Praktek jual beli pasal yang diungkap Ketua Mahkamah Konstitusi

advertisement
Dugaan Praktek Jual Beli Ayat dan Pasal suatu UU Ancaman Terhadap Demokrasi
Dugaan praktek jual beli pasal yang diungkap Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD
marak diberitakan di banyak media massa belakangan ini. Orang nomor satu di MK ini
membeberkan fakta sekaligus modus operandi praktek tersebut di DPR. Ia antara lain
menyebut lima orang yang dihukum karena mengeluarkan dana yayasan sebesar Rp100
miliar untuk menggolkan Undang-Undang Bank Indonesia. Dari jumlah itu Rp68 miliar
untuk pengacara dan Rp31 miliar buat anggota DPR.
Selanjutnya Rp1,5 miliar Dana Abadi Umat dibayarkan ke DPR untuk meloloskan UU
Wakaf, serta adanya calo anggaran APBNP yang dipotong setiap proyek sebesar enam
persen. Tak cuma itu, Mahfud juga menyatakan kasus suap yang terkait dengan
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang tengah disidangkan di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi juga untuk membayar UU APBNP Perubahan. Kendati untuk
kasus ini ia tidak menyebutkan jumlah uang yang beredar di Senayan sana.
Sementara itu menurut peneliti ICW, Emerson Junto, praktik jual beli pasal dalam
pembahasan undang-undang di DPR ini bukan omong kosong, Ia juga menyebutkan
misalnya pada kasus ayat tembakau di dalam UU Kesehatan, serta pasal batas usia hakim
agung dalam Undang-Undang Mahkamah Agung (MA). Indikasi praktek jual beli ini
seperti yang dikatakan ICW dalam bentuk memangkas atau menambah substansi dan isi
pasal maupun ayat dalam UU tersebut.
Posisi Hukum Pemerintah dalam Politik Demokrasi
Adanya fakta dugaan praktek jual beli tersebut jika dilihat dalam perspektif hukum tentu
mengarah pada logika subjektif yang merugikan negara di satu pihak dan rakyat di pihak
lain Karena tindakan tersebut secara obyektif telah mengingkari amanat konstitusi UUD
1945. Secara subjektif, negara dalam konteks ini pemerintah telah berada dalam posisi
yang lemah untuk menggunakan taring kekuasaan hukumnya di dalam mendeteksi
maupun menyelidiki kasus tersebut agar tidak terulang lagi.
Hal itu dibuktikan salah satunya tatkala kasus ayat tembakau dalam UU Kesehatan telah
pernah mewarnai tingkah polah anggota DPR. Situasi ini kian menegaskan bahwa
pemerintah tidak peduli terhadap dugaan adanya penyalahgunaan kekuasaan (Abuse of
Power) tersebut.
Padahal sejatinya suatu negara yang sepakat menganut paham demokrasi, pemerintah
akan menempatkan rechstaat ketimbang machstaat. Kendati kekuasaan hukum itu
melekat dengan sendirinya pada anggota DPR yang punya fungsi memproduksi UU.
Sementara itu mayoritas rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi di negeri ini seakan
di pinggirkan dengan munculnya dugaan praktek jual beli UU ini. Bagaimana tidak? UU
yang seharusnya dikonstruksi untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat banyak
ternyata dikalahkan demi kepentingan kelompok tertentu. Rakyat jika demikian hanya
ditempatkan sebagai “tambang emas” ritual lima tahunan demokrasi.
Sebagai negara hukum (Rechstaat) tentu pemerintah punya daya dorong untuk memaksa
setiap pelanggaran yang terjadi guna diusut tuntas. Apalagi jika benar peristiwa tersebut
maka dapat digolongkan sebagai kejahatan massal yang dilakukan wakil rakyat. Sebab
suka atau tidak suka produk UU yang dibuatnya itu melibatkan semua anggota DPR
lewat mekanisme yang diberlakukannya. Lalu apa gunanya Konstitusi UUD 1945 itu?
Dari sisi Hukum Tata Negara, Konstitusi UUD 1945 diletakkan sebagai sumber hukum
tertinggi di negeri ini. Tata urutan peraturan perundang-undangan pun demikian. Karena
itulah tanpa kecuali semua UU yang dibuat dan diberlakukan itu merujuk pada isi dan
substansi Konstitusi 1945. Namun dalam praktek ketatanegaraan yang sedang
berlangsung sekarang ini rupanya DPR mirip dengan locus delicti dari akses relasi
politik, ekonomi dan hukum ketika menyusun undang-undang.
Di sini tanpa malu lagi lembaga negara DPR memainkan peran untuk mengutak-atik
susunan kata yang sejatinya titipan rakyat itu untuk kepentingan posisi tawar sekelompok
orang. Yang bukan tidak mungkin kelompok seperti ini memiliki kekuasaan ekonomi,
politik dan hukum yang amat besar yang bisa mempengaruhi dan menekan setiap
kebijakan pembuatan perundang-undangan itu. Lihat saja, seperti yang diungkapkan
Ketua MK itu, mulai dari hulu (UU APBNP) hingga hilir (UU di luar APBNP) produk
undang-undang itu sarat muatan kepentingan yang akhirnya membuka topeng praktek
demokrasi itu sendiri.
Demokrasi pasca reformasi seperti yang diungkapkan teoriti demokrasi, Joseph
Schumpeter dan Samuel Huntington tampak mendekati kenyataan untuk fenomena
realitas politik dan demokrasi di Indonesia. Keduanya menafsirkan demokrasi yang sarat
dengan muatan kepentingan kelompok tertentu itu hanya berjalan sebatas hal yang
bersifat prosedural dan teknis semata. Sekaligus menihilkan cita-cita demokrasi itu
sendiri demi kepentingan rakyat banyak.
Akan tetapi menjadi relevan jika kita meneliti pandangan tradisi Marxis terhadap
fenomena jual beli UU di DPR itu. Lenin ketika itu menyebut demokrasi tak ubahnya
siasat kaum borjuis di mana instrument dan sumber kekuasaan hukum, ekonomi dan
politik terkonsentrasi pada segelintir kelompok borjuis saja. Karena itu alih-alih berpihak
kepada kesejahteraan rakyat, model demokrasi seperti ini hanya menghasilkan model
politik massa mengambang dan demokrasi yang melahirkan oligarki dan teknokrasi.
Sampai di sini jika kita cermati, kaum terdidik yang kritis di negeri ini akan menilai
bahwa Konstitusi UUD 1945 yang mengamanatkan demokrasi itu hanya action di pemilu
saja. Usai pemilu, suara rakyat rasa-rasanya dikhianati yang tercermin dari tiap kebijakan
publik yang tidak berpihak kepada pemilik kedaulatan negeri ini. Hal ini bisa dirasakan
dengan kian tingginya harga sembako hingga kenaikannya itu mencapai 10-30 persen
kurun waktu 2011 ini. Belum lagi rencana kenaikan BBM, pendidikan dan kesehatan
yang dikomersialisasikan, serta pengangguran yang bermuara pada kemiskinan tetap
dibiarkan tumbuh dan berkembang biak.
Karenanya fenomena dugaan jual beli ayat dikaitkan dengan posisi hukum pemerintah
yang tampak lemah itu mengindikasikan kuatnya kekuasaan lain yang tersembunyi.
Yang tidak menutup kemungkinan untuk masa mendatang mengancam proses demokrasi
yang telah dirintis dan disepakati bangsa ini pasca kekuasaan otoritarian yang lalu.
Paradoks Demokrasi
Mau tidak mau, suka atau tidak suka praktek penyelenggaraan kekuasaan yang dihantui
oleh dugaan jual beli ayat itu semakin menjauhkan cita-cita demokrasi. DPR yang
seharusnya menjadi kunci bagi kuatnya kekuasaan hukum di Republik ini seolah
ngelantur dari fungsi dan tugasnya. Apa yang bisa diharapkan dari perilaku politik di elit
kekuasaan seperti ini?
Sulit untuk menjawabnya. Sebab praktek kekuasaan itu, entah politik, hukum maupun
ekonomi diperankan oleh suatu kekuatan politik yang samar di mata rakyat. Kendati
rakyat telah memilih anggota DPR itu untuk duduk mewakili aspirasinya.
Untuk itu Mahmud MD tentu bukan asal bicara. Ia berada di titik puncak dari kekusaan
demokrasi yang tengah berjalan ini. Terbukti Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
tinggi negara yang ia jabat punya posisi setara dengan DPR. Tak ada satu pun kekuasaan
yang bisa memaksa Ketua MK ini untuk diam tatkala daya intuisinya itu mampu
mengendus dugaan praktek kotor di DPR itu. Kecuali barangkali jika kekuasaan hukum
negara (Polisi, Kejaksaan, KPK) cepat responsif bertindak untuk menyelidiki
kebenarannya dari apa yang diduga Mahfud MD itu.
Dari sudut pandang inilah jika fenomena dugaan praktek jual beli ayat di DPR ada
benarnya maka realitas politik demokrasi di Indonesia mengalami paradoksnya. Kritik
Geoff Mulgan terhadap demokrasi bisa menjadi bahan telaah untuk mencari tahu
kebenarannya. Geoff menyatakan, ada dua hal paradoks demokrasi itu. Pertama
demokrasi cendrung melahirkan oligarki dan teknokrasi. Hal ini bisa dibuktikan di mana
segelintir orang di DPR menjadikan politik untuk mendapatkan keuntungan finansial.
Kedua, prinsip-prinsip demokrasi seperti keterbukaan, kebebasan dan kompetisi telah
dibajak oleh kekuatan modal. Hal ini bisa dilihat bagaimana tafsir terhadap prinsip
tersebut mendekati kebenaran di mana arus modal besar asing deras masuk ke negeri ini.
Karena itulah barangkali Jika mencermati realitas politik dan demokrasi yang tengah
berjalan ini seolah terpenjara oleh kepentingan yang tersembunyi dari suatu kekuatan
entah politik, ekonomi dan hukum di negeri ini. Namun begitu, bukan tidak mungkin
kekuasaan hukum sebagai panglima kelak tak kalah kuatnya untuk menjebol dugaan
praktek kotor jual beli ayat yang jelas-jelas mengingkari Konstitusi UUD 1945 itu untuk
diberantas keakar-akarnya. Semoga saja.*En
Download