PENERAPAN AJARAN CATUR PARAMITHA SEBAGAI KEARIFAN LOKAL BALI DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER MAHASISWA DI LINGKUNGAN STKIP AGAMA HINDU SINGARAJA (Kajian Etnopedagogi di Lingkungan STKIP Agama Hindu Singaraja, Kabupaten Buleleng) I Luh Meiyana Ariss Susanti Dosen Tetap Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, STKIP Agama Hindu Singaraja Abstract This study aims at investigating the implementation of Catur Pamaitha trough life experiences of student’s character building in STKIP Agama Hindu Singaraja. The data collected from steps such as 1) give example of life experiences in Catur Paramitha with the effects, 2) give questionaire to college students, and 3) observation. The result of this research, there have been changed of positive behavior by college students in STKIP Agama Hindu Singaraja. The conclution was 96,54% the material of Catur Paramitha as Bali Local Wisdom can give positive in character building of college students by telling life experiences followed with continuing daily life. Key words: catur paramitha, character education, etnopedagogy A. Pendahuluan Kesuksesan seseorang tidak semata mata ditunjukkan dari pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill) yang dimiliki saat itu, tetapi lebih pada kemampuan mengelola diri dan pengalaman hidup (soft skill) sebelumnya. Hal senada juga diungkapkan Rasna (2012) yang menyatakan bahwa kesuksesan seseorang ditentukan hanya sekitar 20% dari hard skill dan sisanya 80% dari soft skill, ini disebabkan soft skill merupakan bagian keterampilan seseorang yang lebih bersifat pada kehalusan perasaan seseorang terhadap lingkungan sekitarnya. Sehingga soft skill lebih mengarah pada keterampilan psikologis, maka dampaknya tidak kasat mata, tetapi lebih bisa dirasakan. Dampak yang dapat dirasakan antara lain: perilaku sopan santun, disiplin, keteguhan hati, kemampuan bekerja sama, mengalah, simpatik, suka bergaul, dan rasa cinta kasih terhadap sesama dan lingkungan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa manusia yang berkualitas tidak hanya terbatas pada tataran kognitif, tetapi lebih pada afektif dan psikomotor. Selama ini terjadi miskonsepsi bahwa seolah olah hanya pendidikan yang terbaik itu adalah sistem pendidikan dunia barat, sehingga sering kita lihat anak-anak kita menelan konsep itu mentah-mentah tanpa berpikir dan sikap kritis. Banyak diantara kita yang silau dengan sistem pendidikan barat sehingga kita menjadi lupa dan buta terhadap keunggulan budaya lokal yang lama terpendam dalam kebudayaan Indonesia yang majemuk. Salah satu contoh, negara Jepang yang sangat kokoh mempertahankan budayanya yakni kearifan lokal yang mereka miliki, namun teknologi dan perekonomiannya sangat dikagumi bahkan mampu menguasai pasar dunia. Sedangkan kita bagaimana? Dari pernyataan tersebut diatas, menunjukkan bahwa kearifan lokal yang telah kita miliki dan sangat berjaya di masa lalu perlu lagi digelorakan atau yang masih tersimpan perlu kita gali lagi. Salah satu bentuk kearifan lokal Bali yang bisa dijadikan pedoman dalam hidup adalah Catur Paramita dimana Catur Paramita merupakan empat pedoman ajaran susila etika yang bisa dierapkan dari usia dini. Mengapa harus dari usia dini? Pertanyaan ini tentunya mengandung makna yang sangat dalam karena dari usia dinilah ajaran susila atau etika itu perlu kita tanamkan tidak hanya cukup diberikan dirumah saja oleh kedua orang tua melainkan di sekolah pun dipandang sangat perlu dan mendesak untuk menerapkannya juga, dimana ajaran itu bisa diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran serta disesuaikan dengan karakter dan usia anak tersebut, seperti untuk mahasiswa bisa melalui simulasi, permodelan, dan contoh-contoh nyata yang bisa dilalukan di lingkungan sekitarnya. Harapannya, agar kelak mereka generasi penerus umat Hindu menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan potensi spritual. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan Agama. Mengacu pada fenomena yang ada, maka dipandang perlu adanya upaya awal untuk melakukan kajian nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Catur Paramita sebagai kearifan lokal Bali dalam pembentukan karakter mahasiswa di lingkungan STKIP Agama Hindu Singaraja melalui pengungkapan pengalaman hidup dimana terintegrasi ke dalam proses perkuliahan yang diselenggarakan di masing-masing program studi yang ada di STKIP Agama Hindu Singaraja itu sendiri. Berdasarkan paparan di atas, rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah peranan Catur Paramita dalam pembentukan karakter mahasiswa di lingkungan kampus STKIP Agama Hindu Singaraja melalui pengungkapan pengalaman hidup? Berangkat dari permasalahan tersebut, tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah untuk mengetahui peranan Catur Paramita dalam pembentukan karakter mahasiswa di lingkungan kampus STKIP Agama Hindu Singaraja melalui pengungkapan pengalaman hidup. B. Metode Penelitian Penelitian ini memanfaatkan metode kualitatif etnografi (Spradley, 1970 dan Muhadjir, 1996), yakni dengan melibatkan peneliti dalam semua aktifitas yang dilaksanakan di lingkungan kampus STKIP Agama Hindu Singaraja, Kabupaten Buleleng. Penelitian dalam pandangan etnografi bermakna memahami gejala yang bersifat alamiah atau wajar sebagaimana adanya tanpa dimanipulasi dan diatur dengan eksperimen atau tes (Muhadjir, 1996:96). Populasi penelitian ini adalah semua mahasiswa yang tercatat masih aktif kuliah di kampus STKIP Agama Hindu Singaraja yang terdiri dari lima Program Studi diantaranya Prodi Pendidikan Agama Hindu, Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Prodi Pendidikan Bahasa Bali, Pendidikan Olah Raga dan Kesehatan, serta Prodi Penerangan Agama Hindu, dimana pengambilan sampelnya menggunakan teknik random sampling. Sehingga untuk menjawab permasalahan yang ada, teknik pengumpulan data yang dilakukan yakni melalui studi dokumentasi, penyebaran kuesioner, dan observasi. Sesuai dengan jenis dan karakteristik penelitian ini maka analisis data yang dilakukan dengan analisis deskriptif kualitatif secara terus menerus dari awal sampai akhir keseluruhan tahapan penelitian ini. Tahapan analisis diawali dengan penyusunan data yang telah terkumpul, dikategorikan, pemolaan berdasar kearifan lokal, pendekatan kontekstual dan pengungkapan pengalaman hidup sampai dapat dirumuskannya sebuah simpulan. C. Tinjauan Pustaka 1. Catur Paramita Catur paramita sebagai bentuk kearifan local bali merupakan 4 (empat) pedoman ajaran susila/etika dalam kehidupan bermasyarakat. Kata Catur Paramita, berasal dari bahasa Sansekerta dimana kata ”catur” berarti empat dan ”paramita” berarti sifat dan sikap utama, sehingga Catur Paramita berarti empat macam sifat dan sikap utama yang patut dijadikan landasan bersusila. Selain itu, Catur Paramita merupakan salah satu landasan atau pedoman untuk melaksanakan ajaran susila atau ethika dalam ajaran Agama Hindu (Sudirga.dkk, 2007). Secara sederhana Catur Paramita dapat dijabarkan sebagai berikut: 2.1.1 Maitri Maitri berasal dari kata mitra yang berarti bersahabat, jadi maitri berarti senang mencari kawan dan bergaul. Maksudnya adalah setiap orang harus tahu menempatkan diri dalam masyarakat, ramah-tamah, serta menarik hati segala perilakunya sehingga menyenangkan orang lain dalam diri pribadinya (Sudirga.dkk, 2007). Lebih lanjut Suhardana (2006) menyatakan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan, mempunyai Atman yang merupakan sinar suci kebesaran Tuhan. Jadi manusia berasal dari sumber yang satu, karena itu sesungguhnya semua manusia itu bersaudara dan bersahabat. 2.1.2 Karuna (Cinta Kasih) Karuna adalah perbuatan luhur atau belas kasihan terhadap orang yang menderita, maksudnya adalah selalu memupuk rasa kasih sayang terhadap semua mahluk. Bahkan harus bersedia berkorban demi kebahagian orang lain sebagai penderitaannya sendiri. Dengan demikian rasa kasih sayang terhadap semua mahluk akan terpupuk (Sudirga.dkk, 2007) 2.1.3 Mudita (Simpati) Mudita artinya simpati atau turut merasakan baik kesusahan maupun kebahagiaan orang lain. Lebih lanjut, manusia akan terhindar dari rasa iri hati, dengki, dan benci apabila, mampu memiliki dan melasanakan sifat mudita. Hal ini menunjukkan bahwa mudita merupakan sikap solider terhadap sesama (Sudirga, 2007). Untuk dapat berbuat mudita, maka jangan melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan orang lain susah, atau jangan memiliki rasa iri hati kepada orang lain. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa untuk mendapatkan simpati, seseorang harus simpati terhadap orang lain pula. 2.1.4 Upeksa Upeksa dapat juga dikatakan sebagai toleransi, mengalah demi keutuhan. Senantiasa mengalah demi kebaikan, walaupun tersinggung perasaan oleh orang lain, seorang yang upeksa tetap tenang dan selalu berusaha membalas kejahatan dengan kebaikan bisa juga dimaksud dengan tahu mawas diri. Orang yang upeksa selalu waspada terhadap situasi yang dihadapi, namun bijaksana dalam menjaga keseimbangan lahir batin dan tidak mencampuri urusan orang lain. Untuk berbuat upeksa maka pantang menghina orang lain, memandang rendah orang lain, menindas orang lain, atau selalu dapat berusaha mengendalikan dorongan hawa nafsu jahat. Sehingga ajaran Catur Paramita patut kita upayakan realisasikan dalam hidup dan kehidupan ini. Dengan demikian diantara kita mahluk ciptaan-Nya dapat hidup berdampingan, serasi, selaras, harmonis dan damai. Ajaran Catur Paramita sebagai realisasi dari ajaran Tat Twam Asi patut dijadikan pedoman oleh setiap umat manusia untuk memujudkan kehidupan ini yang sempurna 2.2 Tuntunan Pengalaman Hidup dan Catur Paramita dalam Perspektif Pendidikan Keadaan yang pernah dialami seseorang dalam kehidupannya baik itu pengalaman manis atau pengalaman pahit selalu akan digunakan sebagai cermin kehidupan oleh orang lain. Pengalaman hidup yang manis akan dijadikan tuntunan oleh orang lain untuk diikuti. Sementara, pengalaman pahit akan dijadikan pedoman untuk dihindari. Contohnya adalah pelaku bom Bali yang melakukan kekerasan, yaitu pembunuhan terhadap sesama manusia, menyengsarakan orang yang mereka kenal dan tidak berdosa (Wiana, 2003: 119). Akibat perbuatannya, akhirnya mereka ditembak mati oleh yang berwajib. Hal ini terjadi karena mereka melanggar ajaran ahimsa (anti kekerasan) yang seharusnya tidak mereka lakukan. Sebab ahimsa akan mewujudkan kebahagiaan seperti termuat dalam sloka 141 Sarassamuscaya berikut; Vadhabandhaparariklesanpranino Na karoti yah Sasarvasya hitam prepsuh Sukhamatyantamasnute Artinya: Orang yang tidak pernah menyakiti mahluk lain. Tidak pernah mengikat atau membunuhnya. Hanya menyenakan mahluk itu. Orang itu akan memperoleh kebahagiaan tertinggi. Keterkaitan sloka 141 Sarasamuscaya dengan ditembak matinya pelaku bom Bali oleh yang berwajib merupakan pengalaman hidup yang pahit, yang selalu harus dihindari. Sloka 141 Sarasamuscaya, ahimsa dan ajaran catur paramita sebagai kearifan lokal yang diyakini masyarakat Bali sebagai ajaran yang memiliki kekuatan religious juga secara cultural memiliki nilai pendidikan. Disinilah keterkaitannya dengan antropologi pendidikan. Perbuatan mengebom yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, merupakan perbuatan yang melanggara ajaran catur paramita, yaitu karuna (cinta kasih). Pengalaman hidup ini menjadi contoh yang baik dalam pendidikan karakter bila dihubungkan dengan kearifan lokal catur paramita, yaitu karuna (cinta kasih). Hal ini akan memiliki sumbangan besar terhadap keberhasilan pendidikan karakter (Endraswara, 2013:1). Karakter adalah sebuah peradaban. Kehadiran pengalaman hidup akan mengajak manusia lebih beradab. Jika demikian, pengalaman hidup memang sebuah alat didik. Alat didik ini akan menjadi lebih ampuh jika dikaitkan dengan ajaran susila/etika sebagai kearifan local untuk menanamkan pendidikan karakter. Salah satu fungsi ajaran susila/etika sebagai kearifan local adalah wahana pendidikan watak dalam kelompok masyarakat. Pendidikan karakter identik dengan membentuk sikap dan prilaku mulia yang sangat dibutuhkan dalam perkembangan anak pada khususnya. Dari sudut pandang antropologi pendidikan, karakter merupakan watak mulia yang dipelihara setiap orang (Endraswara, 2013:1). Kneller (1983:1) menyebutkan bahwa “anthropology is the study of man and his ways of living”. Pernyataan ahli antropologi pendidikan ini mengandung pesan penting bahwa cara hidup manusia tidak akan lepas dari karakter daarnya. Jika manusia dapat mengendalikan karakter, misalnya amarah, tentu pendidikan akan berjalan baik. Sebaliknya, jika karakter dasar amarah itu yang dikedepankan, bukan tidak mungkin akan terjadi perselisihan di antara insan pendidikan. Budaya dan pendidikan adalah dua hal yang saling mengisi. Kneller (1983) menyebutkan bahwa budaya merupakan cara hidup manusia dalam masyarakat. Dengan demikian, keterkaitan budaya, antropologi dan pendidikan memang amat dekat. Kneller (1983) menyebutkan bahwa pendidikan seharusnya menjadi sebuah enkulturasi, sehingga butuh waktu, pelan-pelan, perlu belajar dan butuh pengalaman diri. Walaupun pendidikan berusaha menanamkan kualitas berpikir bersih, pertimbangan bebas, namun pendidikan sering terganggu oleh unsur lain, seperti kehadiran televise, hiburan, dan sensasi lain. Itulah sebabnya, orang yang semula berkarakter positif, bisa tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat (Endraswara, 2013:2). Catur paramita adalah ajaran susila/etika dari kearifan lokal Bali. Susila/etika adalah keseluruhan norma dan nilai yang dipergunakan masyarakan bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya. Sebab hidup itu memerlukan orang lain karananya harus baik terhadap sesame. Terkait hal itu, pendidikan etika yang mendasar semestinya merupakan bersitan-bersitan suara Tuhan yang harus ditradisikan melalui pembiasaan. Tradisi itu terkait dengan pendidikan 2.3 Etnopedagogi Etnopedagogi berpandangan bahwa kearifan lokal sebagai sumber pembaharuan dan keterampilan dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain bahwa etnopedagogi sebagai praktik pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai ranah serta menekankan pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan demi kesejahteraan masyarakat dimana kearifan lokal tersebut terkait dengan bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola dan diwariskan (Alwasilah, 2009). Dalam hal ini, kearifan lokal memiliki ciri: 1) berdasarkan pengalaman; 2) teruji setelah digunakan berabad-abad; 3) dapat diadaptasikan dengan kultur kini; 4) padu dengan praktik keseharian masyarakat dan lembaga; 5) lazim dilakukan oleh individu maupun masyarakat; 6) bersifat dinamis; dan 7) sangat terkait dengan sistem kepercayaan. Selaras dengan isi yang terkandung dalam Undang-undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang mencakup tiga esensi yaitu: 1) pendidikan sebagaimana dituangkan dalam UU Sisdiknas; 2) pendidikan nasional dalam konteks lokal dan global; dan 3) fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang sifatnya terbuka Sehingga apa yang terkandung dalam konsep etnopedagogi dan isi dari Undang Undang No 20/2003 tentang Sisdiknas dapat dipadukan melalui pendidikan yang mengedepankan nilai budaya bangsa: wawasan kebangsaan, cinta tanah air, bekerja keras dan kesetiaan. B. Hasil dan Pembahasan 1. Maitri Dalam maîtri, pengalaman hidup yang diungkapkan oleh orang orang yang mudah bergaul jelas tampak dari sikap suka menyenagkan hati orang sehingga memiliki banyak teman, bisa menempatkan dirinya sendiri, murah senyum, selalu berpikir positif. Hal tersebut ternyata dapat menggugah para mahasiswa untuk memulai suatu perubahan dalam pergaulannya diawali dengan saling bertegur sapa dan tersenyum, meskipun mereka berasal dari program studi yang berbeda ataupun kelas yang berbeda pula. Disamping itu, kebiasaan ini dapat mengikis perbedaan senior dan junior dikalangan mahasiswa. Hal ini merupakan satu indikator keramahan, yang terlihat dari 97,61% mahasiswa mengaku memulai pergaulan dengan sikap ramah. Tentunya hal ini sangat positif dan harus dilanjutkan untuk menjadi suatu kebiasaan yang baik bagi semua mahasiswa. 2. Karuna Karuna atau kasih sayang diharapkan menjadi modal pembentukan karakter dan keutamaan manusia karena: Kasih sayang dalam pikiran adalah kebenaran Kasih sayang dalam perasaan adalah kedamaian Kasih sayang dalam pemahaman adalah tanpa kekerasan Kasih sayang dalam tindakan adalah kebajikan (Titib, 2006) Dari pemaparan diatas, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa 96,47% mahasiswa di lingkungan STKIP Agama Hindu Singaraja tergugah hatinya untuk saling menyayangi melalui pengungkapan pengalaman hidup. Mereka memulai dari hal yang sangat sederhana yakni dalam pergaulan tidak pernah membedakan status social, suku, ataupun agama. Hal ini tampak karena di kampus STKIP Agama Hindu Singaraja tidak hanya memiliki Prodi yang Pendidikan Agama Hindu melainkan ada prodi lain juga yang ada sehingga memungkinkan bagi mahasiswa non Hindu untuk kuliah di prodi tersebut. Hal positif ini harus terus dijaga dan dipertahankan secara bersama-sama oleh seluruh civitas akademika di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Dengan jalan tersebut, diharapkan sikap ini dapat semakin kuat dan membudaya di kalangan mahasiswa, sehingga kekeliruan yang dilakukan oleh sebagian kecil kelompok mahasiswa yang masih memiliki sikap membenci orang tertentu dengan alasan tertentu pula atau sekitar 3.53% dapat dihilangkan secara bertahap dan mereka bias menyadari kekeliruannya. 3. Mudita Melalui penerapan ajaran Catur Paramitha khususnya pada ajaran mudita, menunjukkan bahwa mahasiswa yang jarang atau bahkan tidak pernah bersosialisasi dengan lingkungannya tampak mereka tidak memiliki rasa simpati dan empati kepada orang lain baik itu di lingkungan pergaulan kampus ataupun di luar kampus, mereka menjadi tidak peduli jika ada teman yang sakit, atau sedang tertimpa kemalangan. Tetapi dengan penyadaran yang dilakukan melalui pengungkapan pengalaman hidup yang nyata disertai dengan contoh – contoh nyata yang sangat dekat dengan kehidupan mereka, ternyata dapat merubah pola pikir dan perilaku mahasiswa yang keliru tersebut. Mereka bias menyadari kekeliruan itu dan mau merubah sikapnya yakni sangatlah penting bagi umat manusia untuk bisa bersosialisasi karena hal tersebut dapat menumbukan rasa simpati dan empati. Hal ini terlihat bahwa 95.82% mahasiswa yang diambil untuk menjadi responden menunjukkan kepekaan dan kepeduliannya terhadap sesama teman dan mereka senang melakukan hal tersebut tanpa ada rasa tekanan dari pihak manapun. 4. Upeksa Melalui penerapan ajaran upeksa yang dikolaborasikan kedalam setiap mata kuliah, menunjukkan bahwa 96,27% terjadi perubahan perilaku mahasiswa STKIP Agama Hindu Singaraja kearah yang sangat baik, kepedulian mereka terhadap sesama teman terlihat dalam bentuk mereka secara seponton dan suka rela mengumpulkan sumbangan atas kemalangan yang pernah ditimpa oleh salah satu teman di kampus melalui organisasi BEM mereka bersatu untuk mengumpulkan dana, selain itu mereka juga semakin solid dan kuat tidak mudah terhasut tidak lagi terkotak kotak dalam prodi masing- masing tetapi bisa membaur bersama-sama di bawah satu atap yakni sebagai mahasiswa STKIP Agama Hindu Singaraja. C.Simpulan Ajaran Catur Paramitha sebagai salah satu kearifan lokal Bali mampu untuk membentuk karakter mahasiswa STKIP Agama Hindu Singaraja, dimana setiap bagian dari ajaran Catur Paramitha dikolaborasikan ke dalam mata kuliah di prodi masing masing. Hal ini ditunjukkan melalui: 1) ajaran maître, terlihat 97,61% mahasiswa merasakan hal yang sangat baik ketika mereka mengikuti ajaran maîtri dalam pergaulannya; 2) ajaran karuna, mahasiwa di lingkungan kampus STKIP Agama Hindu Singaraja merasakan bahwa dengan mengedepankan sifat saling menyayangi mereka merasakan hidup lebih menyenangkan. Hal ini ditunjukkan dengan 96,47% mahasiswa telah menerapkan ajaran karuna; 3) ajaran mudita, terdapat 95,82% mahasiswa sudah menerapkan ajaran mudita dalam kesehariannya baik itu di lingkungan kampus maupun di luar kampus; dan 4) ajaran upeksa, pada ajaran ini sudah 96,27% mahasiswa menjalankan ajaran tersebut serta sudah dirasakan pula dampak positifnya. Sehingga secara singkat dapat dikatakan bahwa 96,54% ajaran Catur Paramitha sangatlah penting peranannya dalam pembentukan karakter mahasiswa di lingkungan STKIP Agama Hindu Singaraja dan hal yang baik ini sudah semestinya dilaksanakan terus secara berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, A.dkk. 2009. Etnopedagogi landasan praktek pendidikan dan pendidikan guru. Bandung: PT Kiblat Buku Utama Endraswara. 2013. Pendidikan Karakter dalam faktor, konsep, bentuk, dan Model. Yogyakarta: Pustaka Rumah Suluh. Gall & Gall. 2003. Educational Research. USA: Pearson Education,Inc Geertz, Clifford. 2000. Negara Teater. Penterjemah Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: CV adi Putra. Kneller, G.F. 1983. Educational Anthrophology : An Introduction. USA: John Wiley & sons. Inc. Purna, I Made. 2009. Penguatan Budaya Lokal melalui Industri kratif untuk kesejahteraan masyarakat dalam Jnana Budaya. Edisi 14 No. 14/VIII/2009. Denpasar Rasna, I Wayan. 2012. Peran cerita anak dalam pendidikan karakter dalam bahasa dan pengajaran, Singaraja: JPBSI FBS Undiksha. Rasna, I Wayan. 2013. Pengungkapan Pengalaman Hidup Catur Paramita sebagai Kearifan Lokal Bali Dalam Pendidikan Karakter. Singaraja: Senari ke-1 Undiksha. Suhardana. 2006. Etika dan Moralitas Hindu. Surabaya: Paramita Suyanto. 2011. Urgensi Pendidikan Karakter. Ditjen Mendikdasmen Titib, I Made. 2006. Keutamaan Manusia dan Pendidikan Budi Pakerti. Surabaya: Paramita