jurnal manajemen, vol. 4, no. 1

advertisement
Jurnal Manajemen Vol 4 No 1 Agustus 2014
1
Jurnal Manajemen Vol 4 No 1 Agustus 2014
2
Jurnal Manajemen Vol 4 No 1 Agustus 2014
3
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
RANCANGAN PENGUKURAN KINERJA DOSEN
DENGAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD
Suryaman
Hamdan
Universitas Serang raya
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagimana kinerja dosen di Universitas
Serang Raya di ukur melalui data kualitatif dan kuantitatif dengan pendekatan
balanced scorecard dan dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
acuan Universitas dalam memperbaiki kinerja dosennya terutama yang
berhubungan dengan empat perspektif, yaitu melalui perspektif keuangan,
perspektif kepuasan mahasiswa, perspektif bisnis dan perspektif pertumbuhan dan
pembelajaran. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan
metode survei, yaitu sebuah desain penelitian yang memberikan uraian kuantitatif
data narasumber dari dokumen-dokumen historis Universitas dan kualitatif
maupun numerik dari sejumlah pecahan populasi (sampel) melalui proses
pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan
datanya. Kemudian dilakukan analisa yang hasilnya bahwa Kinerja dosen
Universitas Serang Raya secara perspektif keuangan pada bidang penelitian dan
pengabdian masyarakat selang periode 2011 sampai dengan 2014 dari 8 instrumen
pengukuran tiga pengukuran yang kinerjanya rendah, ini terutama kinerja dosen
pada bidang pengabdian pada masyarakat yang di biayai melalui instansi diluar
Universitas, sedangkan melalui perspektif pertumbuhan dan pembelajaran dinilai
cukup tinggi, meskipun masih terdapat beberapa kelemahan namun secara
keseluruhan kinerja dosen atau secara umum di Universitas Serang Raya dapat
dikatakan baik. Akhirnya penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pada
Universitas dalam mengelola para tenaga pendidiknya atau dosen. Luaran yang
ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah akun dipublikasikan di Jurnal
nasional atau diterbitkan pada proceeding seminar nasional.
Kata Kunci: kinerja dosen, balanced scorecard
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengukuran kinerja merupakan usaha yang dilakukan pihak manajemen untuk
mengevaluasi hasil-hasil kegiatan yang telah dilaksanakan oleh masingmasing pusat pertanggung-jawaban yang dibandingkan dengan tolak ukur
yang telah ditetapkan. Sistem pengukuran kinerja dalam manajemen bukan pada
satu aspek keuangan, karena ada aspek-aspek lain yang perlu pengukuran dalam
menjalankan fungsi-fungsi manajemen, pengukuran dan penilaian kinerja suatu
1
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
lembaga pendidikan seharusnya didasarkan pada kemampuannya untuk
mewujudkan visi dan misinya. Selain itu dalam penilaian pada suatu lembaga
pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh dan menggunakan alat ukur
yang bisa mengukur seluruh kegiatan pelayanan yang dilakukan organisasi,
karena kegiatannya bersifat jasa dan bukanlah mencari laba. Para ahli manajemen
menemukan suatu pendekatan penilaian kinerja perusahaan yang dapat diadopsi
pada organisasi nir-laba. Alat penilaian kinerja yang disebut balanced
scorecard merupakan metode penilaian kinerja yang komprehensif. Metode
ini menilai kinerja menggunakan seperangkat ukuran kinerja terpadu yang telah
disusun berdasarkan visi dan strategi. Hasil pengukuran kinerja dosen biasanya
akan berbanding lurus dengan kondisi kepangkatan dosen, semakin kinerjanya
tinggi maka kepangkatan semakin naik, dan sebaliknya semakin rendah
kinerjanya semakin kepakatan dosen rendah, padahal Undang-Undang Nomor 14
tahun 2005 juga mensyaratkan bahwa Dosen harus mempunyai jabatan fungsional
sekurang-kurangnya Asisten Ahli. Tapi kenyatanya bahwa dari 21 Perguruan
tinggi memiliki dosen sebanyak 677 dosen memiliki jabatan fungsional baru
sebanyak 109 orang (13,44 %), sedangkan yang belum memiliki jabatan
fungsional sebanyak 568 orang (86,56 %)
Rumusan Masalah
1. Bagaimana kisi-kisi yang baik untuk menyusun alat ukur yang valid dan
reliable untuk mengukur kinerja dosen dengan menggunakan pendekatan
balanced scorecard ?
2. Bagaimanakah validitas alat ukur yang valid untuk mengukur kinerja dosen
dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard ?
3. Bagaimana alat ukur yang reliable untuk mengukur kinerja dosen dengan
menggunakan pendekatan balanced scoraecard ?
Tujuan
Tujuan dari Kajian ini adalah untuk mengkaji secara lebih mendalam kinerja
dosen melalui pendekatan balanced scorecard yang pengukurannya melalui
empat perspektif tujuan tersebut adalah :
1. Untuk mengetahui kisi-kisi alat ukur yang mampu mengukur kinerja dosen
dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard.
2. Untuk mengetahui tingkat kinerja dosen universitas dengan menggunakan
pendekatan balanced scoraecard.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan instrument kinerja
dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard. Sebagaimana diketahui
instrumen yang berkembang saat ini adalah instrument yang dikembangkan
berdasarkan pendekatan tradisional, di mana suatu instrument hanya diujicobakan
sekali pada pihak yang bersangkutan. Penelitian berusaha menyusun instrument
kinerja dosen yang diujicobakan baik kepada dosen maupun kepada mahasiswa
dengan harapan diperoleh instrument yang benar-benar valid baik dari sudut
pandang dosen maupun mahasiswa. Manfaat lain dari penelitian ini adalah, proses
2
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
pembentukan aturan untuk evaluasi kinerja dosen, dapat dijadikan sebagai
referensi dalam mendapatkan hasil pengukuran yang tepat dan akurat dalam upaya
pengukuran kinerja dosen di Universitas Serang Raya.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Kinerja
Untuk kerja, penampilan kerja atau kinerja didefinisikan sebagai kemampuan
kerja di dalam terminologi kualitas dan kuantitas (Khan et.al., 2010: 297). Dengan
kata lain, pendapat Khan di atas dapat dipahami bahwa kinerja merupakan
prestasi kerja (performance) yang dicapai oleh seseorang. Prestasi kerja adalah
penampilan kerja secara kualitas dan kuantitas yang disuguhkan oleh seorang
pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ivancevich Konopaske, dan
Matteson (2002: 157) bahwa kinerja menunjukkan kemampuan dan keterampilan
pekerja. Pada bagian lain juga dijelaskan bahwa kinerja adalah pekerjaan yang
berhasil ditunjukkan dengan adanya usaha. Kinerja karyawan adalah yang
mempengaruhi seberapa banyak mereka memberikan kontribusi kepada
organisasi yang antara lain termasuk kuantitas keluaran, kualitas keluaran, jangka
waktu yang dibutuhkan, kehadiran di tempat kerja, sikap kooperatif di dalam
organisasi.
Ivancevich Konopaske, dan Matteson (2002: 163) juga menjelaskan bahwa
kinerja dapat dilihat dari kemampuan seseorang dalam usahanya mencapai tujuan,
termasuk di dalamnya ketekunan untuk bekerja keras, ketepatan waktu
menyelesaikan pekerjaan, penggunaan biaya sesuai rancangan, kemandirian
bekerja dalam arti tidak selalu membutuhkan pengawasan, dan kemampuan
mengatasi masalah atau penghalang.
Berdasarkan tiga teori di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan hasil
kerja yang dapat dicapai pegawai dalam suatu organisasi, sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab yang diberikan organisasi dalam upaya mencapai
visi, misi, dan tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar
hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Kinerja pegawai dapat dilihat dari
segi kecakapan, keterampilan, pengetahuan dan kesungguhan pegawai yang
bersangkutan. Kelangsungan hidup suatu oganisasi tergantung salah satu dari segi
kecakapan, keterampilan, pengetahuan dan kesungguhan pegawai yang
bersangkutan. Oleh karena itu, “Manager must devise some strategies which will
improve the performance of the employees working.” Manajer harus memikirkan
beberapa strategi yang akan digunakan untuk meningkatkan kinerja para pekerja
(Khan et.al., 2010: 297).
Penilaian Kinerja
Menurut Bernardin and Russel (2011: 382) terdapat enam kriteria untuk menilai
kinerja karyawan.
1. Quality yaitu tingkatan di mana proses atau penyesuaian pada cara yang ideal
di dalam melakukan aktifitas atau memenuhi aktifitas yang sesuai harapan.
3
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
2.
3.
4.
5.
6.
Quantity yaitu jumlah yang dihasilkan diwujudkan melalui nilai mata uang,
jumlah unit, atau jumlah dari siklus aktifitas yang telah diselesaikan.
Timeliness yaitu tingkatan di mana aktifitas telah diselesaikan dengan waktu
yang lebih cepat dari yang ditentukan dan memaksimalkan waktu yang ada
untuk aktifitas lain.
Cost effectiveness yaitu tingkatan di mana penggunaan sumber daya
perusahaan berupa manusia, keuangan, dan teknologi dimaksimalkan untuk
mendapatkan hasil yang tertinggi atau pengurangan kerugian dari tiap unit.
Need for supervision yaitu tingkatan di mana seorang karyawan dapat
melakukan pekerjaannya tanpa perlu meminta pertolongan atau bimbingan
dari atasannya.
Interpersonal impact yaitu Tingkatan di mana seorang karyawan merasa
percaya diri, punya keinginan yang baik, dan bekerja sama di antara rekan
kerja.
Dimensi Kinerja Dosen
Mutu kinerja dosen dapat diukur atau dinilai dengan melihat kemampuan dosen
dalam melaksanakan sejumlah aspek sebagai berikut:
1. Sikap dosen dalam melaksanakan tugas pendidikan dan pengajaran: Sikap
menganggap mahasiswa lebih rendah statusnya dalam penguasaan
pengetahuan. Sikap kehati-hatian dalam menjalankan kuliah, sikap kehatihatian dalam membedakan fakta dengan hipotesa, sikap toleran dalam
perbedaan pendapat, minat terhadap mata kuliah yang diajarkan, sikap ingin
menularkan perasaan senang kepada mahasiswa;
2. Perencanaan pendidikan dan pengajaran: menyesuaikan dengan
perkembangan iptek, konsultasi dengan teman sejawat, membuat satuan acara
perkuliahan (SAP) dengan jelas menyiapkan catatan kuliah, menyiapkan
hand out kuliah memilih buku referensi, mengajukan buku perpustakaan
pegangan, merencanakan tugas terstruktur;
3. Poses pembelajaran: penjelasan tujuan mata kuliah, penjelasan sasaran mata
kuliah, mengetahui kemampuan awal mahasiswa, menepati jadwal, berusaha
mengetahui penguasaan mahasiswa, memberikan pertanyaan dugaan,
mengkaitkan antara materi, melakukan problem solving approach
menyediakan waktu bertanya, menggunakan bahan peraga, menggunakan alat
bantu audio visual, menjelaskan pentingnya mata kuliah, mempelajari bahan
kepustakaan, memberi tugas mahasiswa, memberikan balikan tugas
mahasiswa, membahas tugas mahasiswa, mengaitkan mata kuliah dengan
bidang profesi; dan
4. Dosen dalam melaksanakan tugasnya memiliki standar kinerja dengan
dimensi: 1) pendidikan dan pengajaran dengan indikator pada (prapendidikan dan pengajaran) berupa: menyiapkan rencana dan silabus
perkuliahan, dapat merangkum materi kuliah sebagaimana yang disusun
dalam rencana dan silabus perkuliahan. Mengelola program belajar mengajar,
menguasai bahan pelajaran, menyiapkan dan menggunakan media sumber,
(proses pendidikan dan pengajaran) berupa memenuhi semua perkuliahan
tepat pada waktunya, memberikan pelayanan bantuan/bimbingan pada
4
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
mahasiswa pada waktu yang telah ditentukan, memperbaharui bahan
perkuliahan secara teratur, memberikan kuliah secara efektif, menciptakan
fasilitas bagi terlaksananya diskusi kelas maupun kegiatan belajar mahasiswa.
Menggunakan berbagai media belajar untuk memperjelas dan
membangkitkan minat belajar mahasiswa. Membimbing mahasiswa dalam
kegiatan seminar mahasiswa, makalah dan kegiatan akademik lainnya
(evaluasi pendidikan dan pengajaran) berupa menyusun dan mengembangkan
bahan ujian. Membicarakan hasil ujian dengan mahasiswa sebagai bantuan
umpan balik yang positif, memperbaharui bahan perkuliahan secara teratur,
membuat laporan ilmiah, pembuatan makalah, kegiatan pendukung akademik
lainnya; 2) penelitian dengan indicator: mengadakan penelitian secara
mandiri maupun kelompok, membuat karya ilmiah atau laporan penelitian
secara benar menyajikan karya tulis dalam pertemuan ilmiah. Menulis buku
ilmiah., mengkaji karya-karya ilmiah terbaru; dan 3) dimensi pengabdian
pada masyarakat dengan 5ndicator: memberikan penyuluhan kepada
masyarakat sesuai dengan bidangnya, aktif memecahkan masalah
kemasyarakatan dan lingkungan, menulis karya pengabdian kepada
masyarakat (Dikti 2010: 1).
Berdasarkan uraian di atas, kinerja dosen adalah hasil kerja secara kualitas
dan kuantitas yang dicapai seorang dosen dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Kinerja dosen memiliki dimensi: (1) pendidikan dan pengajaran, (2)
penelitian, dan (3) pengabdian kepada masyarakat.
Dimensi pendidikan dan pengajaran dengan indicator: (a) memotivasi
mahasiswa, (b) menyusun modul atau buku teks untuk pegangan mahasiswa,
(c) membuat silabus pembelajaran, (d) memberikan tugas terstruktur, (e)
melakukan interaksi dosen dan mahasiswa, dan (f) mengevaluasi hasil belajar.
Dimensi penelitian dengan indicator: (a) mengadakan penelitian secara
mandiri maupun kelompok, (b) menyajikan karya tulis dalam pertemuan
ilmiah, (c) menulis Jurnal ilmiah, (d) menulis buku reverensi dari hasil
penelitian, (e) mengaplikasikan hasil penelitian dalam proses pembelajaran.
Dimensi pengabdian kepada masyarakat dengan indicator: (a) memberikan
penyuluhan kepada masyarakat sesuai dengan bidangnya, (b) aktif
memecahkan masalah kemasyarakatan dan lingkungan, (c) menulis karya
pengabdian kepada masyarakat, dan (d) mengaplikasikan hasil perkuliahan
melalui kegiatan pengabdian pada masyarakat.
Konsep Balanced Scorecard
Balanced Scorecard (BSC) merupakan konsep manajemen yang diperkenalkan
Robert Kaplan tahun 1992, sebagai perkembangan dari konsep pengukuran
kinerja (performance measurement) yang mengukur kinerja perusahaan. Robert
Kaplan mempertajam konsep pengkuran kinerja dengan menentukan suatu
pendekatan efektif yang “seimbang” (balanced) dalam mengukur kinerja dan
strategi perusahaan. Pendekatan tersebut berdasarkan 4 perspektif, yaitu
keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan. Key
Performance Indicators (KPI), performance measurement sebenarnya bukanlah
5
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
konsep yang baru. Dalam literatur akuntansi manajemen, konsep-konsep tersebut
sudah banyak dibahas. Dalam dunia sumber daya manusia, kita mengukur angka
perputaran karyawan, analisis hari absen dan lain-lain.
Definisi Balanced Scorecard
Definisi balanced scorecard menurut Garrison dalam bukunya “International
Corporate Governance” yang diterjemahkan oleh Amin Widjaja Tunggal salah
satu pakar akuntansi manajemen mengembangkan suatu konsep yang sama
dengan balanced scorecard yang dinamakan “Tableau de Bord” atau
“Dasboard”.
“Tableau de bord adalah pemicu keberhasilan perusahaan” sedangkan,
“Balanced Scorecard adalah sekelompok tolok ukur kinerja yang terintegrasi
yang berasal dari strategi perusahaan dan mendukung strategi perusahaan
di seluruh organisasi”(2001:1).
Empat Perspektif Balanced Scorecard
1. Perspektif Keuangan
Balanced Scorecard menggunakan tolok ukur kinerja keuangan, seperti laba
bersih dan ROI (Return On Investmen), karena tolok ukur tersebut secara
umum digunakan dalam organisasi yang mencari laba. Tolok ukur keuangan
memberikan bahasa umum untuk menganalisis dan membandingkan
perusahaan. Orang-orang yang menyediakan dana untuk perusahaan seperti
lembaga keuangan dan pemegang saham sangat mengandalkan tolok ukur
kinerja keuangan dalam memutuskan apakah meminjamkan atau
menginvestasikan dana. Tolok ukur keuangan yang didesain dengan baik dapat
memberikan pandangan agregat keberhasilan suatu organisasi. Tolok ukur
keuangan adalah penting, akan tetapi tidak cukup mengarahkan kinerja dalam
menciptakan nilai (value). Tolok ukur non keuangan juga tidak memadai
untuk menyatakan angka paling bawah (bottom line). Balanced Scorecard
mencari suatu keseimbangan dari tolok ukur kinerja yang multiple baik
keuangan maupun non keuangan untuk mengarahkan kinerja organisasional
terhadap keberhasilan.
2. Perspektif Pelanggan
Perspektif pelanggan memfokus pada bagaimana organisasi memperhatikan
pelanggannya agar berhasil. Mengetahui pelanggan dan harapan mereka
tidaklah cukup. Suatu organisasi juga harus memberikan insentif kepada
manajer dan karyawan yang dapat memenuhi harapan pelanggan.
Perusahaan antara lain menggunakan tolok ukur kinerja berikut, pada waktu
mempertimbangkan perspektif pelanggan, yaitu :
 Kepuasaan pelanggan (customer satisfaction);
Tolok ukur kepuasan pelanggan menunjukkan apakah perusahaan
memenuhi harapan pelanggan atau bahkan menyenangkannya.
 Retensi pelanggan (customer retention);
Tolok ukur retensi atau loyalias pelanggan menunjukkan bagaimana
baiknya perusahaan pelanggannya. Secara umum dikatakan bahwa
6
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014


dibutuhkan 5 x lebih banyak untuk memperoleh seorang pelanggan baru
daripada mempertahankan seorang pelanggan lama.
Pangsa Pasar (market share);
Pangsa pasar mengukur proporsi peusahaan dari total usaha dalam pasar
tertentu.
Kemampulabaan pelanggan.
Untuk perusahaan yang mencari untung, garis paling bawah (bottom line)
adalah kemampulabaan pelanggan, yakni pelanggan yang memberikan
keuntungan kepada perusahaan. Mempunyai pelanggan yang puas dan
setia dari pangsa pasar yang besar adalah baik, akan tetapi pencapaian
tersebut tidak menjamin kemapulabaan. Kepuasan pelanggan yang lebih
baik mengarah pada peningkatan kemampulabaan pelanggan.
3.
Perspektif Proses Bisnis Internal
Terdapat hubungan sebab akibat antara perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan dengan perspektif poses usaha internal. Karyawan yang
melakukan pekerjaan merupakan sumber ide baru yang terbaik untuk
memproses usaha yang lebih baik. Pelanggan menilai barang dan jasa yang
diterima dapat diandalkan dapat tepat pada waktunya. Pemasok dapat
memuaskan pelanggan apabila mereka memegang jumlah persediaan yang
banyak untuk menyakinkan bahwa barang-barang tersedia ditangan. Akan
tetapi biaya penanganan dan penyimpangan persediaan menjadi tinggi dan
kemungkinan keusangan persediaan. Untuk menghindari persediaan yang
berlebihan, alternatif yang mungkin adalah membuat pemasok mengurangi
throughput time. Throughput time adalah total waktu dari waktu peasanan
diterima oleh perusahaan sampai dengan pelanggan menerima produk.
Memperpendek throughput time dapat berguna apabila pelanggan
menginginkan barang dari jasa segera mungkin.
4.
Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Untuk tujuan insentif, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan memfokus
pada kemampuan manusia. Manajer bertanggung jawab untuk
mengembangkan kemampuan karyawan. Tolok ukur kunci untuk menilai
kinerja manajer adalah kepuasan karyawan, retensi karyawan, dan
produktivitas karyawan. Kepuasan karyawan mengakui bahwa moral karyawan
adalah penting untuk memperbaiki produktivitas, umumnya kepuasan
pelanggan, dan ketanggapan terhadap situasi. Manajer dapat mengukur
kepuasan karyawan dengan mengirim survey, mewawancari karyawan,
mengamati karyawan pada saat bekerja. Produktivitas karyawan mengakui
pentingnya keluaran per-karyawan, keluaran dapat diukur dalam arti tolok ukur
fisik seperti halaman yang diproduksi atau dalam tolok ukur keuangan seperti
pendapatan per-karyawan, laba per karyawan. Contoh pengukuran
produktivitas sebuah bank misalnya jumlah pinjaman yang diproses per loan
officer per bulan. Suatu sistem insentif yang baik akan mendorong manajer
meningkatkan kepuasan karyawan yang tinggi, perputaran karyawan yang
rendah dan produktivitas karyawan yang tinggi.
7
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
C. METODE PENELITIAN
Tipe Penelitiaan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
pendekatan Balanced scorecard, yaitu metodologi riset yang berupaya untuk
mengkuantifikasi data, dan biasanya menerapkan analisis statistik tertentu
(Malhotra,2005:115). Metode penelitian yang digunakan adalah dengan
menggunakan metode survei, yaitu sebuah desain penelitian yang memberikan
uraian kuantitatif maupun numerik dari sejumlah pecahan populasi (sampel)
melalui proses pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner sebagai alat
pengumpul datanya (Fowler, 1988 dalam Jhon W Creswell, 1994:112.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diambil secara langsung dari
sumbernya. Data diperoleh melalui focus group discussion dan uji coba
instrument dengan para responden. Data sekunder adalah data diambil melalui
dokumen terkait administrasi di UNSERA. Pada penelitian ini teknik
pengambilan sampel dilakukan secara acak dan metode purposive sampling
baik kepada mahasiswa maupun kepada Dosen Unsera.
Operasional Variabel
Kinerja Dosen
Variabel
Kinerja
1
Dosen
Undang
Undang
Guru dan
Dosen
Nomor: 14
Tahun 2005
Dimensi
Indikator
Pendidikan dan
pengajaran
a. Sikap dosen memotivasi
mahasiswa
b. Menyususn buku teks sebagai
bahan ajar
c. Membuat silabi pelajaran
d. Memberikan tugas terstruktur
mahasiswa.
e. Interaksi dosen dengan
mahasiswa.
f. Mengevaluasi hasil belajar
Kode
Angket
K1
K2
K3
K4
K5
K6
8
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Variabel
Dimensi
2
3
Penelitian
Pengabdian pada
Masyarakat
Indikator
a. mengadakan penelitian secara
mandiri maupun kelompok,
b. menyajikan karya tulis dalam
pertemuan ilmiah .
c. menulis Jurnal ilmiah
d. memberikan tugas
terstruktur,
e. Aplikasi hasil penelitian
dalam proses pembelajaraan
f.
a. Memberikan penyuluhan
g. kepada masyarakat sesuai
dengan bidangnya,
b. Aktif memecahkan masalah
kemasyarakatan dan
lingkungan,
c. Menulis karya pengabdian
kepada masyarakat
d. Mengaplikasikan hasil
perkuliahan melalui kegiatan
pengabdian pada masyarakat
Kode
Angket
K7
K8
K9
K10
K11
K12
K13
K14
K15
Populasi dan Sample.
Populasi dalam penelitian ini terdiri adalah civitas akademika yang berada di
lingkungan Universitas Serang Raya, baik itu mahasiswa, pegawai maupun dosen.
Sedangkan teknik sampel mengacu pada pada Surat Keputusan Rektor tentang
penilaian kinerja universitas, dalam SK Rektor No 245/01/UNSERA/E.20/I/2011
tersebut memuat ketentuan jumlah sampel yang digunakan untuk mengukur
kinerja dalam bentuk kualitatif yaitu, Sampel yang diberikan kepada mahasiswa
minimal 250 mahasiswa, sampel yang diberikan kepada pegawai minimal 50 dan
sampel yang diberikan kepada dosen hanya diberikan pada dosen yang berstatus
dosen tetap yaitu minimal 50 sample.
Uji Instrumen Penelitian
Validitas (Validity )
dilakukan uji coba koesioner pada sejumlah responden untuk mengetahui apakah
instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini valid atau tidak. dan
pernyataan yang dinyatakan Valid adalah pernyataan yang memiliki angka
korelasinya diatas korelasi r Product moment (r tabel)
9
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Uji Reliabilitas
Uji ini adalah untuk menunjukan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif
konsisten apabila pengukuran terhadap aspek yang sama pada alat ukur yang sama
(Internal Consistency Reliability). Dalam pengukuran reliabilitas ini digunakan
rumus Cronbach‟s Alpha (α )
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan mengunakan pendekatan
balacescorecard, yaitu metode analisis dengan menggunakan pengukuran kinerja
melalui 4 perspektif, yaitu :
1. Kinerja Dosen di analisis melalui Perspektif keuangan
Penilaian kinerja dosen di ukur melalui pengukuran daya serap
dosen dalam memanfaatkan anggaran yang disediakan oleh perguruan
tinggi pada setiap periodenya untuk kegiatan penelitian dan pengabdian
masyarakat., data kinerja dosen melalui :
a) Kinerja dosen diukur melalui jumlah kuantitas penelitian dari
periode tahun 2011 s/d 2014
b) Kinerja dosen diukur melalui daya serap anggaran penelitian dari
periode tahun 2011 s/d 2014
c) Kinerja dosen diukur melalui jumlah kuantitas pengabdian pada
masyarakat dari periode tahun 2011 s/d 2014
d) Kinerja dosen diukur melalui daya serap anggaran pengabdian
kepada masyarakat dari periode tahun 2011 s/d 2014
Tinggi rendahnya kinerja dosen dapat diketahui dengan
membadingakan realisasi penggunaan anggaran penelitian atau anggaran
pengabdian kepada masarakat dengan anggaran yang di rencanakan pada
bidang tersebut, sehingga perbandinagnya merupakan interprestasi
meningkat atau menurunnya kinerja dosen
2. Kinerja Dosen dianalisis melalui perspektif Kepuasan Mahasiswa
Perspektif kepuasan mahasiswa memfokus pada bagaimana
seorang dosen memperhatikan mahsiswanya pada saat proses belajar
mangajar, maka analisa yang digunakannya adalah dengan menganalisa
hasil score responden melalui sebaran angket pertanyaan yang kemudin
di cari rata-ratanya untuk menentukan ukuran tinggi dan rendahnya suatu
pernyataan atau persepsi mahasiswa terhadap kinirja dosen, hal yang di
rata-ratakan adalah :
a) Sikap dosen memotivasi mahasiswa
b) Menyususn buku teks sebagai bahan ajar
c) Membuat silabi pelajaran
d) Memberikan tugas terstruktur mahasiswa.
e) Interaksi dosen dengan mahasiswa.
f) Mengevaluasi hasil belajar
Tinggi rendahnya kinerja dosen diukur melalui perbandinag
antara nilai sempurna ( Jumlah responden x bobot tertinggi dari setiap
10
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
butir pertanyaan) dengan realisasi nilainya, jika nilai perbandinag lebih
besar dari nilai rata-ratanya maka kinerja dosen dapat dikatakan tinggi,
begitu juga sebaliknya
3. Kinerja dosen dianalisis melalui prospek Bisnis Internal
Perspektif Kinerja dosen dianalisis melalui prospek Bisnis Internal
memfokus pada bagaimana seorang dosen dengan berhubungan :
a) Mengadakan penelitian secara mandiri maupun kelompok
b) Menulis Jurnal Ilmiah
c) Mmenulis buku reverensi dari hasil penelitian
d) Memberikan penyuluhan kepada masyarakat sesuai dengan
bidangnya
e) Aktif memecahkan masalah social kemasyarakatan dan lingkungan
f) Menulis karya pengabdian kepada masyarakat
4. Kinerja dosen dinilai dari Perspektif Pertumbuhan dan
Pembelajaran
Analisis ini pentingnya untuk terus memperhatikan dosen,
memantau kesejahteraannya, meningkatkan pengetahuan yang pada
gilirannya akan meningkatkan kemampuan untuk mencapai hasil ketiga
perspektif tersebut.
a) Menyajikan karya tulis dalam pertemuan ilmiah
b) Mengaplikasikan hasil penelitian dalam proses pembelajaran
c) Mengaplikasikan hasil perkuliahan melalui kegiatan pengabdian
pada masyarakat
Tinggi rendahnya kinerja dosen ditentukan dengan model yang
sama dengan perspektif kepuasan mahasiawa.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
PENGUKURAN
PERSPEKTIF
KINERJA
DOSEN
DARI
MASING-MASING
1. Mengukur Kinerja Dosen Perspektif Keuangan
Pengukuran perspektif finansial pada kinerja dosen dengan melihat biayabiaya yang dikeluarkan dan di hasilkan secara hibah oleh universitas yang
berhubungan dengan kinerja dosen pada bidang penelitian dan pengabdian
pada masyarakat berdasarkan 2 hal yaitu, target, dan capaian dari
universitas tersebut. Hasil pengukran perspektif finansial sebagai berikut :
Kinerja Penelitian
Berdasarkan data empiris dari Lembaga Pelitian dan Pengabdian kepada
Masarakat (LPPM) dan Kabiro Keuangan Universitas serang Raya
(UNSERA) Sebagai berikut :
11
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
TARGET
TAHUN
2011
2012
2013
2014
Jlh
TAHUN
2011
2012
2013
2014
Jlh
TAHUN
2011
2012
2013
2014
Jumlah
Rata rata
INTERNAL
Volume
Biaya
36
270,000,000
39
256,000,000
49
317,500,000
55
395,000,000
179
1,238,500,000
INTERNAL
Volume
Biaya
31
155,000,000
38
222,000,000
44
308,000,000
48
360,000,000
161
1,045,000,000
INTERNAL
Volume
Biaya
86.11
57.41
97.44
86.72
89.80
97.01
87.27
91.14
360.62
332.27
89.94
84.38
EKSTERNAL
Volume
Biaya
4
60,000,000
5
75,000,000
20
300,000,000
28
600,000,000
57
1,035,000,000
REALISASI
EKSTERNAL
Volume
Biaya
0
0
0
0
11
157,750,000
18
219,400,000
29
377,150,000
PERSENTASE
EKSTERNAL
Volume
Biaya
0
0
0
0
55.00
52.58
64.29
36.57
119.29
89.15
50.88
36.44
Volume
40
44
69
83
236
JUMLAH
Biaya
330,000,000
331,000,000
617,500,000
995,000,000
2,273,500,000
JUMLAH
Volume
Biaya
31
155,000,000
38
222,000,000
55
465,750,000
66
579,400,000
190
1,422,150,000
JUMLAH
Volume
Biaya
77.50
46.97
86.36
67.07
79.71
75.43
79.52
58.23
323.09
247.70
80.51
62.55
Ket : Data dioleh dari laporan keuangan Universitas
Kinerja perspektif keuangan dapat dikatakan baik, ini tercermin dari daya
serap Volume dengan rata- rata dari tahun 2011- 2013 sebesar 80,51 %
dan daya serap biaya 62,55 %, dengan rincian rata-rata volume internal
89,94 %untuk biaya 84,38 %, sedankan ekternal dengan volume 50,88 %
dengan biaya 36,44 % dikarenakan selama 2 (dua ) tahun dari 2011-2012
tidak memperoleh hibah penelitian akan tetapi dari tahun 2013 -2014
cenderung terjadinya kenaikan sehingga berdampak pada penurunan daya
serap anggaran penelitian yang di targetkan oleh universitas pada tahun
tersebut, secara umum kinerja penelitian dosen di Universitas baik .(Data
pada lampiran 2).
Kinerja Pengabdian Pada Masyarakat
Untuk perspektif daya serap pengabdian pada masyarakat dosen tergambar
pada data sebagai berikut :
12
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
TAHUN
2011
2012
2013
2014
Jumlah
TAHUN
2011
2012
2013
2014
Jumlah
TAHUN
2011
2012
2013
2014
INTERNAL
Volume
Biaya
28
140,000,000
30
180,000,000
46
317,500,000
64
395,000,000
168
1,032,500,000
INTERNAL
Volume
Biaya
17
85,000,000
22
132,000,000
26
182,000,000
35
262,500,000
100
661,500,000
INTERNAL
Volume
Biaya
60.71
60.71
73.33
73.33
56.52
57.32
54.69
66.46
TARGET
EKSTERNAL
Volume
Biaya
5
75,000,000
5
75,000,000
2
300,000,000
1
600,000,000
13
1,050,000,000
REALISASI
EKSTERNAL
Volume
Biaya
0
0
0
0
2
155,000,000
1
77,500,000
3
232,500,000
PERSENTASE
EKSTERNAL
Volume
Biaya
0
0.00
0
0.00
100
51.67
100
12.92
JUMLAH
Volume
Biaya
33
215,000,000
35
255,000,000
48
617,500,000
65
995,000,000
181
2,082,500,000
JUMLAH
Volume
Biaya
17
85,000,000
22
132,000,000
28
337,000,000
36
340,000,000
103
894,000,000
JUMLAH
Volume
Biaya
51.52
39.53
62.86
51.76
58.33
54.57
55.38
34.17
Jumlah
245.26
257.83
200
64.58
228.09
180.04
Ratarata
59.52
64.07
23.08
22.14
56.91
42.93
Ket : Data dioleh dari laporan keuangan Universitas
Sedangkan berdasarkan table kinerja daya serap perspektif keuangan dapat
dikatakan baik, hal ini tercermin dari daya serap Volume dengan rata- rata
dari tahun 2011- 2014 sebesar 56,91 % dan daya serap biaya 42,93%,
dengan rincian rata-rata volume internal 59,52 % untuk biaya 64,07%,
sedangkan ekternal dengan volume 23,08% dengan biaya 22,14 %
dikarenakan selama 2 (dua) tahun dari 2011-2012 tidak memperoleh
hibah penelitian akan tetapi dari tahun 2013 -2014 cenderung terjadinya
kenaikan sehingga berdampak pada penurunan daya serap anggaran
penelitian yang di targetkan oleh universitas pada tahun tersebut, secara
umum kinerja pengabdian pada masarakat dosen di Universitas belum
maksimal. (Data pada lampiran 2).
2. Mengukur Kinerja Dosen Perspektif Pelanggan (Kepuasan
Mahasiswa)
Mahasiswa merupakan faktor penting dalam merespon kinerja dosen di
bidang pendidikan dan pengajaran. Pada Perspektif Pelanggan yang diukur
adalah kriteria-kriteria bagaimana kinerja dosen dalam memuaskan
13
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
mahasiswa. Untuk itu data diambil melalui penyebaran instrument yang
berhubungan dengan kinerja dosen dalam bidang pendidikan dan
pengajaran di Universitas Serang Raya
Hasil Uji Validitas Instrumen Kinerja Dosen
Berdasarkan hasil analisis uji coba kuesioner, bahwa setiap butir
pertanyaan yang di uji dalam penelitian ini dengan analisis korelasi produk
moment (Uji Validitas) semua instrument valid, karena semua nilai
korelasinya > r table 0.316 dan penghitungan reliabilitas dalam penelitian
ini, besarnya nilai koefisien reliabilitas dengan metode Cronbach Alpha
sebesar 0,788. Maka semua butir pertanyaan yang valid dalam penelitian
ini juga reliable.
Hasil pengukuran Kinerja Dosen
HASIL PENGUKURAN
UKURAN
2011 2012 2013 2014
Sikap dan Motivasi dosen
dalam memberikan
697
1010
729
875
perkuliahan
Membuat Buku Ajar dalam
520
589
631
743
perkuliahan
Membuat silabi dan SAP
754
882
903
950
perkuliahan
Memberikan tugas terstruktur
658
755
929
887
mahasiswa.
Interaksi dosen dengan
930
823
110
1130
mahasiswa.
Mengevaluasi hasil belajar
750
884
828
1020
RATA
RATA
828
621
872
807
998
871
Berdasarkan tabel diatas bahwa nilai rata-rata yang diperoleh dari sebaran
instrument penelitian
dapat dikatakan kinerja dosen pada bidang
pendidikan dan pengajaran secara parsial atau pada setiap periodenya
memiliki nilai diatas rata-ratanya yaitu sebesar 625 walaupun ada satu
instrument kinerja yang masih di bawah rata-rata atau kinerja dosen dalam
memotivasi mahasiswa melalui produksi buku ajarnya masih rendah,
ukuran ini mengacu pada hasil rata-rata pengukur yang diperoleh dari
jawaban tertinggi setiap varian butir di bagi 2 (dua) untuk mendapatkan
nilai rata-ratanya yaitu sebesar 5 x250 / 2 = 625, sedangkan secara total
untuk setiap butir instrumennya memiliki score di atas mean, ini dapat di
katakana bahwa kinerja dosen pada bidang pendidikan dan pengajaran
menurut sekala yang ditentukan melalui SK Rektor tersebut berada pada
kisaran nilai 2501 – 5000, yaitu kinirja dosen dikategorikan tinggi.
14
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
3. Mengukur Kinerja Dosen Perspektif Bisnis Internal
HASIL PENGUKURAN
UKURAN
2011 2012
2013
2014
mengadakan penelitian secara
145
212
210
232
mandiri maupun kelompok
menulis Jurnal ilmiah,
89
113
120
198
menulis buku reverensi dari
67
74
103
150
hasil penelitian
memberikan penyuluhan
kepada masyarakat sesuai
230
222
206
206
dengan bidangnya,
aktif memecahkan masalah
kemasyarakatan dan
143
245
233
220
lingkungan
menulis karya pengabdian
221
225
221
247
kepada masyarakat
RATA
RATA
200
130
99
216
210
229
Dari tabel tersebut dapat di deskripsikan baha kinerja dosen dalam
memberkan kontribusi keuntungan melalui produksi ilmiahnya masih
dinilai rendah, terutama pada bidang kepemimpinan public atau jarang
para dosen menjadi nara sumber dalam pertemuan-pertemuan ilmiah apa
lagi diikutsertakan sebagai pengurus suatu forum yang berkaitan dengan
bidangnya dan juga pada pada bidang penulisan karya ilmiahnya, masih
rendah Pengukuran nilai rata-rata diperoleh dari jawaban tertinggi setiap
varian butir di bagi 2 (dua) untuk mendapatkan nilai rata-ratanya yaitu
sebesar 5x50/2=125, maka berdasarkan table tersebut dengan melihat
perbandingan rata-rata kinerja dosen pada bidang tersebut masih rendah,
untuk periode tahun 2010 s/d 2012, namun walaupun di katakana rendah,
jika dilihat pertumbuhan dari 2 kinerja tersebut pada setiap periodenya
mengambarkan ada pertumbuhan yang cukup baik. Dan ini juga di
gambarkan melalui perhitungan rata rata secara total yaitu melalui
perbandinag criteria yang ditetapkan melalui SK rektor, seluruh butir
instrument memiliki angka diatas rata-ratanya atau semua skor total
berada pada kisaran 126 s/d 250, kinerja dosen pada bidang tersebut
meniliki kategori tinggi.
15
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
4. Mengukur Kinerja Dosen Pertumbuhan dan Pembelajaran
HASIL PENGUKURAN
RATA
UKURAN
RATA
2011
2012 2013 2014
Menyajikan karya tulis dalam
pertemuan ilmiah
Mengaplikasikan hasil penelitian
dalam proses pembelajaran
Mengaplikasikan hasil
perkuliahan melalui kegiatan
pengabdian pada masyarakat
120
176
201
228
181
78
93
102
112
96
209
113
143
203
167
Dari hasil perbandingan nilai skor dengan rata-ratanya, maka dapat
dikatakan bahwa kinerja dosen melalui perspektif ini dapat dikatakan
tinggi, hal ini dapat dibuktikan dari skor yang diberikan oleh responden
pada setiap pernyataannya adalah secara keseluruhan berada di atas nilai
rata-ratanya, nilai rata-rata terbentuk sebagai berikut 5x50/2= 125, seperti
halnya pada pengukuran kinerja dosen melalui perspektif bisnis internal,
walaupun ada beberapa varian instrument yang memiliki skor di bawah
rata-ratanya, namun dilihat secara pertumbuhan kinerja pada setiap
periodenya mengambarkan pertumbuhan yang selalu meningkat salah satu
contoh kinerja dosen pada aplikasi hasil penelitian, terlihat rendah yaitu
scor sebesar 78 tahun 2010 kemudian meningkat 16% (93-78/93x100) di
tahun 2011 walaupun kedua skor tersebut berada pada kategori rendah jika
dibandingkan dengan rata-ratanya, dan secara total kinerja dosen pada
perspektif ini berada padakisaran 126-250 dengan kategori tinggi.
HASIL
PENGUKURAN
BALANCED SCORECARD
KINERJA
DOSEN
PENDEKATAN
1. Kinerja dosen Kuantitatif
HASIL PENGUKURAN
2011
2012
2013
2014
KINERJA DOSEN PERSPEKTIF KEUANGAN
Jumlah Penelitian
31
38
44
48
Internal
Jumlah Penelitian
0
0
11
18
Eksternal
UKURAN
Biay Biaya Penelitian Internal
( 000.000)
Biaya Penelitian
Eksternal ( 000.000)
Jumlah Pengabdian pada
masyarakat (program
Internal)
Jumlah Pengabdian pada
masyarakat (Program
Eksternal)
REALISASI
TARGET
RASIO
BALAN
SCORECARD
160
179
89.38
Kinerja Tinggi
29
57
50.88
Kinerja Tinggi
155
222
308
360
1,045
1,238,5
84.38
Kinerja Tinggi
0
0
157,75
219,4
377,15
1035
36,44
Kinerja Rendah
17
22
26
35
100
168
59.52
Kinerja Tinggi
0
0
2
1
3
13
23.08
Kinerja Rendah
16
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Biaya pengabdian pada
masyarakat dari Internal
(000.000)
Biaya pengabdian pada
masyarakat dari
Eksternal (000.000)
85
132
182
262,5
661,5
1,032,5
64.07
Kinerja Tinggi
0
0
155
78,5
232,5
1,050
22.14
Kinerja Rendah
2. Kinerja Dosen Kualitatif
Qs
UKURAN
HASIL PENGUKURAN
2011
2012
2013 2014
Rata
Rata
SCORECARD
697
875
828
Kinerja Tinggi
743
621
Kinerja
Rendah
950
872
Kinerja Tinggi
887
807
Kinerja Tinggi
1130
1020
998
871
Kinerja Tinggi
Kinerja Tinggi
232
200
Kinerja Tinggi
198
129
Kinerja Tinggi
150
99
Kinerja Rendah
206
216
Kinerja Tinggi
220
210
Kinerja Tinggi
247
229
Kinerja Tinggi
244
193
Kinerja tinggi
146
113
Kinerja Rendah
203
167
Kinerja Tinggi
Kinerja Dosen Perspektif
Pelanggan
1
Sikap dan Motivasi dosen dalam
memberikan perkuliahan
K1
K2
K3
K4
K5
K6
2
K7
K9
K10
K12
K13
K14
3
K8
K11
K13
1010
729
Membuat Buku Ajar dalam
520
589
631
perkuliahan
Membuat silabi dan SAP
754
882
903
perkuliahan
Memberikan tugas terstruktur
658
755
929
mahasiswa.
Interaksi dosen dengan mahasiswa.
930
823
110
Mengevaluasi hasil belajar
750
884
828
Kinerja Dosen Perspektif Bisnis Internal
mengadakan penelitian secara
145
212
210
mandiri maupun kelompok
menulis Jurnal ilmiah,
86
113
120
menulis buku reverensi dari hasil
67
74
103
penelitian
memberikan penyuluhan kepada
masyarakat sesuai dengan
230
222
206
bidangnya,
aktif memecahkan masalah
143
245
233
kemasyarakatan dan lingkungan
menulis karya pengabdian kepada
221
225
221
masyarakat
Kinerja Dosen Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran
menyajikan karya tulis dalam
120
176
231
pertemuan ilmiah
mengaplikasikan hasil penelitian
78
93
133
dalam proses pembelajaran
mengaplikasikan hasil perkuliahan
melalui kegiatan pengabdian pada
209
113
143
masyarakat
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja dosen Universitas Serang
Raya secara keseluruhan pada setiap perspektifnya mengalami peningkatan
dari selang waktu antara tahun 2011 sampai tahun 2014. Hal ini dapat dilihat
dari pengukuran perspektif keuangan (Kuantitatif)
dari 8 instrumen
pengukuran tiga pengukuran yang kinerja nya rendah, ini terutama kinerja
17
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
dosen pada bidang pengabdian pada masyarakat yang dibiayai melalui
instansi diluar universitas, Perspektif kepuasan mahasiswa dari 6 instrumen
yang di ukur hanya dua yang memiliki kinerja masih rendah, kemudian pada
perspektif bisnis internal juga terlihat ada 1 instrumen pengukuran yang
memiliki kinerja dosen masih rendah dari 6 instrumen yang di ukur,
sedangkan pada perspektif pertumbuhan dan pembelajaran juga, hanya 1
instrument kinerja dosen memiliki nilai kinerja yang rendah.
Meskipun masih terdapat beberapa kelemahan namun secara keseluruhan
kinerja dosen atau secara umum di universitas serang raya dapat dikatakan
baik. Tentu saja masih banyak sekali dibutuhkan pembenahan terkait dengan
kelemahan-kelemahan yang ada. Pada akhirnya, penggunaan konsep
Balanced Scorecard diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan
manajemen universitas dalam menilai kinerja dosennya, baik dari sektor
keuangan maupun non keuangan
E. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis, pengukuran kinerja dosen dengan pendekatan
balanced scorecard dapat disimpulkan baik secara kuantitatif maupun kualitatif
adalah sebagai berikut :
1. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang di susun dan yang telah di uji kevaldannya,
masih terlalu sederhana, karena masih kurangnya literature yang
digunakan sebagai pembuatan instrument tersebut, sehingga belum
mengukur secara keseluruhan dalam menetukan tinggi rendahnya kinerja
dosen.
2. Kuantitatif
Kinerja dosen Universitas Serang Raya secara kuantitatif dilihat dari
perspektif keuangan pada bidang penelitian dan pengabdian pada
masyarakat selang periode 2011 sampai dengan 2014 dari 8 instrumen
pengukuran tiga pengukuran yang kinerja nya rendah, ini terutama kinerja
dosen pada bidang pengabdian pada masyarakat yang dibiayai melalui
instansi diluar universitas.
3. Kualitatif
Kinerja dosen secara kualitatif melalui Perspektif kepuasan mahasiswa ,
melalui perspektif bisnis dan melalui perspektif pertumbuhan dan
pembelajaran dinilai cukup tinggi, Meskipun masih terdapat beberapa.
kelemahan namun secara keseluruhan kinerja dosen atau secara umum di
universitas serang raya dapat dikatakan baik.
18
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrachman, Oemi. 2001. Dasar-dasar Public Relations, Bandung ; PT. Citra
Aditya Bakti.
Cangara, Hafied. 2009. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta ; PT. Raja Grafindo
Persada.
DeVito, Joseph S., Communicology : An Introduction to the Study of
Communication, Herper & Row Publisher, New York-London, 1978.
Effendy, Onong Uchjana. 2005. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik, Bandung ;
PT. Remaja Rosdakarya.
Hasan, Iqbal, M. 2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta ; Ghalia.
Lexy J Moleong, 1995. “Metodologi Penelitian Kualitatif”. Bandung ; Rosda
Karya.
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung ; PT.
Remaja Rosdakarya.
Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi, Bandung ; PT. Remaja
Rosdakarya.
Severin, Werner J & James W. Tankard Jr. 2008. Communication Theories :
Origins, Methods & Uses in the Mass Media, alih bahasa oleh Sugeng
Hariyanto, Jakarta ; Kencana Prenada Media Group.
Stephen W, Little John dan Karen A. Foss, 2009. Encyclopedia of
Communication. London, Sage
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung ;
Alfabeta.
Turner, Lynn. H dan Richard West. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis
dan Aplikasi, Jakarta ; Salemba Humanika.
West Richard & Lynn H. Turner, Introducing Communication Theory. Singapore
2007
19
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
PENGARUH DAN KONSEKUENSI WORK-FAMILY ENRICHMENT
Elisabet Dita Septiari
Debora Wintriarsi
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
([email protected])
([email protected])
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji faktor antesenden dan konsekuensi dari
work-family enrichment. Peneliti menggunakan variable karakteristik personal
yaitu optimisme, otonomi pekerjaan, dan dukungan supervisor sebagai faktor
yang mempengaruhi work-family enrichment. Sedangkan faktor yang menjadi
konsekuensi dari work-family enrichment adalah kepuasaan kerja. Peneliti
menggunakan survei dengan penyampelan secara convenience, dengan responden
karyawan di Indonesia, khususnya Yogyakarta. Hipotesis akan diuji menggunakan
analisis regresi. Hasil penelitian akan memberikan kontribusi bagi manajemen
perusahaan mengenai pengelolaan work-family enrichment.
Kata kunci: Optimisme, Otonomi pekerjaan, Dukungan supervisor, Work-family
enrichment, Kepuasaan kerja
A. PENDAHULUAN
Perubahan trend mengenai pekerjaan dan keluarga saat ini telah banyak
bergeser. Tren sosial seperti partisipasi wanita dalam dunia kerja,
berkembangnya tingkat perceraian yang menyebabkan semakin banyak
seseorang menjadi orangtua tunggal, serta keluarga berpenghasilan ganda,
mendorong seseorang untuk berkomitmen dalam keluarga maupun
pekerjaannya (Grzywacz & Marks, 2000). Pekerjaan dan keluarga merupakan
dua faktor penting dalam kehidupan seseorang. Berdasarkan penelitian
terdahulu, beberapa hasil uji empiris menunjukkan peran ganda dalam
pekerjaan dan keluarga akan menimbulkan konflik bagi individu dan
organisasi (Warner dan Hausdof, 2009). Konflik tersebut dapat berakibat
buruk bagi individu, antara lain munculnya stress, kesehatan yang menurun,
dan kepuasan hidup yang menurun (Warner dan Hausdof, 2009). Konflik
antara pekerjaan dan keluarga tersebut juga berpengaruh negatif pada
organisasi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa konflik pekerjaan dan
keluarga berpengaruh pada kepuasaan kerja di organisasi (Allen et al, 2000,
20
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
dalam Grandey et al, 2005). Konflik antara pekerjaan dan keluarga juga
dapat berpengaruh negatif pada sikap kerja (Boyar et al, 2008), keinginan
untuk keluar (Yavas et al, 2008), dan perilaku kerja negatif (Boyar et al,
2008). Beberapa penelitian mengenai konflik pekerjaan dan keluarga yang
menunjukkan pengaruh negatif biasanya menggunakan perspektif role-strain
(depleting). Menurut Rothbard (2001), dasar dari teori depletion adalah
seseorang memiliki keterbatasan dalam fisik dan psikologis, sehingga mereka
harus melakukan pilihan dalam peranan mereka untuk menghadapi
keterbatasan sumber daya tersebut, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan
konflik.
Berbeda dengan perspektif role strain, peneliti lain mengemukakan teori
enriching. Teori ini berpendapat bahwa keterlibatan seseorang dalam
keluarga dan pekerjaan dapat memfasilitasi, memperkaya, dan mendukung
satu dengan lainnya (Rothbard, 2001; Greenhaus dan Powell, 2006).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan akan memberikan benefit
bagi kehidupan keluarga (meningkatnya kesejahteraan), dan keluarga
memberikan benefit bagi pekerjaan (misalkan penurunan stress, dan
manajemen stress) seperti dikutip oleh Lim et al. (2012). Menurut Rothbard
(2001), dasar dari teori enriching adalah seseorang dapat meningkatkan
sumber daya dan perhatiannya untuk menjalani berbagai peran dalam
hidupnya.
Meskipun demikian, menurut Greenhauss dan Powell (2006), penelitian
mengenai interaksi antara peran dalam keluarga dan pekerjaan lebih banyak
didasarkan pada teori depletion. Para peneliti beranggapan bahwa peran
antara keluarga dan pekerjaan saling bertentangan. Sedangkan penelitian
mengenai peran dalam keluarga dan pekerjaan yang didasarkan pada teori
enriching masih terbatas. Hasil penelitian Greenhauss dan Powell (2006)
menunjukkan bahwa peran seseorang dalam pekerjaan dan keluarga dapat
meningkatkan kesehatan mental, kesehatan fisik, dan menjadi penahan efek
negatif dari peranan yang lain. Menurut Illies et al. (2009), integrasi antara
pekerjaan dan keluarga yang baik akan meningkatkan kepuasan dalam
pekerjaan. Oleh karena itu tujuan utama penelitian ini adalah untuk menguji
pengaruh work-family enrichment pada kepuasaan kerja.
Berdasarkan penelitian terdahulu ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi work-family enrichment. Penelitian Grzywacz dan Marks
(2000) menunjukkan bahwa otonomi dalam pekerjaan mempengaruhi workfamily enrichment. Penelitian Lu (2011) menunjukkan dukungan supervisor
berpengaruh pada work-family enrichment untuk setting penelitian di China.
Menurut Dyson (2006), tingkat optimisme yang dimiliki seseorang akan
berpengaruh work-family enrichment. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu
21
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
maka penelitian ini juga bertujuan untuk menguji ketiga variabel sebagai
faktor antasenden work-family enrichment dalam konteks karyawan di
Yogyakarta, yang memegang budaya patrilineal.
B. KAJIAN PUSTAKA
Work-family enrichment
Greenhaus dan Powell (2006) mendefinisikan konsep work-family enrichment
sebagai suatu keadaan tentang sejauh mana pengalaman dalam satu peran
meningkatkan kualitas hidup di peran lainnya. Frone (2003, dalam DysonWashington, 2006) mendefinisikannya sebagai sejauh mana partisipasi di
tempat kerja (atau rumah) menjadi lebih mudah berdasarkan pengalaman,
keterampilan, dan peluang yang diperoleh atau dikembangkan di rumah (atau
kerja). Work-family enrichment terjadi ketika pengalaman-pengalaman
pekerjaan memperbaiki kualitas kehidupan keluarga.
Berbeda dengan konsep work-family conflict yang menyatakan bahwa
pengalaman dalam suatu peran menyebabkan stres, keterbatasan waktu, dan
kegagalan fungsi perilaku dalam peran yang lain (Greenhaus dan
Bautel,1985), konsep work-family enrichment berfokus pada hubungan positif
dari kedua peran tersebut, sehingga suatu peran akan menghasilkan sumber
daya yang mungkin dapat bermanfaat untuk digunakan dalam peran yang lain
(Frone, 2003 dalam Powell dan Greenhaus, 2006). Lebih lanjut, meskipun
work-family conflict dan work-family enrichment sama-sama merupakan
konstruk bi-directional (Rendel and Steven, 2006 dalam Roche and Haar,
2010), namun Frone (2003, dalam Greenhaus dan Powell, 2006) menyatakan
bahwa kedua konsep tersebut merupakan konstruk independen dan tidak
berhubungan satu dengan yang lain.
Faktor antesenden work-family enrichment
Berdasar pada penelitian terdahulu, terdapat beberapa faktor yang dapat
dinyatakan sebagai antesenden dari work-family enrichment, yang berasal dari
karakteristik individu (pendidikan, penghasilan, jenis kelamin, ras),
karakteristik keluarga (status pernikahan, jumlah anak), dan karakteristik
pekerjaan (otonomi, jenis pekerjaan) (Dyson-Washington, 2006), tuntutan
pekerjaan yang berlebihan (emosional tinggi, tuntutan fisik dan waktu, dan
konflik peran yang tinggi), serta sumber daya pekerjaan (keragaman
ketrampilan, otonomi, keamaanan pekerjaan, serta dukungan supervisor dan
rekan kerja) (Bakker dan Geurts, 2004 dalam Rantanen, 2008). Greenhaus
dan Powell (2006) menyarankan model untuk memeriksa work-family
enrichment melalui peningkatan sumber daya, yang merupakan "aset yang
dibutuhkan untuk memecahkan masalah atau mengatasi situasi yang
22
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
menantang". Mereka menjelaskan bahwa individu dapat mendapatkan sumber
daya psikologis (optimisme, harapan dan ketabahan) yang mungkin untuk
meningkatkan work-family enrichment.
Optimisme dan work-family enrichment
Salah satu sumber daya psikologis yang mungkin dapat meningkatkan workfamily enrichment adalah optimisme. Optimisme, sebuah harapan untuk
mendapatkan hasil yang baik, dinyatakan oleh Frone (2003, dalam DysonWashington, 2006) sebagai kemungkinan yang mempengaruhi sejauh mana
pengalaman, keterampilan, dan peluang yang diperoleh atau dikembangkan
dalam satu peran (pekerjaan atau keluarga) akan meningkatkan kualitas hidup
dalam peran lainnya (keluarga atau pekerjaan). Dalam penelitian empiris
yang dilakukan oleh Dyson-Washington (2006) terhadap mahasiswa,
karyawan, dan pengajar di sebuah lembaga pendidikan kesehatan, ditemukan
bahwa optimisme secara positif berhubungan dengan work-family
enrichment, family-work enrichment, kepuasan kerja, kepuasan keluarga, dan
kepuasan hidup. Penelitian yang dilakukan oleh Rotondo dan Kincaid (2008)
juga menunjukkan bahwa seseorang yang optimis berpengaruh pada work
family facilitation yang apa bila dilihat dari alat ukurnya memiliki kesamaan
dengan work family enrichment.
Berdasarkan tinjauan teoritis dan penelitian empiris sebelumnya, hipotesis
pertama:
Hipotesis 1: Optimisme berhubungan positif terhadap work-family enrichment
Otonomi pekerjaan dan work-family enrichment
Otonomi pekerjaan adalah kemungkinan yang dimiliki seorang karyawan
untuk mengatur sendiri pekerjaannya (Karasek dan Theorell, 1990, dalam
Taipale et al. 2011). Otonomi pekerjaan terdiri dari dua komponen yaitu
kemampuan yang menyangkut kebijaksanaan (skill discretion) dan
kewenangan dalam keputusan (decision authority). Kemampuan yang
menyangkut kebijakan (skill discretion) adalah kemungkinan seseorang untuk
mengembangkan kreativitas, memiliki partisipasi dalam pengambilan
keputusan, memiliki kesempatan mempelajari hal baru, menggunakan
kemampuannya secara professional. Sedangkan decision authority adalah
kemungkinan seorang karyawan untuk memilih cara melakukan
pekerjaannya, dan ikut serta dalam pengambilan keputusan pada hal-hal yang
menyangkut pekerjaannya (Karasek dan Theorell, 1990, dalam Taipale et al.
2011).
23
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Otonomi merupakan salah satu dimensi karakteristik pekerjaan yang memberi
motivasi intrinsik, memunculkan energi dalam bekerja sehingga dapat
memobilisasi fungsi-fungsi di pekerjaan yang baik ke dalam keluarga
(Friedman dan Greenhaus, 2000). Menurut Grzywacz dan Marks (2000)
otonomi di tempat kerja memiliki hubungan dengan tingkat work-to family
enrichment dan family-to work enrichment yang lebih tinggi. Voydanoff
(2004) menjelaskan bahwa otonomi pekerjaan dapat membantu meningkatkan
kompetensi dan kapabilitas individu dalam melakukan berbagai hal secara
bersamaan. Sebuah lingkungan kerja yang memberikan kebebasan dalam
mengatur waktu dan mengatur pekerjaannya akan mendorong karyawan
menciptakan sesuatu (misalkan manajemen waktu yang baik) yang
bermanfaat bagi kehidupan keluarganya. Menurut Chu (2010), dari hasil
interview dengan beberapa responden, lingkungan pekerjaan seperti otonomi
pekerjaan merupakan anteseden dari work family enrichment, Hal yang sama
juga telah diuji oleh oleh Greenhaus dan Parasuraman (1999), serta
Greenhaus dan Powell (2006) dapat meningkatkan work-family enrichment.
Berdasarkan tinjauan teoritis dan penelitian empiris sebelumnya, hipotesis
kedua:
Hipotesis 2: Otonomi pekerjaan berhubungan positif terhadap work-family
enrichment.
Dukungan supervisor dan work-family enrichment
Baral dan Bhargava (2011) menjelaskan bahwa dukungan supervisor
merupakan sumber daya dalam pekerjaan yang berjalan dengan berbagai cara
untuk memfasilitasi keberhasilan integrasi antara tuntutan pekerjaan dan
keluarga. Supervisor dapat membantu upaya karyawan dengan menyediakan
dukungan (memungkinkan karyawan untuk menjadwalkan jam kerja mereka
atau mengambil cuti ketika ada urgensi dalam keluarga), serta
mengekspresikan kepedulian dan empati terhadap karyawan. Supervisor yang
memberi dukungan kepada karyawannya ditemukan dapat meringankan
berbagai ketegangan di tempat kerja, sehingga dimungkinkan dapat
menyediakan tenaga dan kepercayaan diri karyawan ketika beraktivitas dalam
keluarga (Beehr et al., 2000 dalam Baral dan Bhargava. 2010).
Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa dukungan sosial di tempat
kerja dapat mengurangi perasaan negatif karyawan terhadap pekerjaannya
(Baker et al., 1996 dalam Wadsworth, 2007), burnout (Lingard, et al., 2010),
serta meningkatkan work-family enrichment (Siu, et al., 2010 dalam Lu,
2011)
24
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Berdasarkan tinjauan teoritis dan penelitian empiris sebelumnya, hipotesis
ketiga:
Hipotesis 3: Dukungan superisor berhubungan positif terhadap work-family
enrichment
Faktor konsekuensi work-family enrichment
Fokus pada konsekuensi work-family enrichment sama pentingnya dengan
penelusuran antesenden yang mempengaruhinya. Meskipun belum banyak
penelitian yang mengungkapkan dampak dari work-family enrichment, namun
para peneliti meyakini bahwa work-family enrichment merupakan faktor
penting bagi organisasi yang dapat berpengaruh pada kepuasan kerja dan
tunover intention (McNall et al., 2010; Bhargava and Baral (2009)),
komitmen organisasional dan organizational citizenship behavior (Bhargava
and Baral (2009), serta kepuasan keluarga (Carlson 2006 dalam Lu, 2011).
Work-family enrichment dan kepuasan kerja
Kepuasan kerja merupakan salah satu sikap di tempat kerja, yang
didefinisikan sebagai suatu penilaian dan perasaan yang dimiliki seseorang
terhadap pekerjaannya (Locke, 1976 dalam McNall, 2010). Greenhaus and
Powell (2006) mengungkapkan bahwa sumber daya pekerjaan menciptakan
dampak positif di tempat kerja dan akan berpengaruh pula pada kepuasan
kerja. Beberapa penelitian empiris membuktikan adanya hubungan positif
antara work-family enrichment dan kepuasan kerja (McNall et al. (2010); Lu
(2011), yang menunjukkan bahwa interaksi positif antara pekerjaan dan
keluarga akan membawa dampak baik bagi karyawan dan perusahaan
(Lingard et al., 2010)
Berdasarkan tinjauan teoritis dan penelitian empiris sebelumnya, hipotesis
keempat:
Hipotesis 4: Work-family enrichment berhubungan positif terhadap kepuasan
kerja
Optimisme
Otonomi Pekerjaan
H1
H2
0,292*
0,343*
H4
H3
0,548**
Gambar1. Model Penelitian
25
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
C. METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat konfirmatori, yaitu untuk mengkonfirmasi hubungan
antara variabel dependen dan independen. Tujuan dari penelitian konfirmatori
adalah untuk menguji sejumlah hipotesis atau menjawab rumusan masalah
(Cooper dan Schindler, 2008: 143). Hipotesis diuji secara kuantitatif dengan
alat statistik. Sedangkan untuk pengumpulan data, penelitian ini
menggunakan metode survei dengan menyebar kuesioner secara langsung
kepada responden. Peneliti tidak melakukan control pada variabel sehingga
penelitian ini bersifat ex post facto (Cooper dan Schindler, 2008: 143). Jika
ditinjau dari segi waktu, penelitian ini merupakan cross-section study, karena
dilakukan satu kali dan menunjukkan kondisi di satu waktu tertentu (Cooper
dan Schindler, 2008: 144).
Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel menggunakan nonprobability sampling. Penulis
memilih metode penyampelan ini karena tidak memiliki data mengenai total
populasi dan sampling frame sehingga probabilitas untuk memilih elemen
dari populasi tidak diketahui. Penelitian ini menggunakan judgement
sampling dengan kriteria karyawan tetap (bukan karyawan kontrak, honorer
ataupun paruh waktu), dan telah menikah, dengan masa kerja lebih dari satu
tahun. Pemilihan kriteria didasarkan pada pendapat Grzywacz et al. (2002,
dalam Dyson-Washington, 2006) yang menemukan bahwa pasangan yang
telah menikah mengalami work-family enrichment lebih besar dibandingkan
dengan individu yang belum menikah. Selain itu, pemilihan responden yang
telah menjadi karyawan tetap dilakukan karena diharapkan karyawan telah
memiliki cukup pengetahuan mengenai berbagai hal dalam pekerjaannya.
Penelitian dilakukan di sebelas perusahaan di Yogyakarta yang bergerak di
berbagai bidang yaitu bidang keuangan dan perbankan, pendidikan,
telekomunikasi, perhotelan, dan otomotif.
Instrumen Penelitian
Pengukuran lima variabel yang diteliti menggunakan beberapa instrumen
penelitian yang diadaptasi dari peneliti terdahulu. Kuesioner work-family
enrichment menggunakan enam item pertanyaan yang diadaptasikan dari
Carlson et al, (2006). Optimisme diambil dari Dyson-Washington (2006)
yang terdiri dari empat belas item pertanyaan. Otonomi pekerjaan diukur
menggunakan kuesioner dari Spreitzer (1995) seperti dikutip dalam Chu
(2010), dengan tiga item pertanyaan. Pengukuran variabel dukungan
supervisor menggunakan tujuh item pertanyaan yang diambil dari
26
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Parasuraman, Greenhaus dan Granrose (1992). Sedangkan untuk kepuasaan
kerja, penelitian ini menggunakan kuesioner yang diadaptasikan dari
Hackman dan Oldman (1980), dengan pertanyaan sebanyak tiga item.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel
Hasil dari respon terhadap survei yang dilakukan kepada karyawan yang
bekerja di beberapa perusahaan di Jogjakarta (PNS, perguruan tinggi,
lembaga keuangan dan perbankan, telekomunikasi, perhotelan, otomotif)
menunjukkan bahwa sampel yang dapat digunakan adalah 146 responden.
Sampel terdiri dari 50,3% wanita dan 49,7% pria. Mayoritas responden
berusia antara 41-45 tahun (26,9%), diikuti oleh responden berusia 30-35
tahun (17,9%), sedangkan minoritas responden berusia 36-40 (11,7%).
Tingkat pendidikan mayoritas responden adalah strata-1 (42,7%), dan
peringkat kedua adalah D1/D2/D3 sebesar 30,8%. Lebih lanjut, penghasilan
mayoritas responden berkisar antara Rp4.000.000,00 – Rp6.000.000,00,
sedangkan peringkat kedua responden berpenghasilan Rp1.000.000,00 –
Rp2.500.000,00.
Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif pada Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai mean dari workfamily enrichment, optimisme, otonomi pekerjaan, dukungan supervisor, serta
kepuasan kerja adalah lebih dari tiga. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kebanyakan responden menjawab setuju pada pernyataan yang ada dalam
kuesioner. Selain itu, nilai standar deviasi menunjukkan bahwa data yang
diperoleh dari jawaban responden tidak terlalu bervariasi.
Tabel 1. Descriptive Statistics
N
Minimum
WFE
146
2,00
OPTIMIST 146
2,00
OP
146
2,00
DS
146
2,00
KK
146
1,50
Valid
N
146
(listwise)
Maximum
5,00
5,00
5,00
5,00
5,00
Mean
3,78
3,98
3,64
3,58
3,69
Std. Deviation
0,615
0,622
0,696
0,644
0,781
27
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji Validitas
Uji validitas digunakan untuk mengukur kualitas instrumen dalam
menggambarkan suatu konsep atau konstruk (Hair et al, 2006: 3). Dalam
menguji validitas, penelitian ini menggunakan confirmatory factor analysis
dengan rotasi varimax. Tabel 2 menunjukkan hasil uji validitas pada kelima
variabel. Menurut Hair et al. (2006) Faktor loading 0,5 atau lebih dianggap
layak digunakan dalam menentukan nilai loading yang signifikan. Pada
penelitian ini, ada beberapa item pernyataan yang dihilangkan karena memiliki
faktor loading yang rendah. Konstruk Work-family enrichment yang
ditunjukkan pada komponen (WFE), ada dua item pernyataan yang tidak
digunakan. Pada konstruk optimisme (OPT), hanya empat item pernyataan
yang valid. Sedangkan pada otonomi pekerjaan (OP), semua item pernyataan
valid. Konstruk dukungan supervisor (DS) dan kepuasaan kerja (KK) masingmasing memiliki satu item pernyataan yang faktor loadingnya rendah dan tidak
mengumpul pada komponen yang sama sehingga tidak digunakan.
Tabel2. Uji Validitas dengan Analisis Faktor
Komponen
DS
OPT
WFE
OP
KK
1
,824
2
,788
3
,641
4
,576
8
,785
9
,794
10
,699
13
,713
15
,809
16
,832
17
,669
18
,645
19
,767
20
,850
21
,667
22
,778
23
,721
25
,742
26
,801
28
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Uji Reliabilitas
Reliabilitas menunjukkan kekonsistenan alat ukur (Cooper dan Schindler,
2008: 293). Reliabilitas akan diuji dengan melihat korelasi antar item yang
ditunjukkan dengan nilai Cronbach‟s alpha. Menurut Cooper dan Schindler
(2008: 293) nilai Cronbach‟s alpha menunjukkan konsistensi internal atau
homogenitas diantara item. Nilai Cronbach‟s alpha 0,8 atau lebih menunjukkan
reliabitas yang baik, nilai Cronbach‟s alpha antara 0,6 sampai 0,79
menunjukkan reliabilitas dapat diterima, dan apabila kurang dari 0,6
dikategorikan reliabilitas tidak dapat diterima karena kurang baik (Hair et al.,
2006:137). Berdasarkan Tabel 3, instrument masing-masing konstruk memiliki
reliabilitas yang dapat diterima.
Tabel3. Hasil Uji Reliabilitas Penelitian
Variabel
Cronbach‟s alpha
Work-family enrichment
0,758
Optimisme
0,796
Otonomi Pekerjaan
0,795
Dukungan supervisor
0,866
Kepuasan kerja
0,901
Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap, pertama,
menguji hipotesis satu, dua, dan tiga, dengan work-family enrichment sebagai
variabel dependen. Kemudian, menguji hipotesis empat, yaitu kepuasan kerja
sebagai variabel dependen dengan work-family enrichment sebagai variabel
independen. Pengujian hipotesis dilakukan dengan α = 0,05.
Pengujian pertama
Pengujian pertama ini digunakan untuk menguji pengaruh optimisme, otonomi
pekerjaan, dan dukungan supervisor pada work-family enrichment.
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa:
Ha1 terdukung. Optimisme berpengaruh positif pada work-family enrichment
(β 0,199, α< 0,05). Ha2 terdukung. Otonomi pekerjaan berpengaruh positif
pada work-family enrichment (β 0,216, α< 0,05). Ha3 juga terdukung,
dukungan supervisor berpengaruh positif pada work-family enrichment (β
0,185, α< 0,05).
29
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Tabel 4. Hasil Pengujian Hipotesis 1,2,3
R Square: 0.216
Adjusted R Square: 0.199
Variabel dependen: Work-family enrichment
Model
Standardized β Sig
Optimisme
0,199
0,022
Otonomi Pekerjaan
0,216
0,012
Dukungan Supervisor 0,185
0,027
Pengujian kedua
Pengujian kedua ini digunakan untuk menguji pengaruh work-family
enrichment pada kepuasaan kerja. Berdasarkan Tabel 5, maka Ha4 terdukung.
Work-family enrichment berpengaruh positif pada kepuasan kerja.
Tabel5. Hasil Pengujian Hipotesis 4
R Square: 0.271
Adjusted R Square: 0.266
Variabel dependen: kepuasan kerja
Model
Standardized β Sig
Work-family enrichment 0,521
0,000
Pembahasan
Studi yang dilakukan oleh peneliti pada makalah ini merupakan studi awal
yang mencoba melihat sisi lain dari hubungan antara peran individu dalam
pekerjaan dengan peran individu dalam keluarga. Jika kebanyakan penelitian
berfokus pada dampak negatif yang dirasakan individu di tempat kerja terhadap
kehidupan keluarga, penelitian ini berfokus pada dampak positif atau manfaat
yang dirasakan individu di tempat kerja bagi kehidupan keluarganya. Studi ini
tidak berfokus pada faktor pekerjaan saja (dukungan supervisor dan otonomi
pekerjaan) tetapi juga faktor kepribadian seseorang tersebut.
Hasil pengujian hipotesis pertama membuktikan bahwa optimisme
berpengaruh positif terhadap work-family enrichment. Hasil ini sesuai dengan
beberapa penelitian Dyson-Washington (2010), dan Rotondo dan Kincaid
(2008). Sikap optimis atau berpikiran positif membuat seseorang dapat
merasakan benefit atas perannya di pekerjaan dan membawa benefit positif
tersebut ke dalam keluarga seperti yang terdapat dalam teori positive spill-over.
Meskipun pengaruh sikap optimism lebih kecil dibandingkan otonomi
pekerjaan, menurut Rotondo dan Kincaid (2008), seseorang yang tidak
memiliki sikap optimis akan melihat peran ganda dalam pekerjaan dan rumah
sebagai faktor yang dapat menimbulkan konflik.
30
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Hasil pengujian hipotesis kedua membuktikan bahwa otonomi pekerjaan
berpengaruh positif terhadap work-family enrichment. Hasil ini mendukung
penelitian dari Grzywacz and Marks (2000), Voydanoff (2004, dalam Chu,
2010), serta Greenhaus dan Powell (2006). Seperti di dalam integrated teori,
otonomi pekerjaan membuat seseorang memiliki fleksibelitas dalam jam
kerjameningkatkan work-family enrichment (Morgeson et al., 2005). Otonomi
pekerjaan membuat karyawan memiliki kebebasan dalam membagi peran di
pekerjaan dan keluarga.
Selanjutnya, pengujian pada hipotesis ketiga menunjukkan bahwa dukungan
dari supervisor berpengaruh positif terhadap work-family enrichment. Hasil
tersebut sesuai dengan penelitian terdahulu, yang menyatakan bahwa bantuan
supervisor kepada karyawan untuk menyediakan dukungan, kepedulian dan
empati sehingga dapat mengurangi perasaan negatif karyawan terhadap
pekerjaannya, dan meningkatkan work-family enrichment (Siu, et al., 2010
dalam Lu, 2011). Menurut Baral dan Bhargava (2010), dukungan supervisor
dapat menenangkan tekanan dan stress pada pekerjaan sehingga dapat
membawa energi dan kepercayaan diri dalam peranan karyawan di keluarga.
Hasil dari pengujian hipotesis keempat menunjukkan dampak work-family
enrichment yang berpengaruh positif pada kepuasan kerja. Meskipun belum
banyak penelitian yang membuktikan hubungan positif antara kedua variabel,
penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh positif antara work-family
enrichment pada perasaan baik terhadap pekerjaan. Hasil tersebut sesuai
dengan beberapa penelitian sebelumnya tentang konsekuensi positif workfamily enrichment pada beberapa sikap di tempat kerja seperti kepuasan kerja,
tunover intention, komitmen organisasional dan organizational citizenship
behavior (Bhargava and Baral, 2009).
Dari seluruh hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, beberapa implikasi telah
dapat dinyatakan bagi perusahaan yang memberi perhatian pada interaksi
tuntutan pekerjaan dan keluarga agar karyawan memiliki perasaan positif
terhadap pekerjaan dan perusahaan. Secara umum dapat dinyatakan bahwa
perusahaan dapat memperhatikan kepribadian optimisme setiap karyawannya,
memberi otonomi pada pekerjaan karyawan, serta selalu memberikan
dukungan sosial agar karyawan dapat menyeimbangkan interaksi tuntutan
pekerjaan dan kehidupan keluarganya. Hal tersebut penting untuk dilakukan
oleh perusahaan karena kepuaan kerja karyawan akan menjadi dampak dari
perhatian perusaan terhadap kebutuhan karyawannya tersebut.
E. PENUTUP
Terlepas dari berbagai implikasi yang dapat diperoleh, penelitian ini memiliki
beberapa keterbatasan. Keterbatasan penelitian ini adalah lingkup survei yang
31
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
hanya mencakup wilayah Yogyakarta, sehingga kurang bisa mewakili populasi.
Keterbatasan selanjutnya adalah penggunaan alat ukur yang kurang tepat,
sehingga menyebabkan beberapa item tidak valid. Lebih lanjut, seperti
diungkapkan oleh Frone (2003, dalam Dyson-Wasington, 2006) seperti halnya
work-family conflict, work-family enrichment juga bersifat bidirectional, yang
mana pekerjaan dapat meningkatkan kualitas kehidupan keluarga (work-family
enrichment) dan kehidupan keluarga dapat meningkatkan kualitas pekerjaan
(family-work enrichment). Penelitian ini mengabaikan hubungan dua faktor
tersebut, sehingga dalam penelitian selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk
membedakan dua hal tersebut. Keterbatasan penelitian ini membuka
kesempatan bagi penelitian selanjutnya untuk semakin memperkuat hasil yang
diperoleh. Salah satu kemungkinan yang dapat dilakukan untuk penelitian
selanjutnya adalah menambahkan kriteria pengukuran, yaitu selain karyawan
telah menjadi karyawan tetap, juga telah memiliki penghasilan yang dianggap
mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Selain itu, beberapa faktor lain sepert
jenis kelamin serta jenis pekerjaan dapat digunakan untuk menguji efek
moderasi pada hubungan antara work-family enrichment dan konsekuensinya.
Keterbatasan literatur dan bukti empiris mengenai work-family enrichment
membuka kesempatan yang luas bagi peneliti selanjutnya untuk semakin
memperkaya pengetahuan dalam bidang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Baral, R., and S. Bhargava. 2011. Predictors of work-family enrichment:
moderating effect of core self-evaluation. Journal of Indian Business
Research. 3(4). 220-243.
Baral, R., and S. Bhargava. 2010. Work-family enrichment as a mediator between
organizational interventions of work-life balance and job outcomes. Journal
of Managerial Psycology. 25 (3). 274-300.
Boyar, SL., CP. Maertz, DC. Mosley, and JC. Carr. 2008. The impact of
work/family demand on work-family conflict. Journal of Managerial
Psychology. 23 (3). 215-235.
Carlson, DS, KM. Kacmar, JH. Wayne, and JG. Grzywacz. 2006. Measuring the
positive side of the work–family interface: Development and validation of a
work–family enrichment scale. Journal of Vocational Behavior, 68(1). 131164.
Chang, EC., A. Maydeu-Olivares, and TJ. D‟Zurilla. 1997. Optimism and
pessimism as partially independent constructs: Relations to positive and
32
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
negative affectivity and psychological well-being. Personality and
Individual Differences, 23(3), 433-440.
Cooper, D. R. and Schindler, P. S. (2008), Business Research Methods, 10th ed,
New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Chu, CWL. 2010. Development and validation of a multidimensional scale of
work-family enrichment in Chinese context. PhD dissertation Aston
University
Dyson-Washington, F. 2006. The relationship between optimism and work-family
enrichment
and their influence on psychological well-being. PhD
dissertation Drexel Univeristy
Grandey, AA., BL. Cordeiro, and AC. Crouter. 2005. A longitudinal and
multisource test of the work family conflict and job satisfaction relationship.
Journal of occupational and organizational psychology, 78. 305-323.
Greenhaus, JH. and GN. Powell. 2006. When work and family are allies: a theory
of work-family enrichment. Academy of Management Review, 31 (1). 72-92.
Greenhaus, JH., and NJ. Beutell. 1985. Sources of conflict between work and
family roles. Academy of Management Review. 10.76-88.
Grzywacz, JG. and NF. Marks. 2000. Reconceptualizing the work-family
interface: An ecological perspective on the correlates of positive and
negative spillover between work and family. Journal of Occupational
Health Psychology, 5. 111-126.
Hair, HF., RL. Tatham, RE. Anderson, B. Black. 2006. Multivariate Data
Analysis. Englewood Cliffs, NJ. Prentice Hall
Illies, R., KS. Wilson, and DT. Wagner. 2009. The spillover of daily job
satisfaction onto employees, family lives: the facilitating role of workfamily integration. Academy Of Management Journal, 52 (1). 87–102.
Lim, DH., C. Myungweon, and JH. Song. 2012, Work-family enrichment in
Korea: construct validation and status. Leadership & Organization
Development Journal. 33(3). 282-299
Lingard, H., V. Francis., M. Turner. 2010. Work–family enrichment in the
Australian construction industry: implications for job design. Construction
Management and Economics. 28.467-480.
Lu, L. 2011. A Chinese longitudinal study on work/family enrichment. Career
development international. 16 (4). 385-400.
McNall, LA., AD. Masuda, and JM. Nicklin. 2010. Flexible work arrangements,
job satisfaction, and turnover intensions: The mediating role of work-tofamily enrichment. The Journal of Psychology. 144 (1). 61-81.
Morgeson, FP., K. Delaney-Klinger, and MA. Hemingway. 2005. The Importance
of Job Autonomy, Cognitive Ability, and Job-Related Skill for Predicting
33
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Role Breadth and Job Performance. Journal of Applied Psycology. 90 (2).
399-406.
Powell, GN. And J. Greenhause. 2006. Is the opposite of positive negative?
Untangling the complex relationship between work-family enrichment and
conflict. Career Development International. 11(7). 650-659.
Roche M., and JM. Haar. 2010. Work-Family Interface Predicting Needs
Satisfaction: The Benefits for Senior Management. e-Journal of Social &
Behavioural Research in Business 1(1). 12–23.
Rothbard, NP. 2001. Enriching or depleting the dynamics of engagement in work
and family roles. Administrative Science Quarterly. 46. 655-684.
Rotondo, DM. And JF. Kincaid. 2008. Conflict, Facilitation, and Individual
Coping Styles Across The Work And Family Domains. Journal of
Managerial Psychology. 23(5). 484 – 506.
Taipale, S., K. Selander, T. Antilla, And J. Natti. 2011. Work engagement in eight
Europeancountries: The role of job demands, autonomy, and social support.
International Journal of Sociology and Social Policy. 31 (7). 486-504.
Voydanoff, P. 2004. The effect of work demands and resources on work-to-family
conflict and facilitation. Journal of marriage and family. 66 (2). 398-412
Wadsworth, LL., and BP. Owens. 2007. The effects of Social Support on WorkFamily Enhancement and Work-Family Conflict in the Public Sector. Public
Administration Review. Jan-Feb. 75-87.
Warner, MA. And PA. Hausdorf. 2009. The positive interaction of work and
family roles Using need theory to further understand the work-family
interface. Journal of Managerial Psychology. 24 (4). 372-385.
Yavas, U., E. Babakus, and OM. Karatepe. 2008. Attitudinal and behavioral
consequences of work-family conflict and family-work conflict Does gender
matter?. International Journal of Service Industry Management. 19 (1). 731.
34
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
ANALISIS KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA
WARTAWAN HARIAN LOKAL DI KOTA SERANG
IMPLIKASINYA PADA KINERJA
Deviyantoro
Gugup Tugi Prihatma
Universitas Serang Raya
[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya implikasi kinerja wartawan
harian lokal di kota serang yang disebabkan dengan kemampuan komunikasi
interpersonal para wartawan tersebut Hasil Penelitian menunjukan korelasi
antara kemampuan komunikasi interpersonal terhadap kinerja wartawan bernilai
positif r = 0,571 berarti kemampuan komunikasi interpersonal yang ada selama
ini memiliki hubungan yang menurut Guilford korelasi berada antara 0.40 – 0.70
yang berarti korelasi sedang. Sementara besarnya kontribusi hubungan kedua
variable tersebut (x1 dan Y) melalui perhitungan koefisien determinasi sebesar r 2
= 55 %. Sedangkan pengaruh positif ditunjukan dengan garis regresi Y = 12.870
+ 0,645 X1 artinya jika kemampuan komunikasi interpersonal diprioritaskan maka
secara otomatis akan diikuti peningkatan kinerja wartawan. Uji hipotesis yang
dilakukan menunjukan nilai t hitung = 3.695 dan dengan α 0.05 dk n-2 (89-2=87)
menghasilkan t tabel 1.999 (interpolasi), setelah dibandingkan t hitung > t tabel maka t
hitung berada pada daerah penerimaan Ha pernyataannya adalah ada pengaruh
yang signifikan antara kemampuan komunikasi interpersonal
yang telah
diterapkan selama ini terhadap kinerja wartawan pada perusahaan surat kabar
harian lokal di kota Serang.
Kata Kunci : Komunikasi, Interpersonal, Kinerja, Wartawan
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Komunikasi merupakan sarana untuk mengadakan koordinasi antara berbagai
subsistem dalam perusahaan dan komunikasi yang berjalan secara
berkesinambungan, dalam perusahaan akan dapat meningkatkan kinerja kerja
bagi wartawan yang ada di perusahaannnya, namun sebaliknya, apabila terjadi
komunikasi yang buruk akibat tidak terjalinnya hubungan yang baik, sikap
yang otoriter atau acuh, perbedaan pendapat atau konflik yang berkepanjangan,
dan sebagainya, dapat berdampak pada menurunnya kinerja kerja oleh karena
itu kemampuan komunikasi interpersonal yang baik dan efektif sangat
diperlukan oleh setiap insan pers agar mereka dapat menjalani semua
35
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
aktivitasnya dengan lancar. . Sampai saat ini masih banyak para pencari
informasi (pers) di provinsi ini yang belum memahami arti penting komunikasi
interpersonal, mereka menganggap bahwa keahlian komunikasi merupakan
keterampilan datang dengan sendirinya pada diri seseorang, maka tidak perlu
secara khusus belajar bagaimana berkomunikasi hal itu menyebabkan
pencapaian tujuan efektivitas kerja tidak maksimal dikarenakan pimpinan
maupun insan pers sebagai pegawai media informasi kurang baik dalam
penerapan komunikasinya. Tempo Interaktif memberitakan Sejumlah pejabat
di Provinsi Banten mengeluhkan banyaknya oknum wartawan yang sering
meresahkan pejabat dalam meliput suatu berita ini mengasumsikan bahwa
sering tidak terjadi komunikasi yang baik, antara orang yang memberikan
informasi dengan pencari beritanya, dan bahkan banyak pejabat yang
menanyakan terkait dengan kualitas tugas pokok dan fungsi dari insan pers
tersebut. Kemudian pada fesbuk Banten news pada 11 April 2012 berita
tentang wartawan asing boleh meliput sedangkan wartawan local tidak boleh
meliput oleh salah satu instansi pemerintahan, ini juga mengindikasikan adanya
komunikasi interpersonal yang kurang berjalan dengan baik. Perkembangan
media massa terutama media cetak yang berada di kota Serang propinsi Banten
ini pun masih kurang kecenderungan secara antar individu, artinya bahwa antar
wartawan masih kurang adanya koordinasi satu sama lain, kecenderungan
peningkatan kualitas informasi media cetak. Maka dari itu dengan penjelasan
dan uraian diatas bahwa begitu pentingnya komunikasi interpersonal dalam
mewujudkan sikap kinerja wartawan sebagai insan pers.
Rumusan Masalah
Bagaimana kemampuan komunikasi interpersonal wartawan di Kota Serang
berimplikasi pada kinerjanya
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian untuk mengetahui penerapan komunikasi interpersonal dan
tingkat kinerja wartawan di Kota Serang
B. TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Komunikasi Interpersonal
DeVito (1992) menyatakan: “interpersonal communication is defined as
communication that takes place between two persons who have a clearly
established relationship; the people are in some way connected.” (DeVito,
1992:11). Menurut DeVito komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang
terjadi diantara dua orang yang telah memiliki hubungan yang jelas, yang
terhubungkan dengan beberapa cara.
Deddy Mulyana (2005) menyatakan: “komunikasi antarpribadi (interpersonal
communication) adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka,
yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara
langsung, baik secara verbal ataupun nonverbal.” (Mulyana, 2005:73).
36
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Dengan demikian, dari kedua pengertian komunikasi interpersonal tersebut
dapat diketahui bahwa karakteristik komunikasi interpersonal adalah terjadi
diantara dua orang yang memiliki hubungan yang jelas, berlangsung secara
tatap muka, bersifat interaktif dimana para pelaku komunikasi dapat saling
bereaksi satu sama lain.
Tujuan dan Fungsi Komunikasi Interpersonal
DeVito (2005) menyatakan: “The five major purposes of interpersonal
communication are to learn about self, others, and the world; to relate to
others and to form relationship; to influence or control the attitudes and
behaviours of others; to play or enjoy oneself; to help others.” (DeVito,
2005:15). Jadi menurut DeVito tujuan komunikasi interpersonal yang pertama
adalah untuk belajar tentang diri sendiri, tentang orang lain, bahkan tentang
dunia. Melalui kegiatan komunikasi interpersonal dengan seseorang, kita bisa
mengetahui siapa dia dan juga mengetahui bagaimana pendapat dia tentang
kita, sehingga kita pun menjadi tahu seperti apa kita. Semakin banyak kita
berkomunikasi dengan orang lain, semakin banyak mengenal orang dan kita
juga semakin mengenal diri kita sendiri. Semakin banyak kita berkenalan
dengan 6 orang maka semakin banyak pengetahuan kita tentang lingkungan di
sekitar kita dan bahkan tentang dunia.
Tujuan komunikasi interpersonal yang kedua adalah untuk berhubungan
dengan orang lain dan untuk membangun suatu ikatan (relationship). Melalui
komunikasi interpersonal kita dapat berkenalan dengan seseorang dan
komunikasi interpersonal yang intensif dan efektif bisa menciptakan suatu
ikatan bathin yang erat. Hal ini terjadi ketika kita membangun dan memelihara
persahabatan dengan orang lain yang sebelumnya tidak kita kenal. Disamping
itu, melalui komunikasi interpersonal ikatan kekeluargaan tetap bisa dipelihara
dengan baik. Tujuan komunikasi interpersonal yang ketiga adalah untuk
memengaruhi sikap dan perilaku orang lain. Dalam hal ini kegiatan komunikasi
ditujukan untuk memengaruhi atau membujuk agar orang lain memiliki sikap,
pendapat dan atau perilaku yang sesuai dengan tujuan kita. Contoh dari
kegiatan komunikasi interpersonal seperti ini adalah ketika seorang pramuniaga
menawarkan produk yang dijualnya. Tujuan komunikasi interpersonal yang
keempat adalah untuk hiburan atau menenangkan diri sendiri. Banyak
komunikasi interpersonal yang kita lakukan yang sepertinya tidak memiliki
tujuan yang jelas, hanya mengobrol kesanakemari, untuk sekedar melepaskan
kelelahan setelah seharian bekerja, atau hanya untuk mengisi waktu ketika
harus menunggu giliran diperiksa di rumah sakit. Sepertinya ini merupakan hal
yang sepele, tapi komunikasi seperti itu pun penting bagi keseimbangan emosi,
dan kesehatan mental. Tujuan komunikasi interpersonal yang kelima adalah
untuk membantu orang lain. Hal ini terjadi misalnya ketika seorang klien
bekonsultasi dengan seorang psikolog, atau seseorang yang sedang
berkonsultasi dengan pengacara, atau kita yang mendengarkan seorang teman
yang mengeluhkan sesuatu (curhat). Proses komunikasi interpersonal yang
demikian merupakan bentuk komunikasi yang bertujuan untuk menolong orang
lain memecahkan masalah yang dihadapinya dengan bertukar pikiran. Sifat
37
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
komunikasi interpersonal yang tatap muka dan interaktif memungkinkan proses
konsultasi berjalan dengan efektif, sehingga baik konsultan maupun klien bisa
mengakhiri proses komunikasinya dengan lega dan menyenangkan.
Memperhatikan tujuan sekaligus fungsi komunikasi interpersonal tersebut di
atas, maka dapat diketahui betapa pentingnya peran komunikasi interpersonal
dalam kehidupan kita.
Dimensi Komunikasi Interpersonal
DeVito (1992) memandang komunikasi interpersonal yang efektif berdasarkan
humanistic model dan pragmatic model. Humanistic model (soft approach)
menunjukkan bahwa kualitas komunikasi interpersonal yang efektif ditentukan
oleh 5 faktor, sebagai berikut:
 Openness (keterbukaan) maksudnya adalah bahwa komunikasi
interpersonal akan efektif apabila terdapat keinginan untuk membuka diri
terhadap lawan bicara kita, keinginan untuk bereaksi dengan jujur pada
pesan yang disampaikan oleh lawan bicara kita, keinginan untuk
menghargai bahwa perasaan dan pemikiran yang disampaikan selama
proses komunikasi berlangsung adalah kepunyaan kita sendiri (owning of
feels and thought). Dalam situasi seperti ini diantara pelaku komunikasi
akan tercipta keterbukaan perasaan dan pemikiran, serta masing-masing
pihak bertanggungjawab atas apa yang disampaikannya.
 Empathy yaitu ikut merasakan apa yang orang lain rasakan tanpa
kehilangan identitas diri sendiri. Melalui empathy kita bisa memahami
baik secara emosi maupun secara intelektual apa yang pernah dialami oleh
orang lain. Empathy harus diekspresikan sehingga lawan bicara kita
mengetahui bahwa kita berempathy padanya, sehingga bisa meningkatkan
efektivitas komunikasi.
 Supportiveness (mendukung) maksudnya adalah komunikasi interpersonal
akan efektif apabila tercipta suasana yang mendukung. Nuansa dukungan
akan tercipta apabila proses komunikasi bersifat deskriptif dan tidak
evaluative, serta lebih fleksibel dan tidak kaku. Jadi dalam proses
penyampaian pesan gunakanlah kata-kata atau kalimat yang deskriptif dan
tidak memberikan penilaian, kemudian tunjukkan bahwa masingmasing
pelaku komunikasi bersedia mendengarkan pendapat lawan bicara dan
bahkan mengubah pendapat kalau memang diperlukan.
 Positiveness (sikap positif) maksudnya adalah dalam komunikasi
interpersonal yang efektif para pelaku komunikasi harus menunjukkan
sikap yang positif dan menghargai keberadaan orang lain sebagai
seseorang yang penting (stroking).
 Equality (kesetaraan) maksudnya adalah penerimaan dan persetujuan
terhadap orang lain yang menjadi lawan bicara. Harus disadari bahwa
semua orang bernilai dan memiliki sesuatu yang penting yang bisa
diberikan pada orang lain. Kesetaraan dalam komunikasi interpersonal
harus ditunjukan dalam proses pergantian peran sebagai pembicara dan
pendengar.
38
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Pengertian Kinerja Wartawan
Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seorang wartawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung
jawab yang diberikan kepadanya (Prabu, 2001;67)
Kinerja adalah Output drive proces, human or otherwise, jadi dikatakan bahwa
kinerja adalah merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses (Sedamayanti,
2001;5)
Kinerja merupakan usaha, kegiatan, atau program yang diprakarsai dan
dilaksanakan oleh pimpinan organisasi (perusahaan) untuk merencanakan,
mengarahkan, dan mengendalikan prestasi wartawan ( Achmad S.
Ruky,2006;6)
Kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan
tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan,
pengalaman, dan kesungguhan, serta waktu. Kinerja merupakan gabungan dari
dari tiga faktor penting, yaitu kemampuan dan minat seorang pekerja,
kemampuan dan penerimaan atas penjelasan delegasi tugas, serta tingkat
motivasi seorang pekerja. Semakin tinggi faktor tersebut, maka semakin
besarlah kinerja wartawan yang bersangkutan” ( Malayu S.P. Hasibuan,2002;94)
Unsur-Unsur dalam Kinerja
Untuk dapat memahami unsur-unsur dalam kinerja adalah :
a. Adanya hasil kerja, yaitu suatu bukti dari hasil kerja seseorang yang
dilakukan sehingga dapat dinilai kualitas kerja yang dilaksanakannya.
b. Adanya subjek seseorang atau perusahaan proses manajemen, yaitu orang
atau perusahaan yang melakukan suatu proses kegiatan pelaksanaan
fungsi-fungsi manajemen.
c. Terbukti secara konkrit, hasil karya tersebut dapat dilihat secara nyata
sebagai bukti pelaksanaan pekerjaan tersebut, apakah mengalami
peningkatan atau sebaliknya mengalami penurunan.
d. Dapat diukur, hasil kerja yang dilakukan tersebut dapat diukur dan dinilai,
apakah sesuai dengan ketentuan atau lebih baik dari standar kerja yang
telah ada.
e. Dibandingkan dengan standar yang telah ditentukan, serta membandingkan
hasil kerja seseorang dengan ukuran-ukuran standar yang telah dibuat
berdasarkan kualitas dan kuantitas kerja.
Dimensi Kinerja Wartawan
Tujuan dilakukannya penilaian kinerja berdasarkan periode waktunya adalah
sebagai berikut:
1. Untuk memberikan dasar bagi rencana dan pelaksanaan pemberian
penghargaan bagi wartawan atas kinerja pada periode waktu sebelumnya
(to reward past performance)
2. Untuk memotivasi agar pada periode waktu yang akan datang kinerja
seorang wartawan dapat ditingkatkan (to motivate future performance
improvement)
39
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Sedangkan cara mengukur kinerja wartawan menurut Bernardin Jhon (Rivai:
2002:287) terdapat enam kriteria yang dapat digunakan yaitu :
1. Kualitas pekerjaan : tingkat dimana hasil aktivitas yang dilakukan
mendekati sempurna dalam arti menyesuaikan beberapa cara ideal dari
penampilan aktivias ataupun memenuhi tujuan-tujuan yang diharapkan
dari suatu aktivitas.
2. Kuantitas pekerjaan : jumlah yang dihasilkan dan dinyatakan dalam istilah
seperti dollar, jumlah unit, jumlah siklus, aktivitas yang diselesaikan.
3. Ketepatan waktu : tingkat suatu aktivitas diselesaikan pada awal yang
diinginkan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil serta
memaksimalkan waktu yang tersedia untuk aktivitas lain.
4. Efektifitas : tingkat penggunaan sumber daya organisasi (tenaga, uang,
teknologi, bahan baku) dimaksimalkan dengan maksud menaikkan
keuntungan atau mengurangi kerugian dari setiap unit atau instansi dalam
penggunaan sumber daya.
5. Kemandirian : tingkat dimana seseorang wartawan dapat melakukan fungsi
kerjanya tanpa meminta bantuan, bimbingan dan pengawasan atau
meminta turut campurnya pengawas guna menghindari hasil yang
merugikan.
6. Hubungan interpersonal : tingkat dimana wartawan mengemukakan
perasaan, harga diri, jasa baik, dan kerja sama antara rekan kerja dalam
unit kerjanya.
Penelitian Pendahulu
Eddy Pattanduk, Eka Afnan Troena, Surachman, Margono Setiawan, The
results of the analysis of the influence of interpersonal communication (KI) and
Procedural Justice (KP) commitment (KT), aimed at Table 2, the acquisition
of R2 at 0.344 with a significance level of 0.000. Obtaining this result implies
that interpersonal communication (KI) and Procedural Justice (KP) has a small
role in influencing commitment. The results of the analysis of the influence of
interpersonal communication (KI), Procedural Justice (KP), and commitment
(KT) on the performance of employees (KJ), shown in Table 3. R 2 Acquisition
of 0.511 with a significance level of 0.000, indicated that interpersonal
communication (KI), Procedural Justice (KP), and commitment (KT) have a
significant role in influencing the performance of the employee (International
Journal of Social Science Tomorrow Maret 2013) Masih dalam kutipan jurnal
tersebut dalam penelitian terdadulu Chen, Silverthorne and Hung Kirchmajer
2005 Interpersonal communication significantly related to performance, the
results of this study support the research, the relationship between interpersonal
communication with the performance. The results of studies showing similar
results are an indication that interpersonal communication is consistently
nothing to do with performance.
40
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
C. METODE PENELITIAN
Tipe Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
pendekatan kuantitatif, yaitu metodologi riset yang berupaya untuk
mengkuantifikasi data, dan biasanya menerapkan analisis statistik tertentu
(Malhotra,2005:115). Metode penelitian yang digunakan adalah dengan
menggunakan metode survei, yaitu sebuah desain penelitian yang memberikan
uraian kuantitatif maupun numerik dari sejumlah pecahan populasi (sampel)
melalui proses pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner sebagai alat
pengumpul datanya (Fowler, 1988 dalam Jhon W Creswell, 1994:112).
Pengujian hipotesis secara spesifik serta adanya hubungan kausal berbagai
variabel melalui pengujian hipotesis, maka jenis penelitian yang digunakan
adalah Explanatory research yaitu suatu metode yang tidak hanya menyatakan
kondisi dari variabel atau hubungan antar variabel saja, tetapi juga untuk
mengetahui pengaruh antar-variabel
(Singarimbun, dalam
Singarimbun dan Effendi, Editor, 2006 : 4)
Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah wartawan media cetak khususnya di
kota Serang propinsi Banten yang merupakan responden yang nantinya akan
diberikan daftar pertanyaan yang berhubungan dengan variable yang sedang
diteliti.
Populasi dan Sample.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wartawan media cetak yang
berada di lingkungan kota Serang sedangkan jumlah sample ditentukan dengan
metode Slovin dengan persentase kelongaran ketidak pastian karena kesalahan
pengambilan sampel yang dapat ditolelir atau diragukan sebesar 0.05%
(Umar, 2000 ; 146)
Kisi-Kisi Instrumen Komunikasi Interpersonal
Dimensi
Indikator
Keterbukaan
1. keinginan untuk membuka diri dengan orang
(openness)
lain
2. keinginan untuk bereaksi dengan jujur pada
pesan yang disampaikan oleh orang lain,
3. keinginan untuk menghargai perasaan dan
pemikiran yang disampaikan orang lain
4. bertanggungjawab
atas
apa
yang
disampaikannya.
Empati
1. Ikut merasakan apa yang orang lain rasakan
(emphaty)
tanpa kehilangan identitas diri sendiri.
2. Memahami baik secara emosi maupun
secara intelektual apa yang pernah dialami
oleh orang lain.
Skala
Interval
Interval
41
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
3. Berusaha mengekspersikan sebagai tanda
kita ikut merasakan
Dukungan
1. Senantiasa mengunakan kalimat kalimat
(supportiveness)
deskriptif
2. Tidak evaluative atau memberikan penilaian
3. Fleksibel dan tidak kaku.
4. Menunjukan bersedia mendengarkan
pendapat orang lain
Kepositifan
 Menunjukkan sikap yang positif
(positiviness)
 Menghargai keberadaan orang lain sebagai
seseorang yang penting (stroking).
Kesetaraan
1.
Menerima orang lain yang menjadi
(equality)
lawan bicara.
2.
Menyadari bahwa semua orang bernilai
dan memiliki sesuatu yang penting
3.
Pergantian peran sebagai pembicara dan
pendengar.
1.
Dimensi
Kualitas
pekerjaan
Kuantitas
pekerjaan
Ketepatan
Waktu
1.
2.
3.
1.
2.
1.
2.
3.
Efektifitas
1.
2.
Kemandirian 1.
2.
Hubungan
1.
Interpersonal 2.
3.
Kisi-kisi Kinerja Wartawan
Indikator
Tingkat keberhasilan dalam bekerja
Penyesuaian diri dalam bekerja
Motivasi pada tujuan perusahaan
Produktivitas perusahaan
Jumlah pekerjaan yang diselesaikan
Ketepatan pekerjaan dengan waktu yang
diperlukan
Penggunaan waktu dalam bekerja
Koordinasi Pekerjaan
Penggunaan teknologi
Penggunaan Bahan baku
Kemandirian dalam bekerja
Bimbingan dan pengawasan dalam bekerja
Menghargai perasaan antar pegawai
Menjaga nama baik perusahaan
Kerjasama dalam kelompok kerja
Interval
Interval
Interval
Skala
Interval
Interval
Interval
Interval
Interval
Interval
Uji Instrumen Penelitian
Validitas (Validity )
dilakukan uji coba koesioner pada sejumlah responden untuk mengetahui
apakah instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini valid atau tidak.
dan pernyataan yang dinyatakan Valid adalah pernyataan yang memiliki
angka korelasinya diatas korelasi r Product moment (r tabel)
42
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Uji Reliabilitas
Uji ini adalah untuk menunjukan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif
konsisten apabila pengukuran terhadap aspek yang sama pada alat ukur yang
sama (Internal Consistency Reliability). Dalam pengukuran reliabilitas ini
digunakan rumus Cronbach‟s Alpha (α )
Metode Analisis Data
Uji Asumsi Klasik
Agar model regresi berganda dapat digunakan dan memberikan hasil yang
representatif Blue (Best, linier, Unblased, Estimation) maka persamaan tersebut
harus dapat memenuhi asumsi klasik yaitu memenuhi asumsi normalitas.
Uji Regresi, korelasi dan determinasi
 Untuk mengetahui ada atau tidaknya korelasi antara komunikasi
interpersonal dengan kinerja wartawan dilakukan perhitungan korelasi
dengan rumus Product Moment dari Pearson (Umar : 2000; 316) ;
 Untuk mengetahui pengaruh kemampuan komunikasi interpersonal
terhadap kinerja wartawan digunakan koefisien regresi berganda,
 Untuk mengukur seberapa besar variabel independent (x) berperan
terhadap variabel dependent (Y) maka digunakan perhitungan koefisien
determinasi
Hipotesis Statistik
H0 : β12 = 0 tidak ada pengaruh yang signifikan kemampuan komunikasi
interpersonal terhadap kinerja wartawan di kota serang
Hi : β12 ≠ 0 ada pengaruh yang signifikan kemampuan komunikasi
interpersonal terhadap kinerja wartawan dikota serang
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Komunikasi Interpersonal Wartawan di Kota Serang
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi dua orang atau lebih baik dalam
masyarakat, organisasi bisnis atau non bisnis dengan media seperti telepon,
handphone, face to face atau bahasa untuk mencapai tujuan.
Tujuan dari komunikasi interpersonal adalah menumbuhkan simpati melalui
sikap positif dari lubuk hati. Melalui komunikasi, sikap dan perasaan
seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain. Akan
tetapi, komunikasi hanya akan efektif apabila pesan yang disampaikan dapat
ditafsirkan sama oleh penerima pesan tersebut.. Berdasarkan data yang di
olah bahwa komunikasi interpersonal wartawan pada di Kota Serang Banten
memiliki tingkat rara-rata adalah tinggi, karena hampir mendekati nilai
maksimum artinya responden yang memberikan pernyataan dengan skor
tinggi lebih banyak dari pada yang memberi skor rendah, artinya kebanyakan
responden memberikan respon baik pada komunikasi interpersonal wartawan.
43
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Uji Validitas dan Reliabilitas
Dengan nilai r table dan drajat kebebasan sebesar 30, tingkat signifikan 5%,
didapat angka tabel : 0,360 . Maka dari berbagai nilai r hitung setiap varian
pertanyaan tidak semuanya lebih besar dari r tabelnya maka semua
instrunmen penelitian untuk komunikasi interpersonal wartawan tidak
keseluruhannya valid, yaitu dari 17 pertanyaan 4 tidak valid sedangkan
untuk instrumen kinerja karyawan dari 15 pertanyaan 2 tidak valid Kemudian
dilakukan uji
reliabilitas untuk mengetahui kehandalan dari sebuah
instrument penelitian berikut:
Nilai
Keputusan
r11
Rule of Thumb
Nunally
Koefisien α = 0. 6
Koefisien α = 0. 6
X1 = 0,751
Y = 0,757
Sumber: dari pengolahan quesioner
Reliabel
Reliabel
Distribusi Kuesioner
Berdasarkan distribusi sebaran kuesioner untuk Komunikasi Interpersonal
dapat diketahui bahwa rata-rata responden memberikan skor pada kategori
setuju dalam merespon komunikasi interpersonal wartawan ini yaitu dengan
nilai sebesar 19,92 dengan nilai prosentase 22,4% , sedangkan untuk
responden yang menyatakan sangat setuju hanya sebesar 31,46 dengan
prosentase 35,4% sedangkan Berdasarkan tabel distribusi frekuensi variabel
kinerja wartawan frekuensi yang tertinggi adalah jawaban sangat setuju (4)
dengan rata-rata frekuensi 34,69 dengan prosentase 39%, kemudian jawaban
setuju (3) dengan rata-rata frekuensi 18,54 dengan prosentase 20,8%,
berikutnya jawaban tidak setuju (2) dengan rata-rata frekuensi 13,46 dengan
prosentase 15,1%. hal ini dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden
merespon setuju dengan penerapan kerja wartawan yang telah dilaksanakan
pada perusahaan ini.
Uji Normalitas
KOM_INTERPERSONAL
KINERJA_WARTAWAN
Kolmogorov-Smirnova
Statistic
df
Sig.
.085
89
.130
.057
89
.200*
Shapiro-Wilk
Statistic
df
.984
89
.988
89
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Nilai Asymp. Sig. (2-tailed) untuk semua variable pada table perhitungan
adalah X= 0.130 dan Y = 0,200 merupakan nilai p yang dihasilkan dari uji
hipotesis nol yang berbunyi tidak ada perbedaan antara distribusi data yang
diuji dengan distribusi data normal. Jika nilai p lebih besar dari 0.1 maka
kesimpulan yang diambil adalah hipotesis nol ditolak diterima, atau dengan
44
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Sig.
.346
.559
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
kata lain sebaran data dari semua variable yang kita uji mengikuti distribusi
normal. Dipilih pengujian Kolmogorov-Smirnov karena sampel pada
penelitian ini lebih besar dari 50 sampel
Hubungan Komunikasi Interpersonal Wartawan dengan Kinerja
wartawan
Untuk mengetahui sampai sejauh mana hubungan komunikasi interpersonal
wartawan dengan kinerjanya pada, penulis menggunakan perhitungan
analisa korelasi adalah sebagai berikut :
S
eKOM_INTERPER Pearson Correlation
sSONAL
Sig. (2-tailed)
u
N
aKINERJA_WART Pearson Correlation
iAWAN
Sig. (2-tailed)
N
KOM_INTER PEMB_REWA KINERJA_W
PERSONAL RD
ARTAWAN
1
.696**
.571**
.000
.000
89
89
89
.571**
.740**
1
.000
.000
89
89
89
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dengan skala keeratan hubungannya menurut Guiford, maka nilai
korelasi sebesar 0,571 tersebut berada pada criteria korelasi antara 0,40–
0,70 maka hasil korelasi itu termasuk pada Korelasi sedang, dan Hasil
korelasi tersebut berarti ada keeratan hubungan antara kedua variabel yaitu
komunikasi interpersonal wartawan dengan Kinerja wartawan. Selanjutnya
untuk mengukur seberapa besar komunikasi interpersonal wartawan
berperan terhadap kinerja wartawan digunakan koefisien determinasi
sebagai berikut :
Model Summaryb
Std. Error
R
Adjusted
of the
Model
R
Square R Square Estimate
1
.745a
.554
.544 3.66754
a. Predictors: (Constant), KOM_INTERPERSONAL
b. Dependent Variable: KINERJA_WARTAWAN
Arti dari hasil perhitungan koefisien determinasi ini adalah besarnya
kontribusi pengaruh komunikasi interpersonal wartawan terhadap kinerja
wartawan adalah 55 % sedangkan 45 % dipengaruhi oleh faktor lain seperti
contohnya gaya kepemimpinan lembaga media informasi, etika pers, UU
pers dan kode etik wartawan.
Pengaruh Komunikasi Interpersonal Wartawan terhadap Kinerja
wartawan
Kemudian dari data yang sama dilakukan penghitungan regresi sederhana untuk
mengetahui pengaruh kenaikan atau penurunan antara variabel komunikasi
45
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
interpersonal wartawan terhadap kinerja wartawan juga dengan menggunakan
perangkat lunak SPSS versi 19 adalah :
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model
B
Std. Error
Beta
1
(Constant)
12.870
3.483
Komp_Interp
.645
.099
.571
a. Dependent Variable: Kinerja_Wartawan
t
3.695
6.491
Sig.
.000
.000
maka persamaan regresinya adalah adalah Y = 12.870 + 0.645x
Artinya secara statistic apabila ada peningjkatan pelaksanaan komunikasi
interpersonal wartawan sebesar x % akan mengakibatkan peningkatan
prosentase x % untuk wartawan. misalnya untuk komunikasi interpersonal
wartawan naik 1 kegiatan maka pengaruh kenaikan pada kinerja wartawan
wartawan sebagai variable Y adalah :
Y = 12.870 + 0.645x
= 12.870 + 0.645 (1)
= 12.870 + 1.645
= 14.515
Kemudian dilakukan uji hipotesis dengan program yang sama
Unstandardized
Coefficients
Model
B
Std. Error
1
(Constant)
12.870
3.483
Komp_Interp .645
.099
Standardized
Coefficients
Beta
t
3.695
.571
6.491
Sig.
.000
.000
a. Dependent Variable: Kinerja_Wartawan
Selanjutnya mencari nilai t table dengan menggunakan nilai kritis distribusi
normal t maka perhitungan interpolasi sebagai berikut:
t tabel
= t60 – ( 89 - 60 ) .
( t 60-t120 )
120-60
= 2.000 – ( 89-60) . ( 2.000-1,980 )
60
= 2.000 – (29) . (0.00027)
= 2.000 – 0,00783
= 1,999
oleh karena nilai t = 3.695 lebih besar daripada nilai t tabel (uji dua ekor)
yaitu dengan α 0.05 dan dk = (n – 2) 89 – 2 maka t tabel (0.05)(87) = 1.999
(Hasil Interpolasi) maka Hi: diterima artinya ada pengaruh positif antara
pelaksanaan komunikasi interpersonal wartawan terhadap kinerja wartawan.
46
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
E. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian pada perusahaan media informasi di kota Serang
Propinsi Banten maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut.
1. Komunikasi interpersonal
 Dari hasil analisis penghitungan deskriptif dengan menggunakan
SPSS versi 19 adalah kebanyakan responden berpendapat bahwa
komunikasi interpersonal yang dilaksanakan
saat ini pada
perusahaan media cetak harian lokal di kota Serang memiliki
kategori sedang menurut analisis responden
 Korelasi yang dihasilkan bernilai positif yang berarti
menggambarkan arah hubungan antara komunikasi interpersonal
terhadap kinerja searah, jika kemampuan komunikasi interpersonal
semakin baik maka secara otomatis kinerja wartawan meningkat,
sedangkan keeratan hubungannya antara komunikais interpersonal
dengan kinerja wartawan menurut Guilford adalah korelasi
sedang.
 Besarnya peranan komunikasi interpersonal dengan kinerja
wartawan. Dapat dilihat pada daerah penerimaan Hi pernyataannya
adalah ada pengaruh yang signifikan antara kedua variabel yang
sedang diamati.
 Pengaruh positif ditunjukan oleh garis regresi artinya jika variabel
X1 (komunikasi interpersonal) kondisinya diperbaiki atau
ditingkatkan 1, maka secara otomatis variabel Y (kinerja
wartawan) meningkat sebesar juga.
 Dimensi yang diukur dalam variabel X1 yang memberikan
distribusi terbesar secara korelasi terhadap variabel Y (kinerja
wartawan) adalah terdapat pada dimensi kepositifan (positiviness)
dengan indikator wartawan dalam berkomunikasi menghargai
keberadaan orang lain sebagai seseorang yag penting (stroking)
pernyataan nomor 11, hal inilah yang lebih dominan dalam
meningkatkan kinerja wartawan.
DAFTAR PUSTAKA
A. A. Anwar Prabu, Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, Cetakan
kedua, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001
Devito, Joseph, 1997 : “The Interpersonal Communication Edisi 2nd”
Effendy, Onong Uchjana 2005, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya
Furqon, 1999, “Statistik Terapan Untuk Penelitian”, Penerbit CV. Alpabeta
Cetakan kedua, Bandung.
McKenna, Eugene dan Beech , Nic. 2000. The Essence of Manajemen Sumber
daya Manusia. Alih bahasa oleh Andi Yogyakarta.
47
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Mulyana, Deddy. (2005). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung Remaja
Rosda Karya.
Sobur, Alex : Profesionalisme dengan nurani (Bandung:humaniora utama press)
Stephen W, Little Jhon and Karen A. Foss, 2009 : Encyclopedia Of
Communication London, Sage
Sudjana, 2000, “ Metode Statistik”’ Tarsito Bandung 1996, “Teknik Analisa
Regresi dan Korelasi”, Penerbit Tarsito, Edisi Revisi, Bandung
Sugiyanto, 2001, Menguak Peluang dan Tantangan Administrasi Publik
1999, “ Statistika untuk penelitian” Alpha Beta Bandung
Supranto. J, 1985, “ Statistika Teori dan aplikasi” Erlangga, Jakarta
Umar,Husen,2000, “Riset pemasaran dan prilaku konsumen”, Penerbit Gramedia,
Jakarta.
48
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
PERAN KETERIKATAN MEREK DALAM MEMBANGUN LOYALITAS
PELANGGAN
Muhammad Johan Widikusyanto
Universitas Serang Raya
[email protected]
ABSTRAK
Keterikatan merek (brand attachment) adalah variabel yang penting untuk
mempertahankan dan meningkatkan loyalitas pelanggan. Keterikatan merek juga
penting untuk membantu menjelaskan hubungan asimetris antara kepuasan dan
kepercayaan dengan loyalitas merek. Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh
kepuasan, kepercayaan, dan keterikatan merek pada loyalitas merek. Penelitian ini
bertujuan pula menguji peran mediasi keterikatan merek pada hubungan antara
kepuasan dan kepercayaan merek dengan loyalitas merek. Responden penelitian
ini adalah 256 pengguna laptop di Daerah Istimewa Yogyakarta. Data
dikumpukan dengan menggunakan kuesioner. Struktural equation modeling
(SEM) dengan bantuan program statistik AMOS digunakan untuk menguji
goodness of fit model, dan hubungan yang dihipotesiskan di dalam model teoritis
yang diusulkan.
Temuan dari model struktural telah membuktikan hampir seluruh hubungan yang
dihipotesiskan. Kepuasan terbukti berpengaruh pada kepercayaan, keterikatan,
dan loyalitas merek. Sedangkan Kepercayaan merek terbukti berpengaruh pada
keterikatan merek, namun pengaruh kepercayaan merek pada loyalitas merek
tidak terdukung. Keterikatan merek pun terbukti berpengaruh pada loyalitas
merek. Keterikatan merek memiliki peran yang sangat penting bagi pengaruh
kepuasan dan kepercayan merek pada loyalitas merek. Keterikatan merek terbukti
memediasi secara parsial pengaruh kepuasan merek pada loyalitas merek dan
memediasi secara penuh pengaruh kepercayaan merek pada loyalitas merek.
Kata Kunci: Kepuasan, Kepercayaan, Keterikatan, Attachment, Loyalitas, Merek,
Struktural Equation Modeling.
A. PENDAHULUAN
Loyalitas pelanggan pada merek menjadi aspek yang sangat krusial ketika
perusahaan memasuki pasar yang penuh persaingan. Pada kondisi pasar
49
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
seperti ini, perusahaan tidak cukup hanya bergantung pada kepuasan
pelanggan karena kepuasan pelanggan tidak berarti pelanggan akan loyal
(Oliver, 1999: 33; Bennett dan Rudle, 2004: 514). Sedangkan kemampuan
bertahannya suatu merek dalam persaingan yang ada sangat ditentukan
tingkat loyalitas pelanggan pada merek tersebut.
Persaingan ketat dan tajam yang terjadi di kategori produk laptop akan dapat
mengikis bahkan menghilangkan loyalitas pelanggan dari merek-merek yang
sedang bersaing. Karena loyalitas adalah jantungnya setiap bisnis, maka tanpa
loyalitas sebuah perusahaan tidak akan mampu bertahan dalam persaingan
bisnis yang semakin tajam dan keras yang disertai pula peningkatan
ketidakpastian pasar dan berkurangnya perbedaan antar merek. Oleh karena
itu, penurunan bahkan hilangnya loyalitas dari para pelanggan yang
berpotensi menimbulkan perilaku berpindah merek telah memaksa para
manajer pemasaran untuk mencurahkan sebagian besar perhatiannyauntuk
menemukan jalan keluar dari masalah ini.
Dua konstruk utama yang penting dan sering digunakan dalam berbagai
literatur penelitian untuk menjelaskan loyalitas adalah kepuasan dan
kepercayaan pelanggan (Delgado dan Munuera, 2005; Taylor et al., 2004;
Chaudhuri dan Holbrook, 2001; Bloemer et al., 1998). Konstruk lainnya yang
juga terbukti secara empiris dapat memprediksi loyalitas adalah keterikatan
merek (Lacoeuilhe dan Belaid, 2007; Sung et al., 2005; Thomson et al.,
2005). Beberapa studi empiris menunjukkan pula bahwa kepuasan dan
kepercayaan merek terbukti mampu memprediksi keterikatan merek (Esch et
al., 2006; Luis dan lombart, 2010; Bouhlel et al., 2009). Namun demikian,
masih sangat sedikit sekali penelitian yang memberikan dukungan empiris
pada teori yang mendasari hubungan antara kepuasan dan kepercayaan
dengan keterikatan merek ataupun antara keterikatan merek dengan loyalitas
merek sehingga dapat dikatakan teori-teori tersebut belum terdukung dengan
kuat secara empiris. Selain itu, terdapat perbedaan teori dalam literatur yang
berupaya menjelaskan hubungan antara kepuasan, kepercayaan, dan
keterikatan merek. Kondisi ini memperlihatkan perlunya studi sejenis untuk
memberikan tambahan dukungan secara empiris pada teori yang mendasari
model teoritis yang diusulkan dalam penelitian ini.
Masalah teoritis lainnya adalah terjadinya inkonsistensi hasil empiris pada
hubungan antara keterikatan merek dengan loyalitas merek. Beberapa
penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa keterikatan merek
berpengaruh signifikan pada loyalitas merek namun penelitian Belaid dan
Behi (2011) memberikan hasil yang berbeda. Inkonsistensi hasil empiris ini
memicu pentingnya studi sejenis untuk melihat lebih jelas hubungan antara
keterikatan merek dengan loyalitas merek. Selain itu, peran keterikatan merek
50
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
sebagai variabel mediasi dalam hubungan antara kepuasan, kepercayaan dan
loyalitas merek masih belum di ketahui dengan jelas, karena belum
ditemukannya studi empiris yang meneliti peran mediasi keterikatan merek
pada hubungan tersebut. Dalam tataran praktis dan teoritis di bidang perilaku
konsumen terlihat masih membutuhkan model teoritis yang sederhana namun
mampu memprediksi loyalitas pelanggan pada merek dengan baik.
Adapun tujuan penelitian ini adalah menguji pengaruh kepuasan,
kepercayaan, dan keterikatan merek pada loyalitas merek. Selain itu,
penelitian ini menguji pula peran mediasi keterikatan merek pada hubungan
antara kepuasan dan kepercayaan dengan loyalitas merek. Fokus tujuan
penelitian ini yang pertama adalah mengkonfirmasi hubungan antara
kepercayaan merek dengan keterikatan merek, keterikatan merek dengan
loyalitas merek, dan kepuasan merek dengan keterikatan merek. Konfirmasi
hubungan struktural dilakukan mengingat masih sedikitnya studi yang
meneliti hubungan keterikatan merek dengan anteseden dan konsekuennya
sehingga penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan dukungan empiris
terhadap teori yang mendasari hubungan-hubungan tersebut. Konfirmasi
hubungan antar variabel juga dilakukan karena adanya perbedaan teori dan
hasil empiris pada beberapa hubungan di dalam model penelitian yang
diusulkan. Fokus yang kedua adalah menguji peran mediasi variabel
keterikatan merek pada hubungan antara kepuasan dengan loyalitas merek
dan hubungan antara kepercayaan dengan loyalitas merek. Penelitian ini
memanfaatkan hubungan antara kepuasan, kepercayaan, dan loyalitas merek
yang sudah kuat terbangun untuk menguji atau melihat peran sentral
keterikatan merek pada hubungan tersebut. Fokus yang terakhir adalah
menguji secara simultan model penelitian yang menggambarkan hubungan
empat variabel yaitu kepuasan, kepercayaan, keterikatan, dan loyalitas merek
yang diharapkan dapat memberikan sumbangan model teoritis yang dapat
menjelaskan dengan baik hubungan-hubungan antar variabel di dalamnya.
B. LANDASAN TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Loyalitas merek adalah kunci bagi banyak perusahaan untuk mengelola
hubungan jangka panjang dengan pelanggan. Loyalitas merek didefinisikan
oleh Oliver (1999: 34) sebagai:
Komitmen yang dipegang secara mendalam untuk membeli kembali atau
menjadi pelanggan kembali suatu produk yang lebih disukainya di masa
yang akan datang, dengan demikian menyebabkan pembelian ulang merek
atau sejumlah merek yang sama meskipun pengaruh situasional dan usaha
pemasaran memiliki potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku.
51
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Loyalitas merek dapat terdiri dari dua aspek yaitu aspek yang berkaitan
dengan perilaku dan aspek yang berkaitan dengan sikap (Jacoby dan Kyner,
1973: 1; Assael, 2004: 77). Chaudhuri dan Holbrook (2001: 82) menyebut
juga loyalitas perilaku sebagai loyalitas pembelian. Menurut mereka loyalitas
perilaku mengandung pembelian ulang suatu merek, sedangkan loyalitas
sikap meliputi tingkat komitmen untuk cenderung pada suatu merek
berdasarkan beberapa nilai unik yang berkaitan dengan merek. Untuk
mengukur loyalitas merek maka harus melibatkan kedua aspek tersebut,
dengan demikian tidak hanya dilihat dari sisi pembelian ulang saja karena
hanya pembelian ulang tidak mencerminkan loyalitas merek yang
sesungguhnya (Day, 1969: 30; Assael, 2004: 77). Pengukuran loyalitas hanya
dari tingkat pembelian ulang akan mengarahkan pada loyalitas palsu
(Moulsan dalam Day, 1969: 30). Kelemahan loyalitas palsu ini adalah mereka
akan dapat secara langsung beralih ke merek lain yang menawarkan kualitas
atau harga yang lebih baik.
Pengaruh Kepuasan merek pada Loyalitas Merek
Loyalitas merek mencerminkan sikap yang menguntungkan atau mendukung
terhadap suatu merek yang menghasilkan konsistensi pembelian merek
tersebut dalam jangka panjang. Ini adalah hasil pembelajaran konsumen
bahwa suatu merek dapat memuaskan kebutuhan mereka (Assael 2004: 76).
Kepuasan memiliki peran dalam pembentukan loyalitas karena kepuasan akan
memperkuat sikap positif konsumen terhadap merek yang akan mengarahkan
mereka pada kemungkinan yang lebih besar untuk membeli kembali dengan
merek yang sama (Assael, 2004: 45). Beberapa studi empiris di antaranya
yang telah dilakukan oleh Santouridis dan Trivellas (2010), Brakus et al.
(2009), Casalo et al. (2008), Bove dan Mitzifiris (2007), Park dan Lee (2005),
Yen dan Gwinner (2003), Bloemer dan Ruyter (1998), dan Bloemer et al.
(1998) menemukan bahwa kepuasan berpengaruh signifikan pada loyalitas
merek. Dengan demikian, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut.
Hipotesis 1: Kepuasan merek berpengaruh positif pada Loyalitas merek
Pengaruh Kepuasan merek pada Kepercayaan Merek
Delgado et al. (2003) menyatakan bahwa kepuasan total sebagai evaluasi
umum pengalaman penggunaan merek akan menghasilkan kepercayaan.
Kepercayaan muncul ketika suatu merek dapat memuaskan harapan dan
kebutuhan konsumen secara konsisten dan positif sehingga pengalaman
penggunaan merek yang memuaskan tersebut akan menjadi sumber
kepercayaan bahwa merek tersebut dimasa yang akan datang akan mampu
52
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
memuaskan kembali harapan dan kebutuhannya. Semakin merek memuaskan
konsumen secara konsisten maka konsumen akan semakin percaya pada
merek tersebut. Beberapa studi yang meneliti hubungan kepuasan dan
kepercayaan seperti yang telah dilakukan oleh Bove dan Mitzifiris (2007),
Liang dan Wang (2007), Zboja dan Voorhees (2006), Ha dan Perks (2005),
Delgado dan Munuera (2005, 2001), Hess dan Story (2005), dan Wang
(2002) memberikan bukti empiris yang kuat bahwa kepuasan berpengaruh
positif pada kepercayaan. Dengan demikian, dirumuskan hipotesis sebagai
berikut.
Hipotesis 2: Kepuasan merek berpengaruh positif pada Kepercayaan merek
Pengaruh Kepercayaan Merek pada Loyalitas Merek
Morgan dan Hunt (1994: 24) menyatakan bahwa kepercayaan merek dapat
mengarahkan pada loyalitas merek karena kepercayaan menciptakan
hubungan pertukaran yang bernilai tinggi. Kepercayaan adalah pondasi bagi
setiap hubungan terutama hubungan jangka panjang antara konsumen dengan
merek. Tanpa kepercayaan, konsumen tidak akan bersedia untuk
menggunakan merek tersebut secara berkelanjutan. Sehingga tingkat
kepercayaan konsumen pada merek akan memengaruhi tingkat loyalitas
konsumen pada merek tersebut. Dengan demikian, semakin konsumen
percaya pada suatu merek maka mereka akan semakin loyal pada merek
tersebut. Bebeberapa studi empirisyang dilakukan oleh Chaudhuri dan
Holbrook (2001), Cassab dan MacLachlan (2009), Matzler et al. (2008),
Casalo et al. (2007), Bove dan Mitzifiris (2007), Delgado dan Munuera
(2005), Taylor et al. (2004), dan Delgado et al. (2003) memperlihatkan
bahwa kepercayaan merek memiliki pengaruh signifikan pada loyalitas
merek. Dengan demikian, hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut.
Hipotesis 3: Kepercayaan merek berpengaruh positif pada Loyalitas merek
Pengaruh Kepuasan merek pada Keterikatan Merek
Konsumen dapat terikat secara emosional pada merek ketika merek dapat
memberikan sumber daya pemenuhan kebutuhan yang diperlukan konsumen.
Oleh sebab itu, ikatan konsumen dengan suatu merek didasarkan oleh
kepuasan konsumen terhadap merek tersebut (Kapferer, 2008: 162). Merek
yang mampu memenuhi kebutuhan konsumen secara konsisten seperti
kebutuhan hedonis, simbolik, dan atau utilitarian akan dapat membangun
hubungan atau keterikatan kognitif dan emosional yang kuat antara konsumen
dengan merek yang akan mendorong konsumen untuk memelihara hubungan
jangka panjang dengan merek sebagai upaya untuk menjamin terpenuhinya
53
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
kebutuhan mereka yang selama ini telah terpenuhi oleh merek tersebut dan
pemisahan diri konsumen dengan merek tersebut akan menimbulkan efek
negatif seperti kesedihan dan penderitaan. Hasil penelitian Esch et al. (2006)
menunjukkan kepuasan memiliki pengaruh yang signifikan pada keterikatan
merek. Bukti empiris ini sejalan dengan pendapat Amine (1998: 312) bahwa
kepuasan adalah variabel antecedent (yang mendahului) keterikatan merek.
Dengan demikian, hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut.
Hipotesis 4: Kepuasan merek berpengaruh positif pada Keterikatan merek
Pengaruh Kepercayaan Merek pada Keterikatan Merek
Kepercayaan yang muncul ketika merek dapat memenuhi kebutuhan
konsumen secara konsisten akan mampu mengurangi persepsi resiko
konsumen terhadap merek yang pada akhirnya akan meningkatkan kerelaan
konsumen untuk bergantung atau terikat secara kognitif dan emosional pada
suatu merek dalam hubungan jangka panjang. Dengan kata lain, ketika
konsumen percaya bahwa perusahaan meletakkan kepentingan konsumen di
depan kepentingan perusahaan dan perusahaan tersebut berusaha keras
meningkatkan kesejahteraan pelanggan maka pelanggan akan menjadi lebih
emosional untuk mengikatkan dirinya karena mereka mempercayai usaha
perusahaan tersebut (Park et al., 2006: 208). Dengan demikian seseorang
akan memiliki keterikatan yang kuat pada suatu merek jika mereka percaya
bahwa merek tersebut dapat diandalkan untuk memberikan apa yang mereka
butuhkan dan merek tersebut dirasakan benar-benar memperhatikan
kepentingan terbaik konsumen. Oleh karena itu, semakin konsumen percaya
pada merek maka konsumen akan semakin terikat dengan merek tersebut.
Hasil penelitian Luis dan Lombart (2010), Bouhlel et al. (2009), Lacoeuilhe
dan Belaid (2007), dan Esch et al. (2006) menunjukkan kepercayaan terhadap
merek berpengaruh signifikan pada keterikatan merek. Dengan demikian,
hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut.
Hipotesis 5: Kepercayaan merek berpengaruh positif pada Keterikatan merek
Pengaruh Keterikatan Merek pada Loyalitas Merek
Konsumen akan terikat jika merek dapat memenuhi kebutuhan hedonis,
simbolik, atau fungsional. Terpenuhinya kebutuhan simbolis jika citra merek
yang dipersepsikan oleh konsumen sesuai dengan citra atau konsep diri yang
dimilikinya. Seorang konsumen akan memperlihatkan perasaan yang
mendukung dan menguntungkan pada suatu merek ketika citra merek tersebut
sesuai dengan citra diri mereka (Park dan Lee, 2005). Ini akan menyebabkan
54
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Konsumen lebih suka memilih atau membeli merek yang citranya sesuai
dengan citra diri mereka (Kotler dan Keller, 2009: 198; Graeff, 1996: 482).
Oleh karena itu keterikatan konsumen karena merek dapat memenuhi
kebutuhan simboliknya akan mengarahkan konsumen untuk membeli merek
yang sama ketika konsumen tersebut bermaksud memenuhi kebutuhan yang
sama. Begitupula keterikatan yang terbentuk karena merek mampu memenuhi
kebutuhan hedonis ataupun fungsional konsumen. Keterikatan inipun akan
mengarahkan atau memotivasi konsumen untuk komitmen menggunakan
merek yang sama ketika dia berusaha memenuhi kebutuhannya. Dengan
demikian, keterikatan pelanggan pada suatu merek akan meningkatkan
loyalitas mereka pada merek tersebut. Semakin kuat keterikatan emosional
pelanggan maka semakin kuat pula loyalitas mereka pada merek tersebut.
Hasil penelitian empiris Lacoeuilhe dan Belaid (2007), Sung et al. (2005),
dan Thomson et al. (2005) menunjukkan keterikatan merek berpengaruh dan
dapat memprediksi loyalitas pelanggan pada merek. Dengan demikian,
hipotesis yang dirumuskan adalah sebagai berikut.
Hipotesis 6: Keterikatan merek berpengaruh positif pada loyalitas merek
Peran Keterikatan Merek sebagai Variabel Mediasi
Beberapa studi empiris seperti yang telah dilakukan oleh Luis dan lombart
(2010), Bouhlel et al. (2009), dan Esch et al. (2006) telah menguji hubungan
antara kepercayaan dengan keterikatan merek dengan hasil signifikan. Begitu
pula hasil penelitian Esch et al. (2006) yang menguji hubungan antara
kepuasan dengan keterikatan merek. Selanjutnya penelitian Sung et al. (2005)
dan Thomson et al. (2005) membuktikan bahwa keterikatan merek
berpengaruh pada loyalitas merek. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut,
dapat dilihat bahwa kepuasan dan kepercayaan memiliki pengaruh pada
keterikatan merek yang selanjutnya keterikatan merek berpengaruh pada
loyalitas merek atau dengan kata lain kepuasan dan kepercayaan memiliki
pengaruh tidak langsung pada loyalitas melalui keterikatan merek. Posisi
keterikatan merek yang berada diantara kepuasan dan kepercayaan dengan
loyalitas seharusnya dapat berfungsi sebagai variabel mediasi dalam
hubungan antara kepuasan dan kepercayaan dengan loyalitas merek karena
kepuasan dan kepercayaan merek berpengaruh pada loyalitas merek melalui
keterikatan merek. Dengan demikian, dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut.
Hipotesis 7a: Keterikatan merek memediasi pengaruh kepuasan merek
terhadap loyalitas merek.
55
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Hipotesis 7b: Keterikatan merek memediasi pengaruh kepercayaan merek
terhadap loyalitas merek.
Berdasarkan hipotesis-hipotesis yang telah dibangun sebelumnya, penelitian ini
mengusulkan model penelitian yang ditunjukkan gambar berikut ini.
Kepuasan
Merek
H1 (+)
H4 (+)
Keterikatan
Merek
H2 (+)
H6 (+)
Loyalitas
Merek
H5 (+)
Kepercayaan
Merek
H3 (+)
Gambar 1: Model Penelitian
Sumber: Delgado dan Munuera (2005); Esch et al. (2006); Sung et al. (2005)
C. METODE PENELITIAN
Pemilihan Sampel dan Pengumpulan Data
Responden penelitian ini adalah para pengguna atau konsumen laptop di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode penyampelan yang digunakan adalah
nonprobability sampling. Metode ini digunakan karena probabilitas elemen
populasi yang dipilih atau kerangka sampel dari pengguna laptop di Daerah
Istimewa Yogyakarta tidak diketahui (Cooper dan Schindler, 2008: 395).
Sedangkan teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling.
56
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Purposive sampling adalah metode nonprobability sampling yang disesuaikan
dengan kriteria tertentu (Cooper dan Schindler, 2008: 397). Tipe purposive
sampling yang dipilih adalah judment sampling karena pemilihan anggota
sampel disesuaikan dengan beberapa kriteria yang ditentukan oleh peneliti
secara subjektif untuk mendapatkan anggota sampel yang dapat memberikan
informasi yang dibutuhkan (Cooper dan Schindler, 2008: 397; Crask et al.,
1995). Kriteria pemilihan sampelnya adalah pengguna laptop yang memiliki
sendiri laptopnya dan telah menggunakan laptop tersebut minimal lima bulan.
Roscoe dalam Sekaran dan Bougie (2010: 296) menyatakan bahwa ukuran
sampel yang lebih besar dari 30 dan kurang dari 500 adalah sesuai untuk
sebagian besar penelitian. Sedangkan Hair et al. (2006: 741)
merekomendasikan ukuran sampel minimum 100 sampai 150 untuk
menjamin solusi maximum likelihood estimation yang stabil walaupun 50
masih dapat memberikan hasil yang valid.
Adapun ukuran sampel yang diperlukan untuk analisis faktor adalah paling
sedikit lima kali banyaknya jumlah variabel yang diamati, dan lebih diterima
ukuran sampel yang memiliki perbandingan 10: 1, dengan minimum ukuran
sample adalah 50, lebih disukai 100 atau lebih (Hair et al., 2006: 112). Secara
umum 15 responden untuk setiap parameter yang diuji dalam model SEM
dapat membantu mengurangi masalah penyimpangan normalitas data (Hair et
al., 2006: 740). Untuk mencapai power pengujian kesimpulan statistik
sebesar 80% dengan tingkat alpha 5% dapat dicapai dengan ukuran sampel
sebesar 130 (Hair et al., 2006: 11). Ukuran sampel yang lebih besar dari 130
akan dapat meningkatkan power pengujian kesimpulan statistik. Semakin
besarnya ukuran sampel akan dapat mengurangi kesalahan penyampelan yang
berdampak pada peningkatan kekuatan secara statistik (Hair et al., 2006: 80).
Berdasarkan berbagai pendapat mengenai ukuran sampel, ukuran sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 dikali jumlah indikator atau
pernyataan yang berjumlah 17 butir, sehingga ukuran sampelnya adalah 255.
Untuk menghindari resiko sampel yang cacat dan tidak dapat diolah serta
kemungkinan adanya outlier, maka sampel yang direncanakan ditambah 15
responden sehingga ukuran total sampelnya adalah sebanyak 270. Ukuran
sampel tersebut dapat dijadikan dasar untuk tetap menggunakan data yang
tidak normal dalam estimasi (jika sekiranya data tidak dapat lagi diusahakan
untuk normal), karena ukuran sampel sebesar 270 sudah diatas 255, yang
merupakan hasil dari 15 dikali 17, sehingga dampak negatif atau menggangu
yang ditimbulkan oleh data tidak normal dapat diabaikan (Hair et al., 2006:
81). Pengumpulan data dilakukan dengan menyebar kuesioner yang berisi
daftar pertanyaan dan pernyataan kepada 270 responden yang berada di
Daerah Istimewa Yogyakarta.Selanjutnya, responden diberi kesempatan
57
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
untuk menjawab setiap pertanyaan dan menilai setiap pernyataan dengan teliti
sesuai dengan penilaian responden. Pengembalian kuesioner oleh responden
dilakukan secara langsung kepada peneliti. Dari hasil survey, diperoleh 270
responden yang memenuhi syarat untuk dianalisis. Uji normalitas dengan
nilai critical ratiomultivariate 4,555, menunjukkan data tidak normal. Untuk
mencapai normalitas data dilakukan dengan cara membuang unit sampel yang
memiliki jarak mahalanobis terjauh hingga dicapai nilai kritis multivariate +
2,58 atau 2,58 < nilai kritis >–2,58. Proses penghilangan Unit sampel
menghasilkannilai kritis 2,525, menunjukkan data telah terdistribusi dengan
normal karena nilai kritis tersebut berada di antara nilai acuan data
terdistribusi normal yaitu + 2,58. Proses ini jugamenurunkan ukuran sampel
menjadi 256 responden.
Definisi Operasional dan Pengukuran
Seluruh konstruk diukur dengan menggunakan skala Likert lima point.
Menurut Sekaran dan Bougie (2010:147), Cooper dan Schindler (2008:308),
dan Kerlinger dan Lee (2000:737), pengukuran menggunakan Skala Likert
akan menghasilkan data interval, bukan ordinal. Walaupun terjadi perbedaan
pendapat mengenai skala Likert apakah termasuk skala ordinal atau interval,
skala Likert biasanya diperlakukan sebagai skala interval (Sekaran and
Bougie, 2010:152)
Konstruk yang digunakan dalam studi ini dioperasionalkan sebagai berikut.
Kepuasan merek didefinisikan sebagai evaluasi keseluruhan pembelian total
dan pengalaman mengkonsumsi suatu produk (Delgado et al., 2003: 45).
Kepuasan merek diukur menggunakan tiga butir pernyataan yang digunakan
oleh Chiou dan Droge (2006) untuk mengukur kepuasan secara keseluruhan
(overal satisfaction), yaitu:
1. Saya senang atas keputusan saya memilih merek [X].
2. Bagi saya, menggunakan merek [X] adalah tindakan yang tepat.
3. Secara keseluruhan, saya puas dengan merek [X].
Kepercayaan merek didefinisikan sebagai kesediaan konsumen untuk
bergantung atau percaya pada merek dalam menghadapi risiko (Lau dan Lee,
1999). Kepercayaan merek diukur menggunakan tiga butir pernyataan yang
dikembangkan oleh Li et al. (2008), yaitu:
1. Saya yakin merek [X] dapat dipercaya.
2. [X] adalah Merek yang terpercaya.
3. Saya percaya merek [X]
Keterikatan merek didefinisikan sebagai variabel psikologi yang
memperlihatkan suatu hubungan afektif dengan merek yang langgeng dan tak
berubah (perpisahaan adalah menyakitkan) dan menunjukkan hubungan
58
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
kedekatan secara psikologi dengan merek tersebut (Lacoeuilhe dan Belaid,
2007). Keterikatan merek diukur menggunakan enam butir pernyataan yang
dikembangkan oleh Lacoeuilhe dan Belaid (2007), yaitu:
1. Saya akan kecewa jika saya tidak bisa menemukan laptop merek [X]
ketika saya membutuhkannya.
2. Saya akan sangat sedih apabila laptop merek [X] tidak dijual lagi
dipasaran.
3. Saya akan kecewa apabila saya tidak dapat membeli laptop merek [X].
4. Saya senang menggunakan laptop merek [X].
5. Membeli laptop merek [X] membuat saya senang dan gembira.
6. Saya sangat tertarik dengan laptop merek [X].
Loyalitas merek didefinisikan sebagai komitmen yang dipegang secara
mendalam untuk membeli kembali atau menjadi pelanggan kembali suatu
produk yang lebih disukainya dimasa yang akan datang, dengan demikian
menyebabkan pembelian ulang merek atau sejumlah merek yang sama
meskipun pengaruh situasional dan usaha pemasaran memiliki potensi untuk
menyebabkan perubahan perilaku (Oliver, 1999). Loyalitas terbagi menjadi
dua dimensi yaitu loyalitas sikap dan loyalitas perilaku. Loyalitas merek
untuk loyalitas sikap diukur menggunakan tiga butir pernyataan yang
dikembangkan oleh Yoo dan Donthu (2001) dan untuk loyalitas perilaku
menggunakan dua butir pernyataan yang dikembangkan oleh Chaudhuri dan
Holbrook (2001). Lima butir pernyataan yang digunakan adalah:
1. Saya setia pada laptop merek [X].
2. Laptop merek [X] akan menjadi pilihan pertama saya.
3. Saya tidak akan membeli laptop merek lain apabila [X] tersedia di toko.
4. Saya akan membeli merek [X] ketika saya akan membeli laptop.
5. Saya akan terus membeli laptop merek [X].
Pengujian Instrumen
Tiga jenis validitas instrumen akan diuji dalam penelitian ini. Ketiga validitas
tersebut adalah validitas tampilan, validitas isi, dan validitas
konstruk.Validitas tampilan dan validitas isi diukur oleh orang yang ahli dan
berpengalaman dengan butir-butir pernyataan yang digunakan dalam
penelitian ini. Validitas konstruk terbagi menjadi dua tipe yaitu validitas
konvergen dan validitas diskriminan. Validitas konvergen diuji menggunakan
analisis faktor confirmatory (CFA) dengan batas minimal nilai loading faktor
setiap butir atau indikator adalah ≥ 0,5 (Hair et al., 2006: 777). Indikator atau
butir pernyataan dengan faktor loading dibawah 0,5 tidak akan diikutsertakan
dalam analisis selanjutnya. Instrumen penelitian dinyatakan memenuhi
validitas konvergen jika semua butir atau indikator memiliki nilai loading
59
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
faktor≥ 0,5 hanya di konstruk yang diukurnya. Validitas diskriminan diuji
dengan melihat faktor loading dari masing-masing indikator. Jika semua
indikator tidak ada yang memiliki faktor loading diatas 0,5 di lebih satu faktor
atau komponen, maka instrumen dianggap telah memiliki validitas
diskriminan yang baik, dan ini berarti indikator yang berbeda telah mengukur
konstruk yang berbeda pula.
Hasil pengujian ulang validitas menggunakan analisis faktor setelah
menghilangkan butir TR 4, 5, dan 6 yang tidak mengelompok pada konstruk
yang seharusnya diukur, memperlihatkan masing-masing butir pernyataan
setiap konstruk telah mengelompok pada konstruk yang seharusnya diukur
dengan nilai loading faktor diatas 0,5 dan tidak ada satupun dari butir-butir
tersebut yang memiliki nilai loading pada konstruk yang lain lebih dari 0,5.
Dengan demikian semua konstruk dalam penelitian ini dianggap telah
memenuhi validitas discriminant dan konvergen.
Reliabilitas akan diuji menggunakan Cronbach’s alpha (Neuman, 2006: 190)
dengan koefisien Cronbach’s alpha minimal 0,70 meskipun nilai 0,60 masih
dapat diterima (Hair et al., 2006: 778). Hasil pengujian validitas dan
reliabilitas untuk masing-masing konstruk dengan menggunakan data
keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1: Validitas Konstruk dan Reliabilitas
Loyalitas Kepuasan Keterikatan Kepercayaan
PS1
0,771
PS2
0,795
PS3
0,782
PC1
0,726
PC2
0,835
PC3
0,773
TR1
0,780
TR2
0,837
TR3
0,810
LY1
0,702
LY2
0,725
LY3
0,768
LY4
0,754
LY5
0,749
Cronbach’s
0,905
0,896
0,900
0,922
Alpha
*Hanya nilai loading > 0,5 yang ditampilkan
60
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Penghitungan koefisien Cronbach’s alpha menggunakan bantuan SPSS
setelah mengeluarkan butir TR 4, 5, dan 6 memberikan nilai Cronbach’s
alpha diatas 0,8 untuk semua konstruk. Nilai Cronbach’s alpha untuk
konstruk Loyalitas, Kepuasan, Keterikatan, dan Kepercayaan Merek secara
berturut-turut adalah 0,905; 0,896;
0,900; dan 0,922. Hasil ini
menunjukkan semua butir atau indikator pengukuran dari masing-masing
konstruk telah reliabel.
Metode Analisis Data
Analisis data untuk pengujian hipotesis dilakukan menggunakan structural
equation modeling (SEM) dengan bantuan program AMOS. SEM
digunakan karena penelitian ini menguji model yang memiliki banyak
hubungan antar konstruk laten secara serentak. Teknik estimasi yang akan
digunakan adalah maximum likelihood estimation (MLE). Teknik ini
digunakan karena efisien, dan tidak bias ketika asumsi normalitas terpenuhi.
Walaupun demikian, meskipun asumsi normalitas tidak terpenuhi, MLE
telah terbukti tetap robust (tidak terpengaruh) terhadap pelanggaran asumsi
normalitas (Hair et al., 2006: 743). Pengujian hipotesis dapat dilakukan
setelah model memenuhi nilai GOF yang disyaratkan Penelitian ini
menggunakan banyak indeks kesesuaian (fit) dengan tipe yang berbeda yaitu
X2, CMIN/DF, GFI, AGFI, dan RMSEA (Hair et al., 2006).
Tabel 2. Kriteria Goodness of Fit
Kriteria Indeks Ukuran
Nilai Acuan
2
Chi-Square (X )
Sekecil mungkin
p-value
> 0,05
CMIN/DF
<5
GFI
> 0,90
AGFI
> 0,90
RMSE
< 0,08
Sumber: Hair et al. (2006)
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Model yang diusulkan dalam penelitian ini menghipotesiskan hubungan
struktural antara kepuasan, kepercayaan, keterikatan, dan loyalitas merek.
Hasil estimasi SEM memberikan ukuran-ukuran Goodness of fit model yang
61
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
dapat diterima. Hasil SEM untuk pengujian hipotesis memperlihatkan semua
hipotesis terdukung kecuali hipotesis tiga (H3), yang menyatakan
kepercayaan merek berpengaruh positif pada loyalitas merek. Korelasi antar
konstruk disajikan pada Tabel 3. Hasil SEM untuk Standardized regression
weights, nilai t, nilai p, dan goodness-of-fit model ditampilkan pada Tabel 4
dan Gambar 2.
Tabel 3. Korelasi antar Konstruk
Kepuasan Kepercayaan Keterikatan Loyalitas
.772**
.530**
.640**
Kepercayaan .772**
1
.542**
.638**
Keterikatan .530**
.542**
1
.717**
Kepuasan
1
Loyalitas
.640**
.638**
.717**
**signifikan pada level 0,01 (2-tailed)
Tabel 4. Hasil SEM
Standardized
Hubungan Struktural
Regression
Weights
Kepuasan → Loyalitas
0,280
Kepuasan → Kepercayaan
0,843
Kepercayaan → Loyalitas
0,130
Kepuasan → Keterikatan
0,292
Kepercayaan → Keterikatan
0,343
Keterikatan → Loyalitas
0,548
Goodness-of-Fit Model
Chi-Square
109,87
Degree of Freedom
71
CMIN/ Degree of Freedom
1,547
GFI
0,943
AGFI
0,916
RMSEA
0,046
1
t
p
2,853
13,651
1,355
2,277
2,699
8,055
0,004
0,000
0,176
0,023
0,007
0,000
62
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Kepuasan
Merek
0,280*
0,292*
0,843**
Keterikatan
Merek
0,548**
Loyalitas
Merek
0,343*
0,130
Kepercayaan
Merek
*signifikan pada p < 0,05; **signifikan pada p < 0,01
Chi-Square/df = 1,547; GFI = 0,943; AGFI = 0,916; RMSEA = 0,046.
Gambar 2. Hasil Estimasi SEM
Pembahasan
Loyalitas adalah topik pemasaran yang telah menarik perhatian banyak
peneliti hingga kini, karena banyak perusahaan menghadapi masalah dengan
loyalitas pelanggannya sebagai konsekuensi dari persaingan yang ketat. Dua
konstruk yang tercatat dalam banyak literatur yang telah terbukti dapat
memprediksi loyalitas merek secara empiris adalah kepuasan dan
kepercayaan. Namun seperti apa yang telah dinyatakan oleh Oliver (1999)
bahwa kepuasan yang juga sebagai sumber utama kepercayaan tidaklah
selalu dapat mendorong konsumen untuk loyal, telah memunculkan dugaan
adanya variabel lain yang dapat membantu menjelaskan fenomena ini. Salah
satu dugaan tersebut adalah kemungkinan adanya variabel mediasi yang akan
mampu memperjelas gambaran dan meningkatkan pemahaman yang
berkaitan dengan hubungan kepuasan dan kepercayaan merek dengan
loyalitas merek. Dari berbagai literatur empiris yang tersedia, yang saling
melengkapi satu dengan yang lainnya, sehingga terbentuklah gambaran yang
lebih utuh yang kemudian pada akhirnya mengarahkan pada dugaan bahwa
variabel keterikatan merek memiliki peran sebagai mediator pada hubungan
63
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
antara kepuasan dan kepercayaan merek dengan loyalitas merek. Pengujian
peran mediasi keterikatan merek memberikan konstribusi yang nyata bagi
penelitian di bidang marketing kususnya perilaku konsumen yang akan
meningkatkan pemahaman peran keterikatan merek dan melengkapi
gambaran hubungan yang hilang antara kepuasan dan kepercayaan merek
dengan loyalitas merek. Hasil pengujian secara empiris yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa semua hipotesis yang diajukan untuk menjawab
pertanyaan penelitian telah terdukung, kecuali hipotesis tiga yang menduga
adanya pengaruh kepercayaan merek pada loyalitas merek. Kepuasan merek
telah terbukti secara empiris berpengaruh pada kepercayaan, keterikatan, dan
loyalitas merek. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen yang puas akan
percaya bahwa merek akan konsisten memuaskan konsumen kembali ketika
mereka membeli atau menggunakan merek itu kembali. Konsumen yang puas
akan terikat secara emosional pada merek karena merek tersebut menjadi
bermakna dan penting secara personal bagi dirinya. Konsumen yang puas
akan mengarahkan keputusan mereka untuk memilih merek yang sama ketika
mereka akan menggunakan atau membeli kembali suatu produk. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kepuasan konsumen
terhadap suatu merek maka kepercayaan, keterikatan, dan loyalitas konsumen
pada merek tersebut akan semakin tinggi. Kepercayaan merek telah terbukti
secara empiris berpengaruh pada keterikatan merek. Temuan ini
menggambarkan bahwa konsumen yang percaya pada suatu merek akan
terikat secara emosional pada merek karena mereka percaya bahwa merek
tersebut akan memenuhi kebutuhan mereka yang penting dan bermakna
secara personal bagi konsumen. Bertentangan dengan dugaan awal, ternyata
hasil empiris menunjukkan kepercayaan merek tidak berpengaruh secara
signifikan pada loyalitas merek. Tidak terbuktinya pengaruh kepercayaan
merek pada loyalitas merek memperlihatkan banyak hal, diantaranya bukti
empiris yang diperkuat wawancara mendalam pada beberapa informan yang
sebelumnya menjadi responden telah memperlihatkan bahwa konsumen
laptop meskipun memiliki kepercayaan pada merek laptop yang mereka
gunakan namun tidaklah cukup untuk mempertahankan loyalitas merek
karena ternyata para konsumen tersebut juga percaya pada merek lainnya
dengan tingkatan yang sama bahkan lebih. Sehingga ketika persaingan
semakin tinggi, kepercayaan tidak mampu menjadi peredam munculnya
perilaku berpindah merek yang semakin besar peluang terjadinya karena
adanya faktor individu yaitu perilaku mencari variasi. Hal ini diperparah
dengan munculnya masalah dengan produk yang membuat cacatnya kepuasan
yang berdampak pula pada penurunan kepercayaan konsumen hingga
membuat pengaruh kepercayaan pada loyalitas merek menjadi tidak
64
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
bermakna. Ketika konsumen juga memiliki kepercayaan yang sama bahkan
lebih pada merek yang lain, maka yang membedakan merek yang mereka
gunakan dengan merek lainnya adalah pengalaman kepuasan dan kesesuaian
kebutuhan konsumen dengan merek laptop yang dimilikinya. Pada kondisi
ini, kepuasan terlihat menjadi faktor yang lebih kuat melebihi kepercayaan
merek untuk memprediksi loyalitas merek. Pengalaman pembelian
sebelumnya dan jumlah laptop yang dimiliki berpotensi memoderasi
pengaruh kepercayaan merek pada loyalitas merek. Teori pembelajaran
konsumen memberikan penjelasan mengenai fenomena moderasi ini.
Semakin banyaknya laptop dan pengalaman pembelian yang dimiliki
konsumen menunjukkan konsumen semakin belajar untuk menemukan merek
yang paling sesuai dengan kebutuhan dan yang paling memuaskan mereka.
Pembelajaran ini dalam prosesnya semakin memperkuat tingkat kepercayaan
konsumen pada merek yang menurut mereka paling sesuai dengan kebutuhan
dan yang paling memuaskan sehingga pada akhirnya konsumen merasa
bahwa merek tersebut telah layak untuk menjadi objek loyal mereka.
Keterikatan merek telah terbukti secara empiris berpengaruh pada loyalitas
merek. Ketika konsumen terikat secara emosional pada merek maka
konsumen akan merasa satu dengan merek atau merek dirasa sebagai bagian
dari dirinya dalam usaha pemenuhan kebutuhan mereka. Pada kondisi ini,
merek menjadi sesuatu yang penting dan bermakna secara personal bagi
konsumen. Rasa satu ini akan mendorong konsumen untuk tetap
menggunakan atau membeli merek yang sama setiap kali konsumen akan
menggunakan atau membeli kembali suatu produk. Dengan demikian, ketika
keterikatan konsumen secara emosional terhadap suatu merek semakin
meningkat, maka loyalitas konsumen pada merek tersebut akan semakin
meningkat pula. Peran mediasi keterikatan merek pada hubungan antara
kepuasan dan kepercayaan merek pada loyalitas merek telah terbukti secara
empiris. Keterikatan merek terbukti memediasi pengaruh kepuasan pada
loyalitas merek secara parsial. Keterikatan merek terbukti pula memediasi
pengaruh kepercayaan merek pada loyalitas merek secara penuh. Dengan
terbuktinya peran mediasi keterikatan merek pada hubungan antara kepuasan
dan kepercayaan merek dengan loyalitas merek, maka posisi keterikatan
merek menjadi semakin jelas dan penting dalam perannya membangun
hubungan antara konsumen dengan merek. Keterikatan menjadi variabel yang
sangat penting bagi kepuasan dan kepercayaan merek karena dengan
berperannya keterikatan merek sebagai mediator akan menggandakan besar
pengaruh kepuasan dan kepercayaan merek pada loyalitas merek.
Kepercayaan adalah variabel yang sangat membutuhkan peran mediasi
keterikatan merek dibandingkan kepuasan karena tanpa adanya peran mediasi
65
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
keterikatan merek, pengaruh kepercayaaan pada loyalitas merek menjadi
tidak bermakna.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa kepuasan merek terbukti
memiliki pengaruh positif pada kepercayaan, keterikatan dan loyalitas merek.
Berbeda dengan kepuasan, kepercayaan merek terlihat berpengaruh positif
pada keterikatan merek, namun terbukti tidak berpengaruh secara signifikan
pada loyalitas merek. Hasil pengujian empiris memperlihatkan pula bahwa
keterikatan merek berpengaruh positif pada loyalitas merek. Dengan
demikian, keterikatan merek terbukti memediasi pengaruh kepuasan dan
kepercayaan pada loyalitas merek. kepuasan merek dimediasi oleh keterikatan
merek secara parsial sedangkan kepercayaan merek dimediasi dengan penuh
oleh keterikatan merek. Terbuktinya peran mediasi keterikatan merek
melengkapi gambaran hubungan yang belum sepenuhnya jelas antara
kepuasan dan kepercayaan merek dengan loyalitas merek. Tingginya
kepuasan dan kepercayaan merek namun rendah pada keterikatan merek yang
diikuti pula dengan rendahnya loyalitas merek menjelaskan mengapa
kepuasan dan kepercayaan merek tidak selalu melahirkan loyalitas konsumen
pada merek. Temuan dari penelitian ini memperlihatkan pentingnya para
manajer pemasaran untuk lebih memperhatikan dan meningkatkan kepuasan,
kepercayaan, dan keterikatan merek sebagai upaya untuk memperbesar
loyalitas pelanggan pada merek. Temuan ini memberikan pemahaman yang
lebih baik bagi para manajer pemasaran bahwa meskipun ketiga variabel
tersebut memiliki tingkat pengaruh yang berbeda-beda pada loyalitas merek
namun sesungguhnya ketiga variabel tersebut saling melengkapi dalam upaya
untuk meningkatkan loyalitas pelanggan. Dengan demikian perusahaan
ataupun manajer pemasaran dalam upaya mempertahankan loyalitas
pelanggannya sebaiknya memfokuskan perhatian dan usahanya pada ketiga
variabel tersebut sebagai satu kesatuan atau dengan kata lain, perusahaan
tidak dapat hanya fokus pada salah satu variabel saja, misalnya hanya fokus
pada kepuasan dengan melupakan atau mengabaikan peran variabel lainnya
seperti kepercayaan merek atau keterikatan merek. Dengan memfokuskan
perhatian pada ketiga variabel tersebut sebagai satu kesatuan akan membantu
perusahaan untuk meningkatkan loyalitas pelanggannya dengan lebih
optimal. Keterikatan merek memiliki pengaruh yang besar pada loyalitas
merek, namun memiliki nilai respon rata-rata yang paling rendah
dibandingkan variabel kepuasan dan kepercayaan merek. Dengan demikian,
66
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
variabel yang paling bermasalah namun juga menjadi variabel yang penting
bagi loyalitas merek yang harus mendapat perhatian lebih serius dari para
manajer pemasaran dan perusahaan secara keseluruhan adalah keterikatan
merek. Berbagai cara dapat dilakukan untuk meningkatkan keterikatan merek
diantaranya selain dengan membentuk atau meningkatkan kepuasan dan
kepercayaan pada merek, dapat pula dilakukan dengan membangun citra
merek atau kepribadian merek (Louis dan Lombart, 2010; Swaminathan et
al., 2008) yang sesuai dengan citra diri target market merek tersebut.
Kepribadian merek yang sesuai dengan citra diri aktual ataupun ideal
konsumen akan menjadi media ekspresi diri atau perluasan diri yang akan
memperkaya diri konsumen. Kesesuaian diri konsumen dengan kepribadian
merek ini tidak hanya akan meningkatkan keterikatan merek saja namun akan
dapat meningkatkan kepuasan khususnya kepuasan simbolis dan kepercayaan
merek yang selanjutnya baik kepuasan dan kepercayaan akan meningkatkan
keterikatan merek. Besarnya pengaruh keterikatan merek pada loyalitas
merek akan mampu meningkatkan loyalitas sampai pada tingkat yang
diharapkan. Oleh karena itu penting bagi pemasar untuk memetakan target
market berdasarkan citra diri konsumen yang akan memudahkan pemasar
untuk pemosisian kepribadian merek mereka agar sesuai dengan citra atau
konsep diri target market sehingga merek akan menarik bagi target market.
Pemosisian merek yang mampu membentuk kepribadian merek yang
diharapkan, dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti iklan yang
menghidupkan merek seolah-olah makhluk hidup yang memiliki kepribadian
atau menggunakan endorser yang dapat membentuk kepribadian merekpada
benak konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Amine, A., 1998. “Consumers‟ True Brand Loyalty: The Central Role of
Commitment,” Journal of Strategic Marketing, 6, 305-319.
Assael, H., 2004. Consumer Behavior, a Strategic Approach, New York:
Houghton Mifflin Company.
Belaid, S., and A. T. Behi, 2011. “The Role of Attachment in Building Consumerbrand Relationship: An Empirical Investigation in Utilitarian Consumption
Context,” Journal of Product and Brand Management,20, 37-47.
Bennett, R. and S. Rundle-Thiele, 2004. “Customer Satisfaction Should Not be
The Only Goal,” Journal of Services Marketing,18, 514-523.
67
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Bloemer, J. andK. D. Ruyter, 1998. “On the Relationship Between Store Image,
Store Satisfaction and Store Loyalty,” European Journal of Marketing, 32,
499-513.
Bloemer, J., K. D. Ruyter and P. Peeters, 1998. “Investigating Drivers of Bank
Loyalty: The Complex Relationship between Image, Service Quality and
Satisfaction,” International Journal of Bank Marketing,16,276–286.
Bouhlel, O, N. Mzoughi, D. Hadiji, and I. B. Slimane, 2009. “Brand Personality
and Mobile Marketing: An Empirical Investigation,” World Academy of
Science, Engineering and Technology,53, 703-710.
Bove, L. and B. Mitzifiris, 2007. “Personality Traits and The Process of Store
Loyalty in a Transactional Prone Context,” Journal of Services
Marketing,21, 507–519.
Brakus, J. J., B. H. Schmitt, and L. Zarantonello, 2009. “Brand Experience: What
is It? How is It Measured? Does It Affect Loyalty?” Journal of
Marketing,73, 52-68.
Casalo, L. V., C. Flavian, and M. Guinalıu, 2007. “The Impact of Participation in
Virtual Brand Communities on Consumer Trust and Loyalty: The Case of
Free Software,” Online Information Review, 31, 775-792.
Casalo, L. V., C. Flavian and M. Guinalıu, 2008. “The Role of Satisfaction and
Website Usability in Developing Customer Loyalty and Positive Word-OfMouth in the E-Banking Services,” The International Journal of Bank
Marketing, 26, 399-417.
Cassab, H. and D. L. Maclachlan, 2009. “A Consumer-Based View of MultiChannel Service,” Journal of Service Management, 20, 52-75.
Chaudhuri, A. and M. B. Holbrook, 2001. “The Chain of Effects From Brand
Trust and Brand Affect to Brand Performance: The Role of Brand
Loyalty,” Journal of Marketing, 65, 81-93.
Crask, Melvin, Richard J. Fox, and Roy G. Stout (1995), Marketing Research:
Principles and Applications, Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Day, G. S., 1969. ”A Two-Dimensional Concept of Brand Loyalty,” Journal of
Advertising, 9, 29-35.
Delgado-Ballester, E. and Jose L. Munuera-Aleman, 2005. “Does Brand Trust
Matter to Brand Equity?” Journal of Product and Brand Management, 14,
187–196.
Delgado-Ballester, E., Jose L. Munuera-Aleman and M. J. Yague-Guillent, 2003.
Development and Validation of a Brand Trust Scale, International Journal
of Market Research, 45, 35-53.
Esch, F. R., T. Langner, B. H. Schmitt and P. Geus, 2006. “Are Brands Forever?
How Brand Knowledge and Relationships Affect Current and Future
Purchases,” Journal of Product and Brand Management, 15, 98–105
68
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Graeff, T. R., 1996. “Image Congruence Effects on Product Evaluations: The Role
of Self-Monitoring and Public/Private Consumption,” Psychology and
Marketing, 13, 481-499.
Ha, H.Y. and H. Perks, 2005. “Effects of Consumer Perceptions of Brand
Experience on the Web: Brand Familiarity, Satisfaction and Brand Trust,”
Journal of Consumer Behaviour, 4, 438-452.
Hair, Jr., J.F., W.C. Black, B.J. Babin, R.E. Anderson, and R.L. Tatham, 2006.,
Multivariate Data Analysis, 6th edition, Upper Saddle River: Pearson
Education.
Hess, J. and J. Story, 2005. “Trust-Based Commitment: Multidimensional
Consumer-Brand Relationships,” Journal of Consumer Marketing, 22,
313-322.
Jacoby, J. and D. B. Kyner, 1973. “Brand Loyalty Vs. Repeat Purchasing
Behavior,” Journal of Marketing Research, 10, 1-9.
Kapferer, J. N.,2008.The New Strategic Brand Management, 4th edition, Great
Britain: Kogan Page Limited.
Kerlinger, Fred Nichols and Howard Bing Lee, 2000. Foundations of Behavioral
Research, 4th edition, New York: Harcourt.
Kotler, P. and K. L. Keller, 2009.Marketing Management, 13th edition, New
Jersey: Pearson Prentice Hall.
Lacoeuilhe, J.and S. Belaid,2007. “Quelle(s) Mesure(s) Pour L‟Attachement a La
Marque?” Revenue Fancaise Du Marketing, 3, 7-25.
Lau, G.T. and S.H.Lee, 1999. “Consumers‟ Trust in a Brand and the Link to
Brand Loyalty,” Journal of Market Focused Management, 4, 341–370.
Liang, C.J. and W. H. Wang, 2007. “An Insight Into the Impact of a Retailer‟s
Relationship Efforts on Customers‟s Attitudes and Behavioral Intentions,”
International Journal of Bank Marketing, 25, 336-366.
Louis, D. and C. Lombart, 2010. “Impact of Brand Personality on Three Major
Relational Consequences (Trust, Attachment, and Commitment to the
Brand),” Journal of Product and Brand Management, 19, 114–130.
Matzler, K., S. Grabner-Krauter and S. Bidmon, 2008. “Risk Aversion and Brand
Loyalty: The Mediating Role of Brand Trust and Brand Affect,” Journal of
Product and Brand Management, 17, 154–162.
Morgan, R. M. and S. D. Hunt, 1994. “The Commitment-Trust Theory of
Relationship Marketing,” Journal of Marketing, 58, 20-38.
Neuman, W. L., 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches, 6th edition, Boston New York: Pearson education, inc.
Oliver, R. L., 1999. “Whence Consumer Loyalty?” Journal of Marketing, 63, 3344.
69
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Park, C. W., D. J. MacInnis, and J. Priester, 2006. “Beyond Attitudes: Attachment
and Consumer Behavior,” Seoul Journal of Business, 12, 3-35.
Park, C. W., D. J. MacInnis, and J. Priester, 2006. “Brand Attachment: Construct,
Consequences, and Causes,” Foundation and Trends in Marketing, 1, 191230.
Park, S. Y. and E. M. Lee, 2005. “Congruence Between Brand Personality and
Self-Image, and the Mediating Roles of Satisfaction and Consumer-Brand
Relationship on Brand Loyalty,” Asia Pacific Advances In Consumer
Research, 6, 39-45.
Santouridis, I. and P. Trivellas, 2010. “Investigating the Impact of Service Quality
and Customer Satisfaction on Customer Loyalty in Mobile Telephony in
Greece,” The TQM Journal, 22, 330-343.
Sung, Y. S., E. Park, and M. K. Han, 2005. “The Influences of Brand Personality
on Brand Attachment and Brand Loyalty: Centered on the Differences
between the Brand Community Members and Non-members,” Asia Pacific
Advances In Consumer Research, 6 (Extended Abstract).
Swaminathan, V., K. M. Stilley, and R. Ahluwalia, 2008. “When Brand
Personality Matters: The Moderating Role of Attachment Styles,” Journal
of Consumer Research, 35, 985-1002.
Taylor, S. A., K. Celuch, and S. Goodwin, 2004. “The Importance of Brand
Equity to Customer Loyalty,” Journal of Product and Brand Management,
13, 217-227.
Thomson, M., D. J. MacInnis, and C. W. Park, 2005. “The Ties That Bind:
Measuring The Strenght of Consumers‟ Emotional Attachments to
Brands,” Journal of Consumer Psychology, 15, 77-91.
Wang, G., 2002. “Attitudinal Correlates of Brand Commitment: An Empirical
Study,” Journal of Relationship Marketing, 1, 57-75.
Yen, H. J. R. and K. P. Gwinner, 2003. “Internet Retail Customer Loyalty: The
Mediating Role of Relational Benefits,” International Journal of Service
Industry Management, 14, 483-500.
Yoo, B. and N. Donthu, 2001. “Developing and Validating a Multidimensional
Consumer-based Brand Equity Scale,” Journal of Business Research, 52,
1-14.
Zboja, J. J. and C. M. Voorhees, 2006. “The Impact of Brand Trust and
Satisfaction on Retailer Repurchase Intentions,” Journal of Services
Marketing, 20, 381-390.
70
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
ANALISIS TIPE KEPEMILIKAN TERHADAP STABILITAS KINERJA
BANK KONVENSIONAL
DI INDONESIA
Muslimin
Universitas Lampung
[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh dari kepemilikan strategis
terhadap kinerja bank konvensional. Kepemilikan strategis dikatagorikan dalam
bentuk kepemilikan pemerintah, swasta dan asing. Berbeda dengan regulasi
perbankan yang ada pada negara Malaysia dan Korea Selatan, Indonesia memiliki
perspektif yang berbeda terkait dengan isu kepemilkan asing dalam kontribusinya
terhadap stabilitas sektor finansial. Dengan menggunakan data cross section, hasil
penelitian menunjukan bahwa kepemilikan pemerintah memiliki pengaruh yang
negatif terhadap volatilitas return dan keberadaannya memiliki pengaruh yang
positif terhadap non-performing aset perbankan konvensional. Untuk kepemilikan
swasta, hasil penelitian menunjukan ambiguitas dimana hal itu berhubungan
dengan jenis-jenis bank konvensional yang ada. Terkait dengan isu utama
penelitian, kepemilikan asing menunjukan pengaruh yang negatif terhadap
stabilitas perbankan. Hasil penelitian ini memberikan penguatan argumentasi
bahwa kepemilkan asing yang besar cenderung membuat bank lebih beresiko dan
dapat berkontribusi terhadap ketidakstabilan industri keuangan.
Kata Kunci: Kepemilikan Strategis, Kinerja Bank.
A. PENDAHULUAN
Pada prinsipnya, keberadaan bank adalah memfasilitasi adanya jasa transaksi
dan sharing risiko. Hal ini dilakukan dengan membiayai dan memonitor
proyek-proyek entrepreneur yang dapat menjadi tidak likuid dan memiliki
prospek yang tidak baik yang disebabkan adanya masalah informasi yang
asimetrik semacam adanya adverse selection dan moral hazard. Pada titik
inilah bank berperan sebagai fungsi utama dalam mengatasi masalah informasi
yang asimetrik tersebut. Bank melakukan proteksi terhadap para entrepreneur
yang membutuhkan pembiayaan dari kebutuhan likuditas para investor.
Orientasi utama para investor adalah return dari investasi yang dilakukan para
entreprenurs. Pada posisi dimana proyek-proyek yang dikerjakan oleh para
entrepreneur memiliki return yang rendah, para investor akan menarik dananya
secara besar-besaran yang dapat berdampak pada kepanikan ekonomi yang
berimbas pada berjalannya intermediasi bank. Hal inilah mengapa perbankan
memiliki peran yang penting dalam menjaga stabilitas perekonomian makro.
71
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Dengan fungsinya yang cukup penting dalam menjaga stabilitas perekonomian
tersebut, regulasi perbankan merupakan salah satu media yang dipergunakan
oleh pemerintah untuk mengoptimalkan fungsi bank dalam perekonomian
secara nasional. Salah satu regulasi yang diatur tersebut adalah kepemilikan
bank dimana pengaturannya disesuaikan dengan kepentingan ekonomi
nasionalnya masing-masing. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 yang
menggambarkan berbagai regulasi bank beberapa Negara.
Tabel 1: Regulasi Kepemilikan Bank pada Beberapa Negara
Keterangan
Pembukaan bank
asing
Indonesia
 Tidak dilarang
Bentuk kepemilikan
bank asing
Persyaratan modal
bank asing
Korea Selatan
 Tidak dilarang
Amerika Serikat
 Tidak dilarang
 Kantor Cabang
 Anak Perusahaan
 Anak Perusahaan
 Kantor Perwakilan
 Kantor Cabang
 Anak Perusahaan
 Kantor Cabang
 Anak Perusahaan
 Kantor Perwakilan
 Agensi
 Rp 3 triliyun
 Anak perusahaan
berupa modal
disetor
 Kantor cabang
berupa dana
usaha
 RM300 juta
 100 miliar won
 Anak perusahaan (anak
bank domestic
perusahaan)
 Kantor cabang &
 3 miliar won
agensi tdk
(kantor cabang)
terdapat
persyaratan
permodalan
secara
individual
 Tidak ada
 Ada
 n.a.
Kewajiban go public  Tidak ada
Bila wajib, berapa %
yang harus dijual
Persyaratan modal
minimum untuk bank
baru
Persentase saham
pengendali
Rp3 triliyun
 25%
 Hak suara
 Tindakan
pengendalian
Malaysia
 Tidak dilarang
Anak perusahaan
RM300 juta
 50%
 Memiliki kuasa
dan pengaruh
100 miliar won
(anak perusahaan)
- 3 miliar won
(kantor cabang)
 Tidak ada
 Asing: maksimum  Individu:
 < 4%: tanpa
99%
maksimum 10%
persetujuan
 Badan hukum
 Non-individu:
 < 10%: syarat
domestik:
maksimum 20%
keuangan
maksimal
 >10%: dengan
sebesar modal
persetujuan
bersih
Sumber: Hadad (2003).
Pembatasan
kepemilikan saham
oleh individual dan
badan hukum dan
maks. %
 Tidak ada
n.a.
 10%
 5% atas
pertimbangan
pengawas
 Tidak ada
72
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa regulasi kepemilikan di Indonesia
lebih liberal dan mendekati regulasi pada Negara Amerika Serikat, khususnya
pada hal pembatasan kepemilikan dimana Indonesia cenderung lebih bebas
dibandingkan dengan negara Malaysia dan Korea Selatan. Hal ini tentu sangat
menarik mengingat ketiga Negara asia pada Tabel 1 merupakan Negara-negara
yang terkena imbas krisis moneter dan menderita guncangan ekonomi sebagai
akibat terdevaluasinya mata uang Negara masing-masing. Khusus untuk
Indonesia, hal ini bahkan sampai mengakibatkan pergantian rezim yang
berkuasa. Dengan adanya perbedaan regulasi pada ketiga Negara Asia
tersebut, dapat ditarik garis adanya perbedaan dalam menyikapi peran
kepemilikan, khususnya asing, dalam kontribusinya menjaga stabilitas sector
perbankan. Malaysia dan Korea Selatan relative cenderung berhati-hati
menyikapi kepemilikan asing pada industry perbankannya, sedangkan
Indonesia cenderung lebih melihat factor kepemilikan asing sebagai pendorong
kinerja sector perbankan secara keseluruhan. Dengan kata lain, Indonesia lebih
mendorong terciptanya pasar yang lebih kompetitif pada industry tersebut
melalui terciptanya efisiensi dan harga yang murah yang dapat diterima
nasabah, sedangkan Malaysia dan Korea Selatan lebih melihat kepemilikan
asing sebagai factor yang memicu turbulensi pada industry perbankannya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bermaksud untuk menguji
apakah tipe kepemilikan bank memicu terjadinya instabilitas kinerja bank-bank
konvensional di Indonesia. Selain itu, penelitian ini dimaksudkan juga untuk
dapat berkontribusi dalam penilaian kebijakan kepemilikan asing yang
dilakukan oleh Pemerintah yang memberikan keleluasaan pada penguasaan
mayoritas kepemilikan bank yang beroperasi di Indonesia. Hal ini sangat
penting dilakukan mengingat isu kepemilikan dengan melakukan konsentrasi
kepemilikan telah menjadi subjek yang sangat penting dalam pinsip
pengelolaan perusahaan yang baik dalam literature-literatur good corporate
governance (Demsetz dan Villalonga 2001; La Porta et al. 1998; La Porta et
al.1999b ). Tipe kepemilikan yang akan diuji mengacu pada tipe kepemilikan
strategis yang dalam studi-studi kepemilikan perusahaan mengkatagorikannya
dalam bentuk kepemilikan pemerintah, kepemilikan privat, dan kepemilikan
asing. Pengkatagorian tersebut disebabkan masih minimnya studi-studi
kepemilikan pada level kinerja perusahaan, khususnya dari sisi kepemilikan
pemerintah (Cornett; 2010).
B. LANDASAN TEORITIS
Literatur riset-riset perbankan, biasanya mengacu pada disiplin pasar dimana
fungsi monitoring dan pendisiplinan yang tidak diarahkan pada regulator
perbankan, namun pada investor pasar yang terkait dengan bank yang
dipengaruhi oleh prilaku lembaga intermediasi tersebut. yang memiliki
pengaruh (De Ceuster dan Masschelein; 2003). Hal ini karena dibutuhkan
untuk memperkuat dari studi yang melihat pengaruh aspek regulasi terhadap
73
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
kinerja bank. Kedisiplinan bank dalam melakukan fungsi intermediasinya
sangat tergantung oleh manajer bank bersangkutan. Hal ini karena para
manajer bank memiliki informasi-informasi khusus dibandingkan para pemilik
bank dan nasabahnya dalam proses penyeluran pinjaman. Melalui hal itu, para
manajer memiliki basis negosiasi yang kuat dalam kompensasi mereka sebagai
jalan untuk memperoleh nilai tambah. Dalam kondisi dimana para manajer
melakukan ancaman secara halus kepada para investornya, bank akan memiliki
kesulitan pendanaan yang disebabkan para investor menolak memberikan
suntikan dana baru dan memveto proyek-proyek yang dibiayai oleh bank
bersangkutan. Salah satu mekanisme untuk memonitor para manajer bank
tersebut salah satunya melalui deposito yang dapat ditarik tanpa persyaratan
dengan memfasilitasi investor atau nasabah bank melalui mekanisme
penyediaan informasi yang transparan (Calomiris dan Kahn; 1991). Flannery
(1994) menunjukan pinjaman jangka pendek bank menysratkan bank untuk
secara regular mencari dana di pasar yang secara otomatis dapat
mendisiplinkan para manajer. Melalui deposit jangka pendek tersebut akan
meminimkan motif rente dari para manajer melalui penguasaan informasi yang
dimilikinya.
Rajan (1992) menunjukan bahwa terkait dengan informasi yang dimiliki oleh
para manajer melalui proses pinjaman, bank dapat mengancam untuk
melikuidasi proyek-proyek yang baik untuk mendapatkan surplus dari para
entrepreneur. Jika hal ini diantisipasi, insentif entrepenur akan menjadi lebih
buruk. Melalui ketersediaan informasi, entrepreneurs untuk memilih sumber
pembiayaan lainnya jika menghadapi ancaman likuidasi bank. Tidak adanya
informasi khusus yang ada pada pinjaman bank dan hasil dan perbaikan
likuiditas asset bank dapat dipandang menguntungkan. Namun demikian,
beberapa studi juga menunjukan adanya biaya yang potensial. Myers dan Rajan
(1995) melihat likuiditas asset tidaklah dikehendaki jika hal tersebut
meningkatkan kemampuan manajer dalam mengelola asset yang berlawanan
dengan kepentingan pemilik. Yeyati (1998) melihat bahwa ketika investor
memiliki informasi yang lebih sedikit terkait dengan asset yang dimiliki oleh
bank, bank terlihat lebih stabil karena tingkat bunga akan lebih sensitive
dibandingkan dengan asset-aset yang beresiko. Wagner (2007) menunjukan
bahwa ketidaklikuidan relative dari asset-aset bank memiliki pengaruh yang
menguntungkan jika hal tersebut meningkatkan biaya penjualan asset pada saat
krisis sehingga membuat shareholder lebih bersifat averse terhadap kegagalan
bank. Literature stabilitas perbankan telah menunjukan bahwa likuiditas asset
akan memberikan implikasi stabilitas dengan mempengaruhi risiko
sistemiknya. Adanya kemungkinan bank untuk memperdagangkan asetnya
dengan bank lainya dapat memberikan dampak berkelanjutan karena hal
tersebut menghasilkan dampak terhadap disinformasi yang berkelanjutan
(Aghion; 2000). Diversifikasi interbank call money juga dapat meningkatkan
risiko sistemik bank dengan membuat bank tersebut menjadi kurang beresiko
yang selanjutnya mendorong bank tersebut untuk memegang likuiditas yang
sedikit (Wagner, 2005). Kemampuan bank untuk menjual asetnya dapat juga
meningkatkan risiko sector perbankan menjadi lebih rentan terhadap gonangan
74
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
yang dapat mempengaruhi kerentanan secara keseluruhan terhadap sector
perbankan. Meningkatnya likuditas asset juga implikasi stabilitas yang besar
dengan meningkatnya orientasi pasar dari sistem keuangan (Fecth; 2004).
Studi Barth (2006) menunjukan adanya manfaat factor kepemilikan bank bagi
perusahaan. Kepemilikan bank secara jelas memberikan jalan bagi perusahaan
untuk mendapatkan modal eksternal dari perbankan yang sangat bermanfaat
pada saat kondisi pasar yang mengalami keleseuan (King dan Shivdasani,
1995). Walaupun beberapa teori berpendapat bahwa kepemilikan perbankan
dapat mendorong terjadinya konflik kepentingan, mayoritas studi menunjukan
bahwa bank dapat secara efektif untuk memonitor dan mendisiplinkan
peminjam dan memperbaiki kinerja perusahaan yang pada umumnya terjadi
pada pasar di Negara-negara maju. (Bris, 2008). Berbeda dengan kondisi di
Negara berkembang, langkanya dana yang dapat diintermediasi dan lemahnya
pengelolaann menyebabkan bank tidak dapat berfungsi sebagaimana bank pada
Negara-negara maju. Perbedaan factor hukum dan budaya yang tajam pada
Negara maju dan Negara berkembang merupakan factor yang penting yang
menyebabkan tidak berfungsinya bank di Negara berkembang seperti di
Negara maju ((Barth, 2006; Laeven, 2001). Cull dan Xu (2000, 2005) dan Tian
(2004) menunjukan bagaimana motivasi politik menjadi biaya dari hilangnya
tata kelola yang baik. Hal inilah mengapa kepemilikan bank secara langsung
dapat mempengaruhi kinerja bank yang lebih rendah dibandingkan dengan
Negara maju. Kepemilikan asing menjadi perdebatan yang cukup panjang
dalam studi-studi keterkaitan masuknya bank asing pada Negara yang sedang
berkembang. Claessens (2001) dan Clarke (2001) secara empiris menunjukan
bahwa bank dengan kepemilikan asing mampu untuk meningkatkan kinerja
bank-bank domestic dan memperbaiki ketersediaan kredit baik bagi
perusahaan-perusahaan kecil maupun besar. Studi Levine (1996) menunjukan
bank asing pada pasar negara yang sedang berkembang juga mengurangi
kemungkinan krisis keuangan, walaupun studi oleh Morgan dan Strahan (2003)
menunjukan adanya peningkatan volatilitas investasi perusahaan. Pada Negaranegara yang memiliki kondisi pasar yang buruk, bank-bank asing cenderung
tidak masuk pada Negara bersangkutan.
Studi Mian (2006) menunjukan adanya penyaluran kredit yang rendah terkait
dengan nasabah yang memiki informasi yang tidak jelas dan menunjukan
ketidakefektifan dalam melakukan recovery pinjamannya dibandingkan dengan
bank-bank domestic. Detragiache (2006) juga menunjukan dimana kehadiran
yang cukup banyak dari bank-bank asing terasosiasi dengan rendahnya kredit
terhadap sector privat dan tingkat pertumbuhan kredit yang rendah pada
Negara-negara yang memiliki pendapatan yang rendah, namun hal ini tidak
terjadi pada Negara-negara lain. Hal- hal tersebut menunjukan model dimana
bank-bank asing memiliki kecenderungan yang lebih baik pada kondisi
nasabah yang transparan, namun memiliki kinerja yang buruk dalam
mengevauasi nasabah yang memiliki informasi yang tidak jelas. Pada kondisi
semacam ini, nasabah dengan informasi yang tidak jelas tidak akan menerima
manfaat dan dapat dirugikan oleh masuknya bank-bank asing.
75
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
H1: Kepemilikan Bank oleh Asing memiliki pengaruh yang positif terhadap
kinerja stabilitas bank konvensional di Indonesia
Studi Shleifer (1998) menunjukan tentang perlunya kepemilikan privat menjadi
perusahaan public pada saat insentif untuk melakukan inovasi dan yang
mengandung biaya memiliki porsi yang besar, khususnya pada saat kompetisi
antar para supplier, mekanisme yang bereputasi, dan kemungkinan adanya
biaya provisi yang tidak terkait dengan profit perusahaan semacam patronase
politik dan korupsi memainkan peran penting dalam kompetisi pasar. Hal
inilah yang menyebabkan adanya kepemilikan privat yang tidak optimal.
Sebagimana yang ditunjukan oleh Shleifer dan Vishny (1997) yang
menjelaskan adanya kekuatan monopoli, eksternalitas atau isu-isu
distribusional yang menyebabkan kepemilikan privat bukanlah pilihan yang
terbaik. dibandingkan dengan melakukan perubahan struktur kepemilikan.
Stiglitz (1987) berpendapat bahwa kepemilikan private dengan jumlah investor
yang banyak akan memberikan kualitas dibandingkan perubahan stakeholder
perusahaan. Hal ini disebabkan adanya focus tujuan yang tunggal investor pada
profit perusahaan dan politisi yang didasari oleh semangat public akan
memperbaiki efisiensi dengan jalan mengontrol keputusan-keputusan
perusahaan. Pada beberapa studi terkait dengan kepemilikan pemerintah,
pertimbangan efisiensi mendapat dukungan yang kuat dari studi Hart (1997).
Namun demikian, secara umum studi-studi terkait dengan kepemilikan
pemerintah menunjukan bahwa perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah tidak
berpihak pada kepentingan public (Grossman dan Krueger; 1993). Factor
ketidakefesienan juga ditunjukan oleh Boyco (1995) dan Dewenter dan
Malatesta (2001). Studi-studi tersebut menyimpulkan bahwa kepemilikan
pemerintah pada perusahaan tanpa dikaitkan dengan tujuan sosialnya sebagai
alasan ketidakefesienan adalah inkonsisten dengan ide bahwa kepemilikan
pemerintah dapat mengarahkan pada efisensi kinerja pada profit yang optimum
dimana perusahaan privat tidak dapat melakukannya. Selain itu, factor birokrat
politik sering memiliki konflik dengan perbaikan kesejahteraan social yang
didasari oleh kepentingan politik.
Secara umum, studi-studi terkait dengan kepemilikan pemerintah pada bank
dapat diklasifikasikan menjadi tiga katagori (Cornett; 2010). Katagori pertama
adalah katagori studi yang mempergunakan data level Negara untuk menguji
kepemilikan pemerintah pada pembangunan ekonomi dan keuangan pada
berbagai Negara (La Porta; 2000). Kedua adalah studi yang menguji perbedaan
prilaku pinjaman antara bank-bank yang dimiliki oleh Negara dan privat
semacam studi oleh Sapienza (2004), Khwaja dan Mian (2005). Katagori
ketiga adalah studi yang menginvestigasi perubahan prilaku bank yang dimiliki
oleh pemerintah menjadi bank yang dimiliki oleh privat pada beberapa kasus
semacam pada saat pemilihan umum pada berbagai Negara (Dinc; 2005).
Namun demikian, terdapat sumber yang masih langka untuk melakukan studi
bagaimana kepemilikan pemerintah dalam mempengaruhi kinerja pada level
perusahaan dan bagaimana kepemilikan pemerintah mempengaruhi kinerja
pada saat krisis.
76
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
H2: Kepemilikan Bank oleh Swasta Nasional memiliki pengaruh yang positif
terhadap kinerja stabilitas bank konvensional di Indonesia.
H3 : Kepemilikan Bank oleh Pemerintah memiliki pengaruh yang negative
terhadap kinerja stabilitas bank konvensional di Indonesia.
C. METODE PENELITIAN
Data yang diperlukan pada penelitian ini adalah laporan keuangan tahunan
bank tahun 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah bank yang
mempublikasikan laporan keuanganya melalui Bank Indonesia dan sampel
penelitian ini adalah bank konvensional yang beroperasi di Indonesia dan
mempublikasikan laporan keuangannya melalui Bank Indonesia. Data tersebut
dianalisis dengan menggunakan data cross section dari seluruh sampel bank.
Model yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BSROAV = α + β1NIM + β2LLP + β3NLTA + β4CIR + β5LDR + β6Dgov + β7Dfrg
+ β8Dpriv+ ε
BSNPA = α + β1NIM + β2LLP + β3NLTA + β4CIR + β5LDR + β6Dgov + β7Dfrg +
Dimana:
β8Dpriv+ ε
BSROAV
BSNPA
NIM
LLP
NLTA
CIR
LDR
Dgov
Dfrg
Dpriv
= Standar Deviasi ROA
= Non-Performing Asset
=Net Interest Margin
= Loan loss provision over total Loans
= net loan to total Asset
= cost income ratio
= Loan to Deposit Ratio
= Dummy Kepemilikan Pemerintah
= Dummy Kepemilikan Asing
= Dummy Kepemilikan Private (Swasta Nasional)
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil perhitungan menunjukan dengan model penelitian sebelum memasukan
jenis bank, stabilitas bank yang diukur dari standar deviasi return dari aset
bank (ROA)menunjukan dipengaruhi oleh kredit lancar yang disalurkan oleh
bank (NLTA) dengan signifikansi 5%. Pengaruh dari kredit lancar ini terlihat
negatif terhadap volatilitas return yang diterima oleh bank. Hal ini
menunjukan bahwa semakin tinggi kredit lancar yang dimiliki oleh bank,
akan berpengaruh negatif atau mengurangi volatilitas kredit yang disalurkan
oleh bank. Keseluruhan variabel yang diamati terlihat menunjukan pengaruh
77
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
yang negatif terhadap volatilitas return yang dihasilkan. Dengan variabel
NIM, semakin tinggi margin yang diterima oleh bank, maka akan semakin
mengurangi volatilitas return. Demikian pula dengan besarnya biaya provisi,
total biaya dan besarnya kredit dari DPK yang dihimpun oleh bank. Namun
demikian, secara simultan varibel-variabel tersebut tidak memiliki
signifikansi dan memililiki tingkat determinasi yang rendah untuk
menjelaskan variabel-variabel tersebut. Hal ini terlihat pada nilai Adjusted R2
yang sangat kecil.
Terkait dengan memasukan variabel jenis bank yang ada, kredit lancar
(NLTA) terlihat menunjukan konsistensinya dalam mempengaruhi volatilitas
return bank, yang ditunjukan dengan tingkat signifikansi sebesar 5% jika
variabel-variabel jenis bank dimasukan kedalam model. Namun demikian,
kharaterisknya cenderung sama dimana secara simultan variabel-variabel
tersebut tidak memiliki signifikansi dan dengan tingkat determinasi yang
rendah. Terkait dengan proxy stabilitas bank yang diukur dari proporsi aset
yang tidak sehat, variabel kredit terhadap DPK menunjukan konsistensinya
dalam model yang dipergunakan serta didukung oleh tingkat determinasi
yang tinggi dan signifikansi yang kuat. Dengan tidak memasukan variabel
jenis bank, variabel LDR ini menunjukan tingkat signifikansi sebesar 1% dan
koefisien determinasi sebesar 91,7%, dan hal yang sama didapat pada saat
memasukan variabel dari berbagai jenis bank yang ada dengan variasi
determinasi diatas 90%. Dari berbagai variabel jenis bank yang ada, jenis
bank persero terlihat menunjukan pengaruh yang positif signifikan sebesar
1% terhadap kredit lancar yang disalurkan, sedangkan untuk jenis BUSD
terlihat memiliki pengaruh yang negatif sebagaimana jenis bank campuran
dan memiliki pengaruh negatif pada jenis bank BUSND. Namun demikian,
untuk ketiga jenis bank terlihat tidak memiliki signifikansi. Hasil perhitungan
secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
Hasil Perhitungan Model Penelitian
78
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Berdasarkan dua proxy yang dipergunakan untuk mengukur stabilitas bank
konvensional, proxy standar deviasi dari return bank (ROA) dipengaruhi
secara parsial oleh kredit lancar yang dimiliki oleh bank, sedangkan variabelvariabel lainnya tidak menunjukan pengaruh yang nyata terhadap volatilitas
return bank. Margin yang dimiliki oleh bank masih tidak menjamin stabilitas
return yang diharapkan oleh bank karena masih adanya variabel-variabe biaya
lain yang harus diperhitungkan dari margin yang diharapkan tersebut,
khususnya terkait dengan biaya-biaya yang cenderung berubah sesuai dengan
kondisi dan keadaaan bank dan pasar perbankan.
Besarnya biaya provisi pun tidak menjamin stabilitas return bank. Kondisi ini
disebabkan proses berjalannya kredit dalam jangka panjang yang dipengaruhi
oleh banyak faktor. Besarnya provisi bank hanya sedikit mengurangi
stabilitas return dalam jangka pendek pada saat awal kredit diberikan kepada
para nasabah. Biaya-biaya lainnya terkait dengan kredit yang diberikan oleh
bank pun tidak secara signifikan mempengaruhi stabilitas return bank.
Pengaruhhnya terlihat sangat kecil untuk dapat menjamin stabilitas return
yang diharapkan. Hal yang sama juga terjadi dengan variabel kredit yang
diberikan terhadap proporsi DPK bank dimana variabel yang menunjukan
peran intermediasi tersebut tidak dapat menjamin stabilitas return.
Pertimbangan penyaluran DPK sebagai kredit tidak menjamin bahwa hal
tersebut menjamin return yang didapat sehingga bank akan
mempertimbangkan instrumen-instrumen lainnya yang memiliki risiko yang
kecil dibandingkan harus menyalurkannya dalam bentuk kredit.
Proxy stabilitas bank lainnya adalah keberadaan aset yang kurang sehat dalam
komposisi aset bank. Variabel ini relatif dapat dijelaskan dengan sangat baik
oleh model yang dipergunakan dengan determinasi dan signifikansi yang
tinggi. Keberadaan aset yang tidak sehat direpresentasikan oleh kredit yang
diragukan pengembaliannya oleh bank, yang dipengaruhi oleh proporsi kredit
terhadap dana pihak ketiga yang dimiliki oleh bank. Hal ini mengindikasikan
bahwa proporsi aset yang tidak sehat cenderung meningkat jika kredit
diberikan pada non-nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Aset yang
tidak sehat akan semakin besar jika proporsi kredit lebih besar dari jumlah
dana pihak ketiga yang ada pada bank. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk
menjamin stabilitas bank dengan jalan mengurangi potensi kredit macet yang
ada pada bank, bank harus memprioritaskan nasabah bank bersangkutan
untuk mendapatkan kredit atau pembiayaan proyek dari bank.
Hal yang menarik adalah adanya pengaruh yang berbeda dari jenis bank
terhadap kredit yang tidak sehat yang ada pada bank. Bank persero terlihat
memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap jumlah aset yang tidak
sehat yang dimiliki oleh bank. Hal ini dapat mengindikasikan adanya
pembiayaan atau kredit yang lebih beresiko yang dilakukan oleh bank
persero. Dengan kepemilikan oleh negara, bank persero cenderung lebih
agresif untuk mengalokasikan pembiayaan proyek dengan risiko yang tinggi.
79
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Hal ini dapat disebabkan oleh mudahnya bank persero untuk mendapatkan
jaminan pemulihan kerugian jika kredit yang diberikan mengalami kemacetan
karena adanya jaminan negara.
Jenis bank lainnya yang memiliki pengaruh positif terhadap proporsi aset
yang kurang sehat adalah bank umum swasta nasional non devisa. Dengan
operasi bank yang dibatasi oleh lingkup internal atau di dalam negeri, bank
BUSND cenderung memiliki pengaruh yang positif disebabkan oleh
operasinya yang bersifat lokal dan tidak melayani lalu lintas pembayaran luar
negeri. Bank jenis ini lebih cenderung untuk melakukan kegiatan-kegiatan
intermediasi sebagai kegiatan utama bank sehingga komposisi aset tidak
sehatnya cenderung lebih dipengaruhi oleh fungsi intermediasi di dalam
negeri. Dengan tidak diizinkannya melakukan aktivitas lalulintas pembayaran
luar negeri, proporsi aset bank akan lebih besar pada kredit dan hal tersebut
akan meningkatkan proporsi aset tidak sehatnya. Namu demikian, pengaruh
positif dari jenis bank BUSND ini tidak signifikan mempengaruhi besarnya
kredit yang tidak sehat pada bank BUSND.
Pengaruh negatif ditunjukan oleh BUSD dan Bank Asing. Dengan wilayah
operasi yang lebih luas, kedua jenis bank tersebut berkecenderungan memiliki
potensi untuk mendiversifkasi asetnya, khususnya valas, dibandingkan
dengan BUSND yang cenderung lebih banyak pada kredit. Kecenderungan
tersebut menyebabkan bank lebih banyak memiliki aset yang likuid dalam
bentuk devisa yang sewaktu-waktu dapat dikonversi menjadi cash sehingga
meminimumkan proporsi aset tidak lancarnya. Dengan semakin banyaknya
proporsi aset dalam bentuk valas yang dipergunakan untuk melayani
lalulintas pembayaran akan semakin mengurangi proporsi aset yang tidak
sehat yang ada pada bank, khususnya dalam bentuk aset kredit.
Dengan demikian, secara keseluruhan, dari kedua proxy yang dipergunakan
untuk mengukur stabilitas bank, net performing aset merupakan variabel yang
dapat menjelaskan dengan baik kondisi stabilitas bank dibandingkan dengan
volatilitas ROA . selain menunjukan determinasi yang tinggi, proxy NPA
juga memiliki tingkat signifikansi yang tinggi serta memberikan gambaran
perbedaan dari jenis bank terhadap proxy ini.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil perhitungan dan pembahasan, simpulan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut: (i) Kepemilikan pemerintah yang diproxy dengan
bank persero menunjukan pengaruh yang berbeda terhadap proxy stabilitas
bank. Pada proxy volatilitas return kepemilikan pemerintah menunjukan
pengaruh negatif, namun memiliki pengaruh yang positif terhadap proxy non
performing asset-nya (NPA). Dengan demikian, hipotesis pengaruh
kepemilikan pemerintah memiliki pengaruh negatif terhadap stabilitas kinerja
80
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
bank terdukung sebagian. (ii) Kepemilikan swasta yang diproxy dengan
BUSD dan BUSND menunjukan pengaruh positif pada proxy volatilitas
ROA, namun keduanya memiliki pengaruh yang berbeda terhadap proxy
NPA dimana BUSD menunjukan pengaruh negatif, sedangkan BUSND
memiliki pengaruh yang positif. Dengan demikian, hipotesis pengaruh
kepemilikan swasta menunjukan pengaruh yang positif terhadap stabilitas
bank ditunjukan dengan baik oleh jenis bank BUSD, namun BUSND
memiliki ambigiutas terhadap proxy NPA. (iii) Kepemilikan asing yang
diproxy dengan Bank Campuran menunjukan pengaruh yang negatif terhadap
stabilitas bank untuk kedua proxy. Dengan demikian, kepemilikan asing
memiliki pengaruh yang positif terhadap kinerja stabilitas bank tidak terbukti
melalui penelitian ini. (iv) Dari kedua proxy yang dipergunakan untuk
mengukur kinerja stabilitas bank, proxy NPA terlihat memiliki determinasi
dan signifikansi yang lebih baik dibandingkan dengan proxy volatilitas return
bank. Berdasarkan hal tersebut, kesimpulan-kesimpulan penelitian dapat
mengacu pada modela dan proxy NPA yang dipergunakan dalam penelitian
ini. Berdasarkan kesimpulan diatas, saran yang dapat diberikan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut; (i) Kepemilikan pemerintah pada bank
dengan pengaruhnya yang positif terhadap NPA dapat menjadi indikasi
pembiayaan bank pemerintah pada proyek-proyek dengan risiko yang tinggi.
Pemerintah harus mencermati kemanfaatan proyek-proyek yang dibiayai
tersebut dari sisi kemanfatan kinerja internal bank dan aspek ekonomisnya
secara makro, khususnya dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Selama
ada keterkaitan proyek dengan risiko yang tinggi tersebut dengan programprogram pembangunan, pemerintah perlu melakukan pengawasan yang lebih
ketat untuk menghindari motif rent seeking dari kredit yang disalurkan oleh
bank persero tersebut.(ii) Pengaruh yang positif juga ditunjukan oleh jenis
Bank Umum Swasta Non Devisa. Dengan operasinya yang terbatas dalam
lingkup nasional dan tidak melakukan transaksi lalulintas pembayaran, jenis
bank ini akan lebih banyak beroperasi pada insrtumen loan dan instrumen
likuid lainnya semacam SBI atau financial lainnya. Pemerintah harus
mencermati intermediasi yang dilakukan oleh bank jenis ini karena memiliki
pengaruh yang positif terhadap proprosi aset tida sehatnya, yang jika tidak
terkontrol dapat mempengaruhi stabilitas keuangan secara makro.(iii) Untuk
penelitian lebih lanjut, proxy dari kepemilikan ini dapat menggunakan
pengukuran lainnya selain dummy variabel untuk menguji kekonsistenan
hasil penelitian.
81
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
DAFTAR PUSTAKA
Agarwal, Rajshree., Gort, Michael. 1996. The evolution of markets and entry, exit
and survival of firms. The review of Economics and Statistics, MIT Press.
pp. 489-498.
Agarwal, Rajshree., Gort, Michael. 1996. Firm and product life cycles and firm
survival. The American Economic Review, Vol. 2, pp. 184-190.
Audretsch, David B. 2007. Entrepreneurship capital and economic growth. Oxford
Review of Economic Policy, Vol. 23, pp.63 – 78.
Audretsch, D.B., Fritsch, M. 2002. Growth regimes over time and space. Regional
Studies, Vol. 36 (2), pp. 113–24.
Audretsch, D.B., Keilbach, M. 2004. Entrepreneurship and regional growth: An
evolutionary interpretation. Journal of Evolutionary Economics, Vol. 14
(5), pp. 605–616.
Balasubramanian, Natarajan., Lee, Jeongsik. 2008. Firm Age and Innovation.
Industrial and Corporate Change, Vol. 17, pp. 1019–1047.
Benneworth, P., Charles, D. 2005. University spin-off policies and economic
development in less successful regions: Learning from two decades of
policy practice. European
Planning Studies, Vol. 13, pp. 537–557.
Cassiman, Bruno., Ueda, Masako. 2006. Optimal Project Rejection and New
Firm Start Ups. Management Science, Vol. 52, pp. 262–275.
Cornett, A.P. 2009. Aims and strategies in regional innovation and growth policy:
A Danish perspective. Entrepreneurship and Regional Development,
Vol. 21, pp. 399-420.
Feldman, M.P. 2001. The entrepreneurial event revisited: Firm formation in a
regional context. Industrial and Corporate Change, Vol. 10 (4), pp. 861–
891.
Fischer, M.M., Nijkamp, P. 2009. Entrepreneurship and regional development, in
R. Capello and P. Nijkamp, (Eds.), Handbook of Regional Growth and
Development Theories, pp. 182-198. Edward Elgar, Cheltenham, UK.
Griliches, Z. 1979. Issues in Assessing the Contribution of Research and
Development to Productivity Growth. Bell Journal of Economics, Vol.
10, pp. 92 – 116
Henderson, J., Weiler, S. 2010. Entrepreneurs and job growth: Probing the
boundaries of time and space. Economic Development Quarterly, Vol.
24, pp. 23-32
Huggins, R. 1997. Regional competitive specialization: Development agency
sector initiatives in Wales. Area, Vol. 29 (3), pp. 241–252
Huggins, R., Johnston, A.2009. Knowledge networks in an uncompetitive region:
SME innovation and growth. Growth and Change, Vol. 40 (2), pp. 227–
259.
Huggins, R., Williams, N.2009. Enterprise and public policy: A review of Labour
government intervention in the United Kingdom. Environment and
Planning C. Government and Policy, Vol. 27 (1), pp. 19–41.
82
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Hofstede, G. 1991.Cultures and organizations: Software of the mind. London.
McGraw-Hill.
Kaufmann, D., Kraay, A. 2010. Growth Without Governance, World Bank Policy,
World Bank Research Working Paper 2928.
Klepper, Steven J. 1996. Entry, Exit, Growth, and Innovation Over the
Product Life Cycle. American Economic Review, Vol. 86, pp. 532 –583.
Kusumastuti, S.Y., 2008. Derajat Persaingan Industri Perbankan Indonesia
Setelah Krisis Ekonomi, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 23
(1): 29-42
Lagendijk, A., Lorentzen, A. 2007. Proximity, knowledge and innovation in
peripheral regions. On the intersection between geographical and
organizational proximity. European Planning Studies, Vol. 15 (4), pp.
457–466
Lorentzen, A. 2008. Knowledge networks in local and global space.
Entrepreneurship and Regional Development, Vol. 20, pp. 533-545.
Lucas, R. (1993), „Making a Miracle‟. Econometrica, Vol. 61, pp. 251–272.
Michael, S.C., Pearce, J.A. 2009. The need for innovation as a rationale for
government involvement in entrepreneurship. Entrepreneurship and
Regional Development, Vol. 21, pp. 285-302.
Minniti, M. 2005. Entrepreneurship and network externalities. Journal of
Economic Behavior and Organization, Vol. 57 (1), pp. 1–27.
Mulyaningsih, T. dan A. Daly. 2011. Competitive Conditions In Banking
Industry: An Empirical Analysis Of The Consolidation, Competition And
Concentration In The Indonesia Banking Industry Between 2001 And
2009, Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, (Oktober): 151 – 186
Mueller, P. 2006. Entrepreneurship in the region: Breeding ground for nascent
entrepreneurs?. Small Business Economics, Vol. 27 (1), pp. 41–58.
Nijkamp, P. 2009. Entrepreneurship, development, and the spatial context:
Retrospect and prospect, UNU WIDER Research Paper RP 2009/08.
North, D., and D. Smallbone. 2000. Innovative activity in SMEs and rural
economic development: Some evidence from England. European
Planning Studies, Vol. 8, pp. 87–106.
Parker, S.C. 2004. The economics of self-employment and entrepreneurship.
University Press – Cambridge.
Romer, P. 1986. „Increasing Returns and Long-run Growth‟. Journal of Political
Economy, Vol. 94, pp. 1002 – 1037.
Sautet, F., Kirzner, I. 2006. The nature and ole of entrepreneurship in markets:
Implications for policy. Policy Primer No. 4, Mercatus Policy Series,
George Mason University.
Saxenian, A. 1996. Regional advantage: Culture and competition in Silicon
Valley and route 128. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Schwartz, M., Gothner, M. 2009. A multidimensional evaluation of the
effectiveness of business incubators: An application of the
PROMETHEE outranking method. Environment and Planning C,
Vol.27, pp. 1072-1087.
83
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
Siregar, Suzanna Lamria, S.L. 2007. Model Suominen Untuk Penetapan Indeks
Derajat Kompetisi Industri Perbankan, (Agustus): Vol. 2: 1858-2559
Turok, I. 2004. Cities, regions and competitiveness. Regional Studies, Vol. 38 (9),
pp. 1069–1083
Valliere, D., Peterson, R. 2009. Entrepreneurship and economic growth: Evidence
from emerging and developed countries. Entrepreneurship and Regional
Development, Vol. 21, pp. 459-480
Vaz, T., and Nijkamp, P. 2009. Knowledge and innovation: The strings between
global and local dimensions of sustainable growth, Entrepreneurship and
Regional Development, 21, 441-455.
Verheul, I., Wennekers, S., Audretsch, D,. Thurik, A.R. 2001. An eclectic theory
of entrepreneurship: Policies, institutions and culture. Tinbergen Institute
Discussion Paper TI 2001-030/3
Virkkala, S. 2007. Innovation and networking in peripheral areas: A case study of
emergence and change in rural manufacturing. European Planning
Studies, Vol. 15 (4), pp. 511–529.
Werker, C., Athreye, S.2004. Marshall‟s disciples: Knowledge and innovation
driving regional economic development and growth. Journal of
Evolutionary Economics, Vol. 14 (5), pp. 505–523.
______, www.bi.go.id
84
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Jurnal Manajemen, Vol. 4, No. 1, Agustus 2014
85
Diterbitkan oleh Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Serang Raya
Download