Paper Title (use style: paper title) - e

advertisement
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam
Vo 1, No 1, Januari-Juni 2016
MENANGKAP PESAN-PESAN HUKUM DALAM AL-QUR’AN
(Alternatif dan Solutif Penggunaan Metode Tafsir Kontekstual Dalam
Menghadapi Kasus-Kasus Kontemporer)
Arsal
Fakultas Syariah IAIN Bukittinggi
e-mail: [email protected]
Diterima : 3 Maret 2016
Direvisi : 12 Mei 2016
Diterbitkan : 15 Juni 2016
Abstract
The process of decline in the Qur'an was over a few centuries ago, and now that there is in the form
of texts. As a last book, he serves as instructions and guidelines to organize human life and he did
not know the limits of space and time in spite of the decline in local- temporal , but its message is
universal and timeless. As a text, the Koran is an open corpus is of course an opportunity to reread,
reinterpreted, and understood its content with relevant methods and thus Quran can mersepon and
answered development of human life . Without degrading methods of interpretation set by previous
scholars, presumably the method needs to be enriched with new methods. Contextual interpretation
method is considered a new method, an alternative understanding the content of the Qur'an is right
to address problems of contemporary and contemporary.
Keywords: Method of contextual interpretation and contemporary case
Abstrak
Proses penurunan Al-Qur'an lebih dari beberapa abad yang lalu, dan sekarang sudah ada
dalam bentuk teks. Sebagai buku terakhir, al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk dan
pedoman untuk mengatur kehidupan manusia dan tidak dibatasi oleh ruang dan waktu
terlepas dari penurunan sementara lokal-, tapi pesannya adalah universal dan abadi.
Sebagai sebuah teks, Alquran adalah corpuses terbuka yang tentu saja memiliki
kesempatan untuk membaca ulang, ditafsirkan, dan dipahami isinya dengan metode
yang relevan dan dengan demikian Quran dapat merespon dan menjawab
perkembangan kehidupan manusia. Tanpa merendahkan metode penafsiran yang
ditetapkan oleh ulama sebelumnya, metodenya perlu diperkaya dengan metode baru.
Metode interpretasi kontekstual dianggap sebagai metode baru, alternatif yang tepat
dalam memahami isi Al-Qur'an untuk mengatasi masalah kontemporer dan tidak
kontemporer.
Kata kunci: Metode interpretasi kontekstual dan kasus kontemporer
PENDAHULUAN
Al-Qur’an1 dan Sunnah2 diyakini oleh
dari satu bagian ke bagian yang lain secara teratur.
Disebut al-Qur’an karena ia berisikan inti sari semua
kitabullah dan inti sari dari ilmu pengetahuan. Lebih
lanjut baca Mannaˈ Khlalil al-Qaththan, Mabâhits fi
Ulȗm Al-Qur’an, (Riyadh: Maktabah Maˈarif, 1981), h.
20. Adapun secara terminologi ditemukan beberapa
rumusan defenisi ulama, di antaranya menurut Abdul
Wahab Khalaf bahwa al-Qur’an sebagai firman Allah
umat Islam sebagai sumber dan dalil hukum
Secara etimologi al-Qur’an berasal dari kata
“qaraˋa, yaqraˋu, qiraˋatan, atau qurˋanan” yang berarti
mengumpulkan (al-jamˈu), dan dapat juga berarti
menghimpun (al-dhammu) huruf-huruf serta kata-kata
1
Arsal
1
Menangkap Pesan-Pesan Hukum .....
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam
Islam.
Al-Qur’an
Vo 1, No 1, Januari-Juni 2016
diposisikan
sebagai
mengantarkan keselamatan hidup manusia
sumber utama hukum Islam, sedangkan
dunia dan akhirat.3
Sunnah diposisikan sebagai sumber kedua.
Kompleksitas kandungan al-Qur’an
Kedua sumber hukum ini dijadikan sebagai
seperti
acuan
untuk
bahwa kitab ini seharusnya dijadikan pusat
tindakan
informasi dan sumber aspirasi bagi manusia
setiap
dalam menata berbagai aspek kehidupan
dan
standarisasi
menetapkankebolehan
hukum
yang
setiap
dilakukan
oleh
mukallaf.
Terkait
dengan
al-Qur’an
sebagai
disebut
mereka.
Selama
pedoman
dalam
di
atas
mencerminkan
al-Qur’an
setiap
aktifitas
sumber hukum, Muhammad Abu Syuhbah
dilakukan,
memaparkan
mengantarkan kepada kemashlahatan.
dalam
kitabnya
tentang
keistimewaan kalam Ilahi ini. al-Qur’an
katanya
berupa
kitab
petunjuk
maka
dijadikan
hasilnya
yang
akan
Sehubungan dengan itu studi tentang
yang
ayat-ayat
al-Qur’an
dalam
khazanah
berguna bagi kedamaian makhluk-Nya,
intelektual Islam menjadi objek kajian yang
seperangkat syari`at langit yang berisikan
tidak akan pernah berakhir sebagai upaya
tentang
dan
menemukan pesan ilahi. Setiap individu
muˈamalah. Syariˈat ini dipaketkan bersifat
muslim bertanggung jawab secara moral
universal
untuk menyegarkan kembali (refresh) kajian-
aqidah,
lagi
ibadah,
abadi
akhlak
yang
dapat
kajian
keislaman
yang
pernah
ada
sebelumnya, yang di pandang tidak relevan
dengan konteknya (situasi dan kondisi).
yang diturunkan melalui Roh al-Amin (Jibril) kepada
Nabi Muhammad SAW. dengan menggunakan
bahasa Arab, isinya terjamin kebenarannya, sebagai
hujjah kerasulannya, undang-undang bagi seluruh
manusia dan petunjuk dalam beribadah serta
dipandang ibadah dalam membacanya, yang
terhimpun dalam mushhaf yang dimulai dari surat alFatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas,
diriwayatkan kepada kita secara mutawatir.lebih
lanjut dapat dilihat Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul
Fiqh, (Jakarta: Dâr al-Manâr, 1973), h. 17.
2 Sunnah
menurut pengertian bahasa
(etimologi) berarti tradisi yang bisa dilakukan, atau
jalan yang dilalui, baik yang terpuji maupun yang
tercela. Sunnah juga berarti lawan bidˈah (mengadaada dalam urusan agama). Sunnah dapat juga berarti
jalan hidup (sirah). Dan dapat dikatakan Sunnah Nabi
berarti Jalan hidupnya, dan Sunnah Allah adalah
jalan/hukum Allah yang telah ditetapkan-Nya.
Selanjutnya baca Shahil Ibn Suˈud al-ˈAli, al-Tamassak
bi as-Sunnah wa Atsarihi fi Istiqamah al-Muslim, (Riyadh:
Majalah al-Buhuts al-Islamiyah,tt.), h/198. Adapun
Sunnah secara terminologi sama dengan al-Hadits,
yaitu ucapan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) dari
Nabi SAW. jumhur ulama cenderung menyamakan
kedua istilah itu. Namun demikian Ibn Taimiyah
membedakan kedua istilah.lebih lanjut baca Hasbi
Ash-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 20-31.
Arsal
Sebagai sebuah teks, al-Qur’an adalah
korpus terbuka yang sangat potensial untuk
menerima segala bentuk perubahan, baik
berupa
bacaan,
penafsiran,
penerjemahan,
sehingga
dan
pengambilannya
sebagai rujukan. Kehadiran teks al-Qur’an
di tengah umat Islam telah melahirkan
pusat pusaranwacana keislaman yang tak
pernah berhenti dan menjadi pusat inspirasi
bagi manusia untuk melakukan penafsiran
dan
pengembangan
makna
atas
ayat-
ayatnya.
4
Muhammad ibn Muhammad Abu Syuhbah,
al-Madkhâl li Dirâsati al-Qur’an al-Karîm, (Kairo:
Maktabah al-Sunnah, 1996), Cet. I, h. 10
4 Muhammad Shahrur, Prinsip Dan Dasar
Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer; judul asli: al-Kitab
wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, terj. Sahiron
Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri, (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2004), Cet. I, h. XVI
3
2
Menangkap Pesan-Pesan Hukum .....
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam
Umpama
dengan
Vo 1, No 1, Januari-Juni 2016
menawarkan
sedangkan
yang
kedua
adalah
metode tafsir kontekstual untuk antisipasi
terapannya (thatbiqiyah). Selain itu
dan kekhawatiran yang muncul dari pola
juga mendudukan al-Qur’an sebagai
penafsiran
tekstual
sentral moralitas. Sehubungan dengan
(literalis) yang mana pola ini cenderung
itu dapat dikatakan bahwa metode
mengabaikan
latarbelakang
tafsir kontekstual secara sebutannya
turunnya suatu ayat sebagai data sejarah
berkaitan erat dengan Hermeneutika,
yang penting. Tulisan ini berisikan paparan
yang merupakan salah satu metode
dan wawasan tentang corak tafsir al-
penafsiran teks yang berangkat dari
Qur’andengan
kajian
al-Qur’an
situasi
secara
dan
metode
pendekatan
bahasa,
selanjutnya
kajian
kontekstual yang menurut hemat penulis
historis, sosiologis, dan filosofis.5
sangat
memahami
Jadi apabila metode ini dipertemukan
kandungan ayat-ayat hukum dalam konteks
dengan kajian teks al-Qur’an, maka persolan
kekinian.
dari tema pokok yang dihadapi adalah
relevan
untuk
bagaimana teks ayat hadir ditengah-tengah
PEMBAHASAN
masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, dan
Memaknai Metode Tafsir Kontekstual
didialogkan
dalam rangka menghadapi
realitas sosial di era kekinian.6
Untuk menghindari kesalahpahaman
dikemukakan
Pada dasarnya Hermeneutik berkaitan
pengertian dan maksud dari penggunaan
erat dengan bahasayang diungkapkan baik
istilah
kontekstual
melalui pikiran, wacana, maupun tulisan.
setidaknya mengandung tiga pengertian
Dengan demikian Hermeneutik merupakan
dasar sebagai berikut:
cara baru untuk bergaul dengan bahasa.
terlebih
dahulu
ini.
1. Upaya
akan
Istilah
tafsir
pemaknaan
dalam
Keeratan
rangka
Hermeneutik
dengan
bahasa
mengantisipasi
persoalan-persoalan
membuat wilayah penafsirannya menjadi
kontemporer
yang
umumnya
sangat luas, terutama dalam kaitannya
mendesak untuk dijawab. Karena itu,
dengan ilmu humanistik, sejarah, hukum,
arti
agama ( termasuk kajian tafsir al-Qur’an),
kontekstual
identik
dengan
filsafat,
situasional atau kondisional.
seni,
linguistikdisiplin
2. Pemaknaan yang melihat keterkaitan
kesusastraan
ilmu
yang
dan
banyak
masa lalu, dan masa mendatang,
menggunakan hermeneutik adalah ilmu
dimana sesuatu akan dilihat dari
tafsir sebab semua karya yang mendapatkan
sudut makna historis terlebih dahulu,
inspirasi
selanjutnya makna fungsional pada
memerlukan interpretasi atau hermeneutik,
kondisikekinian,
dan
sehingga dapat dimengerti.7
makna
dianggap
yang
memprediksi
Ilahi,
misalnya
al-Qur’an
relevan
dikemudian hari.
3. Mendudukan antara yang ashliyah dan
Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al Qur`an
Kontemporer dalam pandangan Fazlur Rahman, ( Jambi :
Sulton Thaha Press, 2007 ), h. 58
6Ibid
7Ibid, h. 77
5
yang far`iyah, maksud dalam arti yang
pertama adalah teks al-Qur’an, dan
Arsal
3
Menangkap Pesan-Pesan Hukum .....
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam
Metode
Vo 1, No 1, Januari-Juni 2016
hermeneutik
dikembangkan
oleh
Ungkapan
yang
sama
juga
mufassir
dikemukakan oleh imam Zarqani dalam
kontemporer itu juga tidak seragam, namun
kitabnya memaparkan beberapa manfaat
sangat beragam. Keberagaman ini tentu saja
dari asbab al-nuzul ayat, di antaranya adalah
muncul
semakin
untuk membantu memahami ayat dan
terbukanya umat Islam terhadap gagasan-
menghilangkan kemusykilan yang mungkin
gagasan yang berasal dari luar, namun juga
timbul
adanya dinamika dan
terkandung
bukan
mereka
hanya
akan
para
yang
karena
kesadaran
pada
kekurangan-kekurangan
dan
mengetahui
dalam
hikmah
hukum
yang
yang
disyariatkan oleh agama. Hal ini sangat
metode yang ada.
bermanfaat, baik bagi orang Islam maupun
non
muslim.
Orang
beriman
akan
bertambah imannya dan bertambah kuat
Ciri Khas Metode Tafsir Kontekstual
Kehadiran metode tafsir kontekstual
keinginannya untuk melaksanakan hukum
adalah bermula dari ayat-ayat al-Qur’an
itu karena diketahuinya ada kemashlahatan
yang memiliki asbab al-nuzul (sebab-sebab
di dalamnya. Sedangkan bagi orang yang
turun ayat)
tidak
8
, terutama yang berkaitan
dan
belum
beriman,
akan
bisa
dengan fenomena sosial pada saat itu.
beriman jika ia tahu bahwa hukum Islam
Dalam
dimaksudkan
sejarah
studi
al-Qur’an
pernah
kata-katanya
saja
memelihara
kemashlahatan manusia.10
timbul kecenderungan menafsirkan hanya
berdasarkan
untuk
Mengikuti
(literal),
pendapat
ulama
yang
tanpa memperhatikan latarbelakang atau
berisikan tentang adanya asbab al-nuzul ayat
asbab al-nuzul, karena dianggap sebagai
dengan defenisi yang telah diformulasikan,
peristiwa masa lalu yang telah menjadi
seperti yang di telorkan oleh az-Zarqani ada
sejarah dan tidak ada gunanya lagi.
kesan bahwa ada ayat itu yang punya sebab
Mayoritas ulama menolak anggapan
turun dan ada pula ayat yang turun tanpa
ini, bahkan imam al-Wahidi salah seorang
ada sebab sama sekali. Konsekewensinya
tokoh yang konsen dan terlibat secara
adalah tentu akan sulit dipahami maksud
langsung
sekian banyak ayat yang tidak punya asbab
dengan
kajian
asbab al-nuzul
mungkin
al-nuzul dan hal seperti ini tentu saja tidak
mengetahui/memahami pesan-pesan moral
boleh terjadi. Karena itu Fazlur Rahman,
ayat al-Qur’antanpa mengetahui sejarahnya
seorang tokoh pendiri Neo Modernisme
dan penjelasan turunnya (asbab al-nuzul).9
Islam,
menyatakan
bahwa
tidak
mempunyai
padangan
lain
berhubungan dengan hal ini. Katanya asbab
al-nuzul yang pakai periwayatan itu adalah
Untuk memahami pengertian asbab annuzul dapat dibaca dari rumusan defenisi yang
dikemukakan oleh imam az-Zarqani sebagai berikut: “
Asbab al-Nuzul adalah sesuatu yang pada hari-hari
terjadinya suatu peristiwa turun satu ayat atau
beberapa ayat untuk membicarakannya atau
menjelaskan kedudukan hukumnya”. Lihat AzZarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, (Ttp: ‘Isa
al-Bab al-Halabi, tt), h. 106
9 Al-Wahidi,Asbab al-Nuzul, (Mesir: Mustafa
al-Bab al-Halabi, 1968), h. 4
8
Arsal
sebab mikro, yang dalam penafsiran alQur’an harus dibantu dengan sebab makro,
yaitu latarbelakang yang berupa situasi
historis masyarakat Arab ketika al-Qur’an
Keterangan lebih detail dan lengkap terkait
dengan hal ini dapatAz-Zarqani, Op.Cit, h. 109-114
10
4
Menangkap Pesan-Pesan Hukum .....
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam
diturunkan
kepada
Nabi
Vo 1, No 1, Januari-Juni 2016
Muhammad
saja, dan di mana saja. Ungkapan itu tentu
SAW.
tidak berlaku pada ayat-ayat akidah yang
11
tidak
Ide asbab al-nuzul(sebab turun ayat)
mengenal
batas-batas
tersebut.
Sehubungan dengan itu, sangat beralasan
makro (skala luas) ini sebenarnya sudah
bila
dikatakan
bahwa
pernah juga dilontarkan oleh salah seorang
kontekstual pada dasarnya adalah teknik
tokoh ushul fiqh bermazhabkan Maliki,
menafsirkan al-Qur’ansecara klasik dan
yakni imam asy-Syatibi (w. 1388 M) dengan
bahkan tertua seiring dengan turunnya
pernyataannya sebagai berikut:
ayat-ayat
al-Qur’anyang
metode
tafsir
memiliki
latar
belakang atau sebab-sebab turun (asbab al-
‫ومعىن معرفة السبب هو معىن معرفة مقتضى احلال‬
nuzul).
“Makna mengetahui sebab (asbab
Asbab al-nuzul merupakan tonggak
al-nuzul) adalah mengetahui situasi dan
utama
kondisi”12
Untuk
menghindari
peristiwa
relasinya
apakah
dapat disimpulkan bahwa semua ayat yang
ada
semuanya pakai sebab, dalam arti latar
tertentu,
pada
itu
saja,
dan
penafsiran al-Qur’an, baik sarjana Muslim
yang menuangkan penafsirannya dalam
sebuah karya tafsir atau tidak. Pada tahap
individu
ini, informasi mengenai metode penafsiran,
tertentu, dan di tempat tertentu, tetapi ada
pendekatan
kalanya berlaku sepanjang masa, pada siapa
hasilnya
serta
bisa
informasi
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin
Mohammad, edisi ke-1 (Bandung: Pustaka, 1984), h.
386
12 Asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul AsySyari’ah, (Kairo: Maktabah Rahmaniyah, tt), Juz. III,
h.347
11
Arsal
masa
para sarjana Muslim yang terlibat dalam
setting
Adakalanya setting sosial tersebut hanya
masa
dan
nilai sosial kemasyarakatan yang dihadapi
sosial yang melingkupi turunnya ayat.
pada
sebelumnya
dipilah-pilih dan dicocokkan dengan nilai-
bahwa
pemahaman ayat yang paling sempurna
berlaku
ada
sebelumnya,
Pada tahap berikutnya, informasi itu
Menyimak penjelasan di atas cukup
memperhatikan
sudah
zaman
menantang seraya tidak menggubrisnya.
lawan bicara (khitab) pertama al-Qur’an.
dengan
dengan
apakah menjadi lebih baik atau malah balik
historis sosial bangsa Arab yang merupakan
adalah
yang
perkembangannya setelah turunnya ayat,
belakang yang berupa situasi dan kondisi
dikatakan
kemasyarakatan
berkembang hingga masa itu atau hanya
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
apabila
sosial
istiadat, karakter masyarakat atau individu,
kontek
memahami ayat al-Qur’an. Pada dasarnya
beralasan
ia
ayat. Nilai-nilai sosial ini bisa berupa adat-
Syathibi perlu dijadikan pertimbangkan
dalam
Sebab
melatarbelakangi dan mengiringi turunnya
alasan tidak ada asbabnya, tentu pendapat
dipedomani
kontekstual.
merupakanrekaman ulang historis suatu
adanya
kevakuman untuk memahami ayat dengan
untuk
tafsir
dicocokkan
pertimbangan,
didapat.Lebih
ini
juga
dengan
dan
jauh
lagi,
dipilah-pilih
dan
nilai-nilai
sosial
kemasyarakatan yang ada saat ini seraya
tetap mempertimbangkan konteks sosial
kemasyarakatan pada saat turunnya ayat.
5
Menangkap Pesan-Pesan Hukum .....
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam
Vo 1, No 1, Januari-Juni 2016
historis telah dicontohkan dan dipraktekkan
Ada pendapat yang mengatakan
oleh Rasulullah SAW. Hal ini terlihat dalam
bahwa Fazlur Rahman (1919-1998) adalah
perintis
pertama
tafsir
salah satu riwayat berikut ini:
kontekstual.
Pendapat ini dinilai kurang tepat, yang
benar
adalah
ia
pakar
‫وأخرج البخاري ومسلم وابن أيب شيبة والنسائي وابن‬
yang
‫أيب حامت وابن حبان والبيهقي يف سننه وأبو الشيخ‬
‫وابن مردويه عن ابن مسعود قال كنا نغزو مع رسول‬
‫ فقلنا أال‬، ‫اهلل صلى اهلل عليه وسلم وليس معنا نساء‬
‫نستخصي؟ فنهانا رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم عن‬
mensosialisasikan metode ini, karena tafsir
kontekstual
dalam
pengertiannya
yang
sederhana, yaitu penafsiran yang senantiasa
mengacu pada setting sosial (muqtadha alhal)
saat
wahyu
turun
dan
penafsir
menafsirkannya hal ini sudah ada sejak
، ‫ ورخص لنا أن ننكح املرأة بالثوب إىل أجل‬، ‫ذلك‬
masa awal Islam. Rasulullah SAW adalah
.... ‫مث قرأ‬
sebagai penafsir pertama yang menerapkan
penafsiran model ini.
Bukhari dan Muslim, Ibn Abi Syaibah,
Nasa’i, Ibn Abi Hatim, Ibn Hibban, Baihaqi
dalam sunannya, Abu Syaikh, Ibn Mardaweh
dari Ibn Mas’ud; “Kami ikut ambil bagian
dalam peperangan bersama Rasulullah SAW
dan kami tidak membawa istri-istri kami.
Maka kami bertanya (kepada Nabi saw.),
“Haruskah kami mengibiri diri kami?” Nabi
SAW
melarang
kami
melakukan
(pengibirian) itu dan mengizinkan kami
menikahi seorang perempuan (secara
temporer) bahkan pun dengan hanya
memberinya
sehelai
pakaian (sebagai
13
mahar).
Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa
semua perilaku beliau, baik perbuatan(af`al),
perkataan(aqwal), maupun ketetapan (taqrir)
yang berkaitan dengan al-Qur’an termasuk
sebuah
reformis
tafsir.
Sebagai
terbaik
yang
seorang
setiap
tokoh
geraknya
mendapat tuntunan dari wahyu, beliau
sangat
peka
dan
mengetahui
karakter
individu-individu dan gejala-gejala sosial di
sekitarnya. Oleh sebab itu, beliau kadang
memberi dua solusi atau jawaban hukum
berbeda untuk satu pertanyaan atau satu
peristiwa tergantung kondisi penanya dan
Kemudian Nabi SAW membacakan ayat
sebagai berikut:
konteksnya.
‫وأخرج البخاري ومسلم وابن أبي شيبة والنسائي وابن أبي‬
‫حاتم وابن حبان والبيهقي في سننه وأبو الشيخ وابن‬
‫مردويه عن ابن مسعود قال كنا نغزو مع رسول هللا صلى‬
‫ فقلنا أال نستخصي؟ فنهانا‬، ‫هللا عليه وسلم وليس معنا نساء‬
‫ ورخص لنا أن‬، ‫رسول هللا صلى هللا عليه وسلم عن ذلك‬
.... ‫ ثم قرأ‬، ‫ننكح المرأة بالثوب إلى أجل‬
Cara Pakai Metode Tafsir Kontekstual
Seperti terungkap di atas, bahwa
metode
tafsir
kontekstual
sebenarnya
bukanlah metode baru melainkan sebuah
metode klasik yang sudah ada semenjak
Bukhari dan Muslim, Ibn Abi Syaibah,
Nasa’i, Ibn Abi Hatim, Ibn Hibban, Baihaqi
dalam sunannya, Abu Syaikh, Ibn Mardaweh
dari Ibn Mas’ud; “Kami ikut ambil bagian
awal Islam, hanya saja penyebutan metode
ini belum populer dan tidak diperkenalkan
oleh shahabat dan tabi`in, namun apa yang
dipraktekkan
sudah
memperlihatkan
metode
tersebut.Berkaitan
dengan
jelas
dengan
penafsiran
Arsal
kontekstual
Abdurrahman bin Abi Bakar Jalaluddin alSuyuthi, al-Dar al-Mantsur, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.),
Juz. III, h. 140
13
secara
6
Menangkap Pesan-Pesan Hukum .....
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam
Vo 1, No 1, Januari-Juni 2016
dalam peperangan bersama Rasulullah SAW
dan kami tidak membawa istri-istri kami.
Maka kami bertanya (kepada Nabi saw.),
“Haruskah kami mengibiri diri kami?” Nabi
SAW
melarang
kami
melakukan
(pengibirian) itu dan mengizinkan kami
menikahi seorang perempuan (secara
temporer) bahkan pun dengan hanya
memberinya
sehelai
pakaian (sebagai
14
mahar). Kemudian Nabi SAW membacakan
ayat sebagai berikut:
pendeta atau pastor dalam agama Nashrani
 



  









 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
pengibirian dan pernikahan dalam situasi
kamu haramkan apa-apa yang baik yang
1. Hadits dan beberapa riwayat asbab al-
yang mana mereka mengharamkan kepada
diri mereka wanita, makanan yang lezat dan
minuman
yang
tidak
ada
Menurut pemahaman penulis hadits
ini
merupakan
kontekstual
bentuk
yang
penafsiran
diperlihatkan
oleh
Rasulullah SAW atas ayat 87 surat alMaidah
untuk
memecahkan
kasus
peperangan.
Mencermati
kontekstual
model
yang
penafsiran
diperlihatkan
oleh
Rasulullah SAW, ada beberapa hal penting
yang perlu dipahami sebagai berikut:
nuzulyang
janganlah
tokoh/pakar
melampaui
dan
kaitannya dengan kondisi perang.15
telah Allah halalkan bagi kamu, dan
kamu
enak
batas.
dinukil
oleh
beberapa
tafsirklasik
dan
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
kontemporer, dapat dikatakan bahwa
orang
substansi penafsiran kontekstual Nabi
yang
melampaui
batas.(Q.S.al-
SAW masih berkaitan dengan substansi
Maidah:87)
asbab al-Nuzul (sebab-sebab turun ayat)
Konteks hadits di atas secara jelas
yaitu penyaluran kebutuhan seksual
informasinya berhubungan dengan suasana
yang halal dan tidak mengganggu
peperangan. Sementara menurut Abu Ja`far
ibadah yang berupa jihad.
al-Thabari (w. 310 H) dalam kitabnya Jami`
al-Bayan
menyebutkan
bahwa
2. Rasulullah
beberapa
SAW
kondisi
memperhatikan
psiko-sosiologis
(aspek
riwayat yang menyebutkan tentang asbab al-
kejiwaan dan sosial) sebagian umatnya
nuzul berlaku secara umum, dalam arti
dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.
larangan untuk meninggalkan sesuatu yang
3. Penafsiran kontekstual sudah ada sejak
baik-baik dan yang dihalalkan oleh Allah
masa
SWT
perbedaan
seperti
kebutuhan
makan,
seksual
minum,
dsb.
yang
pakaian,
berupa
Rasulullah
sikap
memberikan
kenikmatan duniawi dengan asalan ingin
sebuah
SAW,disamping
beliau
keputusan
persoalan
dalam
terhadap
dengan
dua
fokus untuk beribadah kepada-Nya sama
halnya dengan yang praktekkan oleh para
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir
bin Ghalib al-Amali Abu Ja`far al-Thabari, Jami` alBayan fi Takwil al-Qur’an, (Beirut: Muassasah alRisalah, 1420 H/2000 M), Juz. III, h. 513
15
Abdurrahman bin Abi Bakar Jalaluddin alSuyuthi, al-Dar al-Mantsur, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.),
Juz. III, h. 140
14
Arsal
7
Menangkap Pesan-Pesan Hukum .....
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam
pemecahan
yang
Vo 1, No 1, Januari-Juni 2016
menunjukkan
mulia.Kalian
fleksibilitas hukum Islam.
Pola
penafsiran
tetap
memeluk
Islam
atautidak, maka tidak ada penghalang apa
yang
sama
juga
pun
antara
kami
dan
kalian
kecuali
diperlihatkan oleh shahabat Abu Bakar al-
pedang.” Para sarjana fikih mazhhab Hanafi
Shidiq setelah wafatnya baginda Rasul
memberikan
SAW. Salah satu contoh, tergambar ketika
Menurut mereka, saham zakat muallaf tidak
ia menafsirkan ayat 60 surat al-Taubah,
16
berlaku lagi setelah Rasulullah SAW. wafat
yaitu tentang pembagian zakat kepada para
yang salah satu alasannya karena ‘illat
mu`allaf(orang yang dibujuk hatinya masuk
hukumnya sudah tiada, yaitu memuliakan
Islam). Pada zaman Rasulullah SAW mereka
agama dan kebutuhan kepada mereka pada
mendapatkan bahagian dari hartazakat,
masa awal Islam ketika kondisi umat Islam
tetapi
enggan
lemah. Ketika agama Islam telah kuat dan
memberikan bahagian untuk mereka. Secara
mulia, maka kebutuhan itu pun tidak ada
zahir
lagi.18
Abu
nash
Bakar
ayat
al-Shiddiq
60
surat
al-Taubah
argumentasi
lebih
lugas.
menyebut mereka sebagai salah satu dari
Pada kasus lain, Umar ibn al-Khathab
delapan al-ashnaf penerima zakat. Ia enggan
membuat beberapa keputusan yang secara
memberi
lahir
zakat
kepada
Abu
Sufyan,
tampak
bertentangan
dengan
al-
Uyaynah, al-Aqra’, dan Abbas ibn Murdash.
Qur’an dan sunnah. Di antara kebijakan itu
Hal yang sama juga diperaktekkan oleh
adalah:
khalifah Umar ibn al-Khathab.17
1. Ia menangguhkan hukuman potong
tangan
Pembekuan pemberian zakat kepada
bagi
pencuri
selama
masa
kelaparan (panceklik)
muallaf didasari oleh pertimbangan atau
2. Dia juga memberlakukan talak tiga
alasan. Alasan tersebut terungkap dalam
yang
pernyataan Abu Bakar yang dihadapkan
pertimbangan karena disalahgunakan
kepada
oleh
mereka;“Sesungguhnya
Rasulullah
diucapkan
sekaligus
orang-orang
Arab
(dengan
setelah
SAW memberi kalian (zakat) agar kalian senang
penaklukan Syiria, Mesir, dan Persia)
terhadap Islam”.Adapun sekarang Allah telah
3. Dia menerapkan kebijakan `Usyur19bagi
menjadikan
agama-Nya
agung
dan
pedagang non muslim jika mereka
masuk ke negara Islam sama halnya
dengan pedangang muslim yang datng
16 Firman Allah dalam surat al-Taubah ayat
60 berbunyi sebagai berikut:









17 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an
al-Hakim, populer disebut Tafsir al-Manar, (Mesir: alHai’ah al-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1990), Juz.
X, h. 427- 429 dan Ali Muhammad al-Salabi, Umar bin
Khathab His Life and Times (Beirut: International
Publishing Hous, 1999), h.56
Arsal
ke
wilayah
lawan,
dengan
pertimbangan keadilan. Hal ini di masa
Ibid
`Usyur adalah pajak yang dikenakan atas
barang-barang dagangan yang masuk ke negara
Islam, atau datang dari negera Islam itu sendiri.
Peraturan ini telah ada semenjak zaman sebelum
islam, yaitu yang diterapkan oleh orang-orang
Yunani.
18
19
8
Menangkap Pesan-Pesan Hukum .....
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam
Vo 1, No 1, Januari-Juni 2016
Rasulullah SAW dan Abu Bakar belum
masa paceklik tersebut. Faktor kondisi
diberlakukan.
psiko-sosiologis
20
4. Dia
tidak
mendistribusikan
masyarakat
dan
tanah
kemaslahatan saat itu yang mendorongnya
rampasan perang kepada tentara Islam
bersikap demikian. Ia tidak berpatokan
dengan pertimbangan keuangan negara
pada
dan
mengutamakan kemaslahatan sehingga ia
jumlah
meskipun
kemiskinan
al-Qur’an
miningkat,
dan
sunnah
makna
lahir
ayat,
tetapi
lebih
perlu mengkontekstualisasikan kandungan
mengizinkannya.
ayat tersebut.
Hemat penulis, kebijakan hukum dan
Secara lahiriah, beberapa keputusan
Negara yang dipraktekkan Umar ibn al-
Umar ibn al-Khathab tersebut bertentangan
Khathab di atas sejalan dengan pendapat
dengan al-Qur’an. Penangguhan hukum
Najm al-Din al-Tufi (657-716 H), seorang
potong tangan bagi pencuri, misalnya,
sarjana fikih dari madzhab Hanbali, dalam
bertentangan dengan penjelasan ayat 38
Risalah fī Ri’ayah al-Maslahah bahwa jika
surat
sebuah teks (nash al-Qur’an dan Hadits)
al-Maidah
memerintahkan
21
yang
sanksi
dengan
hukum
tegas
potong
dan
konsensus
ulama
(ijma`
ulama)
tangan bagi pencuri. Selain itu, sebagaimana
bertentangan dengan kemaslahatan, maka
dinukil oleh imam al-Tabari (224-310 H)
wajib
dalam kitabnya, bahwa Umar dengan tegas
daripada teks dan konsensus dengan cara
pernah berkata;22
takhshish dan bayan terhadap keduanya,
mengutamakan
bukan
ُّ
،‫السَّراق‬
‫وكان عمر بن اخلطاب‬
ُّ ‫"اشتدوا على‬:‫يقول‬
‫ ورجال رجال‬،‫يدا‬
ً ‫يدا‬
ً ‫فاقطعوهم‬
dengan
membatalkan
cara
kemaslahatan
mengada-ada
keduanya
dan
sebagaimana
pengutamaan sunnah atas al-Qur’an dengan
cara bayan.
Perlakukanlah para pencuri dengan tegas;
potonglah tangan demi tangan dan kaki demi
kaki.
Oleh sebab itu, sikap Umar ibn alKhathab tersebut bisa dikategorikan sebagai
penafsiran
kontekstualnya
terhadap
al-
Qur’an. Sebab mustahil rasanya tokoh Islam
Pernyataannya ini berbeda dengan
setingkatUmar
sikapnya dalam menangani pencuri pada
ibn
al-Khathab
tidak
mengetahui adanya perintah potong tangan
bagi pencuri. Dengan kata lain,kebijakan
20 Abbas Mahmud Aqqad, Keagungan Umar
bin Khathab, (Solo: Pustaka Mantiq, 1992), h.46
21 Firman Allah dalam Q.S. al-Maidah: 38





laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.
22 Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir
bin Ghalib al-Amali Abu Ja`far al-Thabari, Op.Cit, Juz.
X, h. 298
Arsal
yang lebih mengutamakan kemaslahatan
daripada teks menunjukkan adanya upaya
dan
pertimbangan
setelah
melakukan
penafsiran terhadap ayat- ayat al-Qur’an.
Pemaparan bukti-bukti penafsiran
kontekstual oleh Nabi SAW, shahabat pada
awal Islam di atas kurang sempurna bila
belum
dilengkapi
dengan
pemaparan
penafsiran kontekstual para sarjana tafsir
generasi setelah mereka. Dalam hal ini,
9
Menangkap Pesan-Pesan Hukum .....
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam
Vo 1, No 1, Januari-Juni 2016
penafsiran kontekstual al-Tabari (224-310 H)
perkataan baik adalah milik orang yang
dan Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935
baik. Ini adalah penafsiran Ibn Abbas,
M) juga perlu dielaborasi. Tokoh pertama
Mujahid,
dikenal sebagai sarjana tafsir ulung klasik
Qatadah, dan Ata`. Penafsiran kedua, para
dengan karya tafsirnyaJami` al-Bayan ‘an
wanita jelek adalah milik para laki-laki jelek
Ta`wil Ayi al-Qur’an diakui secara luas
dan para wanita baik adalah milik para laki-
sebagai induk dan rujukan utama tafsir bi al-
laki yang baik. Ini adalah penafsiran Ibn
ma`tsur/al-riwayah/al-manqul dan mewakili
Zayd.24
tafsir-tafsir klasik lainnya. Begitu pula
al-Dahak,
Al-Tabari
Sa`id
(224-310
H)
memilih
pendapat
tafsir
yang
bahwa ayat-ayat sebelumnya mencela kaum
berpengaruh besar dalam pemikiran Islam
munafik yang berbicara kotor dan menuduh
dewasa ini dengan karya tafsirnya Tafsir al-
`Aisyah, dan ayat ini sebagai penutup
Qur’an al-Hakim, populer disebut Tafsir al-
tentang orang-orang jelek yang berbicara
Manarsebuah karya tafsir yang bercorak al-
kotor itu. Argumentasinya menunjukkan ia
Adabi wa al-Ijtima`imendapatkan penilaian
memperhatikan asbab al-nuzul ayat ini dan
yang luar biasa dan hemat penulis kitab ini
hubungannya
cukup mewakili penafsiran kontemporer.
sebelumnya.
/kontemporer
Abu Ja`far/al-Thabari (224-310 H)
dengan
Jubayr,
dengan tokoh kedua dikenal sebagai sarjana
modern
pertama
ibn
argumentasi
dengan
Dengan
ayat-ayat
kata
lain,
ia
menafsirkannya sesuai konteks turunnya
mempunyai penafsiran kontekstual seperti
ayat tersebut.25
dalam penafsirannya terhadap ayat 26 surat
Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935
al-Nur tentang makna ( ‫) الخبيثات‬dan( ‫الطيبات‬
M)
).23Sebelum mengemukakan pendapatnya, ia
menarik tentang konsep ahl al-Kitab seperti
mengutarakan
tertera dalam ayat 5 surat al-Ma`idah.
dua
bentuk
penafsiran
shahabat dan tabi`in yang berbeda tentang
mempunyai
penafsiran
kontekstual
Penafsiran Ridha sebagai berikut:
makna dua kata ini. Penafsiran pertama,
perkataan-perkataan
kaum
laki-laki
jelek
jelek
adalah
dan
ِ َّ‫والظ‬
َّ ‫اه ُر أ‬
‫َن الْ ُق ْرآ َن ذَ َكَر ِم ْن أ َْه ِل الْ ِملَ ِل الْ َق ِدميَِة‬
َ
ِ
ِ
ِ َّ
‫اع‬
َ َ‫ني َوأَتْ ب‬
َ ِّ‫ َوََلْ يَ ْذ ُك ِر الْبَ َراِهَةَ َوالْبُوذي‬،‫وس‬
َ ‫الصابِئ‬
َ ‫ني َوالْ َم ُج‬
ِ
ِ َّ ‫َن‬
َّ ‫وس ; ِِل‬
‫ني‬
َ ‫وس َكانُوا َم ْع ُروف‬
َ ‫الصابِئ‬
َ ‫ني َوالْ َم ُج‬
َ ُ‫ُكونْ ُفو ْشي‬
ِ َّ ِ
ِ
ِ
ِ ‫وطبوا بِالْ ُقر‬
‫آن أ ََّوًال ; لِ ُم َج َاوَرِِتِ ْم‬
ُ ‫ين ُخ‬
ْ
َ ‫عْن َد الْ َعَرب الذ‬
‫ َوََلْ يَ ُكونُوا يَ ْر َحلُو َن إِ َىل ا َْلِْن ِد‬،‫ََلُ ْم ِيف الْعَِر ِاق َوالْبَ ْحَريْ ِن‬
ِ
ِ ِّ ‫ان و‬
‫ود ِم َن ْاْليَِة‬
ُ‫ص‬
ُ ‫ َوالْ َم ْق‬،‫ين‬
َ َ‫َوالْيَاب‬
َ ‫الصني فَيَ ْع ِرفُوا ْاْل َخ ِر‬
ِِ ِ
ِ
ِ ِ ِ
َ‫اجة‬
َ ‫ فَ َال َح‬،‫َحاص ٌل بذ ْك ِر َم ْن ذُكَر م َن الْملَ ِل الْ َم ْع ُروفَة‬
ِ ِ ‫اْل ْغر‬
ِ ِ
‫ص ِر‬
ْ ‫اب بِذ ْك ِر َم ْن َال يَ ْع ِرفُهُ الْ ُم َخاطَبُو َن ِيف َع‬
َ ْ ‫إ َىل‬
milik
perkataan-
23 Firman Allah dalam surat al-Nur ayat 26:








Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki
yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanitawanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik
dan laki- laki yang baik adalah untuk wanitawanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh)
itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka
(yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan
rezki yang mulia (surga).
Arsal
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir
bin Ghalib al-Amali Abu Ja`far al-Thabari, Op.Cit, Juz.
XIX, h. 143
25Ibid, h. 144
24
10
Menangkap Pesan-Pesan Hukum .....
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam
‫ََيْ َفى َعلَى‬
‫ني الْبَ َر ِاِهَِة‬
َ ْ َ‫ب‬
Vo 1, No 1, Januari-Juni 2016
ِ
ِ
‫ َوَال‬،‫ُخَرى‬
ْ ‫التَّنَ ُّزِل م ْن أ َْه ِل الْملَ ِل ْاِل‬
ِ
ِ ‫َن اهلل ي ْف‬
‫ص ُل‬
َ ‫ني بَ ْع َد ذَل‬
َ ِ‫الْ ُم َخاطَب‬
َ َ َّ ‫ك أ‬
ِ
ِ
.‫ضا‬
ً ْ‫ني َو َغ ِْْيه ْم أَي‬
َ ِّ‫َوالْبُوذي‬
memerlukan pemahaman dan wawasan
mendalam untuk menafsirkannya seperti
konsep ahlal-kitab, sehingga seorang penafsir
tidak terjebak dalam sisi-sisi lokalitastemporalnya dan berusaha mengungkapkan
maksud
Secara tekstual (zhahir) ayat al-Qur’an
menyebut para penganut agama-agama
terdahulu, kaum Sabi’in dan Majusi, dan
tidak menyebut kaum Brahma (Hindu),
Budha, dan para pengikut Konfusius karena
kaum Sabi’in dan Majusi dikenal oleh bangsa
Arab yang menjadi sasaran awal lawan
bicara (khitab) al-Qur’an, karena kaum
Sabi’in dan Majusi itu berada berdekatan
dengan mereka di Irak dan Bahrain. Tujuan
ayat suci telah tercapai dengan menyebutkan
agama-agama yang dikenal (oleh bangsa
Arab), sehingga tidak perlu membuat
keterangan yang terasa asing dengan
menyebut golongan yang tidak dikenal oleh
orang yang menjadi alamat pembicaraan itu
di masa turunnya al-Qur’an, berupa
penganut agama-agama yang lain. Setelah itu
tidak diragukan lagi bagi mereka (orang
Arab) yang menjadi alamat pembicaraan
(wahyu) itu bahwa Allah juga akan membuat
keputusan perkara antara kaum Brahma,
Budha, dan lain-lain.26.
kandungan
internal
dan
eksternalnya sesuai dengan konteks di mana
ia
diturunkan
merespons
dan
tuntutan
ditafsirkan
kehidupan
guna
aktual
manusia.
Beberapa pola penafsiran ayat yang
dilakukan oleh shahabat, tabi`in dan ulama
setelahnya memperlihatkan kepada umat
Islam, khusus bagi pemerhati hukum Islam
untuk tidak mengabaikan metode tafsir
kontekstual itu dalam upaya menangkap
pesan-pesan
hukum
dan
sekaligus
menghindari kevakuman hukum dan kesankesan bahwa sesuatu yang tidak sama
dengan teks ayat dianggap bertentangan
dan melanggar ketentuan ayat. Hal ini
semakin mendesak di era modern ini yang
kehidupan manusia jauh telah diwarnai
oleh
kemajuan ilmu pengetahuan
dan
teknologi yang tentu saja berimbas kepada
pola dan tatanan kehidupan itu sendiri yang
Statemen Muhammad Rasyid Ridha
sudah dapat dipastikan terdapat perbedaan
(1865-1935 M) ini merupakan penafsiran
kondisi sosial dimasa-masa turunnya ayat-
kontekstualnya terhadap konsep ahlal-Kitab
ayat al-Qur’an.
yang selama ini mayoritas sarjana Sunni
Dalam
konteks
Indonesia
membatasinya hanya pada Yahudi dan
umpamanya, beberapa persoalan hukum
Kristen. Menurutnya, konsep ahlal-Kitab
Islam
juga mencakup Hindu, Budha, dan para
perhatian khusus, terutama menafsirkan
pengikut
saat
ayat-ayat hukum dengan mengedepankan
turunnya al-Qur’an orang Arab belum
metode kontekstual dan bukan dengan
mengenal agama-agama tersebut sehingga
semata-mata mempedomani literal semata.
tidak perlu menyebutnya. Secara tidak
Di antara kasus-kasus yang dapat dijawab
langsung, ia mengakui adanya sisi-sisi
dengan menggunakan tafsir kontekstual
lokalitas-temporal
adalah sebagai berikut:
26
Konfusius
karena
pada
al-Qur’an
yang
seharusnya
mendapat
Pertama, kasus hukum perkawinan
Muhammad Rasyid Ridha, Op.Cit, Juz. VI,
antara wanita muslimah dengan laki-laki
h. 156
Arsal
sudah
11
Menangkap Pesan-Pesan Hukum .....
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam
Vo 1, No 1, Januari-Juni 2016
non muslim di Indonesia. Hemat penulis
menikah
hampir-hampir kasus seperti ini sulit untuk
Mengikuti pendapat Muhammad Rasyid
dibendung dan dicegah dalam pergumulan
Ridha
kehidupan heterogen/kemajemukan, baik
metode tafsir kontekstual untuk memahami
suku, ras, budaya dan agama. bila merujuk
konsep ahl al-kitab menurut al-Qur’an,
ke dalam al-Qur’an ada dijumpai ayat yang
agaknya sangat beralasan jika dikatakan
memberikan peluang untuk menikah antara
bahwa agama-agama yang berkembang di
laki-laki muslim dengan wanita kitabiyah
Indonesia ini dapat diposisikan kepada
seperti tertera pada ayat berikut:
kelompok ahl al-kitab yang tentu saja boleh
peluang
Arsal
bagi
nash
laki-laki
yang
memperkenalkan
Sebaliknya ayat tidak ada memberikan
keterangan
(maskutu
`anhu)
bagaimana
kalau perkawinan itu dilangsungkan oleh
wanita muslimah dengan laki-laki non
muslim.
Secara
pendekatakan
tafsir
kontekstual menurut hemat penulis akan
dapat diberikan jawaban hukumnya. Untuk
tahap awal harus dipahami terlebih dahulu
kenapa
ayat
selalu
mengarahkan
khithabnya (titahnya)kepada kaum lak-laki,
hal ini tentu saja konteks ketika turun ayat
dominasi dan hak muthlak mereka laki-laki
untuk memulai suatu perkawinan dan
memutuskannya
sangat
terlihat
dalam
kehidupan ketika itu, dan sebaliknya kaum
perempuan hampir tidak punya hak dan
peluang untuk melakukan hal yang sama.
Jadi sangat beralasan kalau khithab (titah)
ditujukan kepada mereka.
Kondisi hari ini tentu bicara lain,
artinya kontek kekinian tidak sama dengan
apa yang terjadi pada masa lalu, kaum
perempuan hari ini telah memperlihatkan
hal yang sama dengan apa yang dilakukan
Hampir mayoritas ulama yang tergabung
dalam istilah jumhur ulama mengemukakan pendapat
yang sama, yakni menetapkan hukum mubah bagi
laki-laki muslim menikah dengan wanita kitabiyah
dengan menggunakan beberapa metode, seperti
metode `Aam al-Mukhashash, metode nasakh, dan
metode istitsna’.
27
memberikan
muslim
atas
27
dengan wanita-wanita non muslim.
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baikbaik. makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina
dan tidak (pula) menjadikannya gundikgundik. Barangsiapa yang kafir sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di
hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.
zhahir
di
ahl al-kitab.
laki-laki muslim di Indonesia menikah


















Secara
dengan wanita
untuk
12
Menangkap Pesan-Pesan Hukum .....
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam
Vo 1, No 1, Januari-Juni 2016
oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan hari
yang sharih melarang kasus ini. Pada
ini punya kesempatan untuk menentukan
umumnya nash yang berhubungan dengan
dan memulai sebuah perkawinan dan juga
pernikahan berisikan larangan-larangan dan
mereka punya peluang secara hukum untuk
selama tidak ada larangan tentu saja kasus
memulai memutuskan/membatalkan sebuah
ini hukumnya dibolehkan. (4). Perempuan
perkawinan
dengan
sama dengan laki-laki kedudukannya dalam
menggunakan metode tafsir kontekstual
menerima taklif Allah kecuali jika ada dalil-
amat beralasan jika ditetapkan kepada
dalil khusus yang berlaku bagi masing-
mereka hukum yang sama dengan yang
masing. (5). Metode ushul fiqh ilgha al-Fariq
ditetapkan kepada laki-laki, selama sesuai
dapat
dengan kriteria dalam ayat.
untuk menetapkan kasus ini.
itu.
Karena
itu,
Untuk memperkuat pendapat semua
dalil dan argumentasi sebagai berikut: (1).
kata al-kawafir yang terdapat dalam surat alMumtahanah ayat 10 tertuju kepada kafir
dan
tidak
termasuk
pertimbangan
hukum
Kedua, dalam kasus kesaksian dalam
muamalah (perdata), menurut informasi
ayat ketentuannya adalah 2 (dua) orang
laki-laki atau 1 orang laki-laki dan 2 (dua)
orang perempuan (Q.S. al-Baqarah: 282).
Muncul pertanyaan kenapa dibedakan
jumlah saksi antara laki-laki saja dengan
melibatkan perempuan, terkesan laki-laki
lebih
diunggulkan
dibandingkan
perempuan dalam kasus kesaksian. Untuk
menghindari kesalahan dalam memahami
kandungan ayat, maka diperjelas oleh salah
seorang ulama tafsir bernama Muhammad
al-Jaziri sebagai berikut:
itu tentu saja dapat dikemukakan beberapa
musyrik
dijadikan
dalam
pengertian ayat kafir ahl al-kitabbegitulah
penafsiran mayoritas shahabat dan tabi`in.
Ayat ini dijadikan dalil oleh pihak yang
menetapkan hukum haram perkawinan
jenis ini. 28 (2). Hadits Jabir yang dijadikan
ulama sebagai dalil untuk menetapkan
haramnya wanita muslimah dinikahkan
‫فإن َل يكونا رجلني فرجل وامرأتان ممن ترضون‬
‫شهادِتم لدينهم وعدالتهم وإمنا جعل الشرع املرأتني‬
‫مبنزلة رجل واحد خوف أن ختطئ إحداِها فتذكرها‬
‫الثانية لقلة ضبط النساء لألمور املالية وقلة عنايتهن‬
dengan laki-laki ahl al-kitab, ternyata tidak
kuat untuk dijadikan hujjah untuk kasusu
ini sebab mata rantai sanadnya bermasalah
(dhaif). 29 (3). Pernikahan termasuk aspek
muamalah yang hukum ashalnya adalah
boleh (al-ibahah)30 berhubung tidak ada nash
‫مبثل ذلك ِلن املرأة جبلت على االشتغال باملنزل‬
‫والبيئة املنزلية وتربية اِلوالد فكان تذكرها للمعامالت‬
‫قليال وهذا حكم غالىب واِلحكام الشرعية تنظر‬
Abu Qashim Muhammad ibn Amr ibn
Ahmad al-Zamakhasyri, al-Kasysyaf ˈAn Haqaiqi
Ghawamidhi al-Tanzîl, (Beirut: Dar al-kitâb al-ˈArabi,
1407), Juz. IV, h. 517 dan Muhammad ibn Ahmad ibn
Abi Bakar ibn Farah al-Qurthubi, Op.Cit, Juz. XVIII, h.
66-67
29 Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir
ibn Ghalib al-Amaly, Abu Jaˈfar al-Thabari, Op.Cit,
Juz. III, h. 716
30 Abu Muhammad Shalih ibn Muhammad
ibn Hasan Ali Umair al-Asmari al-Qahthani, Majmuˈ
al-Fawâid al-Bahiyah ˈAla Manzhȗmah al-Qawâˈid alFiqhiyah, (Saudi Arabia: Dâr al-Shamiˈi li al-Nasyr wa
Tauziˈ, 1420 H/2000 M), Juz. I, h. 75
28
Arsal
.‫للمجموع‬
Seandainya tidak ada dua orang laki-laki
(menjadi saksi), maka boleh gantinya satu
orang laki-laki dan dua orang perempuan
yang kamu senangi mereka menjadi saksi
karena pertimbangan agama mereka dan
13
Menangkap Pesan-Pesan Hukum .....
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam
Vo 1, No 1, Januari-Juni 2016
keadilan mereka. Sesungguhnya agama
memposisikan mereka dua orang sebanding
dengan satu orang laki-laki, karena khawatir
salah seorangnya keliru/tersalah, maka yang
lainnya dapat mengingatkan. Hal ini
disebabkan perempuan lemah kemampuannya
bila dihadapkan kepada masalah kebendaan
dan kurang pemahamannya terhadap hal itu,
karena tugas mereka diprioritaskan mengatur
rumah tangga dan mendidik anak-anak yang
mengakibatkan pemahaman mereka tentang
muamalah tentu saja berkurang. Hal ini
terkait dengan hukum kebiasan dan syariat
menetapkan
tentu
saja
menurut
31
pertimbangan sosial ketika itu.
kontekstual. Kalau penyebab dibedakan itu
mereka
tidak
memahami
tentang
muamalah, dan sekarang mereka sudah
banyak memahami bahkan melebihi kaum
laki-laki. Bila kondisi ketika turun ayat
dibawa kepada konteks kekinian yang
berbeda, artinya illatnya sudah tidak sama
lagi, maka tentu saja penetapan jumlah
kesaksian perempuan hari ini telah dapat
disamakan
dengan
laki-laki,
yakni
sebanding, dan sangat tidak beralasan jika
masih tetap dikatakan tetap diberlakukan
satu
orang
laki-laki
dan
dua
orang
perempuan.
Dalam konteks di Indonesia hari ini,
Dengan demikian dapat dikatakan
setting sosial masyarakatnya tidak sama
bahwa
dengan masyarakat ketika turun wahyu.
merupakan
Berdasarkan
untuk meneguhkan prinsip-prinsip keesaan
keterangan
Muhammad
metode
keinginan
Mahmud al-Hijazi di atas dapat dipahami
Tuhan,
bahwa penetapan yang berbeda antara laki-
kemashlahatan
laki dan perempuan dalam kasus kesaksian
manusia,
disebabkan
Kehidupan
sertakan
perempuan
dalam
tidak
persoalan
diikut
tafsir
yang
keadilan,
pada
kontekstual
mendalam
rahmat,
dan
kehidupan
nyata
umat
Islam.
khususnya
manusia
yang
senantiasa
transaksi-
berubah dan penuh inovasi tentu saja
transaksi tenti saja mereka tidak memahami
menuntut pula perubahan penafsiran yang
hal tersebut. Kondisi itu tentu sangat jauh
yang bisa menjawab semua itu. hal ini
berbeda dengan kondisi kekinian yang
bukan
mena kaum perempuan telah diberikan
wahyu Allah SWT dalam al-Qur’an di
peluang dan kebebasan yang sama dengan
bawah realitas kehidupan manusia, akan
kaum laki-laki. Justru hari ini didapati
tetapi
bahwa mereka menampakkan kelebihan
mendinamiskan antara keduanya sehingga
dari pihak laki-laki dalam aspek muamalah
tidak saling bertentangan.
berarti
menundukkan
metode
ini
sakralitas
upaya
untuk
atau berbisnis. Pertanyaan yang muncul
Sehubungan dengan itu metode tafsir
adalah apakah boleh jumlah kesaksian itu di
kontekstual sangat urgen dilakukan dengan
samakan
beberapa pertimbangan sebagai berikut:
ataukah
tetap
diberlakukan
menurut tuntunan zahir nash.
a.
Pertanyaan tersebut dapat dijawab
generasibagi
dengan menggunakan pendekatan tafsir
umat
Islam
pada
gilirannya menuntut perbedaan solusi
dan jawaban hukumnya yang tentu saja
Muhammad Mahmud al-Hijazi, al-Tafsir alWadhih, (Beirut: Dar al-Jalil al-Jadid, 1413 H), Juz. I, h.
197
31
Arsal
Perbedaan pola hidup dari generasi ke
tidak
dapat
dihindari
perubahan
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.
14
Menangkap Pesan-Pesan Hukum .....
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam
b.
Vo 1, No 1, Januari-Juni 2016
Al-Qur’an diyakini sebagai kitab suci
terakhir
dan
sempurna,
b.
sementara
turunnya
al-Qur’an
sejarah
mulai
penting itu adalah latar belakang atau
Pola
yang
yang
sangat
penafsiran tekstual (literal) terhadap
setting
ayat-ayat itu akan mengiring seseorang
mengawali turunnya wahyu kepada
kepada penafsiran yang keliru. Karena
Nabi Muhammad SAW.
c.
sosial
hal
pertama
unsur-unsur
lokalitas-temporal.
terakhir,
benar
sampai
terjadi
yang
Langkah selanjutnya menyusun ayat
dapat menghindarkan dari kesalahan
demi ayat lengkap dengan asbab al-
penafsiran tersebut.
nuzulnya dan bahasa yang digunakan
Isi kandungan al-Qur’an tidak merinci
untuk
persoalan kehidupan manusia, tetapi
tekstual secara komprehensif.
sering diungkap dengan bentuk umum
d.
dengan
sebahagian ayat-ayatnya mengandung
itu metode tafsir kontekstual akan
c.
Memahami
d.
menggali
kandungan
inter-
Cermati secara mendalam kitab-kitab
yang tentu saja sangat berpeluang
tafsir dan pengarangnya dalam hal
untuk ditafsirkan, terutama dengan
konteks sosio-historis para penafsirnya.
menggunakan
Sebab penafsiran yang dilakukan oleh
metode
tafsir
kontekstual.
seorang mufasir bersifat subjektif dan
Penafsiran yang dilakukan oleh ulama
tempat dimana ia menetap sangat
bersifat sabjektif dan tidak final akan
mempengaruhi pola penafsirannya.
tetapi masih terbuka kesempatan untuk
perbaikkan
Memahami kondisi masyarakat yang
terutama yang berhubungan dengan
mana al-Qur’an akan ditafsirkan secara
pemecahan masalah-masalah baru yang
kontekstual
dihadapi oleh umat Islam.
persamaan
melakukan
revisi
dan
untuk
dan
menemukan
perbedaan
sisi
kehidupan
mereka dengan kehidupan masyarakat pada
Untuk mengimplementasikan metode
masa-masa al-Qur’an diturunkan.
tafsir kontekstual tentu tidak mudah dan
juga tidak terkesan mengada-ada, maka
KESIMPULAN
beberapa persyaratan pokok harus dimiliki
Untuk mengakhiri pembahasan singkat
oleh seorang penafsir. Persyaratan tersebut
ini maka penulis akan sajikan beberapa inti
dapat diformulasikan sebagai berikut:
pembahasan yang tertuang dalam bentuk
kesimpulan sebagai berikut:
a.
Seorang
mufasir
harus
memahami
dengan benar dan utuh berhubungan
1.
Memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan
dengan kehidupan bangsa Arab pra
cara parsial, seperti penekannya hanya
dan pasca Islam, berupa aspek bahasa,
kepada
kontek
hukum, sosial, ekonomi dan kultur. Hal
konteks
nuzul
ini
kultural
akan
sebagai
pemahan
awal
linguistiknya
dan
konteks
membuat
atau
sosio-
seorang
menggunakan tafsir kontekstual, karena
penafsir mengalami kekeliruan dalam
al-Qur’an turun bukan kepada orang-
menghasilkan
orang yang hampa budaya.
teks itu sendiri.
Arsal
15
pemahaman
terhadap
Menangkap Pesan-Pesan Hukum .....
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam
2.
Vo 1, No 1, Januari-Juni 2016
Dalam metode tafsir kontekstual di
samping
memperhatikan
linguistiknya
aspek
dan
tentang
aspek
aspek
gejala
nuzulnya,
sosio-kultural
masyarakat merupakan pertimbangan
mendasar dalam kerja tafsir dengan
corak ini.
3.
Pola
penafsiran
yang
lebih
mengedepankan makna lahir teks atau
literal-verbal akan menimbulkan cara
berfikir
puritarisme,
fanatisme,
fundamentaslime, dan ekstremisme atas
nama agama. Hal seperti ini tentu saja
tidak sejalan dengan yang dicontohkan
oleh Rasul SAW, shahabat dan tabi`in.
Demikian kesimpulan dari keragaman
pembahasan
sebagaimana
yang
telah
disajikan dalam pembahasan terdahulu.
Sebagai manusia biasa penulis menyadari
bahwa
masih
banyak
kekeliruan
dan
kealfaan yang terdapat dalam tulisan ini,
dan
penuh
harapan
ditujukan
kepada
pemerhati dan pembaca untuk memberikan
kritikan
dan
sumbangan
demi
untuk
kesempurnaan tulisan ini.
Arsal
16
Menangkap Pesan-Pesan Hukum .....
Download