BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Inflamasi merupakan respon yang normal akibat pertahanan tubuh untuk mengeliminasi patogen, mencegah penyebaran kerusakan jaringan dan memperbaiki jaringan yang rusak akibat gejala patologi suatu penyakit. Apabila inflamasi tidak terkontrol dan terjadi pada tempat dan waktu yang tidak tepat, maka akan menyebabkan masalah yang dapat mengganggu keseimbangan homeostasis tubuh (Muller, 2002). Proses inflamasi diawali dengan terjadinya perlukaan jaringan yang menyebabkan masuknya senyawa eksogen yang dapat memacu pelepasan mediator inflamasi. Mediator yang paling memegang peranan penting dalam terjadinya respon inflamasi adalah histamin, kinin, prostaglandin, komplemen dan limfokin. Mediator inflamasi akan menyebabkan timbulnya 4 tanda utama inflamasi yakni kemerahan, panas, pembengkakan, nyeri dan hilangnya fungsi jaringan. Inflamasi yang dibiarkan dapat sembuh dengan sendirinya atau dapat berkembang lebih lanjut sehingga memiliki efek yang kronis. Inflamasi dapat diobati dengan obat yang berefek farmakologis sebagai agen antiinflamasi. Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat antiinflamasi terbagi menjadi golongan steroid dan golongan antiinflamasi non-steroid (AINS). Penggunaan obat AINS dan steroid sering menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, seperti 1 2 gangguan pencernaan, pertumbuhan, dan sistem imun sehingga perlu dikembangkan obat baru yang aman bagi pasien. Gamavuton-0 (GVT-0), merupakan salah satu analog kurkumin dengan nama kimia 1,5-bis(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-1,4-pentadien-3-on. Secara alami, senyawa tersebut diisolasi dari rimpang Curcuma domestica (Masuda dkk., 1993) dan Curcuma longa L. (Park dan Kim, 2002). Senyawa tersebut mirip dengan kurkumin karena sama-sama mempunyai gugus hidroksi dan gugus metoksi pada rantai aromatiknya. Perbedaannnya bahwa senyawa tersebut mempunyai kerangka 1,5-difenil-1,4-pentadien-3-on sedangkan kurkumin adalah 1,7-difenil-1,6-heptadien-3,5-dion. Modifikasi kurkumin menjadi senyawa GVT-0 dimaksudkan untuk memperbaiki stabilitas kurkumin, yang dipengaruhi oleh pH dan cahaya. GVT-0 lebih stabil dalam pH asam, sedangkan pada pH basa mudah mengalami dekomposisi. Administrasi senyawa GVT-0 sangat terbatas melalui rute parenteral, khususnya intravena dan subkutan karena rendahnya bioaviabilitas senyawa pada pemberian secara per oral. Hal ini disebabkan karena terdapat kekurangan pada sifat fisika kimia GVT-0, yaitu kelarutan dalam air yang sangat rendah. Kelarutan yang buruk mempengaruhi bioaviabilitas senyawa tersebut, khususnya apabila diberikan dalam bentuk sediaan oral (Martien, 2011). Hambatan tersebut dapat diatasi dengan sistem penghantaran yang murah dan mempunyai kemampuan yang diinginkan, seperti mukoadesif, protektif, meningkatkan solubilitas, meningkatkan penyerapan dan dapat mengontrol pelepasan obat. 3 Salah satu strategi yang dapat dilakukan yaitu dengan memformulasikannya dengan polimer tertentu menjadi sediaan nanopartikel yang bersifat lebih mudah larut dalam air. Formulasi tersebut adalah dengan memodifikasi GVT-0 dengan kitosan dalam bentuk nanopartikel (Martien, 2011). Uji daya antiinflamasi senyawa nanopartikel GVT-0 dengan kitosan secara in vivo dengan menggunakan metode udem kaki tikus terinduksi karagenin belum pernah dilakukan, sehingga dengan adanya penelitian ini dapat diketahui seberapa efektif pengaruh formulasi nanopartikel kitosan. Cara untuk mengetahui apakah suatu senyawa memiliki efek antiinflamasi adalah dengan mengukur nilai DAI. Nilai DAI tiap perlakuan diperoleh dari AUC dari perubahan volume udem selama 6 jam yang dibandingkan dengan kontrol pembawa maupun pelarut. Nilai DAI setiap perlakuan akan dibandingan untuk mengetahui efektifitas daya antiinflamasi nanopartikel GVT-0 kitosan. B. Rumusan Masalah 1. Apakah GVT-0 yang diformulasi dalam bentuk nanopartikel dengan kitosan memiliki efek antiinflamasi yang lebih baik apabila dibandingkan dengan GVT-0 ? 2. Berapa nilai DAI GVT-0 yang diformulasi dalam bentuk nanopartikel dengan kitosan? 4 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui apakah GVT-0 yang diformulasi dalam bentuk nanopartikel dengan kitosan memiliki efek antiinflamasi yang lebih baik apabila dibandingkan dengan GVT-0. 2. Mengetahui nilai DAI GVT-0 yang diformulasi dalam bentuk nanopartikel dengan kitosan pada udem kaki tikus betina galur wistar yang diinduksi karagenin. D. Tinjauan Pustaka 1. Inflamasi a. Tinjauan umum Inflamasi adalah salah satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator inflamasi di dalam sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi. Proses inflamasi merupakan suatu mekanisme perlindungan tubuh dimana tubuh berusaha untuk menetralisir dan membasmi agen-agen yang berbahaya atau bahan infeksi pada tempat cedera serta mempersiapkan keadaan selanjutnya yang dibutuhkan oleh jaringan (Kee dan Hayes, 1996). Ciri khas inflamasi dikenal dengan tanda-tanda utama inflamasi, yaitu rubor (kemerahan), tumor (pembengkakan), calor (panas), dolor (nyeri), 5 dan functio laesa (kehilangan fungsi) (Kee dan Hayes, 1996). Inflamasi dibagi menjadi 3 tipe, yaitu inflamasi akut, subkronis dan inflamasi kronis. Inflamasi akut dikarakterisasi dengan vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler. Pada inflamasi akut durasinya pendek. Pada inflamasi sub kronis, ditandai dengan infiltrasi leukosit dan sel fagosit sedangkan pada inflamasi kronis ditandai dengan penurunan fungsi jaringan dan terdapat fibrosis jaringan (Kumar dkk., 2005). Proses inflamasi diawali dengan adanya gangguan aliran darah yang terjadi akibat kerusakan jaringan dalam. Hal tersebut menyebabkan masuknya senyawa eksogen yang dapat memacu pelepasan mediator inflamasi. Mediator yang paling memegang peranan penting dalam terjadinya respon inflamasi adalah histamin, kinin, prostaglandin, komplemen dan limfokin. Mediator inflamasi akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah di sekitar area yang mengalami luka sehingga daerah yang mengalami inflamasi menjadi merah dan panas. Mediator inflamasi juga akan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah lokal, sehingga eksudat yang mengandung protein dan antibodi akan merembes dari pembuluh darah ke jaringan. Eksudat tadi akan menyebabkan udema atau pembengkakan menekan syaraf dan menyebabkan sensasi nyeri. Proses ini juga menyebabkan hilangnya kemampuan normal pembuluh darah untuk menahan cairan dan sel-sel intravaskuler (Ward, 1993) 6 b. Inflamasi akut Inflamasi akut merupakan reaksi segera jaringan terhadap berbagai macam agen penyebab yang merugikan dan dapat berakhir dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Penyebab utama inflamasi akut adalah infeksi mikrobial, reaksi hipersensitivitas, agen fisik, agen kimia dan nekrosis jaringan. Inflamasi akut dikarakterisasi dengan perubahan diameter pembuluh darah, kenaikan permeabilitas vaskuler dan pembentukan eksudat seluler berupa emigrasi neutrofil polimorf ke dalam rongga ekstravaskuler (Underwood, 1999). Perubahan diameter pembuluh darah diawali dengan fase awal konstriksi arteriol lalu dilanjutkan dengan fase vasodilatasi, keadaan ini merupakan awal dari kenaikan permeabilitas vaskuler. Peningkatan permeabilitas vaskuler memungkinkan leukosit menempel pada epitel sebagai langkah awal terjadinya emigrasi leukosit ke dalam ruang ekstravaskuler. Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai dengan keluarnya protein plasma dan sel darah putih ke jaringan merupakan gambaran utama reaksi radang akut yang dikenal sebagai proses eksudasi (Robbins dan Kumar, 1995). Pada radang akut, saluran limfe akan melebar. Cairan udema dari eksudat radang akan disalurkan dan dibuang. Penyaluran ini akan mengurangi terjadinya udema jaringan (Underwood, 1999). Pada perkembangannya proses inflamasi akan berhenti dengan ditandai kembalinya jaringan yang mengalami inflamasi kepada bentuk yang normal maupun terjadi respon inflamasi lanjutan. Cara untuk 7 mengatasi perkembangan respon inflamasi ke arah yang tidak diinginkan adalah dengan digunakannya obat-obatan yang memiliki efek farmakologis sebagai antiinflamasi. Pengobatan antiinflamasi mempunyai tujuan utama untuk mengurangi rasa nyeri yang sering kali muncul sebagai gejala awal saat terjadi respon inflamasi dan menjadi keluhan utama pasien serta menghambat dan membatasi kerusakan jaringan yang timbul akibat terjadinya respon inflamasi (Katzung, 2004). c. Obat antiinflamasi Obat antiinflamasi dibagi menjadi 2 golongan yaitu golongan steroid dan golongan antiinflamasi non-steroid (AINS). Mekanisme kerja obat steroid adalah menghambat pembentukan mediator inflamasi seperti prostaglandin, leukotrien, dan platelet activating factor (PAF). Golongan obat ini juga menurunkan akumulasi leukosit dan monosit pada tempat inflamasi, menurunkan produksi immunoglobulin dan menghambat bersihan imun eritrosit (Wilmana, 1995). Penggunanaan steroid dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan efek samping seperti moon face, penurunan densitas tulang dan penurunan sistem imun tubuh. AINS bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase (COX) dan prostaglandin. AINS merupakan golongan obat yang memiliki efek analgesik, antipiretik dan pada dosis yang tinggi memiliki efek antiinflamasi banyak digunakan pada pasien. Inhibisi sintesis prostaglandin ini akan menyebabkan kerusakan saluran cerna dan inhibisi COX yang tidak selektf akan menyebabkan toksisistas pada membran saluran cerna (Neal, 2005). 8 2. Kalium diklofenak Kalium diklofenak adalah salah satu AINS yaitu senyawa aromatik bisiklik turunan fenilasetat yang mempunyai efek antiinflamasi dan analgetik yang kuat seperti obat-obat penghambat siklooksigenase (Tjay dan Rahardja, 2001). Evaluasi farmakologi menunjukan diklofenak sebagai inhibitor poten model udem kaki tikus dan analgetik poten, juga merupakan inhibitor siklooksigenase yang kuat dengan efek antiinflamasi. Mekanisme aksinya adalah menghambat pembentukan prostaglandin dari asam arakhidonat melalui aksinya pada enzim siklooksigenase (Katzung, 2004). Efek samping utama kalium diklofenak adalah iritasi, perdarahan, dan peningkatan resiko terjadinya ulkus pada dinding saluran cerna (Mutschler, 1991). Gambar 1. Stuktur kimia Kalium diklofenak, (Anonim, 2014) 3. Gamavuton-0 (GVT-0) Senyawa gamavuton-0 (GVT-0), adalah salah satu analog kurkumin dengan nama kimia 1,5-bis(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-1,4-pentadien-3-on. Secara alami, senyawa tersebut diisolasi dari rimpang Curcuma domestica (Masuda dkk., 1993) dan Curcuma longa L. (Park dan Kim, 2002). Senyawa 9 ini disintesis dari vanilin dan aseton dengan katalis asam klorida pekat melalui reaksi kondensasi Claisen-Schmidt atau disebut juga reaksi antara keton dengan aldehida (kondensasi aldol silang) (Sardjiman, 2000). Senyawa tersebut mirip dengan kurkumin karena sama-sama mempunyai gugus hidroksi dan gugus metoksi pada rantai aromatiknya GVT-0 dimodifikasi dari kerangka kurkumin 1,7-difenil-1,6-heptadien-3,5-dion menjadi 1,5-difenil-1,4-pentadien3-on, oleh karena itu perbedaan kurkumin dengan GVT-0 terletak di jembatan rantai karbonnya. GVT-0 ini mempunyai jembatan rantai karbon yang lebih pendek (pentadienon) daripada kurkumin (heptadiendion). GVT-0 juga mempunyai satu gugus karbonil dan sama sekali tidak mempunyai gugus metilen. Senyawa ini lebih stabil pada pH di atas 6,5 dibandingkan dengan kurkumin dan tetap mempunyai sifat antioksidan (Sardjiman, 2000). Senyawa ini telah dilaporkan memiliki efek anti-inflamasi yang berkaitan dengan aktifitasnya sebagai COX-2 inhibitor dan antibakteri (Sardjiman, 2000). GVT0 juga dilaporkan memiliki efek analgesik, baik secara akut dan nyeri persisten (Ikawati dkk., 2014). Modifikasi kurkumin menjadi senyawa GVT-0 dimaksudkan untuk memperbaiki stabilitas kurkumin, yang dipengaruhi oleh pH dan cahaya. Kurkumin lebih stabil dalam pH asam, sedangkan pada pH basa mudah mengalami dekomposisi. Produk utama dekomposisinya adalah asam ferulat dan 4-fenil-3-butena-2-on, yang secara cepat mengalami kondensasi retro-aldol menjadi vanilin dan aseton. Di samping itu, cahaya juga dapat mendekomposisi kurkumin menjadi ferulat aldehid, asam ferulat, adihidroksinaftalen, 10 vinilguaiacol, vanilin dan asam vanilat. Faktor penyebab dekomposisi kurkumin ini disebabkan oleh gugus metilen aktifnya, sehingga modifikasi gugus ini menjadi gugus lain diharapkan mampu memperbaiki kelemahan kurkumin (Tonnesen dan Karlsen, 1985). Pada struktur kimia GVT-0, hilangnya gugus metilen dan gugus karbonil menjadi 1,4-pentadien-3-on, menghasilkan suatu senyawa yang lebih stabil dibandingkan dengan kurkumin. Senyawa tersebut juga dilaporkan mempunyai aktivitas penghambatan terhadap autooksidasi asam linoleat yang lebih tinggi dibandingkan kurkumin, aktivitas antiinflamasinya tidak berbeda bermakna apabila dibandingkan kurkumin (Masuda dkk., 1993). GVT-0 merupakan senyawa yang sulit larut dalam air, sehingga dengan sifat tersebut mengakibatkan ketersediaan hayatinya juga kurang bagus. Cara untuk mengatasi berbagai hambatan di atas diperlukan sistem penghantaran yang murah dan mempunyai kemampuan yang diinginkan, seperti mukoadesif, protektif, meningkatkan solubilitas, meningkatkan penyerapan dan dapat mengontrol pelepasan obat. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan memformulasikannya dengan polimer tertentu menjadi sediaan nanopartikel yang bersifat lebih mudah larut dalam air. Dalam penelitian ini polimer alami yang digunakan adalah kitosan (Martien, 2011). Gambar 2. Struktur senyawa GVT-0 (Sardjiman, 2000) 11 4. Nanopartikel Nanopartikel adalah struktur koloidal dengan rentang ukuran 10-1000 nm, diformulasi menggunakan polimer biodegradabel maupun non- biodegradabel yang mana bahan obat dapat terjebak (entraped), diadsorbsi atau bergandengan secara kimia (Sahoo dan Labhasetwar, 2006). Nanopartikel dibagi menjadi dua kategori yaitu, nanocapsules dan nanospheres. Nanocapsules merupakan sistem reservoir terdiri atas suatu selaput polimer yang melingkupi suatu inti. Nanospheres dibuat dalam bentuk sistem matriks dan seluruh partikel obat terdispersi di dalam polimer (Rieux dkk., 2006). Partikel dengan ukuran nano dapat melewati membran dengan mudah karena ukuran kapiler lebih besar. Mudah masuknya partikel meningkatkan efisiensi obat. Kelebihan nanopartikel yang lain adalah permukaan nanopartikel yang dapat dimodifikasi sehingga dapat spesifik terikat pada ligan tertentu (Bisht dkk., 2007). Nanopartikel mampu mengikat obat yang diinginkan atau gen dalam partikel atau menyerap obat tersebut pada permukaan partikel (Arayne dan Sultana, 2006). Nanopartikel dapat dibuat dengan beberapa metode, salah satunya dengan polimer. Polimer yang digunakan biodegradabel, yang dapat didegradasi oleh tubuh, salah satunya yaitu kitosan (Bisht dkk., 2007). Nanopartikel telah dipergunakan sebagai salah satu pendekatan fisika untuk mengubah dan meningkatkan farmakokinetik dan farmakodinamik dari berbagai jenis molekul obat. (Hartig dkk., 2007) melaporkan bahwa nanopartikel dapat berpenetrasi di antara pembuluh kapiler dan sel di dalam tubuh sehingga obat dapat lebih tepat sasaran. Nanopartikel menjadi sistem 12 yang paling banyak diteliti untuk pengembangan pentargetan obat pada organ dan peningkatan bioavailabilitasnya melewati membran biologis (Lin dkk., 2007). Nanopartikel mempunyai banyak keuntungan dibandingkan mikropartikel karena ukuran partikelnya lebih kecil dari 1 µm sehingga lebih cocok untuk penghantaran secara intravena. Pembuluh darah kapiler dalam tubuh berukuran 5-6 µm. Ukuran partikel yang didistribusikan dalam darah harus lebih kecil dari 5 µm, tanpa membentuk agregat, dan untuk memastikan partikel tidak akan menyebabkan emboli (Singh dan Lillard, 2009). Keuntungan dalam menggunakan nanopartikel untuk aplikasi penghantaran obat dihasilkan dari sifat dasar utamanya. Pertama, karena ukurannya kecil dapat berpenetrasi melalui kapiler yang lebih kecil, sehingga memungkinkan akumulasi obat secara efisien pada sisi target. Kedua, penggunaan bahan biodegradabel untuk pembuatan nanopartikel dapat memungkinkan pelepasan tertunda dalam sisi target selama periode waktu berhari-hari atau berminggu-minggu. Ketiga, permukaan nanopartikel dapat dimodifikasi untuk mengubah biodistribusi obat atau dapat dikonjugasi pada ligan untuk mencapai target spesifik dari penghantaran obat (Sahoo dan Labhasetwar, 2006). Selain itu, kelebihan dari sistem nanopartikel ialah dapat digunakan untuk berbagai rute pemberian seperti oral, nasal, intraocular, dan parenteral (Mohanraj dan Chen, 2006). Pelepasan obat dipengaruhi oleh ukuran partikel. Ukuran partikel yang lebih kecil mempunyai luas permukaan yang lebih besar yang dapat 13 mempercepat pelepasan obat. Sebaliknya partikel yang lebih besar mempunyai inti besar, memungkinkan lebih banyak obat pada enkapsulasi tiap partikel memberikan pelepasan obat lambat. Oleh karena itu, kontrol ukuran partikel memberikan kecepatan pelepasan obat yang berarti (Singh dan Lillard, 2009). Pengembangan nanopartikel polimer dapat berasal dari polimer alami atau sintetik. Kriteria polimer yang ideal sebagai pembawa nanopartikel adalah mudah untuk disintesis dan dikarakteristik, biokompatibel, biodegradabel, memiliki respon imun yang minimal, sifat toksisitasnya yang rendah, larut air dan tidak mahal. Salah satu polimer alami yang banyak digunakan dalam berbagai penelitian adalah kitosan yang memiliki banyak kelebihan seperti biokompatibel, biodegradabel, toksisitas yang rendah, mudah disintesis dan dikarakterisasi. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu nanopartikel yang ideal adalah sebagai berikut : 1. Harus berakumulasi atau tetap tinggal ada daerah yang dikehendaki. 2. Harus melepaskan obatnya pada kecepatan dan tempat yang dikehendaki. 3. Harus secara farmasetis dapat diterima dari segi stabilitas dan dengan cara pemakaian yang mudah. 4. Bahan pembawanya (carrier) harus tidak toksik dan bersifat biodegradabel. 5. Mudah dan tidak mahal untuk pembuatan skala besar. 6. Dapat diaplikasikan untuk berbagai obat, protein dan polinukleotida (Tiyaboonchai, 2003). 14 Tidak ada di antara sistem-sistem nanopartikel yang memenuhi semua persyaratan tersebut di atas. Sistem nanopartikel yang ideal juga harus mempunyai shelf-life yang cukup lama supaya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi suatu industri farmasi untuk membuatnya secara besarbesaran. Dalam hal ini keuntungan dari nanopartikel ialah bahwa sistem ini dapat disimpan dalam keadaan kering, sebagai serbuk yang freeze dried, dan ternyata setelah penyimpanan selama satu tahun masih dapat didispersikan kembali dengan baik menjadi larutan koloidal dengan sifat-sifat in vitro dan in vivo yang tidak berubah. Shelf life-nya sendiri yang tepat masih belum diketahui. 5. Kitosan Kitosan merupakan biopolimer polikationik yang terdiri dari rantai tidak linier dan mempunyai rumus umum (C6H11NO4)n atau disebut sebagai 1-4-amino-2-deoksi-B-D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik (Fernandez-kim, 2004). Kitosan yang digunakan sebagai penghantar merupakan polimer yang mempunyai toksisitas rendah, bidegradabel dan biokompatibel, larut dalam asam encer dan mempunyai muatan positif (Martien, 2006; Aranaz, 2010). Kitosan akan terprotonasi dalam suasana asam membentuk kompleks dengan DNA anionik oleh interaksi elektrostatik, sehingga hasil kondensasi ini membuat DNA lebih kompak. Kompleks kitosan dan DNA ini dapat memberikan perlindungan terhadap degradasi enzimatis dan meningkatkan 15 internalisasi seluler plasmid (Arayne dan Sultana, 2006; Zhao dkk., 2006). Kompleks nanopartikel kitosan-DNA yang mengalami endositosis dalam sel selanjutnya dapat melepaskan diri dari endosom dan masuk ke dalam inti (Zhao dkk., 2006). Gambar 3. Struktur kitosan (Tiyaboonchai, 2003) Nanopartikel harus tetap bertahan dan melindungi DNA dari kerusakan nuklease untuk mencapai permukaan sel. Nanopartikel harus tetap stabil dalam cairan ekstraselular. Ketidakstabilan nanopartikel dalam cairan ekstraselular dapat mengganggu interaksi polielektrolit. Setelah nanopartikel ke sel target, nanopartikel kemudian terikat oleh membran sel yang bermuatan negatif (Corwin, 2009) dan kemudian memicu terjadinya endositosis (Mutmainnah, 2010). Kitosan akan terprotonasi dalam suasana asam sehingga dapat bereaksi secara mikroseluler dengan gugus bermuatan negatif yang terdapat pada GVT0 maupun cross linker yang digunakan. 16 Gambar 4. Interaksi kitosan dengan GVT-0 (Hermawan, 2012) Formulasi nanopartikel dengan menggunakan GVT-0 dan kitosan dengan metode ion gelasi telah dibuat, menghasilkan nanopartikel GVT-0 yang optimum dengan perbandingan konsentrasi GVT-0 dan kitosan 0,1% dan 0,1%. Profil pelepasan GVT-0 dari nanopartikel secara in vitro menunjukkan pelepasan lambat setelah 30 menit disolusi dan pelepasannnya lebih cepat pada formula dengan kitosan yang lebih besar. Nilai entrapment efficiency yang dihasilkan yaitu 44,64% ± 0,38% untuk formula menggunakan konsentrasi GVT-0 0,1%, kitosan 0,1% dan natrium tripolifosfat 0,03% (Hermawan, 2012). 6. Uji penentuan aktivitas antiinflamasi secara in-vivo Penentuan aktifitas antiinflamasi bertujuan untuk menyelidiki proses terjadinya inflamasi dan mengevaluasi daya inflamsi suatu senyawa kimia. 17 Banyak metode yang digunakan untuk mengevaluasi daya inflamasi suatu senyawa baik in vitro maupun in vivo. Saat ini telah dikembangkan beberapa model hewan percobaan untuk menentukan aktifitas antiinflamasi secara in vivo. Model yang dapat digunakan untuk menentukan aktifitas antiinflamasi untuk inflamasi akut dan sub akut adalah UV-eritema pada hewan marmut, permeabilitas vaskuler, induksi udem pada telinga mencit dengan oxazolone, Croton-oil ear edema pada tikus dan mencit, udem terinduksi pada telapak kaki pada tikus, pleurisy test dan granuloma pouch technique (Patel dkk., 2012). Metode udem terinduksi pada telapak kaki tikus merupakan metode yang paling populer dari sekian banyak model hewan percobaan untuk menentukan aktifitas antiinflamasi secara in vivo yang ada. Prosedur untuk melakukan metode ini diawali dengan memuasakan tikus yang memiliki rentang bobot tertentu selama semalam akan tetapi masih diberi minum secukupnya. Kaki ditandai kemudian diukur volume awalnya. Hewan uji selanjutnya dipejankan senyawa yang akan diuji, setelah setengah jam disuntikan 0,05 mL suspensi karagenin λ dalam NaCl 0,9% dan diukur perubahan udem kaki tikus selama 6 jam tiap 30 menit. Data perubahan udem kaki tikus yang diperoleh kemudian dihitung Area Under Curve (AUC) tiap perlakuan dan dibandingkan dengan kontrol untuk mengetahui Daya Antiinflamasi (DAI) setiap senyawa (Patel dkk., 2012; Winyard dan Wiloughby, 2013 ). Metode udem terinduksi pada telapak kaki tikus mempunyai keuntungan, dibandingkan dengan metode lain, antara lain lebih mudah, reprodusibel dan membutuhkan biaya yang relatif murah karena dengan menggunakan satu 18 kelompok tikus maka waktu terbentuknya udem dapat diselidiki (Sedgwick dan Willoughby, 1994). Bahan penginduksi udem yang digunakan adalah karagenin lambda. Karagenin berasal dari alga merah Chondrus cripus, yang merupakan polisakarida yang disusun dari monomer unit galaktosa sulfat. Karagenin mampu menginduksi reaksi inflamasi yang bersifat akut, non imun, dapat diamati dengan baik dan mempunyai reprodusibilitas yang tinggi (Vogel, 2008; Winyard dan Wiloughby, 2013). Karagenin dapat menginduksi terjadinya inflamasi dengan memacu pelepasan agen proinflamasi seperti bradikinin, histamin, takikinin, komplemen dan Nitrit Oksida ( NO ). Respon inflamasi diukur berdasarkan peningkatan udem pada telapak kaki tikus. Pada saat awal kaki tikus diinduksi dengan karagenin lambda secara intraplantar, akan terjadi udem yang terbentuk akibat pelepasan mediator inflamasi. Setelah pelepasan mediator inflamasi maksimal, akan terjadi penyembuhan secara alami oleh tubuh yang ditandai dengan terjadinya penurunan volume udem kaki tikus. Udem kaki tikus yang diinduksi karagenin akan meningkat sampai sekitar 5 jam pasca injeksi karagenin, kemudian akan mengalami penyembuhan secara alami (Winyard dan Wiloughby, 2013). Selain karagenin, agen penginduksi inflamasi yang dapat digunakan antara lain Brewer’s Yeast, formaldehid, dextran, albumin, kaolin, aerosil dan naftoilheparamin (Patel dkk., 2012). 19 E. Landasan Teori GVT-0 merupakan senyawa yang memiliki aktivitas antiinflamasi. GVT0 memiliki keterbatasan yaitu bioavailabilitas yang rendah. Strategi untuk meningkatkan bioavailabilitas GVT-0 adalah dengan memformulasikan GVT-0 dalam bentuk nanopartikel dengan menggunakan suatu polimer. Polimer yang banyak digunakan untuk formulasi nanopartikel adalah kitosan. Kitosan dapat diperoleh melalui proses deasetilasi kitin (Wiyarsi, 2010). Limbah kitin berupa kulit dan cangkang yang dihasilkan oleh familia Crustacea ini di Indonesia sangat banyak. Saat ini industri lokal yang memproduksi kitosan masih sedikit di Indonesia, padahal kitosan kini menjadi primadona biopolimer dalam sistem penghantaran obat terutama nanopartikel. Nanopartikel mampu meningkatkan biovailabilitas untuk obat-obat yang memiliki kelarutan dalam air rendah dan tidak stabil dalam saluran cerna (Bhardwaj dan Kumar, 2006). Salah satu metode pembuatan nanopartikel adalah dengan metode ion gelasi. Metode ini berkaitan dengan terjadinya pembentukan kompleks oleh muatan yang saling berlawanan yang kemudian membentuk gel dalam ukuran nanopartikel. Muatan yang berlawanan berasal dari muatan positif gugus amina kitosan yang terprotonasi dalam suasana asam dengan atom oksigen pada struktur GVT-0 yang bermuatan parsial negatif. Partikel GVT-0 akan terselubungi oleh polimer kitosan menghasilkan gel dalam ukuran nanopartikel. Formulasi nanopartikel GVT-0 dengan menggunakan polimer kitosan secara ion gelasi menghasilkan nanopartikel GVT-0 yang berbentuk sferik, stabil dalam cairan lambung dan usus buatan, tidak bersifat toksik terhadap sel Vero. 20 Formulasi nanopartikel GVT-0 dengan kitosan dengan metode ion gelasi meningkatkan lama kontak dengan mukosa saluran cerna sehingga akan meningkatkan bioavailabilitas GVT-0. Obat yang memiliki bioavailabilitas yang meningkat akan meningkatkan efek farmakologi sehingga GVT-0 yang diformulasikan dalam bentuk nanopartikel dengan kitosan menggunakan metode ion gelasi akan meningkatkan efek antiinflamasi dari GVT-0. F. HIPOTESIS GVT-0 yang dimodifikasi dalam bentuk nanopartikel dengan kitosan memiliki aktivitas antiinflamasi yang lebih baik apabila dibandingkan dengan GVT-0.