BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1 Nilai Tukar Mata Uang 2.1.1 Pengertian Nilai Tukar Mata Uang Menurut Cornelius Luca, nilai tukar valuta asing dapat diartikan sebagai harga suatu mata uang terhadap mata uang negara lain. Sedangkan menurut Frank J. Fabozzi dan Franco Modigliani, nilai tukar adalah sejumlah uang dari suatu mata uang tertentu yang dapat dipertukarkan dengan satu unit mata uang negara lain. Dari definisi tersebut di atas dapat diartikan bahwa perdagangan valuta asing adalah suatu mekanisme untuk mengukur nilai tukar mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain. Sedangkan menurut Julian Walmsley, pasar valuta asing diartikan sebagai tempat pertukaran mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain. Pertukaran ini ditujukan untuk suatu aktivitas pembelian dan penjualan dalam skala internasional. (Ming, 2001) 2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Mata Uang Ada beberapa faktor utama yang mempengaruhi tinggi rendahnya nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing. Faktor-faktor tersebut adalah : a. Laju inflasi relatif Dalam pasar valuta asing, perdagangan internasional baik dalam bentuk barang atau jasa menjadi dasar yang utama dalam pasar valuta asing, sehingga perubahan harga dalam negeri yang relatif terhadap harga luar negeri dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi pergerakan kurs valuta asing. Misalnya, jika Amerika sebagai mitra dagang Indonesia mengalami tingkat 8 Universitas Sumatera Utara inflasi yang cukup tinggi maka harga barang Amerika juga menjadi lebih tinggi, sehingga otomatis permintaan terhadap barang dagangan relatif mengalami penurunan. b. Tingkat pendapatan relatif Faktor lain yang mempengaruhi permintaan dan penawaran dalam pasar mata uang asing adalah laju pertumbuhan riil terhadap harga-harga luar negeri. Laju pertumbuhan riil dalam negeri diperkirakan akan melemahkan kurs mata uang asing. Sedangkan pendapatan riil dalam negeri akan meningkatkan permintaan valuta asing relatif dibandingkan dengan supply yang tersedia. c. Suku bunga relatif Kenaikan suku bunga mengakibatkan aktifitas dalam negeri menjadi lebih menarik bagi para penanam modal dalam negeri maupun luar negeri. Terjadinya penanaman modal cenderung mengakibatkan naiknya nilai mata uang yang semuanya tergantung pada besarnya perbedaan tingkat suku bunga di dalam dan di luar negeri, maka perlu dilihat mana yang lebih murah, di dalam atau di luar negeri. Dengan demikian sumber dari perbedaan itu akan menyebabkan terjadinya kenaikan kurs mata uang asing terhadap mata uang dalam negeri. d. Kontrol pemerintah Kebijakan pemerintah bisa mempengaruhi keseimbangan nilai tukar dalam berbagai hal termasuk : a. Usaha untuk menghindari hambatan nilai tukar valuta asing. b. Usaha untuk menghindari hambatan perdagangan luar negeri. c. Melakukan intervensi di pasar uang yaitu dengan menjual dan membeli mata uang. Alasan pemerintah untuk melakukan intervensi di pasar uang adalah : 9 Universitas Sumatera Utara 1) Untuk memperlancar perubahan dari nilai tukar uang domestik yang bersangkutan. 2) Untuk membuat kondisi nilai tukar domestik di dalam batas-batas yang ditentukan. 3) Tanggapan atas gangguan yang bersifat sementara. d. Berpengaruh terhadap variabel makro seperti inflasi, tingkat suku bunga dan tingkat pendapatan. e. Ekspektasi Faktor kelima yang mempengaruhi nilai tukar valuta asing adalah ekspektasi atau nilai tukar di masa depan. Sama seperti pasar keuangan yang lain, pasar valas bereaksi cepat terhadap setiap berita yang memiliki dampak ke depan. Dan sebagai contoh, berita mengenai bakal melonjaknya inflasi di AS mungkin bisa menyebabkan pedagang valas menjual Dollar, karena memperkirakan nilai Dollar akan menurun di masa depan. Reaksi langsung akan menekan nilai tukar Dollar dalam pasar. Kemudian, untuk menentukan perubahan nilai tukar antar mata uang suatu negara dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terjadi di negara yang bersangkutan yaitu selisih tingkat inflasi, selisih tingkat suku bunga, selisih tingkat pertumbuhan GDP, intervensi pemerintah di pasar valuta asing dan expectations (perkiraan pasar atas nilai mata uang yang akan datang). (Madura, 2003) 10 Universitas Sumatera Utara 2.1.3 Sistem Nilai Tukar Mata Uang Terdapat tiga kelompok besar sistem nilai tukar mata uang yang diterapkan oleh berbagai negara di dunia, yaitu : 1. Freely Flexible (Freely Floating) Exchange Rate System Pada sistem freely floating, nilai mata uang dibiarkan mengambang bebas dan nilai tukarnya ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran yang terdapat di pasar. Nilai tukar beberapa mata uang utama (major currencies), seperti Dolar AS, Euro, Yen Jepang, Poundsterling Inggris, ditentukan oleh kekuatan pasar (market forces) dan dibiarkan mengambang bebas terhadap mata uang negara lain. Dalam sistem ini, tidak terdapat tindakan intervensi yang dilakukan pemerintah (Bank Sentral) untuk mempengaruhi nilai tukarnya. 2. Fixed (Pegged) Exchange Rate System Pada sistem fixed exchange Rate, pemerintah berperan aktif melakukan intervensi dalam pasar valuta asing untuk mempertahankan pergerakan nilai tukar suatu mata uang agar berada pada suatu acuan nilai tukar tertentu. 3. Managed/Controlled (Semi Pegged) Exchange Rate System Pada sistem mengambang terkendali ini, fluktuasi nilai tukar diambangkan dalam suatu rentang (bond) intervensi tertentu. Bank Sentral tetap berperan dalam melakukan intervensi untuk mengembalikan nilai tukar mata uang tersebut ke dalam rentang nilai tukarnya semula apabila fluktuasi melebihi batas/rentang intervensi yang diperkenankan. Namun, Bank Sentral tidak menetapkan suatu acuan tingkat/level nilai tukar tertentu, seperti yang diterapkan pada sistem fixed exchange rate. 11 Universitas Sumatera Utara 2.1.4 Teori Penentuan Nilai Tukar Valuta Asing a. Traditional Theories Traditional Theoroes terdiri dari Teori Purchasing Power Parity dan Teori Elastisitas. 1) Teori Purchasing Power Parity Teori ini merupakan teori tertua dan terpopuler yang pertama kali diperkenalkan oleh Martin de Azpilcueta Navarro. Teori ini menyatakan bahwa harga barang di suatu negara harus sama dengan harga barang serupa di negara lain sesuai dengan tingkat nilai tukar yang berlaku antarkedua negara tersebut. Teori ini disebut The Law of One Price. Terdapat dua versi dalam Teori Purchasing Power Parity : a) Versi Absolut Dalam versi absolut, nilai tukar sama dengan perbandingan antara tingkat harga umum yang berlaku di dua negara, yang merupakan rata-rata tertimbang dari seluruh produk yang dihasilkan kedua negara. Dalam versi absolut terdapat beberapa kelemahan : 1. Asumsi perhitungan nilai tukar dalam versi absolut mengharuskan kita membandingkan harga barang yang serupa/homogen. Namun, dalam kenyataannya, tidak satu pun negara di dunia yang memproduksi dan atau mengkonsumsi barang yang homogen. 2. Versi absolut tidak memperhatikan adanya biaya pengangkutan dan rintangan dalam melakukan transaksi perdagangan, seperti proteksi dan kuota, yang berpengaruh terhadap harga barang di suatu negara. 12 Universitas Sumatera Utara Kelemahan-kelemahan ini menunjukkan bahwa keadaan yang berlaku di pasar versi absolut ini tidak mungkin diterapkan dalam dunia nyata. b) Versi Relatif Dalam versi relatif, persentase perubahan nilai tukar pada waktu yang ditentukan sebagai periode dasar harus sama dengan perbedaan antara persentase perubahan harga (tingkat inflasi) domestik dengan persentase perubahan harga (tingkat inflasi) di luar negeri pada periode tersebut. Contoh : jika indeks CPI di Amerika Serikat meningkat dari 194 ke 218, di Indonesia meningkat dari 161 ke 165, dan nilai tukar yang berlaku saat ini 0,00011052$/Rp, berdasarkan versi relatif ini, nilai tukar Rupiah dan Dolar AS harus berada pada 0,0001202$/Rp. 0,00011052$/Rp × 218/194 = 0,0001202$/Rp 165/161 Versi relatif bertujuan menghilangkan beberapa kelemahan dalam versi absolut. Dengan menggunakan persamaan pada perhitungan nilai tukar versi relatif di atas, kita dapat mengetahui tingkat nilai tukar antara dua negara secara lebih tepat meskipun komposisi barang, baik yang diproduksi maupun dikonsumsi, diantara kedua negara tersebut tidaklah homogen. 2) Teori Elastisitas Teori ini mengatakan bahwa nilai tukar adalah harga dari valuta asing untuk mempertahankan neraca pembayaran internasional suatu negara agar tetap berada pada tingkat ekuilibrium. Dengan kata lain, respons nilai tukar terhadap perubahan dalam neraca perdagangan sangat dipengaruhi oleh elastisitas permintaan terhadap perubahan harga. Jika elastisitas permintaan bersifat inelastis, pengaruh penurunan impor dan kenaikan ekspor dalam neraca pembayaran internasional akan sangat kecil. Akibatnya, nilai tukar harus melakukan penyesuaian secara tajam untuk menghilangkan defisit neraca pembayaran internasional. Jika elastisitas permintaan bersifat elastis, penurunan impor dan kenaikan ekspor akan sangat berpengaruh bagi 13 Universitas Sumatera Utara keseimbangan neraca pembayaran internasional sehingga hanya diperlukan sedikit penyesuaian dalam nilai tukar. b. Modern Monetary Theories on Short Term Exchange Rate Volatility Teori ini memperhatikan adanya peran pasar modal dalam jangka pendek dan peran bursa komoditi dalam jangka panjang terhadap fluktuasi nilai tukar. Teori ini mengatakan bahwa adanya perbedaan nilai tukar dan perbedaan dalam purchasing power parity adalah karena adanya suatu perubahan dalam permintaan dan penawaran terhadap aset-aset keuangan. Dalam pandangan modern, teori Purchasing Power Parity juga diperluas dengan menyertakan variabelvariabel, seperti jumlah uang yang beredar, tingkat suku bunga, dan pendapatan riil dalam menentukan tingkat nilai tukar antara dua negara. c. Synthesis of Traditional and Modern Monetary Views Menurut teori ini, dinamika perubahan yang terjadi di pasar keuangan (pasar modal dan pasar uang) lebih cepat jika dibandingkan dengan perubahan di pasar barang/komoditi. Oleh karena itu, dalam jangka pendek fluktuasi nilai tukar lebih dipengaruhi oleh perubahan dalam pasar modal dan dalam jangka panjang fluktuasi nilai tukar dipengaruhi oleh perubahan yang terjdi di pasar barang. (Ming, 2001) 2.2 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Seiring dengan meningkatnya aktivitas perdagangan, kebutuhan untuk memberikan informasi yang lebih lengkap kepada masyarakat mengenai perkembangan bursa, juga semakin meningkat. Salah satu informasi yang diperlukan tersebut adalah indeks harga saham sebagai cerminan dari pergerakan harga saham. Sekarang ini PT Bursa Efek Indonesia memiliki 8 14 Universitas Sumatera Utara macam indeks harga saham yang secara terus menerus disebarluaskan melalui media cetak maupun elektronik, sebagai salah satu pedoman bagi investor untuk berinvestasi di pasar modal. Ke delapan macam indeks tersebut adalah: 1. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), menggunakan semua emiten yang tercatat sebagai komponen perhitungan indeks. 2. Indeks Sektoral, menggunakan semua emiten yang termasuk dalam masing- masing sektor. 3. Indeks LQ45, menggunakan 45 emiten yang dipilih berdasarkan kriteria likuiditas dan kapitalisasi pasar, dengan kriteria-kriteria yang telah ditentukan. 4. Jakarta Islamic Index (JII), menggunakan 30 emiten yang masuk dalam kriteria syariah dan termasuk saham yang memiliki kapitalisasi besar dan likuiditas tinggi. 5. Indeks Kompas100, menggunakan 100 saham yang dipilih berdasarkan kriteria likuiditas dan kapitalisasi pasar, dengan kriteria-kriteria yang telah ditentukan. 6. Indeks Papan Utama, menggunakan emiten yang masuk dalam kriteria papan utama. 7. Indeks Papan Pengembangan, menggunakan emiten yang masuk dalam kriteria papan pengembangan. 8. Indeks Individual, yaitu indeks harga saham masing-masing emiten. Seluruh indeks yang ada di BEI menggunakan metode perhitungan yang sama, yaitu metode rata-rata tertimbang berdasarkan jumlah saham tercatat (akan dibahas pada bagian berikutnya). Perbedaan utama pada masing-masing indeks jumlah emiten dan nilai dasar yang digunakan untuk penghitungan indeks. Misalnya untuk Indeks LQ45 menggunakan 45 saham 15 Universitas Sumatera Utara untuk perhitungan indeks sedangkan Jakarta Islamic Index (JII) menggunakan 30 saham untuk perhitungan indeks. Indeks-indeks tersebut ditampilkan terus menerus melalui display wall di lantai bursa dan disebarkan ke masyarakat luas oleh data vendor melalui data feed. 2.2.1 Pengertian Indeks Harga Saham Gabungan IHSG adalah ukuran yang didasarkan pada perhitungan statistik untuk mengetahui perubahan-perubahan harga saham dari seluruh perusahaan yang terdaftar di BEI. IHSG dipakai sebagai indikator untuk mengukur situasi umum perdagangan saham, apakah dalam keadaan bearish atau dalam keadaan bullish. Indeks harga saham adalah suatu indikator yang menunjukkan pergerakan harga saham yang berfungsi sebagai indikator tren pasar, artinya pergerakan indeks menggambarkan kondisi pasar pada saat pasar sedang aktif atau lesu. 2.2.2 Metodologi Penghitungan Indeks Metode penghitungan yang digunakan untuk menghitung indeks : a) Menghitung rata-rata (arithmatic mean) harga saham yang masuk dalam anggota indeks. b) Menghitung rata-rata geometris (geometric mean) dari indeks individual saham yang masuk dalam anggota indeks c) Menghitung rata-rata tertimbang nilai pasar. Seperti halnya mayoritas bursa-bursa di dunia, indeks-indeks di BEI dihitung dengan menggunakan metodologi rata-rata tertimbang berdasarkan jumlah saham tercatat (nilai pasar) atau Market Value Weighted Average Index. Formula dasar penghitungan indeks adalah: 16 Universitas Sumatera Utara Nilai Pasar adalah kumulatif jumlah saham tercatat (yang digunakan untuk perhitungan indeks) dikali dengan harga pasar. Nilai Pasar biasa disebut juga dengan Kapitalisasi Pasar. Formula untuk menghitung Nilai Pasar adalah: Dimana: p = Closing price (harga yang terjadi) untuk emiten ke-i. q = Jumlah saham yang digunakan untuk penghitungan indeks (jumlah saham yang tercatat) untuk emiten ke-i. n = Jumlah emiten yang tercatat di BEI (jumlah emiten yang digunakan untuk perhitungan indeks) Nilai Dasar adalah kumulatif jumlah saham pada hari dasar dikali dengan harga pada hari dasar. Contoh hari dasar untuk IHSG adalah tanggal 10 Agustus 1982. Pergerakan IHSG secara signifikan dipengaruhi oleh perubahan harga saham dengan kapitalisasi besar, sebaliknya perubahan harga-harga saham dengan kapitalisasi kecil nyaris tidak berdampak terhadap IHSG. Hal tersebut karena bobot masing-masing saham yang berbeda, sehingga tidak mengherankan jika pergerakan IHSG sangat ditentukan oleh saham-saham dengan kapitalisasi besar. (BEI, 2008) 17 Universitas Sumatera Utara 2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Saham Menurut Alwi (2003, 87), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan harga saham atau indeks harga saham, antara lain: a. Faktor Internal (Lingkungan mikro) Pengumuman tentang pemasaran, produksi, penjualan seperti pengiklanan, rincian kontrak, perubahan harga, penarikan produk baru, laporan produksi, laporan keamanan produk, dan laporan penjualan. Pengumuman pendanaan (financing announcements), seperti pengumuman yang berhubungan dengan ekuitas dan hutang. Pengumuman badan direksi manajemen (management-board of director announcements) seperti perubahan dan pergantian direktur, manajemen, dan struktur organisasi. Pengumuman pengambilalihan diversifikasi, seperti laporan merger, investasi ekuitas, laporan take over oleh pengakuisisian dan diakuisisi, laporan divestasi dan lainnya. Pengumuman investasi (investment annuncements), seperti melakukan ekspansi pabrik, pengembangan riset dan, penutupan usaha lainnya.. Pengumuman ketenagakerjaan (labour announcements), seperti negoisasi baru, kontrak baru, pemogokan dan lainnya. Pengumuman laporan keuangan perusahaan, seperti peramalan laba sebelum akhir tahun fiskal dan setelah akhir tahun fiskal, Earning Per Share (EPS) dan Dividen Per Share (DPS), Price Earning Ratio (PER), net profit margin, Return On Assets (ROA), dan lainlain. 18 Universitas Sumatera Utara b. Faktor Eksternal (Lingkungan makro) Pengumuman dari pemerintah seperti perubahan suku bunga tabungan dan deposito, kurs valuta asing, inflasi, serta berbagai regulasi dan deregulasi ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pengumuman hukum (legal announcements), seperti tuntutan karyawan terhadap perusahaan atau terhadap manajernya dan tuntutan perusahaan terhadap manajernya. Pengumuman industri sekuritas (securities announcements), seperti laporan pertemuan tahunan, insider trading, volume atau harga saham perdagangan, pembatasan/penundaaan trading. Gejolak politik dalam negeri dan fluktuasi nilai tukar juga merupakan faktor yang berpengaruh signifikan pada terjadinya pergerakan harga saham di bursa efek suatu negara. Berbagai isu baik dari dalam negeri dan luar negeri. 2.2.4 Teori Random Walk Istilah random walk merupakan istilah yang pertama kali muncul dalam koresponden di Nature yang membahas mengenai bagaimana strategi yang optimal untuk mencari orang mabuk yang ditinggalkan di tengah lapangan. Caranya adalah dengan mulai mencari di tempat pertama kali orang mabuk itu ditempatkan sebab orang tersebut akan berjalan dengan arah yang tidak tertebak dan acak. Teori ini menyatakan bahwa perubahan harga suatu saham atau keseluruhan pasar yang telah terjadi tidak dapat digunakan untuk memprediksi gerakan di masa akan datang. Penelitian 19 Universitas Sumatera Utara yang dilakukan oleh Roberts (1959) menyatakan bahwa perubahan harga saham tidak tergantung satu sama lain dan mempunyai distribusi probabilitas yang sama (Mills, 1999). Dengan kata lain, teori ini menyatakan bahwa harga saham bergerak ke arah yang acak dan tidak dapat diperkirakan. Jadi tidak mungkin seorang investor dapat memperoleh return melebihi return pasar tanpa menanggung risiko lebih. Hal ini juga memberikan arti bahwa selisih antara harga pada periode tertentu dengan harga pada periode yang lainnya bersifat acak. Selisih tersebut merupakan price return saham, yang dalam jangka waktu tertentu memenuhi persyaratan bahwa rata-ratanya adalah nol. Artinya volatilitas saham tidak akan mempunyai trend yang signifikan dalam jangka waktu yang cukup lama. 2.2.5 Teori Elliott Wave The Wave Principle merupakan penelitian Ralph Nelson Elliott (1938) bahwa perilaku sosial atau massa mempunyai trend yang mengikuti pola-pola tertentu. Penelitiannya menemukan bahwa perubahan harga di bursa saham mempunyai suatu struktur tertentu. Elliott mengemukakan bahwa pergerakan harga mempunyai pola atau gelombang yang bersifat repetitif. Hal yang perlu dicatat adalah walaupun bersifat repetitif tetapi pola tersebut belum tentu berulang dengan waktu dan ketinggian gelombang yang sama. Selain itu pola yang dikemukakannya merupakan bagian dari pola yang lebih besar, yang pada akhirnya merupakan bagian dari pola yang lebih besar lagi dan seterusnya. Pola-pola tersebut dapat diartikan sebagai berikut (Murphy, 1999) : a) Gelombang 1 Harga saham mula-mula bergerak naik membuat beberapa investor merasa bahwa harga saham tersebut murah. Adanya pembelian saham tersebut membuat harga naik. 20 Universitas Sumatera Utara b) Gelombang 2 Pada saat ini harga saham tersebut sudah dinilai terlalu tinggi sehingga investor mulai merealisasikan keuntungannya dengan menjual saham itu. Hal ini mengakibatkan tekanan terhadap harga saham sehingga turun. Namun penurunan harga ini tidak sampai membuat through gelombang 2 serendah through gelombang 1 karena investor menilai saham tersebut menjadi murah lagi. c) Gelombang 3 Gelombang ini biasanya merupakan gelombang yang paling lama dan kuat sebab didorong oleh lebih banyak investor yang bergabung atau meningkatkan posisi untuk mengambil keuntungan dari tren menanjak sehingga perdagangan menjadi ramai. Harga saham pada saat ini naik sampai melewati harga tertinggi pada gelombang 1. d) Gelombang 4 Investor mulai merealisasikan keuntungannya sebab harga saham sudah terlalu tinggi. Koreksi berpola segitiga-segitiga umumnya dikenal dalam gelombang ini, dimana dalam pola koreksi ini volatilitas harga saham cenderung menurun. namun gelombang ini lemah sebab masih banyak investor yang masih menginginkan saham tersebut. e) Gelombang 5 Pada gelombang ini sebagian besar investor sudah memegang saham ini dan sebagian besar merupakan investor yang irasional. Akan tetapi tidak sekuat pada gelombang 3 sebab investor yang berpartisipasi hanya sebagian kecil saja jika dibandingkan dengan gelombang 3. Investor yang mengetahui hal ini mulai mengadakan transaksi short-selling. Pada saat ini saham dapat bergerak kembali ke gelombang 1 atau mulai mengkoreksi diri 21 Universitas Sumatera Utara f) Gelombang ABC Saat ini saham akan mengkoreksi dengan melakukan gerakan turun, naik dan turun. Volatilitas pada periode ini biasanya berkurang dibandingkan dengan kelima gelombang sebelumnya, karena pasar sedang mengevaluasi ulang dan sedang dalam tahap istirahat. Gelombang Elliott memberikan gambaran bahwa volatilitas harga saham dapat berbedabeda antara gelombang yang satu dengan yang lain. Selain itu teori ini juga memberikan kemungkinan bahwa ada trend volatilitas return harga saham yang muncul dari pola-pola tersebut. Trend sendiri merupakan arah umum yang sedang terjadi pada pasar. Arah ini dapat bergerak secara mendatar, naik atau turun. Trend mendatar terjadi ketika rangkaian peak dan through gelombang-gelombang secara beruntun membentuk garis horisontal. Trend naik terjadi ketika serangkaian peak dan through yang ada selalu melampaui peak dan through sebelumnya, sedangkan pada trend turun terjadi sebaliknya, yaitu peak dan through yang ada selalu berada di bawah peak dan through sebelumnya (Murphy, 1999) 2.2.6 Traditional Approach dan Portfolio Approach Penjelasan teoritis untuk hubungan kausalitas antara nilai tukar mata uang dan IHSG dijelaskan oleh traditional appoach dan portfolio approach. Menurut Aggarwal (1981) yang dikutip dari jurnal Ai-Yee Ooi,dkk (2009), dalam traditional approach, apresiasi (depresiasi) nilai tukar mata uang domestik akan menambah (mengurangi) hutang pada nilai tukar mata uang luar negeri dan menambah (mengurangi) biaya produksi, terutama di negara dengan ekonomi yang sedang berkembang. Di negara dengan ekonomi yang sedang berkembang, proses produksi bertumpu pada impor bahan-bahan mentah. Penjelasan sederhana adalah apresiasi (depresiasi) 22 Universitas Sumatera Utara nilai tukar mata uang mempengaruhi kinerja perusahaan domestik yang menjual produknya di pasar internasional, hal ini kemudian mempengaruhi harga saham perusahaan tersebut. Menurut Krueger (1983) yang dikutip dari jurnal Ai-Yee Ooi, dkk (2009), keseimbangan portofolio mendekati tekanan diatas peran laporan transaksi modal. Nilai tukar mata uang ditentukan oleh mekanisme pasar, begitu juga dengan barang-barang komoditi. Pada portfolio approach, kenaikan (penurunan) harga saham akan menarik aliran modal dari investor luar negeri, hal ini menyebabkan bertambahnya permintaan nilai tukar mata uang dalam negeri. Kenaikan (penurunan) harga saham menyebabkan apresiasi (depresiasi) pada nilai tukar mata uang, dan pada akhirnya akan menambah permintaan (penawaran) pada nilai tukar domestik. Dengan kata lain, kenaikan harga saham domestik akan menciptakan bertambahnya kekayaan domestik, hal ini pada gilirannya akan menghasilkan naiknya permintaan uang, hingga kenaikan pada tingkat suku bunga. Tingkat suku bunga yang tinggi akan menyebabkan pemasukan modal dari luar negeri dan akan menghasilkan apresiasi pada nilai tukar domestik. 2.3 Penelitian-penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian empiris para peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan : (1) Ai-Yee Ooi, Syed Azizi Wafa Syed Khalid Wafa, Nelson Lajuni, Mohd Fahmi Ghazali (2009), Causality between Exchange Rates and Stock Prices: Evidence from Malaysia and Thailand Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kausalitas antara nilai tukar mata uang dan harga saham di Thailand dan Malaysia pada masa sebelum krisis finansial Asia dan semasa krisis finansial Asia, dengan menggunakan data harian dari 1 November 1993 sampai 31 23 Universitas Sumatera Utara Mei 1997 (sebelum krisis) and 1 Februari 1998 sampai 31 Agustus 2003 (semasa krisis). Stationeritas tidaknya data diuji oleh uji Augmented Dickey-Fuller (ADF), dan uji PhillipsPerron (PP). Hubungan kausalitas diuji dengan prosedur Toda-Yamamoto (1995). Jurnal ini juga meneliti hubungan jangka panjang diantara kedua variabel tersebut dengan menggunakan Uji Kointegrasi Johansen-Juselius (1990). Berdasarkan penelitian tersebut, diperoleh hasil penelitian sebagai berikut : 1. Data stasioner di derajat integrasi first difference 2. Terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antar dua variabel, baik pada masa sebelum krisis, maupun pada masa krisis di Thailand dan Malaysia. 3. Tidak terdapat hubungan kausalitas antara nilai tukar mata uang dan harga saham di Thailand dan Malaysia. Di Thailand berlaku portfolio approach, dimana harga saham mempengaruhi nilai tukar mata uang pada masa sebelum krisis dan pada masa krisis. Di Malaysia juga berlaku portfolio approach, dimana harga saham mempengaruhi nilai tukar mata uang, namun ini terjadi hanya pada masa krisis. (2) A.H. Baharom, R.C. Royfaizal and M.S. Habibullah (2008), Causation Analysis Between Stock Price and Exchange rate: Pre and Post Crisis Study on Malaysia Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kointegrasi antara nilai tukar mata uang dan harga saham di Malaysia pada masa sebelum krisis finansial Asia dan semasa krisis finansial Asia, dengan menggunakan data bulanan dari Januari 1988 sampai Juni 1997 (periode sebelum krisis) dan Juli 1998 sampai Desember 2006 (periode krisis). Penelitian ini menggunakan uji akar unit Augmented Dickey-Fuller (ADF) dan uji kointegrasi Johansen. 24 Universitas Sumatera Utara Hasil penelitian ini adalah data stasioner pada tingkat first difference dan tidak terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antar dua variabel tersebut di Malaysia selama dua periode tersebut. (3) Hooi-Hooi Lean, Marwan Halim and Wing-Keung Wong (2005), Bivariate Causality Between Exchange Rates and Stock Prices on Major Asian Countries. Penelitian ini menganalisis hubungan kointegrasi dan kausalitas antara nilai tukar mata uang dan harga saham di 8 negara Asia yang mengalami tekanan terburuk akibat Krisis Finansial Asia dan akibat serangan teroris 11 September 2001 (911) yaitu Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, Korea, Singapura, Hongkong dan Jepang. Data yang digunakan adalah data mingguan dari 1 Januari 1991 sampai 31 Desember 1996 (periode sebelum krisis) dan 1 Januari 1997 sampai 31 Desember 2002 (periode krisis dan sesudah krisis). Selain itu dari 1 Januari 1997 sampai 10 September 2001 (sebelum serangan teroris 911) dan 11 September 2001 sampai 31 Desember 2002 (sesudah serangan teroris 911). Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Dickey-Fuller (1979, 1981) unit root test untuk uji stasioneritas, Cointegrating Regression Durbin-Watson (CRDW), DickeyFuller (CRDF), and Augmented Dickey-Fuller (CRADF) tests untuk uji kointegrasi dan analisis kausalitas Granger untuk menguji hubungan kausalitas antara nilai tukar mata uang dan harga saham. Penelitian ini menemukan bahwa : 1) Untuk Indonesia, tidak terdapat hubungan kausalitas pada periode sebelum krisis dan pada periode sesudah serangan teroris 911. Sebaliknya terdapat hubungan kausalitas pada periode krisis dan pada periode sebelum serangan teroris 911. 25 Universitas Sumatera Utara (4) D. Agus Harjito dan Carl B. McGowan, Jr. (2004), Stock Prices and Exchange Rate Causality : The Case of Four Asian Countries Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti secara statistik hubungan antara harga saham dan nilai tukar mata uang dengan menggunakan uji kausalitas Granger dan uji kointegrasi Johansen pada empat negara Asia Tenggara yaitu Indonesia, Singapura, Filipina dan Thailand selama periode 1993-2002. Penelitian ini menganalisis hubungan kausal tersebut dengan menggunakan perubahan persentase. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan kausalitas antara harga saham dan nilai tukar mata uang di Singapura dan Thailand. Selama periode waktu krisis keuangan pun, kedua pasar di kedua negara tersebut masih bergerak bersama. Hasil dari analisis VAR menemukan bahwa indeks pasar saham di suatu negara dijelaskan oleh indeks pasar saham di negara lain. Penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat kointegrasi diantara pasar saham dikeempat negara tersebut. Analisis VEC Model menemukan bahwa harga saham dan nilai tukar mata uang tidak memiliki penyimpangan pada hubungan jangka panjang, kecuali dolar Singapura yang mengkoreksi Indeks Strait Times dan rupiah mengkoreksi Indeks Harga Saham Gabungan. (5) Sulistyandari (2008) Analisis Kausalitas Antara Nilai Tukar Mata Uang dan Indeks Harga Saham di Pasar Modal Indonesia Penelitian ini menguji hubungan antara nilai tukar mata uang dan indeks harga saham di Pasar Modal Indonesia menggunakan data harian selama kurang lebih empat tahun mulai dari Januari 2002 sampai dengan Desember 2005. Motivasi dari penelitian ini adalah untuk meneliti 26 Universitas Sumatera Utara hubungan kausalitas antara kedua variabel di pasar modal dan pasar uang; keterkaitan ini memiliki implikasi bagi kesinambungan pengembangan pasar modal yang simultan dengan kebijakan sistem nilai tukar mengambang Dengan menggunakan konsep Kausalitas Granger (1969), teknik kointegrasi dan model koreksi kesalahan baku, konsisten dengan pendekatan portfolio dalam penentuan nilai tukar menunjukkan bahwa terdapat kausalitas negatif baik jangka pendek maupun jangka panjang dari harga saham ke nilai tukar mata uang (kausalitas satu arah dari harga saham ke nilai tukar mata uang). Perubahan harga saham menyebabkan perubahan nilai tukar mata uang baik untuk IHSG maupun Indeks harga saham sektoral. 27 Universitas Sumatera Utara