Jurnal Pemikiran & Penelitian Psikologi PSIKOLOGIA ISSN: 185-0327 www.jurnal.usu.ac.id/psikologia STUDI KASUS MENGENAI SUBJECTIVE-WELL BEING PADA REMAJA DALAM MASA EMERGING ADULTHOOD YANG ORANG TUANYA BERCERAI Title in English: CASE STUDY OF SUBJECTIVE WELL-BEING IN ADOLESCENTS IN THE EMERGING ADULTHOOD WITH DIVORCED PARENTS Elia Lady Hioeliani, Carolina Nitimihardjo, dan Tery Setiawan Psikologia: Jurnal Pemikiran & Penelitian Psikologi Tahun 2015, Vol. 10, No. 1, hal. 10-17 Artikel ini dapat diakses dan diunduh pada: www.jurnal.usu.ac.id/psikologia Editor: Omar K. Burhan Indri Kemala Vivi Gusrini Pohan Dipublikasikan oleh: Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Jl. Dr. Mansyur No. 7 Medan. Telp/fax: 061-8220122 Email: [email protected] Psikologia 2015, Vol. 10, No. 1, hal. 10-17 10 STUDI KASUS MENGENAI SUBJECTIVE WELL-BEING PADA REMAJA DALAM MASA EMERGING ADULTHOOD YANG ORANG TUANYA BERCERAI Elia Lady Hioeliani, Carolina Nitimihardjo dan Tery Setiawan Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh gambaran dinamika subjective well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai. Rancangan yang digunakan adalah studi kasus. Penelitian ini menggunakan dua kasus, dengan karakteristik bahwa perceraian orang tua terjadi ketika remaja berada pada rentang usia sekolah dasar. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara secara mendalam. Kerangka wawancara dibuat oleh peneliti berdasarkan teori subjective well-being dari Ed Diener dan Robert Biswas-Diener (2008). Kredibilitas dari penelitian ini ditingkatkan dengan menggunakan triangulasi data. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan mixed methods content analysis, diperoleh gambaran dinamika subjective well-being dilihat dari aspek dan faktor yang memengaruhinya. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian adalah bahwa saat ini remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai dapat dikatakan cenderung bahagia (subjective well-being). Agama, pendapatan, relasi sosial, dan tujuan hidup merupakan faktor penting yang memengaruhi tercapainya subjective well-being. Peneliti mengajukan saran agar peneliti selanjutnya melakukan penelitian kepada subjek dengan jenis kelamin yang berbeda. Kata-kata kunci: Subjective well-being, remaja emerging adulthood, orang tuanya bercerai CASE STUDY OF SUBJECTIVE WELL-BEING IN ADOLESCENTS IN THE EMERGING ADULTHOOD WITH DIVORCED PARENTS ABSTRACTS This research is a case study concerning subjective well-being in adolescents in the period of emerging adulthood whose parents were divorced. The purpose of this research is to obtain the dynamic of subjective well-being in adolescents in the period of emerging adulthood whose parents were divorced. This research used two cases, with characteristic that parental divorce occurred when adolescents were in primary school. The data is obtained by using in-depth interview. Framework interview is made by researcher using subjective well -being theory by Ed Diener and Robert Biswas-Diener (2008). Credibility of this research is improved by using data triangulation. Based on data analysis using mixed methods content analysis, researcher obtains the picture of the dynamic of subjective well-being from the aspects and influencial factors. Conclusion from this research is adolescents in the period of emerging adulthood whose parents were divorced tend to be happy (subjective well-being). Religion, income, social relations, and the purpose of life are important factors that influence the achievement of subjective wellbeing. Suggestion for the next researcher is to use a different gender as their subject of research. Keywords: Subjective well-being, adolescents in emerging adulthood, divorced parents Fenomena perceraian merupakan hal yang sudah umum terjadi di masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk, yang terjadi apabila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak (Hurlock, 1980). Di Indonesia, Korespondensi mengenai penelitian ini dapat dilayangkan ke [email protected] Rekomendasi mensitasi: Hioeliani, E, R. , Nitimihardjo, C.,& Setiawan, T. (2015).Studi Kasus Mengenai Subjective Well-Being Pada Remaja Dalam Masa Emerging Adulthood Yang Orang Tuanya Bercerai. Psikologia, 10(1), 1017 11 perceraian menjadi legal secara hukum sejak disahkannya Undang-Undang Perkawinan, UU No.1 tahun 1974. Saat ini, angka perceraian di Indonesia semakin meningkat. Menurut Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama (BPA) Mahkamah Agung RI, H Wahyu Widiana, berdasarkan hasil rekapitulasi dari 33 Pengadilan Tinggi Agama (PTA) se-Indonesia sejak tahun 2005-2011, angka perceraian di Indonesia naik drastis hingga 70 persen per tahun. Jika pada tahun 2005 angka perceraian hanya 55.509 perkara, maka pada tahun 2011 menjadi 333.844 perkara (Dirjen Badan Peradilan Agama, 2012. Angka Perceraian di Indonesia Memprihatinkan. Pikiran Rakyat Online Jumat, 10 Februari 2012. http://www.pikiran-rakyat.com). Bercerai dengan orang yang sebelumnya atau masih dicintai merupakan suatu peristiwa yang tidak menyenangkan. Setelah bercerai, kebanyakan orang tua memiliki dua masalah, yaitu penyesuaian terhadap konflik-konflik intrapsikis dan terhadap peran mereka sebagai orang tua yang bercerai. Penelitian menunjukkan bahwa perceraian dapat menimbulkan perasaan-perasaan yang dapat memengaruhi cara orang tua dalam mengasuh anaknya, seperti perasaan khawatir, kelelahan dan stres (Strohschein, 2007 dalam Fagan & Churchill, 2012). Perceraian menyebabkan anak mengalami reaksi emosional yang menyakitkan (Amato dan Keith, 1991 dalam Amato, 1994). Namun, intensitas dan cara mereka menyampaikan perasaan bervariasi sesuai dengan jenis kelamin, temperamen, dan usia anak. Anak laki-laki lebih mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri secara sosial. Anakanak yang memiliki difficult temperament kurang mampu bertahan terhadap stres dan menunjukkan beragam kesulitan dalam jangka waktu yang lama. Anak usia sekolah dasar memiliki kematangan kognisi yang lebih baik daripada anak usia pra sekolah, sehingga mereka dapat lebih memahami arti dari perceraian (Amato, 1994). Menurut Amato (1994), pemahaman anak usia sekolah dasar mengenai perceraian dapat menimbulkan rasa kehilangan, perasaan sedih, dan depresi. Beberapa anak menganggap perceraian sebagai suatu penolakan atas diri mereka. Anak cenderung akan menyalahkan orang tua atas terjadinya perceraian dan merasakan amarah yang sangat besar terhadap satu atau kedua orang tuanya. Anak yang berasal dari keluarga yang bercerai rata-rata mengalami lebih banyak masalah dan memiliki tingkat kesejahteraan (well-being) yang lebih rendah daripada anak yang berasal dari keluarga yang lengkap (Amato & Keith, 1991 dalam Amato,1994). Masalahmasalah tersebut mencakup prestasi akademis yang lebih rendah, gangguan perilaku, penyesuaian (adjustment) psikologis yang lebih buruk, self concept yang lebih negatif, dan mengalami kesulitan secara sosial. Dampak perceraian orang tua yang dialami anak usia sekolah dasar dapat menghambat anak untuk memenuhi tugas perkembangan pada masa emerging adulthood. Masa emerging adulthood adalah suatu masa transisi antara remaja dan dewasa, yang berkisar antara usia 18-25 tahun (Arnett, 2007). Emerging adulthood adalah masa di mana remaja mengeksplorasi berbagai kemungkinan dalam hal percintaan dan pekerjaan, sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk berkomitmen pada kedua hal tersebut. Selain itu, remaja juga 12 memfokuskan dirinya untuk mengembangkan pengetahuan, keahlian, dan pemahaman diri (self-understanding) yang dibutuhkan saat mereka dewasa. Berdasarkan hasil survey awal kepada dua orang remaja dalam masa emerging adulthood yang berinisial S dan F, diketahui bahwa perceraian orang tua membuat subjek merasakan iri hati, kebencian, kesepian, dan kemarahan. Bahkan, salah satu subjek masih merasakan dampak dari perceraian orang tuanya. Salah satu subjek lebih menutup diri dan membatasi relasinya, terutama dengan lawan jenis. Kurangnya pemahaman diri dan eksplorasi dalam membina hubungan dengan lawan jenis dapat menghambat subjek penelitian ini untuk memenuhi tugas perkembangan dalam masa emerging adulthood. Kegagalan dalam memenuhi tugas perkembangan dapat menimbulkan kesulitan dalam menghadapi tugas di tahap berikutnya dan dapat menimbulkan ketidakbahagiaan (Hurlock, 1980). Kebahagiaan, yang dalam bahasa ilmiahnya disebut dengan subjective wellbeing, adalah semua jenis evaluasi, baik kognitif maupun afektif, yang dibuat individu atas hidupnya (Diener, 2008). Subjective well-being memiliki empat aspek, yaitu afek positif, afek negatif, life satisfaction, dan flourishing. Afek positif merupakan suasana hati dan emosi yang menyenangkan, seperti kegembiraan dan kasih sayang. Afek negatif meliputi suasana hati dan emosi yang tidak menyenangkan, serta mewakili respon negatif yang individu alami terhadap kehidupan, kesehatan, peristiwa, dan lingkungannya. Life satisfication menunjukkan bagaimana individu mengevaluasi dan menilai hidupnya secara keseluruhan. Life satisfaction bergantung pada area-area kehidupan seperti, relasi sosial, kesehatan, pekerjaan, pendapatan, dan agama. Flourishing adalah evaluasi positif atas aspek kehidupan lainnya. Flourishing berhubungan dengan apakah individu memiliki tujuan hidup, serta merasa bahwa hidupnya berarti. Perceraian orang tua memberikan dampak yang berbeda pada masing-masing individu. Berdasarkan hasil survey awal, didapati bahwa perceraian orang tua dapat menimbulkan afek negatif. Perceraian orang tua juga memengaruhi area-area kehidupan, seperti kondisi ekonomi dan relasi sosial remaja dalam masa emerging adulthood. Relasi sosial dan kondisi ekonomi merupakan faktor yang memengaruhi kepuasan hidup (life satisfaction). Afek negatif dan life satisfaction merupakan aspek-aspek dari subjective well-being. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Studi Kasus Mengenai Subjective Well-Being Pada Remaja dalam Masa Emerging Adulthood yang Orang Tuanya Bercerai”. Penelitian ini difokuskan pada sampel yang orang tuanya bercerai ketika mereka berada pada rentang usia sekolah dasar, karena dianggap bahwa perceraian pada masa itu berdampak besar pada remaja dalam masa emerging adulthood. Dari penelitian ini, ingin diketahui bagaimana gambaran subjective well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai. Asumsi dari penelitian ini adalah: (1) Subjective well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai dapat dipahami melalui aspek: afek positif, afek negatif, kepuasan hidup (life satisfaction), dan flourishing; (2) Subjective well-being pada remaja 13 dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai dapat dipengaruhi oleh faktor tujuan hidup, relasi sosial, pendapatan, dan agama. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang bertujuan untuk memperoleh gambaran dinamika subjective well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai. Metode studi kasus adalah suatu pendekatan untuk meneliti fenomena sosial melalui analisis yang mendalam terhadap kasus yang dialami individu (Kumar, 1999). Karakteristik kasus dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Remaja dalam masa emerging adulthood, berusia antara 18-25 tahun; 2. Remaja yang orang tuanya bercerai atau berpisah saat remaja berada pada rentang usia sekolah dasar; dan 3. Jumlah kasus dalam penelitian ini adalah dua kasus. Penelitian ini akan menggunakan teknik triangulasi data yang bertujuan untuk meningkatkan rigor. Triangulasi data adalah penggunaan lebih dari satu sumber data. Hasil wawancara mengenai subjective well-being akan dianalisis menggunakan teknik mixed methods content analysis. Mixed methods research adalah sebuah desain penelitian dimana peneliti mengumpulkan, menganalisis, dan menggabungkan (mengintegrasi atau menghubungkan) data kuantitatif dan kualitatif dalam suatu penelitian (Creswell, J., 2007 dalam Johnson, B & Anthony J, 2007). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan qualitative dominant mixed methods research (QUAL+quan research). Qualitative dominant mixed methods research adalah salah satu tipe mixed research yang mengutamakan data kualitatif, namun menyadari bahwa penambahan data kuantitatif dapat meningkatkan hasil penelitian (Johnson, B & Anthony J., 2007). Content analysis adalah suatu metode yang digunakan untuk menganalisis hasil komunikasi tertulis, verbal, atau visual (Cole, 1988 dalam Elo & Kyngas, 2007). Dalam proses analisis data, peneliti menggunakan metode deductive content analysis. Deductive content analysis digunakan ketika struktur analisis dioperasionalkan berdasarkan teori yang sudah ada (Elo & Kyngas, 2007). Hasil dari content analysis berupa data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dengan menelusuri teks untuk memperoleh deskripsi analisis frekuensi, sehingga diperoleh tren dari teks tersebut (Creswell, 2007 dalam Camp, S., 2007). Data kualitatif berupa teks, kutipan, hasil percakapan dengan responden. Peneliti menginterpretasi data dengan mengidentifikasi dan mendeskripsikan pola hubungan ke dalam suatu uraian. Uraian tersebut tidak hanya berupa deskripsi atau ringkasan dari data, namun juga menjelaskan variabel dan faktor yang memengaruhinya. 14 HASIL Berikut akan dipaparkan dalam bentuk bagan mengenai hasil penelitian. menyebabkan F lebih merasakan dampak dari perceraian. Besarnya dampak perceraian yang mereka alami dipengaruhi oleh faktor konflik antar orang tua, Bagan2Content analysis F Bagan 1Content analysis S ketidakhadiran orang tua, penyesuaian diri orang tua dan kemampuan dalam mengasuh anak, serta kesulitan ekonomi. F dan S berada pada rentang usia sekolah dasar ketika orang tuanya bercerai. Anak usia sekolah dasar memiliki kematangan kognisi yang lebih baik dan lebih dapat memahami arti dari perceraian (Amato, 1994). Pemahaman tersebut Setelah perceraian terjadi, baik F maupun S mengalami beberapa afek negatif. Maka dari itu, mereka menggunakan strategi coping, seperti berdoa. Strategi coping ini membantu mereka untuk beradaptasi terhadap 15 peristiwa buruk yang dialaminya. Adaptasi merupakan suatu mekanisme psikologis yang berperan dalam mengatur dasar emosi manusia. Adaptasi melindungi manusia dari peristiwa buruk yang menimpanya dan mencegahnya agar tidak terjerumus ke dalam hal negatif (Diener & Robert B.D., 2008). Strategi coping ini membantu mereka, sehingga ia tidak terlibat dalam perilaku delinquent dan tidak mengalami masalah secara akademis. Setelah menggunakan strategi coping, afek negatif S tidak sedominan sebelumnya. Namun, berbeda dengan S, afek negatif F masih dominan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan mental process. S memiliki mental process yang positif, S percaya bahwa Tuhan akan membantu tepat pada waktunya. Dengan memiliki mental process yang positif, S tidak berfokus pada hal buruk yang terjadi akibat perceraian orang tuanya. S berfokus dan mengingat kembali kenangankenangan yang menyenangkan saat ia masih tinggal dengan ayahnya. Sebaliknya, F memiliki mental process yang negatif, F berfokus pada hal negatif yang muncul dari perceraian orang tuanya, sehingga ia mengalami kesulitan dalam mengingat kembali hal-hal baik yang terjadi saat ia masih bersama ayahnya. Selain melalui ajaran agama, peran ibu dan beasiswa yang diperolehnya membantu S untuk merasakan afek positif. Sedangkan pada F, peran ibu dan relasi sosial sangat membantu F untuk merasakan afek positif dan membantunya agar mau terbuka untuk membina relasi dengan lawan jenisnya. Relasi sosial merupakan salah satu faktor yang memengaruhi subjective well-being. Relasi sosial yang ditandai oleh rasa peduli dan pengertian dari orang lain dapat memberikan rasa aman pada individu (Diener & Robert B.D., 2008). Hal ini membantu individu untuk saling mendukung dan berbagi dengan orang lain. Individu dapat menghadapi masa-masa sulit, apabila ia memeroleh dukungan emosional dan kasih sayang dari orang di sekitarnya. Akhirnya, afek negatif F pun tidak sedominan sebelumnya. Afek negatif yang tidak dominan dapat membantu individu untuk memeroleh kepuasan hidup (life satisfaction) atau kepuasan pada aspek kehidupan lainnya (flourishing) (Diener & Robert B.D., 2008). F dan S merasa hidupnya berarti, karena mampu membantu keluarga dan temannya yang kesulitan. Mereka pun merasa dihargai oleh teman-temannya, karena mereka tidak pernah memeroleh perlakuan buruk dari temannya. Keduanya pun memiliki tujuan hidup dan mereka sedang berusaha untuk mencapai tujuan hidupnya. Usaha yang dilakukan individu untuk mencapai tujuannya akan memberikan kepuasan, apabila tujuan tersebut dibuat berdasarkan nilai-nilai yang dianutnya (Diener & Robert B.D., 2008). Usaha yang dilakukan F untuk mencapai tujuan hidupnya, perasaan bahwa hidupnya berarti, serta dihargai oleh orang lain membantu F untuk memeroleh kepuasan pada aspek kehidupan lainnya (flourishing). F dan S telah memasuki masa emerging adulthood. Pada masa ini, individu diharapkan dapat mengeksplorasi berbagai kemungkinan dalam percintaan dan pekerjaan, serta membuat keputusan berdasarkan kemungkinan tersebut (Arnett, 2007). Selain itu, remaja dalam masa emerging adulthood juga memfokuskan dirinya untuk mengembangkan pengetahuan, keahlian, dan pemahaman diri (self-understanding) yang dibutuhkan 16 saat mereka dewasa. Baik F maupun S tidak mengalami masalah akademik, mereka telah mengembangkan pengetahuan dan keahliannya. Mereka pun telah bereksplorasi dalam hal pekerjaan. Pendapatan yang diperoleh dapat meningkatkan kepuasan hidupnya (life satisfaction). Pendapatan dapat memengaruhi subjective well-being, karena dari pendapatan tersebut individu dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan membantu orang lain. Dengan pendapatan tersebut, mereka mulai memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Namun, keduanya belum mengeksplorasi dalam hal percintaan. Keduanya mengalami ketakutan dan lebih berhati-hati untuk membina hubungan romantis dengan lawan jenisnya. Mereka takut apa yang dialami orang tuanya terjadi pada mereka. Meskipun keduanya belum memenuhi tugas perkembangan pada masa emerging adulthood, namun mereka dapat dikatakan cenderung bahagia. Afek negatif mereka tidak sedominan sebelumnya. Mereka cukup puas atas hidupnya (life satisfaction), karena dengan penghasilan yang diperoleh mereka bisa membantu ibu mereka, meskipun keduanya belum memeroleh hal penting dalam hidup dan belum mendekati tipe hidup idealnya. Mereka pun puas terhadap aspek kehidupan lainnya (flourishing). DISKUSI Perceraian orang tua memberikan dampak yang besar bagi anak dalam rentang usia sekolah dasar. Anak usia sekolah dasar mengalami afek negatif akibat perceraian orang tuanya. Selain itu, perceraian mengakibatkan anak usia sekolah dasar mengalami kesulitan dalam menjalin relasi dan membina hubungan romantis dengan lawan jenisnya. Kondisi setelah perceraian dapat menghambat mereka, ketika memasuki masa emerging adulthood. Pada masa ini, remaja diharapkan dapat mengeksplorasi berbagai kemungkinan dalam hal percintaan dan pekerjaan. Kegagalan dalam memenuhi tugas perkembangan ini dapat membuat remaja tidak bahagia. Berdasarkan hasil pengolahan terhadap kedua kasus yang digunakan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa saat ini remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai dapat dikatakan cenderung bahagia (subjective well-being). Mental process merupakan hal penting yang memengaruhi remaja dalam menginterpretasi perceraian orang tuanya. Mental process dapat membantu remaja dalam masa emerging adulthood untuk mengalami afek positif. Selain melalui mental process, remaja dapat mengalami afek positif dari ajaran agama dan relasi sosialnya. Ajaran agama membantu remaja untuk memeroleh pengalaman akan emosi positif. Melalui dukungan dan kasih sayang dari relasi sosialnya, remaja dalam masa emerging adulthood akan dapat menghadapi masa-masa sulitnya. Afek positif membuat afek negatif yang dialami remaja tidak sedominan sebelumnya. Kondisi ini membantu remaja untuk memeroleh life satisfaction dan flourishing. Tujuan hidup dapat membantu remaja untuk memeroleh flourishing dan pendapatan dapat membantu remaja untuk memeroleh life satisfaction. Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, berikut ini adalah beberapa saran yang diharapkan dapat memberikan 17 manfaat bagi berkepentingan. pihak-pihak yang Saran Teoritis Bagi peneliti lain yang ingin meneliti mengenai subjective well-being pada remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai, disarankan untuk melakukan penelitian kepada subjek dengan jenis kelamin yang berbeda, agar dapat melihat perbandingan gambaran subjective well-being pada jenis kelamin yang berbeda. Saran Praktis Bagi remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai, agar hasil penelitian ini dapat menjadi pertimbangan supaya mereka berusaha untuk berpikir positif atas perceraian orang tuanya, membangun relasi sosial yang saling mendukung, dan berusaha untuk mencapai tujuan hidup mereka. Saat ini relasi sosial dan tujuan hidup merupakan faktor yang paling memengaruhi mereka untuk memeroleh subjective well-being. Bagi orang tua dari remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai, agar hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bahwa anak mereka mengalami kesulitan dalam membina relasi dengan lawan jenis akibat perceraian orang tuanya. Diharapkan orang tua dapat memberikan dukungan sehingga anak mereka dapat memenuhi tugas perkembangan di masa emerging adulthood, yaitu untuk mengeksplorasi kemungkinan dalam hal percintaan. Bagi masyarakat, agar hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk memberikan dukungan kepada remaja dalam masa emerging adulthood yang orang tuanya bercerai. Pemberian dukungan dapat membantu remaja agar dapat membina relasi sosial dengan sesama jenis dan lawan jenis yang lebih baik. REFERENSI Amato, P. R. (1994). Life-span adjustment of children to their parent's divorce. The Future of Children, 4, 143-164. Arnett, J. J. (2007). Adolescence and emerging adulthood: A cultural approach (3 ed.). USA: Pearson Prentice Hall. Camp, S. N. (2007). An explanatory mixed methods content analysis of two state level correctional institutions' prerelease handbook curriculum designs, looking through the lenses of two philosophical orientations of education. The Florida State University. Diener, E., & Robert, B. D. (2008). Happiness: Unlocking the mysteries of psychological wealth. John Wiley & Sons. Dirjen Badan Peradilan Agama. (2012, Februari 10). Angka Perceraian di Indonesia Memprihatinkan. Diambil kembali dari Pikiran Rakyat ONLINE: http://www.pikiranrakyat.com/node/176349 Elo, S., & Kyngas, H. (2007). The qualitative content analysis process. Journal of Advanced Nursing, 62 (1), 107-115. Fagan, P., & Churchill, A. (2012). The effects of divorce on children. Marriage and Religion Research Institute , 1-44. 18 Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga. Johnson, R. B., Onwuegbuzie, A. J., & Turner, L. A. (2007). Toward a definition of mixed methods research. Journal of Mixed Methods Research, 1 (2), 112-133. Kumar, R. (1999). Research methodology: A step-by-step guide for beginner. London: Sage Publications.