar waktu, antar tipe responden dalam memperoleh pangan. Metode
recall membutuhkan biaya yang sangat murah dan tidak memakan waktu yang
banyak. Kekurangannya adalah data yang dihasilkan kurang akurat karena
mengandalkan keterbatasan daya ingat seseorang dan tergantung dari keahlian
tenaga pencatatan dalam mengkonversi URT ke dalam satuan berat serta
adanya variasi URT antar daerah, dan ada variasi interpretasi besarnya ukuran
antar responden (besar, sedang, kecil, dll) (Kusharto & Sadiyyah 2006).
Selain recall terdapat metode food frequency, metode ini digunakan untuk
memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau
makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, dan bulan. Frekuensi
pangan digunakan untuk menilai frekuensi penggunaan pangan atau kelompok
pangan tertentu (Supariasa et al. 2001). Selain itu, dengan metode ini dapat
diperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif, tapi karena
periode
pengamatannya
lebih
lama
dan
dapat
membedakan
individu
berdasarkan rengking konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering digunakan
dalam penelitian epidemiologi gizi. Kuesionernya mempunyai dua komponen
utama yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan. Frekuensi
11
konsumsi pangan dikelompokkan menjadi empat yaitu sering (≥5 kali/minggu),
kadang-kadang (3-4 kali/minggu), jarang (1-2 kali/minggu) dan tidak pernah (0
kali/minggu).
Kecukupan Energi dan Zat Gizi
Kelompok umur remaja menunjukkan fase pertumbuhan yang pesat, yang
disebut “adolescence growth spurt”, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang
relatif besar jumlahnya. Pada remaja laki-laki kegiatan jasmaniah sangat
meningkat, karena biasanya pada umur inilah perhatian untuk olahraga sedang
tinggi-tingginya, seperti atletik, mendaki gunung, sepak bola, hiking, dan
sebagainya. Remaja putri sangat mementingkan bentuk badannya, sehingga
banyak yang berdiit tanpa nasihat atau pengawasan seorang ahli kesehatan dan
gizi (Sediaoetama 2000).
Gaya hidup dan kebiasaan makan cenderung berubah ketika masa
remaja, hal ini sangat mempengaruhi asupan zat gizi (Ricket 1996). Berbagai
alasan yang telah dikemukakan di atas menuntut agar kebutuhan zat gizi remaja
dapat tercukupi dengan baik. Kebutuhan zat gizi remaja secara rinci dapat dilihat
pada tabel berikut ini.
Tabel 1 Kecukupan gizi yang dianjurkan untuk remaja dan dewasa awal
Perempuan (tahun)
Laki-laki (tahun)
13-15
16-18
19-29
13-15
16-18
Energi (Kal)
2350
2200
1900
2400
2600
Protein (g)
57
55
50
60
65
Kalsium (mg)
1000
1000
800
1000
1000
Besi (mg)
26
26
26
19
15
Vit A (RE)
600
600
500
600
600
Vit E (mg)
15
15
15
15
15
Vit B1 (mg)
1,1
1,1
1,0
1,2
1,3
Vit C (mg)
65
75
75
75
90
Folat (mg)
400
400
400
400
400
Sumber: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI (2004)
Zat Gizi
19-29
2550
60
800
13
600
15
1,3
90
400
Pangan Hewani
Bahan makanan hewani adalah bahan makanan yang berupa atau
berasal dari hewan atau produk-produk yang diolah dengan menggunakan
bahan dasar asal hewan. Pangan hewani mempunyai berbagai keunggulan
dibanding pangan nabati. Pertama, pangan hewani terasa gurih atau enak
karena mengandung protein dan lemak yang banyak. Kedua, pangan hewani
mengandung protein yang lebih berkualitas karena mudah digunakan tubuh dan
memiliki komposisi asam amino yang lengkap. Ketiga, pangan hewani
mengandung berbagai zat gizi mineral yang tinggi dan mudah digunakan oleh
12
tubuh. Misalnya kalsium pada susu, zat besi, zink dan selenium yang banyak di
dalam daging, hati dan telur. Kalsium dan zink berperan dalam pertumbuhan
dan berbagai proses dalam tubuh. Zat besi bersama zat gizi lainnya berperan
dalam pembentukan sel-sel darah merah hemoglobin. Hemoglobin berguna
untuk membawa oksigen ke seluruh bagian tubuh. Bila kadar hemoglobin rendah
(anemia) maka tubuh kekurangan oksigen, badan menjadi lemah, konsentrasi
belajar dan stamina atau produktivitas kerja menjadi menurun.
Keempat, pangan hewani mengandung zat gizi vitamin yang unik.
Misalnya vitamin A dalam hati dan kuning telur yang mudah digunakan tubuh.
Kemudian vitamin B12 yang tidak terdapat pada pangan nabati. Vitamin B12
yang kaya dalam pangan hewani berperan penting dalam pembentukan sel
darah merah yang menangkap oksigen bagi tubuh dan dalam pembentukan
myelin syaraf (Hardinsyah 2008).
Mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam-asam amino yang
dikandungnya. Pola asam amino pada protein hewani merupakan yang terbaik
untuk memenuhi kebutuhan manusia karena polanya menyerupai pola
kebutuhan asam amino manusia. Oleh karena itu, apabila pangan hewani
digunakan sebagai sumber protein tunggal dalam jumlah memenuhi kebutuhan
manusia maka ia memberikan semua asam-asam amino esensial dalam jumlah
cukup. Kelebihan asam-asam amino esensial dapat digunakan untuk mensintesis
asam-asam amino nonesensial. Pangan sumber protein hewani adalah daging,
ayam, ikan, telur, susu, dan produk olahannya (Riyadi 2006).
Status Gizi
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan
utilisasi (utilization) zat gizi makanan. Penilaian terhadap status gizi seseorang
atau sekelompok orang akan menentukan apakah orang atau sekelompok orang
tersebut memiliki status gizi yang baik atau tidak (Riyadi 2001). Supariasa et al.
(2001) menyatakan status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh
konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jagka
waktu yang lama. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi
empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik.
Status gizi seseorang atau sekelompok orang tidak selalu sama dari
masa ke masa karena merupakan interaksi dari berbagai faktor. Menurut Riyadi
13
(2001), faktor yang secara langsung mempengaruhi status gizi adalah konsumsi
pangan dan status kesehatan.
Keadaan status gizi remaja pada umumnya dipengaruhi oleh pola
konsumsi makan. Kebanyakan dari mereka konsumsi zat gizinya rendah, hal ini
disebabkan oleh keterbatasan makanan atau membatasi sendiri makanannya
karena faktor ingin langsing (Karyadi 1995). Jika konsumsi makan seorang
remaja kurang dari angka kecukupan yang dianjurkan dan hal ini berangsurangsur lama, maka akan berpengaruh terhadap status gizi remaja.
Status gizi dapat diketahui dengan beberapa cara yaitu melalui penilaian
konsumsi pangan, antropometri, biokimia, dan klinis. Setiap cara penilaian status
gizi tersebut melengkapi cara yang lainnya, dengan demikian membantu dalam
penyediaan indikator tambahan untuk mendukung penilaian yang lebih lengkap
(Riyadi 1995).
Antropometri sudah digunakan pada remaja dalam konteks yang
berhubungan dengan status gizi dan kesehatan. IMT direkomendasikan sebagai
dasar indikator antropometri untuk kekurusan (thinness) dan overweight pada
masa remaja. BB/U dianggap tidak informatif atau menyesatkan bila tidak ada
informasi
tentang
TB/U.
Pendekatan
konvesional
terhadap
kombinasi
penggunaan BB/U dan TB/U untuk menilai massa tubuh dianggap aneh dan
memberikan hasil yang bias. Data referensi BB/TB memiliki keuntungan karena
tidak memerlukan informasi tentang umur kronologis. Tetapi, hubungan BB/TB
berubah secara dramatis menurut umur dan menurut status kematangan seksual
selama remaja (Riyadi 2001).
Karena berbagai keterbatasan tersebut, IMT menurut umur (IMT/U)
direkomendasikan sebagai
indikator
terbaik
untuk
remaja.
Indikator
ini
memerlukan informasi tentang umur. Indikator ini juga sudah divalidasi sebagai
indikator lemak tubuh total pada persentil atas, dan indikator ini juga sejalan
dengan indikator-indikator yang direkomendasikan untuk orang dewasa. Indeks
massa tubuh diukur dengan menggunakan rumus IMT=BB/TB2 (kg/m2).
Status gizi kelompok orang ditentukan melalui suatu perhitungan statistik
dengan menghitung angka nilai hasil penimbangan dibandingkan dengan angka
rata-rata atau median dan standar deviasi (SD) dari suatu angka acuan standar
WHO. Rumus yang digunakan untuk mengetahui nilai Z-Skor adalah (Supariasa
et al. 2001) :
Z-Skor = Nilai Individu Subyek – Nilai Median Baku Rujukan
Nilai Simpangan Baku Rujukan
14
Rumus di atas dapat digunakan untuk menghitung nilai Z-Skor dari suatu
nilai IMT/U. Nilai Z-Skor yang diperoleh kemudian dapat digunakan untuk
menentukan jenis status gizi anak umur di atas 5 tahun sampai 19 tahun.
Karakteristik Keluarga
Karakteristik Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari besarnya pendapatan
atau pengeluaran keluarga, baik pangan maupun nonpangan selama satu tahun
terakhir. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan cenderung
lebih dominan daripada kebutuhan nonpangan. Sebaliknya, jika pendapatan
meningkat maka pengeluaran untuk nonpangan akan semakin besar, mengingat
kebutuhan pokok makanan sudah terpenuhi (Husaini et al. 2000). Hal ini sesuai
dengan Hukum Engel bahwa semakin tinggi pendapatan maka persentase
pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan semakin kecil.
Berbagai faktor sosial ekonomi ikut mempengaruhi pertumbuhan anak.
Faktor sosial ekonomi tersebut antara lain pendidikan, pekerjaan, teknologi,
budaya dan pendapatan keluarga. Faktor tersebut di atas akan berinteraksi satu
dengan yang lainnya sehingga dapat mempengaruhi masukan zat gizi dan
infeksi pada anak (Supariasa et al. 2001).
Besar Keluarga. Menurut Berg (1986) besar keluarga mempunyai
pengaruh pada konsumsi pangan, jumlah anak yang menderita kelaparan pada
keluarga besar empat kali lebih besar jika dibandingkan pada keluarga kecil.
Pada keluarga dengan keadaan ekonomi kurang, jumlah anak yang banyak akan
mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak, juga
kebutuhan primer seperti pangan, sandang, dan perumahan pun tidak terpenuhi.
Besar kecilnya anggota keluarga dapat mempengaruhi pemenuhan gizi
anggota keluarga terutama keluarga miskin. Semakin besar anggota keluarga
maka kebutuhan pangan yang harus tercukupi akan semakin meningkat,
sehingga biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan pangan keluarga akan tinggi
(Lumenta 1987).
Pendidikan Orang tua. Keadaan gizi seorang anak banyak ditentukan
oleh perilaku pengasuhannya. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa apabila
pendidikan dan pengetahuan dalam bidang gizi yang dimiliki orang tua baik maka
keadaan gizi anak juga baik (Riyadi 2006). Tingkat pendidikan baik secara
langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi pola konsumsi antar
anggota keluarga, karena pendidikan akan sangat mempengaruhi cara, pola pikir,
15
dan kerangka pikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian yang nantinya
merupakan bekal dalam berkomunikasi.
Pendidikan yang tinggi akan memberikan peluang yang lebih besar untuk
mendapatkan pekerjaan yang baik (Gunarsa & Gunarsa 1995). Suhardjo et al.
(1988) menyatakan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan yang diperoleh maka
kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik juga semakin besar
sehingga akan mempengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh seseorang.
Semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka akan semakin luas
wawasan berpikirnya, sehingga akan lebih banyak informasi yang diserap. Hal
tersebut akan berdampak positif terhadap ragam pangan yang dikonsumsi
(Soewondo & Sadi 1990). Latar belakang pendidikan ibu berpengaruh terhadap
perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk dalam hal konsumsi
pangan keluarga sehari-hari. Tingkat pendidikan ibu juga menentukan aksesnya
kepada pengasuhan yang tepat dan akses ke sarana kesehatan (Engle et al.
1997). Menurut Nurmawati (1995) orang yang berpendidikan tinggi cenderung
memilih pangan yang lebih baik, dalam jumlah dan mutu dibandingkan yang
berpendidikan lebih rendah.
Pendapatan Keluarga. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang
paling menentukan terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi.
Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat antara pendapatan dan keadaan
status gizi. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan
menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi ini
akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al.
1990).
Faktor pendapatan mempunyai peranan besar dalam masalah gizi dan
kebiasaan makan masyarakat. Ketersediaan pangan suatu keluarga sangat
dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga tersebut. Pendapatan keluarga
akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan keluarga. Tingkat pendapatan
yang tinggi akan memberikan peluang yang lebih besar dalam memilih makanan
yang baik dalam jumlah dan jenis (Suhardjo 1989). Jenis pekerjaan yang dimiliki
seseorang merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas makanan karena
jenis pekerjaan memiliki hubungan dengan pendapatan yang diterima.
Menurut Martianto dan Ariani (2004) tingkat pendapatan seseorang akan
berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya.
Sesuai dengan Hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan
16
pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan
pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang
harganya lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, rendahnya
pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya
perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan
dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari. Selain itu, masyarakat
berpendapatan rendah juga akan mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan jenis
yang beragam untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang seperti
mengkonsumsi tahu dan tempe sebagai pengganti daging.
Menurut Winarno (1993), tingkat ekonomi (pendapatan) yang rendah
dapat mempengaruhi pola makan. Pada tingkat pendapatan yang rendah,
sebagian besar pengeluaran ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan
dengan berorientasi pada jenis pangan karbohidrat. Hal ini disebabkan makanan
yang mengandung banyak karbohidrat lebih murah dibandingkan dengan
makanan sumber zat besi, sehingga kebutuhan zat besi akan sulit terpenuhi, dan
dapat berdampak pada terjadinya anemia gizi besi.
Pengetahuan Gizi
Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang peranan makanan
dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman untuk
dimakan sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan
yang baik agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana cara hidup
sehat (Notoatmodjo 1993).
Pengetahuan gizi mempunyai peranan penting dalam pembentukan
kebiasaan makan seseorang, sebab hal ini akan mempengaruhi seseorang
dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Harper et al. 1985).
Pengetahuan gizi menjadi andalan yang menentukan konsumsi pangan. Individu
yang memiliki pengetahuan gizi baik akan mempunyai kemampuan untuk
menerapkan pengetahuan gizinya dalam pemilihan maupun pengolahan pangan,
sehingga konsumsi pangan mencukupi kebutuhan (Nasoetion & Khomsan 1995).
Amelia (2008) menyatakan bahwa pengetahuan gizi merupakan
landasan penting untuk terjadi perubahan sikap dan perilaku gizi. Perilaku yang
didasari pengetahuan akan bertahan lebih lama, oleh sebab itu penting bagi
remaja untuk memperoleh bekal pengetahuan gizi dari berbagai sumber seperti
sekolah, media cetak, maupun media elektronik. Tingkat pengetahuan gizi
seseorang berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan
17
yang pada akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang
bersangkutan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang diharapkan
semakin baik pula keadaan gizinya (Irawati et al. 1992).
Pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan yaitu 1)
status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, 2)
setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu
menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal,
pemeliharaan dan energi dan 3) ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu
sehingga penduduknya dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi
kesejahteraan gizi (Harper et al. 1986)
Download