1 PERAN SALINITAS TERHADAP TOKSISITAS MERKURI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KONDISI FISIOLOGIS IKAN BANDENG (Chanos chanos Forsskal) RIRI EZRANETI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 2 3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Peran Salinitas terhadap Toksisitas Merkuri dan Pengaruhnya terhadap Kondisi Fisiologis Ikan Bandeng (Chanos chanos Forsskal) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2011 Riri Ezraneti NRP C151090141 4 5 ABSTRACT RIRI EZRANETI. Salinity influence to mercury toxicity and the effect to milkfish (Chanos chanos Forsskal) physiologic conditions. Under direction of KUKUH NIRMALA and RIDWAN AFFANDI. Mercury is a very dangerous heavy metal that can damage nerve and enzyme system in fish body. This research aimed to knows mercury toxicity to milkfish with different salinity. It consisted of two steps; they were preliminary research (range value test and acute toxicity test) and main research (the salinity influence of mercury toxicity and milkfish’s physiologic condition). Range value test was done in fresh water consisting of five treatments (0, 0.006, 0.06, 0.6 and 6 mg Hg/l). Acute toxicity test also consisted of five treatments (0, 0.110, 0.195, 0.347 and 0.618 mg Hg/l). Moreover, main research consisted of one control and three treatments with three replications at the same concentrate of mercury 0.012 mg Hg/l. Those treatments were salinity 0 ppt, 10 ppt and 20 ppt. The result demonstrated that LC50 96 hour in fresh water was 0.147 mg Hg/l. The main research showed that mercury can increased osmotic gradient, decreased oxygen consumption rate, increased blood glucose rate, decreased hematologic conditions, growth rate, feeding efficiency, and survival rate. Mercury is collected in body gland, for example in gill and liver. Treatment C (10 ppt) showed better physiologic conditions than other treatments. The effect of mercury toxicity would get minimal while maintained at optimal salinity. Keywords: Mercury; Salinity; Milkfish 6 7 RINGKASAN RIRI EZRANETI. Peran Salinitas Terhadap Toksisitas Merkuri Dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Fisiologis Ikan Bandeng (Chanos chanos Forsskal). Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA dan RIDWAN AFFANDI. Diantara berbagai macam logam berat, merkuri digolongkan sebagai pencemar yang paling berbahaya. Kadar merkuri terus meningkat akibat penggunaannya diberbagai bidang yang cukup luas. Merkuri akan masuk ke perairan tawar, payau dan akhirnya sampai di laut serta dapat mempengaruhi organisme yang hidup di dalamnya. Perbedaan salinitas akan mempengaruhi tingkat toksisitas merkuri. Apabila ikan bandeng yang dipelihara baik di air tawar, payau dan laut terkontaminasi oleh merkuri maka kondisi fisiologis ikan akan terganggu. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan ambang batas dan toksisitas akut merkuri terhadap kondisi fisiologis ikan bandeng di air tawar, menganalisa pengaruh merkuri terhadap ikan bandeng yang dipaparkan pada salinitas yang berbeda dan menentukan salinitas yang baik untuk mengurangi pengaruh merkuri terhadap ikan bandeng. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan yang terdiri atas uji nilai kisaran (Range value test) dan uji toksisitas akut. Sedangkan penelitian inti yaitu pemeliharaan ikan bandeng pada media yang tercemar merkuri dengan salinitas berbeda. Ikan yang digunakan berukuran 7-8 cm dan berat 3-5 gram. Sedangkan bahan pencemar yang digunakan adalah merkuri nitrat (Hg(NO3)2). Uji nilai kisaran dengan konsentrasi menggunakan metode logaritmik berbasis 10 yaitu A (kontrol), B (0.006), C (0.06), D (0.6), dan E (6) mg Hg/l dengan 3 ulangan tiap perlakuan. Sedangkan uji toksisitas akut terdiri atas 4 perlakuan, 1 kontrol dan 3 ulangan dengan konsentrasi A (tanpa Hg), B (0.110 mg Hg/l), C (0.195 mg Hg/l), D (0.347 mg Hg/l) dan E (0.618 mg Hg/l). Pada penelitian inti diaplikasikan dalam 4 perlakuan dan 3 ulangan dengan konsentrasi A (Salinitas 0 ppt tanpa Hg), B (Salinitas 0 ppt + 0.012 mg Hg/l), C (Salinitas 10 ppt + 0.012 mg Hg/l) dan D (Salinitas 20 ppt + 0.012 mg Hg/l). Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa merkuri bersifat sangat toksik terhadap ikan bandeng dengan nilai LC50 96 jam sebesar 0.147 mg Hg/l. Frekuensi buka tutup operculum ikan bandeng selama uji toksisitas akut merkuri meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi merkuri yang diberikan. 8 Selama uji terjadi perubahan tingkah laku ikan antara lain: ikan kehilangan gerak refleks, berenang tidak beraturan dan sering muncul ke permukaan dengan bukaan mulut dan operculum yang lebih lebar dan cepat. Kemudian kembali ke dasar dengan posisi tegak dan sampai ke dasar dengan posisi bagian ventral ke atas. Ikan juga mengalami kejang-kejang dan ram jet ventilation sebelum mengalami kematian di dasar akuarium. Hasil penelitian inti menunjukkan bahwa salinitas mempengaruhi toksisitas merkuri dan mempengaruhi kondisi fisiologis ikan bandeng. Setelah ikan bandeng terpapar merkuri pada salinitas yang berbeda gradien osmotik dan kadar glukosa darah meningkat, sedangkan kondisi hematologi dan tingkat konsumsi oksigen mengalami penurunan. Merkuri terakumulasi pada jaringan seperti insang, hati dan daging. Akibatnya jumlah konsumsi pakan, laju pertumbuhan, efisiensi pakan dan kelangsungan hidup ikan bandeng menurun pada tiap perlakuan. Hasil analisa menunjukkan bahwa perlakuan C (Salinitas 10 ppt + 0.012 mg Hg/l) merupakan perlakuan terbaik karena memiliki gradien osmotik terendah 0.237±0.088 Osm/kg, tingkat konsumsi oksigen tertinggi 0.257±0.037 mgO2/g/jam, jumlah eritrosit tertinggi 3.61±0.39 x 106 sel/mm3, kadar haemoglobin tertinggi 5.37±0.86 %, kadar hematokrit tertinggi 19.90±0.41 % dan jumlah leukosit tertinggi 11.33±0.43 x 105 sel/mm3 dibandingkan perlakuan lainnya. Selanjutnya kadar glukosa darah terendah 11.77±1.30 mmol/l, jumlah konsumsi pakan tertinggi 65.03±1.85 gram, nilai efisiensi pakan tertinggi 18.63±0.79 % dan kelangsungan hidup tertinggi 68.33 %. Akumulasi merkuri di daging ikan lebih sedikit dari perlakuan lainnya yaitu 0.0844 ppm. Kerusakan pada insang dan hati lebih sedikit terlihat dengan sedikitnya deposit merkuri dibandingkan perlakuan lainnya. Hasil pengukuran fisika kimia air memperlihatkan kisaran nilai yang didapatkan masih layak untuk pemeliharaan ikan bandeng. Sehingga dapat dikatakan bahwa parameter fisika kimia air pada penelitian ini bukan merupakan faktor pembatas yang dapat mempengaruhi ikan bandeng. Kata kunci: merkuri; salinitas; bandeng 9 © Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB 10 11 PERAN SALINITAS TERHADAP TOKSISITAS MERKURI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KONDISI FISIOLOGIS IKAN BANDENG (Chanos chanos Forsskal) RIRI EZRANETI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 12 Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc 13 Judul Tesis Nama NRP : Peran Salinitas terhadap Toksisitas Merkuri dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Fisiologis Ikan Bandeng (Chanos chanos Forsskal) : Riri Ezraneti : C151090141 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc Ketua Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA Anggota Diketahui Ketua Program studi Ilmu Akuakultur Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Enang Harris, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian: 18 Juli 2011 Tanggal lulus: 14 To My Beloved Family My Father, Zulhikmi and My Mother, Emyunar My Sisters Resi Ezrari, Popi lestari and Olga Philberta My Brother Devid Zel Nofra... 15 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunian-Nya sehingga penulisan tesis dengan judul ”Peran Salinitas terhadap Toksisitas Merkuri dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Fisiologis Ikan Bandeng (Chanos chanos Forsskal)” dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan secara khusus kepada Bapak Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc dan Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA selaku komisi pembimbing atas waktu, kebijaksanaan, tuntunan, kesabaran, serta masukan hingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapakan terimakasih kepada: 1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Zulhikmi, S.Pd. M.MPd dan Ibunda Emyunar; Adik-adikku: Resi Ezrari, Devid Zel Nofra, Popi Lestari dan Olga Philberta. 2. Bapak Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc selaku penguji luar komisi atas segala masukan dan arahan. 3. Rekan-rekan Akuakultur 2009 (Muliani, Hary Krettiawan, Eulis Marlina, Muznah Toatubun, Jenny Abidin, Dewi puspaningsih, Jacqueline Sahetapy, Tanbiyaskur, Rahman, Iko Imelda Arisa, Sefty Heza Dwinanti, Zuraida, Anwar Hasan, Dian Febriani, Alfabetian Condro Haditomo, Erna Thalib, Wahyuni Fanggi Tasik, Aras Syazili, Safrizal Putra, Novi Mayasari, Reza Samsudin, Jakomina Metungun, Mariana Beruatjaan) dan Anna Oktavera. 4. Staf dan pegawai di Departemen Budidaya Perairan FPIK IPB. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan pengetahuan dan wawasan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran, masukan dan kritikan untuk perbaikan serta kesempurnaan penulisan selanjutnya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat. Bogor, Juli 2011 Riri Ezraneti 16 17 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Batu Hampar Sumatera Barat pada tanggal 24 Agustus 1983, putri pertama dari lima bersaudara pasangan Bapak Zulhikmi, S.Pd. M.MPd dan Ibu Emyunar. Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Harau. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan Strata Satu (S1) pada jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau Pekanbaru dan berhasil lulus pada tahun 2005. Penulis sempat bergabung sebagai staf pengajar di program study Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh Lhokseumawe Aceh, kemudian pada rahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan kembali pada program Master (S2) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Mayor Ilmu Akuakultur. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Master (S2) pada tahun 2011 dengan judul tesis “Peran Salinitas Terhadap Toksisitas Merkuri dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Fisiologis Ikan Bandeng (Chanos chanos Forsskal)”. 18 19 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................ vi DAFTAR GAMBAR ................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ viii PENDAHULUAN ....................................................................................... Latar Belakang...................................................................................... Perumusan Masalah .............................................................................. Tujuan dan Manfaat .............................................................................. Hipotesis ............................................................................................... 1 2 2 4 4 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. Ikan Bandeng ........................................................................................ Merkuri ................................................................................................. Pengaruh Merkuri Terhadap Organisme .............................................. Salinitas dan Osmoregulasi .................................................................. 5 5 6 9 12 METODE PENELITIAN............................................................................. Persiapan Penelitian.............................................................................. Penelitian Pendahuluan ........................................................................ Tahap 1 ....................................................................................... Tahap 2 ....................................................................................... Penelitian Inti........................................................................................ 14 14 14 14 16 18 HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................... Hasil ...................................................................................................... Penelitian Pendahuluan .............................................................. Penelitian Inti ............................................................................. Pembahasan .......................................................................................... 23 23 23 28 46 SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 55 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 57 LAMPIRAN ................................................................................................. 61 20 21 DAFTAR TABEL Halaman 1 Metode dan alat untuk analisis parameter fisika kimia air ...................... 23 2 Data mortalitas ikan bandeng pada uji nilai kisaran (Range value test).. 25 3 Data parameter pengamatan ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar ................................................................... 36 4 Data parameter pengamatan ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas yang berbeda.............................................................................. 45 5 Data pengamatan fisika kimia air selama uji toksisitas akut merkuri terhadap ikan bandeng ............................................................................. 45 6 Data pengamatan fisika kimia air selama penelitian inti ......................... 46 22 23 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian .............................................................. 3 2 Nilai LC50 merkuri pada ikan bandeng selama uji toksisitas akut ......... 26 3 Rata-rata frekuensi pergerakan operculum ikan bandeng selama uji toksisitas akut ......................................................................................... 27 4 Gradien osmotik ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar ................................................................................ 28 5 Rata-rata tingkat konsumsi oksigen ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar ......................................................... 29 6 Kondisi hematologi ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar ................................................................................ 30 7 Histokimia ikan bandeng pada perlakuan A (kontrol) ........................... 31 8 Histokimia ikan bandeng pada perlakuan B (0.012 mg Hg/l)................ 31 9 Rata-rata kadar glukosa darah ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar.................................................................. 32 10 Rata-rata jumlah pakan yang dikonsumsi ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar .................................................. 32 11 Rata-rata laju pertumbuhan ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar .................................................................. 31 12 Rata-rata nilai efisiensi pakan ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar .................................................................. 34 13 Kadar merkuri pada media dan daging ikan bandeng di air tawar pada akhir penelitian ....................................................................................... 34 14 Rata-rata tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar ......................................................... 35 15 Rata-rata gradien osmotik ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda ..................................................................................... 36 16 Rata-rata tingkat konsumsi oksigen ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda ............................................................... 37 24 17 Rata-rata kondisi hematologi ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda ............................................................................ 38 18 Histokimia insang ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda ................................................................................................... 39 19 Histokimia hati ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda ................................................................................................... 40 20 Rata-rata kadar glukosa darah ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda ............................................................................ 41 21 Rata-rata jumlah pakan yang dikonsumsi ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda ............................................................... 41 22 Rata-rata laju pertumbuhan ikan bandeng yang terpapar mekuri pada salinitas berbeda ..................................................................................... 42 23 Rata-rata efisiensi pakan ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda ..................................................................................... 43 24 Rata-rata kadar merkuri di air dan di daging ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda................................................. 43 25 Rata-rata tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas yang berbeda ...................................................... 44 25 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Penentuan konsentrasi pada penelitian pendahuluan dan penelitian inti 63 2 Metode pengenceran salinitas ................................................................ 64 3 Prosedur pengamatan gradien osmotik .................................................. 65 4 Prosedur pengamatan kondisi hematologi ............................................. 66 5 Prosedur pembuatan preparat histokimia ............................................... 68 6 Prosedur pengukuran kadar glukosa darah ............................................ 71 7 Prosedur pengukuran kadar merkuri dengan AAS ................................ 72 Data mortalistas ikan bandeng selama uji nilai kisaran 48 jam ............. 74 9 Data mortalitas ikan bandeng selama uji toksisitas merkuri 96 jam ...... 75 10 Analisa probit untuk menentukan LC50 24 jam merkuri terhadap ikan bandeng .................................................................................................. 76 11 Analisa probit untuk menentukan LC50 48 jam merkuri terhadap ikan bandeng .................................................................................................. 77 12 Analisa probit untuk menentukan LC50 72 jam merkuri terhadap ikan bandeng .................................................................................................. 78 13 Analisa probit untuk menentukan LC50 96 jam merkuri terhadap ikan bandeng .................................................................................................. 79 14 Data frekuensi buka tutup operculum ikan bandeng selama uji toksisitas akut ......................................................................................... 80 15 Analisa gradien osmotik ikan bandeng yang terpapar merkuri selama 30 hari waktu pemaparan ....................................................................... 81 16 Analisa tingkat konsumsi oksigen ikan bandeng yang terpapar merkuri selama 30 hari waktu pemaparan ............................................. 83 17 Analisa kadar haemoglobin ikan bandeng yang terpapar merkuri selama 30 hari waktu pemaparan ........................................................... 85 8 26 18 Analisa jumlah eritrosit ikan bandeng yang terpapar merkuri selama 30 hari waktu pemaparan ....................................................................... 87 19 Analisa kadar hematokrit ikan bandeng yang terpapar merkuri selama 30 hari waktu pemaparan ....................................................................... 89 20 Analisa jumlah leukosit ikan bandeng yang terpapar merkuri selama 30 hari waktu pemaparan ....................................................................... 91 21 Analisa kadar glukosa darah ikan bandeng yang terpapar merkuri selama 30 hari waktu pemaparan ........................................................... 93 22 Analisa laju pertumbuhan ikan bandeng yang terpapar merkuri selama 30 hari waktu pemaparan ....................................................................... 95 23 Analisa efisiensi pakan ikan bandeng yang terpapar merkuri selama 30 hari waktu pemaparan ....................................................................... 97 24 Analisa kelangsungan hidup ikan bandeng yang terpapar merkuri selama 30 hari waktu pemaparan ........................................................... 99 27 PENDAHULUAN Latar Belakang Diantara berbagai macam logam berat, merkuri digolongkan sebagai pencemar yang paling berbahaya. Merkuri adalah salah satu logam berat yang terdapat di alam walaupun hanya dalam jumlah yang kecil. Kadar merkuri di air tawar secara alami berkisar antara 10 – 100 µg/l, sedangkan di perairan laut berkisar antara <10-30 µg/l (Moore 1991 dalam Saputra 2009). Selanjutnya Connel dan Miller (1995) menyatakan bahwa konsentrasi logam akan meningkat seiring menurunnya salinitas. Namun seiring dengan perkembangan zaman, kadar merkuri di alam terus meningkat akibat penggunaannya diberbagai bidang yang cukup luas. Penggunaan merkuri antara lain pada pabrik alat-alat listrik seperti pembuatan baterai, pabrik klor alkali yang memproduksi klorin (Cl2), dibidang pertanian sebagai pembasmi jamur, bahan campuran cat dan pertambangan seperti tambang emas yang marak dilakukan sekarang ini. Merkuri yang digunakan akan tercuci dan masuk ke perairan tawar seperti sungai, danau dan waduk, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air dan lingkungan sekitarnya. Selanjutnya merkuri akan dibawa oleh aliran sungai ke muara yang airnya payau dan akhirnya merkuri akan masuk ke perairan laut. Logam merkuri yang masuk ke perairan baik dalam bentuk organik maupun anorganik bersifat toksik dan dapat diakumulasi dalam tubuh organisme yang hidup di perairan. Toksisitas merkuri di perairan berbeda antara perairan tawar, payau dan laut karena salinitas merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi akumulasi logam berat pada makhluk hidup. Salah satu organisme perairan yang dapat mengakumulasi merkuri adalah ikan bandeng. Ikan bandeng memiliki sifat eurihalin yang mampu hidup pada rentang salinitas yang lebar yaitu antara 0 ppt sampai dengan 50 ppt. Apabila salinitas naik secara bertahap, bandeng mampu hidup hingga salinitas 70 ppt (Sihmiati 2009). Ikan ini kebanyakan di perlihara di kawasan tambak dan keramba jaring apung di daerah pesisir. Namun belakangan ini pemeliharaan ikan bandeng juga dilakukan di perairan tawar seperti di waduk. Kadar salinitas pada pemeliharaan ikan bandeng akan mempengaruhi osmoregulasi pada ikan tersebut. 28 Apabila energi yang digunakan untuk proses osmoregulasi sedikit maka akan banyak tersedia energi yang dapat digunakan untuk pertumbuhan dan ketahanan tubuh ikan terhadap penurunan kualitas lingkungan perairan akan lebih baik, begitu juga sebaliknya. Waduk Djuanda Jatiluhur dan waduk Cirata Jawa Barat merupakan waduk yang berpotensi sebagai tempat pemeliharaan ikan bandeng. Triyanto (2010) menyatakan bahwa ikan bandeng yang diintroduksi di waduk Djuanda Jatiluhur mampu memanfaatkan plankton yang tersedia sebagai makanannya. Waduk Djuanda Jatiluhur menerima pasokan air dari sungai Citarum melalui waduk Saguling dan waduk Cirata. Wurdiyanto (2007) menyatakan bahwa sungai Citarum merupakan salah satu sungai di Jawa Barat yang tercemar oleh merkuri. Selanjutnya Saputra (2009) mengemukakan bahwa tahun 2008 akumulasi Hg telah terdapat dalam sedimen, air dan daging ikan yang dipelihara di waduk Cirata. Kandungan Hg dalam sedimen waduk Cirata mencapai 26,83 mg/kg, sedangkan di air 0.002 mg/l dan di daging ikan patin 0.0001 mg/kg. Oleh karena itu waduk Djuanda Jatiluhur dan waduk Cirata juga berpotensi tercemar oleh merkuri. Dengan menurunnya kualitas perairan akibat adanya senyawa merkuri tentu akan memberikan pengaruh terhadap budidaya ikan bandeng terutama yang dipelihara di perairan tawar. Apabila ikan bandeng tersebut mengakumulasi merkuri maka akan dapat membahayakan masyarakat yang mengkonsumsi ikan tersebut. Sejauhmana pengaruh merkuri terhadap ikan bandeng yang dipelihara pada media salinitas yang berbeda belum banyak diketahui, oleh karena itu maka penelitian ini dilakukan. Perumusan Masalah Ikan bandeng merupakan ikan yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi dan disukai oleh masyarakat. Karena ikan ini mampu hidup pada salinitas yang lebar, maka ikan ini banyak dipelihara di perairan yang bersalinitas dan sekarang mulai dipelihara di air tawar seperti di waduk. Perbedaan kadar salinitas pada pemeliharaan ikan bandeng ini tentu akan mempengaruhi proses osmoregulasi ikan tersebut. Pada media air tawar, air cenderung masuk ke dalam 29 tubuh ikan bandeng karena tekanan osmotik cairan dalam tubuh ikan bandeng lebih tinggi dibandingkan lingkungannya. Peningkatan limbah merkuri akibat penggunaan diberbagai bidang Perairan (sungai, waduk dan kawasan pesisir Perbedaan Salinitas Ikan bandeng Lethal kronis Analisa probit Toksisitas Hg LC50 Gradien osmotik Glukosa darah Hematologi TKO Histokimia Organ Tingkat stres Jumlah pakan SR Efisiensi Pakan GR Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Akumulasi Hg di daging 30 Sebaliknya ikan bandeng yang dipelihara di air yang bersalinitas mempunyai tekanan osmotik cairan tubuh lebih rendah dari lingkungannya, sehingga air cenderung keluar dari tubuh ikan. Untuk itu ikan banyak meminum air sehingga dapat mengganti kekurangan air dalam tubuhnya. Apabila tempat pemeliharaan ikan bandeng tercemar merkuri, maka merkuri tersebut akan lebih mudah masuk kedalam tubuh ikan bandeng bersamaaan dengan air yang masuk dalam proses osmoregulasi pada ikan tersebut. Kondisi ini menyebabkan resiko ikan bandeng mengakumulasi merkuri dalam tubuhnya akan lebih besar. Sehubungan dengan tingginya peluang ikanikan yang dipelihara di air tawar tercemar merkuri, maka penelitian ini dilakukan. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini dilakasanakan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Menentukan ambang batas dan toksisitas akut merkuri pada ikan bandeng yang dipelihara di air tawar. 2. Menganalisa pengaruh merkuri terhadap kondisi fisiologis ikan bandeng yang dipaparkan pada salinitas yang berbeda. 3. Menentukan salinitas yang ideal untuk mengurangi pengaruh toksik merkuri terhadap ikan bandeng Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi bagi para pelaku budidaya perikanan mengenai bahaya toksisitas merkuri dalam perairan bagi organisme budidaya khususnya ikan bandeng pada salinitas yang berbeda sehingga lebih memperhatikan manajemen budidaya ikan bandeng tersebut agar tetap berkelanjutan. Hipotesis Berdasarkan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian di atas maka hipotesis yang dikemukakan adalah salinitas dapat mempengaruhi tingkat toksisitas merkuri di air tawar, salinitas 10 ppt dan 20 ppt serta dapat mempengaruhi kondisi fisiologis ikan bandeng. 31 TINJAUAN PUSTAKA Ikan Bandeng Ikan bandeng (Chanos chanos) adalah ikan yang termasuk kedalam kingdom animalia, Filum Chordata, Kelas Pisces, Ordo Malacopterigii, Family Chanidae, Genus Chanos, Spesies Chanos chanos (Saanin 1984) Ikan bandeng (Chanos chanos) mempunyai bentuk tubuh memanjang dan bersisik halus, putih seperti susu. Karena itu diluar negeri terkenal dengan nama “Milkfish” (Evy 2001). Jari-jari sirip semuanya lunak, dan jumlahnya pada sirip punggung antara 14 -16, pada sirip dubur antara 10 -11, pada sirip dada antara 16 -17, dan pada sirip perut antara 11-12. Sirip ekornya panjang dan bercagak. Jumlah sisik pada gurat sisi berkisar antara 75-80 keping (Djuhanda 1981). Di alam, ikan ini merupakan ikan pemakan plankton dan makroalgae seperti Enteromorpha, Chaetomorpha dan Oscillatoria. Di tambak ikan ini biasanya memakan “klekap” yang terdiri atas berbagai jenis algae dasar dan berbagai hewan benthos. Ikan ini sangat responsif terhadap pakan buatan dengan kadar protein antara 20 – 30 % (Cholik 2005). Selanjutnya ikan ini memiliki sifat dapat mengimbangi keterlambatan tumbuh (compensatory growth) karena proses pembantutan (stunting). Gelondongan yang terlambat tumbuh karena kurang makan akan segera tumbuh dengan cepat setelah mendapat suasana lingkungan yang baik dan cukup makanan. Ikan bandeng mempunyai nilai ekonomis yang cukup penting. Di alam bebas ikan ini hidup di air laut, disamping itu baik yang besar maupun yang kecil banyak ditemukan di daerah dekat pantai. Kalau memijah ikan bandeng (Chanos chanos) pergi ke laut lepas, telurnya di temukan pada jarak 8-26 km dari pantai pada laut yang dalamnya lebih dari 40 m. Telur ikan bandeng banyak sekali terapung melayang di permukaan perairan. Pemijahannya berlangsung diwaktu malam hari dan telur akan menetas setelah 24 jam. Dalam pertumbuhannya anakanak ikan bandeng yang terdapat di tepi pantai, bentuknya berbeda dengan ikan bandeng dewasa yang dipelihara di tambak-tambak. Anak-anak ikan bandeng ini biasa disebut dengan nener (Djuhanda 1981). 32 Daerah penangkapan nener yang terkenal ialah Nusa Tenggara, Madura dan sulawesi selatan. Selanjutnya Evy (2001) menyatakan bahwa nener banyak didapatkan di daerah pantai yang landai, berpasir, berarus tenang dan berair jernih. Ikan bandeng tidak hanya ada di Indonesia, tetapi juga di malaysia, Muangthai, Philipina, Taiwan, Jepang, India, Srilangka, Meksiko dan Hawaii (Evy 2001). Penyebaran ikan bandeng dari utara ke selatan mulai dari bagian selatan Jepang sampai di New South Wales, dan dari timur ke Barat mulai dari pantai timur Afrika sampai di kepulauan Paumotu bagian timur (Djuhanda 1981). Merkuri Nama kimia merkuri adalah Hydragynum yang berarti perak cair dengan lambang Hg. Pada tabel periodik unsur-unsur kimia, merkuri menempati urutan (NA) 80 dan mempunyai bobot atom (BA) 200,59 (Palar 1994). Secara umum merkuri memiliki sifat sebagai berikut: 1. Berwujud cair pada suhu kamar (25 0C) dengan titik beku paling rendah sekitar –39 0C. 2. Masih berwujud cair pada suhu 396 0C dan pada temperatur ini terjadi pemuaian secara menyeluruh. 3. Merupakan logam yang paling mudah menguap jika dibandingkan dengan logam-logam lainnya. 4. Tahanan listrik yang dimiliki sangat rendah sehingga merkuri dijadikan sebagai penghantar listrik yang baik 5. Dapat melarutkan bermacam-macam logam untuk membentuk alloy yang disebut juga dengan amalgam 6. Merupakan unsur yang sangat beracun untuk semua makhluk hidup. Baik itu dalam bentuk unsur ataupun dalam bentuk persenyawaan. Menurut Darmono (1995) di perairan tawar, logam berat yang terkandung di dalamnya biasanya berasal dari buangan limbah industri, erosi dan dari udara secara langsung. Sedangkan di perairan laut, kontaminasi logam biasanya terjadi secara langsung dari tumpahan minyak dari kapal tanker yang melewati perairan laut tersebut. Biasanya daerah pantai lebih tinggi kandungan logamnya dari pada daerah lepas pantai. Limbah yang mengandung Hg selain berasal dari penggunaan batu bara dan minyak, juga berasal dari limbah pabrik pengguna logam berat yang 33 bersangkutan dengan hasil produksinya seperti pabrik baterai/aki, listrik, cat warna, tekstil, pestisida, gelas, dan keramik (Darmono 1995). David dan Ferguson dalam Budiono (2003) mengemukakan beberapa kemungkinan bentuk merkuri yang masuk ke dalam lingkungan perairan alam yaitu: Sebagai merkuri inorganik, melalui hujan, run-off atau aliran sungai. Unsur ini bersifat stabil terutama pada pH rendah. Dalam bentuk merkuri organik berupa phenyl merkuri (C6 H5-Hg), methyl merkuri (CH3-Hg), Alkoxyalkyl merkuri atau methyoxy-ethyl merkuri (CH3O-CH2-CH2-Hg+). Merkuri organik yang terdapat di perairan alam dapat berasal dari kegiatan pertanian (pestisida). Terikat dalam suspended solid sebagai Hg22+ (ion merkuro), mempunyai sifat reduksi yang baik Sebagai metalik merkuri (Hg0), masuk ke perairan melalui kegiatan perindustrian dan manufaktur. Unsur ini memiliki sifat reduksi yang tinggi, berbentuk cair pada temperatur ruang dan mudah menguap. Logam merkuri yang paling toksik dan berbahaya adalah dalam bentuk organik yaitu bentuk senyawa alkil merkuri (metil dan etil merkuri). Logamlogam berat yang bersifat racun seperti Hg, Cd, dan Pb yang terdapat dalam air kebanyakan juga berbentuk ion (Darmono 1995). Di perairan, bakteri dan fitoplankton dapat melakukan transfer merkuri karena kedua organisme tersebut biasanya ditemukan di perairan dalam jumlah yang relatif banyak. Bakteri dapat merubah merkuri menjadi metil merkuri dan membebaskan merkuri dari sedimen di dasar perairan (Goldwater dan Wood dalam Budiono (2003). Budiono (2003) juga menyatakan bahwa proses metilasi juga terpengaruh dengan adanya dominasi sulfur (S) yaitu pada keadaan anaerob. Faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan metil merkuri antara lain yaitu: suhu, kadar ion Cl-, kandungan bahan organik, derajat keasaman (pH) dan kadar merkuri itu sendiri (Nasution 2004). Sedangkan Faktor-faktor yang mempengaruhi akumulasi logam berat pada makhluk hidup adalah: suhu, pH, oksigen terlarut dan salinitas. Connel (1995) menyatakan bahwa konsentrasi logam akan meningkat seiring menurunnya salinitas. Selanjutnya Blackmore dan 34 Wang (2002) menyatakan bahwa kenaikan suhu, penurunan pH dan penurunan salinitas perairan dapat menyebabkan tingkat bioakumulasi logam berat semakin besar. Sebaliknya Modassir (2000) mengemukakan bahwa efek toksik merkuri dipengaruhi oleh salinitas. Mortalitas remis mangrove semakin meningkat seiring meningkatnya salinitas. Selanjutnya Prakasam (1989) melakukan penelitian mengenai ikan mujair yang dipelihara di media yang terkontaminasi merkuri pada rentang salinitas 0-31 ppt. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa mortalitas ikan tinggi terjadi pada salinitas tertinggi dan terendah. Thongra-ar et al (2003) menyatakan bahwa ketersediaan dan daya toksisitas logam berat sangat tergantung pada bentuk kimianya. Pada lingkungan yang konsentrasi Cl- nya rendah bentuk merkuri organiknya didominasi oleh tiga bentuk kompleks yaitu HgCl2, HgOHCl dan Hg(OH)2 dengan komplek terbanyak adalah Hg(OH)2. Sedangkan pada konsentrasi Cl- yang tinggi, yang paling dominan adalah dalam bentuk HgCl4-2 dan HgCl3- dan memiliki daya toksisitas yang rendah. HgCl2 lebih banyak terdapat pada lingkungan yang konsentrasi Clrendah dibandingkan konsentrasi Cl- yang tinggi. Hal ini menyebabkan toksisitas merkuri akan meningkat seiring menurunnya salinitas. Selanjutnya dikemukakan bahwa menurut prinsip Asam Basa Kuat dan Lemah (HSAB), merkuri adalah asam lemah dan dapat bereaksi lebih cepat dengan basa lemah terutama ligan yang mengandung unsur N dan S tetapi jauh lebih kuat bereaksi dengan ligan yang mengandung unsur S dari pada unsur N. Jadi dari mekanisme ini dapat diketahui bahwa Hg cenderung membentuk kompleks yang kuat dengan kelompok sulfhidril (-SH) yang ada dalam protein dibandingkan dengan Cl. Ikan mengandung banyak protein, oleh karenanya maka jumlah kelompok sulfhidril yang terkandung dalam jaringan ikan dapat menentukan jumlah Hg yang dapat terabsorpsi. Hamidah dalam Budiono (2003) menyatakan bahwa merkuri di alam umumnya terdapat dalam bentuk metil merkuri yang merupakan senyawa logam organik yang sangat beracun dan sukar terurai. Budiono (2003) menyatakan bahwa pencemaran perairan oleh merkuri mempunyai pengaruh terhadap ekosistem setempat disebabkan karena merkuri bersifat stabil dalam sedimen, kelarutannya yang rendah dalam air, dan mudah diserap dan terkumpul dalam 35 jaringan tubuh organisme air melalui proses bioakumulasi. Bioakumulasi terjadi karena kecepatan pengambilan merkuri (up take rate) oleh organisme air lebih cepat dari pada proses eksresi organisme tersebut (Sanusi 1985). Pada kondisi stress, penyerapan logam berat akan semakin meningkat dan pengambilan logam terlarut tersebut terutama terjadi di insang (Modassir 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa tingginya pergantian/pengambilan air karena proses osmoregulasi akan menyebabkan akumulasi merkuri lebih cepat sehingga toksisitas merkuri menjadi lebih besar. Pengaruh Merkuri Terhadap Organisme APHA (1979) dan Effendi (1993) mengemukakan bahwa tingkatan dari kematian yang disebabkan oleh polutan termasuk merkuri atau faktor lingkungan dibagi menjadi 5 kategori sebagai berikut: 1. Lethal Concentration (LC) LC ditentukan pada saat mortalitas mencapai >50 % dan terjadi setelah 24 jam, 48 jam atau 96 jam hewan dimasukkan ke dalam media. 2. Effectif Concentration (EC) EC ditentukan dengan konsentrasi yang dapat menyebabkan efek berbahaya seperti perbedaan pola tingkah laku biota dan ketikseimbangan pada 50 % populasi biota akuatik. 3. Incipient Letal Concentration (ILC) ILC ditentukan pada saat paling tidak 50 % dari populasi yang bertahan. 4. Save Consentration (SC) Konsentrasi tertinggi yang paling aman bagi biota akuatik. 5. Maksimum Allowable Toxicant Concentration (MATC) Konsentrasi tertinggi yang diperbolehkan ada di perairan yang tidak akan menyebabkan bahaya apapun bagi organisme akuatik. Selanjutnya Balazs (1970) menentukan dari nilai LC50, potensi ketoksikan akut senyawa uji dapat digolongkan menjadi: 1. Sangat tinggi : < 1 mg/l 2. Tinggi : 1-50 mg/l 3. Sedang : 50-500 mg/l 4. Sedikit toksik : 500-5000 mg/l 36 5. Hampir tidak toksik : 5000-15000 mg/l 6. Relatif tidak berbahaya : > 15000 mg/l Darmono (2001) menyatakan bahwa toksisitas logam berat terhadap makhluk hidup sangat bergantung pada spesies, lokasi, umur (fase siklus hidup), daya tahan (detoksifikasi), dan kemampuan individu untuk menghindarkan diri dari pengaruh polusi. Selanjutnya Modassir (2000) mengemukakan bahwa toksisitas merkuri meningkat pada organisme laut pada kondisi yang tidak baik berkaitan dengan perubahan laju penyerapan logam berat tersebut. Laju penyerapan tersebut bervariasi tergantung pada kondisi percobaan, jenis spesies yang diuji dan tahap perkembangan dari hewan uji. Hasil penelitian Wood, Anderson dan D’Apollonia dalam Sanusi (1985) menunjukkan bahwa antara 90 – 100 % dari total Hg yang terakumulasi pada tubuh ikan merupakan metil merkuri. Selanjutnya dikatakan bahwa metil merkuri yang terdapat di perairan umumnya bersifat sangat beracun, dan dapat menimbulkan efek toksik yang bersifat akut maupun kronis terhadap kehidupan organisme air. Hal ini disebabkan karena sifat senyawa tersebut relatif stabil dan memiliki umur biologis yang relatif lama dalam tubuh organisme air. Darmono (2001) menyatakan bahwa logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan yaitu melalui saluran pernafasan, saluran pencernaan dan melalui penetrasi kulit. Di dalam tubuh hewan, logam diabsorbsi darah dan berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi biasanya dalam organ detoksikasi (hati) dan organ ekskresi (ginjal). Anderson dan D’apollonia (1978) dalam Sanusi (1985) menyatakan bahwa toksisitas Hg lainnya yaitu mengganggu mekanisme osmoregulasi yang mengakibatkan berubahnya kandungan ion dalam darah dan gangguan dalam sistem urinasi. Sebagian besar organisme air mengakumulasi logam melalui proses makan dan proses metabolisme yang dapat menyebabkan akumulasi logam meningkat di jaringan tubuhnya. Logam berinteraksi dengan bagian protein, enzim dan dapat menghambat aktivitas fisiologis dan biokimia dalam tubuh organisme air tersebut (Kaoud dan Mekawy 2011). 37 Budiono (2003) menyatakan bahwa toksisitas logam berat yang melukai insang dan struktur jaringan luar lainnya, dapat menyebabkan kematian terhadap ikan yang disebabkan oleh proses anoxemia, yaitu terhambatnya fungsi sirkulasi dan ekskresi dari insang. Unsur–unsur logam yang berpengaruh terhadap insang adalah timah, seng, besi, tembaga dan merkuri. Enzim yang sangat berperan dalam insang ikan ialah enzim karbonik anhidrase dan transpor ATP ase. Karbonik anhidrase adalah enzim yang mengandung Zn dan berfungsi menghidrolisis CO2 menjadi asam karbonat. Apabila ikatan Zn itu diganti dengan logam lain, fungsi enzim karbonik anhidrase tersebut akan menurun. Toksisitas sub akut logam berat terhadap organisme air erat hubungannya dengan sifat bioakumulasi logam dalam jaringan organisme air tersebut. Toksisitas sub akut logam berat ini diantaranya dapat menghambat aktivitas enzim. Seperti aktifitas enzim alpha-glycerophosphat dehydrogenase yang terdapat dalam jaringan ikan dihambat oleh beberapa ion logam dengan urutan intensitas sebagai berikut: Hg+2 > Cd+2 > Zn+2 > Pb+2 > Ni+2 >Co+2 (Darmono 1995). Tetapi berdasarkan toksisitasnya terhadap organisme air sendiri, urutan itu berbeda. Urutan toksisitas itu adalah sebagai berikut: Hg+2>Ag+>Cu+2>Zn+2> Ni+2>Pb+2>Cd+2>As+2>Cr+3>Sn+3>Fe+3>Mn+2>Al+3>Be+2>Li+. Bentuk organik dan inorganik dari Hg menyebabkan pengaruh yang berbeda pada insang ikan (Olson dan Fromm Lock et al., dalam Sorensen (1991). Sorensen (1991) menyatakan bahwa reaksi toksisitas akut dari Hg+2 dan CH3Hg+ berpengaruh pada lapisan epitel lamella sekunder pada insang. Hg+2 inorganik menyebabkan nekrosis yang hebat pada sel epitel pada rainbow trout (Salmo gairdneri). Berbeda dengan CH3Hg+, senyawa ini dapat menyebabkan hiperplasia pada sel epitel dalam bentuk gelembung pertambahan sel epitel tersebut. Pengaruh Hg+2 pada anak ikan rainbow trout atau fingerling yaitu dapat menghasilkan sel mucosa dalam jumlah yang banyak sedangkan CH3Hg+ tidak berpengaruh (Wobeser dalam Sorensen 1991). Hg+2 inorganik akan terjebak dalam sel mukosa sedangkan CH3Hg+ terlihat lebih mudah melewati sel mukosa dan sel epitel dengan laju yang cepat karena pertambahan jaringan lemak. Laporan The Rucker dan Amend dalam Sorensen (1991) menunjukkan bahwa Hg 38 dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada insang yaitu berupa hipertropi dan hiperplasia pada lapisan epitel insang. Salinitas dan Osmoregulasi Salinitas dapat didefisnisikan sebagai konsentrasi total semua ion yang terlarut dalam air (Boyd 1982). Salinitas dinyatakan dalam satuan gram/kg atau promil (%0). Salinitas berhubungan erat dengan tekanan osmotik dan tekanan ionik air, sebagai media internal maupun eksternal (Affandi dan Tang 2002). Sifat osmotik air bergantung pada seluruh ion yang terlarut dalam air tersebut, tingkat kepekatan osmotik larutan akan semakin tinggi dengan semakin besar jumlah ion yang terlarut, hal ini menyebabkan semakin bertambah besar tekanan osmotik medium. Ion-ion yang dominan dalam menentukan tekanan osmotik (osmolaritas) air laut adalah Na+ dan Cl-. Ikan mempunyai tekanan osmotik yang berbeda dengan lingkunganya, oleh karena itu ikan harus mengatur tekanan osmotiknya dengan mencegah kelebihan air atau kekurangan air dalam tubuhnya agar proses fisiologi dalam tubuhnya berlangsung normal (Affandi dan Usman 2002). Selanjutnya Fujaya (2004) menyatakan bahwa osmoregulasi adalah upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara tubuh dan lingkunganya, atau suatu proses pengaturan tekanan osmotik. Semakin jauh perbedaan tekanan osmotik antara tubuh dan lingkungan maka semakin banyak energi metabolisme yang dibutuhkan untuk melakukan proses osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, namun tetap ada batas toleransi. Osmoregulasi pada ikan air laut berbeda dengan ikan air tawar. Ikan air laut hidup dalam media yang memiliki konsentrasi osmotik lebih besar dari cairan tubuhnya sehingga ikan cenderung kehilangan air melalui kulit dan insang serta kemasukan garam-garam. Oleh sebab itu ikan banyak minum air laut yang meliputi ion natrium dan ion klorida yang diserap oleh usus dan dibuang melalui sel chloride pada insang secara aktif (transport aktif). Magnesium dan sulfat dibuang melalui ginjal sehingga menyebabkan peningkatan kandungan garam dalam tubuh ikan. Namun kelebihan ini dikeluarkan kembali melalui permukaan tubuh yang semipermeabel secara difusi. Berbeda dengan ikan air laut, ikan air tawar mempunyai tekanan osmotik darah yang lebih tinggi dari lingkungannya 39 sehingga sejumlah garam yang ada dalam tubuh ikan akan hilang melalui permukaan jaringan insang dan kulit pada proses difusi, melalui feces dan juga urin. Untuk menjaga agar garam-garam tubuh yang hilang seminimum mungkin, maka dilakukan penyerapan kembali garam-garam dalam pembuluh proksimal ginjal. Kehilangan garam-garam ini akan digantikan oleh garam-garam yang terdapat dalam pakan dan penyerapan aktif ion-ion garam yang berasal dari lingkungan perairan melalui insang (Baldisserotto 2007). Selanjutnya ikan air laut yang dipindahkan ke media yang bersalinitas lebih rendah akan kemasukan air secara terus menerus pada kecepatan yang tidak normal dan mendapat keseimbangan kembali setelah 10 – 48 jam. Sebaliknya ikan air tawar yang dipindahkan ke media yang bersalinitas lebih tinggi akan kemasukan garam-garam (Black dalam Fitrani 2009). Alava (1998) mengemukakan bahwa pemeliharaan juvenil ikan bandeng pada salinitas 0 ppt dapat meningkatkan laju pertumbuhan karena dilihat dari tahapan perkembangannya juvenil ikan bandeng akan beruaya dari perairan laut masuk ke lingkungan estuari atau air tawar. Selanjutnya Swanson (1998) menyatakan bahwa pemeliharaan juvenil ikan bandeng pada salinitas yang tinggi (55 ppt) dapat menurunkan kemampuan osmoregulasi dan kinerja renang ikan. Hal ini menunjukkan bahwa adaptasi salinitas pada ikan eurihalin harus mempertimbangkan interaksi efek salinitas pada proses fisiologis dan tingkah laku ikan. Yuwono (2006) menyatakan bahwa osmolaritas plasma ikan bandeng menurun ketika di pelihara pada air tawar dan salinitas 8 ppt. selanjutnya dikatakan bahwa ikan bandeng merupakan osmoregulator yang memerlukan waktu lebih dari 4 minggu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan mampu melakukan osmoregulasi untuk mencapai homeostasis dalam tubuh ikan. 40 41 METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri atas 2 tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian inti. Penelitian pendahuluan terdiri atas 2 tahap yaitu uji nilai kisaran (range value test) dan uji toksisitas akut merkuri. Sedangkan penelitian inti yaitu pemeliharaan ikan bandeng pada media yang tercemar merkuri dengan salinitas berbeda. Persiapan Penelitian Akuarium yang digunakan sebelumnya dicuci bersih dan diberi desinfektan. Selanjutnya akuarium diisi air sesuai dengan volume pada perlakuan dan diaerasi selama 1 hari agar jenuh oksigen. Sedangkan untuk membuat larutan stok merkuri nitrat dilakukan pelarutan merkuri nitrat ke dalam akuades. Sebelum melakukan penelitian pendahuluan, terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi ikan uji. Aklimatisasi ini dilakukan selama seminggu yang bertujuan untuk membiasakan ikan agar dapat hidup dalam suasana laboratorium. Penelitian Pendahuluan Tahap 1 Penelitian pendahuluan tahap 1 adalah melakukan uji nilai kisaran (range value test) merkuri yang bertujuan untuk menentukan ambang batas atas (N) dan ambang batas bawah (n) yang digunakan untuk uji toksisitas akut. Konsentrasi ambang batas atas adalah konsentrasi terendah dari bahan uji yang dapat menyebabkan semua ikan uji mati pada periode waktu pemaparan 24 jam. Sedangkan konsentrasi ambang batas bawah adalah kosentrasi tertinggi dari bahan uji yang dapat menyebabkan semua hewan uji hidup setelah pemaparan 48 jam. Waktu dan Tempat Penelitian pendahuluan tahap 1 ini dilakukan di Laboratorium Lingkungan Departemen Ilmu Akuakultur Fakultas Perikanan IPB. Uji ini dilakukan selama 48 jam. 42 Alat dan Bahan Wadah Percobaan Wadah yang digunakan adalah akuarium dengan ukuran 30 x 30 x 30 cm 3 sebanyak 15 unit. Masing-masing akuarium diisi dengan air sebanyak 20 liter. Media Percobaan Untuk media percobaan digunakan air tawar. Sebelum digunakan air tersebut diendapkan dan diaerasi selama 24 jam agar jenuh oksigen. Bahan Uji Ikan yang digunakan adalah ikan bandeng dengan ukuran 7-8 cm dan bobot 3-5 gram sebanyak 150 ekor dengan padat tebar 10 ekor/akuarium. Sedangkan bahan pencemar yang digunakan adalah Merkuri Nitrat (Hg(NO3)2) dengan penentuan konsentrasi menggunakan metode logaritmik berbasis 10 (lampiran 1) yaitu A (kontrol), B (0.006), C (0.06), D (0.6), dan E (6) mg Hg/l dengan 3 ulangan tiap perlakuan. Perhitungan konsentrasi larutan uji mengacu pada persamaan berikut: V1 N1 = V2 N2 Keterangan: N1 : Konsentrasi merkuri dalam larutan stok (mg/l) V1 : Volume larutan stok yang akan diambil (ml) N2 : Konsentrasi merkuri yang diinginkan dalam media air (mg/l) V2 : Volume media air penelitian yang diinginkan (ml) Parameter Pengamatan Selama penelitian, setiap unit akuarium diberi aerasi namun tidak dilakukan pergantian air dan pemberian pakan. Parameter yang diukur adalah mortalitas ikan yang dihitung pada jam ke- 0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18, 20, 22 dan 24. Sedangkan perhitungan berikutnya dilakukan setiap 6 jam sekali sampai jam ke- 48. Tahap 2 Penelitian pendahuluan tahap 2 adalah melakukan uji toksisitas akut untuk mengetahui toksisitas akut merkuri yang dinyatakan dengan LC50. Nilai LC50 yang dilihat adalah nilai yang dapat mematikan ikan pada jam ke 48 dan jam ke 96. 43 Waktu dan Tempat Penelitian pendahuluan tahap 2 ini dilakukan di Laboratorium Lingkungan Departemen Ilmu Akuakultur Fakultas Perikanan IPB. Penelitian ini dilakukan selama 96 jam (4 hari). Alat dan Bahan Wadah Percobaan Wadah yang digunakan adalah akuarium dengan ukuran 30 x 30 x 30 cm 3 sebanyak 15 unit. Masing-masing akuarium diisi dengan air sebanyak 20 liter. Media Percobaan Untuk media percobaan digunakan air tawar. Sebelum digunakan air tersebut diendapkan dan diaerasi selama 24 jam agar jenuh oksigen. Bahan Uji Ikan yang digunakan adalah ikan bandeng dengan ukuran 7-8 cm dan bobot 3-5 gram sebanyak 150 ekor dengan padat tebar 10 ekor/akuarium. Sedangkan bahan pencemar yang digunakan adalah Merkuri Nitrat (Hg(NO3)2). Dari uji nilai kisaran didapatkan bahwa nilai ambang batas atas (N) adalah 0.6 mg Hg/l dan nilai ambang batas bawah adalah 0.06 mg Hg/l. Nilai ambang batas dan ambang bawah ini dimasukkan kedalam rumus menurut Wardoyo (1977), sehingga didapatkan konsentrasi yang akan digunakan dalam uji toksisitas ini. Rumus tersebut adalah sebagai berikut: Log N/n = k (log a – log n) a/n = b/a = c/b = d/c = N/d Keterangan: N : Konsentrasi ambang atas n : Konsentrasi ambang bawah k : Jumlah konsentrasi yang diuji a,b,c,d : Konsentrasi yang diuji dengan nilai a sebagai konsentrasi terkecil Rancangan Percobaan Penelitian pendahuluan tahap 2 ini terdiri atas 4 perlakuan dan 1 kontrol dengan 3 ulangan dengan konsentrasi sebagai berikut (Lampiran 1): 44 A : Tanpa merkuri B : 0.110 mg Hg/l C : 0.195 mg Hg/l D : 0.347 mg Hg/l E : 0.618 mg Hg/l Metode dan Parameter Pengamatan Selama penelitian tidak dilakukan pergantian air dan setiap perlakuan diberi aerasi agar kematian ikan tidak disebabkan karena kekurangan oksigen. Parameter yang diukur adalah mortalitas ikan yang dihitung pada jam ke- 0, 6, 12, 18, 24 dan selanjutnya dilakukan perhitungan setiap 12 jam sekali sampai jam ke96. Indikator pengamatan tingkah laku ikan uji yaitu gejala Ram-jet ventilation (mulut terbuka terus menerus dan tutup insang terabduksi), frekuensi pernafasan yaitu gerak membuka dan menutup insang/mulut per menit (perhitungan dimulai dari 30 menit setelah pemberian bahan uji dan selanjutnya dibandingkan dengan kontrol), pola gerak renang dan refleksi (normal, diam di dasar, ke permukaan, tidak seimbang, atau kehilangan gerak reflek). Sedangkan pengukuran fisika kimia air dilakukan setiap hari. Analisa Data Untuk dapat menentukan nilai konsentrasi LC50 dilakukan analisa probit dengan SPSS 17. Analisa probit adalah suatu cara transformasi statistik dari data presentase kematian ke dalam varian yang disebut probit dan kemudian digunakan untuk menentukan fungsi regresi probit dengan log konsentrasi agar dapat mengestimasi LC50. Penelitian Inti Pada penelitian ini dilakukan penggabungan dari 2 variabel yaitu toksisitas merkuri dengan konsentrasi sama dan salinitas yang berbeda. Tujuan dari penelitian inti ini adalah untuk mengetahui pengaruh salinitas yang berbeda terhadap toksisitas merkuri dan pengaruhnya terhadap kondisi fisiologis ikan bandeng. 45 Waktu dan Tempat Penelitian inti dilakukan di Laboratorium Lingkungan Departemen Ilmu Akuakultur Fakultas Perikanan IPB. Penelitian inti ini dilakukan selama 30 hari. Alat dan Bahan Wadah Percobaan Wadah yang digunakan adalah akuarium dengan ukuran 60 x 30 x 40 cm 3 sebanyak 12 unit. Masing-masing akuarium diisi dengan air sebanyak 40 liter dengan tanpa resirkulasi (static renewal). Media Percobaan Untuk media percobaan digunakan campuran air laut dan air tawar. Sebelum digunakan campuran air tersebut diendapkan dan diaerasi selama 24 jam agar jenuh oksigen. Untuk pergantian air setiap harinya dibuat media stok dengan salinitas 20 ppt, 10 ppt dan air tawar. Bahan Uji Ikan yang digunakan adalah ikan bandeng dengan ukuran 7 – 8 cm dan bobot 3 - 5 gram sebanyak 240 ekor dengan padat tebar 20 ekor/akuarium. Bahan pencemar digunakan adalah merkuri dengan konsentrasi 10 % dari LC50. Pakan Pakan yang digunakan adalah pakan komersil berupa pellet yang akan diberikan dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari yaitu pukul 8.00, 12.00 dan 16.00 wib. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan mengaplikasikan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Konsentrasi merkuri yang digunakan mengacu pada hasil penelitian pendahuluan. Satuan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Lampiran 1): A : Salinitas 0 ppt tanpa Hg B : Salinitas 0 ppt + 0.012 mg Hg/l C : Salinitas 10 ppt + 0.012 mg Hg/l D : Salinitas 20 ppt + 0.012 mg Hg/l 46 Metode dan Parameter Pengamatan Ikan yang digunakan untuk penelitian inti sebelumnya diaklimasi pada air tawar, salinitas 10 ppt dan 20 ppt selama lebih kurang 5 hari. Untuk mendapatkan media percobaan dengan tingkat salinitas yang sesuai dengan perlakuan yang diterapkan, maka dilakukan pengenceran air laut dengan air tawar (lampiran 2). Sedangkan untuk mendapatkan salinitas yang sesuai dengan perlakuan dilakukan perubahan salinitas secara bertahap dengan perubahan 3 ppt setiap harinya sehingga ikan dapat bertahan dan menyesuaikan diri dengan salinitas yang baru. Selama durasi aklimasi ikan, media pada setiap unit perlakuan diberi aerasi dan filter. Sebelum ikan dimasukkan ke dalam media penelitian inti, ikan ditimbang terlebih dahulu sebagai data awal. Selama penelitian inti setiap unit perlakuan diberi aerasi dan dilakukan penyiponan sisa pakan dan feses yang mengendap di dasar akuarium. Selanjutnya ditambahkan air dengan konsentrasi yang sama. Sedangkan parameter yang diukur adalah: 1. Tingkat Kerja Osmotik/ Gradien Osmotik Tingkat kerja osmotik dihitung berdasarkan formula yang digunakan oleh Anggoro (1992). TKO = │Osmolaritas darah benih ikan (mOsm/LH2O) – Osmolaritas media (mOsm/LH2O)│ Pengukuran tingkat kerja osmotik ikan bandeng dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada awal dan akhir penelitian (lampiran 3). 2. Tingkat Konsumsi Oksigen (TKO) Tingkat konsumsi oksigen akan diukur dengan menghitung selisih oksigen terlarut pada awal dan akhir penelitian per satuan waktu. TKO diukur dengan menggunakan toples tertutup tidak berwarna volume 3 liter yang diisi air. Air yang digunakan adalah air yang telah diaerasi selama 1 hari sehingga jenuh oksigen. Selanjutnya 1 ekor ikan yang sebelumnya telah dipuasakan selama 1 hari ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam toples dan diukur DO awalnya. Setelah 1 jam, dihitung lagi DO akhirnya. Maka akan didapatkan tingkat konsumsi oksigen ikan tersebut dengan menggunakan rumus berikut: TKO = {(DO awal – DO akhir)/W x t} x V 47 Keterangan: TKO : Tingkat konsumsi oksigen (mg O2/gr tubuh/jam) DO awal : Oksigen terlarut pada awal pengamatan (mg/l) DO akhir : Oksigen terlarut pada akhir pengamatan (mg/l) W : Berat ikan uji (gr) T : Periode pengamatan (jam) V : Volume air dalam respirometer (L) Pengukuran konsumsi oksigen pada setiap perlakuan dilakukan sebanyak 4 kali yaitu pada hari ke-0, 10, 20, dan hari ke-30. 3. Kondisi hematologi (Gambaran darah) Pengamatan dan pengukuran gambaran darah terdiri atas: a. Haemoglobin: metode yang digunakan metode sahli dengan sahlinometer (Wedemeyer dan Yasutake 1977). b. Hematokrit adalah perbandingan antara volume sel darah dengan total volume darah (Anderson and Siwichki 1993). c. Jumlah eritrosit Σ eritrosit = Σ sel terhitung x 104 sel/mm3 (Blaxhall dan Daisley 1973) d. Jumlah leukosit Σ Leukosit = Σ sel terhitung x 50 sel/mm3 (Blaxhall dan Daisley 1973) Pengukuran gambaran darah ikan dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada hari ke-0, 15 dan hari ke- 30 (Lampiran 4). 4. Histokimia Ikan bandeng yang telah dipaparkan pada penelitian inti dapat mengakumulasi merkuri dalam jaringan tubuhnya. Oleh karena itu dibuat histokimia untuk melihat deposit merkuri pada jaringan ikan. Masing-masing diambil satu ekor per unit penelitian untuk diambil sampel organ dalamnya yaitu insang dan hati pada akhir penelitian. Uji histokimia ini dilakukan menggunakan metode Histoteknik dengan penguat (Embedding material) paraffin (Kiernan, 1990) dan menggunakan pewarnaan logam berat (Lampiran 5). 48 5. Kadar glukosa darah Pemeriksaan kadar glukosa darah ikan dilakukan sebagai indikator stres sekunder akibat toksisitas Merkuri. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada hari ke-0, 15 dan hari ke- 30 (lampiran 6). Rumus yang digunakan adalah: ] [ [ ] Keterangan: [ GD ] AbsSp AbsSt [ GSt ] : Konsentrasi glukosa darah (mg/ml) : Absorbansi sampel : absorbansi standar : Konsentrasi glukosa standar (mg/ml) 6. Laju pertumbuhan (GR) Data laju pertumbuhan ikan uji diperoleh dengan melakukan pengambilan ikan uji pada awal dan akhir penelitian, kemudian ditimbang beratnya. Laju pertumbuhan harian ikan dianalisa dengan menggunakan rumus berdasarkan Effendie (1979): Wt t 1 x 100 Wo dengan: α = laju pertumbuhan bobot rerata harian (%) Wt = bobot rata-rata individu pada waktu t (g) Wo = bobot rata-rata individu pada waktu t0 (g) t = lama percobaan (hari) 7. Efisiensi pakan Efisiensi pakan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Keterangan: EP = Efisiensi pakan (%) Bt = Biomasa mutlak ikan pada akhir percobaan (g) Bd = Biomasa mutlak ikan yang mati selama percobaan (g) B0 = Biomasa mutlak ikan pada awal percobaan (g) F = Jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ikan selama percobaan (g) 8. Kadar merkuri dalam media dan ikan bandeng Pengukuran kadar merkuri dalam media dan akumulasinya did aging ikan dilakukan pada awal dan akhir penelitian dengan menggunakan metode AAS. 49 Untuk pengukuran kadar merkuri pada ikan diukur di daging ikan bandeng (Lampiran 7). 9. Kelangsungan hidup (SR) Ikan yang dipelihara diamati setiap hari. Apabila terdapat ikan yang mati segera dikeluarkan dari wadah uji, dicatat dan tidak dilakukan pergantian ikan yang mati tersebut. Tingkat kelulusan hidup ikan bandeng dihitung dengan rumus berikut: Keterangan: SR : Tingkat kelangsungan hidup (%) Nt : Jumlah ikan yang hidup pada waktu t No : Jumlah ikan yang hidup pada awal penelitian 10. Fisika kimia air Data kualitas air yang diukur adalah salinitas, suhu, DO, pH, alkalinitas, kesadahan dan TAN. Pengukuran kualitas air dilakukan setiap 7 hari sekali selama masa penelitian. Tabel 1. Metode dan alat untuk analisis parameter fisika kimia air Parameter Salinitas Suhu DO pH Alkalinitas Kesadahan TAN Satuan %0 0 C mg/l mg/l mg/l mg/l Alat Refraktometer Termometer pH meter DO meter Titrasi Titrasi Spektrofotometer Analisis Data Data parameter pengamatan pada perlakuan A dan B di uji menggunakan Uji T. Sedangkan data pengaruh perlakuan salinitas dan toksisitas merkuri terhadap perubahan gradien osmotik, tingkat konsumsi oksigen, kondisi hematologi, kadar glukosa darah, laju pertumbuhan, efisiensi pakan dan kelangsungan hidup ikna bandeng dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) menggunakan SPSS 17. Apabila terdapat pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji Tukey. Selanjutnya histokimia organ ikan dan data fisika kimia air akan dianalisa secara deskriptif dengan menggunakan tabel dan gambar. 50 51 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pendahuluan Uji Nilai Kisaran Hasil uji nilai kisaran (Range value test) merkuri pada ikan bandeng menunjukkan bahwa nilai konsentrasi ambang bawah sebesar 0.06 mg Hg/l yang merupakan konsentrasi tertinggi merkuri yang tidak mematikan ikan bandeng dalam waktu pemaparan selama 48 jam. Sedangkan nilai ambang atas sebesar 0.6 mg Hg/l yang merupakan konsentrasi terendah merkuri yang dapat mematikan 100 % ikan bandeng dalam waktu pemaparan selama 24 jam. Berikut tabel data mortalitas ikan bandeng pada uji nilai kisaran (Range value test) (lampiran 8). Tabel 2. Data mortalitas ikan bandeng pada uji nilai kisaran (Range value test) Konsentrasi (mg Hg/l) A (0) B (0.006) C (0.06) D (0.6) E (6) Jumlah ikan (ekor) 30 30 30 30 30 0 0 0 0 0 0 Mortalitas pada jam ke- (%) 6 12 18 24 36 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 48 0 0 0 100 100 Pada perlakuan kontrol setelah jam ke- 48 tidak ditemukan ikan yang mati, hal ini menunjukkan bahwa kualitas air sebagai media pemeliharaan selama masa pemaparan dalam kondisi baik. Uji Toksisitas Akut Uji toksisitas akut yang dilakukan selama 96 jam dibuat dengan konsentrasi yang lebih kecil dibandingkan uji nilai kisaran. Konsentrasi yang digunakan diperoleh dari nilai yang didapatkan dari uji nilai kisaran. Untuk konsentrasi uji toksisitas yaitu perlakuan A (tanpa merkuri), perlakuan B (0,110 mg Hg/l), perlakuan C (0,195 mg Hg/l), perlakuan D (0,346 mg Hg/l) dan perlakuan E (0.618 mg Hg/l). Pengamatan gejala klinis yang ditimbulkan oleh pemaparan ikan bandeng pada merkuri dan pencatatan kelangsungan hidup ikan dilakukan pada jam ke- 6, 12, 18, 24, 36, 48, 60, 72, 84 dan 96 jam setelah pemberian merkuri. Pada pengamatan jam ke- 6 setelah pemaparan merkuri perlakuan dengan konsentrasi 52 0.618 mg Hg/l (E) mengalami kematian sampai 100 %. Sedangkan konsentrasi 0,346 mg Hg/l (D) pada pengamatan jam ke- 36 juga mengalami kematian sampai 100 %. Selanjutnya konsentrasi 0,195 mg Hg/l (C) sampai akhir penelitian mengalami kematian sampai 90 %. Untuk perlakuan konsentrasi 0,110 mg Hg/l (B) pada jam ke- 96 kelangsungan hidup ikan bandeng mencapai 90 %. Pada ikan kontrol tidak ditemukan ikan yang mati dan gejala klinis akibat stres sampai waktu pemaparan 96 jam, hal ini menunjukkan bahwa media pemeliharaan dan keadaan ikan selama uji toksisitas akut dalam keadaan baik. Data kelangsungan hidup ikan bandeng pada uji toksisitas akut merkuri dapat dilihat pada lampiran 9. Data mortalitas ikan bandeng selanjutnya dianalisa dengan menggunakan analisa probit (SPSS 17) untuk menentukan nilai LC50 pada waktu pemaparan pada jam ke- 24, 48, 72 dan 96 jam (Lampiran 10, 11, 12 dan 13). Hasil analisa menunjukkan bahwa nilai LC50 pada waktu pemaparan 24, 48, 72 dan 96 jam berturut-turut adalah 0.3497 mg/l (0.216 mg Hg/l), 0.2758 mg/l (0.171 mg Hg/l), 0.2467 mg/l (0.152 mg Hg/l) dan 0.2371 mg/l (0.147 mg Hg/l). Berikut grafik nilai LC50 pada uji toksisitas akut. 0.45 0.4 0.35 LC50 0.3 0.25 0.2 y = -0.0367x + 0.3691 R² = 0.8631 0.15 0.1 0.05 0 24 48 72 96 Waktu pemaparan (jam) Nilai LC50 Nilai batas bawah Nilai batas atas Linear (Nilai LC50) Gambar 2. Nilai LC50 merkuri pada ikan bandeng selama uji toksisitas akut 53 Nilai LC50 dari grafik di atas menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemaparan maka nilai LC50 merkuri terhadap ikan bandeng akan semakin rendah. Dari nilai LC50 96 jam yang diperoleh dapat dikatakan bahwa merkuri bersifat toksik sangat tinggi terhadap benih ikan bandeng. Frekuensi buka tutup operculum ikan bandeng selama uji toksisitas akut merkuri meningkat seiring meningkatnya konsentrasi merkuri yang diberikan. Frekuensi rata-rata bukaan operculum ikan bandeng pada perlakuan A (0 ppm) adalah 68.13 kali/menit. Selanjutnya terjadi peningkatan pada setiap perlakuan yaitu perlakuan B (0.110 mg Hg/l) sebanyak 124.93 kali/menit, perlakuan C (0.195 mg Hg/l) sebanyak 130.5 kali/menit, perlakuan D (0.347 mg Hg/l) sebanyak 139.62 kali/menit dan perlakuan E (0.618 mg Hg/l) sebanyak 173.17 Gerak operkulum (kali/menit) kali/menit (Lampiran 14). Hal ini dapat dilihat pada grafik berikut ini: 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 173.17 124.93 130.5 139.62 68.13 A (kontrol) B (0.110 mg Hg/l) C (0.195 mg Hg/l) D (0.346 mg Hg/l) E (0.618 mg Hg/l) Perlakuan Gambar 3. Rata-rata frekuensi pergerakan operculum ikan bandeng selama uji toksisitas akut Pemaparan ikan bandeng pada merkuri mengakibatkan rusaknya sistem pernafasan ikan bandeng tersebut, sehingga ikan akan lebih sering membuka mulut dan operculumnya untuk mendapatkan oksigen lebih banyak. Hal ini dilakukan sebagai suatu adaptasi fisiologis sehingga ikan dapat bertahan hidup atau memperlambat kematian. Respon tingkah laku ikan bandeng setelah dipaparkan pada merkuri menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi merkuri yang diberikan, akan mempercepat perubahan tingkah laku ikan bandeng tersebut. Perubahan tingkah 54 laku ikan tersebut antara lain: ikan kehilangan gerak refleks, berenang tidak beraturan dan sering muncul ke permukaan dengan bukaan mulut dan operculum yang lebih lebar dan cepat. Kemudian kembali ke dasar dengan posisi tegak dan sampai ke dasar dengan posisi bagian ventral ke atas. Ikan juga mengalami kejang-kejang sebelum mengalami kematian di dasar akuarium. Pada perlakuan C (0.195 mg Hg/l), ikan mengalami ram-jet ventilation sebelum mengalami kematian. hal ini disebabkan karena ikan terpapar merkuri pada konsentrasi yang tinggi dan jangka waktu yang lama sehingga sistem pernafasannya mengalami kerusakan yang parah. Penelitian Inti Pengaruh Merkuri Pada Ikan Bandeng yang Dipelihara di Air Tawar (0 ppt) Gradien Osmotik Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa gradien osmotik ikan bandeng yang terpapar merkuri (perlakuan B) lebih tinggi dibandingkan kontrol (perlakuan A) dimana perlakuan B sebesar 0.303±0.093 Osm/kg dan perlakuan A sebesar 0.284±0.025 Osm/kg (Lampiran 15). Hal ini mengakibatkan energi yang dibutuhkan oleh ikan pada perlakuan B untuk proses osmoregulasi lebih besar dibandingkan ikan kontrol. Berikut grafik gradien osmotik ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar. Gradien Osmotik (Osm/kg) 0.330 0.326 0.326 0.320 0.310 0.303 0.300 0.290 0.284 0.280 0.270 0.260 A B (0.012 mg Hg/l) Perlakuan GO awal GO akhir Gambar 4. Gradien osmotik ikan bandeng yang terpapar merkuri dan tidak terpapar merkuri di air tawar 55 Tingkat Konsumsi Oksigen Tingkat konsumsi oksigen ikan bandeng akan menurun apabila terpapar oleh merkuri. Pada gambar 5 dapat dilihat bahwa ikan bandeng pada perlakuan B (0.012 mg Hg/l) mengalami penurunan tingkat konsumsi oksigen dari 0.941±0.058 mgO2/gr/jam menjadi 0.191±0.014 mgO2/gr/jam pada akhir penelitian. Sedangkan pada perlakuan A (kontrol) tingkat konsumsi oksigennya tidak jauh berubah dari 0.941±0.058 mgO2/gr/jam menjadi 0.843±0.06 mgO2/gr/jam pada akhir penelitian. Hasil statistik juga menunjukkan bahwa pemberian merkuri pada media pemeliharaan ikan berpengaruh nyata terhadap tingkat konsumsi oksigen ikan bandeng (P < 0.05) (Lampiran 16). Hal ini dapat terlihat pada gambar berikut: TKO rata-rata (mgO2/gr/jam) 1.200 1.000 0.800 0.941 0.941 0.787 0.843 0.747 0.592 0.600 0.427 0.400 0.191 0.200 0.000 A B (0.012 mg Hg/l) Perlakuan 0 10 20 30 Gambar 5. Rata-rata tingkat konsumsi oksigen ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar Kondisi Hematologi Pemberian merkuri pada ikan bandeng juga mempengaruhi kondisi hematologi dari ikan tersebut. Data hematologi yang meliputi jumlah eritrosit, haemoglobin, hematokrit dan jumlah leukosit. Dari gambar 6 dapat diketahui bahwa merkuri dapat menurunkan kadar eritrosit dalam darah ikan, hal ini dapat dilihat dari perbandingan jumlah eritrosit 56 ikan kontrol (perlakuan A) dengan jumlah eritrosit ikan perlakuan B. Jumlah eritrosit ikan perlakuan B adalah 3.39±0.62 x 106 sel/mm3 sedangkan jumlah eritrosit ikan kontrol jauh lebih besar yaitu 5.63±0.46 x 106 sel/mm3. Kadar haemoglobin pada perlakuan B juga mengalami penurunan dibandingkan perlakuan kontrol. Kadar haemoglobin ikan perlakuan B adalah 4.47±0.46 % sedangkan perlakuan A sebesar 9.33±0.5 %. Untuk kadar hematokrit perlakuan B juga lebih rendah dibandingkan ikan kontrol yaitu sebesar 10.16±0.32 %. Jumlah leukosit ikan perlakuan B juga lebih rendah dibandingkan ikan kontrol yaitu sebesar 8.37±0.66 x 105 sel/mm3. Hal ini juga didukung dengan uji statistik yang menyatakan bahwa merkuri berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap penurunan jumlah eritrosit, haemoglobin, hematokrit dan leukosit pada ikan bandeng yang dipelihara di air tawar (Lampiran 17, 18 19 dan 20). Berikut grafik kondisi hematologi ikan yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar. 35 30.59 Kondisi hematologi 30 25 21.06 20 15 10 10.16 8.37 9.33 5.63 3.39 4.47 5 0 A (kontrol) B (0.012 mg Hg/l) Perlakuan Eritrosit Haemoglobin Hematokrit Leukosit Gambar 6. Kondisi hematologi ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar Histokimia Histokimia merupakan salah satu cara yang digunakan untuk melihat deposit logam berat seperti merkuri dalam jaringan makhluk hidup. Hasil histokimia menunjukkan bahwa ada deposit merkuri dalam jaringan insang dan hati ikan bandeng yang terkontaminasi oleh merkuri di air tawar. 57 a 50 µm 50 µm b Gambar 7. Histokimia ikan bandeng pada perlakuan A (kontrol) a. Insang; b. Hati. Hg 50 µm a 50 µm b Gambar 8. Histokimia ikan bandeng pada perlakuan B (0.012 mg Hg/l) a. Insang; b. Hati Kadar Glukosa Darah Kadar glukosa darah merupakan salah satu pendekatan yang digunakan untuk bisa mengenali ikan dalam kondisi stres. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa penambahan merkuri pada media air tawar meningkatkan kadar glukosa darah ikan bandeng selama waktu pemaparan. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan bandeng mengalami stress akibat pemaparan merkuri pada media pemeliharaan. Dari gambar 9 dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan kadar glukosa darah pada ikan bandeng perlakuan B dengan konsentrasi merkuri 0.012 mg Hg/l dari 21.72 mmol/L menjadi 22.97 mmol/L pada hari ke 30 waktu pemaparan. Sedangkan pada perlakuan A (kontrol) terjadi penurunan kadar glukosa darah dari 58 21.72 mmol/L menjadi 14.54 mmol/L pada hari ke 30 waktu pemaparan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan pada perlakuan B (0.012 mg Hg/l) mengalami stress akibat pemaparan merkuri pada media pemeliharaan. Dari uji statistik juga memperlihatkan adanya pengaruh yang nyata (P < 0.05) (Lampiran 21) pemberian merkuri terhadap peningkatan kadar glukosa darah ikan bandeng. Kadar Glukosa darah (mmol/L) 25.00 22.97 21.72 22.37 21.72 20.00 14.54 13.49 15.00 0 10.00 15 30 5.00 0.00 A (kontrol) B (0.012 mg Hg/l) Perlakuan Gambar 9. Rata-rata kadar glukosa darah ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar Jumlah Konsumsi Pakan Jumlah pakan yang dikonsumsi ikan bandeng mengalami penurunan setelah terpapar merkuri. Hal ini dapat dilihat pada grafik berikut ini. 80.00 72.17 Jumlah pakan (gram) 70.00 61.81 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 A B (0.012 mg Hg/l) Perlakuan Gambar 10. Rata-rata jumlah pakan yang dikonsumsi ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar. 59 Ikan yang terpapar merkuri di air tawar mengalami stres sehingga menyebabkan kadar glukosa darah meningkat. Akibatnya nafsu makan ikan menurun sehingga ikan kurang respon terhadap pakan yang diberikan. Laju pertumbuhan Pertumbuhan merupakan suatu proses bertambahnya ukuran volume atau berat suatu organisme, khususnya ikan yang dilihat dari perubahan panjang dan berat dalam suatu waktu (Effendi 1979). Toksisitas merkuri juga berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap penurunan laju pertumbuhan ikan bandeng yang dipelihara di air tawar (Lampiran 22). Pada gambar 11 dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan ikan pada perlakuan B 0.47±0.02 % lebih rendah dari perlakuan A (kontrol) yang mencapai 0.68±0.03 %. Lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut ini: 0.80 0.68 Laju Pertumbuhan (%) 0.70 0.60 0.47 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 A B (0.012 mg Hg/l) Perlakuan Gambar 11. Rata-rata laju pertumbuhan ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar Efisiensi pakan Efisiensi pakan ikan pada perlakuan B (12.49±0.70 %) lebih kecil dibandingkan efisiensi pakan pada perlakuan A (kontrol) (24.57±1.32 %). Uji statistik menunjukkan bahwa merkuri berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap penurunan efisiensi pakan ikan bandeng yang dipelihara pada air tawar (Lampiran 23). Berikut grafik nilai efisiensi pakan ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar. 60 30.00 24.57 Efisiensi pakan (%) 25.00 20.00 12.49 15.00 10.00 5.00 0.00 A B (0.012 mg Hg/l) Perlakuan Gambar 12. Rata-rata nilai efisiensi pakan ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar Kadar Merkuri di Air dan di Daging Ikan Bandeng Kadar merkuri dalam media pemeliharaan ikan dan daging ikan dihitung pada awal dan akhir penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar merkuri di air dan peningkatan kadar merkuri di tubuh ikan setelah terpapar merkuri 0.012 mg Hg/l pada perlakuan B selama 30 hari. Hal ini terjadi karna merkuri dapat diabsorbsi dan terakumulasi dalam jaringan tubuh ikan bandeng tersebut. Sedangkan pada perlakuan A (kontrol) tidak terjadi perubahan kadar merkuri baik di air maupun di daging ikan bandeng. Berikut grafik kadar merkuri dalam media dan tubuh ikan bandeng pada akhir penelitian. Kadar merkuri (ppm) 0.3000 0.2664 0.2500 0.2000 0.1500 0.1000 0.0500 0.0005 0.0000 0.0081 0.0000 A B (0.012 mg Hg/l) Perlakuan Air Daging Gambar 13. Kadar merkuri pada media dan daging ikan bandeng di air tawar pada akhir penelitian. 61 Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng cenderung menurun akibat pengaruh toksisitas merkuri. Dari gambar 14 dapat dilihat bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan pada perlakuan B hanya 53.33 % sedangkan pada perlakuan A (kontrol) mencapai 96.67 %. Hal ini sesuai dengan uji statistik yang memperlihatkan bahwa toksisitas merkuri berpengaruh nyata terhadap penurunan kelangsungan hidup ikan bandeng di air tawar (P<0.05) (Lampiran 24). Berikut grafik tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng yang terpapar merkuri. 120 100 98.33 Kelangsungan hidup (%) 100 100 96.67 96.67 95.00 83.33 80 53.33 60 40 20 0 A B (0.012 mg Hg/l) Perlakuan 0 10 20 30 Gambar 14. Rata-rata tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar Pemaparan merkuri sangat berpengaruh terhadap kondisi fisiologis ikan bandeng yang dipelihara pada air tawar. Secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel 3 berikut: 62 Tabel 3. Data parameter pengamatan ikan bandeng yang terpapar dan tidak terpapar merkuri di air tawar Perlakuan A (kontrol) B (0.012 mg Hg/l) 0.284±0.025 0.303±0.093 0.843±0.06 0.191±0.014 5.63±0.46 3.39±0.62 9.33±0.5 4.47±0.46 21.06±0.27 10.16±0.32 30.59±1.88 8.37±0.66 14.54±0.91 22.97±1.33 72.17±1.19 61.81±1.47 0.68±0.03 0.47±0.02 24.57±1.32 12.49±0.70 <0.0002 0.0081 0.0005 0.2664 96.67 53.33 Parameter pengamatan Gradien osmotik (Osm/kg) Tingkat konsumsi oksigen (mgO2/g/jam) ∑ Eritrosit (106 sel/mm3) Kadar Haemoglobin (%) Kadar Hematokrit (%) ∑ Leukosit (105 sel/mm3) Kadar Glukosa darah (mmol/L) ∑ konsumsi pakan (g) Laju Pertumbuhan (GR) (%) Efisiensi Pakan (EP) (%) Kadar Hg di air (ppm) Kadar Hg di daging ikan (ppm) Kelangsungan Hidup (SR) (%) Pengaruh Salinitas dan Toksisitas Merkuri Terhadap Ikan Bandeng Pada perlakuan ini konsentrasi merkuri yang diberikan sama yaitu 0.012 mg Hg/l pada salinitas 0 ppt, 10 ppt dan 20 ppt. Gradien Osmotik Selisih antara nilai osmolaritas cairan tubuh dan osmolaritas media pemeliharaan ikan dapat diartikan sebagai nilai gradien osmotik. Toksisitas merkuri pada salinitas yang berbeda sangat mempengaruhi gradien osmotik ikan Bandeng yang dipelihara. Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut: Gradien osmotik (Osm/kg) 0.800 0.737 0.700 0.600 0.500 0.400 0.300 0.326 0.303 0.237 0.200 GO awal 0.190 GO akhir 0.052 0.100 0.000 B (0 ppt) C (10 ppt) D (20 ppt) Perlakuan Gambar 15. Rata-rata gradien osmotik ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda 63 Dari gambar 15 dapat diketahui gradien osmotik yang terkecil pada perlakuan C (10 ppt) (Lampiran 15). Hal ini menunjukkan energi yang dibutuhkan untuk proses osmoregulasi lebih sedikit pada perlakuan C (10 ppt) dibandingkan perlakuan B (0 ppt) dan perlakuan D (20 ppt) sehingga banyak energi yang tersimpan untuk pertumbuhan dan pertahanan tubuh. Tingkat Konsumsi Oksigen Indikator dari respirasi adalah jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh suatu jenis ikan (Affandi dan Tang 2002). Selanjutnya dikatakan tingkat konsumsi oksigen ini menunjukkan tingkat metabolisme. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa toksisitas merkuri pada salinitas yang berbeda dapat menurunkan tingkat konsumsi oksigen ikan bandeng. Berdasarkan uji statistik diketahui tingkat konsumsi oksigen perlakuan D (20 ppt) adalah yang terendah dengan nilai 0.154±0.039 mgO2/gr/jam dan berbeda nyata dengan perlakuan C (10 ppt) dengan nilai 0.257±0.037 mgO2/gr/jam (Lampiran 16). Hal ini menunjukkan bahwa ikan bandeng pada perlakuan C (10 ppt) mempunyai ketahanan yang lebih baik terhadap pengaruh toksisitas merkuri dibandingkan pelakuan B (0 ppt) dan D (20 ppt). Berikut grafik rata-rata tingkat konsumsi oksigen ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas yang berbeda. TKO (mgO2/gr tubuh ikan/jam 1.200 1.000 0.968 0.941 0.800 0.600 0.643 0.592 0.464 0.427 0.344 0.257 0.400 0.191 0.200 0.413 0.361 0.154 0.000 B (0 ppt) C (10 ppt) D (20 ppt) Perlakuan 0 10 20 30 Gambar 16. Rata-rata tingkat konsumsi oksigen ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda. 64 Kondisi Hematologi Data hematologi meliputi jumlah eritrost, haemoglobin, hematokrit dan leukosit. Berikut gambar grafik perubahan kondisi hematologi ikan bandeng yang dipelihara pada salinitas berbeda. Dari gambar 17 dapat diketahui bahwa kondisi hematologi terbaik terdapat pada perlakuan C (10 ppt) dengan jumlah eritrosit 3.61±0.39 x 106 sel/mm3, haemoglobin 5.37±0.86 %, hematokrit 19.90±0.41 % dan jumlah leukosit 11.33±0.43 x 105 sel/mm3. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa toksisitas merkuri berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap penurunan kadar haemoglobin, hematokrit dan jumlah leukosit pada setiap perlakuan (Lampiran 17, 18 19 dan 20). Grafik kondisi hematologi ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas yang berbeda disajikan pada gambar di bawah ini. 25 19.9 Kondisi Hematologi 20 15 10 5 11.33 10.16 8.37 5.37 3.61 4.47 3.39 5.7 2.78 6.05 3.67 0 B (0 ppt) C (10 ppt) D (20 ppt) Perlakuan Eritrosit Haemoglobin Hematokrit Leukosit Gambar 17. Rata-rata kondisi hematologi ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda Histokimia Merkuri merupakan salah satu logam berat yang mudah diabsorbsi dan terakumulasi dalam jaringan tubuh ikan. Insang dan Hati merupakan jaringan yang rentan terhadap akumulasi merkuri. Akumulasi merkuri tersebut dapat berupa deposit yang dapat mengganggu kerja insang dan hati tersebut. 65 Hg a 50 µm 50 µm b 50 µm c Gambar 18. Histokimia insang ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda a. perlakuan B (0 ppt), b. perlakuan C (10 ppt) dan c. perlakuan D (20 ppt) Dari gambar 18 terlihat bahwa deposit merkuri di insang lebih besar terdapat pada perlakuan D (20 ppt). Kemudian diikuti oleh perlakuan B (0 ppt) dan yang paling kecil terdapat pada perlakuan C (10 ppt). Sedangkan Gambar 19 menunjukkan bahwa hati pada perlakuan D (20 ppt) mengakumulasi merkuri lebih banyak dibandingkan perlakuan B (0 ppt) dan C (10 ppt). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hati ikan pada perlakuan D (20 ppt) mengalami kerusakan yang lebih parah dibandingkan perlakuan B (0 ppt) dan C (10 ppt). 66 a 50 µm 50 µm b 50 µm c Gambar 19. Histokimia hati ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda a. perlakuan B (0 ppt), b. perlakuan C (10 ppt) dan c. perlakuan D (20 ppt). Kadar Glukosa Darah Perubahan lingkungan akibat penambahan merkuri dan perubahan salinitas dapat menyebabkan stress pada ikan bandeng. Salah satu pendekatan yang bisa dilihat pada tubuh ikan saat stress adalah perubahan naik turunnya kadar glukosa darah. Data hasil penelitian memperlihatkan bahwa kadar glukosa darah ikan semakin meningkat sampai akhir penelitian. Kadar glukosa darah tertinggi terdapat pada perlakuan D (20 ppt) yaitu 23.60±0.71 mmol/l. Selanjutnya diikuti oleh perlakuan B (0 ppt) dengan nilai 22.97±1.33 mmol/l dan yang terendah pada perlakuan C (10 ppt) dengan nilai 11.77±1.30 mmol/l. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan C (10 ppt) memiliki tingkat stress yang lebih rendah 67 dibandingkan perlakuan B (0 ppt) dan D (20 ppt). Analisa statistik juga menunjukkan perlakuan C (10 ppt) berbeda nyata dengan perlakuan B (0 ppt) dan D (20 ppt) (P<0.05) (Lampiran 21). Grafik rata-rata kadar glukosa darah ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas yang berbeda disajikan pada gambar dibawah ini. Kadar Glukosa darah (mmol/L) 25.00 23.60 22.97 21.7222.37 18.97 17.02 20.00 15.00 11.6311.77 10.63 0 10.00 15 30 5.00 0.00 B (0 ppt) C (10 ppt) D (20 ppt) Perlakuan Gambar 20. Rata-rata kadar glukosa darah ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda Jumlah Konsumsi Pakan Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan C (10 ppt) memiliki respon yang lebih baik terhadap pakan yang diberikan dibandingkan perlakuan B (0 ppt) dan perlakuan D (20 ppt). Hal ini dapat dilihat pada grafik berikut ini. Jumlah pakan (gram) 70.00 61.81 65.03 60.00 52.91 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 B (0 ppt) C (10 ppt) D (20 ppt) Perlakuan Gambar 21. Rata-rata jumlah pakan yang dikonsumsi ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda. 68 Laju Pertumbuhan Laju pertumbuhan ikan bandeng pada setiap perlakuan juga menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan. Hal ini didukung oleh hasil analisa statistik yang menunjukkan bahwa toksisitas merkuri pada salinitas yang berbeda berpangaruh nyata (P<0.05) terhadap penurunan laju pertumbuhan tiap perlakuan (Lampiran 22). Perlakuan C (10 ppt) merupakan perlakuan dengan laju pertumbuhan tertinggi dengan nilai 0.55±0.02 % dibandingkan perlakuan B (0 ppt) dan D (20 ppt). Hal ini terjadi karena perlakuan C (10 ppt) mempunyai gradien osmotik terendah sehingga energi yang tersimpan untuk pertumbuhan dan pertahanan tubuh lebih banyak dibandingkan ke dua perlakuan lainnya. Berikut grafik ratarata laju pertumbuhan ikan Bandeng pada hari ke- 30 waktu pemaparan. 0.70 Laju Pertumbuhan (%) 0.60 0.55 0.47 0.50 0.35 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 B (0 ppt) C (10 ppt) D (20 ppt) Perlakuan Gambar 22. Rata-rata laju pertumbuhan ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda Efisiensi Pakan Berdasarkan jumlah konsumsi pakan dan laju pertumbuhan maka diperoleh nilai efisiensi pakan ikan Bandeng. Berikut grafik rata-rata efisiensi pakan ikan Bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas yang berbeda. Dari gambar 23 diketahui bahwa efisiensi pakan tertinggi terdapat pada perlakuan C (10 ppt) dengan nilai 18.63±0.79 %, sedangkan perlakuan B (0 ppt) dan perlakuan D (20 ppt) tidak jauh berbeda yaitu 12.49±0.70 % dan 10.60±1.28 %. Hasil analisa statistik menunjukkan perlakuan C (10 ppt) berbeda nyata (P<0.05) 69 dengan perlakuan B (0 ppt) dan D (20 ppt) (Lampiran 23). Berikut grafik Ratarata efisiensi pakan ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas yang berbeda. Efisiensi Pakan (%) 25.00 18.63 20.00 15.00 12.49 10.60 10.00 5.00 0.00 B (0 ppt) C (10 ppt) D (20 ppt) Perlakuan Gambar 23. Rata-rata efisiensi pakan ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda Kadar Merkuri di Air dan di Daging Ikan Bandeng Dari gambar 24 dapat diketahui bahwa kadar merkuri di air dan di daging ikan Bandeng dipengaruhi oleh salinitas. Kadar merkuri terendah terdapat pada perlakuan C (10 ppt) dengan kadar merkuri sebesar 0.0844 ppm. Kadar merkuri di air dan di daging ikan bandeng setelah pemaparan selama 30 hari dapat dilihat pada gambar berikut: 0.9000 0.7939 Kadar merkuri (ppm) 0.8000 0.7000 0.6000 0.5000 0.4000 0.2664 Air 0.3000 Daging 0.2000 0.1000 0.0081 0.0844 0.0157 0.0034 0.0000 B (0 ppt) C (10 ppt) D (20 ppt) Perlakuan Gambar 24. Rata-rata kadar merkuri di air dan daging ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda 70 Tingkat Kelangsungan Hidup Data kelangsungan hidup ikan bandeng menunjukkan adanya perbedaan pada setiap perlakuan. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa toksisitas merkuri pada salinitas yang berbeda berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap penurunan tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng pada tiap perlakuan. Dari gambar 25 dapat dilihat bahwa tingkat kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan C (10 ppt) dengan nilai 68.33 %. Selanjutnya diikuti oleh perlakuan B (0 ppt) dengan nilai 53.33 % dan tingkat kelangsungan hidup terendah terdapat pada perlakuan D (20 ppt) dengan nilai 43.33 % (Lampiran 24). Berikut grafik tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng akibat toksisitas merkuri pada salinitas yang berbeda. 120 100 Kelangsungan Hidup (%) 100 100 95.00 100 96.67 88.33 83.33 75.00 68.33 80 60 56.67 53.33 43.33 40 20 0 B (0 ppt) C (10 ppt) D (20 ppt) Perlakuan 0 10 20 30 Gambar 25. Rata-rata tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas berbeda Seluruh perubahan kondisi fisiologis ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas yang berbeda dapat dilihat pada tabel berikut ini: 71 Tabel 4. Data parameter pengamatan ikan bandeng yang terpapar merkuri pada salinitas yang berbeda Parameter pengamatan Gradien osmotik (Osm/kg) Tingkat konsumsi oksigen (mgO2/gr/jam) Kadar Haemoglobin (%) Kadar Hematokrit (%) ∑ Leukosit (105 sel/mm3) Glukosa darah (mmol/L) ∑ konsumsi pakan (g) Laju Pertumbuhan (GR) (%) Efisiensi Pakan (EP) (%) Kadar Hg di air (ppm) Kadar Hg di daging ikan (ppm) Kelangsungan Hidup (SR) (%) Perlakuan C (10 ppt) D (20 ppt) a 0.237±0.088 0.737±0.288b 0.257±0.037b 0.154±0.039a 5.37±0.86b 3.67±0.31a 19.90±0.41c 5.70±0.68a 11.33±0.43c 6.05±0.08a b 11.77±1.30 23.60±0.71a 65.03±1.85a 52.91±2.43b 0.55±0.02c 0.35±0.03a 18.63±0.79b 10.60±1.28a 0.0157 0.0034 0.0844 0.7939 b 68.33 43.33a B (0 ppt) 0.303±0.093a 0.191±0.014ab 4.47±0.46ab 10.16±0.32b 8.37±0.66b 22.97±1.33a 61.81±1.47a 0.47±0.02b 12.49±0.70a 0.0081 0.2664 53.33ab *) Angka sama yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05) Fisika Kimia Air Selama uji toksisitas merkuri (akut dan uji pengaruh) dilakukan pengamatan fisika kimia air media pemeliharaan yang meliputi salinitas, suhu, DO, pH, alkalinitas, kesadahan dan TAN. Tabel 5. Data pengamatan fisika kimia air selama uji toksisitas akut merkuri terhadap ikan bandeng Perlakuan Parameter kualitas air alkalinitas Kesadahan (mg CaCO₃/l) (mg CaCO₃/l) 140-152 57.65-87.09 A Suhu (⁰C) 27-28 6.9-7.7 DO (mg/l) 5.4-6.07 B 27-28 6.9-7.7 5.45-6.07 148-184 69.19-86.48 0.115-0.233 C 27-28 6.9-7.7 5.35-6.07 132-164 57.66-69.19 0.154-0.211 D 27-28 6.9-7.7 5.6-6.07 112-132 58.83-74.95 0.112-0.181 E 27-28 6.9-7.7 5.24-6.07 84-88 57.65-86.48 0.096-0.135 pH TAN (ppm) 0.181-0.257 Dari data pengamatan diketahui bahwa nilai parameter fisika kimia air selama penelitian secara umum masih layak untuk mendukung kelangsungan hidup ikan bandeng. Data fisika kimia air selama penelitian ditampilkan pada tabel berikut. 72 Tabel 6. Data pengamatan fisika kimia air selama penelitian inti Parameter fisika kimia air Salinitas (ppt) Suhu (0 C) pH DO (mg/l) Alkalinitas (mg/l) Kesadahan (mg/l) TAN (ppm) A (kontrol) 0 28±1 6.9-7.03 4.31-5.09 72-84 68-116 0.011-0.178 Perlakuan B (0 ppt) C (10 ppt) 0 10 28±1 28±1 6.9-7.02 6.8-7.53 4.14-5.09 4.88-5.06 52-84 88-100 48-116 148.5-176.1 0.011-0.131 0.011-0.032 D (20 ppt) 20 28±1 6.9-7.71 4.64-5.08 68-112 224.2-340.3 0.014-0.015 Pembahasan Merkuri adalah salah satu unsur kimia yang mempunyai nomor atom 80 dengan berat atom 200.59 g/mol yang merupakan satu-satunya unsur yang berbentuk cair pada suhu kamar (25 0C) dan sangat mudah menguap (Palar 1994). Merkuri di perairan dapat berada dalam bentuk metal, senyawa organik dan senyawa anorganik. Diantara berbagai macam logam berat, merkuri digolongkan sebagai pencemar paling berbahaya. Sehingga kehadirannya di lingkungan perairan dapat mengakibatkan kerugian pada manusia karena sifatnya yang mudah larut dan terikat dalam jaringan tubuh organisme air baik melalui proses bioakumulasi maupun biomagnifikasi yaitu melalui jaring makanan (Budiono 2003). Pengaruh langsung polutan termasuk merkuri terhadap ikan biasanya dinyatakan dengan toksisitas akut sebagai akibat yang timbul pada waktu kurang dari 96 jam atau sublethal (kronis) yaitu akibat yang timbul pada waktu lebih dari 96 jam (empat hari). Pada penelitian ini dilakukan uji nilai kisaran selama 48 jam, uji toksisitas akut selama 96 jam dan penelitian inti selama 30 hari untuk melihat pengaruh toksisitas merkuri dan salinitas berbeda terhadap kondisi fisiologis ikan bandeng. Hasil pengamatan pada uji toksisitas akut 96 jam memperlihatkan bahwa nilai LC50 96 jam merkuri terhadap ikan bandeng yang dipelihara di air tawar adalah 0.2371 mg/l (0.147 mg Hg/l). Siahaan (2003) mengemukakan bahwa nilai LC50 Pb terhadap ikan bandeng yang dipelihara di air tawar adalah 62.248 mg/l. Selanjutnya Biuki et al (2010) menyatakan bahwa nilai LC50 Cd terhadap ikan Bandeng adalah 62.8 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa merkuri merupakan logam berat yang sangat berbahaya dibandingkan logam berat lainnya seperti Pb 73 dan Cd karena dengan konsentrasi yang jauh lebih kecil telah dapat mematikan 50 % dari ikan bandeng dalam waktu 96 jam. Hal ini sesuai dengan Balazs (1970) yang menyatakan bahwa nilai LC50 < 1 mg/l tergolong pada toksikan yang memiliki potensi ketoksikan yang sangat tinggi. Selanjutnya Darmono (1995) menyimpulkan bahwa daftar urutan logam dari toksisitas yang paling tinggi ke toksisitas yang paling rendah adalah Hg2+ > Cd2+ > Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+ > Sn2+ > Zn2+. Gejala klinis yang diperlihatkan pada uji toksisitas akut antara lain adalah ikan kehilangan gerak refleks, berenang tidak beraturan dan sering muncul ke permukaan dengan bukaan mulut dan operculum yang lebih lebar dan frekuensinya lebih cepat. Kemudian kembali ke dasar dengan posisi tegak dan sampai ke dasar dengan posisi bagian ventral ke atas. Ikan juga mengalami kejang-kejang dan ram jet ventilation sebelum mengalami kematian di dasar akuarium. Respon tersebut terjadi karena adanya pengaruh sifat merkuri yang menyerang sistem saraf pusat sebagai jaringan sasaran pada ikan bandeng. Hal ini sesuai dengan pendapat Connel dan Miller (1995) yang menyatakan bahwa organisme pada saat terpapar logam berat akan mengganggu kerja sistem saraf pusat. Penyerapan merkuri oleh tubuh ikan bandeng tergantung pada gradien osmotik dari ikan tersebut. Semakin tinggi gradien osmotiknya maka merkuri akan semakin mudah masuk ke dalam tubuh ikan. Namun apabila ikan bandeng di pelihara pada kondisi yang isoosmotik atau gradien osmotiknya lebih rendah maka resiko akumulasi merkuri akan dapat dikurangi. Relevan dengan Modassir (2000) yang menyatakan bahwa tingginya pergantian/pengambilan air karena proses osmoregulasi akan menyebabkan akumulasi merkuri lebih cepat sehingga toksisitas dari merkuri menjadi lebih besar. Pada penelitian ini gradien osmotik perlakuan B (0 ppt) sedikit lebih tinggi dari kontrol, sehingga merkuri akan masuk bersamaan dengan masuknya air ke dalam tubuh ikan bandeng. Hal ini terbukti dengan ditemukannya kadar merkuri di daging ikan bandeng pada perlakuan B (0 ppt) lebih tinggi dibandingkan kontrol yaitu 0.2664 ppm dan di air mengalami penurunan dari 0.012 ppm menjadi 0.0081 ppm. 74 Menurut prinsip Asam Basa Kuat dan Lemah (HSAB), Merkuri adalah asam lemah dan dapat bereaksi lebih cepat dengan basa lemah terutama ligan yang mengandung unsur N dan S tetapi jauh lebih kuat bereaksi dengan ligan yang mengandung unsur S dari pada unsur N. Jadi dari mekanisme ini dapat diketahui adalah bahwa Hg cenderung membentuk kompleks yang kuat dengan kelompok sulfhidril (-SH) yang ada dalam protein dibandingkan dengan Cl. Karena ikan mengandung banyak protein maka jumlah kelompok sulfhidril yang terkandung dalam jaringan ikan dapat menentukan jumlah Hg yang dapat terabsorpsi (Thongra-ar et al 2003). Berbeda dengan ikan air tawar, ikan yang dipelihara di air bersalinitas cenderung hipoosmotik terhadap lingkungannya sehingga air dalam tubuh ikan akan keluar dari tubuh ikan (Affandi dan Tang 2002). Untuk itu ikan akan banyak meminum air agar dapat mengganti air yang keluar dari tubuh ikan. Perlakuan D (20 ppt) memiliki gradien osmotik paling tinggi pada akhir penelitian yaitu 0.737±0.288 Osm/kg sehingga resiko untuk mengakumulasi merkuri lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kadar merkuri yang terdapat di daging ikan bandeng yaitu 0.7939 ppm pada akhir penelitian. Perlakuan C (10 ppt) merupakan perlakuan yang gradien osmotik awal lebih kecil dibandingkan perlakuan B (0 ppt) dan D (20 ppt) yaitu 0.052±0.142 0sm/kg. Hal ini menandakan bahwa salinitas 10 ppt merupakan media yang isoosmotik untuk kehidupan ikan bandeng. Idel dan Wibowo (1996) mengemukakan bahwa salinitas optimal untuk pemeliharaan gelondongan ikan bandeng adalah 10-18 ppt. Setelah panambahan merkuri ke dalam media pemeliharaan tekanan osmotiknya meningkat menjadi 0.237±0.088 Osm/kg. Namun Gradien osmotiknya tetap lebih kecil dibandingkan ke dua pelakuan lainnya. Sehingga kadar merkuri di daging juga lebih kecil yaitu 0.0844 ppm. Ikan bandeng yang dipelihara pada media yang terkontaminasi oleh merkuri akan mengalami perubahan kondisi fisiologis. Ikan yang terkontaminasi oleh merkuri akan mengalami perubahan secara patologi, terhambatnya proses metabolisme, perubahan kondisi hematologi serta penurunan fertilitas dan kelangsungan hidup (Micryakov dan Lapirova 1977 dalam Kaoud dan Mekawy 2011). 75 Darmono (2001) menyatakan bahwa logam berat akan masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan yaitu melalui saluran pernafasan, saluran pencernaan dan melalui penetrasi kulit. Alat pernafasan pada ikan adalah insang yang sekaligus juga merupakan alat osmoregulasi. Irianto (2005) menyatakan letak insang, struktur dan mekanisme kontak dengan lingkungan menjadikan insang sangat rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan. Wardoyo (1977) menyatakan bahwa salah satu jaringan tubuh organisme yang cepat mengakumulasi logam berat adalah jaringan insang, sehingga dapat menyebabkan terganggunya proses pertukaran ion-ion dan gas-gas melalui insang dan dapat menyebabkan ikan mati lemas. Hal ini relevan dengan hasil histokimia dari insang ikan bandeng dimana pada insang tiap perlakuan terdapat deposit merkuri. Insang pada perlakuan D (20 ppt) mengakumulasi merkuri lebih banyak dibandingkan perlakuan B (0 ppt) dan C (10 ppt). Hal ini menunjukkan bahwa insang pada perlakuan D (20 ppt) mengalami kerusakan lebih parah dibandingkan perlakuan B (0 ppt) dan C (10 ppt). Selanjutnya Budiono (2003) mengemukakan enzim yang sangat berperan dalam insang ikan adalah enzim karbonik anhidrase dan Na+/K+/ATPase. Karbonik anhidrase adalah enzim yang mengandung Zn dan berfungsi dalam menghidrolisis CO2 menjadi asam karbonat. Apabila ikatan Zn digantikan oleh logam lain seperti merkuri maka fungsi enzim tersebut akan menurun. Apabila insang mengalami kerusakan maka akan menyebabkan tingkat konsumsi oksigen menurun. Pada penelitian ini terjadi penurunan tingkat konsumsi oksigen pada tiap perlakuan. Namun perlakuan C (10 ppt) memiliki tingkat konsumsi oksigen lebih tinggi dibandingkan perlakuan B (0 ppt) dan perlakuan D (20 ppt). Hal ini terjadi karena ikan pada perlakuan C (10 ppt) mempunyai gradien osmotik yang paling rendah. Menurunnya tingkat konsumsi oksigen pada ikan bandeng berkorelasi dengan perubahan kondisi hematologi ikan bandeng pada tiap perlakuan. Shah dan Altindag (2005) menyatakan bahwa parameter hematologi seperti hematokrit, haemoglobin, eritrosit dan sebagainya digunakan untuk menilai kamampuan darah dalam membawa oksigen dan telah digunakan sebagai indikator pencemaran logam di lingkungan perairan. kondisi hematologi ikan dapat digunakan untuk 76 mengetahui kondisi kesehatan ikan pada saat itu. Pada penelitian ini terjadi penurunan jumlah eritrosit, kadar haemoglobin, kadar hematokrit dan jumlah leukosit. Penurunan kondisi hematologi ini menunjukkan telah terjadinya penyimpangan kondisi fisiologis pada ikan bandeng. Fungsi eritrosit adalah mengangkut oksigen dimana didalamnya terdapat haemoglobin. Molekul haemoglobin merupakan suatu protein dalam eritrosit yang terdiri dari protoporfirin, globin, dan zat besi (Fe2+) (Affandi dan Tang 2002). Apabila jumlah eritrosit dan haemoglobin menurun akan mengakibatkan berkurangnya pengambilan oksigen dari lingkungan sehingga tingkat konsumsi oksigen menurun. Kadar hematokrit merupakan persentase volume eritrosit di dalam darah. Bond (1979) dalam Affandi dan Tang (2002) menyebutkan bahwa nilai hematokrit ikan teleostei normal berkisar antara 20 – 30 %. Relevan dengan hasil penelitian bahwa ikan bandeng pada perlakuan A (kontrol) memiliki nilai hematokrit 21.06±0.27 % pada akhir penelitian. Sedangkan pada perlakuan B (0.012 mg Hg/l) kadar hematokritnya mengalami penurunan sampai 10.16±0.32 %. Jumlah leukosit ikan bandeng menurun adalah respon stress yang merupakan karakteristik semua jenis vertebrata (Heat 1987). Dilihat dari kondisi hematologi, ikan pada perlakuan C (10 ppt) memiliki kondisi hematologi yang lebih baik dibandingkan perlakuan B (0 ppt) dan D (20 ppt). Merkuri yang diabsorbsi oleh darah dan berikatan dengan protein darah akan distribusikan ke seluruh jaringan tubuh ikan. Darmono (2001) menyatakan akumulasi logam tertinggi biasanya dalam detoksikasi (hati) dan ekskresi (ginjal). Pada penelitian ini didapatkan deposit merkuri paling banyak ditemukan pada perlakuan D (20 ppt). Hal ini menandakan bahwa hati ikan bandeng pada perlakuan D (20 ppt) lebih rusak dibandingkan perlakuan lainnya sehingga proses detoksikasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sedangkan perlakuan C (10 ppt) memiliki deposit yang paling sedikit dibandingkan perlakuan B (0 ppt) dan D (20 ppt) sehingga dapat dikatakan bahwa kerusakan hati pada ikan bandeng perlakuan C (10 ppt) tidak separah perlakuan B (0 ppt) dan D (20 ppt). Ikan yang terkontaminasi oleh merkuri baik di parairan tawar maupun perairan bersalinitas akan mengalami stres. Respon stress ini dapat berupa penurunan volume darah, penurunan jumlah leukosit, penurunan glikogen hati dan 77 peningkatan glukosa darah (Affandi dan Tang 2002). Pada penelitian ini telah terjadi peningkatan kadar glukosa darah pada ikan bandeng tiap perlakuan. Hal ini menandakan ikan dalam keadaan stress akibat pemaparan merkuri. Mekanisme terjadinya perubahan kadar glukosa darah selama stres dimulai dari diterimanya informasi penyebab faktor stres oleh organ resptor. Selanjutnya informasi tersebut disampaikan ke otak bagian hipotalamus melalui sistem saraf. Hipotalamus memerintahkan sel kromafin yang ada di ginjal untuk mensekresikan hormon katekolamin melalui serabut saraf simpatik. Adanya katekolamin akan menfaktifasi enzim-enzim yang terlibat dalam katabolisme simpanan glikogen, sehingga kadar glukosa darah mengalami peningkatan (Porchas et al 2009). Dari ke tiga perlakuan, perlakuan C (10 ppt) memiliki kadar glukosa darah yang paling rendah dengan nilai 11.77±1.30 mmol/l. Selanjutnya Porchas et al (2009) mengemukakan bahwa naik turunnya kadar glukosa dalam darah ikan mengindikasikan bahwa ikan sedang lapar atau kenyang. Naiknya glukosa darah menandakan bahwa ikan berada dalam keadaan kenyang artinya nafsu makan akan berkurang karena energi yang dibutuhkan oleh tubuh terpenuhi. Namun sebaliknya pada saat kadar glukosa darah menurun, maka ikan akan merasa lapar sehingga diperlukan makanan untuk memenuhi kebutuhan energinya. Hal ini relevan dengan hasil penelitian bahwa perlakuan C (10 ppt) menunjukkan respon yang lebih baik terhadap pakan yang diberikan dibandingkan dengan perlakuan B (0 ppt) dan D (20 ppt). Jumlah pakan rata-rata yang di konsumsi oleh perlakuan C (10 ppt) selama penelitian adalah 65.03±1.85 gram (Lampiran 22). Turunnya jumlah pakan yang dikonsumsi pada akhirnya akan menyebabkan penurunan laju pertumbuhan ikan bandeng. Hal ini relevan dengan hasil penelitian yang menunjukkan penurunan laju pertumbuhan ikan bandeng pada perlakuan B (0 ppt) setelah pemaparan merkuri selama 30 hari dibandingkan kontrol. Menurunnya laju pertumbuhan ikan bandeng ini terjadi karena merkuri yang terakumulasi pada jaringan tubuh ikan sehingga mengganggu kondisi fisiologis ikan. Thongra-ar et al (2003) mengemukakan bahwa menurunnya jumlah pakan yang dikonsumsi disebabkan karena hilangnya koordinasi dan hilangnya rasa lapar sebagai akibat gangguan saraf akibat merkuri. Merkuri juga dapat menghambat penyerapan nutrisi oleh usus seperti asam amino dan gula 78 dalam ikan yang pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya pertumbuhan. Namun pada perlakuan C (10 ppt) laju pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan perlakuan B (0 ppt) dan D (20 ppt) yaitu 0.55±0.02 %. Hal ini terjadi karena ikan bandeng pada perlakuan C (10 ppt) memiliki gradien osmotik lebih rendah sehingga energi yang tersimpan lebih banyak untuk pertumbuhan dan dapat digunakan untuk mengurangi pengaruh buruk dari merkuri. Nilai efisiensi pakan adalah perbandingan antara pertambahan bobot ikan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ikan. Dari penelitian ini diketahui bahwa nilai efisiensi pakan terendah terdapat pada perlakuan D (20 ppt) yaitu 10.60±1.28. Hal ini menandakan ikan pada perlakuan D (20 ppt) memiliki tingkat stress yang lebih tinggi sehingga nafsu makan menurun. Nafsu makan menurun menyebabkan jumlah pakan yang dikonsumsi juga rendah. Pada akhirnya akan menyebabkan penurunan laju pertumbuhan pada ikan bandeng. Kelangsungan hidup adalah daya hidup untuk bertahan, tumbuh dan berperan dalam habitatnya (Kadarini 2009). Apabila lingkungan tempat hidup dari suatu organisme akuatik seperti ikan baik maka tingkat kelangsungan hidup ikan tersebut akan tinggi. Namun apabila terdapat polutan atau bahan toksikan di lingkungan perairan tempat ikan hidup maka akan dapat mengganggu kehidupan ikan tersebut. Pada akhirnya ikan tidak dapat mentolerir lagi dan akan menyebabkan kematian. Pada penelitian ini diberikan merkuri sebagai bahan polutan. Merkuri dapat menurunkan tingkat kelangsungan hidup ikan karena sifatnya yang sangat beracun. Pada penelitian ini tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng yang diperlihara di air tawar yang terkontaminasi merkuri lebih rendah dibandingkan kontrol yaitu 53.33 %. Sedangkan pada ikan kontrol tingkat kelangsungan hidupnya mencapai 96.67 %. Tetapi dengan pemeliharaan ikan bandeng pada perlakuan C (10 ppt), dampak negatif merkuri dapat sedikit ditekan terlihat dengan lebih tingginya tingkat kelangsungan hidup ikan bandeng mencapai 68.33 %. Selama penelitian (uji toksisitas akut dan uji pengaruh) dilakukan pengamatan fisika kimia air media pemeliharaan yang meliputi salinitas, suhu, DO, pH, alkalinitas, kesadahan dan TAN. 79 Salinitas selama penelitian cenderung stabil pada tiap perlakuan. Salinitas yang digunakan pada tiap perlakuan yaitu 0 ppt, 10 ppt dan 20 ppt masih dalam kisaran hidup ikan bandeng. Ikan bandeng memiliki sifat eurihalin yang mampu hidup pada rentang salinitas yang jauh berbeda yaitu antara 0 ppt sampai dengan 50 ppt. Bila kenaikan terjadi secara bertahap, ia mampu hidup hingga salinitas 70 ppt. Ikan ini banyak ditemukan di daerah pantai, namun juga mampu hidup mulai dari air tawar sampai air laut (Sihmiati 2009) Suhu media selama penelitian berkisar antara 27-29 0C. Kisaran suhu ini masih layak untuk pemeliharaan ikan bandeng karena suhu optimal untuk pertumbuhan ikan bandeng adalah 28–30 0C (DEPTAN 2000). Sedangkan DO selama penelitan berkisar antara 4.14-6.07 mg/l. Idel dan Wibowo (1996) mengemukakan bahwa oksigen terlarut untuk pemeliharaan ikan bandeng berkisar antara 3-8 mg/l. Selanjutnya Fathuddin et al (2002) menambahkan ikan bandeng pada kadar oksigen dibawah 3 ppm sudah taraf membahayakan larva ikan bandeng yang dipelihara. Hasil pengukuran pH selama penelitian berkisar antara 6.9-7.7. Idel dan Wibowo (1996) mengemukakan bahwa pH untuk pemeliharaan ikan bandeng berkisar antara 6.5-8.5. Selanjutnya alkalinitas selama penelitian berkisar antara 52-112 mg/l. Menurut Meade (1989) nilai alkalinitas yang baik berkisar antara 10–400 ppm CaCo3. Berdasarkan hasil pengukuran parameter alkalinitas selama penelitian maka nilai alkalinitas masih dianggap layak bagi kehidupan ikan uji. Nilai kesadahan selama penelitian pada perlakuan air tawar berkisar antara 48-87.09 mg/l sedangkan pada perlakuan air laut bekisar antara 148.5-340.3 mg/l. Stickney (1979) mengemukakan bahwa kesadahan yang baik untuk menunjang kehidupan organisme perairan berkisar antara 20-150 mg/l CaCo3. Selanjutnya Effendi (2000) menyatakan parameter kesadahan untuk kegiatan budidaya bisa mencapai 500 mg/l. Total Amoniak Nitrogen (TAN) terdiri dari amoniak bebas (NH3) dan amoniak ion (NH4+). Pada konsentrasi tinggi amoniak bebas beracun bagi biota air sedangkan amoniak ion tidak beracun bagi biota air. Nilai TAN pada uji toksisitas berkisar antara 0.096-0.257 ppm. Hal ini terjadi karena selama masa uji tidak dilakukan pergantian air sehingga kadar amoniak di media pemeliharaan 80 meningkat. Selanjutnya karena penambahan merkuri ke dalam media menyebabkan ikan stress sehingga ikan mengeluarkan amoniak lebih banyak. Sedangkan pada uji pengaruh nilai TAN nya berkisar antara 0.011-0.178 ppm. Nilai TAN lebih rendah karena dilakukan pergantian air setiap harinya sehingga peningkatan amoniak dalam media dapat dikurangi. Nilai TAN yang aman bagi kehidupan ikan bandeng di bawah 0.1 ppm (Deptan 2000). Namun Chervinsky (1982) menyatakan kandungan amoniak 0.6-2.0 ppm masih baik untuk kehidupan ikan. Berdasarkan kriteria di atas maka hasil pengukuran TAN pada waktu penelitian masih berada dalam batas yang dapat ditoleransi oleh ikan uji. 81 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Merkuri bersifat sangat toksik terhadap ikan bandeng yang pelihara di air tawar dengan nilai LC50 96 jam yaitu 0.2371 mg/l (0.147 mg Hg/l). 2. Merkuri dapat merubah gradien osmotik, menurunkan tingkat konsumsi oksigen, menurunkan kondisi hematologi, meningkatkan kadar glukosa darah, menurunkan laju pertumbuhan, efisiensi pakan dan kelangsungan hidup ikan bandeng baik di air tawar maupun di air yang bersalinitas 10 ppt dan 20 ppt. 3. Toksisitas merkuri akan menurun ketika ikan bandeng dipelihara pada salinitas optimalnya (10 ppt). Saran Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk meneliti tentang pengaruh air tawar, salinitas 10 ppt dan 20 ppt tanpa merkuri terhadap kondisi fisiologis ikan bandeng. Selanjutnya dapat dilihat juga bioeliminasi merkuri pada ikan bandeng yang telah mengakumulasi merkuri pada salinitas yang berbeda sehingga informasinya menjadi lebih lengkap. 82 DAFTAR PUSTAKA Halaman Ini Tidak Ditampilkan 83 LAMPIRAN 84 85 Lampiran 1. Penentuan konsentrasi pada penelitian pendahuluan dan penelitian inti a. Penelitian pendahuluan Uji nilai kisaran Menggunakan metode logaritmik berbasis 10 yaitu: A : Kontrol B : 0.01 mg/l Hg (N03)2 dengan kandungan Hg (0.006 mg Hg/l) C : 0.1 mg/l Hg (N03)2 dengan kandungan Hg (0.06 mg Hg/l) D : 1 mg/l Hg (N03)2 dengan kandungan Hg (0.6 mg Hg/l) E : 10 mg/l Hg (N03)2 dengan kandungan Hg (6 mg Hg/l) Uji toksisitas akut A : Kontrol B : 0.178 mg/l Hg (N03)2 dengan kandungan Hg (0.110 mg Hg/l) C : 0.316 mg/l Hg (N03)2 dengan kandungan Hg (0.195 mg Hg/l) D : 0.562 mg/l Hg (N03)2 dengan kandungan Hg (0.347 mg Hg/l) E : 1 mg/l Hg (N03)2 dengan kandungan Hg (0.618 mg Hg/l) b. Penelitian inti Pada penelitian inti digunakan konsentrasi merkuri yang sama yaitu 10 % dari LC50 96 jam yaitu 0.02 mg/l Hg (N03)2 dengan kandungan Hg (0.012 mg Hg/l). 86 Lampiran 2. Metode pengenceran salinitas Untuk mendapatkan media salinitas 10 ppt dan volume air yang dikehendaki 150 liter dengan air laut yang tersedia kadar salinitasnya 30 ppt, maka air laut yang diperlukan sebanyak 50 liter air laut dan air tawar sebanyak 100 liter. 30 10 10/30 x 150 liter = 50 liter (Air laut) 20 20/30 x 150 liter = 100 liter (Air tawar) 10 0 87 Lampiran 3. Prosedur pengamatan tingkat kerja osmotik atau gradien osmotik 1. Nyalakan main power (terletak dibelakang dekat kabel main power) 2. Posisi handle sampel di atas 3. Alat akan melakukan prosedur pemanasan dengan indikasi lampu spontcryst result dan no cryst menyala secara bergantian. Tunggu sampai mati hanya lampu sampel yang menyala. 4. Zero set: a. Siapkan akuades dan masukkan ± 50 µm dalam tabung sampel, masukkan ke sensor. b. Tekan tombol zero sampai keluar angka 0.000 c. Turunkan handle sampel tunggu sampai display 0.000 dan lampu result menyala d. Angkat handle e. Bilas sensor dengan akuades dan bersihkan dengan tissue 5. Kalibrasi: a. Siapkan cairan standar kalibrasi dan masukkan ± 50 µm dalam tabung sampel dan masukkan ke sensor. b. Tekan tombol Cal sampai keluar angka 0.300 c. Turunkan handle sampel tunggu sampai display 0.300 dan lampu result menyala d. Angkat handle e. Bilas sensor dengan menggunakan akuades dan bersihkan dengan tissue 6. Sampel: a. Siapkan cairan sampel dan masukkan ± 50 µm dalam tabung sampel dan masukkan ke sensor. b. Tekan tombol sampel c. Turunkan handle sampel tunggu sampai pengukuran selesai dan lampu resultnya menyala d. Angkat handle e. Bilas sensor dengan menggunakan akuades dan bersihkan dengan tissue 7. Setelah selesai melakukan pengukuran: a. Bersihkan sensor menggunakan tissue yang dibasahi akuades b. Pada saat tidak digunakan sensor harus ditutup dengan tabung kososng (handle dalam posisi turun) c. Matikan main power: OFF d. Cabut aliran listrik dari pusat listrik. 88 Lampiran 4. Prosedur pengamatan kondisi hematologi a. Pengamatan haemoglobin pengamatan dilakukan menggunakan metode sahli dengan sahlinometer atas dasar konversi haemoglobin darah ke dalam bentuk asam hematin oleh asam klorida. Darah dihisap dengan menggunakan pipet sahli sampai 20 mm3 kemudian ujungnya dibersihkan dari sisa-sisa darah dengan kertas penyerap. Selanjutnya darah dipindahkan ke dalam tabung HBmeter yang telah diisi dengan HCl 0,1 N sebanyak 10 mm3. Kemudian kedua bahan tersebut dibiarkan selama 3-5 menit agar haemoglobin bereaksi dengan HCl untuk membentuk asam hematin. Selanjutnya sambil diaduk ditambahkan akuades sedikit demi sedikit sampai warna cairan dalam tabung sahli sama dengan warna standar. Pembacaan skala dilakukan dengan melihat tinggi permukaan larutan dan dicocokkan dengan skala lajur gram % yang menunjukkan Hb dalam gram setiap 100 ml darah (%Hb). b. Pengamatan Hematokrit Kadar hematokrit diukur dengan metode Anderson dan Siwichki (1993). Darah dihisap dengan menggunakan tabung mikrohematokrit berlapis yang berfungsi untuk mencegah pembekuan darah dalam tabung, sampai volume darah mancapai ¾ bagian tabung kemudian salah satu ujung tabung disumbat dengan kristosel. Selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit. Pengukuran kadar hematokrit dilakukan dengan membandingkan volume darah yang mengendap dengan volume seluruh darah menggunakan skala hematokrit dan dinyatakan dalam persentase hemtokrit (%Ht). c. Pengamatan jumlah eritrosit Sampel darah diencerkan dengan larutan Hayem untuk mengahancurkan sel darah putih agar jumlah sel darah merah dapat dihitung. Pengenceran dilakukan dengan menggunakan pipet pencampur berskala maksimum 11 yang dilengkapi pengaduk. Darah dihisap dengan pipet hingga skala 1, kemudian dihisap larutan hayem hingga skala 11 dengan pipet yang sama. Pipet digoyang selama 15 menit agar darah tercampur secara merata, sedangkan larutan pada ujung pipet yang tidak tercampur segera dibuang. Darah yang teraduk diteteskan kedalam hemositometer yang dilengkapi gelas penutup hingga memenuhi seluruh 89 permukaan yang berskala, selanjutnya dilakukan penghitungan dibawah mikroskop. d. Pengamatan jumlah leukosit Sampel darah diencerkan dengan larutan Turks untuk menghancurkan sel darah merah agar jumlah sel darah putih dapat dihitung. Untuk mengencerkan leukosit digunakan pipet berskala maksimal 11 yang dilengkapi batang pengaduk. Sebelumnya darah dihisap hingga skala 1, kemudian dilanjutkan dengan menghisap larutan Turks hingga skala 11. Pencampuran dilakukan dengan mengaduk pipet selama 15 menit agar darah tercampur secara merata. Setelah pencampuran selesai, larutan diteteskan kedalam hemositometer yang dilengkapi gelas penutup hingga memenuhi seluruh permukaan yang berskala, selanjutnya dilakukan penghitungan leukosit di bawah mikroskop. 90 Lampiran 5. Prosedur pembuatan preparat histokimia Prosedur kerja dalam pembuatan preparat histokimia adalah: 1. Pengambilan sampel (sampling) Pengambilan insang dan hati dari dalam tubuh ikan bandeng dilakukan dengan menggunakan pisau yang tajam dan selanjutnya dijadikan preparat. Potongan tersebut dicuci bersih dengan menggunakan larutan NaCl fisiologis dan selanjutnya diawetkan dalam larutan Bouin sebagai pengawet dan dimasukkan kedalam botol sampel. 2. Pengawetan (Fiksasi) Proses pengawetan dilakukan untuk menjaga agar tidak terjadi perubahan post mortem (pasca mati) pada jaringan, menjaga agar bagian padat dan bagian cair protoplasma sel tetap terpisah, merubah bagian-bagian sel agar menjadi bahan-bahan yang tidak larut pada proses berikutnya. Melindungi sel dari proses pengerutan saat dimasukkan ke dalam alkohol atau paraffin panas serta meningkatkan kemampuan dari tiap-tiap bagian jaringan agar dapat diwarnai serta meningkatkan indeks refraksi jaringan sehingga visibilitasnya naik. Larutan fiksasi yang baik dapat melakukan penetrasi secara cepat untuk mencegah terjadinya perubahan pasca mati, mengkoagulasi substansi-substansi sel menjadi substansi yang tidak larut, melindungi jaringan dari pengerutan dan kerusakan baik pada saat dehidrasi, embedding, maupun pada saat pemotongan serta memudahkan pewarnaan bagian-bagian sel. Pada penelitian ini larutan pengawet yang digunakan adalah larutan pengawet Bouin. Organ yang difiksasi selama 24 jam dalam larutan Bouin selanjutnya dicuci dalam alkohol 70 %. Pencucian ini dimaksudkan agar dapat menghilangkan sisa bahan pengawet yang terdapat dalam jaringan yang dapat mengganggu proses preparasi selanjutnya. Organ yang telah dicuci kemudian disimpan dalam alkohol 70 % sebelum proses selanjutnya. 3. Proses penghilangan air (dehidrasi) Proses ini merupakan proses penarikan air dari jaringan yang dilakukan dengan merendam jaringan ke dalam alkohol secara bertingkat mulai dari alkohol 80 %, 90 %, 95 % sampai ke alkohol absolut. Penggunaan alkohol bertingkat ditujukan untuk menarik air dan dapat mencegah terjadinya pengerutan. 91 4. Proses penjernihan (Clearing) Untuk menghilangkan pengaruh alkohol yang terdapat di dalam jaringan, maka selanjutnya jaringan tersebut direndam dengan Xylol. Setelah dilakukan proses penjernihan maka jaringan akan lebih transparan dan berwarna lebih tua. 5 Proses Infiltrasi (Infiltring) Jaringan yang telah mengalami proses penjernihan selanjutnya direndam ke dalam paraffin secara bertingkat pada suhu 60 0C (paraffin keras). Penggunaan paraffin keras agar dapat dilakukan pemotongan yang tipis. 6. Proses penanaman (Embedding) Proses ini harus dilakukan di dekat Bunsen dimana seluruh alat-alat yang digunakan harus dalam keadaan hangat untuk mencegah agar paraffin tidak mengeras sebelum pekerjaan selesai. Peletakan jaringan di dalam wadah harus sedemikian rupa sehingga memudahkan pada saat pemotongan dan pengenalan kembali jaringan. Wadah yang telah berisi jaringan bercampur dengan paraffin didinginkan untuk mengeraskan parafinnya. Blok yang sudah mengeras kemudian diletakkan pada blok kayu untuk disimpan dalam kulkas minimal 6 jam sebelum dipotong. 7. Proses pemotongan blok jaringan Blok jaringan dipotong dengan menggunakan mikrotom. Ketebalan jaringan ditetapkan setebal 5 mikron. Hasil sayatan diapungkan terlebih dahulu pada air hangat (40 0C), lalu diletakkan diatas gelas obyek. Selanjutnya gelas obyek diletakkan di atas hotplate selama 10 sampai 15 menit sampai seluruh air yang berada diantara jaringan dan gelas obyek menguap. Gelas obyek disimpan di dalam incubator (37 0C – 40 0C) selama satu malam sebelum digunakan pada proses selanjutnya. 8. Proses pewarnaan Untuk melihat akumulasi merkuri pada jaringan insang dan hati dilakukan pewarnaan logam berat dengan prosedur sebagai berikut: Objek glass dimasukkan kedalam akuades 50 mg Haemotoxylin dimasukkan ke dalam 1 ml ethanol absolut. Selanjutnya dimasukkan ke dalam 99 ml deionized water. 92 Kemudian irisan dalam objek glass diwarnai dengan larutan Haemotoxylin tersebut dan dibiarkan selama 2 jam. Selanjutnya objek glass dimasukkan ke dalam ethanol 95 % dan berikutnya ke dalam ethanol absolut sebanyak 2 kali. Dilakukan penjernihan dengan xylene Preparat diberi perekat dengan menggunakan kanada balsam, lalu ditutup dengan kaca penutup, dikeringkan dan diamati di bawah mikroskop. Preparat selanjutnya diberi label sesuai dengan perlakuan 93 Lampiran 6. Prosedur pengukuran kadar glukosa darah Prosedur pengukuran glukosa darah ikan yaitu darah diambil dari ikan dengan menggunakan injeksi yang telah di isi dengan cairan antikoagulan untuk mencegah terjadinya penggumpalan darah. Darah yang tersedot dimasukkan ke dalam tabung ependorf, kemudian disentrifuge dengan kecepatan 12000 rpm selama 5 menit. Setelah itu akan terbentuk lapisan-lapisan yang terdiri dari lapisan plasma yang jernih di bagian atas. Selanjutnya diambil sebanyak 10 µl lapisan plasma dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 1 ml reagen (glucose liquicolor). Kemudian divortex agar homogeny dan setelah itu diinkubasi selama 10 menit pada suhu kamar. Terakhir dibaca nilai absorbannya pada spektrofotometer dengan λ 500 nm. 94 Lampiran 7. Prosedur pengukuran kadar merkuri dengan AAS Spektrofotometer serapan atom (AAS) adalah salah satu teknik analisis unsur yang dapat dilakukan dengan cepat serta mempunyai tingkat ketelitian yang sangat tinggi. Prinsip dasar analisis AAS adalah jika suatu contoh diaspirasikan ke dalam suatu sistem pembakaran, maka unsur-unsur yang ada pada senyawaan akan dikonversi menjadi atom. Apabila pada kondisi ini diberikan suatu energi radiasi yang sesuai maka energi tersebut akan diserap oleh atom. Besar kecilnya energi yang diserap akan berbanding lurus dengan konsentrasi unsur yang dianalisis. Destruksi basah: Timbang 1 gram contoh, masukkan ke dalam labu destruksi 100 ml, tambahkan 15 ml HNO3 pekat dan 5 ml HClO4. Kemudian biarkan semalam. Selanjutnya didestruksi sampel jernih, dinginkan dan tambahkan 10-20 ml air bebas ion. Lanjutkan pemanasan ± 10 menit, angkat dan dinginkan. Larutan tadi dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml (bilas labu destruksi dengan air bebas ion dan masukkan ke dalam labu takar). Larutan ditambah air sampai tanda tera. Kemudian kocok dan saring dengan kertas saring Whatman no. 41 kemudian filtrate siap dianalisis. Preparasi reagen: 1. Larutan SnCl2 (pereduksi) Timbang 20 gram SnCl2.2H2O masukkan ke dalam labu takar 200 ml, lalu tambahkan 40 ml HCl (p). Tera dengan akuades. 2. Larutan H2SO4 1 N (blanko) Dipipet 5.5 ml H2SO4 98 %, masukkan ke dalam labu takar 200 ml. Tera dengan akuades. 3. Larutan penyerap merkuri (buangan) adalah KMnO4 0.5 % dan H2SO4 5 %. Ditimbang 5 gram KMnO4 + 51 ml H2SO4 98 %, masukkan ke dalam labu takar 1000 ml. Tera dengan akuades. 4. Standar Merkuri (Hg) Siapkan deret standar Hg (missal: 2, 4, dan 6 ppb) Dipipet 0.4 µl standar Hg 1000 ppm + 5.5 ml H2SO4 98 %, masukkan ke dalam labu takar 200 ml. Tera dengan akuades <Std Hg 2 ppb> 95 Pengukuran: 1. Letakkan absorption cell pada burner head AAS 2. Siapkan larutan buangan 3. Isi pipa U dengan MgCl2 4. Setting MVU pada mode Circular-Close 5. Posisi switch power OFF > exhaust Measure 6. Siapkan larutan blanko dalam wadah reaksi + batang magnet 7. Atur switch power ON > speed magnetic stirrer 8. Masukkan larutan 5 ml SnCl2 (berlebih) 9. Tunggu sampai absorban stabil > klik Blank pada layar WizAArd AAS 10. Atur exhaust clear > tunggu sampai absorban mendekati nol 11. Atur posisi power OFF 12. Ganti wadah reaksi dengan larutan berikutnya. Ulangi langkah no. 4 – 9 Note : blanko > Blank Standar > start Sampel > start 96 97 98