http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/03/02/10372718/Kesalahan.Ada.pada.Kapitalisme.Ersatz. PARADIGMA EKONOMI Kesalahan Ada pada Kapitalisme "Ersatz" | Erlangga Djumena | Jumat, 2 Maret 2012 | 10:37 WIB Shutterstock Ilustrasi kapitalisme Oleh SIMON SARAGIH ”Kesulitan ekonomi saat ini bukan bersifat sementara atau siklikal seperti biasa. Sederhananya, model ekonomi yang menghasilkan booming sepanjang periode 1980-an hingga 2008 telah ambruk. Besarnya skala ledakan ekonomi terlihat dari betapa sistem sudah tak lagi berfungsi di negara-negara maju. Saya mengatakan, krisis keuangan 2008-2009 merupakan buah dari krisis kapitalisme.” Demikian ucapan George Magnus, penasihat senior di UBS, bank raksasa Swiss, yang dikutip di majalah Time edisi 30 September 2011. ”Model ekonomi kita dan aturan yang menopangnya tidak menghasilkan pertumbuhan berkesinambungan.” Itulah salah satu topik besar yang muncul pasca-krisis ekonomi di Amerika Serikat tahun 2008, diikuti krisis Yunani mulai 2009 yang melebar menjadi krisis zona euro. Sebenarnya banyak upaya dilakukan untuk mengatasi krisis di AS dan Eropa, tetapi tetap tidak tampak optimisme untuk pemulihan ekonomi. Krisis diikuti lagi dengan berita-berita mengejutkan. Untuk pertama kali AS mengalami penurunan peringkat utang dari AAA menjadi AA oleh Standard & Poor’s. Ini diikuti penurunan serupa untuk Perancis, pertanda kekuatan ekonomi negara-negara markas kapitalisme sudah melemah dalam jangka panjang. Sementara itu, Asia dengan China di posisi terdepan terus berjaya secara ekonomi, bahkan menjadi pilar ekonomi dunia. Asia bahkan tidak terimbas terlalu besar akibat krisis AS dan Eropa. Asia kuat dengan ketersediaan cadangan devisa besar. Keadaan ini memunculkan gugatan pada kesahihan sistem kapitalisme dan memunculkan isu bahwa kapitalisme negara dengan China sebagai motor dianggap dapat menjadi model pembangunan ekonomi masa depan. Ini juga menjadi topik mengemuka dalam Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) di Davos, Swiss, Januari lalu. Apa kata ekonom kaliber dunia soal perdebatan ini? Kapitalisme dipakai untuk menjelaskan sistem ekonomi dengan modal yang dimiliki dan ditransaksikan swasta, bukan negara. Pemilik modal memutuskan sendiri penggunaan terbaik atas modal itu. Swasta, bukan negara, memanfaatkan ide-ide. Pengusaha visioner dan inovatif berkat pemikiran yang terus bertumbuh turut mengarahkan ekonomi. Kesuksesan penggunaan modal berarti perolehan laba dan, sebaliknya, kegagalan berarti kerugian. Korporasi berkembang hanya jika produknya dibeli konsumen dan korporasi lenyap dari peredaran jika sebaliknya yang terjadi. Itulah terminologi kapitalisme yang dipakai Edmund S Phelps, peraih Nobel Ekonomi dan profesor ekonomi di Columbia University (New York), dan Saifedean Ammous, asisten profesor di Lebanese American University. Terminologi itu mereka tulis dalam situs Project Syndicate, 31 Januari 2012. Phelps dan Ammous mengingatkan, sebenarnya fenomena yang terjadi di China mirip dengan korporatisme di Jerman di bawah Otto von Bismarck (kanselir periode 1871-1890). Banyak hal dikerahkan negara dan kepentingan individu berada di bawah kepentingan nasional secara ekonomi. Diingatkan, korporatisme atau penentuan program-program dan arah ekonomi yang dilakukan negara tak seindah di permukaan. Banyak sumber daya yang diboroskan dan banyak kalkulasi yang salah. Nilai ekonomi sumber daya yang hilang sia-sia bukan hanya tidak sedikit, melainkan juga luar biasa banyak. Hal senada dikatakan Joseph E Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001, saat diwawancarai stasiun televisi CNBC edisi 19 Januari 2010. Stiglitz mengatakan, mekanisme pasar tetap menjadi andalan. Kapitalisme semu Lalu apa yang salah? AS, kata Stiglitz, sebenarnya tidak memiliki sistem kapitalisme dalam arti sebenarnya. Di AS, kapitalisme tak dijalankan secara benar dan yang muncul adalah kapitalisme ersatz. Ini adalah julukan bagi sistem kapitalisme dengan kualitas yang buruk. Salah satu penekanan Stiglitz adalah kealpaan aturan main dalam ekonomi Barat selama 30 tahun terakhir yang di AS dikenal dengan istilah ”a small state”. Negara tak perlu banyak mengatur perekonomian. Pilihan ini yang dicanangkan sejak Ronald Reagan (Presiden AS periode 1980-1988) dan melahirkan ”kerajaan Wall Street”, penentu bahkan pendikte Gedung Putih. Kemudian muncul fenomena penipuan di sektor keuangan yang dikenal dengan istilah sub-prime mortgage crisis, keberadaan produk-produk derivatif dengan segala risiko besarnya. Melengkapi itu, Stiglitz memberikan contoh. Dalam 30 tahun terakhir bahkan terjadi fenomena para manajer korporasi keuangan yang berbuat salah dan merugikan bisa keluar dari perusahaan dengan menerima bonus besar tanpa mendapatkan sanksi. ”Dalam sistem kapitalisme lama abad ke-19, jika saya, misalnya, memiliki perusahaan dan berbuat salah, saya harus menanggung konsekuensinya,” kata Stiglitz. Dia mengingatkan, sistem kapitalisme tetap bertahan, tetapi sistem kapitalisme tanpa aturan. Itulah yang membuat celaka. Stiglitz menunjukkan bukti empiris, selama 50 tahun setelah krisis besar di AS, berbagai regulasi dibuat. Selama kurun waktu itu pula krisis hampir tidak terlihat. Sebaliknya, dalam 30 tahun terakhir, tercatat ada 100 kali krisis keuangan di tengah deregulasi. Rangkaian deregulasi ini membahana di sektor keuangan. Lebih buruk lagi, negara pun turut berbohong tentang tumpukan utang yang luar biasa besar, melebihi 60 persen dari produk domestik bruto. Disiplin anggaran yang membatasi besaran defisit anggaran maksimal 3 persen dari produk domestik bruto juga tidak diindahkan negara-negara markas kapitalisme. Ada penolakan terhadap regulasi dengan alasan hal itu menghambat inovasi. Stiglitz mengutip pernyataan mantan Gubernur Bank Sentral AS Paul Volcker. ”Sulit mencari bukti bahwa inovasi-inovasi di sektor keuangan telah meningkatkan produktivitas perekonomian. Sebaliknya, penciptaan produk-produk keuangan berisiko telah membuat industri keuangan meningkatkan risiko.” Kenneth Rogoff, profesor ekonomi dan kebijakan publik di Harvard University dan mantan ekonom senior di IMF, juga menulis dalam Project Syndicate edisi 1 Februari 2012. Dia mengingatkan, betapa aturan nihil dan korporasi terlalu liar, bahkan kebohongan telah banyak terjadi dalam perekonomian yang dijalankan sekarang. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/03/02/18095860/Faisal.Basri.Tinggal.4.Negara.yang.Masih.Bertahan. Krisis Eropa Faisal Basri: Tinggal 4 Negara yang Masih Bertahan Suhartono | Marcus Suprihadi | Jumat, 2 Maret 2012 | 18:09 WIB JAKARTA, KOMPAS.com- Pengamat ekonomi Universitas Indonesia Faisal Basri menilai, krisis ekonomi dan keuangan yang terjadi di Eropa sekarang ini adalah kelanjutan dari memudarnya zona mata uang euro di tangan negara-negara Eropa. Dari 20 negara di dunia terbesar dengan mata uang Euro-nya, kini hanya empat negara yang masih bertahan. Keempat negara itu adalah Jerman, Perancis, Spanyol, dan Italia. "Memudarnya zona mata uang Euro itu akan terus berlanjut, sehingga semakin tidak akan banyak lagi pengaruh signifikannya terhadap ekonomi dunia, apalagi ke Indonesia," tandas Faisal, Jumat (2/3/2012) di Jakarta. Meskipun tak ada lagi pengaruhnya, tambah Faisal, ekonomi kapitalisme akan selalu ada di semua negara, karena semua negara sudah mendasarkan dirinya pada ekonomi pasar untuk mendapatkan kapital. "Oleh sebab itu, semua negara kini menjadi negara yang kapitalis. Akibatnya, semua negara bakal mengalami gejolak ekonomi yang semakin sering terjadi, sehingga para pemimpin negara harus memikirkan bagaimana memiliki daya tahan terhadap gejolak ekonomi tersebut," lanjut Faisal, yang mencalonkan diri sebagai calon gubernur independen DKI Jakarta dari jalur independen. Menurut Faisal, daya tahan adalah bagaimana setiap negara dapat kuat menghadapi semua persoalan ekonomi dan perdagangan serta persoalan-persoalan lainnya. "Jadi, negara yang mengalami krisis bisa saja terempas, akan tetapi negara tersebut akan bisa cepat pulih kembali. Yang membuat sebuah negara survival adalah kemampuannya masing-masing untuk dapat kembali ke posisi semula," katanya. Akan tetapi, lanjut Faisal, kemampuan itu tergantung pada dua hal, yaitu kemampuan masyarakatnya untuk bisa tetap berlangsung. "Selain itu, juga kemampuan bangsanya untuk mengelola sumber daya suatu negara agar tidak mudah terpengaruh. Misalnya, impor crude palm oil (CPO). Jangan sampai CPO kita diimpor seluruhnya ke luar negeri," katanya. Sebab, lanjut Faisal, jika semua harus diimpor dan suatu saat Indonesia di-ban (dihentikan) oleh AS, misalnya, Indonesia bakal kelabakan. "Jadi, harus ada CPO yang dikelola sendiri seperti dibuat minyak atau margarin sehingga Indonesia tetap memiliki daya tahan atas sumber dayanya sendiri," katanya.