BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Menurut PMI (1996), proyek didefinisikan sebagai kegiatan yang bersifat unik dan dikerjakan dalam kurun waktu tertentu. Proyek bersifat unik karena setiap proyek yang dilakukan memiliki perbedaan dengan proyek-proyek lainnya. Suatu proyek juga memiliki awal dan akhir, jadi durasi sebuah proyek sudah ditentukan sebelumnya. Tujuan dari sebuah proyek harus memenuhi lima kriteria, yaitu spesifik, dapat diukur, dapat diterima, dapat direalisasikan dan dapat diperoleh dalam kurun waktu tertentu. Dalam pelaksanaannya sebuah proyek tidak bisa terlepas dari risiko. Untuk itu diperlukan adanya proses identifikasi dan analisis terhadap risiko proyek yang bertujuan untuk memaksimalkan efek positif kesempatan dan meminimalkan konsekuensi dari efek negatif yang biasa disebut manajemen risiko proyek (PMI, 1996). Manajemen risiko juga merupakan salah satu faktor penentu kesuksesan sebuah proyek. Dalam beberapa dekade terakhir, risiko pada sebuah proyek semakin meningkat yang disebabkan oleh semakin tingginya hal-hal yang sulit diprediksi (Öngel, 2009). Teori tradisional yang ada saat ini mengatakan bahwa semakin tinggi level kedewasaan suatu perusahaan dalam mengimplementasikan manajemen risiko proyek maka semakin tinggi pula nilai kinerja dari perusahaan tersebut (Elkington dan Smallman, 2002). Di sisi lain muncul pemahaman baru mengenai teori kontinjensi (Sisaye, 2005). Sisaye (2005) menyatakan bahwa menurut teori kontinjensi tidak terdapat sistem pengendalian yang secara universal xviii 2 selalu tepat untuk bisa diterapkan pada seluruh perusahaan pada setiap keadaan. Sistem pengendalian dipengaruhi oleh konteks operasi dan karenanya sistem perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan proyek. Sebagai contoh menurut teori kontinjensi proyek yang ruang lingkupnya kecil dan tidak membutuhkan sumber daya yang besar tidak memerlukan level kedewasaan manajemen risiko yang tinggi. Penyesuaian antara level kedewasaan penggunaan manajemen risiko proyek terhadap kondisi dari sebuah proyek perlu dilakukan mengingat adanya trade-off antara level implementasi manajemen risiko proyek dan besar biaya yang harus dikeluarkan. Barki et al. (2001) menyatakan bahwa semakin tinggi level implementasi manajemen risiko pada proyek maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan. Biaya tersebut termasuk biaya penggunaan sumber daya. Hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kinerja dari sebuah proyek. Pada studi empiris yang dilakukan sebelumnya (Wijaya, 2013) telah mengembangkan instrumen untuk mengukur level kedewasaan sebuah perusahaan dan hubungannya terhadap level kinerja perusahaan. Instrumen dikembangkan melalui literature review dari peneliti-peneliti sebelumnya dan telah melalui proses analisis faktor eksploratori atau Exploratory Factor Analysis (EFA). EFA dilakukan untuk mereduksi variabel. Namun perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk mebuat model lebih akurat dengan cara melakukan konfirmatori faktor analisis atau Confirmatory Factor Analysis (CFA). Tujuan CFA adalah untuk mengkonfirmasi secara statistic model yang telah dibangun pada EFA dipenelitian sebelumnya. Dari penelitian (Wijaya, 2013) didapatkan bahwa semakin tinggi level kedewasaan manajemen risiko proyek maka semakin tinggi kinerja perusahaan. Hasil dari penelitian tersebut menjadi pendukung dari teori tradisional Elkington dan Smallman (2002). Namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan memasukan variabel karakteristik proyek seperti yang disampaikan Sisaye (2008) mengenai teori konijensi, yaitu tidak ada sistem pengendalian yang berlaku secara universal maka perlu adanya penyesuaian antara level kedewasaan manajemen risiko proyek terhadap karakteristik proyek. Menurut Saputro dan Hartono (2013) 2 3 pemahaman tentang karakteristik dan kondisi proyek dapat tercermin dari kompleksitas proyek. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, pada penelitian ini perlu adanya pengujian lebih lanjut dengan menggunakan analisis faktor konfirmatori pada instrumen. Pengujian tersebut bertujuan untuk mengkonfirmasi instrumen yang telah dikembangkan sebelumnya untuk mengukur level kedewasaan manajemen risiko sebuah perusahaan pada penelitian sebelumnya. Hal tersebut dilakukan untuk menguji hipotesis variabel dari instrumen yang dikembangkan. Instrumen tersebut dapat menjadi acuan dan dapat mengarahkan suatu perusahaan dalam menentukan level manajemen risiko proyek tepat disesuaikan dengan kompleksitas proyek tersebut. 1.3 Batasan Masalah Agar masalah yang dibahas dalam penelitian ini lebih terfokus, maka masalah dalam penelitian ini dibatasi pada perusahaan yang berada di Indonesia yang menggunakan pendekatan manajemen proyek dalam bisnis intinya. Level kedewasaan manajemen risiko proyek antara level 3 dan 4 belum terwakili berdasarkan studi empiris yang dilakukan. 1.4 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan anatara level kedewasaan manajemen risiko proyek, kompleksitas proyek dan kinerja proyek perusahaan, secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. melakukan pengujian lanjut instrumen pengukuran level kedewasaan manajemen risiko, kompleksitas proyek, dan kinerja perusahaan, 2. memetakan kondisi level kedewasaan manajemen risiko proyek pada perusahaanperusahaan yang menggunakan pendekatan manajemen proyek dalam bisnis intinya, 3 4 3. menguji secara empiris hubungan level kedewasaan manajemen risiko proyek dan kompleksitas proyek dan kinerja perusahaan dari perspektif kontinjensi. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini dapat digunakan oleh kalangan praktisi proyek dalam menentukan level manajemen risiko proyek yang tepat disesuaikan dengan level kompleksitas proyek untuk mencapai kinerja perusahaan yang tinggi. Untuk kalangan akademis penelitian ini akan bermanfaat untuk menjadi pemahaman lebih lanjut mengenai kontinjensi model antara level kedewasaan manajemen risiko, kompleksitas proyek dan kinerja perusahaan. 4