Jurnal Manajemen Vol 4 No 1 Agustus 2014 1 Jurnal Manajemen Vol 4 No 1 Agustus 2014 2 Jurnal Manajemen Vol 4 No 1 Agustus 2014 3 Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 RANCANGAN PENGUKURAN KINERJA DOSEN DENGAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD Suryaman Hamdan Universitas Serang raya ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagimana kinerja dosen di Universitas Serang Raya di ukur melalui data kualitatif dan kuantitatif dengan pendekatan balanced scorecard dan dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan Universitas dalam memperbaiki kinerja dosennya terutama yang berhubungan dengan empat perspektif, yaitu melalui perspektif keuangan, perspektif kepuasan mahasiswa, perspektif bisnis dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan metode survei, yaitu sebuah desain penelitian yang memberikan uraian kuantitatif data narasumber dari dokumen-dokumen historis Universitas dan kualitatif maupun numerik dari sejumlah pecahan populasi (sampel) melalui proses pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan datanya. Kemudian dilakukan analisa yang hasilnya bahwa Kinerja dosen Universitas Serang Raya secara perspektif keuangan pada bidang penelitian dan pengabdian masyarakat selang periode 2011 sampai dengan 2014 dari 8 instrumen pengukuran tiga pengukuran yang kinerjanya rendah, ini terutama kinerja dosen pada bidang pengabdian pada masyarakat yang di biayai melalui instansi diluar Universitas, sedangkan melalui perspektif pertumbuhan dan pembelajaran dinilai cukup tinggi, meskipun masih terdapat beberapa kelemahan namun secara keseluruhan kinerja dosen atau secara umum di Universitas Serang Raya dapat dikatakan baik. Akhirnya penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pada Universitas dalam mengelola para tenaga pendidiknya atau dosen. Luaran yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah akun dipublikasikan di Jurnal nasional atau diterbitkan pada proceeding seminar nasional. Kata Kunci: kinerja dosen, balanced scorecard A. PENDAHULUAN Latar Belakang Pengukuran kinerja merupakan usaha yang dilakukan pihak manajemen untuk mengevaluasi hasil-hasil kegiatan yang telah dilaksanakan oleh masingmasing pusat pertanggung-jawaban yang dibandingkan dengan tolak ukur yang telah ditetapkan. Sistem pengukuran kinerja dalam manajemen bukan pada satu aspek keuangan, karena ada aspek-aspek lain yang perlu pengukuran dalam menjalankan fungsi-fungsi manajemen, pengukuran dan penilaian kinerja suatu 1 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 lembaga pendidikan seharusnya didasarkan pada kemampuannya untuk mewujudkan visi dan misinya. Selain itu dalam penilaian pada suatu lembaga pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh dan menggunakan alat ukur yang bisa mengukur seluruh kegiatan pelayanan yang dilakukan organisasi, karena kegiatannya bersifat jasa dan bukanlah mencari laba. Para ahli manajemen menemukan suatu pendekatan penilaian kinerja perusahaan yang dapat diadopsi pada organisasi nir-laba. Alat penilaian kinerja yang disebut balanced scorecard merupakan metode penilaian kinerja yang komprehensif. Metode ini menilai kinerja menggunakan seperangkat ukuran kinerja terpadu yang telah disusun berdasarkan visi dan strategi. Hasil pengukuran kinerja dosen biasanya akan berbanding lurus dengan kondisi kepangkatan dosen, semakin kinerjanya tinggi maka kepangkatan semakin naik, dan sebaliknya semakin rendah kinerjanya semakin kepakatan dosen rendah, padahal Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 juga mensyaratkan bahwa Dosen harus mempunyai jabatan fungsional sekurang-kurangnya Asisten Ahli. Tapi kenyatanya bahwa dari 21 Perguruan tinggi memiliki dosen sebanyak 677 dosen memiliki jabatan fungsional baru sebanyak 109 orang (13,44 %), sedangkan yang belum memiliki jabatan fungsional sebanyak 568 orang (86,56 %) Rumusan Masalah 1. Bagaimana kisi-kisi yang baik untuk menyusun alat ukur yang valid dan reliable untuk mengukur kinerja dosen dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard ? 2. Bagaimanakah validitas alat ukur yang valid untuk mengukur kinerja dosen dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard ? 3. Bagaimana alat ukur yang reliable untuk mengukur kinerja dosen dengan menggunakan pendekatan balanced scoraecard ? Tujuan Tujuan dari Kajian ini adalah untuk mengkaji secara lebih mendalam kinerja dosen melalui pendekatan balanced scorecard yang pengukurannya melalui empat perspektif tujuan tersebut adalah : 1. Untuk mengetahui kisi-kisi alat ukur yang mampu mengukur kinerja dosen dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard. 2. Untuk mengetahui tingkat kinerja dosen universitas dengan menggunakan pendekatan balanced scoraecard. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan instrument kinerja dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard. Sebagaimana diketahui instrumen yang berkembang saat ini adalah instrument yang dikembangkan berdasarkan pendekatan tradisional, di mana suatu instrument hanya diujicobakan sekali pada pihak yang bersangkutan. Penelitian berusaha menyusun instrument kinerja dosen yang diujicobakan baik kepada dosen maupun kepada mahasiswa dengan harapan diperoleh instrument yang benar-benar valid baik dari sudut pandang dosen maupun mahasiswa. Manfaat lain dari penelitian ini adalah, proses 2 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 pembentukan aturan untuk evaluasi kinerja dosen, dapat dijadikan sebagai referensi dalam mendapatkan hasil pengukuran yang tepat dan akurat dalam upaya pengukuran kinerja dosen di Universitas Serang Raya. B. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kinerja Untuk kerja, penampilan kerja atau kinerja didefinisikan sebagai kemampuan kerja di dalam terminologi kualitas dan kuantitas (Khan et.al., 2010: 297). Dengan kata lain, pendapat Khan di atas dapat dipahami bahwa kinerja merupakan prestasi kerja (performance) yang dicapai oleh seseorang. Prestasi kerja adalah penampilan kerja secara kualitas dan kuantitas yang disuguhkan oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ivancevich Konopaske, dan Matteson (2002: 157) bahwa kinerja menunjukkan kemampuan dan keterampilan pekerja. Pada bagian lain juga dijelaskan bahwa kinerja adalah pekerjaan yang berhasil ditunjukkan dengan adanya usaha. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberikan kontribusi kepada organisasi yang antara lain termasuk kuantitas keluaran, kualitas keluaran, jangka waktu yang dibutuhkan, kehadiran di tempat kerja, sikap kooperatif di dalam organisasi. Ivancevich Konopaske, dan Matteson (2002: 163) juga menjelaskan bahwa kinerja dapat dilihat dari kemampuan seseorang dalam usahanya mencapai tujuan, termasuk di dalamnya ketekunan untuk bekerja keras, ketepatan waktu menyelesaikan pekerjaan, penggunaan biaya sesuai rancangan, kemandirian bekerja dalam arti tidak selalu membutuhkan pengawasan, dan kemampuan mengatasi masalah atau penghalang. Berdasarkan tiga teori di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan hasil kerja yang dapat dicapai pegawai dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab yang diberikan organisasi dalam upaya mencapai visi, misi, dan tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Kinerja pegawai dapat dilihat dari segi kecakapan, keterampilan, pengetahuan dan kesungguhan pegawai yang bersangkutan. Kelangsungan hidup suatu oganisasi tergantung salah satu dari segi kecakapan, keterampilan, pengetahuan dan kesungguhan pegawai yang bersangkutan. Oleh karena itu, “Manager must devise some strategies which will improve the performance of the employees working.” Manajer harus memikirkan beberapa strategi yang akan digunakan untuk meningkatkan kinerja para pekerja (Khan et.al., 2010: 297). Penilaian Kinerja Menurut Bernardin and Russel (2011: 382) terdapat enam kriteria untuk menilai kinerja karyawan. 1. Quality yaitu tingkatan di mana proses atau penyesuaian pada cara yang ideal di dalam melakukan aktifitas atau memenuhi aktifitas yang sesuai harapan. 3 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 2. 3. 4. 5. 6. Quantity yaitu jumlah yang dihasilkan diwujudkan melalui nilai mata uang, jumlah unit, atau jumlah dari siklus aktifitas yang telah diselesaikan. Timeliness yaitu tingkatan di mana aktifitas telah diselesaikan dengan waktu yang lebih cepat dari yang ditentukan dan memaksimalkan waktu yang ada untuk aktifitas lain. Cost effectiveness yaitu tingkatan di mana penggunaan sumber daya perusahaan berupa manusia, keuangan, dan teknologi dimaksimalkan untuk mendapatkan hasil yang tertinggi atau pengurangan kerugian dari tiap unit. Need for supervision yaitu tingkatan di mana seorang karyawan dapat melakukan pekerjaannya tanpa perlu meminta pertolongan atau bimbingan dari atasannya. Interpersonal impact yaitu Tingkatan di mana seorang karyawan merasa percaya diri, punya keinginan yang baik, dan bekerja sama di antara rekan kerja. Dimensi Kinerja Dosen Mutu kinerja dosen dapat diukur atau dinilai dengan melihat kemampuan dosen dalam melaksanakan sejumlah aspek sebagai berikut: 1. Sikap dosen dalam melaksanakan tugas pendidikan dan pengajaran: Sikap menganggap mahasiswa lebih rendah statusnya dalam penguasaan pengetahuan. Sikap kehati-hatian dalam menjalankan kuliah, sikap kehatihatian dalam membedakan fakta dengan hipotesa, sikap toleran dalam perbedaan pendapat, minat terhadap mata kuliah yang diajarkan, sikap ingin menularkan perasaan senang kepada mahasiswa; 2. Perencanaan pendidikan dan pengajaran: menyesuaikan dengan perkembangan iptek, konsultasi dengan teman sejawat, membuat satuan acara perkuliahan (SAP) dengan jelas menyiapkan catatan kuliah, menyiapkan hand out kuliah memilih buku referensi, mengajukan buku perpustakaan pegangan, merencanakan tugas terstruktur; 3. Poses pembelajaran: penjelasan tujuan mata kuliah, penjelasan sasaran mata kuliah, mengetahui kemampuan awal mahasiswa, menepati jadwal, berusaha mengetahui penguasaan mahasiswa, memberikan pertanyaan dugaan, mengkaitkan antara materi, melakukan problem solving approach menyediakan waktu bertanya, menggunakan bahan peraga, menggunakan alat bantu audio visual, menjelaskan pentingnya mata kuliah, mempelajari bahan kepustakaan, memberi tugas mahasiswa, memberikan balikan tugas mahasiswa, membahas tugas mahasiswa, mengaitkan mata kuliah dengan bidang profesi; dan 4. Dosen dalam melaksanakan tugasnya memiliki standar kinerja dengan dimensi: 1) pendidikan dan pengajaran dengan indikator pada (prapendidikan dan pengajaran) berupa: menyiapkan rencana dan silabus perkuliahan, dapat merangkum materi kuliah sebagaimana yang disusun dalam rencana dan silabus perkuliahan. Mengelola program belajar mengajar, menguasai bahan pelajaran, menyiapkan dan menggunakan media sumber, (proses pendidikan dan pengajaran) berupa memenuhi semua perkuliahan tepat pada waktunya, memberikan pelayanan bantuan/bimbingan pada 4 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 mahasiswa pada waktu yang telah ditentukan, memperbaharui bahan perkuliahan secara teratur, memberikan kuliah secara efektif, menciptakan fasilitas bagi terlaksananya diskusi kelas maupun kegiatan belajar mahasiswa. Menggunakan berbagai media belajar untuk memperjelas dan membangkitkan minat belajar mahasiswa. Membimbing mahasiswa dalam kegiatan seminar mahasiswa, makalah dan kegiatan akademik lainnya (evaluasi pendidikan dan pengajaran) berupa menyusun dan mengembangkan bahan ujian. Membicarakan hasil ujian dengan mahasiswa sebagai bantuan umpan balik yang positif, memperbaharui bahan perkuliahan secara teratur, membuat laporan ilmiah, pembuatan makalah, kegiatan pendukung akademik lainnya; 2) penelitian dengan indicator: mengadakan penelitian secara mandiri maupun kelompok, membuat karya ilmiah atau laporan penelitian secara benar menyajikan karya tulis dalam pertemuan ilmiah. Menulis buku ilmiah., mengkaji karya-karya ilmiah terbaru; dan 3) dimensi pengabdian pada masyarakat dengan 5ndicator: memberikan penyuluhan kepada masyarakat sesuai dengan bidangnya, aktif memecahkan masalah kemasyarakatan dan lingkungan, menulis karya pengabdian kepada masyarakat (Dikti 2010: 1). Berdasarkan uraian di atas, kinerja dosen adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang dosen dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja dosen memiliki dimensi: (1) pendidikan dan pengajaran, (2) penelitian, dan (3) pengabdian kepada masyarakat. Dimensi pendidikan dan pengajaran dengan indicator: (a) memotivasi mahasiswa, (b) menyusun modul atau buku teks untuk pegangan mahasiswa, (c) membuat silabus pembelajaran, (d) memberikan tugas terstruktur, (e) melakukan interaksi dosen dan mahasiswa, dan (f) mengevaluasi hasil belajar. Dimensi penelitian dengan indicator: (a) mengadakan penelitian secara mandiri maupun kelompok, (b) menyajikan karya tulis dalam pertemuan ilmiah, (c) menulis Jurnal ilmiah, (d) menulis buku reverensi dari hasil penelitian, (e) mengaplikasikan hasil penelitian dalam proses pembelajaran. Dimensi pengabdian kepada masyarakat dengan indicator: (a) memberikan penyuluhan kepada masyarakat sesuai dengan bidangnya, (b) aktif memecahkan masalah kemasyarakatan dan lingkungan, (c) menulis karya pengabdian kepada masyarakat, dan (d) mengaplikasikan hasil perkuliahan melalui kegiatan pengabdian pada masyarakat. Konsep Balanced Scorecard Balanced Scorecard (BSC) merupakan konsep manajemen yang diperkenalkan Robert Kaplan tahun 1992, sebagai perkembangan dari konsep pengukuran kinerja (performance measurement) yang mengukur kinerja perusahaan. Robert Kaplan mempertajam konsep pengkuran kinerja dengan menentukan suatu pendekatan efektif yang “seimbang” (balanced) dalam mengukur kinerja dan strategi perusahaan. Pendekatan tersebut berdasarkan 4 perspektif, yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan. Key Performance Indicators (KPI), performance measurement sebenarnya bukanlah 5 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 konsep yang baru. Dalam literatur akuntansi manajemen, konsep-konsep tersebut sudah banyak dibahas. Dalam dunia sumber daya manusia, kita mengukur angka perputaran karyawan, analisis hari absen dan lain-lain. Definisi Balanced Scorecard Definisi balanced scorecard menurut Garrison dalam bukunya “International Corporate Governance” yang diterjemahkan oleh Amin Widjaja Tunggal salah satu pakar akuntansi manajemen mengembangkan suatu konsep yang sama dengan balanced scorecard yang dinamakan “Tableau de Bord” atau “Dasboard”. “Tableau de bord adalah pemicu keberhasilan perusahaan” sedangkan, “Balanced Scorecard adalah sekelompok tolok ukur kinerja yang terintegrasi yang berasal dari strategi perusahaan dan mendukung strategi perusahaan di seluruh organisasi”(2001:1). Empat Perspektif Balanced Scorecard 1. Perspektif Keuangan Balanced Scorecard menggunakan tolok ukur kinerja keuangan, seperti laba bersih dan ROI (Return On Investmen), karena tolok ukur tersebut secara umum digunakan dalam organisasi yang mencari laba. Tolok ukur keuangan memberikan bahasa umum untuk menganalisis dan membandingkan perusahaan. Orang-orang yang menyediakan dana untuk perusahaan seperti lembaga keuangan dan pemegang saham sangat mengandalkan tolok ukur kinerja keuangan dalam memutuskan apakah meminjamkan atau menginvestasikan dana. Tolok ukur keuangan yang didesain dengan baik dapat memberikan pandangan agregat keberhasilan suatu organisasi. Tolok ukur keuangan adalah penting, akan tetapi tidak cukup mengarahkan kinerja dalam menciptakan nilai (value). Tolok ukur non keuangan juga tidak memadai untuk menyatakan angka paling bawah (bottom line). Balanced Scorecard mencari suatu keseimbangan dari tolok ukur kinerja yang multiple baik keuangan maupun non keuangan untuk mengarahkan kinerja organisasional terhadap keberhasilan. 2. Perspektif Pelanggan Perspektif pelanggan memfokus pada bagaimana organisasi memperhatikan pelanggannya agar berhasil. Mengetahui pelanggan dan harapan mereka tidaklah cukup. Suatu organisasi juga harus memberikan insentif kepada manajer dan karyawan yang dapat memenuhi harapan pelanggan. Perusahaan antara lain menggunakan tolok ukur kinerja berikut, pada waktu mempertimbangkan perspektif pelanggan, yaitu : Kepuasaan pelanggan (customer satisfaction); Tolok ukur kepuasan pelanggan menunjukkan apakah perusahaan memenuhi harapan pelanggan atau bahkan menyenangkannya. Retensi pelanggan (customer retention); Tolok ukur retensi atau loyalias pelanggan menunjukkan bagaimana baiknya perusahaan pelanggannya. Secara umum dikatakan bahwa 6 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 dibutuhkan 5 x lebih banyak untuk memperoleh seorang pelanggan baru daripada mempertahankan seorang pelanggan lama. Pangsa Pasar (market share); Pangsa pasar mengukur proporsi peusahaan dari total usaha dalam pasar tertentu. Kemampulabaan pelanggan. Untuk perusahaan yang mencari untung, garis paling bawah (bottom line) adalah kemampulabaan pelanggan, yakni pelanggan yang memberikan keuntungan kepada perusahaan. Mempunyai pelanggan yang puas dan setia dari pangsa pasar yang besar adalah baik, akan tetapi pencapaian tersebut tidak menjamin kemapulabaan. Kepuasan pelanggan yang lebih baik mengarah pada peningkatan kemampulabaan pelanggan. 3. Perspektif Proses Bisnis Internal Terdapat hubungan sebab akibat antara perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dengan perspektif poses usaha internal. Karyawan yang melakukan pekerjaan merupakan sumber ide baru yang terbaik untuk memproses usaha yang lebih baik. Pelanggan menilai barang dan jasa yang diterima dapat diandalkan dapat tepat pada waktunya. Pemasok dapat memuaskan pelanggan apabila mereka memegang jumlah persediaan yang banyak untuk menyakinkan bahwa barang-barang tersedia ditangan. Akan tetapi biaya penanganan dan penyimpangan persediaan menjadi tinggi dan kemungkinan keusangan persediaan. Untuk menghindari persediaan yang berlebihan, alternatif yang mungkin adalah membuat pemasok mengurangi throughput time. Throughput time adalah total waktu dari waktu peasanan diterima oleh perusahaan sampai dengan pelanggan menerima produk. Memperpendek throughput time dapat berguna apabila pelanggan menginginkan barang dari jasa segera mungkin. 4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Untuk tujuan insentif, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan memfokus pada kemampuan manusia. Manajer bertanggung jawab untuk mengembangkan kemampuan karyawan. Tolok ukur kunci untuk menilai kinerja manajer adalah kepuasan karyawan, retensi karyawan, dan produktivitas karyawan. Kepuasan karyawan mengakui bahwa moral karyawan adalah penting untuk memperbaiki produktivitas, umumnya kepuasan pelanggan, dan ketanggapan terhadap situasi. Manajer dapat mengukur kepuasan karyawan dengan mengirim survey, mewawancari karyawan, mengamati karyawan pada saat bekerja. Produktivitas karyawan mengakui pentingnya keluaran per-karyawan, keluaran dapat diukur dalam arti tolok ukur fisik seperti halaman yang diproduksi atau dalam tolok ukur keuangan seperti pendapatan per-karyawan, laba per karyawan. Contoh pengukuran produktivitas sebuah bank misalnya jumlah pinjaman yang diproses per loan officer per bulan. Suatu sistem insentif yang baik akan mendorong manajer meningkatkan kepuasan karyawan yang tinggi, perputaran karyawan yang rendah dan produktivitas karyawan yang tinggi. 7 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 C. METODE PENELITIAN Tipe Penelitiaan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan Balanced scorecard, yaitu metodologi riset yang berupaya untuk mengkuantifikasi data, dan biasanya menerapkan analisis statistik tertentu (Malhotra,2005:115). Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan metode survei, yaitu sebuah desain penelitian yang memberikan uraian kuantitatif maupun numerik dari sejumlah pecahan populasi (sampel) melalui proses pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul datanya (Fowler, 1988 dalam Jhon W Creswell, 1994:112. Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diambil secara langsung dari sumbernya. Data diperoleh melalui focus group discussion dan uji coba instrument dengan para responden. Data sekunder adalah data diambil melalui dokumen terkait administrasi di UNSERA. Pada penelitian ini teknik pengambilan sampel dilakukan secara acak dan metode purposive sampling baik kepada mahasiswa maupun kepada Dosen Unsera. Operasional Variabel Kinerja Dosen Variabel Kinerja 1 Dosen Undang Undang Guru dan Dosen Nomor: 14 Tahun 2005 Dimensi Indikator Pendidikan dan pengajaran a. Sikap dosen memotivasi mahasiswa b. Menyususn buku teks sebagai bahan ajar c. Membuat silabi pelajaran d. Memberikan tugas terstruktur mahasiswa. e. Interaksi dosen dengan mahasiswa. f. Mengevaluasi hasil belajar Kode Angket K1 K2 K3 K4 K5 K6 8 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Variabel Dimensi 2 3 Penelitian Pengabdian pada Masyarakat Indikator a. mengadakan penelitian secara mandiri maupun kelompok, b. menyajikan karya tulis dalam pertemuan ilmiah . c. menulis Jurnal ilmiah d. memberikan tugas terstruktur, e. Aplikasi hasil penelitian dalam proses pembelajaraan f. a. Memberikan penyuluhan g. kepada masyarakat sesuai dengan bidangnya, b. Aktif memecahkan masalah kemasyarakatan dan lingkungan, c. Menulis karya pengabdian kepada masyarakat d. Mengaplikasikan hasil perkuliahan melalui kegiatan pengabdian pada masyarakat Kode Angket K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13 K14 K15 Populasi dan Sample. Populasi dalam penelitian ini terdiri adalah civitas akademika yang berada di lingkungan Universitas Serang Raya, baik itu mahasiswa, pegawai maupun dosen. Sedangkan teknik sampel mengacu pada pada Surat Keputusan Rektor tentang penilaian kinerja universitas, dalam SK Rektor No 245/01/UNSERA/E.20/I/2011 tersebut memuat ketentuan jumlah sampel yang digunakan untuk mengukur kinerja dalam bentuk kualitatif yaitu, Sampel yang diberikan kepada mahasiswa minimal 250 mahasiswa, sampel yang diberikan kepada pegawai minimal 50 dan sampel yang diberikan kepada dosen hanya diberikan pada dosen yang berstatus dosen tetap yaitu minimal 50 sample. Uji Instrumen Penelitian Validitas (Validity ) dilakukan uji coba koesioner pada sejumlah responden untuk mengetahui apakah instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini valid atau tidak. dan pernyataan yang dinyatakan Valid adalah pernyataan yang memiliki angka korelasinya diatas korelasi r Product moment (r tabel) 9 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Uji Reliabilitas Uji ini adalah untuk menunjukan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran terhadap aspek yang sama pada alat ukur yang sama (Internal Consistency Reliability). Dalam pengukuran reliabilitas ini digunakan rumus Cronbach‟s Alpha (α ) Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan mengunakan pendekatan balacescorecard, yaitu metode analisis dengan menggunakan pengukuran kinerja melalui 4 perspektif, yaitu : 1. Kinerja Dosen di analisis melalui Perspektif keuangan Penilaian kinerja dosen di ukur melalui pengukuran daya serap dosen dalam memanfaatkan anggaran yang disediakan oleh perguruan tinggi pada setiap periodenya untuk kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat., data kinerja dosen melalui : a) Kinerja dosen diukur melalui jumlah kuantitas penelitian dari periode tahun 2011 s/d 2014 b) Kinerja dosen diukur melalui daya serap anggaran penelitian dari periode tahun 2011 s/d 2014 c) Kinerja dosen diukur melalui jumlah kuantitas pengabdian pada masyarakat dari periode tahun 2011 s/d 2014 d) Kinerja dosen diukur melalui daya serap anggaran pengabdian kepada masyarakat dari periode tahun 2011 s/d 2014 Tinggi rendahnya kinerja dosen dapat diketahui dengan membadingakan realisasi penggunaan anggaran penelitian atau anggaran pengabdian kepada masarakat dengan anggaran yang di rencanakan pada bidang tersebut, sehingga perbandinagnya merupakan interprestasi meningkat atau menurunnya kinerja dosen 2. Kinerja Dosen dianalisis melalui perspektif Kepuasan Mahasiswa Perspektif kepuasan mahasiswa memfokus pada bagaimana seorang dosen memperhatikan mahsiswanya pada saat proses belajar mangajar, maka analisa yang digunakannya adalah dengan menganalisa hasil score responden melalui sebaran angket pertanyaan yang kemudin di cari rata-ratanya untuk menentukan ukuran tinggi dan rendahnya suatu pernyataan atau persepsi mahasiswa terhadap kinirja dosen, hal yang di rata-ratakan adalah : a) Sikap dosen memotivasi mahasiswa b) Menyususn buku teks sebagai bahan ajar c) Membuat silabi pelajaran d) Memberikan tugas terstruktur mahasiswa. e) Interaksi dosen dengan mahasiswa. f) Mengevaluasi hasil belajar Tinggi rendahnya kinerja dosen diukur melalui perbandinag antara nilai sempurna ( Jumlah responden x bobot tertinggi dari setiap 10 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 butir pertanyaan) dengan realisasi nilainya, jika nilai perbandinag lebih besar dari nilai rata-ratanya maka kinerja dosen dapat dikatakan tinggi, begitu juga sebaliknya 3. Kinerja dosen dianalisis melalui prospek Bisnis Internal Perspektif Kinerja dosen dianalisis melalui prospek Bisnis Internal memfokus pada bagaimana seorang dosen dengan berhubungan : a) Mengadakan penelitian secara mandiri maupun kelompok b) Menulis Jurnal Ilmiah c) Mmenulis buku reverensi dari hasil penelitian d) Memberikan penyuluhan kepada masyarakat sesuai dengan bidangnya e) Aktif memecahkan masalah social kemasyarakatan dan lingkungan f) Menulis karya pengabdian kepada masyarakat 4. Kinerja dosen dinilai dari Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran Analisis ini pentingnya untuk terus memperhatikan dosen, memantau kesejahteraannya, meningkatkan pengetahuan yang pada gilirannya akan meningkatkan kemampuan untuk mencapai hasil ketiga perspektif tersebut. a) Menyajikan karya tulis dalam pertemuan ilmiah b) Mengaplikasikan hasil penelitian dalam proses pembelajaran c) Mengaplikasikan hasil perkuliahan melalui kegiatan pengabdian pada masyarakat Tinggi rendahnya kinerja dosen ditentukan dengan model yang sama dengan perspektif kepuasan mahasiawa. D. HASIL DAN PEMBAHASAN PENGUKURAN PERSPEKTIF KINERJA DOSEN DARI MASING-MASING 1. Mengukur Kinerja Dosen Perspektif Keuangan Pengukuran perspektif finansial pada kinerja dosen dengan melihat biayabiaya yang dikeluarkan dan di hasilkan secara hibah oleh universitas yang berhubungan dengan kinerja dosen pada bidang penelitian dan pengabdian pada masyarakat berdasarkan 2 hal yaitu, target, dan capaian dari universitas tersebut. Hasil pengukran perspektif finansial sebagai berikut : Kinerja Penelitian Berdasarkan data empiris dari Lembaga Pelitian dan Pengabdian kepada Masarakat (LPPM) dan Kabiro Keuangan Universitas serang Raya (UNSERA) Sebagai berikut : 11 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 TARGET TAHUN 2011 2012 2013 2014 Jlh TAHUN 2011 2012 2013 2014 Jlh TAHUN 2011 2012 2013 2014 Jumlah Rata rata INTERNAL Volume Biaya 36 270,000,000 39 256,000,000 49 317,500,000 55 395,000,000 179 1,238,500,000 INTERNAL Volume Biaya 31 155,000,000 38 222,000,000 44 308,000,000 48 360,000,000 161 1,045,000,000 INTERNAL Volume Biaya 86.11 57.41 97.44 86.72 89.80 97.01 87.27 91.14 360.62 332.27 89.94 84.38 EKSTERNAL Volume Biaya 4 60,000,000 5 75,000,000 20 300,000,000 28 600,000,000 57 1,035,000,000 REALISASI EKSTERNAL Volume Biaya 0 0 0 0 11 157,750,000 18 219,400,000 29 377,150,000 PERSENTASE EKSTERNAL Volume Biaya 0 0 0 0 55.00 52.58 64.29 36.57 119.29 89.15 50.88 36.44 Volume 40 44 69 83 236 JUMLAH Biaya 330,000,000 331,000,000 617,500,000 995,000,000 2,273,500,000 JUMLAH Volume Biaya 31 155,000,000 38 222,000,000 55 465,750,000 66 579,400,000 190 1,422,150,000 JUMLAH Volume Biaya 77.50 46.97 86.36 67.07 79.71 75.43 79.52 58.23 323.09 247.70 80.51 62.55 Ket : Data dioleh dari laporan keuangan Universitas Kinerja perspektif keuangan dapat dikatakan baik, ini tercermin dari daya serap Volume dengan rata- rata dari tahun 2011- 2013 sebesar 80,51 % dan daya serap biaya 62,55 %, dengan rincian rata-rata volume internal 89,94 %untuk biaya 84,38 %, sedankan ekternal dengan volume 50,88 % dengan biaya 36,44 % dikarenakan selama 2 (dua ) tahun dari 2011-2012 tidak memperoleh hibah penelitian akan tetapi dari tahun 2013 -2014 cenderung terjadinya kenaikan sehingga berdampak pada penurunan daya serap anggaran penelitian yang di targetkan oleh universitas pada tahun tersebut, secara umum kinerja penelitian dosen di Universitas baik .(Data pada lampiran 2). Kinerja Pengabdian Pada Masyarakat Untuk perspektif daya serap pengabdian pada masyarakat dosen tergambar pada data sebagai berikut : 12 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 TAHUN 2011 2012 2013 2014 Jumlah TAHUN 2011 2012 2013 2014 Jumlah TAHUN 2011 2012 2013 2014 INTERNAL Volume Biaya 28 140,000,000 30 180,000,000 46 317,500,000 64 395,000,000 168 1,032,500,000 INTERNAL Volume Biaya 17 85,000,000 22 132,000,000 26 182,000,000 35 262,500,000 100 661,500,000 INTERNAL Volume Biaya 60.71 60.71 73.33 73.33 56.52 57.32 54.69 66.46 TARGET EKSTERNAL Volume Biaya 5 75,000,000 5 75,000,000 2 300,000,000 1 600,000,000 13 1,050,000,000 REALISASI EKSTERNAL Volume Biaya 0 0 0 0 2 155,000,000 1 77,500,000 3 232,500,000 PERSENTASE EKSTERNAL Volume Biaya 0 0.00 0 0.00 100 51.67 100 12.92 JUMLAH Volume Biaya 33 215,000,000 35 255,000,000 48 617,500,000 65 995,000,000 181 2,082,500,000 JUMLAH Volume Biaya 17 85,000,000 22 132,000,000 28 337,000,000 36 340,000,000 103 894,000,000 JUMLAH Volume Biaya 51.52 39.53 62.86 51.76 58.33 54.57 55.38 34.17 Jumlah 245.26 257.83 200 64.58 228.09 180.04 Ratarata 59.52 64.07 23.08 22.14 56.91 42.93 Ket : Data dioleh dari laporan keuangan Universitas Sedangkan berdasarkan table kinerja daya serap perspektif keuangan dapat dikatakan baik, hal ini tercermin dari daya serap Volume dengan rata- rata dari tahun 2011- 2014 sebesar 56,91 % dan daya serap biaya 42,93%, dengan rincian rata-rata volume internal 59,52 % untuk biaya 64,07%, sedangkan ekternal dengan volume 23,08% dengan biaya 22,14 % dikarenakan selama 2 (dua) tahun dari 2011-2012 tidak memperoleh hibah penelitian akan tetapi dari tahun 2013 -2014 cenderung terjadinya kenaikan sehingga berdampak pada penurunan daya serap anggaran penelitian yang di targetkan oleh universitas pada tahun tersebut, secara umum kinerja pengabdian pada masarakat dosen di Universitas belum maksimal. (Data pada lampiran 2). 2. Mengukur Kinerja Dosen Perspektif Pelanggan (Kepuasan Mahasiswa) Mahasiswa merupakan faktor penting dalam merespon kinerja dosen di bidang pendidikan dan pengajaran. Pada Perspektif Pelanggan yang diukur adalah kriteria-kriteria bagaimana kinerja dosen dalam memuaskan 13 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 mahasiswa. Untuk itu data diambil melalui penyebaran instrument yang berhubungan dengan kinerja dosen dalam bidang pendidikan dan pengajaran di Universitas Serang Raya Hasil Uji Validitas Instrumen Kinerja Dosen Berdasarkan hasil analisis uji coba kuesioner, bahwa setiap butir pertanyaan yang di uji dalam penelitian ini dengan analisis korelasi produk moment (Uji Validitas) semua instrument valid, karena semua nilai korelasinya > r table 0.316 dan penghitungan reliabilitas dalam penelitian ini, besarnya nilai koefisien reliabilitas dengan metode Cronbach Alpha sebesar 0,788. Maka semua butir pertanyaan yang valid dalam penelitian ini juga reliable. Hasil pengukuran Kinerja Dosen HASIL PENGUKURAN UKURAN 2011 2012 2013 2014 Sikap dan Motivasi dosen dalam memberikan 697 1010 729 875 perkuliahan Membuat Buku Ajar dalam 520 589 631 743 perkuliahan Membuat silabi dan SAP 754 882 903 950 perkuliahan Memberikan tugas terstruktur 658 755 929 887 mahasiswa. Interaksi dosen dengan 930 823 110 1130 mahasiswa. Mengevaluasi hasil belajar 750 884 828 1020 RATA RATA 828 621 872 807 998 871 Berdasarkan tabel diatas bahwa nilai rata-rata yang diperoleh dari sebaran instrument penelitian dapat dikatakan kinerja dosen pada bidang pendidikan dan pengajaran secara parsial atau pada setiap periodenya memiliki nilai diatas rata-ratanya yaitu sebesar 625 walaupun ada satu instrument kinerja yang masih di bawah rata-rata atau kinerja dosen dalam memotivasi mahasiswa melalui produksi buku ajarnya masih rendah, ukuran ini mengacu pada hasil rata-rata pengukur yang diperoleh dari jawaban tertinggi setiap varian butir di bagi 2 (dua) untuk mendapatkan nilai rata-ratanya yaitu sebesar 5 x250 / 2 = 625, sedangkan secara total untuk setiap butir instrumennya memiliki score di atas mean, ini dapat di katakana bahwa kinerja dosen pada bidang pendidikan dan pengajaran menurut sekala yang ditentukan melalui SK Rektor tersebut berada pada kisaran nilai 2501 – 5000, yaitu kinirja dosen dikategorikan tinggi. 14 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 3. Mengukur Kinerja Dosen Perspektif Bisnis Internal HASIL PENGUKURAN UKURAN 2011 2012 2013 2014 mengadakan penelitian secara 145 212 210 232 mandiri maupun kelompok menulis Jurnal ilmiah, 89 113 120 198 menulis buku reverensi dari 67 74 103 150 hasil penelitian memberikan penyuluhan kepada masyarakat sesuai 230 222 206 206 dengan bidangnya, aktif memecahkan masalah kemasyarakatan dan 143 245 233 220 lingkungan menulis karya pengabdian 221 225 221 247 kepada masyarakat RATA RATA 200 130 99 216 210 229 Dari tabel tersebut dapat di deskripsikan baha kinerja dosen dalam memberkan kontribusi keuntungan melalui produksi ilmiahnya masih dinilai rendah, terutama pada bidang kepemimpinan public atau jarang para dosen menjadi nara sumber dalam pertemuan-pertemuan ilmiah apa lagi diikutsertakan sebagai pengurus suatu forum yang berkaitan dengan bidangnya dan juga pada pada bidang penulisan karya ilmiahnya, masih rendah Pengukuran nilai rata-rata diperoleh dari jawaban tertinggi setiap varian butir di bagi 2 (dua) untuk mendapatkan nilai rata-ratanya yaitu sebesar 5x50/2=125, maka berdasarkan table tersebut dengan melihat perbandingan rata-rata kinerja dosen pada bidang tersebut masih rendah, untuk periode tahun 2010 s/d 2012, namun walaupun di katakana rendah, jika dilihat pertumbuhan dari 2 kinerja tersebut pada setiap periodenya mengambarkan ada pertumbuhan yang cukup baik. Dan ini juga di gambarkan melalui perhitungan rata rata secara total yaitu melalui perbandinag criteria yang ditetapkan melalui SK rektor, seluruh butir instrument memiliki angka diatas rata-ratanya atau semua skor total berada pada kisaran 126 s/d 250, kinerja dosen pada bidang tersebut meniliki kategori tinggi. 15 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 4. Mengukur Kinerja Dosen Pertumbuhan dan Pembelajaran HASIL PENGUKURAN RATA UKURAN RATA 2011 2012 2013 2014 Menyajikan karya tulis dalam pertemuan ilmiah Mengaplikasikan hasil penelitian dalam proses pembelajaran Mengaplikasikan hasil perkuliahan melalui kegiatan pengabdian pada masyarakat 120 176 201 228 181 78 93 102 112 96 209 113 143 203 167 Dari hasil perbandingan nilai skor dengan rata-ratanya, maka dapat dikatakan bahwa kinerja dosen melalui perspektif ini dapat dikatakan tinggi, hal ini dapat dibuktikan dari skor yang diberikan oleh responden pada setiap pernyataannya adalah secara keseluruhan berada di atas nilai rata-ratanya, nilai rata-rata terbentuk sebagai berikut 5x50/2= 125, seperti halnya pada pengukuran kinerja dosen melalui perspektif bisnis internal, walaupun ada beberapa varian instrument yang memiliki skor di bawah rata-ratanya, namun dilihat secara pertumbuhan kinerja pada setiap periodenya mengambarkan pertumbuhan yang selalu meningkat salah satu contoh kinerja dosen pada aplikasi hasil penelitian, terlihat rendah yaitu scor sebesar 78 tahun 2010 kemudian meningkat 16% (93-78/93x100) di tahun 2011 walaupun kedua skor tersebut berada pada kategori rendah jika dibandingkan dengan rata-ratanya, dan secara total kinerja dosen pada perspektif ini berada padakisaran 126-250 dengan kategori tinggi. HASIL PENGUKURAN BALANCED SCORECARD KINERJA DOSEN PENDEKATAN 1. Kinerja dosen Kuantitatif HASIL PENGUKURAN 2011 2012 2013 2014 KINERJA DOSEN PERSPEKTIF KEUANGAN Jumlah Penelitian 31 38 44 48 Internal Jumlah Penelitian 0 0 11 18 Eksternal UKURAN Biay Biaya Penelitian Internal ( 000.000) Biaya Penelitian Eksternal ( 000.000) Jumlah Pengabdian pada masyarakat (program Internal) Jumlah Pengabdian pada masyarakat (Program Eksternal) REALISASI TARGET RASIO BALAN SCORECARD 160 179 89.38 Kinerja Tinggi 29 57 50.88 Kinerja Tinggi 155 222 308 360 1,045 1,238,5 84.38 Kinerja Tinggi 0 0 157,75 219,4 377,15 1035 36,44 Kinerja Rendah 17 22 26 35 100 168 59.52 Kinerja Tinggi 0 0 2 1 3 13 23.08 Kinerja Rendah 16 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Biaya pengabdian pada masyarakat dari Internal (000.000) Biaya pengabdian pada masyarakat dari Eksternal (000.000) 85 132 182 262,5 661,5 1,032,5 64.07 Kinerja Tinggi 0 0 155 78,5 232,5 1,050 22.14 Kinerja Rendah 2. Kinerja Dosen Kualitatif Qs UKURAN HASIL PENGUKURAN 2011 2012 2013 2014 Rata Rata SCORECARD 697 875 828 Kinerja Tinggi 743 621 Kinerja Rendah 950 872 Kinerja Tinggi 887 807 Kinerja Tinggi 1130 1020 998 871 Kinerja Tinggi Kinerja Tinggi 232 200 Kinerja Tinggi 198 129 Kinerja Tinggi 150 99 Kinerja Rendah 206 216 Kinerja Tinggi 220 210 Kinerja Tinggi 247 229 Kinerja Tinggi 244 193 Kinerja tinggi 146 113 Kinerja Rendah 203 167 Kinerja Tinggi Kinerja Dosen Perspektif Pelanggan 1 Sikap dan Motivasi dosen dalam memberikan perkuliahan K1 K2 K3 K4 K5 K6 2 K7 K9 K10 K12 K13 K14 3 K8 K11 K13 1010 729 Membuat Buku Ajar dalam 520 589 631 perkuliahan Membuat silabi dan SAP 754 882 903 perkuliahan Memberikan tugas terstruktur 658 755 929 mahasiswa. Interaksi dosen dengan mahasiswa. 930 823 110 Mengevaluasi hasil belajar 750 884 828 Kinerja Dosen Perspektif Bisnis Internal mengadakan penelitian secara 145 212 210 mandiri maupun kelompok menulis Jurnal ilmiah, 86 113 120 menulis buku reverensi dari hasil 67 74 103 penelitian memberikan penyuluhan kepada masyarakat sesuai dengan 230 222 206 bidangnya, aktif memecahkan masalah 143 245 233 kemasyarakatan dan lingkungan menulis karya pengabdian kepada 221 225 221 masyarakat Kinerja Dosen Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran menyajikan karya tulis dalam 120 176 231 pertemuan ilmiah mengaplikasikan hasil penelitian 78 93 133 dalam proses pembelajaran mengaplikasikan hasil perkuliahan melalui kegiatan pengabdian pada 209 113 143 masyarakat Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja dosen Universitas Serang Raya secara keseluruhan pada setiap perspektifnya mengalami peningkatan dari selang waktu antara tahun 2011 sampai tahun 2014. Hal ini dapat dilihat dari pengukuran perspektif keuangan (Kuantitatif) dari 8 instrumen pengukuran tiga pengukuran yang kinerja nya rendah, ini terutama kinerja 17 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 dosen pada bidang pengabdian pada masyarakat yang dibiayai melalui instansi diluar universitas, Perspektif kepuasan mahasiswa dari 6 instrumen yang di ukur hanya dua yang memiliki kinerja masih rendah, kemudian pada perspektif bisnis internal juga terlihat ada 1 instrumen pengukuran yang memiliki kinerja dosen masih rendah dari 6 instrumen yang di ukur, sedangkan pada perspektif pertumbuhan dan pembelajaran juga, hanya 1 instrument kinerja dosen memiliki nilai kinerja yang rendah. Meskipun masih terdapat beberapa kelemahan namun secara keseluruhan kinerja dosen atau secara umum di universitas serang raya dapat dikatakan baik. Tentu saja masih banyak sekali dibutuhkan pembenahan terkait dengan kelemahan-kelemahan yang ada. Pada akhirnya, penggunaan konsep Balanced Scorecard diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan manajemen universitas dalam menilai kinerja dosennya, baik dari sektor keuangan maupun non keuangan E. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis, pengukuran kinerja dosen dengan pendekatan balanced scorecard dapat disimpulkan baik secara kuantitatif maupun kualitatif adalah sebagai berikut : 1. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang di susun dan yang telah di uji kevaldannya, masih terlalu sederhana, karena masih kurangnya literature yang digunakan sebagai pembuatan instrument tersebut, sehingga belum mengukur secara keseluruhan dalam menetukan tinggi rendahnya kinerja dosen. 2. Kuantitatif Kinerja dosen Universitas Serang Raya secara kuantitatif dilihat dari perspektif keuangan pada bidang penelitian dan pengabdian pada masyarakat selang periode 2011 sampai dengan 2014 dari 8 instrumen pengukuran tiga pengukuran yang kinerja nya rendah, ini terutama kinerja dosen pada bidang pengabdian pada masyarakat yang dibiayai melalui instansi diluar universitas. 3. Kualitatif Kinerja dosen secara kualitatif melalui Perspektif kepuasan mahasiswa , melalui perspektif bisnis dan melalui perspektif pertumbuhan dan pembelajaran dinilai cukup tinggi, Meskipun masih terdapat beberapa. kelemahan namun secara keseluruhan kinerja dosen atau secara umum di universitas serang raya dapat dikatakan baik. 18 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 DAFTAR PUSTAKA Abdurrachman, Oemi. 2001. Dasar-dasar Public Relations, Bandung ; PT. Citra Aditya Bakti. Cangara, Hafied. 2009. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta ; PT. Raja Grafindo Persada. DeVito, Joseph S., Communicology : An Introduction to the Study of Communication, Herper & Row Publisher, New York-London, 1978. Effendy, Onong Uchjana. 2005. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik, Bandung ; PT. Remaja Rosdakarya. Hasan, Iqbal, M. 2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta ; Ghalia. Lexy J Moleong, 1995. “Metodologi Penelitian Kualitatif”. Bandung ; Rosda Karya. Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung ; PT. Remaja Rosdakarya. Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi, Bandung ; PT. Remaja Rosdakarya. Severin, Werner J & James W. Tankard Jr. 2008. Communication Theories : Origins, Methods & Uses in the Mass Media, alih bahasa oleh Sugeng Hariyanto, Jakarta ; Kencana Prenada Media Group. Stephen W, Little John dan Karen A. Foss, 2009. Encyclopedia of Communication. London, Sage Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung ; Alfabeta. Turner, Lynn. H dan Richard West. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi, Jakarta ; Salemba Humanika. West Richard & Lynn H. Turner, Introducing Communication Theory. Singapore 2007 19 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 PENGARUH DAN KONSEKUENSI WORK-FAMILY ENRICHMENT Elisabet Dita Septiari Debora Wintriarsi Universitas Atma Jaya Yogyakarta ([email protected]) ([email protected]) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menguji faktor antesenden dan konsekuensi dari work-family enrichment. Peneliti menggunakan variable karakteristik personal yaitu optimisme, otonomi pekerjaan, dan dukungan supervisor sebagai faktor yang mempengaruhi work-family enrichment. Sedangkan faktor yang menjadi konsekuensi dari work-family enrichment adalah kepuasaan kerja. Peneliti menggunakan survei dengan penyampelan secara convenience, dengan responden karyawan di Indonesia, khususnya Yogyakarta. Hipotesis akan diuji menggunakan analisis regresi. Hasil penelitian akan memberikan kontribusi bagi manajemen perusahaan mengenai pengelolaan work-family enrichment. Kata kunci: Optimisme, Otonomi pekerjaan, Dukungan supervisor, Work-family enrichment, Kepuasaan kerja A. PENDAHULUAN Perubahan trend mengenai pekerjaan dan keluarga saat ini telah banyak bergeser. Tren sosial seperti partisipasi wanita dalam dunia kerja, berkembangnya tingkat perceraian yang menyebabkan semakin banyak seseorang menjadi orangtua tunggal, serta keluarga berpenghasilan ganda, mendorong seseorang untuk berkomitmen dalam keluarga maupun pekerjaannya (Grzywacz & Marks, 2000). Pekerjaan dan keluarga merupakan dua faktor penting dalam kehidupan seseorang. Berdasarkan penelitian terdahulu, beberapa hasil uji empiris menunjukkan peran ganda dalam pekerjaan dan keluarga akan menimbulkan konflik bagi individu dan organisasi (Warner dan Hausdof, 2009). Konflik tersebut dapat berakibat buruk bagi individu, antara lain munculnya stress, kesehatan yang menurun, dan kepuasan hidup yang menurun (Warner dan Hausdof, 2009). Konflik antara pekerjaan dan keluarga tersebut juga berpengaruh negatif pada organisasi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa konflik pekerjaan dan keluarga berpengaruh pada kepuasaan kerja di organisasi (Allen et al, 2000, 20 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 dalam Grandey et al, 2005). Konflik antara pekerjaan dan keluarga juga dapat berpengaruh negatif pada sikap kerja (Boyar et al, 2008), keinginan untuk keluar (Yavas et al, 2008), dan perilaku kerja negatif (Boyar et al, 2008). Beberapa penelitian mengenai konflik pekerjaan dan keluarga yang menunjukkan pengaruh negatif biasanya menggunakan perspektif role-strain (depleting). Menurut Rothbard (2001), dasar dari teori depletion adalah seseorang memiliki keterbatasan dalam fisik dan psikologis, sehingga mereka harus melakukan pilihan dalam peranan mereka untuk menghadapi keterbatasan sumber daya tersebut, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan konflik. Berbeda dengan perspektif role strain, peneliti lain mengemukakan teori enriching. Teori ini berpendapat bahwa keterlibatan seseorang dalam keluarga dan pekerjaan dapat memfasilitasi, memperkaya, dan mendukung satu dengan lainnya (Rothbard, 2001; Greenhaus dan Powell, 2006). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan akan memberikan benefit bagi kehidupan keluarga (meningkatnya kesejahteraan), dan keluarga memberikan benefit bagi pekerjaan (misalkan penurunan stress, dan manajemen stress) seperti dikutip oleh Lim et al. (2012). Menurut Rothbard (2001), dasar dari teori enriching adalah seseorang dapat meningkatkan sumber daya dan perhatiannya untuk menjalani berbagai peran dalam hidupnya. Meskipun demikian, menurut Greenhauss dan Powell (2006), penelitian mengenai interaksi antara peran dalam keluarga dan pekerjaan lebih banyak didasarkan pada teori depletion. Para peneliti beranggapan bahwa peran antara keluarga dan pekerjaan saling bertentangan. Sedangkan penelitian mengenai peran dalam keluarga dan pekerjaan yang didasarkan pada teori enriching masih terbatas. Hasil penelitian Greenhauss dan Powell (2006) menunjukkan bahwa peran seseorang dalam pekerjaan dan keluarga dapat meningkatkan kesehatan mental, kesehatan fisik, dan menjadi penahan efek negatif dari peranan yang lain. Menurut Illies et al. (2009), integrasi antara pekerjaan dan keluarga yang baik akan meningkatkan kepuasan dalam pekerjaan. Oleh karena itu tujuan utama penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh work-family enrichment pada kepuasaan kerja. Berdasarkan penelitian terdahulu ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi work-family enrichment. Penelitian Grzywacz dan Marks (2000) menunjukkan bahwa otonomi dalam pekerjaan mempengaruhi workfamily enrichment. Penelitian Lu (2011) menunjukkan dukungan supervisor berpengaruh pada work-family enrichment untuk setting penelitian di China. Menurut Dyson (2006), tingkat optimisme yang dimiliki seseorang akan berpengaruh work-family enrichment. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu 21 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 maka penelitian ini juga bertujuan untuk menguji ketiga variabel sebagai faktor antasenden work-family enrichment dalam konteks karyawan di Yogyakarta, yang memegang budaya patrilineal. B. KAJIAN PUSTAKA Work-family enrichment Greenhaus dan Powell (2006) mendefinisikan konsep work-family enrichment sebagai suatu keadaan tentang sejauh mana pengalaman dalam satu peran meningkatkan kualitas hidup di peran lainnya. Frone (2003, dalam DysonWashington, 2006) mendefinisikannya sebagai sejauh mana partisipasi di tempat kerja (atau rumah) menjadi lebih mudah berdasarkan pengalaman, keterampilan, dan peluang yang diperoleh atau dikembangkan di rumah (atau kerja). Work-family enrichment terjadi ketika pengalaman-pengalaman pekerjaan memperbaiki kualitas kehidupan keluarga. Berbeda dengan konsep work-family conflict yang menyatakan bahwa pengalaman dalam suatu peran menyebabkan stres, keterbatasan waktu, dan kegagalan fungsi perilaku dalam peran yang lain (Greenhaus dan Bautel,1985), konsep work-family enrichment berfokus pada hubungan positif dari kedua peran tersebut, sehingga suatu peran akan menghasilkan sumber daya yang mungkin dapat bermanfaat untuk digunakan dalam peran yang lain (Frone, 2003 dalam Powell dan Greenhaus, 2006). Lebih lanjut, meskipun work-family conflict dan work-family enrichment sama-sama merupakan konstruk bi-directional (Rendel and Steven, 2006 dalam Roche and Haar, 2010), namun Frone (2003, dalam Greenhaus dan Powell, 2006) menyatakan bahwa kedua konsep tersebut merupakan konstruk independen dan tidak berhubungan satu dengan yang lain. Faktor antesenden work-family enrichment Berdasar pada penelitian terdahulu, terdapat beberapa faktor yang dapat dinyatakan sebagai antesenden dari work-family enrichment, yang berasal dari karakteristik individu (pendidikan, penghasilan, jenis kelamin, ras), karakteristik keluarga (status pernikahan, jumlah anak), dan karakteristik pekerjaan (otonomi, jenis pekerjaan) (Dyson-Washington, 2006), tuntutan pekerjaan yang berlebihan (emosional tinggi, tuntutan fisik dan waktu, dan konflik peran yang tinggi), serta sumber daya pekerjaan (keragaman ketrampilan, otonomi, keamaanan pekerjaan, serta dukungan supervisor dan rekan kerja) (Bakker dan Geurts, 2004 dalam Rantanen, 2008). Greenhaus dan Powell (2006) menyarankan model untuk memeriksa work-family enrichment melalui peningkatan sumber daya, yang merupakan "aset yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah atau mengatasi situasi yang 22 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 menantang". Mereka menjelaskan bahwa individu dapat mendapatkan sumber daya psikologis (optimisme, harapan dan ketabahan) yang mungkin untuk meningkatkan work-family enrichment. Optimisme dan work-family enrichment Salah satu sumber daya psikologis yang mungkin dapat meningkatkan workfamily enrichment adalah optimisme. Optimisme, sebuah harapan untuk mendapatkan hasil yang baik, dinyatakan oleh Frone (2003, dalam DysonWashington, 2006) sebagai kemungkinan yang mempengaruhi sejauh mana pengalaman, keterampilan, dan peluang yang diperoleh atau dikembangkan dalam satu peran (pekerjaan atau keluarga) akan meningkatkan kualitas hidup dalam peran lainnya (keluarga atau pekerjaan). Dalam penelitian empiris yang dilakukan oleh Dyson-Washington (2006) terhadap mahasiswa, karyawan, dan pengajar di sebuah lembaga pendidikan kesehatan, ditemukan bahwa optimisme secara positif berhubungan dengan work-family enrichment, family-work enrichment, kepuasan kerja, kepuasan keluarga, dan kepuasan hidup. Penelitian yang dilakukan oleh Rotondo dan Kincaid (2008) juga menunjukkan bahwa seseorang yang optimis berpengaruh pada work family facilitation yang apa bila dilihat dari alat ukurnya memiliki kesamaan dengan work family enrichment. Berdasarkan tinjauan teoritis dan penelitian empiris sebelumnya, hipotesis pertama: Hipotesis 1: Optimisme berhubungan positif terhadap work-family enrichment Otonomi pekerjaan dan work-family enrichment Otonomi pekerjaan adalah kemungkinan yang dimiliki seorang karyawan untuk mengatur sendiri pekerjaannya (Karasek dan Theorell, 1990, dalam Taipale et al. 2011). Otonomi pekerjaan terdiri dari dua komponen yaitu kemampuan yang menyangkut kebijaksanaan (skill discretion) dan kewenangan dalam keputusan (decision authority). Kemampuan yang menyangkut kebijakan (skill discretion) adalah kemungkinan seseorang untuk mengembangkan kreativitas, memiliki partisipasi dalam pengambilan keputusan, memiliki kesempatan mempelajari hal baru, menggunakan kemampuannya secara professional. Sedangkan decision authority adalah kemungkinan seorang karyawan untuk memilih cara melakukan pekerjaannya, dan ikut serta dalam pengambilan keputusan pada hal-hal yang menyangkut pekerjaannya (Karasek dan Theorell, 1990, dalam Taipale et al. 2011). 23 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Otonomi merupakan salah satu dimensi karakteristik pekerjaan yang memberi motivasi intrinsik, memunculkan energi dalam bekerja sehingga dapat memobilisasi fungsi-fungsi di pekerjaan yang baik ke dalam keluarga (Friedman dan Greenhaus, 2000). Menurut Grzywacz dan Marks (2000) otonomi di tempat kerja memiliki hubungan dengan tingkat work-to family enrichment dan family-to work enrichment yang lebih tinggi. Voydanoff (2004) menjelaskan bahwa otonomi pekerjaan dapat membantu meningkatkan kompetensi dan kapabilitas individu dalam melakukan berbagai hal secara bersamaan. Sebuah lingkungan kerja yang memberikan kebebasan dalam mengatur waktu dan mengatur pekerjaannya akan mendorong karyawan menciptakan sesuatu (misalkan manajemen waktu yang baik) yang bermanfaat bagi kehidupan keluarganya. Menurut Chu (2010), dari hasil interview dengan beberapa responden, lingkungan pekerjaan seperti otonomi pekerjaan merupakan anteseden dari work family enrichment, Hal yang sama juga telah diuji oleh oleh Greenhaus dan Parasuraman (1999), serta Greenhaus dan Powell (2006) dapat meningkatkan work-family enrichment. Berdasarkan tinjauan teoritis dan penelitian empiris sebelumnya, hipotesis kedua: Hipotesis 2: Otonomi pekerjaan berhubungan positif terhadap work-family enrichment. Dukungan supervisor dan work-family enrichment Baral dan Bhargava (2011) menjelaskan bahwa dukungan supervisor merupakan sumber daya dalam pekerjaan yang berjalan dengan berbagai cara untuk memfasilitasi keberhasilan integrasi antara tuntutan pekerjaan dan keluarga. Supervisor dapat membantu upaya karyawan dengan menyediakan dukungan (memungkinkan karyawan untuk menjadwalkan jam kerja mereka atau mengambil cuti ketika ada urgensi dalam keluarga), serta mengekspresikan kepedulian dan empati terhadap karyawan. Supervisor yang memberi dukungan kepada karyawannya ditemukan dapat meringankan berbagai ketegangan di tempat kerja, sehingga dimungkinkan dapat menyediakan tenaga dan kepercayaan diri karyawan ketika beraktivitas dalam keluarga (Beehr et al., 2000 dalam Baral dan Bhargava. 2010). Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa dukungan sosial di tempat kerja dapat mengurangi perasaan negatif karyawan terhadap pekerjaannya (Baker et al., 1996 dalam Wadsworth, 2007), burnout (Lingard, et al., 2010), serta meningkatkan work-family enrichment (Siu, et al., 2010 dalam Lu, 2011) 24 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Berdasarkan tinjauan teoritis dan penelitian empiris sebelumnya, hipotesis ketiga: Hipotesis 3: Dukungan superisor berhubungan positif terhadap work-family enrichment Faktor konsekuensi work-family enrichment Fokus pada konsekuensi work-family enrichment sama pentingnya dengan penelusuran antesenden yang mempengaruhinya. Meskipun belum banyak penelitian yang mengungkapkan dampak dari work-family enrichment, namun para peneliti meyakini bahwa work-family enrichment merupakan faktor penting bagi organisasi yang dapat berpengaruh pada kepuasan kerja dan tunover intention (McNall et al., 2010; Bhargava and Baral (2009)), komitmen organisasional dan organizational citizenship behavior (Bhargava and Baral (2009), serta kepuasan keluarga (Carlson 2006 dalam Lu, 2011). Work-family enrichment dan kepuasan kerja Kepuasan kerja merupakan salah satu sikap di tempat kerja, yang didefinisikan sebagai suatu penilaian dan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap pekerjaannya (Locke, 1976 dalam McNall, 2010). Greenhaus and Powell (2006) mengungkapkan bahwa sumber daya pekerjaan menciptakan dampak positif di tempat kerja dan akan berpengaruh pula pada kepuasan kerja. Beberapa penelitian empiris membuktikan adanya hubungan positif antara work-family enrichment dan kepuasan kerja (McNall et al. (2010); Lu (2011), yang menunjukkan bahwa interaksi positif antara pekerjaan dan keluarga akan membawa dampak baik bagi karyawan dan perusahaan (Lingard et al., 2010) Berdasarkan tinjauan teoritis dan penelitian empiris sebelumnya, hipotesis keempat: Hipotesis 4: Work-family enrichment berhubungan positif terhadap kepuasan kerja Optimisme Otonomi Pekerjaan H1 H2 0,292* 0,343* H4 H3 0,548** Gambar1. Model Penelitian 25 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 C. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini bersifat konfirmatori, yaitu untuk mengkonfirmasi hubungan antara variabel dependen dan independen. Tujuan dari penelitian konfirmatori adalah untuk menguji sejumlah hipotesis atau menjawab rumusan masalah (Cooper dan Schindler, 2008: 143). Hipotesis diuji secara kuantitatif dengan alat statistik. Sedangkan untuk pengumpulan data, penelitian ini menggunakan metode survei dengan menyebar kuesioner secara langsung kepada responden. Peneliti tidak melakukan control pada variabel sehingga penelitian ini bersifat ex post facto (Cooper dan Schindler, 2008: 143). Jika ditinjau dari segi waktu, penelitian ini merupakan cross-section study, karena dilakukan satu kali dan menunjukkan kondisi di satu waktu tertentu (Cooper dan Schindler, 2008: 144). Metode Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel menggunakan nonprobability sampling. Penulis memilih metode penyampelan ini karena tidak memiliki data mengenai total populasi dan sampling frame sehingga probabilitas untuk memilih elemen dari populasi tidak diketahui. Penelitian ini menggunakan judgement sampling dengan kriteria karyawan tetap (bukan karyawan kontrak, honorer ataupun paruh waktu), dan telah menikah, dengan masa kerja lebih dari satu tahun. Pemilihan kriteria didasarkan pada pendapat Grzywacz et al. (2002, dalam Dyson-Washington, 2006) yang menemukan bahwa pasangan yang telah menikah mengalami work-family enrichment lebih besar dibandingkan dengan individu yang belum menikah. Selain itu, pemilihan responden yang telah menjadi karyawan tetap dilakukan karena diharapkan karyawan telah memiliki cukup pengetahuan mengenai berbagai hal dalam pekerjaannya. Penelitian dilakukan di sebelas perusahaan di Yogyakarta yang bergerak di berbagai bidang yaitu bidang keuangan dan perbankan, pendidikan, telekomunikasi, perhotelan, dan otomotif. Instrumen Penelitian Pengukuran lima variabel yang diteliti menggunakan beberapa instrumen penelitian yang diadaptasi dari peneliti terdahulu. Kuesioner work-family enrichment menggunakan enam item pertanyaan yang diadaptasikan dari Carlson et al, (2006). Optimisme diambil dari Dyson-Washington (2006) yang terdiri dari empat belas item pertanyaan. Otonomi pekerjaan diukur menggunakan kuesioner dari Spreitzer (1995) seperti dikutip dalam Chu (2010), dengan tiga item pertanyaan. Pengukuran variabel dukungan supervisor menggunakan tujuh item pertanyaan yang diambil dari 26 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Parasuraman, Greenhaus dan Granrose (1992). Sedangkan untuk kepuasaan kerja, penelitian ini menggunakan kuesioner yang diadaptasikan dari Hackman dan Oldman (1980), dengan pertanyaan sebanyak tiga item. D. HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel Hasil dari respon terhadap survei yang dilakukan kepada karyawan yang bekerja di beberapa perusahaan di Jogjakarta (PNS, perguruan tinggi, lembaga keuangan dan perbankan, telekomunikasi, perhotelan, otomotif) menunjukkan bahwa sampel yang dapat digunakan adalah 146 responden. Sampel terdiri dari 50,3% wanita dan 49,7% pria. Mayoritas responden berusia antara 41-45 tahun (26,9%), diikuti oleh responden berusia 30-35 tahun (17,9%), sedangkan minoritas responden berusia 36-40 (11,7%). Tingkat pendidikan mayoritas responden adalah strata-1 (42,7%), dan peringkat kedua adalah D1/D2/D3 sebesar 30,8%. Lebih lanjut, penghasilan mayoritas responden berkisar antara Rp4.000.000,00 – Rp6.000.000,00, sedangkan peringkat kedua responden berpenghasilan Rp1.000.000,00 – Rp2.500.000,00. Statistik Deskriptif Statistik deskriptif pada Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai mean dari workfamily enrichment, optimisme, otonomi pekerjaan, dukungan supervisor, serta kepuasan kerja adalah lebih dari tiga. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan responden menjawab setuju pada pernyataan yang ada dalam kuesioner. Selain itu, nilai standar deviasi menunjukkan bahwa data yang diperoleh dari jawaban responden tidak terlalu bervariasi. Tabel 1. Descriptive Statistics N Minimum WFE 146 2,00 OPTIMIST 146 2,00 OP 146 2,00 DS 146 2,00 KK 146 1,50 Valid N 146 (listwise) Maximum 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 Mean 3,78 3,98 3,64 3,58 3,69 Std. Deviation 0,615 0,622 0,696 0,644 0,781 27 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Uji Validitas dan Reliabilitas Uji Validitas Uji validitas digunakan untuk mengukur kualitas instrumen dalam menggambarkan suatu konsep atau konstruk (Hair et al, 2006: 3). Dalam menguji validitas, penelitian ini menggunakan confirmatory factor analysis dengan rotasi varimax. Tabel 2 menunjukkan hasil uji validitas pada kelima variabel. Menurut Hair et al. (2006) Faktor loading 0,5 atau lebih dianggap layak digunakan dalam menentukan nilai loading yang signifikan. Pada penelitian ini, ada beberapa item pernyataan yang dihilangkan karena memiliki faktor loading yang rendah. Konstruk Work-family enrichment yang ditunjukkan pada komponen (WFE), ada dua item pernyataan yang tidak digunakan. Pada konstruk optimisme (OPT), hanya empat item pernyataan yang valid. Sedangkan pada otonomi pekerjaan (OP), semua item pernyataan valid. Konstruk dukungan supervisor (DS) dan kepuasaan kerja (KK) masingmasing memiliki satu item pernyataan yang faktor loadingnya rendah dan tidak mengumpul pada komponen yang sama sehingga tidak digunakan. Tabel2. Uji Validitas dengan Analisis Faktor Komponen DS OPT WFE OP KK 1 ,824 2 ,788 3 ,641 4 ,576 8 ,785 9 ,794 10 ,699 13 ,713 15 ,809 16 ,832 17 ,669 18 ,645 19 ,767 20 ,850 21 ,667 22 ,778 23 ,721 25 ,742 26 ,801 28 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Uji Reliabilitas Reliabilitas menunjukkan kekonsistenan alat ukur (Cooper dan Schindler, 2008: 293). Reliabilitas akan diuji dengan melihat korelasi antar item yang ditunjukkan dengan nilai Cronbach‟s alpha. Menurut Cooper dan Schindler (2008: 293) nilai Cronbach‟s alpha menunjukkan konsistensi internal atau homogenitas diantara item. Nilai Cronbach‟s alpha 0,8 atau lebih menunjukkan reliabitas yang baik, nilai Cronbach‟s alpha antara 0,6 sampai 0,79 menunjukkan reliabilitas dapat diterima, dan apabila kurang dari 0,6 dikategorikan reliabilitas tidak dapat diterima karena kurang baik (Hair et al., 2006:137). Berdasarkan Tabel 3, instrument masing-masing konstruk memiliki reliabilitas yang dapat diterima. Tabel3. Hasil Uji Reliabilitas Penelitian Variabel Cronbach‟s alpha Work-family enrichment 0,758 Optimisme 0,796 Otonomi Pekerjaan 0,795 Dukungan supervisor 0,866 Kepuasan kerja 0,901 Uji Hipotesis Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap, pertama, menguji hipotesis satu, dua, dan tiga, dengan work-family enrichment sebagai variabel dependen. Kemudian, menguji hipotesis empat, yaitu kepuasan kerja sebagai variabel dependen dengan work-family enrichment sebagai variabel independen. Pengujian hipotesis dilakukan dengan α = 0,05. Pengujian pertama Pengujian pertama ini digunakan untuk menguji pengaruh optimisme, otonomi pekerjaan, dan dukungan supervisor pada work-family enrichment. Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa: Ha1 terdukung. Optimisme berpengaruh positif pada work-family enrichment (β 0,199, α< 0,05). Ha2 terdukung. Otonomi pekerjaan berpengaruh positif pada work-family enrichment (β 0,216, α< 0,05). Ha3 juga terdukung, dukungan supervisor berpengaruh positif pada work-family enrichment (β 0,185, α< 0,05). 29 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Tabel 4. Hasil Pengujian Hipotesis 1,2,3 R Square: 0.216 Adjusted R Square: 0.199 Variabel dependen: Work-family enrichment Model Standardized β Sig Optimisme 0,199 0,022 Otonomi Pekerjaan 0,216 0,012 Dukungan Supervisor 0,185 0,027 Pengujian kedua Pengujian kedua ini digunakan untuk menguji pengaruh work-family enrichment pada kepuasaan kerja. Berdasarkan Tabel 5, maka Ha4 terdukung. Work-family enrichment berpengaruh positif pada kepuasan kerja. Tabel5. Hasil Pengujian Hipotesis 4 R Square: 0.271 Adjusted R Square: 0.266 Variabel dependen: kepuasan kerja Model Standardized β Sig Work-family enrichment 0,521 0,000 Pembahasan Studi yang dilakukan oleh peneliti pada makalah ini merupakan studi awal yang mencoba melihat sisi lain dari hubungan antara peran individu dalam pekerjaan dengan peran individu dalam keluarga. Jika kebanyakan penelitian berfokus pada dampak negatif yang dirasakan individu di tempat kerja terhadap kehidupan keluarga, penelitian ini berfokus pada dampak positif atau manfaat yang dirasakan individu di tempat kerja bagi kehidupan keluarganya. Studi ini tidak berfokus pada faktor pekerjaan saja (dukungan supervisor dan otonomi pekerjaan) tetapi juga faktor kepribadian seseorang tersebut. Hasil pengujian hipotesis pertama membuktikan bahwa optimisme berpengaruh positif terhadap work-family enrichment. Hasil ini sesuai dengan beberapa penelitian Dyson-Washington (2010), dan Rotondo dan Kincaid (2008). Sikap optimis atau berpikiran positif membuat seseorang dapat merasakan benefit atas perannya di pekerjaan dan membawa benefit positif tersebut ke dalam keluarga seperti yang terdapat dalam teori positive spill-over. Meskipun pengaruh sikap optimism lebih kecil dibandingkan otonomi pekerjaan, menurut Rotondo dan Kincaid (2008), seseorang yang tidak memiliki sikap optimis akan melihat peran ganda dalam pekerjaan dan rumah sebagai faktor yang dapat menimbulkan konflik. 30 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Hasil pengujian hipotesis kedua membuktikan bahwa otonomi pekerjaan berpengaruh positif terhadap work-family enrichment. Hasil ini mendukung penelitian dari Grzywacz and Marks (2000), Voydanoff (2004, dalam Chu, 2010), serta Greenhaus dan Powell (2006). Seperti di dalam integrated teori, otonomi pekerjaan membuat seseorang memiliki fleksibelitas dalam jam kerjameningkatkan work-family enrichment (Morgeson et al., 2005). Otonomi pekerjaan membuat karyawan memiliki kebebasan dalam membagi peran di pekerjaan dan keluarga. Selanjutnya, pengujian pada hipotesis ketiga menunjukkan bahwa dukungan dari supervisor berpengaruh positif terhadap work-family enrichment. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian terdahulu, yang menyatakan bahwa bantuan supervisor kepada karyawan untuk menyediakan dukungan, kepedulian dan empati sehingga dapat mengurangi perasaan negatif karyawan terhadap pekerjaannya, dan meningkatkan work-family enrichment (Siu, et al., 2010 dalam Lu, 2011). Menurut Baral dan Bhargava (2010), dukungan supervisor dapat menenangkan tekanan dan stress pada pekerjaan sehingga dapat membawa energi dan kepercayaan diri dalam peranan karyawan di keluarga. Hasil dari pengujian hipotesis keempat menunjukkan dampak work-family enrichment yang berpengaruh positif pada kepuasan kerja. Meskipun belum banyak penelitian yang membuktikan hubungan positif antara kedua variabel, penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh positif antara work-family enrichment pada perasaan baik terhadap pekerjaan. Hasil tersebut sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya tentang konsekuensi positif workfamily enrichment pada beberapa sikap di tempat kerja seperti kepuasan kerja, tunover intention, komitmen organisasional dan organizational citizenship behavior (Bhargava and Baral, 2009). Dari seluruh hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, beberapa implikasi telah dapat dinyatakan bagi perusahaan yang memberi perhatian pada interaksi tuntutan pekerjaan dan keluarga agar karyawan memiliki perasaan positif terhadap pekerjaan dan perusahaan. Secara umum dapat dinyatakan bahwa perusahaan dapat memperhatikan kepribadian optimisme setiap karyawannya, memberi otonomi pada pekerjaan karyawan, serta selalu memberikan dukungan sosial agar karyawan dapat menyeimbangkan interaksi tuntutan pekerjaan dan kehidupan keluarganya. Hal tersebut penting untuk dilakukan oleh perusahaan karena kepuaan kerja karyawan akan menjadi dampak dari perhatian perusaan terhadap kebutuhan karyawannya tersebut. E. PENUTUP Terlepas dari berbagai implikasi yang dapat diperoleh, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan penelitian ini adalah lingkup survei yang 31 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 hanya mencakup wilayah Yogyakarta, sehingga kurang bisa mewakili populasi. Keterbatasan selanjutnya adalah penggunaan alat ukur yang kurang tepat, sehingga menyebabkan beberapa item tidak valid. Lebih lanjut, seperti diungkapkan oleh Frone (2003, dalam Dyson-Wasington, 2006) seperti halnya work-family conflict, work-family enrichment juga bersifat bidirectional, yang mana pekerjaan dapat meningkatkan kualitas kehidupan keluarga (work-family enrichment) dan kehidupan keluarga dapat meningkatkan kualitas pekerjaan (family-work enrichment). Penelitian ini mengabaikan hubungan dua faktor tersebut, sehingga dalam penelitian selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk membedakan dua hal tersebut. Keterbatasan penelitian ini membuka kesempatan bagi penelitian selanjutnya untuk semakin memperkuat hasil yang diperoleh. Salah satu kemungkinan yang dapat dilakukan untuk penelitian selanjutnya adalah menambahkan kriteria pengukuran, yaitu selain karyawan telah menjadi karyawan tetap, juga telah memiliki penghasilan yang dianggap mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Selain itu, beberapa faktor lain sepert jenis kelamin serta jenis pekerjaan dapat digunakan untuk menguji efek moderasi pada hubungan antara work-family enrichment dan konsekuensinya. Keterbatasan literatur dan bukti empiris mengenai work-family enrichment membuka kesempatan yang luas bagi peneliti selanjutnya untuk semakin memperkaya pengetahuan dalam bidang ini. DAFTAR PUSTAKA Baral, R., and S. Bhargava. 2011. Predictors of work-family enrichment: moderating effect of core self-evaluation. Journal of Indian Business Research. 3(4). 220-243. Baral, R., and S. Bhargava. 2010. Work-family enrichment as a mediator between organizational interventions of work-life balance and job outcomes. Journal of Managerial Psycology. 25 (3). 274-300. Boyar, SL., CP. Maertz, DC. Mosley, and JC. Carr. 2008. The impact of work/family demand on work-family conflict. Journal of Managerial Psychology. 23 (3). 215-235. Carlson, DS, KM. Kacmar, JH. Wayne, and JG. Grzywacz. 2006. Measuring the positive side of the work–family interface: Development and validation of a work–family enrichment scale. Journal of Vocational Behavior, 68(1). 131164. Chang, EC., A. Maydeu-Olivares, and TJ. D‟Zurilla. 1997. Optimism and pessimism as partially independent constructs: Relations to positive and 32 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 negative affectivity and psychological well-being. Personality and Individual Differences, 23(3), 433-440. Cooper, D. R. and Schindler, P. S. (2008), Business Research Methods, 10th ed, New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Chu, CWL. 2010. Development and validation of a multidimensional scale of work-family enrichment in Chinese context. PhD dissertation Aston University Dyson-Washington, F. 2006. The relationship between optimism and work-family enrichment and their influence on psychological well-being. PhD dissertation Drexel Univeristy Grandey, AA., BL. Cordeiro, and AC. Crouter. 2005. A longitudinal and multisource test of the work family conflict and job satisfaction relationship. Journal of occupational and organizational psychology, 78. 305-323. Greenhaus, JH. and GN. Powell. 2006. When work and family are allies: a theory of work-family enrichment. Academy of Management Review, 31 (1). 72-92. Greenhaus, JH., and NJ. Beutell. 1985. Sources of conflict between work and family roles. Academy of Management Review. 10.76-88. Grzywacz, JG. and NF. Marks. 2000. Reconceptualizing the work-family interface: An ecological perspective on the correlates of positive and negative spillover between work and family. Journal of Occupational Health Psychology, 5. 111-126. Hair, HF., RL. Tatham, RE. Anderson, B. Black. 2006. Multivariate Data Analysis. Englewood Cliffs, NJ. Prentice Hall Illies, R., KS. Wilson, and DT. Wagner. 2009. The spillover of daily job satisfaction onto employees, family lives: the facilitating role of workfamily integration. Academy Of Management Journal, 52 (1). 87–102. Lim, DH., C. Myungweon, and JH. Song. 2012, Work-family enrichment in Korea: construct validation and status. Leadership & Organization Development Journal. 33(3). 282-299 Lingard, H., V. Francis., M. Turner. 2010. Work–family enrichment in the Australian construction industry: implications for job design. Construction Management and Economics. 28.467-480. Lu, L. 2011. A Chinese longitudinal study on work/family enrichment. Career development international. 16 (4). 385-400. McNall, LA., AD. Masuda, and JM. Nicklin. 2010. Flexible work arrangements, job satisfaction, and turnover intensions: The mediating role of work-tofamily enrichment. The Journal of Psychology. 144 (1). 61-81. Morgeson, FP., K. Delaney-Klinger, and MA. Hemingway. 2005. The Importance of Job Autonomy, Cognitive Ability, and Job-Related Skill for Predicting 33 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Role Breadth and Job Performance. Journal of Applied Psycology. 90 (2). 399-406. Powell, GN. And J. Greenhause. 2006. Is the opposite of positive negative? Untangling the complex relationship between work-family enrichment and conflict. Career Development International. 11(7). 650-659. Roche M., and JM. Haar. 2010. Work-Family Interface Predicting Needs Satisfaction: The Benefits for Senior Management. e-Journal of Social & Behavioural Research in Business 1(1). 12–23. Rothbard, NP. 2001. Enriching or depleting the dynamics of engagement in work and family roles. Administrative Science Quarterly. 46. 655-684. Rotondo, DM. And JF. Kincaid. 2008. Conflict, Facilitation, and Individual Coping Styles Across The Work And Family Domains. Journal of Managerial Psychology. 23(5). 484 – 506. Taipale, S., K. Selander, T. Antilla, And J. Natti. 2011. Work engagement in eight Europeancountries: The role of job demands, autonomy, and social support. International Journal of Sociology and Social Policy. 31 (7). 486-504. Voydanoff, P. 2004. The effect of work demands and resources on work-to-family conflict and facilitation. Journal of marriage and family. 66 (2). 398-412 Wadsworth, LL., and BP. Owens. 2007. The effects of Social Support on WorkFamily Enhancement and Work-Family Conflict in the Public Sector. Public Administration Review. Jan-Feb. 75-87. Warner, MA. And PA. Hausdorf. 2009. The positive interaction of work and family roles Using need theory to further understand the work-family interface. Journal of Managerial Psychology. 24 (4). 372-385. Yavas, U., E. Babakus, and OM. Karatepe. 2008. Attitudinal and behavioral consequences of work-family conflict and family-work conflict Does gender matter?. International Journal of Service Industry Management. 19 (1). 731. 34 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 ANALISIS KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA WARTAWAN HARIAN LOKAL DI KOTA SERANG IMPLIKASINYA PADA KINERJA Deviyantoro Gugup Tugi Prihatma Universitas Serang Raya [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya implikasi kinerja wartawan harian lokal di kota serang yang disebabkan dengan kemampuan komunikasi interpersonal para wartawan tersebut Hasil Penelitian menunjukan korelasi antara kemampuan komunikasi interpersonal terhadap kinerja wartawan bernilai positif r = 0,571 berarti kemampuan komunikasi interpersonal yang ada selama ini memiliki hubungan yang menurut Guilford korelasi berada antara 0.40 – 0.70 yang berarti korelasi sedang. Sementara besarnya kontribusi hubungan kedua variable tersebut (x1 dan Y) melalui perhitungan koefisien determinasi sebesar r 2 = 55 %. Sedangkan pengaruh positif ditunjukan dengan garis regresi Y = 12.870 + 0,645 X1 artinya jika kemampuan komunikasi interpersonal diprioritaskan maka secara otomatis akan diikuti peningkatan kinerja wartawan. Uji hipotesis yang dilakukan menunjukan nilai t hitung = 3.695 dan dengan α 0.05 dk n-2 (89-2=87) menghasilkan t tabel 1.999 (interpolasi), setelah dibandingkan t hitung > t tabel maka t hitung berada pada daerah penerimaan Ha pernyataannya adalah ada pengaruh yang signifikan antara kemampuan komunikasi interpersonal yang telah diterapkan selama ini terhadap kinerja wartawan pada perusahaan surat kabar harian lokal di kota Serang. Kata Kunci : Komunikasi, Interpersonal, Kinerja, Wartawan A. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan sarana untuk mengadakan koordinasi antara berbagai subsistem dalam perusahaan dan komunikasi yang berjalan secara berkesinambungan, dalam perusahaan akan dapat meningkatkan kinerja kerja bagi wartawan yang ada di perusahaannnya, namun sebaliknya, apabila terjadi komunikasi yang buruk akibat tidak terjalinnya hubungan yang baik, sikap yang otoriter atau acuh, perbedaan pendapat atau konflik yang berkepanjangan, dan sebagainya, dapat berdampak pada menurunnya kinerja kerja oleh karena itu kemampuan komunikasi interpersonal yang baik dan efektif sangat diperlukan oleh setiap insan pers agar mereka dapat menjalani semua 35 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 aktivitasnya dengan lancar. . Sampai saat ini masih banyak para pencari informasi (pers) di provinsi ini yang belum memahami arti penting komunikasi interpersonal, mereka menganggap bahwa keahlian komunikasi merupakan keterampilan datang dengan sendirinya pada diri seseorang, maka tidak perlu secara khusus belajar bagaimana berkomunikasi hal itu menyebabkan pencapaian tujuan efektivitas kerja tidak maksimal dikarenakan pimpinan maupun insan pers sebagai pegawai media informasi kurang baik dalam penerapan komunikasinya. Tempo Interaktif memberitakan Sejumlah pejabat di Provinsi Banten mengeluhkan banyaknya oknum wartawan yang sering meresahkan pejabat dalam meliput suatu berita ini mengasumsikan bahwa sering tidak terjadi komunikasi yang baik, antara orang yang memberikan informasi dengan pencari beritanya, dan bahkan banyak pejabat yang menanyakan terkait dengan kualitas tugas pokok dan fungsi dari insan pers tersebut. Kemudian pada fesbuk Banten news pada 11 April 2012 berita tentang wartawan asing boleh meliput sedangkan wartawan local tidak boleh meliput oleh salah satu instansi pemerintahan, ini juga mengindikasikan adanya komunikasi interpersonal yang kurang berjalan dengan baik. Perkembangan media massa terutama media cetak yang berada di kota Serang propinsi Banten ini pun masih kurang kecenderungan secara antar individu, artinya bahwa antar wartawan masih kurang adanya koordinasi satu sama lain, kecenderungan peningkatan kualitas informasi media cetak. Maka dari itu dengan penjelasan dan uraian diatas bahwa begitu pentingnya komunikasi interpersonal dalam mewujudkan sikap kinerja wartawan sebagai insan pers. Rumusan Masalah Bagaimana kemampuan komunikasi interpersonal wartawan di Kota Serang berimplikasi pada kinerjanya Tujuan Penelitian Tujuan penelitian untuk mengetahui penerapan komunikasi interpersonal dan tingkat kinerja wartawan di Kota Serang B. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Komunikasi Interpersonal DeVito (1992) menyatakan: “interpersonal communication is defined as communication that takes place between two persons who have a clearly established relationship; the people are in some way connected.” (DeVito, 1992:11). Menurut DeVito komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang terjadi diantara dua orang yang telah memiliki hubungan yang jelas, yang terhubungkan dengan beberapa cara. Deddy Mulyana (2005) menyatakan: “komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun nonverbal.” (Mulyana, 2005:73). 36 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Dengan demikian, dari kedua pengertian komunikasi interpersonal tersebut dapat diketahui bahwa karakteristik komunikasi interpersonal adalah terjadi diantara dua orang yang memiliki hubungan yang jelas, berlangsung secara tatap muka, bersifat interaktif dimana para pelaku komunikasi dapat saling bereaksi satu sama lain. Tujuan dan Fungsi Komunikasi Interpersonal DeVito (2005) menyatakan: “The five major purposes of interpersonal communication are to learn about self, others, and the world; to relate to others and to form relationship; to influence or control the attitudes and behaviours of others; to play or enjoy oneself; to help others.” (DeVito, 2005:15). Jadi menurut DeVito tujuan komunikasi interpersonal yang pertama adalah untuk belajar tentang diri sendiri, tentang orang lain, bahkan tentang dunia. Melalui kegiatan komunikasi interpersonal dengan seseorang, kita bisa mengetahui siapa dia dan juga mengetahui bagaimana pendapat dia tentang kita, sehingga kita pun menjadi tahu seperti apa kita. Semakin banyak kita berkomunikasi dengan orang lain, semakin banyak mengenal orang dan kita juga semakin mengenal diri kita sendiri. Semakin banyak kita berkenalan dengan 6 orang maka semakin banyak pengetahuan kita tentang lingkungan di sekitar kita dan bahkan tentang dunia. Tujuan komunikasi interpersonal yang kedua adalah untuk berhubungan dengan orang lain dan untuk membangun suatu ikatan (relationship). Melalui komunikasi interpersonal kita dapat berkenalan dengan seseorang dan komunikasi interpersonal yang intensif dan efektif bisa menciptakan suatu ikatan bathin yang erat. Hal ini terjadi ketika kita membangun dan memelihara persahabatan dengan orang lain yang sebelumnya tidak kita kenal. Disamping itu, melalui komunikasi interpersonal ikatan kekeluargaan tetap bisa dipelihara dengan baik. Tujuan komunikasi interpersonal yang ketiga adalah untuk memengaruhi sikap dan perilaku orang lain. Dalam hal ini kegiatan komunikasi ditujukan untuk memengaruhi atau membujuk agar orang lain memiliki sikap, pendapat dan atau perilaku yang sesuai dengan tujuan kita. Contoh dari kegiatan komunikasi interpersonal seperti ini adalah ketika seorang pramuniaga menawarkan produk yang dijualnya. Tujuan komunikasi interpersonal yang keempat adalah untuk hiburan atau menenangkan diri sendiri. Banyak komunikasi interpersonal yang kita lakukan yang sepertinya tidak memiliki tujuan yang jelas, hanya mengobrol kesanakemari, untuk sekedar melepaskan kelelahan setelah seharian bekerja, atau hanya untuk mengisi waktu ketika harus menunggu giliran diperiksa di rumah sakit. Sepertinya ini merupakan hal yang sepele, tapi komunikasi seperti itu pun penting bagi keseimbangan emosi, dan kesehatan mental. Tujuan komunikasi interpersonal yang kelima adalah untuk membantu orang lain. Hal ini terjadi misalnya ketika seorang klien bekonsultasi dengan seorang psikolog, atau seseorang yang sedang berkonsultasi dengan pengacara, atau kita yang mendengarkan seorang teman yang mengeluhkan sesuatu (curhat). Proses komunikasi interpersonal yang demikian merupakan bentuk komunikasi yang bertujuan untuk menolong orang lain memecahkan masalah yang dihadapinya dengan bertukar pikiran. Sifat 37 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 komunikasi interpersonal yang tatap muka dan interaktif memungkinkan proses konsultasi berjalan dengan efektif, sehingga baik konsultan maupun klien bisa mengakhiri proses komunikasinya dengan lega dan menyenangkan. Memperhatikan tujuan sekaligus fungsi komunikasi interpersonal tersebut di atas, maka dapat diketahui betapa pentingnya peran komunikasi interpersonal dalam kehidupan kita. Dimensi Komunikasi Interpersonal DeVito (1992) memandang komunikasi interpersonal yang efektif berdasarkan humanistic model dan pragmatic model. Humanistic model (soft approach) menunjukkan bahwa kualitas komunikasi interpersonal yang efektif ditentukan oleh 5 faktor, sebagai berikut: Openness (keterbukaan) maksudnya adalah bahwa komunikasi interpersonal akan efektif apabila terdapat keinginan untuk membuka diri terhadap lawan bicara kita, keinginan untuk bereaksi dengan jujur pada pesan yang disampaikan oleh lawan bicara kita, keinginan untuk menghargai bahwa perasaan dan pemikiran yang disampaikan selama proses komunikasi berlangsung adalah kepunyaan kita sendiri (owning of feels and thought). Dalam situasi seperti ini diantara pelaku komunikasi akan tercipta keterbukaan perasaan dan pemikiran, serta masing-masing pihak bertanggungjawab atas apa yang disampaikannya. Empathy yaitu ikut merasakan apa yang orang lain rasakan tanpa kehilangan identitas diri sendiri. Melalui empathy kita bisa memahami baik secara emosi maupun secara intelektual apa yang pernah dialami oleh orang lain. Empathy harus diekspresikan sehingga lawan bicara kita mengetahui bahwa kita berempathy padanya, sehingga bisa meningkatkan efektivitas komunikasi. Supportiveness (mendukung) maksudnya adalah komunikasi interpersonal akan efektif apabila tercipta suasana yang mendukung. Nuansa dukungan akan tercipta apabila proses komunikasi bersifat deskriptif dan tidak evaluative, serta lebih fleksibel dan tidak kaku. Jadi dalam proses penyampaian pesan gunakanlah kata-kata atau kalimat yang deskriptif dan tidak memberikan penilaian, kemudian tunjukkan bahwa masingmasing pelaku komunikasi bersedia mendengarkan pendapat lawan bicara dan bahkan mengubah pendapat kalau memang diperlukan. Positiveness (sikap positif) maksudnya adalah dalam komunikasi interpersonal yang efektif para pelaku komunikasi harus menunjukkan sikap yang positif dan menghargai keberadaan orang lain sebagai seseorang yang penting (stroking). Equality (kesetaraan) maksudnya adalah penerimaan dan persetujuan terhadap orang lain yang menjadi lawan bicara. Harus disadari bahwa semua orang bernilai dan memiliki sesuatu yang penting yang bisa diberikan pada orang lain. Kesetaraan dalam komunikasi interpersonal harus ditunjukan dalam proses pergantian peran sebagai pembicara dan pendengar. 38 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Pengertian Kinerja Wartawan Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang wartawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Prabu, 2001;67) Kinerja adalah Output drive proces, human or otherwise, jadi dikatakan bahwa kinerja adalah merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses (Sedamayanti, 2001;5) Kinerja merupakan usaha, kegiatan, atau program yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh pimpinan organisasi (perusahaan) untuk merencanakan, mengarahkan, dan mengendalikan prestasi wartawan ( Achmad S. Ruky,2006;6) Kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan, serta waktu. Kinerja merupakan gabungan dari dari tiga faktor penting, yaitu kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas penjelasan delegasi tugas, serta tingkat motivasi seorang pekerja. Semakin tinggi faktor tersebut, maka semakin besarlah kinerja wartawan yang bersangkutan” ( Malayu S.P. Hasibuan,2002;94) Unsur-Unsur dalam Kinerja Untuk dapat memahami unsur-unsur dalam kinerja adalah : a. Adanya hasil kerja, yaitu suatu bukti dari hasil kerja seseorang yang dilakukan sehingga dapat dinilai kualitas kerja yang dilaksanakannya. b. Adanya subjek seseorang atau perusahaan proses manajemen, yaitu orang atau perusahaan yang melakukan suatu proses kegiatan pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen. c. Terbukti secara konkrit, hasil karya tersebut dapat dilihat secara nyata sebagai bukti pelaksanaan pekerjaan tersebut, apakah mengalami peningkatan atau sebaliknya mengalami penurunan. d. Dapat diukur, hasil kerja yang dilakukan tersebut dapat diukur dan dinilai, apakah sesuai dengan ketentuan atau lebih baik dari standar kerja yang telah ada. e. Dibandingkan dengan standar yang telah ditentukan, serta membandingkan hasil kerja seseorang dengan ukuran-ukuran standar yang telah dibuat berdasarkan kualitas dan kuantitas kerja. Dimensi Kinerja Wartawan Tujuan dilakukannya penilaian kinerja berdasarkan periode waktunya adalah sebagai berikut: 1. Untuk memberikan dasar bagi rencana dan pelaksanaan pemberian penghargaan bagi wartawan atas kinerja pada periode waktu sebelumnya (to reward past performance) 2. Untuk memotivasi agar pada periode waktu yang akan datang kinerja seorang wartawan dapat ditingkatkan (to motivate future performance improvement) 39 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Sedangkan cara mengukur kinerja wartawan menurut Bernardin Jhon (Rivai: 2002:287) terdapat enam kriteria yang dapat digunakan yaitu : 1. Kualitas pekerjaan : tingkat dimana hasil aktivitas yang dilakukan mendekati sempurna dalam arti menyesuaikan beberapa cara ideal dari penampilan aktivias ataupun memenuhi tujuan-tujuan yang diharapkan dari suatu aktivitas. 2. Kuantitas pekerjaan : jumlah yang dihasilkan dan dinyatakan dalam istilah seperti dollar, jumlah unit, jumlah siklus, aktivitas yang diselesaikan. 3. Ketepatan waktu : tingkat suatu aktivitas diselesaikan pada awal yang diinginkan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil serta memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain. 4. Efektifitas : tingkat penggunaan sumber daya organisasi (tenaga, uang, teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud menaikkan keuntungan atau mengurangi kerugian dari setiap unit atau instansi dalam penggunaan sumber daya. 5. Kemandirian : tingkat dimana seseorang wartawan dapat melakukan fungsi kerjanya tanpa meminta bantuan, bimbingan dan pengawasan atau meminta turut campurnya pengawas guna menghindari hasil yang merugikan. 6. Hubungan interpersonal : tingkat dimana wartawan mengemukakan perasaan, harga diri, jasa baik, dan kerja sama antara rekan kerja dalam unit kerjanya. Penelitian Pendahulu Eddy Pattanduk, Eka Afnan Troena, Surachman, Margono Setiawan, The results of the analysis of the influence of interpersonal communication (KI) and Procedural Justice (KP) commitment (KT), aimed at Table 2, the acquisition of R2 at 0.344 with a significance level of 0.000. Obtaining this result implies that interpersonal communication (KI) and Procedural Justice (KP) has a small role in influencing commitment. The results of the analysis of the influence of interpersonal communication (KI), Procedural Justice (KP), and commitment (KT) on the performance of employees (KJ), shown in Table 3. R 2 Acquisition of 0.511 with a significance level of 0.000, indicated that interpersonal communication (KI), Procedural Justice (KP), and commitment (KT) have a significant role in influencing the performance of the employee (International Journal of Social Science Tomorrow Maret 2013) Masih dalam kutipan jurnal tersebut dalam penelitian terdadulu Chen, Silverthorne and Hung Kirchmajer 2005 Interpersonal communication significantly related to performance, the results of this study support the research, the relationship between interpersonal communication with the performance. The results of studies showing similar results are an indication that interpersonal communication is consistently nothing to do with performance. 40 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 C. METODE PENELITIAN Tipe Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu metodologi riset yang berupaya untuk mengkuantifikasi data, dan biasanya menerapkan analisis statistik tertentu (Malhotra,2005:115). Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan metode survei, yaitu sebuah desain penelitian yang memberikan uraian kuantitatif maupun numerik dari sejumlah pecahan populasi (sampel) melalui proses pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul datanya (Fowler, 1988 dalam Jhon W Creswell, 1994:112). Pengujian hipotesis secara spesifik serta adanya hubungan kausal berbagai variabel melalui pengujian hipotesis, maka jenis penelitian yang digunakan adalah Explanatory research yaitu suatu metode yang tidak hanya menyatakan kondisi dari variabel atau hubungan antar variabel saja, tetapi juga untuk mengetahui pengaruh antar-variabel (Singarimbun, dalam Singarimbun dan Effendi, Editor, 2006 : 4) Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah wartawan media cetak khususnya di kota Serang propinsi Banten yang merupakan responden yang nantinya akan diberikan daftar pertanyaan yang berhubungan dengan variable yang sedang diteliti. Populasi dan Sample. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wartawan media cetak yang berada di lingkungan kota Serang sedangkan jumlah sample ditentukan dengan metode Slovin dengan persentase kelongaran ketidak pastian karena kesalahan pengambilan sampel yang dapat ditolelir atau diragukan sebesar 0.05% (Umar, 2000 ; 146) Kisi-Kisi Instrumen Komunikasi Interpersonal Dimensi Indikator Keterbukaan 1. keinginan untuk membuka diri dengan orang (openness) lain 2. keinginan untuk bereaksi dengan jujur pada pesan yang disampaikan oleh orang lain, 3. keinginan untuk menghargai perasaan dan pemikiran yang disampaikan orang lain 4. bertanggungjawab atas apa yang disampaikannya. Empati 1. Ikut merasakan apa yang orang lain rasakan (emphaty) tanpa kehilangan identitas diri sendiri. 2. Memahami baik secara emosi maupun secara intelektual apa yang pernah dialami oleh orang lain. Skala Interval Interval 41 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 3. Berusaha mengekspersikan sebagai tanda kita ikut merasakan Dukungan 1. Senantiasa mengunakan kalimat kalimat (supportiveness) deskriptif 2. Tidak evaluative atau memberikan penilaian 3. Fleksibel dan tidak kaku. 4. Menunjukan bersedia mendengarkan pendapat orang lain Kepositifan Menunjukkan sikap yang positif (positiviness) Menghargai keberadaan orang lain sebagai seseorang yang penting (stroking). Kesetaraan 1. Menerima orang lain yang menjadi (equality) lawan bicara. 2. Menyadari bahwa semua orang bernilai dan memiliki sesuatu yang penting 3. Pergantian peran sebagai pembicara dan pendengar. 1. Dimensi Kualitas pekerjaan Kuantitas pekerjaan Ketepatan Waktu 1. 2. 3. 1. 2. 1. 2. 3. Efektifitas 1. 2. Kemandirian 1. 2. Hubungan 1. Interpersonal 2. 3. Kisi-kisi Kinerja Wartawan Indikator Tingkat keberhasilan dalam bekerja Penyesuaian diri dalam bekerja Motivasi pada tujuan perusahaan Produktivitas perusahaan Jumlah pekerjaan yang diselesaikan Ketepatan pekerjaan dengan waktu yang diperlukan Penggunaan waktu dalam bekerja Koordinasi Pekerjaan Penggunaan teknologi Penggunaan Bahan baku Kemandirian dalam bekerja Bimbingan dan pengawasan dalam bekerja Menghargai perasaan antar pegawai Menjaga nama baik perusahaan Kerjasama dalam kelompok kerja Interval Interval Interval Skala Interval Interval Interval Interval Interval Interval Uji Instrumen Penelitian Validitas (Validity ) dilakukan uji coba koesioner pada sejumlah responden untuk mengetahui apakah instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini valid atau tidak. dan pernyataan yang dinyatakan Valid adalah pernyataan yang memiliki angka korelasinya diatas korelasi r Product moment (r tabel) 42 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Uji Reliabilitas Uji ini adalah untuk menunjukan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran terhadap aspek yang sama pada alat ukur yang sama (Internal Consistency Reliability). Dalam pengukuran reliabilitas ini digunakan rumus Cronbach‟s Alpha (α ) Metode Analisis Data Uji Asumsi Klasik Agar model regresi berganda dapat digunakan dan memberikan hasil yang representatif Blue (Best, linier, Unblased, Estimation) maka persamaan tersebut harus dapat memenuhi asumsi klasik yaitu memenuhi asumsi normalitas. Uji Regresi, korelasi dan determinasi Untuk mengetahui ada atau tidaknya korelasi antara komunikasi interpersonal dengan kinerja wartawan dilakukan perhitungan korelasi dengan rumus Product Moment dari Pearson (Umar : 2000; 316) ; Untuk mengetahui pengaruh kemampuan komunikasi interpersonal terhadap kinerja wartawan digunakan koefisien regresi berganda, Untuk mengukur seberapa besar variabel independent (x) berperan terhadap variabel dependent (Y) maka digunakan perhitungan koefisien determinasi Hipotesis Statistik H0 : β12 = 0 tidak ada pengaruh yang signifikan kemampuan komunikasi interpersonal terhadap kinerja wartawan di kota serang Hi : β12 ≠ 0 ada pengaruh yang signifikan kemampuan komunikasi interpersonal terhadap kinerja wartawan dikota serang D. HASIL DAN PEMBAHASAN Komunikasi Interpersonal Wartawan di Kota Serang Komunikasi interpersonal adalah komunikasi dua orang atau lebih baik dalam masyarakat, organisasi bisnis atau non bisnis dengan media seperti telepon, handphone, face to face atau bahasa untuk mencapai tujuan. Tujuan dari komunikasi interpersonal adalah menumbuhkan simpati melalui sikap positif dari lubuk hati. Melalui komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain. Akan tetapi, komunikasi hanya akan efektif apabila pesan yang disampaikan dapat ditafsirkan sama oleh penerima pesan tersebut.. Berdasarkan data yang di olah bahwa komunikasi interpersonal wartawan pada di Kota Serang Banten memiliki tingkat rara-rata adalah tinggi, karena hampir mendekati nilai maksimum artinya responden yang memberikan pernyataan dengan skor tinggi lebih banyak dari pada yang memberi skor rendah, artinya kebanyakan responden memberikan respon baik pada komunikasi interpersonal wartawan. 43 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Uji Validitas dan Reliabilitas Dengan nilai r table dan drajat kebebasan sebesar 30, tingkat signifikan 5%, didapat angka tabel : 0,360 . Maka dari berbagai nilai r hitung setiap varian pertanyaan tidak semuanya lebih besar dari r tabelnya maka semua instrunmen penelitian untuk komunikasi interpersonal wartawan tidak keseluruhannya valid, yaitu dari 17 pertanyaan 4 tidak valid sedangkan untuk instrumen kinerja karyawan dari 15 pertanyaan 2 tidak valid Kemudian dilakukan uji reliabilitas untuk mengetahui kehandalan dari sebuah instrument penelitian berikut: Nilai Keputusan r11 Rule of Thumb Nunally Koefisien α = 0. 6 Koefisien α = 0. 6 X1 = 0,751 Y = 0,757 Sumber: dari pengolahan quesioner Reliabel Reliabel Distribusi Kuesioner Berdasarkan distribusi sebaran kuesioner untuk Komunikasi Interpersonal dapat diketahui bahwa rata-rata responden memberikan skor pada kategori setuju dalam merespon komunikasi interpersonal wartawan ini yaitu dengan nilai sebesar 19,92 dengan nilai prosentase 22,4% , sedangkan untuk responden yang menyatakan sangat setuju hanya sebesar 31,46 dengan prosentase 35,4% sedangkan Berdasarkan tabel distribusi frekuensi variabel kinerja wartawan frekuensi yang tertinggi adalah jawaban sangat setuju (4) dengan rata-rata frekuensi 34,69 dengan prosentase 39%, kemudian jawaban setuju (3) dengan rata-rata frekuensi 18,54 dengan prosentase 20,8%, berikutnya jawaban tidak setuju (2) dengan rata-rata frekuensi 13,46 dengan prosentase 15,1%. hal ini dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden merespon setuju dengan penerapan kerja wartawan yang telah dilaksanakan pada perusahaan ini. Uji Normalitas KOM_INTERPERSONAL KINERJA_WARTAWAN Kolmogorov-Smirnova Statistic df Sig. .085 89 .130 .057 89 .200* Shapiro-Wilk Statistic df .984 89 .988 89 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Nilai Asymp. Sig. (2-tailed) untuk semua variable pada table perhitungan adalah X= 0.130 dan Y = 0,200 merupakan nilai p yang dihasilkan dari uji hipotesis nol yang berbunyi tidak ada perbedaan antara distribusi data yang diuji dengan distribusi data normal. Jika nilai p lebih besar dari 0.1 maka kesimpulan yang diambil adalah hipotesis nol ditolak diterima, atau dengan 44 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Sig. .346 .559 Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 kata lain sebaran data dari semua variable yang kita uji mengikuti distribusi normal. Dipilih pengujian Kolmogorov-Smirnov karena sampel pada penelitian ini lebih besar dari 50 sampel Hubungan Komunikasi Interpersonal Wartawan dengan Kinerja wartawan Untuk mengetahui sampai sejauh mana hubungan komunikasi interpersonal wartawan dengan kinerjanya pada, penulis menggunakan perhitungan analisa korelasi adalah sebagai berikut : S eKOM_INTERPER Pearson Correlation sSONAL Sig. (2-tailed) u N aKINERJA_WART Pearson Correlation iAWAN Sig. (2-tailed) N KOM_INTER PEMB_REWA KINERJA_W PERSONAL RD ARTAWAN 1 .696** .571** .000 .000 89 89 89 .571** .740** 1 .000 .000 89 89 89 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Dengan skala keeratan hubungannya menurut Guiford, maka nilai korelasi sebesar 0,571 tersebut berada pada criteria korelasi antara 0,40– 0,70 maka hasil korelasi itu termasuk pada Korelasi sedang, dan Hasil korelasi tersebut berarti ada keeratan hubungan antara kedua variabel yaitu komunikasi interpersonal wartawan dengan Kinerja wartawan. Selanjutnya untuk mengukur seberapa besar komunikasi interpersonal wartawan berperan terhadap kinerja wartawan digunakan koefisien determinasi sebagai berikut : Model Summaryb Std. Error R Adjusted of the Model R Square R Square Estimate 1 .745a .554 .544 3.66754 a. Predictors: (Constant), KOM_INTERPERSONAL b. Dependent Variable: KINERJA_WARTAWAN Arti dari hasil perhitungan koefisien determinasi ini adalah besarnya kontribusi pengaruh komunikasi interpersonal wartawan terhadap kinerja wartawan adalah 55 % sedangkan 45 % dipengaruhi oleh faktor lain seperti contohnya gaya kepemimpinan lembaga media informasi, etika pers, UU pers dan kode etik wartawan. Pengaruh Komunikasi Interpersonal Wartawan terhadap Kinerja wartawan Kemudian dari data yang sama dilakukan penghitungan regresi sederhana untuk mengetahui pengaruh kenaikan atau penurunan antara variabel komunikasi 45 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 interpersonal wartawan terhadap kinerja wartawan juga dengan menggunakan perangkat lunak SPSS versi 19 adalah : Standardized Unstandardized Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta 1 (Constant) 12.870 3.483 Komp_Interp .645 .099 .571 a. Dependent Variable: Kinerja_Wartawan t 3.695 6.491 Sig. .000 .000 maka persamaan regresinya adalah adalah Y = 12.870 + 0.645x Artinya secara statistic apabila ada peningjkatan pelaksanaan komunikasi interpersonal wartawan sebesar x % akan mengakibatkan peningkatan prosentase x % untuk wartawan. misalnya untuk komunikasi interpersonal wartawan naik 1 kegiatan maka pengaruh kenaikan pada kinerja wartawan wartawan sebagai variable Y adalah : Y = 12.870 + 0.645x = 12.870 + 0.645 (1) = 12.870 + 1.645 = 14.515 Kemudian dilakukan uji hipotesis dengan program yang sama Unstandardized Coefficients Model B Std. Error 1 (Constant) 12.870 3.483 Komp_Interp .645 .099 Standardized Coefficients Beta t 3.695 .571 6.491 Sig. .000 .000 a. Dependent Variable: Kinerja_Wartawan Selanjutnya mencari nilai t table dengan menggunakan nilai kritis distribusi normal t maka perhitungan interpolasi sebagai berikut: t tabel = t60 – ( 89 - 60 ) . ( t 60-t120 ) 120-60 = 2.000 – ( 89-60) . ( 2.000-1,980 ) 60 = 2.000 – (29) . (0.00027) = 2.000 – 0,00783 = 1,999 oleh karena nilai t = 3.695 lebih besar daripada nilai t tabel (uji dua ekor) yaitu dengan α 0.05 dan dk = (n – 2) 89 – 2 maka t tabel (0.05)(87) = 1.999 (Hasil Interpolasi) maka Hi: diterima artinya ada pengaruh positif antara pelaksanaan komunikasi interpersonal wartawan terhadap kinerja wartawan. 46 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 E. KESIMPULAN Dari hasil penelitian pada perusahaan media informasi di kota Serang Propinsi Banten maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Komunikasi interpersonal Dari hasil analisis penghitungan deskriptif dengan menggunakan SPSS versi 19 adalah kebanyakan responden berpendapat bahwa komunikasi interpersonal yang dilaksanakan saat ini pada perusahaan media cetak harian lokal di kota Serang memiliki kategori sedang menurut analisis responden Korelasi yang dihasilkan bernilai positif yang berarti menggambarkan arah hubungan antara komunikasi interpersonal terhadap kinerja searah, jika kemampuan komunikasi interpersonal semakin baik maka secara otomatis kinerja wartawan meningkat, sedangkan keeratan hubungannya antara komunikais interpersonal dengan kinerja wartawan menurut Guilford adalah korelasi sedang. Besarnya peranan komunikasi interpersonal dengan kinerja wartawan. Dapat dilihat pada daerah penerimaan Hi pernyataannya adalah ada pengaruh yang signifikan antara kedua variabel yang sedang diamati. Pengaruh positif ditunjukan oleh garis regresi artinya jika variabel X1 (komunikasi interpersonal) kondisinya diperbaiki atau ditingkatkan 1, maka secara otomatis variabel Y (kinerja wartawan) meningkat sebesar juga. Dimensi yang diukur dalam variabel X1 yang memberikan distribusi terbesar secara korelasi terhadap variabel Y (kinerja wartawan) adalah terdapat pada dimensi kepositifan (positiviness) dengan indikator wartawan dalam berkomunikasi menghargai keberadaan orang lain sebagai seseorang yag penting (stroking) pernyataan nomor 11, hal inilah yang lebih dominan dalam meningkatkan kinerja wartawan. DAFTAR PUSTAKA A. A. Anwar Prabu, Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, Cetakan kedua, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001 Devito, Joseph, 1997 : “The Interpersonal Communication Edisi 2nd” Effendy, Onong Uchjana 2005, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Furqon, 1999, “Statistik Terapan Untuk Penelitian”, Penerbit CV. Alpabeta Cetakan kedua, Bandung. McKenna, Eugene dan Beech , Nic. 2000. The Essence of Manajemen Sumber daya Manusia. Alih bahasa oleh Andi Yogyakarta. 47 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Mulyana, Deddy. (2005). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung Remaja Rosda Karya. Sobur, Alex : Profesionalisme dengan nurani (Bandung:humaniora utama press) Stephen W, Little Jhon and Karen A. Foss, 2009 : Encyclopedia Of Communication London, Sage Sudjana, 2000, “ Metode Statistik”’ Tarsito Bandung 1996, “Teknik Analisa Regresi dan Korelasi”, Penerbit Tarsito, Edisi Revisi, Bandung Sugiyanto, 2001, Menguak Peluang dan Tantangan Administrasi Publik 1999, “ Statistika untuk penelitian” Alpha Beta Bandung Supranto. J, 1985, “ Statistika Teori dan aplikasi” Erlangga, Jakarta Umar,Husen,2000, “Riset pemasaran dan prilaku konsumen”, Penerbit Gramedia, Jakarta. 48 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 PERAN KETERIKATAN MEREK DALAM MEMBANGUN LOYALITAS PELANGGAN Muhammad Johan Widikusyanto Universitas Serang Raya [email protected] ABSTRAK Keterikatan merek (brand attachment) adalah variabel yang penting untuk mempertahankan dan meningkatkan loyalitas pelanggan. Keterikatan merek juga penting untuk membantu menjelaskan hubungan asimetris antara kepuasan dan kepercayaan dengan loyalitas merek. Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh kepuasan, kepercayaan, dan keterikatan merek pada loyalitas merek. Penelitian ini bertujuan pula menguji peran mediasi keterikatan merek pada hubungan antara kepuasan dan kepercayaan merek dengan loyalitas merek. Responden penelitian ini adalah 256 pengguna laptop di Daerah Istimewa Yogyakarta. Data dikumpukan dengan menggunakan kuesioner. Struktural equation modeling (SEM) dengan bantuan program statistik AMOS digunakan untuk menguji goodness of fit model, dan hubungan yang dihipotesiskan di dalam model teoritis yang diusulkan. Temuan dari model struktural telah membuktikan hampir seluruh hubungan yang dihipotesiskan. Kepuasan terbukti berpengaruh pada kepercayaan, keterikatan, dan loyalitas merek. Sedangkan Kepercayaan merek terbukti berpengaruh pada keterikatan merek, namun pengaruh kepercayaan merek pada loyalitas merek tidak terdukung. Keterikatan merek pun terbukti berpengaruh pada loyalitas merek. Keterikatan merek memiliki peran yang sangat penting bagi pengaruh kepuasan dan kepercayan merek pada loyalitas merek. Keterikatan merek terbukti memediasi secara parsial pengaruh kepuasan merek pada loyalitas merek dan memediasi secara penuh pengaruh kepercayaan merek pada loyalitas merek. Kata Kunci: Kepuasan, Kepercayaan, Keterikatan, Attachment, Loyalitas, Merek, Struktural Equation Modeling. A. PENDAHULUAN Loyalitas pelanggan pada merek menjadi aspek yang sangat krusial ketika perusahaan memasuki pasar yang penuh persaingan. Pada kondisi pasar 49 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 seperti ini, perusahaan tidak cukup hanya bergantung pada kepuasan pelanggan karena kepuasan pelanggan tidak berarti pelanggan akan loyal (Oliver, 1999: 33; Bennett dan Rudle, 2004: 514). Sedangkan kemampuan bertahannya suatu merek dalam persaingan yang ada sangat ditentukan tingkat loyalitas pelanggan pada merek tersebut. Persaingan ketat dan tajam yang terjadi di kategori produk laptop akan dapat mengikis bahkan menghilangkan loyalitas pelanggan dari merek-merek yang sedang bersaing. Karena loyalitas adalah jantungnya setiap bisnis, maka tanpa loyalitas sebuah perusahaan tidak akan mampu bertahan dalam persaingan bisnis yang semakin tajam dan keras yang disertai pula peningkatan ketidakpastian pasar dan berkurangnya perbedaan antar merek. Oleh karena itu, penurunan bahkan hilangnya loyalitas dari para pelanggan yang berpotensi menimbulkan perilaku berpindah merek telah memaksa para manajer pemasaran untuk mencurahkan sebagian besar perhatiannyauntuk menemukan jalan keluar dari masalah ini. Dua konstruk utama yang penting dan sering digunakan dalam berbagai literatur penelitian untuk menjelaskan loyalitas adalah kepuasan dan kepercayaan pelanggan (Delgado dan Munuera, 2005; Taylor et al., 2004; Chaudhuri dan Holbrook, 2001; Bloemer et al., 1998). Konstruk lainnya yang juga terbukti secara empiris dapat memprediksi loyalitas adalah keterikatan merek (Lacoeuilhe dan Belaid, 2007; Sung et al., 2005; Thomson et al., 2005). Beberapa studi empiris menunjukkan pula bahwa kepuasan dan kepercayaan merek terbukti mampu memprediksi keterikatan merek (Esch et al., 2006; Luis dan lombart, 2010; Bouhlel et al., 2009). Namun demikian, masih sangat sedikit sekali penelitian yang memberikan dukungan empiris pada teori yang mendasari hubungan antara kepuasan dan kepercayaan dengan keterikatan merek ataupun antara keterikatan merek dengan loyalitas merek sehingga dapat dikatakan teori-teori tersebut belum terdukung dengan kuat secara empiris. Selain itu, terdapat perbedaan teori dalam literatur yang berupaya menjelaskan hubungan antara kepuasan, kepercayaan, dan keterikatan merek. Kondisi ini memperlihatkan perlunya studi sejenis untuk memberikan tambahan dukungan secara empiris pada teori yang mendasari model teoritis yang diusulkan dalam penelitian ini. Masalah teoritis lainnya adalah terjadinya inkonsistensi hasil empiris pada hubungan antara keterikatan merek dengan loyalitas merek. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa keterikatan merek berpengaruh signifikan pada loyalitas merek namun penelitian Belaid dan Behi (2011) memberikan hasil yang berbeda. Inkonsistensi hasil empiris ini memicu pentingnya studi sejenis untuk melihat lebih jelas hubungan antara keterikatan merek dengan loyalitas merek. Selain itu, peran keterikatan merek 50 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 sebagai variabel mediasi dalam hubungan antara kepuasan, kepercayaan dan loyalitas merek masih belum di ketahui dengan jelas, karena belum ditemukannya studi empiris yang meneliti peran mediasi keterikatan merek pada hubungan tersebut. Dalam tataran praktis dan teoritis di bidang perilaku konsumen terlihat masih membutuhkan model teoritis yang sederhana namun mampu memprediksi loyalitas pelanggan pada merek dengan baik. Adapun tujuan penelitian ini adalah menguji pengaruh kepuasan, kepercayaan, dan keterikatan merek pada loyalitas merek. Selain itu, penelitian ini menguji pula peran mediasi keterikatan merek pada hubungan antara kepuasan dan kepercayaan dengan loyalitas merek. Fokus tujuan penelitian ini yang pertama adalah mengkonfirmasi hubungan antara kepercayaan merek dengan keterikatan merek, keterikatan merek dengan loyalitas merek, dan kepuasan merek dengan keterikatan merek. Konfirmasi hubungan struktural dilakukan mengingat masih sedikitnya studi yang meneliti hubungan keterikatan merek dengan anteseden dan konsekuennya sehingga penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan dukungan empiris terhadap teori yang mendasari hubungan-hubungan tersebut. Konfirmasi hubungan antar variabel juga dilakukan karena adanya perbedaan teori dan hasil empiris pada beberapa hubungan di dalam model penelitian yang diusulkan. Fokus yang kedua adalah menguji peran mediasi variabel keterikatan merek pada hubungan antara kepuasan dengan loyalitas merek dan hubungan antara kepercayaan dengan loyalitas merek. Penelitian ini memanfaatkan hubungan antara kepuasan, kepercayaan, dan loyalitas merek yang sudah kuat terbangun untuk menguji atau melihat peran sentral keterikatan merek pada hubungan tersebut. Fokus yang terakhir adalah menguji secara simultan model penelitian yang menggambarkan hubungan empat variabel yaitu kepuasan, kepercayaan, keterikatan, dan loyalitas merek yang diharapkan dapat memberikan sumbangan model teoritis yang dapat menjelaskan dengan baik hubungan-hubungan antar variabel di dalamnya. B. LANDASAN TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Loyalitas merek adalah kunci bagi banyak perusahaan untuk mengelola hubungan jangka panjang dengan pelanggan. Loyalitas merek didefinisikan oleh Oliver (1999: 34) sebagai: Komitmen yang dipegang secara mendalam untuk membeli kembali atau menjadi pelanggan kembali suatu produk yang lebih disukainya di masa yang akan datang, dengan demikian menyebabkan pembelian ulang merek atau sejumlah merek yang sama meskipun pengaruh situasional dan usaha pemasaran memiliki potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku. 51 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Loyalitas merek dapat terdiri dari dua aspek yaitu aspek yang berkaitan dengan perilaku dan aspek yang berkaitan dengan sikap (Jacoby dan Kyner, 1973: 1; Assael, 2004: 77). Chaudhuri dan Holbrook (2001: 82) menyebut juga loyalitas perilaku sebagai loyalitas pembelian. Menurut mereka loyalitas perilaku mengandung pembelian ulang suatu merek, sedangkan loyalitas sikap meliputi tingkat komitmen untuk cenderung pada suatu merek berdasarkan beberapa nilai unik yang berkaitan dengan merek. Untuk mengukur loyalitas merek maka harus melibatkan kedua aspek tersebut, dengan demikian tidak hanya dilihat dari sisi pembelian ulang saja karena hanya pembelian ulang tidak mencerminkan loyalitas merek yang sesungguhnya (Day, 1969: 30; Assael, 2004: 77). Pengukuran loyalitas hanya dari tingkat pembelian ulang akan mengarahkan pada loyalitas palsu (Moulsan dalam Day, 1969: 30). Kelemahan loyalitas palsu ini adalah mereka akan dapat secara langsung beralih ke merek lain yang menawarkan kualitas atau harga yang lebih baik. Pengaruh Kepuasan merek pada Loyalitas Merek Loyalitas merek mencerminkan sikap yang menguntungkan atau mendukung terhadap suatu merek yang menghasilkan konsistensi pembelian merek tersebut dalam jangka panjang. Ini adalah hasil pembelajaran konsumen bahwa suatu merek dapat memuaskan kebutuhan mereka (Assael 2004: 76). Kepuasan memiliki peran dalam pembentukan loyalitas karena kepuasan akan memperkuat sikap positif konsumen terhadap merek yang akan mengarahkan mereka pada kemungkinan yang lebih besar untuk membeli kembali dengan merek yang sama (Assael, 2004: 45). Beberapa studi empiris di antaranya yang telah dilakukan oleh Santouridis dan Trivellas (2010), Brakus et al. (2009), Casalo et al. (2008), Bove dan Mitzifiris (2007), Park dan Lee (2005), Yen dan Gwinner (2003), Bloemer dan Ruyter (1998), dan Bloemer et al. (1998) menemukan bahwa kepuasan berpengaruh signifikan pada loyalitas merek. Dengan demikian, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut. Hipotesis 1: Kepuasan merek berpengaruh positif pada Loyalitas merek Pengaruh Kepuasan merek pada Kepercayaan Merek Delgado et al. (2003) menyatakan bahwa kepuasan total sebagai evaluasi umum pengalaman penggunaan merek akan menghasilkan kepercayaan. Kepercayaan muncul ketika suatu merek dapat memuaskan harapan dan kebutuhan konsumen secara konsisten dan positif sehingga pengalaman penggunaan merek yang memuaskan tersebut akan menjadi sumber kepercayaan bahwa merek tersebut dimasa yang akan datang akan mampu 52 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 memuaskan kembali harapan dan kebutuhannya. Semakin merek memuaskan konsumen secara konsisten maka konsumen akan semakin percaya pada merek tersebut. Beberapa studi yang meneliti hubungan kepuasan dan kepercayaan seperti yang telah dilakukan oleh Bove dan Mitzifiris (2007), Liang dan Wang (2007), Zboja dan Voorhees (2006), Ha dan Perks (2005), Delgado dan Munuera (2005, 2001), Hess dan Story (2005), dan Wang (2002) memberikan bukti empiris yang kuat bahwa kepuasan berpengaruh positif pada kepercayaan. Dengan demikian, dirumuskan hipotesis sebagai berikut. Hipotesis 2: Kepuasan merek berpengaruh positif pada Kepercayaan merek Pengaruh Kepercayaan Merek pada Loyalitas Merek Morgan dan Hunt (1994: 24) menyatakan bahwa kepercayaan merek dapat mengarahkan pada loyalitas merek karena kepercayaan menciptakan hubungan pertukaran yang bernilai tinggi. Kepercayaan adalah pondasi bagi setiap hubungan terutama hubungan jangka panjang antara konsumen dengan merek. Tanpa kepercayaan, konsumen tidak akan bersedia untuk menggunakan merek tersebut secara berkelanjutan. Sehingga tingkat kepercayaan konsumen pada merek akan memengaruhi tingkat loyalitas konsumen pada merek tersebut. Dengan demikian, semakin konsumen percaya pada suatu merek maka mereka akan semakin loyal pada merek tersebut. Bebeberapa studi empirisyang dilakukan oleh Chaudhuri dan Holbrook (2001), Cassab dan MacLachlan (2009), Matzler et al. (2008), Casalo et al. (2007), Bove dan Mitzifiris (2007), Delgado dan Munuera (2005), Taylor et al. (2004), dan Delgado et al. (2003) memperlihatkan bahwa kepercayaan merek memiliki pengaruh signifikan pada loyalitas merek. Dengan demikian, hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut. Hipotesis 3: Kepercayaan merek berpengaruh positif pada Loyalitas merek Pengaruh Kepuasan merek pada Keterikatan Merek Konsumen dapat terikat secara emosional pada merek ketika merek dapat memberikan sumber daya pemenuhan kebutuhan yang diperlukan konsumen. Oleh sebab itu, ikatan konsumen dengan suatu merek didasarkan oleh kepuasan konsumen terhadap merek tersebut (Kapferer, 2008: 162). Merek yang mampu memenuhi kebutuhan konsumen secara konsisten seperti kebutuhan hedonis, simbolik, dan atau utilitarian akan dapat membangun hubungan atau keterikatan kognitif dan emosional yang kuat antara konsumen dengan merek yang akan mendorong konsumen untuk memelihara hubungan jangka panjang dengan merek sebagai upaya untuk menjamin terpenuhinya 53 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 kebutuhan mereka yang selama ini telah terpenuhi oleh merek tersebut dan pemisahan diri konsumen dengan merek tersebut akan menimbulkan efek negatif seperti kesedihan dan penderitaan. Hasil penelitian Esch et al. (2006) menunjukkan kepuasan memiliki pengaruh yang signifikan pada keterikatan merek. Bukti empiris ini sejalan dengan pendapat Amine (1998: 312) bahwa kepuasan adalah variabel antecedent (yang mendahului) keterikatan merek. Dengan demikian, hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut. Hipotesis 4: Kepuasan merek berpengaruh positif pada Keterikatan merek Pengaruh Kepercayaan Merek pada Keterikatan Merek Kepercayaan yang muncul ketika merek dapat memenuhi kebutuhan konsumen secara konsisten akan mampu mengurangi persepsi resiko konsumen terhadap merek yang pada akhirnya akan meningkatkan kerelaan konsumen untuk bergantung atau terikat secara kognitif dan emosional pada suatu merek dalam hubungan jangka panjang. Dengan kata lain, ketika konsumen percaya bahwa perusahaan meletakkan kepentingan konsumen di depan kepentingan perusahaan dan perusahaan tersebut berusaha keras meningkatkan kesejahteraan pelanggan maka pelanggan akan menjadi lebih emosional untuk mengikatkan dirinya karena mereka mempercayai usaha perusahaan tersebut (Park et al., 2006: 208). Dengan demikian seseorang akan memiliki keterikatan yang kuat pada suatu merek jika mereka percaya bahwa merek tersebut dapat diandalkan untuk memberikan apa yang mereka butuhkan dan merek tersebut dirasakan benar-benar memperhatikan kepentingan terbaik konsumen. Oleh karena itu, semakin konsumen percaya pada merek maka konsumen akan semakin terikat dengan merek tersebut. Hasil penelitian Luis dan Lombart (2010), Bouhlel et al. (2009), Lacoeuilhe dan Belaid (2007), dan Esch et al. (2006) menunjukkan kepercayaan terhadap merek berpengaruh signifikan pada keterikatan merek. Dengan demikian, hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut. Hipotesis 5: Kepercayaan merek berpengaruh positif pada Keterikatan merek Pengaruh Keterikatan Merek pada Loyalitas Merek Konsumen akan terikat jika merek dapat memenuhi kebutuhan hedonis, simbolik, atau fungsional. Terpenuhinya kebutuhan simbolis jika citra merek yang dipersepsikan oleh konsumen sesuai dengan citra atau konsep diri yang dimilikinya. Seorang konsumen akan memperlihatkan perasaan yang mendukung dan menguntungkan pada suatu merek ketika citra merek tersebut sesuai dengan citra diri mereka (Park dan Lee, 2005). Ini akan menyebabkan 54 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Konsumen lebih suka memilih atau membeli merek yang citranya sesuai dengan citra diri mereka (Kotler dan Keller, 2009: 198; Graeff, 1996: 482). Oleh karena itu keterikatan konsumen karena merek dapat memenuhi kebutuhan simboliknya akan mengarahkan konsumen untuk membeli merek yang sama ketika konsumen tersebut bermaksud memenuhi kebutuhan yang sama. Begitupula keterikatan yang terbentuk karena merek mampu memenuhi kebutuhan hedonis ataupun fungsional konsumen. Keterikatan inipun akan mengarahkan atau memotivasi konsumen untuk komitmen menggunakan merek yang sama ketika dia berusaha memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, keterikatan pelanggan pada suatu merek akan meningkatkan loyalitas mereka pada merek tersebut. Semakin kuat keterikatan emosional pelanggan maka semakin kuat pula loyalitas mereka pada merek tersebut. Hasil penelitian empiris Lacoeuilhe dan Belaid (2007), Sung et al. (2005), dan Thomson et al. (2005) menunjukkan keterikatan merek berpengaruh dan dapat memprediksi loyalitas pelanggan pada merek. Dengan demikian, hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut. Hipotesis 6: Keterikatan merek berpengaruh positif pada loyalitas merek Peran Keterikatan Merek sebagai Variabel Mediasi Beberapa studi empiris seperti yang telah dilakukan oleh Luis dan lombart (2010), Bouhlel et al. (2009), dan Esch et al. (2006) telah menguji hubungan antara kepercayaan dengan keterikatan merek dengan hasil signifikan. Begitu pula hasil penelitian Esch et al. (2006) yang menguji hubungan antara kepuasan dengan keterikatan merek. Selanjutnya penelitian Sung et al. (2005) dan Thomson et al. (2005) membuktikan bahwa keterikatan merek berpengaruh pada loyalitas merek. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, dapat dilihat bahwa kepuasan dan kepercayaan memiliki pengaruh pada keterikatan merek yang selanjutnya keterikatan merek berpengaruh pada loyalitas merek atau dengan kata lain kepuasan dan kepercayaan memiliki pengaruh tidak langsung pada loyalitas melalui keterikatan merek. Posisi keterikatan merek yang berada diantara kepuasan dan kepercayaan dengan loyalitas seharusnya dapat berfungsi sebagai variabel mediasi dalam hubungan antara kepuasan dan kepercayaan dengan loyalitas merek karena kepuasan dan kepercayaan merek berpengaruh pada loyalitas merek melalui keterikatan merek. Dengan demikian, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut. Hipotesis 7a: Keterikatan merek memediasi pengaruh kepuasan merek terhadap loyalitas merek. 55 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Hipotesis 7b: Keterikatan merek memediasi pengaruh kepercayaan merek terhadap loyalitas merek. Berdasarkan hipotesis-hipotesis yang telah dibangun sebelumnya, penelitian ini mengusulkan model penelitian yang ditunjukkan gambar berikut ini. Kepuasan Merek H1 (+) H4 (+) Keterikatan Merek H2 (+) H6 (+) Loyalitas Merek H5 (+) Kepercayaan Merek H3 (+) Gambar 1: Model Penelitian Sumber: Delgado dan Munuera (2005); Esch et al. (2006); Sung et al. (2005) C. METODE PENELITIAN Pemilihan Sampel dan Pengumpulan Data Responden penelitian ini adalah para pengguna atau konsumen laptop di Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode penyampelan yang digunakan adalah nonprobability sampling. Metode ini digunakan karena probabilitas elemen populasi yang dipilih atau kerangka sampel dari pengguna laptop di Daerah Istimewa Yogyakarta tidak diketahui (Cooper dan Schindler, 2008: 395). Sedangkan teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. 56 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Purposive sampling adalah metode nonprobability sampling yang disesuaikan dengan kriteria tertentu (Cooper dan Schindler, 2008: 397). Tipe purposive sampling yang dipilih adalah judment sampling karena pemilihan anggota sampel disesuaikan dengan beberapa kriteria yang ditentukan oleh peneliti secara subjektif untuk mendapatkan anggota sampel yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan (Cooper dan Schindler, 2008: 397; Crask et al., 1995). Kriteria pemilihan sampelnya adalah pengguna laptop yang memiliki sendiri laptopnya dan telah menggunakan laptop tersebut minimal lima bulan. Roscoe dalam Sekaran dan Bougie (2010: 296) menyatakan bahwa ukuran sampel yang lebih besar dari 30 dan kurang dari 500 adalah sesuai untuk sebagian besar penelitian. Sedangkan Hair et al. (2006: 741) merekomendasikan ukuran sampel minimum 100 sampai 150 untuk menjamin solusi maximum likelihood estimation yang stabil walaupun 50 masih dapat memberikan hasil yang valid. Adapun ukuran sampel yang diperlukan untuk analisis faktor adalah paling sedikit lima kali banyaknya jumlah variabel yang diamati, dan lebih diterima ukuran sampel yang memiliki perbandingan 10: 1, dengan minimum ukuran sample adalah 50, lebih disukai 100 atau lebih (Hair et al., 2006: 112). Secara umum 15 responden untuk setiap parameter yang diuji dalam model SEM dapat membantu mengurangi masalah penyimpangan normalitas data (Hair et al., 2006: 740). Untuk mencapai power pengujian kesimpulan statistik sebesar 80% dengan tingkat alpha 5% dapat dicapai dengan ukuran sampel sebesar 130 (Hair et al., 2006: 11). Ukuran sampel yang lebih besar dari 130 akan dapat meningkatkan power pengujian kesimpulan statistik. Semakin besarnya ukuran sampel akan dapat mengurangi kesalahan penyampelan yang berdampak pada peningkatan kekuatan secara statistik (Hair et al., 2006: 80). Berdasarkan berbagai pendapat mengenai ukuran sampel, ukuran sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 dikali jumlah indikator atau pernyataan yang berjumlah 17 butir, sehingga ukuran sampelnya adalah 255. Untuk menghindari resiko sampel yang cacat dan tidak dapat diolah serta kemungkinan adanya outlier, maka sampel yang direncanakan ditambah 15 responden sehingga ukuran total sampelnya adalah sebanyak 270. Ukuran sampel tersebut dapat dijadikan dasar untuk tetap menggunakan data yang tidak normal dalam estimasi (jika sekiranya data tidak dapat lagi diusahakan untuk normal), karena ukuran sampel sebesar 270 sudah diatas 255, yang merupakan hasil dari 15 dikali 17, sehingga dampak negatif atau menggangu yang ditimbulkan oleh data tidak normal dapat diabaikan (Hair et al., 2006: 81). Pengumpulan data dilakukan dengan menyebar kuesioner yang berisi daftar pertanyaan dan pernyataan kepada 270 responden yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta.Selanjutnya, responden diberi kesempatan 57 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 untuk menjawab setiap pertanyaan dan menilai setiap pernyataan dengan teliti sesuai dengan penilaian responden. Pengembalian kuesioner oleh responden dilakukan secara langsung kepada peneliti. Dari hasil survey, diperoleh 270 responden yang memenuhi syarat untuk dianalisis. Uji normalitas dengan nilai critical ratiomultivariate 4,555, menunjukkan data tidak normal. Untuk mencapai normalitas data dilakukan dengan cara membuang unit sampel yang memiliki jarak mahalanobis terjauh hingga dicapai nilai kritis multivariate + 2,58 atau 2,58 < nilai kritis >–2,58. Proses penghilangan Unit sampel menghasilkannilai kritis 2,525, menunjukkan data telah terdistribusi dengan normal karena nilai kritis tersebut berada di antara nilai acuan data terdistribusi normal yaitu + 2,58. Proses ini jugamenurunkan ukuran sampel menjadi 256 responden. Definisi Operasional dan Pengukuran Seluruh konstruk diukur dengan menggunakan skala Likert lima point. Menurut Sekaran dan Bougie (2010:147), Cooper dan Schindler (2008:308), dan Kerlinger dan Lee (2000:737), pengukuran menggunakan Skala Likert akan menghasilkan data interval, bukan ordinal. Walaupun terjadi perbedaan pendapat mengenai skala Likert apakah termasuk skala ordinal atau interval, skala Likert biasanya diperlakukan sebagai skala interval (Sekaran and Bougie, 2010:152) Konstruk yang digunakan dalam studi ini dioperasionalkan sebagai berikut. Kepuasan merek didefinisikan sebagai evaluasi keseluruhan pembelian total dan pengalaman mengkonsumsi suatu produk (Delgado et al., 2003: 45). Kepuasan merek diukur menggunakan tiga butir pernyataan yang digunakan oleh Chiou dan Droge (2006) untuk mengukur kepuasan secara keseluruhan (overal satisfaction), yaitu: 1. Saya senang atas keputusan saya memilih merek [X]. 2. Bagi saya, menggunakan merek [X] adalah tindakan yang tepat. 3. Secara keseluruhan, saya puas dengan merek [X]. Kepercayaan merek didefinisikan sebagai kesediaan konsumen untuk bergantung atau percaya pada merek dalam menghadapi risiko (Lau dan Lee, 1999). Kepercayaan merek diukur menggunakan tiga butir pernyataan yang dikembangkan oleh Li et al. (2008), yaitu: 1. Saya yakin merek [X] dapat dipercaya. 2. [X] adalah Merek yang terpercaya. 3. Saya percaya merek [X] Keterikatan merek didefinisikan sebagai variabel psikologi yang memperlihatkan suatu hubungan afektif dengan merek yang langgeng dan tak berubah (perpisahaan adalah menyakitkan) dan menunjukkan hubungan 58 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 kedekatan secara psikologi dengan merek tersebut (Lacoeuilhe dan Belaid, 2007). Keterikatan merek diukur menggunakan enam butir pernyataan yang dikembangkan oleh Lacoeuilhe dan Belaid (2007), yaitu: 1. Saya akan kecewa jika saya tidak bisa menemukan laptop merek [X] ketika saya membutuhkannya. 2. Saya akan sangat sedih apabila laptop merek [X] tidak dijual lagi dipasaran. 3. Saya akan kecewa apabila saya tidak dapat membeli laptop merek [X]. 4. Saya senang menggunakan laptop merek [X]. 5. Membeli laptop merek [X] membuat saya senang dan gembira. 6. Saya sangat tertarik dengan laptop merek [X]. Loyalitas merek didefinisikan sebagai komitmen yang dipegang secara mendalam untuk membeli kembali atau menjadi pelanggan kembali suatu produk yang lebih disukainya dimasa yang akan datang, dengan demikian menyebabkan pembelian ulang merek atau sejumlah merek yang sama meskipun pengaruh situasional dan usaha pemasaran memiliki potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku (Oliver, 1999). Loyalitas terbagi menjadi dua dimensi yaitu loyalitas sikap dan loyalitas perilaku. Loyalitas merek untuk loyalitas sikap diukur menggunakan tiga butir pernyataan yang dikembangkan oleh Yoo dan Donthu (2001) dan untuk loyalitas perilaku menggunakan dua butir pernyataan yang dikembangkan oleh Chaudhuri dan Holbrook (2001). Lima butir pernyataan yang digunakan adalah: 1. Saya setia pada laptop merek [X]. 2. Laptop merek [X] akan menjadi pilihan pertama saya. 3. Saya tidak akan membeli laptop merek lain apabila [X] tersedia di toko. 4. Saya akan membeli merek [X] ketika saya akan membeli laptop. 5. Saya akan terus membeli laptop merek [X]. Pengujian Instrumen Tiga jenis validitas instrumen akan diuji dalam penelitian ini. Ketiga validitas tersebut adalah validitas tampilan, validitas isi, dan validitas konstruk.Validitas tampilan dan validitas isi diukur oleh orang yang ahli dan berpengalaman dengan butir-butir pernyataan yang digunakan dalam penelitian ini. Validitas konstruk terbagi menjadi dua tipe yaitu validitas konvergen dan validitas diskriminan. Validitas konvergen diuji menggunakan analisis faktor confirmatory (CFA) dengan batas minimal nilai loading faktor setiap butir atau indikator adalah ≥ 0,5 (Hair et al., 2006: 777). Indikator atau butir pernyataan dengan faktor loading dibawah 0,5 tidak akan diikutsertakan dalam analisis selanjutnya. Instrumen penelitian dinyatakan memenuhi validitas konvergen jika semua butir atau indikator memiliki nilai loading 59 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 faktor≥ 0,5 hanya di konstruk yang diukurnya. Validitas diskriminan diuji dengan melihat faktor loading dari masing-masing indikator. Jika semua indikator tidak ada yang memiliki faktor loading diatas 0,5 di lebih satu faktor atau komponen, maka instrumen dianggap telah memiliki validitas diskriminan yang baik, dan ini berarti indikator yang berbeda telah mengukur konstruk yang berbeda pula. Hasil pengujian ulang validitas menggunakan analisis faktor setelah menghilangkan butir TR 4, 5, dan 6 yang tidak mengelompok pada konstruk yang seharusnya diukur, memperlihatkan masing-masing butir pernyataan setiap konstruk telah mengelompok pada konstruk yang seharusnya diukur dengan nilai loading faktor diatas 0,5 dan tidak ada satupun dari butir-butir tersebut yang memiliki nilai loading pada konstruk yang lain lebih dari 0,5. Dengan demikian semua konstruk dalam penelitian ini dianggap telah memenuhi validitas discriminant dan konvergen. Reliabilitas akan diuji menggunakan Cronbach’s alpha (Neuman, 2006: 190) dengan koefisien Cronbach’s alpha minimal 0,70 meskipun nilai 0,60 masih dapat diterima (Hair et al., 2006: 778). Hasil pengujian validitas dan reliabilitas untuk masing-masing konstruk dengan menggunakan data keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1: Validitas Konstruk dan Reliabilitas Loyalitas Kepuasan Keterikatan Kepercayaan PS1 0,771 PS2 0,795 PS3 0,782 PC1 0,726 PC2 0,835 PC3 0,773 TR1 0,780 TR2 0,837 TR3 0,810 LY1 0,702 LY2 0,725 LY3 0,768 LY4 0,754 LY5 0,749 Cronbach’s 0,905 0,896 0,900 0,922 Alpha *Hanya nilai loading > 0,5 yang ditampilkan 60 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Penghitungan koefisien Cronbach’s alpha menggunakan bantuan SPSS setelah mengeluarkan butir TR 4, 5, dan 6 memberikan nilai Cronbach’s alpha diatas 0,8 untuk semua konstruk. Nilai Cronbach’s alpha untuk konstruk Loyalitas, Kepuasan, Keterikatan, dan Kepercayaan Merek secara berturut-turut adalah 0,905; 0,896; 0,900; dan 0,922. Hasil ini menunjukkan semua butir atau indikator pengukuran dari masing-masing konstruk telah reliabel. Metode Analisis Data Analisis data untuk pengujian hipotesis dilakukan menggunakan structural equation modeling (SEM) dengan bantuan program AMOS. SEM digunakan karena penelitian ini menguji model yang memiliki banyak hubungan antar konstruk laten secara serentak. Teknik estimasi yang akan digunakan adalah maximum likelihood estimation (MLE). Teknik ini digunakan karena efisien, dan tidak bias ketika asumsi normalitas terpenuhi. Walaupun demikian, meskipun asumsi normalitas tidak terpenuhi, MLE telah terbukti tetap robust (tidak terpengaruh) terhadap pelanggaran asumsi normalitas (Hair et al., 2006: 743). Pengujian hipotesis dapat dilakukan setelah model memenuhi nilai GOF yang disyaratkan Penelitian ini menggunakan banyak indeks kesesuaian (fit) dengan tipe yang berbeda yaitu X2, CMIN/DF, GFI, AGFI, dan RMSEA (Hair et al., 2006). Tabel 2. Kriteria Goodness of Fit Kriteria Indeks Ukuran Nilai Acuan 2 Chi-Square (X ) Sekecil mungkin p-value > 0,05 CMIN/DF <5 GFI > 0,90 AGFI > 0,90 RMSE < 0,08 Sumber: Hair et al. (2006) D. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Model yang diusulkan dalam penelitian ini menghipotesiskan hubungan struktural antara kepuasan, kepercayaan, keterikatan, dan loyalitas merek. Hasil estimasi SEM memberikan ukuran-ukuran Goodness of fit model yang 61 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 dapat diterima. Hasil SEM untuk pengujian hipotesis memperlihatkan semua hipotesis terdukung kecuali hipotesis tiga (H3), yang menyatakan kepercayaan merek berpengaruh positif pada loyalitas merek. Korelasi antar konstruk disajikan pada Tabel 3. Hasil SEM untuk Standardized regression weights, nilai t, nilai p, dan goodness-of-fit model ditampilkan pada Tabel 4 dan Gambar 2. Tabel 3. Korelasi antar Konstruk Kepuasan Kepercayaan Keterikatan Loyalitas .772** .530** .640** Kepercayaan .772** 1 .542** .638** Keterikatan .530** .542** 1 .717** Kepuasan 1 Loyalitas .640** .638** .717** **signifikan pada level 0,01 (2-tailed) Tabel 4. Hasil SEM Standardized Hubungan Struktural Regression Weights Kepuasan → Loyalitas 0,280 Kepuasan → Kepercayaan 0,843 Kepercayaan → Loyalitas 0,130 Kepuasan → Keterikatan 0,292 Kepercayaan → Keterikatan 0,343 Keterikatan → Loyalitas 0,548 Goodness-of-Fit Model Chi-Square 109,87 Degree of Freedom 71 CMIN/ Degree of Freedom 1,547 GFI 0,943 AGFI 0,916 RMSEA 0,046 1 t p 2,853 13,651 1,355 2,277 2,699 8,055 0,004 0,000 0,176 0,023 0,007 0,000 62 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Kepuasan Merek 0,280* 0,292* 0,843** Keterikatan Merek 0,548** Loyalitas Merek 0,343* 0,130 Kepercayaan Merek *signifikan pada p < 0,05; **signifikan pada p < 0,01 Chi-Square/df = 1,547; GFI = 0,943; AGFI = 0,916; RMSEA = 0,046. Gambar 2. Hasil Estimasi SEM Pembahasan Loyalitas adalah topik pemasaran yang telah menarik perhatian banyak peneliti hingga kini, karena banyak perusahaan menghadapi masalah dengan loyalitas pelanggannya sebagai konsekuensi dari persaingan yang ketat. Dua konstruk yang tercatat dalam banyak literatur yang telah terbukti dapat memprediksi loyalitas merek secara empiris adalah kepuasan dan kepercayaan. Namun seperti apa yang telah dinyatakan oleh Oliver (1999) bahwa kepuasan yang juga sebagai sumber utama kepercayaan tidaklah selalu dapat mendorong konsumen untuk loyal, telah memunculkan dugaan adanya variabel lain yang dapat membantu menjelaskan fenomena ini. Salah satu dugaan tersebut adalah kemungkinan adanya variabel mediasi yang akan mampu memperjelas gambaran dan meningkatkan pemahaman yang berkaitan dengan hubungan kepuasan dan kepercayaan merek dengan loyalitas merek. Dari berbagai literatur empiris yang tersedia, yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya, sehingga terbentuklah gambaran yang lebih utuh yang kemudian pada akhirnya mengarahkan pada dugaan bahwa variabel keterikatan merek memiliki peran sebagai mediator pada hubungan 63 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 antara kepuasan dan kepercayaan merek dengan loyalitas merek. Pengujian peran mediasi keterikatan merek memberikan konstribusi yang nyata bagi penelitian di bidang marketing kususnya perilaku konsumen yang akan meningkatkan pemahaman peran keterikatan merek dan melengkapi gambaran hubungan yang hilang antara kepuasan dan kepercayaan merek dengan loyalitas merek. Hasil pengujian secara empiris yang telah dilakukan menunjukkan bahwa semua hipotesis yang diajukan untuk menjawab pertanyaan penelitian telah terdukung, kecuali hipotesis tiga yang menduga adanya pengaruh kepercayaan merek pada loyalitas merek. Kepuasan merek telah terbukti secara empiris berpengaruh pada kepercayaan, keterikatan, dan loyalitas merek. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen yang puas akan percaya bahwa merek akan konsisten memuaskan konsumen kembali ketika mereka membeli atau menggunakan merek itu kembali. Konsumen yang puas akan terikat secara emosional pada merek karena merek tersebut menjadi bermakna dan penting secara personal bagi dirinya. Konsumen yang puas akan mengarahkan keputusan mereka untuk memilih merek yang sama ketika mereka akan menggunakan atau membeli kembali suatu produk. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kepuasan konsumen terhadap suatu merek maka kepercayaan, keterikatan, dan loyalitas konsumen pada merek tersebut akan semakin tinggi. Kepercayaan merek telah terbukti secara empiris berpengaruh pada keterikatan merek. Temuan ini menggambarkan bahwa konsumen yang percaya pada suatu merek akan terikat secara emosional pada merek karena mereka percaya bahwa merek tersebut akan memenuhi kebutuhan mereka yang penting dan bermakna secara personal bagi konsumen. Bertentangan dengan dugaan awal, ternyata hasil empiris menunjukkan kepercayaan merek tidak berpengaruh secara signifikan pada loyalitas merek. Tidak terbuktinya pengaruh kepercayaan merek pada loyalitas merek memperlihatkan banyak hal, diantaranya bukti empiris yang diperkuat wawancara mendalam pada beberapa informan yang sebelumnya menjadi responden telah memperlihatkan bahwa konsumen laptop meskipun memiliki kepercayaan pada merek laptop yang mereka gunakan namun tidaklah cukup untuk mempertahankan loyalitas merek karena ternyata para konsumen tersebut juga percaya pada merek lainnya dengan tingkatan yang sama bahkan lebih. Sehingga ketika persaingan semakin tinggi, kepercayaan tidak mampu menjadi peredam munculnya perilaku berpindah merek yang semakin besar peluang terjadinya karena adanya faktor individu yaitu perilaku mencari variasi. Hal ini diperparah dengan munculnya masalah dengan produk yang membuat cacatnya kepuasan yang berdampak pula pada penurunan kepercayaan konsumen hingga membuat pengaruh kepercayaan pada loyalitas merek menjadi tidak 64 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 bermakna. Ketika konsumen juga memiliki kepercayaan yang sama bahkan lebih pada merek yang lain, maka yang membedakan merek yang mereka gunakan dengan merek lainnya adalah pengalaman kepuasan dan kesesuaian kebutuhan konsumen dengan merek laptop yang dimilikinya. Pada kondisi ini, kepuasan terlihat menjadi faktor yang lebih kuat melebihi kepercayaan merek untuk memprediksi loyalitas merek. Pengalaman pembelian sebelumnya dan jumlah laptop yang dimiliki berpotensi memoderasi pengaruh kepercayaan merek pada loyalitas merek. Teori pembelajaran konsumen memberikan penjelasan mengenai fenomena moderasi ini. Semakin banyaknya laptop dan pengalaman pembelian yang dimiliki konsumen menunjukkan konsumen semakin belajar untuk menemukan merek yang paling sesuai dengan kebutuhan dan yang paling memuaskan mereka. Pembelajaran ini dalam prosesnya semakin memperkuat tingkat kepercayaan konsumen pada merek yang menurut mereka paling sesuai dengan kebutuhan dan yang paling memuaskan sehingga pada akhirnya konsumen merasa bahwa merek tersebut telah layak untuk menjadi objek loyal mereka. Keterikatan merek telah terbukti secara empiris berpengaruh pada loyalitas merek. Ketika konsumen terikat secara emosional pada merek maka konsumen akan merasa satu dengan merek atau merek dirasa sebagai bagian dari dirinya dalam usaha pemenuhan kebutuhan mereka. Pada kondisi ini, merek menjadi sesuatu yang penting dan bermakna secara personal bagi konsumen. Rasa satu ini akan mendorong konsumen untuk tetap menggunakan atau membeli merek yang sama setiap kali konsumen akan menggunakan atau membeli kembali suatu produk. Dengan demikian, ketika keterikatan konsumen secara emosional terhadap suatu merek semakin meningkat, maka loyalitas konsumen pada merek tersebut akan semakin meningkat pula. Peran mediasi keterikatan merek pada hubungan antara kepuasan dan kepercayaan merek pada loyalitas merek telah terbukti secara empiris. Keterikatan merek terbukti memediasi pengaruh kepuasan pada loyalitas merek secara parsial. Keterikatan merek terbukti pula memediasi pengaruh kepercayaan merek pada loyalitas merek secara penuh. Dengan terbuktinya peran mediasi keterikatan merek pada hubungan antara kepuasan dan kepercayaan merek dengan loyalitas merek, maka posisi keterikatan merek menjadi semakin jelas dan penting dalam perannya membangun hubungan antara konsumen dengan merek. Keterikatan menjadi variabel yang sangat penting bagi kepuasan dan kepercayaan merek karena dengan berperannya keterikatan merek sebagai mediator akan menggandakan besar pengaruh kepuasan dan kepercayaan merek pada loyalitas merek. Kepercayaan adalah variabel yang sangat membutuhkan peran mediasi keterikatan merek dibandingkan kepuasan karena tanpa adanya peran mediasi 65 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 keterikatan merek, pengaruh kepercayaaan pada loyalitas merek menjadi tidak bermakna. E. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa kepuasan merek terbukti memiliki pengaruh positif pada kepercayaan, keterikatan dan loyalitas merek. Berbeda dengan kepuasan, kepercayaan merek terlihat berpengaruh positif pada keterikatan merek, namun terbukti tidak berpengaruh secara signifikan pada loyalitas merek. Hasil pengujian empiris memperlihatkan pula bahwa keterikatan merek berpengaruh positif pada loyalitas merek. Dengan demikian, keterikatan merek terbukti memediasi pengaruh kepuasan dan kepercayaan pada loyalitas merek. kepuasan merek dimediasi oleh keterikatan merek secara parsial sedangkan kepercayaan merek dimediasi dengan penuh oleh keterikatan merek. Terbuktinya peran mediasi keterikatan merek melengkapi gambaran hubungan yang belum sepenuhnya jelas antara kepuasan dan kepercayaan merek dengan loyalitas merek. Tingginya kepuasan dan kepercayaan merek namun rendah pada keterikatan merek yang diikuti pula dengan rendahnya loyalitas merek menjelaskan mengapa kepuasan dan kepercayaan merek tidak selalu melahirkan loyalitas konsumen pada merek. Temuan dari penelitian ini memperlihatkan pentingnya para manajer pemasaran untuk lebih memperhatikan dan meningkatkan kepuasan, kepercayaan, dan keterikatan merek sebagai upaya untuk memperbesar loyalitas pelanggan pada merek. Temuan ini memberikan pemahaman yang lebih baik bagi para manajer pemasaran bahwa meskipun ketiga variabel tersebut memiliki tingkat pengaruh yang berbeda-beda pada loyalitas merek namun sesungguhnya ketiga variabel tersebut saling melengkapi dalam upaya untuk meningkatkan loyalitas pelanggan. Dengan demikian perusahaan ataupun manajer pemasaran dalam upaya mempertahankan loyalitas pelanggannya sebaiknya memfokuskan perhatian dan usahanya pada ketiga variabel tersebut sebagai satu kesatuan atau dengan kata lain, perusahaan tidak dapat hanya fokus pada salah satu variabel saja, misalnya hanya fokus pada kepuasan dengan melupakan atau mengabaikan peran variabel lainnya seperti kepercayaan merek atau keterikatan merek. Dengan memfokuskan perhatian pada ketiga variabel tersebut sebagai satu kesatuan akan membantu perusahaan untuk meningkatkan loyalitas pelanggannya dengan lebih optimal. Keterikatan merek memiliki pengaruh yang besar pada loyalitas merek, namun memiliki nilai respon rata-rata yang paling rendah dibandingkan variabel kepuasan dan kepercayaan merek. Dengan demikian, 66 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 variabel yang paling bermasalah namun juga menjadi variabel yang penting bagi loyalitas merek yang harus mendapat perhatian lebih serius dari para manajer pemasaran dan perusahaan secara keseluruhan adalah keterikatan merek. Berbagai cara dapat dilakukan untuk meningkatkan keterikatan merek diantaranya selain dengan membentuk atau meningkatkan kepuasan dan kepercayaan pada merek, dapat pula dilakukan dengan membangun citra merek atau kepribadian merek (Louis dan Lombart, 2010; Swaminathan et al., 2008) yang sesuai dengan citra diri target market merek tersebut. Kepribadian merek yang sesuai dengan citra diri aktual ataupun ideal konsumen akan menjadi media ekspresi diri atau perluasan diri yang akan memperkaya diri konsumen. Kesesuaian diri konsumen dengan kepribadian merek ini tidak hanya akan meningkatkan keterikatan merek saja namun akan dapat meningkatkan kepuasan khususnya kepuasan simbolis dan kepercayaan merek yang selanjutnya baik kepuasan dan kepercayaan akan meningkatkan keterikatan merek. Besarnya pengaruh keterikatan merek pada loyalitas merek akan mampu meningkatkan loyalitas sampai pada tingkat yang diharapkan. Oleh karena itu penting bagi pemasar untuk memetakan target market berdasarkan citra diri konsumen yang akan memudahkan pemasar untuk pemosisian kepribadian merek mereka agar sesuai dengan citra atau konsep diri target market sehingga merek akan menarik bagi target market. Pemosisian merek yang mampu membentuk kepribadian merek yang diharapkan, dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti iklan yang menghidupkan merek seolah-olah makhluk hidup yang memiliki kepribadian atau menggunakan endorser yang dapat membentuk kepribadian merekpada benak konsumen. DAFTAR PUSTAKA Amine, A., 1998. “Consumers‟ True Brand Loyalty: The Central Role of Commitment,” Journal of Strategic Marketing, 6, 305-319. Assael, H., 2004. Consumer Behavior, a Strategic Approach, New York: Houghton Mifflin Company. Belaid, S., and A. T. Behi, 2011. “The Role of Attachment in Building Consumerbrand Relationship: An Empirical Investigation in Utilitarian Consumption Context,” Journal of Product and Brand Management,20, 37-47. Bennett, R. and S. Rundle-Thiele, 2004. “Customer Satisfaction Should Not be The Only Goal,” Journal of Services Marketing,18, 514-523. 67 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Bloemer, J. andK. D. Ruyter, 1998. “On the Relationship Between Store Image, Store Satisfaction and Store Loyalty,” European Journal of Marketing, 32, 499-513. Bloemer, J., K. D. Ruyter and P. Peeters, 1998. “Investigating Drivers of Bank Loyalty: The Complex Relationship between Image, Service Quality and Satisfaction,” International Journal of Bank Marketing,16,276–286. Bouhlel, O, N. Mzoughi, D. Hadiji, and I. B. Slimane, 2009. “Brand Personality and Mobile Marketing: An Empirical Investigation,” World Academy of Science, Engineering and Technology,53, 703-710. Bove, L. and B. Mitzifiris, 2007. “Personality Traits and The Process of Store Loyalty in a Transactional Prone Context,” Journal of Services Marketing,21, 507–519. Brakus, J. J., B. H. Schmitt, and L. Zarantonello, 2009. “Brand Experience: What is It? How is It Measured? Does It Affect Loyalty?” Journal of Marketing,73, 52-68. Casalo, L. V., C. Flavian, and M. Guinalıu, 2007. “The Impact of Participation in Virtual Brand Communities on Consumer Trust and Loyalty: The Case of Free Software,” Online Information Review, 31, 775-792. Casalo, L. V., C. Flavian and M. Guinalıu, 2008. “The Role of Satisfaction and Website Usability in Developing Customer Loyalty and Positive Word-OfMouth in the E-Banking Services,” The International Journal of Bank Marketing, 26, 399-417. Cassab, H. and D. L. Maclachlan, 2009. “A Consumer-Based View of MultiChannel Service,” Journal of Service Management, 20, 52-75. Chaudhuri, A. and M. B. Holbrook, 2001. “The Chain of Effects From Brand Trust and Brand Affect to Brand Performance: The Role of Brand Loyalty,” Journal of Marketing, 65, 81-93. Crask, Melvin, Richard J. Fox, and Roy G. Stout (1995), Marketing Research: Principles and Applications, Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Day, G. S., 1969. ”A Two-Dimensional Concept of Brand Loyalty,” Journal of Advertising, 9, 29-35. Delgado-Ballester, E. and Jose L. Munuera-Aleman, 2005. “Does Brand Trust Matter to Brand Equity?” Journal of Product and Brand Management, 14, 187–196. Delgado-Ballester, E., Jose L. Munuera-Aleman and M. J. Yague-Guillent, 2003. Development and Validation of a Brand Trust Scale, International Journal of Market Research, 45, 35-53. Esch, F. R., T. Langner, B. H. Schmitt and P. Geus, 2006. “Are Brands Forever? How Brand Knowledge and Relationships Affect Current and Future Purchases,” Journal of Product and Brand Management, 15, 98–105 68 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Graeff, T. R., 1996. “Image Congruence Effects on Product Evaluations: The Role of Self-Monitoring and Public/Private Consumption,” Psychology and Marketing, 13, 481-499. Ha, H.Y. and H. Perks, 2005. “Effects of Consumer Perceptions of Brand Experience on the Web: Brand Familiarity, Satisfaction and Brand Trust,” Journal of Consumer Behaviour, 4, 438-452. Hair, Jr., J.F., W.C. Black, B.J. Babin, R.E. Anderson, and R.L. Tatham, 2006., Multivariate Data Analysis, 6th edition, Upper Saddle River: Pearson Education. Hess, J. and J. Story, 2005. “Trust-Based Commitment: Multidimensional Consumer-Brand Relationships,” Journal of Consumer Marketing, 22, 313-322. Jacoby, J. and D. B. Kyner, 1973. “Brand Loyalty Vs. Repeat Purchasing Behavior,” Journal of Marketing Research, 10, 1-9. Kapferer, J. N.,2008.The New Strategic Brand Management, 4th edition, Great Britain: Kogan Page Limited. Kerlinger, Fred Nichols and Howard Bing Lee, 2000. Foundations of Behavioral Research, 4th edition, New York: Harcourt. Kotler, P. and K. L. Keller, 2009.Marketing Management, 13th edition, New Jersey: Pearson Prentice Hall. Lacoeuilhe, J.and S. Belaid,2007. “Quelle(s) Mesure(s) Pour L‟Attachement a La Marque?” Revenue Fancaise Du Marketing, 3, 7-25. Lau, G.T. and S.H.Lee, 1999. “Consumers‟ Trust in a Brand and the Link to Brand Loyalty,” Journal of Market Focused Management, 4, 341–370. Liang, C.J. and W. H. Wang, 2007. “An Insight Into the Impact of a Retailer‟s Relationship Efforts on Customers‟s Attitudes and Behavioral Intentions,” International Journal of Bank Marketing, 25, 336-366. Louis, D. and C. Lombart, 2010. “Impact of Brand Personality on Three Major Relational Consequences (Trust, Attachment, and Commitment to the Brand),” Journal of Product and Brand Management, 19, 114–130. Matzler, K., S. Grabner-Krauter and S. Bidmon, 2008. “Risk Aversion and Brand Loyalty: The Mediating Role of Brand Trust and Brand Affect,” Journal of Product and Brand Management, 17, 154–162. Morgan, R. M. and S. D. Hunt, 1994. “The Commitment-Trust Theory of Relationship Marketing,” Journal of Marketing, 58, 20-38. Neuman, W. L., 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, 6th edition, Boston New York: Pearson education, inc. Oliver, R. L., 1999. “Whence Consumer Loyalty?” Journal of Marketing, 63, 3344. 69 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Park, C. W., D. J. MacInnis, and J. Priester, 2006. “Beyond Attitudes: Attachment and Consumer Behavior,” Seoul Journal of Business, 12, 3-35. Park, C. W., D. J. MacInnis, and J. Priester, 2006. “Brand Attachment: Construct, Consequences, and Causes,” Foundation and Trends in Marketing, 1, 191230. Park, S. Y. and E. M. Lee, 2005. “Congruence Between Brand Personality and Self-Image, and the Mediating Roles of Satisfaction and Consumer-Brand Relationship on Brand Loyalty,” Asia Pacific Advances In Consumer Research, 6, 39-45. Santouridis, I. and P. Trivellas, 2010. “Investigating the Impact of Service Quality and Customer Satisfaction on Customer Loyalty in Mobile Telephony in Greece,” The TQM Journal, 22, 330-343. Sung, Y. S., E. Park, and M. K. Han, 2005. “The Influences of Brand Personality on Brand Attachment and Brand Loyalty: Centered on the Differences between the Brand Community Members and Non-members,” Asia Pacific Advances In Consumer Research, 6 (Extended Abstract). Swaminathan, V., K. M. Stilley, and R. Ahluwalia, 2008. “When Brand Personality Matters: The Moderating Role of Attachment Styles,” Journal of Consumer Research, 35, 985-1002. Taylor, S. A., K. Celuch, and S. Goodwin, 2004. “The Importance of Brand Equity to Customer Loyalty,” Journal of Product and Brand Management, 13, 217-227. Thomson, M., D. J. MacInnis, and C. W. Park, 2005. “The Ties That Bind: Measuring The Strenght of Consumers‟ Emotional Attachments to Brands,” Journal of Consumer Psychology, 15, 77-91. Wang, G., 2002. “Attitudinal Correlates of Brand Commitment: An Empirical Study,” Journal of Relationship Marketing, 1, 57-75. Yen, H. J. R. and K. P. Gwinner, 2003. “Internet Retail Customer Loyalty: The Mediating Role of Relational Benefits,” International Journal of Service Industry Management, 14, 483-500. Yoo, B. and N. Donthu, 2001. “Developing and Validating a Multidimensional Consumer-based Brand Equity Scale,” Journal of Business Research, 52, 1-14. Zboja, J. J. and C. M. Voorhees, 2006. “The Impact of Brand Trust and Satisfaction on Retailer Repurchase Intentions,” Journal of Services Marketing, 20, 381-390. 70 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 ANALISIS TIPE KEPEMILIKAN TERHADAP STABILITAS KINERJA BANK KONVENSIONAL DI INDONESIA Muslimin Universitas Lampung [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh dari kepemilikan strategis terhadap kinerja bank konvensional. Kepemilikan strategis dikatagorikan dalam bentuk kepemilikan pemerintah, swasta dan asing. Berbeda dengan regulasi perbankan yang ada pada negara Malaysia dan Korea Selatan, Indonesia memiliki perspektif yang berbeda terkait dengan isu kepemilkan asing dalam kontribusinya terhadap stabilitas sektor finansial. Dengan menggunakan data cross section, hasil penelitian menunjukan bahwa kepemilikan pemerintah memiliki pengaruh yang negatif terhadap volatilitas return dan keberadaannya memiliki pengaruh yang positif terhadap non-performing aset perbankan konvensional. Untuk kepemilikan swasta, hasil penelitian menunjukan ambiguitas dimana hal itu berhubungan dengan jenis-jenis bank konvensional yang ada. Terkait dengan isu utama penelitian, kepemilikan asing menunjukan pengaruh yang negatif terhadap stabilitas perbankan. Hasil penelitian ini memberikan penguatan argumentasi bahwa kepemilkan asing yang besar cenderung membuat bank lebih beresiko dan dapat berkontribusi terhadap ketidakstabilan industri keuangan. Kata Kunci: Kepemilikan Strategis, Kinerja Bank. A. PENDAHULUAN Pada prinsipnya, keberadaan bank adalah memfasilitasi adanya jasa transaksi dan sharing risiko. Hal ini dilakukan dengan membiayai dan memonitor proyek-proyek entrepreneur yang dapat menjadi tidak likuid dan memiliki prospek yang tidak baik yang disebabkan adanya masalah informasi yang asimetrik semacam adanya adverse selection dan moral hazard. Pada titik inilah bank berperan sebagai fungsi utama dalam mengatasi masalah informasi yang asimetrik tersebut. Bank melakukan proteksi terhadap para entrepreneur yang membutuhkan pembiayaan dari kebutuhan likuditas para investor. Orientasi utama para investor adalah return dari investasi yang dilakukan para entreprenurs. Pada posisi dimana proyek-proyek yang dikerjakan oleh para entrepreneur memiliki return yang rendah, para investor akan menarik dananya secara besar-besaran yang dapat berdampak pada kepanikan ekonomi yang berimbas pada berjalannya intermediasi bank. Hal inilah mengapa perbankan memiliki peran yang penting dalam menjaga stabilitas perekonomian makro. 71 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Dengan fungsinya yang cukup penting dalam menjaga stabilitas perekonomian tersebut, regulasi perbankan merupakan salah satu media yang dipergunakan oleh pemerintah untuk mengoptimalkan fungsi bank dalam perekonomian secara nasional. Salah satu regulasi yang diatur tersebut adalah kepemilikan bank dimana pengaturannya disesuaikan dengan kepentingan ekonomi nasionalnya masing-masing. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 yang menggambarkan berbagai regulasi bank beberapa Negara. Tabel 1: Regulasi Kepemilikan Bank pada Beberapa Negara Keterangan Pembukaan bank asing Indonesia Tidak dilarang Bentuk kepemilikan bank asing Persyaratan modal bank asing Korea Selatan Tidak dilarang Amerika Serikat Tidak dilarang Kantor Cabang Anak Perusahaan Anak Perusahaan Kantor Perwakilan Kantor Cabang Anak Perusahaan Kantor Cabang Anak Perusahaan Kantor Perwakilan Agensi Rp 3 triliyun Anak perusahaan berupa modal disetor Kantor cabang berupa dana usaha RM300 juta 100 miliar won Anak perusahaan (anak bank domestic perusahaan) Kantor cabang & 3 miliar won agensi tdk (kantor cabang) terdapat persyaratan permodalan secara individual Tidak ada Ada n.a. Kewajiban go public Tidak ada Bila wajib, berapa % yang harus dijual Persyaratan modal minimum untuk bank baru Persentase saham pengendali Rp3 triliyun 25% Hak suara Tindakan pengendalian Malaysia Tidak dilarang Anak perusahaan RM300 juta 50% Memiliki kuasa dan pengaruh 100 miliar won (anak perusahaan) - 3 miliar won (kantor cabang) Tidak ada Asing: maksimum Individu: < 4%: tanpa 99% maksimum 10% persetujuan Badan hukum Non-individu: < 10%: syarat domestik: maksimum 20% keuangan maksimal >10%: dengan sebesar modal persetujuan bersih Sumber: Hadad (2003). Pembatasan kepemilikan saham oleh individual dan badan hukum dan maks. % Tidak ada n.a. 10% 5% atas pertimbangan pengawas Tidak ada 72 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa regulasi kepemilikan di Indonesia lebih liberal dan mendekati regulasi pada Negara Amerika Serikat, khususnya pada hal pembatasan kepemilikan dimana Indonesia cenderung lebih bebas dibandingkan dengan negara Malaysia dan Korea Selatan. Hal ini tentu sangat menarik mengingat ketiga Negara asia pada Tabel 1 merupakan Negara-negara yang terkena imbas krisis moneter dan menderita guncangan ekonomi sebagai akibat terdevaluasinya mata uang Negara masing-masing. Khusus untuk Indonesia, hal ini bahkan sampai mengakibatkan pergantian rezim yang berkuasa. Dengan adanya perbedaan regulasi pada ketiga Negara Asia tersebut, dapat ditarik garis adanya perbedaan dalam menyikapi peran kepemilikan, khususnya asing, dalam kontribusinya menjaga stabilitas sector perbankan. Malaysia dan Korea Selatan relative cenderung berhati-hati menyikapi kepemilikan asing pada industry perbankannya, sedangkan Indonesia cenderung lebih melihat factor kepemilikan asing sebagai pendorong kinerja sector perbankan secara keseluruhan. Dengan kata lain, Indonesia lebih mendorong terciptanya pasar yang lebih kompetitif pada industry tersebut melalui terciptanya efisiensi dan harga yang murah yang dapat diterima nasabah, sedangkan Malaysia dan Korea Selatan lebih melihat kepemilikan asing sebagai factor yang memicu turbulensi pada industry perbankannya. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bermaksud untuk menguji apakah tipe kepemilikan bank memicu terjadinya instabilitas kinerja bank-bank konvensional di Indonesia. Selain itu, penelitian ini dimaksudkan juga untuk dapat berkontribusi dalam penilaian kebijakan kepemilikan asing yang dilakukan oleh Pemerintah yang memberikan keleluasaan pada penguasaan mayoritas kepemilikan bank yang beroperasi di Indonesia. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat isu kepemilikan dengan melakukan konsentrasi kepemilikan telah menjadi subjek yang sangat penting dalam pinsip pengelolaan perusahaan yang baik dalam literature-literatur good corporate governance (Demsetz dan Villalonga 2001; La Porta et al. 1998; La Porta et al.1999b ). Tipe kepemilikan yang akan diuji mengacu pada tipe kepemilikan strategis yang dalam studi-studi kepemilikan perusahaan mengkatagorikannya dalam bentuk kepemilikan pemerintah, kepemilikan privat, dan kepemilikan asing. Pengkatagorian tersebut disebabkan masih minimnya studi-studi kepemilikan pada level kinerja perusahaan, khususnya dari sisi kepemilikan pemerintah (Cornett; 2010). B. LANDASAN TEORITIS Literatur riset-riset perbankan, biasanya mengacu pada disiplin pasar dimana fungsi monitoring dan pendisiplinan yang tidak diarahkan pada regulator perbankan, namun pada investor pasar yang terkait dengan bank yang dipengaruhi oleh prilaku lembaga intermediasi tersebut. yang memiliki pengaruh (De Ceuster dan Masschelein; 2003). Hal ini karena dibutuhkan untuk memperkuat dari studi yang melihat pengaruh aspek regulasi terhadap 73 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 kinerja bank. Kedisiplinan bank dalam melakukan fungsi intermediasinya sangat tergantung oleh manajer bank bersangkutan. Hal ini karena para manajer bank memiliki informasi-informasi khusus dibandingkan para pemilik bank dan nasabahnya dalam proses penyeluran pinjaman. Melalui hal itu, para manajer memiliki basis negosiasi yang kuat dalam kompensasi mereka sebagai jalan untuk memperoleh nilai tambah. Dalam kondisi dimana para manajer melakukan ancaman secara halus kepada para investornya, bank akan memiliki kesulitan pendanaan yang disebabkan para investor menolak memberikan suntikan dana baru dan memveto proyek-proyek yang dibiayai oleh bank bersangkutan. Salah satu mekanisme untuk memonitor para manajer bank tersebut salah satunya melalui deposito yang dapat ditarik tanpa persyaratan dengan memfasilitasi investor atau nasabah bank melalui mekanisme penyediaan informasi yang transparan (Calomiris dan Kahn; 1991). Flannery (1994) menunjukan pinjaman jangka pendek bank menysratkan bank untuk secara regular mencari dana di pasar yang secara otomatis dapat mendisiplinkan para manajer. Melalui deposit jangka pendek tersebut akan meminimkan motif rente dari para manajer melalui penguasaan informasi yang dimilikinya. Rajan (1992) menunjukan bahwa terkait dengan informasi yang dimiliki oleh para manajer melalui proses pinjaman, bank dapat mengancam untuk melikuidasi proyek-proyek yang baik untuk mendapatkan surplus dari para entrepreneur. Jika hal ini diantisipasi, insentif entrepenur akan menjadi lebih buruk. Melalui ketersediaan informasi, entrepreneurs untuk memilih sumber pembiayaan lainnya jika menghadapi ancaman likuidasi bank. Tidak adanya informasi khusus yang ada pada pinjaman bank dan hasil dan perbaikan likuiditas asset bank dapat dipandang menguntungkan. Namun demikian, beberapa studi juga menunjukan adanya biaya yang potensial. Myers dan Rajan (1995) melihat likuiditas asset tidaklah dikehendaki jika hal tersebut meningkatkan kemampuan manajer dalam mengelola asset yang berlawanan dengan kepentingan pemilik. Yeyati (1998) melihat bahwa ketika investor memiliki informasi yang lebih sedikit terkait dengan asset yang dimiliki oleh bank, bank terlihat lebih stabil karena tingkat bunga akan lebih sensitive dibandingkan dengan asset-aset yang beresiko. Wagner (2007) menunjukan bahwa ketidaklikuidan relative dari asset-aset bank memiliki pengaruh yang menguntungkan jika hal tersebut meningkatkan biaya penjualan asset pada saat krisis sehingga membuat shareholder lebih bersifat averse terhadap kegagalan bank. Literature stabilitas perbankan telah menunjukan bahwa likuiditas asset akan memberikan implikasi stabilitas dengan mempengaruhi risiko sistemiknya. Adanya kemungkinan bank untuk memperdagangkan asetnya dengan bank lainya dapat memberikan dampak berkelanjutan karena hal tersebut menghasilkan dampak terhadap disinformasi yang berkelanjutan (Aghion; 2000). Diversifikasi interbank call money juga dapat meningkatkan risiko sistemik bank dengan membuat bank tersebut menjadi kurang beresiko yang selanjutnya mendorong bank tersebut untuk memegang likuiditas yang sedikit (Wagner, 2005). Kemampuan bank untuk menjual asetnya dapat juga meningkatkan risiko sector perbankan menjadi lebih rentan terhadap gonangan 74 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 yang dapat mempengaruhi kerentanan secara keseluruhan terhadap sector perbankan. Meningkatnya likuditas asset juga implikasi stabilitas yang besar dengan meningkatnya orientasi pasar dari sistem keuangan (Fecth; 2004). Studi Barth (2006) menunjukan adanya manfaat factor kepemilikan bank bagi perusahaan. Kepemilikan bank secara jelas memberikan jalan bagi perusahaan untuk mendapatkan modal eksternal dari perbankan yang sangat bermanfaat pada saat kondisi pasar yang mengalami keleseuan (King dan Shivdasani, 1995). Walaupun beberapa teori berpendapat bahwa kepemilikan perbankan dapat mendorong terjadinya konflik kepentingan, mayoritas studi menunjukan bahwa bank dapat secara efektif untuk memonitor dan mendisiplinkan peminjam dan memperbaiki kinerja perusahaan yang pada umumnya terjadi pada pasar di Negara-negara maju. (Bris, 2008). Berbeda dengan kondisi di Negara berkembang, langkanya dana yang dapat diintermediasi dan lemahnya pengelolaann menyebabkan bank tidak dapat berfungsi sebagaimana bank pada Negara-negara maju. Perbedaan factor hukum dan budaya yang tajam pada Negara maju dan Negara berkembang merupakan factor yang penting yang menyebabkan tidak berfungsinya bank di Negara berkembang seperti di Negara maju ((Barth, 2006; Laeven, 2001). Cull dan Xu (2000, 2005) dan Tian (2004) menunjukan bagaimana motivasi politik menjadi biaya dari hilangnya tata kelola yang baik. Hal inilah mengapa kepemilikan bank secara langsung dapat mempengaruhi kinerja bank yang lebih rendah dibandingkan dengan Negara maju. Kepemilikan asing menjadi perdebatan yang cukup panjang dalam studi-studi keterkaitan masuknya bank asing pada Negara yang sedang berkembang. Claessens (2001) dan Clarke (2001) secara empiris menunjukan bahwa bank dengan kepemilikan asing mampu untuk meningkatkan kinerja bank-bank domestic dan memperbaiki ketersediaan kredit baik bagi perusahaan-perusahaan kecil maupun besar. Studi Levine (1996) menunjukan bank asing pada pasar negara yang sedang berkembang juga mengurangi kemungkinan krisis keuangan, walaupun studi oleh Morgan dan Strahan (2003) menunjukan adanya peningkatan volatilitas investasi perusahaan. Pada Negaranegara yang memiliki kondisi pasar yang buruk, bank-bank asing cenderung tidak masuk pada Negara bersangkutan. Studi Mian (2006) menunjukan adanya penyaluran kredit yang rendah terkait dengan nasabah yang memiki informasi yang tidak jelas dan menunjukan ketidakefektifan dalam melakukan recovery pinjamannya dibandingkan dengan bank-bank domestic. Detragiache (2006) juga menunjukan dimana kehadiran yang cukup banyak dari bank-bank asing terasosiasi dengan rendahnya kredit terhadap sector privat dan tingkat pertumbuhan kredit yang rendah pada Negara-negara yang memiliki pendapatan yang rendah, namun hal ini tidak terjadi pada Negara-negara lain. Hal- hal tersebut menunjukan model dimana bank-bank asing memiliki kecenderungan yang lebih baik pada kondisi nasabah yang transparan, namun memiliki kinerja yang buruk dalam mengevauasi nasabah yang memiliki informasi yang tidak jelas. Pada kondisi semacam ini, nasabah dengan informasi yang tidak jelas tidak akan menerima manfaat dan dapat dirugikan oleh masuknya bank-bank asing. 75 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 H1: Kepemilikan Bank oleh Asing memiliki pengaruh yang positif terhadap kinerja stabilitas bank konvensional di Indonesia Studi Shleifer (1998) menunjukan tentang perlunya kepemilikan privat menjadi perusahaan public pada saat insentif untuk melakukan inovasi dan yang mengandung biaya memiliki porsi yang besar, khususnya pada saat kompetisi antar para supplier, mekanisme yang bereputasi, dan kemungkinan adanya biaya provisi yang tidak terkait dengan profit perusahaan semacam patronase politik dan korupsi memainkan peran penting dalam kompetisi pasar. Hal inilah yang menyebabkan adanya kepemilikan privat yang tidak optimal. Sebagimana yang ditunjukan oleh Shleifer dan Vishny (1997) yang menjelaskan adanya kekuatan monopoli, eksternalitas atau isu-isu distribusional yang menyebabkan kepemilikan privat bukanlah pilihan yang terbaik. dibandingkan dengan melakukan perubahan struktur kepemilikan. Stiglitz (1987) berpendapat bahwa kepemilikan private dengan jumlah investor yang banyak akan memberikan kualitas dibandingkan perubahan stakeholder perusahaan. Hal ini disebabkan adanya focus tujuan yang tunggal investor pada profit perusahaan dan politisi yang didasari oleh semangat public akan memperbaiki efisiensi dengan jalan mengontrol keputusan-keputusan perusahaan. Pada beberapa studi terkait dengan kepemilikan pemerintah, pertimbangan efisiensi mendapat dukungan yang kuat dari studi Hart (1997). Namun demikian, secara umum studi-studi terkait dengan kepemilikan pemerintah menunjukan bahwa perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah tidak berpihak pada kepentingan public (Grossman dan Krueger; 1993). Factor ketidakefesienan juga ditunjukan oleh Boyco (1995) dan Dewenter dan Malatesta (2001). Studi-studi tersebut menyimpulkan bahwa kepemilikan pemerintah pada perusahaan tanpa dikaitkan dengan tujuan sosialnya sebagai alasan ketidakefesienan adalah inkonsisten dengan ide bahwa kepemilikan pemerintah dapat mengarahkan pada efisensi kinerja pada profit yang optimum dimana perusahaan privat tidak dapat melakukannya. Selain itu, factor birokrat politik sering memiliki konflik dengan perbaikan kesejahteraan social yang didasari oleh kepentingan politik. Secara umum, studi-studi terkait dengan kepemilikan pemerintah pada bank dapat diklasifikasikan menjadi tiga katagori (Cornett; 2010). Katagori pertama adalah katagori studi yang mempergunakan data level Negara untuk menguji kepemilikan pemerintah pada pembangunan ekonomi dan keuangan pada berbagai Negara (La Porta; 2000). Kedua adalah studi yang menguji perbedaan prilaku pinjaman antara bank-bank yang dimiliki oleh Negara dan privat semacam studi oleh Sapienza (2004), Khwaja dan Mian (2005). Katagori ketiga adalah studi yang menginvestigasi perubahan prilaku bank yang dimiliki oleh pemerintah menjadi bank yang dimiliki oleh privat pada beberapa kasus semacam pada saat pemilihan umum pada berbagai Negara (Dinc; 2005). Namun demikian, terdapat sumber yang masih langka untuk melakukan studi bagaimana kepemilikan pemerintah dalam mempengaruhi kinerja pada level perusahaan dan bagaimana kepemilikan pemerintah mempengaruhi kinerja pada saat krisis. 76 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 H2: Kepemilikan Bank oleh Swasta Nasional memiliki pengaruh yang positif terhadap kinerja stabilitas bank konvensional di Indonesia. H3 : Kepemilikan Bank oleh Pemerintah memiliki pengaruh yang negative terhadap kinerja stabilitas bank konvensional di Indonesia. C. METODE PENELITIAN Data yang diperlukan pada penelitian ini adalah laporan keuangan tahunan bank tahun 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah bank yang mempublikasikan laporan keuanganya melalui Bank Indonesia dan sampel penelitian ini adalah bank konvensional yang beroperasi di Indonesia dan mempublikasikan laporan keuangannya melalui Bank Indonesia. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan data cross section dari seluruh sampel bank. Model yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BSROAV = α + β1NIM + β2LLP + β3NLTA + β4CIR + β5LDR + β6Dgov + β7Dfrg + β8Dpriv+ ε BSNPA = α + β1NIM + β2LLP + β3NLTA + β4CIR + β5LDR + β6Dgov + β7Dfrg + Dimana: β8Dpriv+ ε BSROAV BSNPA NIM LLP NLTA CIR LDR Dgov Dfrg Dpriv = Standar Deviasi ROA = Non-Performing Asset =Net Interest Margin = Loan loss provision over total Loans = net loan to total Asset = cost income ratio = Loan to Deposit Ratio = Dummy Kepemilikan Pemerintah = Dummy Kepemilikan Asing = Dummy Kepemilikan Private (Swasta Nasional) D. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perhitungan menunjukan dengan model penelitian sebelum memasukan jenis bank, stabilitas bank yang diukur dari standar deviasi return dari aset bank (ROA)menunjukan dipengaruhi oleh kredit lancar yang disalurkan oleh bank (NLTA) dengan signifikansi 5%. Pengaruh dari kredit lancar ini terlihat negatif terhadap volatilitas return yang diterima oleh bank. Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi kredit lancar yang dimiliki oleh bank, akan berpengaruh negatif atau mengurangi volatilitas kredit yang disalurkan oleh bank. Keseluruhan variabel yang diamati terlihat menunjukan pengaruh 77 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 yang negatif terhadap volatilitas return yang dihasilkan. Dengan variabel NIM, semakin tinggi margin yang diterima oleh bank, maka akan semakin mengurangi volatilitas return. Demikian pula dengan besarnya biaya provisi, total biaya dan besarnya kredit dari DPK yang dihimpun oleh bank. Namun demikian, secara simultan varibel-variabel tersebut tidak memiliki signifikansi dan memililiki tingkat determinasi yang rendah untuk menjelaskan variabel-variabel tersebut. Hal ini terlihat pada nilai Adjusted R2 yang sangat kecil. Terkait dengan memasukan variabel jenis bank yang ada, kredit lancar (NLTA) terlihat menunjukan konsistensinya dalam mempengaruhi volatilitas return bank, yang ditunjukan dengan tingkat signifikansi sebesar 5% jika variabel-variabel jenis bank dimasukan kedalam model. Namun demikian, kharaterisknya cenderung sama dimana secara simultan variabel-variabel tersebut tidak memiliki signifikansi dan dengan tingkat determinasi yang rendah. Terkait dengan proxy stabilitas bank yang diukur dari proporsi aset yang tidak sehat, variabel kredit terhadap DPK menunjukan konsistensinya dalam model yang dipergunakan serta didukung oleh tingkat determinasi yang tinggi dan signifikansi yang kuat. Dengan tidak memasukan variabel jenis bank, variabel LDR ini menunjukan tingkat signifikansi sebesar 1% dan koefisien determinasi sebesar 91,7%, dan hal yang sama didapat pada saat memasukan variabel dari berbagai jenis bank yang ada dengan variasi determinasi diatas 90%. Dari berbagai variabel jenis bank yang ada, jenis bank persero terlihat menunjukan pengaruh yang positif signifikan sebesar 1% terhadap kredit lancar yang disalurkan, sedangkan untuk jenis BUSD terlihat memiliki pengaruh yang negatif sebagaimana jenis bank campuran dan memiliki pengaruh negatif pada jenis bank BUSND. Namun demikian, untuk ketiga jenis bank terlihat tidak memiliki signifikansi. Hasil perhitungan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Perhitungan Model Penelitian 78 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Berdasarkan dua proxy yang dipergunakan untuk mengukur stabilitas bank konvensional, proxy standar deviasi dari return bank (ROA) dipengaruhi secara parsial oleh kredit lancar yang dimiliki oleh bank, sedangkan variabelvariabel lainnya tidak menunjukan pengaruh yang nyata terhadap volatilitas return bank. Margin yang dimiliki oleh bank masih tidak menjamin stabilitas return yang diharapkan oleh bank karena masih adanya variabel-variabe biaya lain yang harus diperhitungkan dari margin yang diharapkan tersebut, khususnya terkait dengan biaya-biaya yang cenderung berubah sesuai dengan kondisi dan keadaaan bank dan pasar perbankan. Besarnya biaya provisi pun tidak menjamin stabilitas return bank. Kondisi ini disebabkan proses berjalannya kredit dalam jangka panjang yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Besarnya provisi bank hanya sedikit mengurangi stabilitas return dalam jangka pendek pada saat awal kredit diberikan kepada para nasabah. Biaya-biaya lainnya terkait dengan kredit yang diberikan oleh bank pun tidak secara signifikan mempengaruhi stabilitas return bank. Pengaruhhnya terlihat sangat kecil untuk dapat menjamin stabilitas return yang diharapkan. Hal yang sama juga terjadi dengan variabel kredit yang diberikan terhadap proporsi DPK bank dimana variabel yang menunjukan peran intermediasi tersebut tidak dapat menjamin stabilitas return. Pertimbangan penyaluran DPK sebagai kredit tidak menjamin bahwa hal tersebut menjamin return yang didapat sehingga bank akan mempertimbangkan instrumen-instrumen lainnya yang memiliki risiko yang kecil dibandingkan harus menyalurkannya dalam bentuk kredit. Proxy stabilitas bank lainnya adalah keberadaan aset yang kurang sehat dalam komposisi aset bank. Variabel ini relatif dapat dijelaskan dengan sangat baik oleh model yang dipergunakan dengan determinasi dan signifikansi yang tinggi. Keberadaan aset yang tidak sehat direpresentasikan oleh kredit yang diragukan pengembaliannya oleh bank, yang dipengaruhi oleh proporsi kredit terhadap dana pihak ketiga yang dimiliki oleh bank. Hal ini mengindikasikan bahwa proporsi aset yang tidak sehat cenderung meningkat jika kredit diberikan pada non-nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Aset yang tidak sehat akan semakin besar jika proporsi kredit lebih besar dari jumlah dana pihak ketiga yang ada pada bank. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk menjamin stabilitas bank dengan jalan mengurangi potensi kredit macet yang ada pada bank, bank harus memprioritaskan nasabah bank bersangkutan untuk mendapatkan kredit atau pembiayaan proyek dari bank. Hal yang menarik adalah adanya pengaruh yang berbeda dari jenis bank terhadap kredit yang tidak sehat yang ada pada bank. Bank persero terlihat memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap jumlah aset yang tidak sehat yang dimiliki oleh bank. Hal ini dapat mengindikasikan adanya pembiayaan atau kredit yang lebih beresiko yang dilakukan oleh bank persero. Dengan kepemilikan oleh negara, bank persero cenderung lebih agresif untuk mengalokasikan pembiayaan proyek dengan risiko yang tinggi. 79 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Hal ini dapat disebabkan oleh mudahnya bank persero untuk mendapatkan jaminan pemulihan kerugian jika kredit yang diberikan mengalami kemacetan karena adanya jaminan negara. Jenis bank lainnya yang memiliki pengaruh positif terhadap proporsi aset yang kurang sehat adalah bank umum swasta nasional non devisa. Dengan operasi bank yang dibatasi oleh lingkup internal atau di dalam negeri, bank BUSND cenderung memiliki pengaruh yang positif disebabkan oleh operasinya yang bersifat lokal dan tidak melayani lalu lintas pembayaran luar negeri. Bank jenis ini lebih cenderung untuk melakukan kegiatan-kegiatan intermediasi sebagai kegiatan utama bank sehingga komposisi aset tidak sehatnya cenderung lebih dipengaruhi oleh fungsi intermediasi di dalam negeri. Dengan tidak diizinkannya melakukan aktivitas lalulintas pembayaran luar negeri, proporsi aset bank akan lebih besar pada kredit dan hal tersebut akan meningkatkan proporsi aset tidak sehatnya. Namu demikian, pengaruh positif dari jenis bank BUSND ini tidak signifikan mempengaruhi besarnya kredit yang tidak sehat pada bank BUSND. Pengaruh negatif ditunjukan oleh BUSD dan Bank Asing. Dengan wilayah operasi yang lebih luas, kedua jenis bank tersebut berkecenderungan memiliki potensi untuk mendiversifkasi asetnya, khususnya valas, dibandingkan dengan BUSND yang cenderung lebih banyak pada kredit. Kecenderungan tersebut menyebabkan bank lebih banyak memiliki aset yang likuid dalam bentuk devisa yang sewaktu-waktu dapat dikonversi menjadi cash sehingga meminimumkan proporsi aset tidak lancarnya. Dengan semakin banyaknya proporsi aset dalam bentuk valas yang dipergunakan untuk melayani lalulintas pembayaran akan semakin mengurangi proporsi aset yang tidak sehat yang ada pada bank, khususnya dalam bentuk aset kredit. Dengan demikian, secara keseluruhan, dari kedua proxy yang dipergunakan untuk mengukur stabilitas bank, net performing aset merupakan variabel yang dapat menjelaskan dengan baik kondisi stabilitas bank dibandingkan dengan volatilitas ROA . selain menunjukan determinasi yang tinggi, proxy NPA juga memiliki tingkat signifikansi yang tinggi serta memberikan gambaran perbedaan dari jenis bank terhadap proxy ini. E. KESIMPULAN Berdasarkan hasil perhitungan dan pembahasan, simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (i) Kepemilikan pemerintah yang diproxy dengan bank persero menunjukan pengaruh yang berbeda terhadap proxy stabilitas bank. Pada proxy volatilitas return kepemilikan pemerintah menunjukan pengaruh negatif, namun memiliki pengaruh yang positif terhadap proxy non performing asset-nya (NPA). Dengan demikian, hipotesis pengaruh kepemilikan pemerintah memiliki pengaruh negatif terhadap stabilitas kinerja 80 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 bank terdukung sebagian. (ii) Kepemilikan swasta yang diproxy dengan BUSD dan BUSND menunjukan pengaruh positif pada proxy volatilitas ROA, namun keduanya memiliki pengaruh yang berbeda terhadap proxy NPA dimana BUSD menunjukan pengaruh negatif, sedangkan BUSND memiliki pengaruh yang positif. Dengan demikian, hipotesis pengaruh kepemilikan swasta menunjukan pengaruh yang positif terhadap stabilitas bank ditunjukan dengan baik oleh jenis bank BUSD, namun BUSND memiliki ambigiutas terhadap proxy NPA. (iii) Kepemilikan asing yang diproxy dengan Bank Campuran menunjukan pengaruh yang negatif terhadap stabilitas bank untuk kedua proxy. Dengan demikian, kepemilikan asing memiliki pengaruh yang positif terhadap kinerja stabilitas bank tidak terbukti melalui penelitian ini. (iv) Dari kedua proxy yang dipergunakan untuk mengukur kinerja stabilitas bank, proxy NPA terlihat memiliki determinasi dan signifikansi yang lebih baik dibandingkan dengan proxy volatilitas return bank. Berdasarkan hal tersebut, kesimpulan-kesimpulan penelitian dapat mengacu pada modela dan proxy NPA yang dipergunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan kesimpulan diatas, saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; (i) Kepemilikan pemerintah pada bank dengan pengaruhnya yang positif terhadap NPA dapat menjadi indikasi pembiayaan bank pemerintah pada proyek-proyek dengan risiko yang tinggi. Pemerintah harus mencermati kemanfaatan proyek-proyek yang dibiayai tersebut dari sisi kemanfatan kinerja internal bank dan aspek ekonomisnya secara makro, khususnya dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Selama ada keterkaitan proyek dengan risiko yang tinggi tersebut dengan programprogram pembangunan, pemerintah perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat untuk menghindari motif rent seeking dari kredit yang disalurkan oleh bank persero tersebut.(ii) Pengaruh yang positif juga ditunjukan oleh jenis Bank Umum Swasta Non Devisa. Dengan operasinya yang terbatas dalam lingkup nasional dan tidak melakukan transaksi lalulintas pembayaran, jenis bank ini akan lebih banyak beroperasi pada insrtumen loan dan instrumen likuid lainnya semacam SBI atau financial lainnya. Pemerintah harus mencermati intermediasi yang dilakukan oleh bank jenis ini karena memiliki pengaruh yang positif terhadap proprosi aset tida sehatnya, yang jika tidak terkontrol dapat mempengaruhi stabilitas keuangan secara makro.(iii) Untuk penelitian lebih lanjut, proxy dari kepemilikan ini dapat menggunakan pengukuran lainnya selain dummy variabel untuk menguji kekonsistenan hasil penelitian. 81 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 DAFTAR PUSTAKA Agarwal, Rajshree., Gort, Michael. 1996. The evolution of markets and entry, exit and survival of firms. The review of Economics and Statistics, MIT Press. pp. 489-498. Agarwal, Rajshree., Gort, Michael. 1996. Firm and product life cycles and firm survival. The American Economic Review, Vol. 2, pp. 184-190. Audretsch, David B. 2007. Entrepreneurship capital and economic growth. Oxford Review of Economic Policy, Vol. 23, pp.63 – 78. Audretsch, D.B., Fritsch, M. 2002. Growth regimes over time and space. Regional Studies, Vol. 36 (2), pp. 113–24. Audretsch, D.B., Keilbach, M. 2004. Entrepreneurship and regional growth: An evolutionary interpretation. Journal of Evolutionary Economics, Vol. 14 (5), pp. 605–616. Balasubramanian, Natarajan., Lee, Jeongsik. 2008. Firm Age and Innovation. Industrial and Corporate Change, Vol. 17, pp. 1019–1047. Benneworth, P., Charles, D. 2005. University spin-off policies and economic development in less successful regions: Learning from two decades of policy practice. European Planning Studies, Vol. 13, pp. 537–557. Cassiman, Bruno., Ueda, Masako. 2006. Optimal Project Rejection and New Firm Start Ups. Management Science, Vol. 52, pp. 262–275. Cornett, A.P. 2009. Aims and strategies in regional innovation and growth policy: A Danish perspective. Entrepreneurship and Regional Development, Vol. 21, pp. 399-420. Feldman, M.P. 2001. The entrepreneurial event revisited: Firm formation in a regional context. Industrial and Corporate Change, Vol. 10 (4), pp. 861– 891. Fischer, M.M., Nijkamp, P. 2009. Entrepreneurship and regional development, in R. Capello and P. Nijkamp, (Eds.), Handbook of Regional Growth and Development Theories, pp. 182-198. Edward Elgar, Cheltenham, UK. Griliches, Z. 1979. Issues in Assessing the Contribution of Research and Development to Productivity Growth. Bell Journal of Economics, Vol. 10, pp. 92 – 116 Henderson, J., Weiler, S. 2010. Entrepreneurs and job growth: Probing the boundaries of time and space. Economic Development Quarterly, Vol. 24, pp. 23-32 Huggins, R. 1997. Regional competitive specialization: Development agency sector initiatives in Wales. Area, Vol. 29 (3), pp. 241–252 Huggins, R., Johnston, A.2009. Knowledge networks in an uncompetitive region: SME innovation and growth. Growth and Change, Vol. 40 (2), pp. 227– 259. Huggins, R., Williams, N.2009. Enterprise and public policy: A review of Labour government intervention in the United Kingdom. Environment and Planning C. Government and Policy, Vol. 27 (1), pp. 19–41. 82 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Hofstede, G. 1991.Cultures and organizations: Software of the mind. London. McGraw-Hill. Kaufmann, D., Kraay, A. 2010. Growth Without Governance, World Bank Policy, World Bank Research Working Paper 2928. Klepper, Steven J. 1996. Entry, Exit, Growth, and Innovation Over the Product Life Cycle. American Economic Review, Vol. 86, pp. 532 –583. Kusumastuti, S.Y., 2008. Derajat Persaingan Industri Perbankan Indonesia Setelah Krisis Ekonomi, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 23 (1): 29-42 Lagendijk, A., Lorentzen, A. 2007. Proximity, knowledge and innovation in peripheral regions. On the intersection between geographical and organizational proximity. European Planning Studies, Vol. 15 (4), pp. 457–466 Lorentzen, A. 2008. Knowledge networks in local and global space. Entrepreneurship and Regional Development, Vol. 20, pp. 533-545. Lucas, R. (1993), „Making a Miracle‟. Econometrica, Vol. 61, pp. 251–272. Michael, S.C., Pearce, J.A. 2009. The need for innovation as a rationale for government involvement in entrepreneurship. Entrepreneurship and Regional Development, Vol. 21, pp. 285-302. Minniti, M. 2005. Entrepreneurship and network externalities. Journal of Economic Behavior and Organization, Vol. 57 (1), pp. 1–27. Mulyaningsih, T. dan A. Daly. 2011. Competitive Conditions In Banking Industry: An Empirical Analysis Of The Consolidation, Competition And Concentration In The Indonesia Banking Industry Between 2001 And 2009, Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, (Oktober): 151 – 186 Mueller, P. 2006. Entrepreneurship in the region: Breeding ground for nascent entrepreneurs?. Small Business Economics, Vol. 27 (1), pp. 41–58. Nijkamp, P. 2009. Entrepreneurship, development, and the spatial context: Retrospect and prospect, UNU WIDER Research Paper RP 2009/08. North, D., and D. Smallbone. 2000. Innovative activity in SMEs and rural economic development: Some evidence from England. European Planning Studies, Vol. 8, pp. 87–106. Parker, S.C. 2004. The economics of self-employment and entrepreneurship. University Press – Cambridge. Romer, P. 1986. „Increasing Returns and Long-run Growth‟. Journal of Political Economy, Vol. 94, pp. 1002 – 1037. Sautet, F., Kirzner, I. 2006. The nature and ole of entrepreneurship in markets: Implications for policy. Policy Primer No. 4, Mercatus Policy Series, George Mason University. Saxenian, A. 1996. Regional advantage: Culture and competition in Silicon Valley and route 128. Cambridge, MA: Harvard University Press. Schwartz, M., Gothner, M. 2009. A multidimensional evaluation of the effectiveness of business incubators: An application of the PROMETHEE outranking method. Environment and Planning C, Vol.27, pp. 1072-1087. 83 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 Siregar, Suzanna Lamria, S.L. 2007. Model Suominen Untuk Penetapan Indeks Derajat Kompetisi Industri Perbankan, (Agustus): Vol. 2: 1858-2559 Turok, I. 2004. Cities, regions and competitiveness. Regional Studies, Vol. 38 (9), pp. 1069–1083 Valliere, D., Peterson, R. 2009. Entrepreneurship and economic growth: Evidence from emerging and developed countries. Entrepreneurship and Regional Development, Vol. 21, pp. 459-480 Vaz, T., and Nijkamp, P. 2009. Knowledge and innovation: The strings between global and local dimensions of sustainable growth, Entrepreneurship and Regional Development, 21, 441-455. Verheul, I., Wennekers, S., Audretsch, D,. Thurik, A.R. 2001. An eclectic theory of entrepreneurship: Policies, institutions and culture. Tinbergen Institute Discussion Paper TI 2001-030/3 Virkkala, S. 2007. Innovation and networking in peripheral areas: A case study of emergence and change in rural manufacturing. European Planning Studies, Vol. 15 (4), pp. 511–529. Werker, C., Athreye, S.2004. Marshall‟s disciples: Knowledge and innovation driving regional economic development and growth. Journal of Evolutionary Economics, Vol. 14 (5), pp. 505–523. ______, www.bi.go.id 84 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014 85 Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya