II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan didefinisikan sebagai proses reaksi cepat oksigen dan unsur‐unsur lainnya, dan ditandai dengan panas, cahaya serta biasanya menyala. Proses kebakarannya menyebar bebas dengan mengkonsumsi bahan bakar berupa vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma (Brown dan Davis 1973). Penyebab utama kebakaran hutan yang disebutkan adalah konversi ke penggunaan lahan lain (terutama pertanian), hama dan penyakit, kebakaran, over eksploitasi hasil hutan (kayu industri, kayu bakar), praktek pemanenan yang buruk, penggembalaan berlebih, polusi udara dan badai (FAO 2001). Dalam dua puluh tahun terakhir, kebakaran telah menjadi salah satu ancaman terbesar bagi hutan hujan tropis terutama di Indonesia. Kebakaran merupakan hal yang sering terjadi di Pulau Kalimantan dan Sumatra, membakar areal dengan luas terbesar pada tahun 1986, 1991, 1994 dan 1997. Kondisi tersebut diperparah oleh fenomena El Nino tahun 1997/1998, kebakaran tak terkendali telah menghancurkan areal sangat luas dari hutan hujan dan semak belukar di Indonesia. Kerugian ekonomi dan kerusakan ekologis begitu luar biasa (IFFM/GTZ 1998 dalam Sunuprapto 2000). Hutan hujan Indonesia terbakar karena beberapa faktor yang saling berhubungan yang berkaitan dengan manusia dan alam. Kemungkinan terbakarnya suatu hutan bergantung pada tingkat bahaya dan resiko api. Bahaya api adalah ukuran tentang jumlah, jenis dan kekeringan bahan bakar potensial yang ada di hutan. Tingkat resiko api umumnya berhubungan dengan tindakan manusia, seperti melakukan pembakaran di dekat hutan saat bahaya kebakaran tinggi (Glover dan Jessup 2002). Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab utama deforestasi di berbagai negara. Banyak penelitian yang menelaah faktor‐faktor yang 9 berpengaruh dalam proses kebakaran hutan. Upaya pencegahan kebakaran hutan telah mulai menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG digunakan untuk menghasilkan model yang dapat menunjukkan zona kerawanan kebakaran hutan. Pencegahan kebakaran hutan merupakan langkah yang harus diambil guna mencegah kerusakan hutan lebih lanjut. Informasi mengenai daerah rawan kebakaran hutan menjadi sangat penting bagi pengelola hutan. Model spasial yang menunjukkan daerah dengan tingkat kerawanan akan kebakaran hutan yang berbeda dapat menjadi salah satu masukan bagi upaya pencegahan kebakaran hutan. B. Faktor‐faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan 1. Faktor aktivitas manusia Penyebab kebakaran hutan di Indonesia umumnya adalah manusia baik sengaja maupun karena unsur kelalaian, dimana kegiatan konversi menyumbang 34 %, peladang liar 25 %, pertanian 17 %, kecemburuan social 14 %, proyek transmigrasi 8 % dan hanya 1 % yang disebabkan oleh alam (Dephut, 2003). Boonyanuphap (2001) menyatakan bahwa pemukiman merupakan faktor aktivitas manusia yang paling signifikan menentukan resiko kebakaran hutan dan lahan selain jaringan jalan, jaringan sungai, dan penggunaan lahan. Faktor aktivitas manusia sekitar hutan berpengaruh nyata terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan korelasi positip, yaitu pengeluaran rumah tangga, dan kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan (Soewarso 2003). Meningkatnya akses manusia ke dalam kawasan hutan meningkatkan kemungkinan terjadinya pembalakan liar, pembukaan lahan dengan pembakaran. Kebakaran yang dilakukan oleh masyarakat dilatarbelakangi oleh faktor sosial ekonomi. Faktor ini sangat erat hubungannya dengan konsep 10 penggunaan lahan oleh masyarakat, dimana masyarakat yang luas lahannya kecil/tidak memiliki lahan akan berupaya membuka lahan baru atau ikut kerjasama dengan masyarakat pendatang dalam bentuk kelompok tani, yayasan, atau koperasi (Pratondo 2007). Beberapa aktivitas masyarakat tradisional seperti sistem budidaya padi sonor (dimana padi ditanam pada lahan‐lahan gambut yang sengaja dibakar pada musim kemarau), diduga menjadi sumber pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan (PFFSEA 2003). Demikian juga pembukaan lahan oleh petani hutan bertujuan untuk membuka ladang baru atau memperluas lahan miliknya yang penyiapan lahannya dilakukan dengan sistem tebas, tebang dan membakar. Semak merupakan area dengan kemungkinan aktivitas peladang berpindah. Pada umumnya mereka membuat sekat bakar, melakukan pembakaran balik, menjaga nyala api sampai padam. Hardjanto (1998) menyatakan bahwa pembakaran dilakukan oleh petani untuk menambah kesuburan dan biasanya satu keluarga hanya mampu membakar ladang seluas 1 ha. Pembukaan lahan juga dilakukan oleh perambah hutan, namun tujuannya adalah untuk mencari kayu. Perambahan hutan pada umumnya dilakukan di area milik perusahaan (Pratondo 2007). Kebakaran akan semakin luas dengan bertambahnya pendatang baru yang akan membuka ladang dengan pembakaran. Pratondo (2007) menyatakan bahwa masyarakat maupun pengembang berupaya mengkonversi hutan secara besar‐besaran. Di Kalimantan Barat menurut dia, penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah kegiatan pembukaan lahan secara besar‐besaran untuk kelapa sawit, dimana setelah IUPHHK memanen kayu komersial, maka selanjutnya terjadi perubahan status lahan dari hutan menjadi perkebunan sawit atau IUPHHK HT. Dalam penyiapan lahannya mereka menggunakan api untuk membersihkan bahan bakar yang terdapat di atas permukaan tanah. Berdasarkan studi Bappedalda Kaltim tahun 1998 menunjukkan bahwa sebesar 22 % kebakaran disebabkan 11 oleh Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) sedangkan sebesar 41 % oleh Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK HT). 2. Faktor lingkungan biofisik (a). Karakteristik bahan bakar Karakteristik bahan bakar di hutan tropis bervariasi antara tempat dan waktu. Hutan gambut berkayu merupakan bahan bakar yang baik karena mengandung nilai kalor yang sangat tinggi atau kapasitas panas tinggi. Pembangunan HTI dengan spesies eksotis seperti Acacia mangium, Gmelina arborea atau Eucalyptus spp. bisa menyumbangkan tingkat resiko bahaya kebakaran, khususnya selama musim kering karena akan ada muatan bahan bakar yang tinggi di lantai hutan. Brown dan Davis, (1973) dan Chandler (1983) menyebutkan bahwa terdapat 3 tipe bahan bakar yaitu (1) bahan bakar bawah terdiri atas duff, akar, dan gambut; (2) bahan bakar permukaan terdiri atas serasah, ranting, kulit kayu dan cabang pohon yang semua belum terurai, termasuk juga rumput, tumbuhan bawah, anakan dan semai; (3) bahan bakar tajuk terdiri atas bahan bakar hidup ataupun yang sudah mati berada di atas dan menutupi kanopi menyebar dari tanah dengan tinggi 1,2 meter. Wright dan Bailey (1982) menyatakan bahwa jenis bahan bakar semak dan anakan, penutup tanah serta serasah merupakan bahan bakar halus yang sangat mudah menyala. Demikian juga cabang yang mati dan sisa tebangan adalah bahan bakar potensial dan mudah menyala sehingga dalam jumlah banyak dapat menyebabkan area kebakaran yang sangat luas. Makin kecil ukuran bahan bakar, maka proses transfer panas melalui radiasi, konveksi dan konduksi dari titik yang sedang terbakar ke bahan yang belum terbakar dapat berlangsung bersamaan sehingga suhu penyalaan cepat tercapai (Davis 1959). 12 Menurut Clar dan Chatten (1954) ada beberapa hal yang mempengaruhi kebakaran yaitu : 1. Ukuran bahan bakar, bahan bakar yang halus lebih cepat kering dan lebih mudah terbakar sedangkan bahan bakar kasar lebih sulit terbakar 2. Susunan bahan bakar, bahan bakar yang menyebar secara horizontal mempercepat meluasnya kebakaran 3. Volume bahan bakar, bahan bakar dalam jumlah besar akan memperbesar nyala api, temperatur tinggi dan sulit dipadamkan 4. Kerapatan bahan bakar, kayu akan terbakar dengan baik pada kerapatan tinggi dan pada bila kerapatan rendah; sedangkan rumput akan lebih mudah terbakar pada saat kerapatan rendah dan berhenti bila kerapatan tinggi 5. Kadar air bahan bakar, bahan bakar yang banyak mengandung air lebih sulit terbakar Kadar air bahan bakar sebagai kandungan air pada partikel bahan bakar (Chandler et al. 1983, dan Pyne et al. 1996) adalah faktor yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan dan lahan. Selain itu kandungan air yang tinggi dari bahan bakar, memerlukan panas yang tinggi sebelum bahan bakar dibakar api sehingga tingkat kebakaran dan daya nyala bahan bakar akan berkurang. Kadar air bahan bakar berubah seiring dengan perubahan kondisi cuaca, baik musiman maupun selama periode waktu yang lebih pendek. Kadar air gambut (peat moisture) ditentukan ketebalan gambut. Kadar air gambut jauh lebih besar dibandingkan dengan kadar air tanah mineral. Kadar air gambut yang belum mengalami perombakan berkisar antara 500 % ‐ 1000 %, sedangkan kadar air gambut yang telah mengalami perombakan berkisar 200 % ‐ 600 % (Boelter, 1996 diacu dalam 13 Noor, 2001). Kemampuan gambut yang terbakar dalam memegang air turun sekitar 50 % (Rieley et al. 1996 dalam Noor 2001). (b). Tipe tanah Kejadian kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kalimantan Tengah lebih banyak terjadi pada tipe tanah gambut (peat soil). Hutan gambut yang tumbuh di atas tanah tipe gambut adalah tipe hutan rawa gambut (peat swamp forest). Kejadian kebakaran hutan dan lahan di daerah bergambut pada umumnya dipengaruhi oleh kandungan air gambut, jumlahnya sesuai dengan curah hujan dikurangi dengan evapotranspirasi (Rahayu B. 1998), dan dipengaruhi oleh kondisi drainase (Kusmana et al. 2008). Selanjutnya Kusmana et al. 2008 juga menyatakan bahwa tanah gambut yang sudah terbuka dan dimanfaatkan cenderung padat, menjadi lebih kering sehingga mudah terbakar. Kebakaran di lahan gambut merupakan jenis kebakaran yang paling berbahaya bila dibandingkan dengan tipe kebakaran hutan yang lainnya yang sulit dideteksi dan dikendalikan. Kebakaran di tanah gambut menembus ke bawah lapisan tanah dan membentuk lubang corong, kemudian api menyebar di bawah permukaan secara horizontal (Syaufina 2002). Lebih lanjut Syaufina (2002) menjelaskan bahwa variasi iklim berperan penting dalam mempengaruhi kebakaran rawan gambut. Secara statistik, musim mempengaruhi kandungan air, bulk density, potassium, magnesium, sodium dan tinggi muka air. Kecenderungan peningkatan ditemui pada bulk density dan kandungan magnesium terjadi pada musim kemarau, di samping terjadi kecenderungan penurunan kadar air, potassium, sodium dan tinggi muka air. Menurut Harahap dan Hutagalung (1998), tanah gambut di Indonesia pada umumnya merupakan gambut kayuan dimana pembentukannya berasal dari pohon dan semak belukar yang tertimbun di daerah yang umumnya tergenang air. Lebih lanjut dijelaskan bahwa 14 berdasarkan kedalamannya gambut digolongkan ke dalam 3 kriteria yaitu gambut dangkal (0.6 – 1 m), gambut sedang (1‐2 m) dan gambut dalam (> 2 m). Sebagai contoh daerah Palangkaraya umumnya bergambut tipis (shallow peat) dengan lapisan pasir kwarsa di bawahnya (van Veen 1998). Tanah gambut memiliki daya penahan air yang sangat besar, dan akan menyusut serta menurun permukaannya bergantung pada sistem drainase. Gambut yang mengkerut tidak akan kembali lagi (irreversible drying) yang sangat mudah terbakar dan tererosi baik oleh air maupun angin. Susutnya air dalam gambut memunculkan sebagian besar sisa batang dan tunggul pohon, yang akan mudah terbakar. Kebakaran merambat sangat cepat dan sulit dideteksi karena merambat di bawah permukaan tanah (Syaufina 2004). Api pada kebakaran gambut tidak bergerak cepat tetapi dapat berlangsung berminggu‐minggu sampai sebulan atau lebih lama (de Bano et al. 1998). C. Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan 1. Hotspot Kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat diamati dengan menggunakan teknik penginderaan jauh. Sensor yang paling luas dan banyak digunakan untuk mendeteksi kebakaran hutan dan lahan dalam jangka panjang dan dalam area yang luas adalah Advance Very High Resolution (AVHRR) yang terpasang pada satelit orbit polar NOAA AVHRR. Sensor AVHRR melakukan perekaman setiap hari pada resolusi sedang (1 km). Kisaran spektral yang dimiliki oleh NOAA AVHRR sangat luas yaitu dari visible (ch 1 0.66 um), near infra red mempunyai dua manfaat dalam monitoring kebakaran hutan dan lahan. Di Indonesia terdapat tiga sumber penyedia data hot spot yaitu JICA (Japan International Cooperation Agency), LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) dan ASMC (ASEAN Specialized Meteorology Center). 15 Perbedaan antara ketiga sumber tersebut terletak pada ambang batas (threshold) suhu terendah sehingga suatu hasil perekaman dapat dinyatakan sebagai sebuah hot spot (fire exist) Hidayat et al. (2003) menyebutkan bahwa LAPAN menggunakan threshold (suhu minimum) sebesar 322 o K. Sedangkan JICA menurut FFMP2 2004, memakai ambang batas suhu 315 o K pada siang hari dan 310 o K pada malam hari lebih rendah dibandingkan dengan ASMC yang memakai threshold sebesar 320 o K pada siang hari dan 314 o K pada malam hari. 2. Kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan Dampak dari kejadian kebakaran hutan dan lahan adalah rusaknya vegetasi yang tumbuh di area yang terbakar. Jaya dan Husaeni (1998) melakukan studi dampak kebakaran terhadap kerusakan tegakan di area HTI PT ITCI Kalimantan Timur, menemukan bahwa sebagian besar tegakan yang dikategorikan ke dalam kerusakan berat berada pada area bekas tebangan setelah 5 tahun. Kerusakan berat juga terjadi di area bekas tebangan 20 – 23 tahun yang lalu. Selanjutnya Jaya dan Husaeni (1998) mengkategorikan tingkat kerusakan tegakan bekas terbakar ke dalam 4 kelas yaitu : a. Kelas hutan terbakar ringan, yaitu area bekas kebakaran hutan dengan persentase pohon hidup yang sehat lebih besar dari 75 % b. Kelas hutan terbakar sedang, yaitu area bekas kebakaran hutan dengan persentase pohon hidup yang sehat berkisar 50 % ‐ 75 % c. Kelas hutan terbakar berat, yaitu area bekas kebakaran hutan dengan persentase pohon hidup yang sehat berkisar 25 % ‐ 50 % d. Kelas hutan terbakar sangat berat yaitu area bekas kebakaran hutan dengan persentase pohon hidup yang sehat kurang dari 75 % 16 D. Pemodelan Spasial 1. Sistem Informasi Geografis Sejarah penggunaan komputer untuk pemetaan dan analisis spasial menunjukkan adanya perkembangan bersifat paralel dalam pengambilan data secara otomatis, analisis data dan presentasi pada berbagai bidang terkait, seperti pemetaan kadastral dan topografi, kartografi tematik, teknik sipil, geografi, studi matematika dari variasi spasial, ilmu tanah, survei dan fotogrametri, perencanaan pedesaan dan perkotaan, utility networks, dan penginderaan jauh serta analisis citra (Burrough 1986). Burrough 1986 mengatakan bahwa SIG mempunyai tiga komponen penting, yaitu perangkat keras komputer, sekumpulan modul aplikasi perangkat lunak, dan konteks organisasi yang baik. Ketiganya harus dalam keseimbangan agar sistem berjalan memuaskan. Geographical Information System (GIS) disarankan sebagai alat yang cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari bahaya kebakaran hutan. GIS dapat juga memadukan secara spasial beberapa peubah bahaya, seperti vegetasi, topografi dan sejarah kebakaran (Chuvieco and Salas 1993 dalam Sunuprapto 2000). Informasi spasial merupakan input mendasar untuk lingkungan model dalam ruang tertentu. GIS berkenaan dengan data spasial dan dapat digunakan dengan sejumlah aturan untuk memodelkan proses spasial. Beberapa model bahaya kebakaran hutan telah dikembangkan dengan memadukan peubah geografis resiko kebakaran kedalamnya. Chuevieco et al. 1999 dalam Sunuprapto 2000 menyebutkan beberapa peubah spasial yang telah luas digunakan untuk membangun kerawanan kebakaran hutan, peubah tersebut adalah: 1. Topografi (elevasi, slope, aspek dan iluminasi) 2. Vegetasi (tipe bahan bakar, kadar kelembaban) 17 3. Pola cuaca (suhu, kelembaban relatif, angin dan presipitasi) 4. Aksesibilitas terhadap jalan dan infrastruktur lain 5. Tipe kepemilikan lahan atau tipe penggunaan lahan 6. Jarak dari kota atau pemukiman 7. Tanah dan bahan bawah tanah 8. Sejarah kebakaran atau catatan kebakaran dan 9. Ketersediaan air Sistem informasi geografis (SIG) telah menjadi solusi bagi pengguna yang menginginkan kemudahan memasukkan data dan informasi keruangan, memadukan beberapa informasi menjadi keluaran informasi yang terpadu. Data dan informasi saat ini telah memungkinkan penyimpanan secara digital. 2. Pemodelan spasial Pemodelan spasial adalah proses manipulasi dan analisis data spasial atau geografis untuk membangkitkan informasi yang lebih berguna bagi pemecahan permasalahan yang komplek. Model spasial dapat digunakan untuk memprediksi berbagai fenomena alam karena beberapa alasan diantaranya : - penemuan hubungan antar bentang alam geografis untuk pemahaman, dan mengkaitkan permasalahan utama - pendefinisian masalah jelas dan logis - penyediaan kerangka pemahaman proses di dunia nyata - simulasi untuk mengekstrak informasi yang tidak mungkin dan terlalu mahal untuk diukur Pemodelan (modelling) juga menjadi salah satu alternatif aplikasi bagi pengelolaan sumberdaya alam. Pemodelan memungkinkan seseorang untuk melakukan prediksi terhadap suatu fenomena yang menjadi perhatiannya, contohnya model yang memberi informasi mengenai tingkat kerawanan kawasan terhadap bencana alam. 18 Geographical Information System (GIS) disarankan sebagai alat yang cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari bahaya kebakaran hutan. GIS dapat juga memadukan secara spasial beberapa peubah bahaya, seperti vegetasi, topografi dan sejarah kebakaran (Chuvieco and Salas 1993 dalam Sunuprapto 2000). Informasi spasial merupakan input mendasar untuk lingkungan model dalam ruang tertentu. GIS berkenaan dengan data spasial dan dapat digunakan dengan sejumlah aturan untuk memodelkan proses spasial. Beberapa model bahaya kebakaran hutan telah dikembangkan dengan memadukan peubah geografis resiko kebakaran kedalamnya. Pemodelan digunakan dalam beberapa cara dan beberapa arti. Sebagai representasi beberapa bagian dari kondisi nyata di permukaan bumi dapat dipertimbangkan menggunakan sebuah model bagi bagian bumi tersebut. Keterwakilan tersebut akan memiliki karakteristik yang umum dengan kondisi nyata bumi (de By 2001). Sebuah model merupakan penyederhanaan fenomena‐fenomena yang terjadi di bumi. Sebuah model yang baik harus memiliki kemampuan untuk memprediksi keluaran dari sebuah input. Model‐model adalah penyederhanaan bagi realita yang merepresentasikan atau menggambarkan bagian terpenting elemen‐elemen dan interaksinya. Proses pemodelan bertujuan pada peningkatan pemahaman dan perkiraan pengaruh proses‐proses alam dan sosial ekonomi dan interaksinya. Model mendiskripsikan perilkau sebuah fenomena yang direpresentasikan oleh lapangan, jejaring dan agen individu dengan berbagai tipe interaksi spasial pada tingkat lokal, regional dan global. Beberapa penelitian tentang tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan telah dilakukan di Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera Selatan, Sunuprapto (2000) telah memformulasikan model regresi linear ganda berbasis keruangan yang menyatakan hubungan antara intensitas kebakaran hutan dan lahan dengan peubah‐peubah penduganya yaitu : Intensitas kerusakan kebakaran = ‐0,709 + 0,206 (penutupan lahan) + 0,02531 (penggunaan lahan) + 0,160 (tipe tanah) + 0,0000001881 (jarak dari rel) – 0,00001769 (jarak dari 19 sungai) + 0,00004779 (jarak dari pemukiman). Selain itu dia juga berhasil menyusun model penduga area terbakar dengan menggunakan persamaan regresi logistik (logistics regression) yaitu : log (ODDS) area terbakar = ‐18,03 + 1,6848 (penutupan lahan) + 0,9784 (penggunaan lahan) + 2,3129 (tipe tanah) + 0,0003 (jarak dari rel) – 0,0002 (jarak dari kanal) + 0,0003 (jarak dari pemukiman). Faktor lingkungan fisik dan aktivitas manusia merupakan dua kelompok utama faktor resiko kebakaran hutan dan lahan. Pusat perkampungan, jaringan jalan, jaringan sungai, tipe vegetasi dan penutupan lahan merupakan faktor manusia yang mempengaruhi tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan (Boonyanuphap 2001). Lapan (2004) berhasil memetakan kelas kebakaran hutan dari yang sulit terbakar sehingga sangat mudah terbakar yaitu kelas kerawanan kebakaran sangat rendah, rendah, sedang, agak tinggi, tinggi dan sangat tinggi berdasarkan kriteria dan bobot tertentu terhadap faktor‐faktor penyebabnya. Faktor aktivitas masyarakat sekitar hutan yang berpengaruh nyata terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan korelasi positip adalah kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan (Soewarso 2003). Purnama dan Jaya (2007) dalam penelitiannya di propinsi Riau menyatakan bahwa peubah aktivitas manusia berupa penggunaan lahan memiliki bobot lebih tinggi (53,8 %) dibandingkan dengan bobot jarak dari pusat penduduk (5,4 %), jarak terhadap jaringan jalan (16,1 %), dan jarak terhadap jaringan sungai (24,7 %). Model kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang disusun adalah skor kerawanan kebakaran = (0,514 (0,054 JPP+0,161 JJL+0,247 JSN + 0,538 PGL))+(0,486(0,476 CH + 0,202 NDVI + 0,322 NDWI)). Berdasarkan hasil kajiannya di Riau, Hadi 2006 menyatakan bahwa dalam penentuan kelas kerawasan kebakaran di lahan gambut Riau faktor infrastruktur lebih besar peranannya dibandingkan dengan faktor lingkungan. Persamaan model penduga tingkat kerawanan kebakaran hutan dengan metode regresi linear di Bengkalis yang diajukan oleh Hadi 2006 adalah V = {0,345 [(0,25 x1) + (0,25*x2) + (0,25*x3)] + 0,658*(0,25y1) dimana x1: skor sub faktor sub faktor 20 ketebalan gambut, x2: skor sub faktor sub faktor tipe tutupan lahan dan vegetasi, x3: skor sub faktor sub faktor tingkat kehijauan dan y1: skor sub faktor sub faktor jarak jalan ; dengan validasi 85 %. Disamping model di atas, peluang kebakaran hutan dan lahan daerah kabupaten Bengkalis juga dimodelkan oleh Thoha (2006) dengan metode regresi logistik menghasilkan formula log(ODDS) peluang kebakaran hutan = ‐0,47426 + 0,0015784 (curah hujan) – 0,0050383 (ketebalan gambut) – 3,8829293 (NDVI) – 0,000895 (jarak dari sungai) ‐ 0,0000233 (jarak dari HPH/HTI) – 0,0000191 (jarak dari perkebunan) + 0,0000322 (jarak dari lahan pertanian) dengan nilai akurasi 69,5 %. Arianti (2006) menyatakan bahwa dalam kejadian kebakaran hutan dan lahan faktor manusia lebih dominan dibandingkan dengan faktor biofisik. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa di sub das Kapuas Propinsi Kalimantan Barat model terbaik untuk menentukan tingkat kerawanan dan lahan menggunakan metode CMA yaitu TKB (tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan) = [(a(0,54 (NDVI) + 0,40 * (NDVI wetness index) + 0,06 (curah hujan)) + (b(0,22*(jarak sungai) + 0,24*(jarak jalan) + 0,27 (jarak pemukiman) + 0.27 tutupan lahan))]; dimana “a” adalah bobot makro faktor biofisik, dan “b” adalah bobot makro aktivias manusia. Mutaqin 2008 berhasil menyusun model peluang kebakaran gambut dan kebakaran non gambut gambut di Propinsi Kalimantan Tengah menggunakan metode regresi linear untuk memetakan daerah kerawanan kebakaran. Model skor peluang kebakaran hutan dan lahan di daerah gambut diformulakan dengan: (skor penutupan lahan x (‐2,947)) + (skor buffer jalan x 0,713)) dengan koefisien determinasi 56 % dan (skor penutupan lahan x 0,013) + (skor buffer jalan x 10,850) dengan koefisien determinasi 72 %. 3. Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu terminologi yang berhubungan dengan adanya peluang terjadinya kebakaran 21 dan kondisi bahan bakar. Dalam kaitannya dengan bahan bakar, fire hazard digunakan untuk menyatakan keadaan kompleks bahan bakar yang ditentukan oleh volume, tipe, kondisi, keteraturan, dan lokasi yang menentukan derajat kemudahan pembakaran dan ketahanan terhadap pengendalian (Hardy 2005). “Fire hazard” (bahaya kebakaran) merupakan perilaku potensi kebakaran berdasarkan tipe bahan bakar, tidak berhubungan dengan tipe cuaca bahan bakar‐pengaruh kelembaban bahan bakar yang penilaiannya didasarkan pada ciri fisik bahan bakar. Sementara itu, NFDRS dalam Hardy 2005 menyatakan bahwa “fire risk” (kerawanan kebakaran) adalah suatu kesempatan kebakaran dapat terjadi sebagai akibat pengaruh dari faktor alamiah dan agen penyebab kejadian (incident of causative agent). The Fire Danger Rating System (Deeming et al, 1972 dalam Hardy 2005) menyatakan bahwa kejadian kebakaran hutan dan penjalaran kebakaran hutan dapat dikategorikan ke dalam “fire risk”. Sumber‐ sumber fire risk dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu lighting risk (LR) dan man cause risk (MCR). LR ditentukan oleh kejadian kebakaran pada saat ini dan kejadian harapan yang akan datang, yang dinyatakan dalam peluang kebakaran, sedangkan MCR diturunkan dari tingkat relatif aktivitas manusia, manusia sebagai aktor utama dalam kebakaran. Kedua nilai tersebut di atas dapat dinyatakan dalam skala 1‐100, dan jika keduanya dijumlahkan maka maksimal nilainya juga 100. 22