9 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Landasan Teori
Penelitian ini mengangkat masalah mengenai pengaruh kebijakan dividen,
leverage, dan kepemilikan manajerial terhadap kos keagenan pada perusahaan
manufaktur di Bursa Efek Indonesia tahun 2008-2010. Ada beberapa teori yang
berkaitan dengan penelitian ini, antara lain yaitu teori keagenan, kos keagenan, teori
struktur modal, kebijakan dividen, leverage, struktur kepemilikan, dan kepemilikan
manajerial.
2.1.1
Teori Keagenan
Teori keagenan menjelaskan hubungan antara dua pihak yang terlibat dalam
suatu kontrak, yang terdiri atas agen sebagai pihak yang diberikan tanggung jawab
untuk suatu tugas dan prinsipal sebagai pihak yang memberi tugas. Kondisi ini
mengandung konsekuensi bahwa kedua belah pihak, baik agen maupun prinsipal,
akan berusaha untuk memaksimalkan utilitasnya (Jensen dan Meckling, 1976).
Hubungan agensi dikatakan telah terjadi ketika suatu kontrak antara seseorang (atau
lebih), seorang prinsipal, dan orang lainnya, seorang agen untuk memberikan jasa
demi kepentingan prinsipal termasuk melibatkan adanya pemberian delegasi
kekuasaan pengambilan keputusan kepada agen (Belkaoui, 2007:186). Teori
9
keagenan (agency theory) merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis
perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi,
teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan
adanya hubungan kerja antara pihak yang member wewenang (prinsipal) yaitu
investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer, dalam
bentuk kontrak kerja sama yang disebut “nexus of contract”.
Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas
kepentingan mereka sendiri (Anthony dan Govindarajan, 2005:269). Pemegang
saham sebagai prinsipal diasumsikan hanya tertarik pada hasil keuangan yang
bertambah atau investasi mereka di dalam perusahaan. Sedangkan para agen
diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dan syarat-syarat
yang menyertai dalam hubungan tersebut. Widana dan Ratnadi (2008) menyatakan
adanya
pemisahan
antara
kepemilikan
dan
pengelolaan
suatu
perusahaan
menimbulkan masalah keagenan (agency problem). Masalah ini timbul karena adanya
kecenderungan
dari
manajemen
untuk
melakukan
moral
hazard
dalam
memaksimalkan kepentingan sendiri dengan mengorbankan kepentingan pihak
prinsipal. Teori keagenan juga dapat mengimplikasikan adanya asimetri informasi.
Asimetri informasi adalah suatu kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan
informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi dengan pihak
pemegang saham dan stakeholder, sebagai pengguna informasi. Asimetri informaasi
menimbulkan dua dampak, kedua dampak tersebut adalah sebagai berikut.
10
1) Adverse selection
Adverse selection adalah suatu tipe informasi asimetri dimana satu orang atau
lebih pelaku transaksi bisnis atau transaksi potensial mempunyai informasi
lebih atas yang lain (Scott, 2000). Informasi ini kemudian digunakan oleh
manajer untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan jalannya
perusahaan, namun pada akhirnya keputusan yang diambil tersebut salah satu
keliru sehingga hal ini dapat merugikan perusahaan.
2) Moral Hazard
Moral hazard adalah jenis asimetri informasi dimana satu pihak dalam suatu
perusahaan (manajer), memiliki informasi yang dimiliki ini kemudian
digunakan oleh manajer untuk mengambil keputusan, namun keputusan
tersebut diambil untuk keuntungan atau kepentingan dirinya sendiri sehingga
keputusan tersebut dapat merugikan perusahaan.
Menurut Baiman (1990) dalam Elqorni (2009), terdapat 3 model hubungan
agensi, yaitu: The Principal-Agent Model, The Transaction Cost Economic Model,
The Rochester Model. Ketiganya memiliki dua kerangka kesamaan dan dua
perbedaan. Kesamaannya, pertama, ketiganya memahami ketentuan dan penyebab
hilangnya efesiensi yang diciptakan oleh divergensi antara perilaku kerjasama dan
kepentingan individu. Kedua, ketiganya menganalisa dan memahami implikasi
perbedaan proses pengendalian menghindari hilangnya efisiensi pada maslah agensi.
Sedangkan
perbedaannya,
pertama,
menekankan
perbedaan
sumber-sumber
divergensi perilaku kerjasama dan kepentingan individu. Kedua, menekankan
11
perbedaan aspek pada agenda riset pada umumnya. Ketiga, pemodelan berhati-hati
yang mendasari konteks ekonomi yang menyebabkan timbulnya masalah agensi.
Keempat, derivasi optimalisasi hubungan kerja dan memahami bagaimana hubungan
kerja yang meringankan masalah agensi. Kelima, komparasi hasil-hasil untuk
melakukan observasi praktik model yang dipakai dan menganalisanya. Artinya dalam
kerangka umum model hubungan agensi memperlihatkan bahwa manajer melakukan
maksimalisasi expected utility agar dapat mempengaruhi desain kontrak kerja mereka.
Pemilik dan manajer secara bersamaan dibatasi biaya atas masalah agensi, sehingga
memerlukan insentif untuk mendesain kontrak yang mengurangi secara efisien
masalah agensi. Dua tokoh utama (prinsipal dan agen) dalam interaksi bisnis tersebut
sebenarnya mengarah pada kepentingan yang sama, yaitu wealth (kekayaan).
Agency problem secara garis besar dapat terjadi ketika manajer membuat
sebuah keputusan yang tidak konsisten dengan tujuan umum dari sebuah perusahaan
yaitu memaksimalkan kemakmuran pemegang saham. Hal ini dikarenakan manajer
ingin mementingkan dirinya sendiri. Eisenhardt (1989) menggunakan tiga asumsi
sifat dasar manusia guna menjelaskan tentang teori agensi yaitu: (1) manusia pada
umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir
terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia
selalu menghindari risiko (risk adverse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia
tersebut manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak berdasarkan
sifat opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan-kepentingan (Wibisono, 2004).
12
Munculnya masalah keagenan dijelaskan dalam beberapa faktor. Faktorfaktor tersebut adalah sebagai berikut.
1)
Moral Hazard
Astika
(2010)
ketidakbersediaan
menyatakan
berupaya,
moral
hazard
padahal
sebagai
terdapat
berikut
kesempatan
sebagai
untuk
melaksanakan upaya tersebut. Astika (2010) menggambarkan ketimpangan
dalam penguasaan informasi dari beberapa orang yang melakukan transaksi
bisnis atau potensial transaksi, yaitu pihak yang satu dapat mengobservasi
kegiatan transaksinya secara penuh dibandingkan dengan pihak yang lainnya
sebagai moral hazard. Moral hazard adalah suatu tipe informasi asimetri
(asymmetric information) di mana satu orang atau lebih pelaku bisnis atau
transaksi potensial yang dapat mengamati kegiatan-kegiatan mereka secara
penuh dibandingkan dengan pihak lain. Masalah moral hazard ini terjadi
karena pihak-pihak di luar perusahaan (investor) mendelegasikan tugas dan
kewenangannya kepada manajer tetapi investor tidak dapat sepenuhnya
memantau manajer dalam melaksanakan pendelegasian tersebut.
2). Penahanan laba (Earning Retention)
Masalah ini berkisar pada kecenderungan untuk melakukan investasi yang
berlebihan oleh pihak manajemen melalui peningkatan dana pertumbuhan
dengan tujuan memperbesar kekuasaan, prestise, atau memperbesar
kemampuan untuk mendominasi dewan komisaris, maupun penghargaan bagi
dirinya, namun dapat menghancurkan kesejahteraan pemegang saham.
13
3). Horizon Waktu
Konflik ini muncul sebagai akibat dari kondisi arus kas, dimana pemegang
saham lebih menekankan pada arus kas untuk masa depan yang kondisinya
belum pasti, sedangkan manajemen cenderung menekankan kepada hal-hal
yang berkaitan dengan pekerjaan mereka.
4). Penghindaran risiko manajerial
Masalah ini muncul ketika ada batasan diversifikasi portofolio yang
berhubungan dengan pendapatan manajerial atas kinerja yang dicapainya,
sehingga manajer akan berusaha meminimalkan risiko saham perusahaan dari
keputusan investasi yang meningkatkan risikonya. Misalnya manajemen lebih
menyukai pendanaan ekuitas dan berusaha menghindari penjamin hutang,
karena mengalami kebangkrutan atau kegagalan.
Sartono (2001:12) menyatakan bahwa dalam usaha meminimumkan masalah
keagenan atau konflik antar kelompok dalam perusahaan maka diperlukan biaya
yang disebut dengan kos keagenan dan tercermin dalam empat alternatif, yaitu:
1) Pengeluaran untuk monitoring seperti halnya biaya untuk pemeriksaan
akuntansi dan prosedur pengendalian intern.
2) Pengeluaran insentif sebagai kompensasi untuk manajemen atas prestasi yang
konsisten.
3) Fidelity bond adalah kontrak antara perusahaan dengan pihak ketiga di mana
pihak ketiga (bonding company) setuju untuk membayar perusahaan jika
manajer berbuat tidak jujur sehingga menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
14
4).Golden Parachutes dan poison pill dapat digunakan pula untuk mengurangi
konflik antara manajemen dengan pemegang saham. Golden Parachutes
adalah suatu kontrak antara manajemen dengan pemegang saham yang
menjamin bahwa manajemen akan mendapatkan kompensasi sejumlah tertentu
apabila perusahaan dibeli oleh perusahaan lain atau terjadi perubahan
pengendalian perusahaan. Poison pill adalah usaha pemegang saham untuk
menjaga agar perusahaan tidak diambil alih oleh perusahaan lain. Usaha ini
dapat dilakukan dengan mengeluarkan hak penjualan saham pada harga
tertentu atau mengeluarkan obligasi disertai dengan hak menjual obligasi pada
harga tertentu.
2.1.2
Kos Keagenan
Banyak masalah yang sering muncul berkaitan dengan masalah keagenan.
Hubungan keagenan terjadi ketika hubungan antara dua pihak yang menunjukkan
bahwa suatu pihak (pemegang saham) memberikan tugas kepada orang lain
(manajemen) untuk melakukan suatu pekerjaan. Dalam kondisi seperti ini manajemen
memiliki
kecenderungan
untuk
berprilaku
tertentu
dengan
mengutamakan
kepentingannya sendiri. Untuk itu pemegang saham harus memiliki mekanisme
pemantauan agar dapat mengendalikan perilaku manajemen sesuai aturan yang
ditentukan. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan insentif
kompensasi yang berupa pemberian saham kepada manajer dan cara lain yang dapat
15
dilakukan adalah dengan monitoring, misalnya dalam bentuk audit. Biaya yang
dikeluarkan untuk keperluan tersebut disebut dengan biaya keagenan.
Namun, biaya keagenan dapat dikurangi dengan meningkatkan level
kepemilikan manajemen supaya mengurangi biaya monitoring. Biaya keagenan yang
lebih rendah diasosiasikan dengan nilai perusahaan yang semakin tinggi. Alternatif
untuk mengurangi biaya keagenan yaitu melalui mekanisme pengendalian internal
dan mekanisme pengendalian eksternal atau pengendalian pasar. Mekanisme
pengendalian internal didesain untuk menyamakan kepentingan antara manajer
dengan pemegang saham. Menurut Jensen dan Meckling (1976) ada beberapa cara
yang dilakukan untuk mengurangi biaya keagenanan yaitu pertama dengan
meningkatkan kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen karena dengan hal itu
manajer merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil. Keduan dengan
meningkatkan divident pay-out ratio, dengan demikian tidak tersedia cukup banyak
free cash flow. Ketiga dengan meningkatkan pendanaan dengan hutang. Keempat
melalui institusional investor sebagai monitoring agents.
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan terdapat tiga macam kos keagenan,
diantaranya sebagai berikut.
1) Biaya bonding (bonding cost), kos ini ditanggung oleh manajer untuk memberi
jaminan kepada pemilik bahwa manajer tidak melakukan tindakan yang
merugikan perusahaan.
2) Biaya monitoring (monitoring cost), kos ini merupakan biaya yang dikeluarkan
oleh pemegang saham untuk mengawasi aktivitas dan perilaku manajer.
16
3) Kerugian residual (residual loss), kos yang timbul akibat adanya perbedaan
antara keputusan yang diambil oleh manajemen dengan keputusan yang
seharusnya dapat memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham.
2.1.3
Mekanisme Untuk Mengurangi Masalah Keagenan
Arifin (2005:60) menyatakan bahwa mekanisme untuk mengurangi masalah
agensi adalah sebagai berikut:
1) Mekanisme kontrol dengan monitoring
Ada beberapa mekanisme untuk mengurangi kos keagenan. Berikut
mekanisme-mekanisme kontrol dengan monitoring yang dapat dipakai untuk
mengurangi masalah keagenan :
(1) Pembentukan Dewan Komisaris
Pembentukan dewan komisaris adalah salah satu mekanisme yang
banyak dipakai untuk memonitoring manajer. Namun penelitian Mace
(1986) menemukan bahwa pengawas dewan komisaris terhadap
manajemen pada umumnya tidak efektif. Ini terjadi karena proses
pemeliharaan dewan komisaris yang kurang demokratis dimana kandidat
dewan komisaris sering dipilih oleh manajemen sehingga stelah dipilih
tidak berani mengkritik manajemen. Namun jika manajemen didominasi
oleh anggota dari luar (independent board of director) maka monitoring
dewan komisaris terhadap manajer menjadi lebih efektif seperti yang
ditemukan oleh Weisbach (1988).
17
(2) Pasar Corporate Control
Manne (1965) menyatakan bahwa adanya pasar untuk corporate control
dimana pasar yang menurun nilainya akibat adanya masalah keagenan
akan diambil oleh perusahaan lain, merupakan mekanisme yang lebih
bagus, sehingga masalah agensi dapat diatasi.
(3) Pemegang saham besar
Model pengurangan masalah keagenan yang dibuat Jensen dan Meckling
(1976) mengasumsikan bahwa pemegang saham terdiri dari investorinvestor kecil. Oleh karena itu, biaya monitoring terhadap manajemen
oleh para investor tersebut akan sangat besar sehingga mereka cenderung
tidak melaksanakan monitoring
(4) Kepemilikan terkonsentrasi
Kepemilikan dikatakan lebih terkonsentrasi untuk mencapai kontrol
dominasi atau mayoritas dibutuhkan penggabungan lebih sedikit investor.
(5) Pasar Manajer
Fama (1980), menyatakan bahwa masalah keagenan akan berkurang
dengan sendirinya karena manajer akan dicatat kinerjanya oleh pasar
manajer, baik yang ada dalam perusahaan sendiri maupun yang berasal
dari luar perusahaan.
2) Mekanisme kontrol dengan peningkatan kepemilikan manajer
Ketika kepemilikan saham oleh manajer perusahaan meningkat, maka mereka
akan berinisiatif untuk menginvestasikannya pada proyek-proyek yang
18
memiliki net present value (NPV) yang positif dan mengurangi konsumsi
untuk kepentingan pribadinya. Insentif kepemilikan dapat memberikan
manajer dan pemegang saham untung maupun rugi yang sama.
3) Mekanisme kontrol dengan bonding
Jensen (1986) melihat masalah dari sudut keterbatasan uang yang dapat
digunakan untuk kegiatan konsumtif. Dana tersebut adalah free cash flows,
yaitu kelebihan dana yang ada dalam perusahaan setelah semua proyek yang
menghasilkan net present value (NPV) positif dilaksanakan. Manajer harus
menunjukkan kepada pemegang saham bahwa ia telah menunjukkan upaya
menahan diri (bonding) untuk tidak menciptakan peluang melakukan
penyimpangan.
2.1.4
Teori Struktur Modal
Menurut Arifin (2005:93), teori struktur modal berkaitan dengan kos
keagenan (agency cost) sebenarnya hanya merujuk pada teori keagenan yang
dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976). Teori keagenan menganggap
manajer tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Oleh
karena itu perlu ada mekanisme agar manajer mau bertindak sesuai dengan
kepentingan pemegang saham. Salah satu mekanisme yang diusulkan oleh Jensen dan
Meckling (1976) adalah dengan menambah porsi hutang.
Menambah porsi hutang dapat mengurangi masalah keagenan karena dua
alasan pertama dengan meningkatnya hutang maka akan semakin kecil porsi saham
19
yang harus dijual perusahaan. Semakin kecil nilai saham yang beredar maka semakin
kecil masalah agensi yang timbul antara manajer dengan pemegang saham. Kedua,
dengan semakin besar hutang maka semakin kecil dana yang menganggur yang dapat
dipakai manajer untuk pengeluaran-pengeluaran yang kurang perlu. Semakin besar
hutang maka perusahaan harus mencadangkan lebih banyak kas untuk membayar
bunga dari hutang tersebut dan juga untuk mengangsur pokok hutang. Mekanisme
untuk mengurangi free cash flow oleh Jensen dan Meckling (1976) dikelompokkan
sebagai mekanisme bonding, suatu mekanisme yang dipakai oleh manajer untuk
membuktikan bahwa mereka tidak akan menghamburkan dana perusahaan dan dana
mereka berani mengambil resiko kehilangan pekerjaan jika tidak bias mengelola
perusahaan dengan serius.
2.1.5
Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen menyangkut keputusan apakah laba yang dibayarkan
sebagai dividen atau ditahan untuk reinvestasi dalam perusahaan. Kebijakan dividen
menimbulkan kontroversi karena bila dividen ditingkatkan, arus kas untuk investor
akan meningkat yang akan menguntungkan investor. Keputusan pembagian dividen
ditentukan oleh pemegang saham melalui RUPS memberikan konsekuensi bahwa
besar kecilnya dividen dapat dijadikan alat bagi pemegang saham untuk
mengendalikan manajemen. Hubungan keagenan antara pemilik perusahaan dengan
manajemen menciptakan kesempatan bagi manajemen untuk mengejar tujuan
20
pribadinya di samping memaksimalkan kesejahteraan pemilik (Widanaputra dan
Ratnadi, 2008).
Schooley et al. (1994) mengungkapkan bahwa kebijakan dividen dan
manajerial digunakan untuk menurunkan biaya keagenan. Mereka menguji kebijakan
dividen dan kepemilikan saham sebagai suatu hal yang saling berhubungan untuk
mengurangi biaya keagenan. Dengan memberikan kepemilikan saham bagi
manajemen mungkin dapat mengurangi biaya keagenan. Pembayaran dividen
menyebabkan jumlah dana yang dikelola oleh perusahaan menjadi semakin kecil.
Demikian juga dengan memberikan kepemilikan saham menyebabkan manajemen
mungkin tidak akan melakukan manipulasi karena di samping sebagai manajemen dia
juga berposisi sebagai pemilik perusahaan. Kedua posisi tersebut akan dapat
mengurangi besarnya biaya keagenan.
Martin et al (1999:473) dalam Mardy (2008) mengatakan bahwa ada beberapa
pola kebijakan pembayaran dividen yang biasa dipraktikkan, yaitu:
1) Rasio pembayaran dividen konstan (constant dividend payaout ratio)
Jumlah dividen dibakukan sekian persen dari pendapatan perusahaan.
Meskipun rasio dividen terhadap pendapatan itu stabil atau tetap, jumlah
uangnya (sekian dolar, sekian rupiah) tentu saja bias saja berubah sesuai
dengan perubahan jumlah pendapatan.
2) Dividen per lembar saham dalam jumlah stabil (stable amount per share)
Jumlah dividen yang dibayarkan dari waktu ke waktu jumlah tetap. Kenaikan
jumlah dividen akan terlaksana jika manajemen yakin perusahaan sudah
21
mampu membayarnya dari waktu ke waktu, karena sekali naik maka
jumlahnya tidak turun lagi. Tapi, manajemen juga dapat memutuskan untuk
mengurangi jumlah tersebut jika kemampuan pendapatan perusahaan
dirasakan mengendur. Perubahan jumlah tersebut harus lebih cermat, karena
sifat yang semi-permanen.
3) Dividen regular plus ekstra tutup tahun (low regular dividend plus extra)
Perusahaan secara regular (misalnya per kwartal) membayarkan dividen
dalam jumlah yang kecil, namun di akhir tahun, perusahaan menambahkan
ekstra dividen (tentu saja bila di tahun tersebut perusahaan memang memetik
laba yang cukup banyak). Tujuan dari digunakannya cara ini adalah untuk
menghapus konotasi dividen permanen. Tujuan ini tidak aka nada jika
investor setiap akhir tahun selalu menunggu-nunggu dividen ekstra.
Kebijakan dividen pada hakikatnya menentukan berapa banyak bagian
keuntungan yang akan dibagikan kepada para pemegang saham, dan beberapa banyak
yang akan ditahan. Schelenger et al. (1989) dalam Widanaputra dan Ratnadi (2008)
meneliti tentang hubungan antara kebijakan dividen dengan komposisi board of
director dan kesejahteraan pemegang saham. Mereka berpendapat bahwa baik
pemilik perusahaan maupun manajemen akan menciptakan beberapa strategi untuk
melakukan
kontrol
terhadap
aset
perusahaan.
Manajemen
mungkin
tidak
mengendalikan aset dengan cara yang terbaik, tetapi pemilik mempunyai kepentingan
untuk melakukan pengendalian yang baik terhadap manajemennya untuk kepentingan
dirinya.
22
2.1.6
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen suatu perusahaan antara
lain sebagai berikut (Riyanto,2001,267) :
1) Posisi likuditas perusahaan
Makin
kuatnya
posisi
likuiditas
perusahaan
berarti
makin
besar
kemampuannya untuk membayar dividen. Jadi dapat dikatakan bahwa makin
kuat likuiditas perusahaan maka makin tinggi dividend payout ratio-nya.
2) Kebutuhan dana untuk membayar hutang
Apabila perusahaan menetapkan pelunasan hutangnya akan mengambil dari
laba ditahan, berarti perusahaan harus menahan sebagian besar laba dari
pendapatannya untuk keperluan tersebut. Ini berarti bahwa hanya sebagaian
kecil saja dari pendapatan atau earning dapat dibayarkan sebagai dividen.
Dengan kata lain perusahaan harus menetapkan dividend payout ratio yang
rendah.
3) Tingkat pertumbuhan perusahaan
Makin cepat tingkat pertumbuhan perusahaan, makin besar kesempatan dana
yang dibutuhkan, makin besar bagian dari pendapatan yang ditahan dalam
perusahaan yang berarti makin rendah dividend payout ratio-nya. Apabila
perusahaan telah mencapai tingkat pertumbuhan sedemikian rupa sehingga
perusahaan telah well established. Dimana kebutuhan dananya dapat dipenuhi
dengan dana yang berasal dari pasar modal atau sumber dana lainnya, maka
23
keadaannya akan berbeda. Dalam hal ini perusahaan akan menetapkan
dividend payout ratio yang tinggi.
4) Pengawasan terhadap perusahaan
Ada perusahaan yang mempunyai kebijakan hanya membiayai ekspansinya
dengan dana yang berasal dari sumber intern saja. Kebijakan tersebut
dijalankan atas dasar pertimbangan bahwa apabila ekspansi dibiayai dengan
dana yang berasal dari hasil penjualan saham baru akan melemahkan kontrol
dari kelompok dominan dalam perusahaan, demikian pula apabila membiayai
ekspansi
dengan
Mempercayakan
hutang
pada
akan
memperbesar
pembelanjaan
intern
resiko
dalam
finansialnya.
rangka
usaha
mempertahankan kontrol terhadap perusahaan, berarti mengurangi dividend
payout ratio-nya.
2.1.7
Leverage
Menurut Weston dan Brigham (1997) dalam Kristya (2007) leverage adalah
tingkat penggunaan hutang sebagai sumber pembiayaan perusahaan. Menurut
Widanaputra dan Ratnadi (2008), leverage keuangan adalah penggunaan sumber dana
yang menimbulkan beban tetap keuangan. Beban tetap keuangan yaitu bunga yang
harus dibayar tanpa memperdulikan tingkat laba perusahaan. Adapun rasio
pengelolaan utang dibagi menjadi tiga yaitu, rasio utang, rasio kemampuan
membayar bunga atau Time Interest Earned (TIE), dan rasio kemampuan
membayarkan beban tetap.
24
Perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, dalam hubungannya
dengan leverage, sebaiknya menggunakan ekuitas sebagai sumber pembiayaannya
agar tidak terjadi biaya keagenan (agency cost) antara pemegang saham dengan
manajemen perusahaan, sebaliknya perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang
rendah sebaiknya menggunakan hutang sebagai sumber pembiayaannya karena
penggunaan hutang akan mengharuskan perusahaan tersebut membayar bunga secara
teratur. Leverage keuangan menunjukkan dua hal penting. Dengan demikian dana
melalui utang, pemilik dapat mempertahankan pengendalian atas perusahaan dengan
investasi terbatas. Kreditor mensyaratkan adanya ekuitas atau dana yang disediakan
oleh pemilik sebagai margin pengaman. Jika pemilik hanya menyediakan sebagian
kecil dari pembiayaan total, maka risiko perusahaan dipikul terutama oleh kreditornya
(Widanaputra dan Ratnadi, 2008).
2.1.8
Struktur Kepemilikan
Struktur kepemilikan (ownership structure) merupakan persentase saham
yang dimiliki oleh insider shareholder dan outsider holders. Menurut Edy Mas’ud
(2003) struktur kepemilikan dapat dijelaskan dari dua sudut pandang yaitu
pendekatan keagenan (agency approach) dan pendekatan ketidak seimbangan
informasi (asymmetric information approach). Pendekatan keagenan menganggap
struktur kepemilikan sebagai sebuah instrument atau alat untuk mengurangi konflik
kepentingan
diantara
berbagai
pemegang
klaim.
Sedangkan
pendekatan
ketidakseimbangan informasi memandang mekanisme struktur kepemilikan sebagai
25
suatu cara untuk mengurangi ketidak seimbangan informasi antara insider dan
outsider melalui pengungkapan informasi di pasar informasi di pasar modal.
Menurut Kristya (2007:10) pemegang saham sebagai pemilik modal dapat
dibedakan menjadi 3, diantaranya adalah:
1) Internal Ownership
Adalah pemegang saham yang merupakan pihak insiders perusahaan yang ikut
aktif dalam kegiatan operasional perusahaan seperti dewan direksi dan
manajer.
2) Eksternal Ownership
Adalah pemegang saham perorangan yang pasif dalam kegiatan operasional
perusahaan di luar pihak insiders perusahaan.
3) Institution Ownership
Adalah pemegang saham yang berbentuk institusi (perusahaan) yang pasif
dalam kegiatan operasional perusahaan.
Struktur kepemilikan perusahaan berbeda setiap negara. Kepemilikan yang
menyebar (banyak pemilik dengan presentase kecil) hanya terjadi pada negara dengan
perlindungan legal yang sangat baik terhadap pemilik. Sedangkan di negara dengan
perlindungan negara yang buruk, kepemilikannya cenderung terkonsentrasi (sedikit
pemilik dengan kepemilikan dalam jumlah besar). Bahkan dalam banyak kasus,
kepemilikan perusahaan banyak dikendalikan oleh keluarga atau negara (Gunarsih,
2003). Pada kepemilikan menyebar, masalah perbedaan kepentingan utama yang
terjadi, adalah antara kepentingan pemilik (pemegang saham) dan kepentingan
26
pengelola (manajemen). Permasalahan perbedaan kepentingan ini berbeda dengan
perusahaan yang mempunyai struktur kepemilikan terkonsentrasi. Kepemilikan
terkonsentrasi masalah utamanya yaitu perbedaan kepentingan antara pemilik
mayoritas dan sebagai pengendali perusahaan dengan pemilik minoritas.
2.1.9
Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial adalah jumlah kepemilikan saham oleh pihak
manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang dikelola (Gideon, 2005).
Kepemilikan manajerial marupakan konsentrasi kepemilikan saham yang dimiliki
oleh pihak manajemen (agen) dalam suatu perusahaan. Penelitian yang pernah
dilakukan Jansen dan Meckling (1976) menunjukkan bahwa untuk meminimalkan
konflik keagenan adalah dengan meningkatkan kepemilikan manajerial di dalam
perusahaan. Ross et al (1999) menyatakan bahwa semakin besar kepemilikan
manajemen dalam perusahaan maka manajemen akan cenderung berusaha
meningkatkan kinerjanya untuk kepentingan pemegang saham dan kepentingannya
sendiri.
Besar kecilnya jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat
mengindikasikan adanya kesamaan (congruence) kepentingan antara manajemen
dengan pemegang saham (Faizal, 2004). Kepemilikan saham manajerial akan
membantu penyatuan kepentingan antara manajer dan pemegang saham, sehingga
manajer ikut merasakan secara langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan
ikut pula menanggung kerugian dari pengambilan keputusan yang salah.
27
Penelitian Ross et al. (1999) dalam Prasetiyo (2010) menemukan bahwa
semakin besar proporsi kepemilikan manajemen, maka manajemen cenderung
berusaha lebih giat untuk kepentingan pemegang saham untuk meningkatkan nilai
perusahaan, salah satunya dengan menerapkan konservatisme akuntansi. Gideon
(2005) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) mengatakan bahwa persentase tertentu
kepemilikan saham oleh pihak manajemen cenderung mempengaruhi tindakan
manajemen laba.
2.1.10 Hubungan Antara Kebijakan Dividen dengan Kos Keagenan
Keputusan pembagian dividen ditentukan oleh pemegang saham melalui
RUPS memberikan konsekuensi bahwa besar kecilnya dapat dijadikan oleh
pemegang saham untuk mengendalikan manajemen. Hubungan keagenan antara
pemilik perusahaan dengan manajemen menciptakan kesempatan bagi manajemen
untuk mengejar tujuan pribadinya disamping memaksimalkan kesejahteraan pemilik.
Penelitian yang meneliti tentang hubungan kebijakan dividen dengan kos keagenan
diantaranya Schooley et al. (1994) menyatakan bahwa kebijakan dividen dan
manajerial digunakan untuk menurunkan kos keagenan, dan Easterbrook (1984)
berpendapat bahwa dividen memainkan peran dalam mengendalikan masalah
keagenan ekuitas. Sedangkan Mollah et al (2000) juga berpendapat yang sama bahwa
menurut hasil penelitiannya kebijakan dividen dan kepemilikan saham sebagai suatu
yang saling berhubungan untuk mengurangi kos keagenan. Dengan memberikan
kepemilikan saham bagi manajemen mungkin dapat mengurangi kos keagenan.
28
Pembayaran dividen menyebabkan jumlah dana yang dikelola perusahaan menjadi
semakin kecil, demikian juga dengan memberikan kepemilikan saham menyebabkan
manajemen tidak akan melakukan manipulasi karena disamping juga sebagai
manajemen dia juga beroperasi sebagai pemilik perusahaan. Kedua kondisi tersebut
akan dapat mengurangi besarnya kos keagenan. Hasil dari penelitian ini adalah
kebijakan dividen dan kepemilikan saham berhubungan negatif dengan kos keagenan.
Wei et al (2003) juga berpendapat demikian dimana terdapat korelasi negatif antara
dividen per saham dengan kepemilikan saham.
2.1.11 Hubungan Antara Leverage dengan Kos Keagenan
Kecenderungan para manajer untuk melakukan aktivitas hanya untuk
kepentingan sendiri juga timbul karena para pemegang saham tidak mungkin dapat
mengawasi seluruh aktivitas yang dilakukan oleh manajer. Untuk mengurangi agency
conflict ini, para pemegang saham harus mengeluarkan biaya-biaya yang disebut
dengan agency cost. Agency cost terdiri dari seluruh biaya yang membebani
pemegang saham untuk mendorong manajer agar berusaha memaksimumkan harga
saham perusahaan dari pada hanya bertindak untuk kepentingan pribadi saja. Menurut
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa salah satu cara untuk menengahi
masalah keagenan adalah meningkatkan hutang. Argumen tersebut didukung oleh
pernyataan bahwa dengan meningkatkannya hutang akan semakin kecil porsi saham
yang akan dijual perusahaan dan semakin besar hutang perusahaan maka semakin
kecil dana menganggur yang dapat dipakai perusahaan untuk dipakai perusahaan
29
untuk pengeluaran-pengeluaran yang kurang perlu. Semakin besar hutang maka
perusahaan harus mencadangkan lebih banyak kas untuk membayar bunga serta
pokok pinjaman. Mekanisme untuk mengurangi free cash flow ini oleh Jensen (1986)
dikelompokan sebagai bonding, yaitu suatu mekanisme yang dipakai manajer untuk
membuktikan bahwa mereka tidak akan menghamburkan dana perusahaan dan
mereka tidak akan menghamburkan dana perusahaan dan mereka berani mengambil
risiko kehilangan pekerjaan jika tidak bias mengelola perusahaan dengan serius.
Disisi pemegang saham, kebijakan peningkatan hutang dapat mengurangi
pengawasan terhadap manajemen karena pihak ketiga yang meminjamkan dana
(bondholder) akan melakukan pengawasan terhadap manajemen agar pinjamannya
tidak disalah gunakan. Dalam penelitian ini kebijakan hutang diproksikan dengan
leverage. Leverage mengukur nilai dana yang dibiayai dari pinjaman pihak ketika.
Sehingga hubungan leverage dengan kos keagenan adalah negatif yang berarti
semakin tinggi leverage akan dapat menurunkan kos keagenan.
2.1.12 Hubungan Antara Kepemilikan Manajerial dengan Kos Keagenan
Kecenderungan para manajer untuk melakukan aktivitas hanya untuk
kepentingan sendiri timbul karena para pemegang saham tidak mungkin dapat
mengawasi seluruh aktivitas yang dilakukan oleh manajer. Untuk mengurangi agency
conflict ini, para pemegang saham harus mengeluarkan biaya-biaya yang disebut
dengan agency cost.
30
Menurut Crutchley dan Hansen (1989) dalam Vivin (2005:16) untuk
mengurangi agency cost ada dua cara yang dilakukan, salah satunya yaitu dengan
meningkatkan kepemilikan manajerial saham manajer dalam perusahaan, sehingga
terdapat persamaan kepentingan dengan pemegang saham. Besar kecilnya jumlah
kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan adanya
kesamaan (congruence) kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham.
Perusahaan dengan jumlah kepemilikan saham yang besar seharusnya mempunyai
konflik keagenan yang rendah dan agency cost yang rendah pula. Rozeff (1982)
berpendapat bahwa kebijakan dividen dan kepemilikan saham manajerial adalah
pengganti peralatan yang digunakan untuk mengurangi biaya agen. Konflik keagenan
yang rendah dapat direflesikan dari rendahnya selling and general administrative
(SGA) yang merupakan proksi dari beban operasi yang ditunjukkan dari rendahnya
biaya audit (monitoring) yang timbul akibat monitoring kinerja manajer yang
dilakukan oleh pemegang saham (prinsipal). Salah satu cara yang dapat dilakukan
untuk mengurangi agency cost ini adalah dengan meningkatkan kepemilikan dari
saham (insider ownership) / kepemilikan manajerial. Dengan adanya kepemilikan
manajerial yang tinggi diharapkan agency cost yang timbul akan semakin rendah.
2.2
Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Sebagai acuan dalam penelitian ini adalah penelitian sebelumnya antara lain:
1) Meryani (2008) meneliti variabel kepemilikan manajerial dan risiko
sebagai variabel bebas dan kos keagenan sebagai variabel terikat. Objek
31
penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia periode 2000-2005. Analisis data yang digunakan adalah
model persamaan regresi berganda dan melakukan pengujian asumsi
klasik diantaranya, uji normalitas, multikolinearitas, autokorelasi,
heteroskedastisitas
serta
linearitas.
Hasil
penelitian
Meryani
menunjukkan struktur risiko berpengaruh signifikan terhadap kos
keagenan. Secara parsial kepemilikan manajerial berpengaruh negatif
terhadap kos keagenan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia periode tahun 2000-2005. Persamaan penelitian ini
dengan penelitian yang dilakukan oleh Meryani adalah sama-sama
menggunakan
kepemilikan
manajerial
sebagai
variabel
bebas,
menggunakan uji asumsi klasik dengan teknik analisis data, dan
penelitian ini sama-sama menggunakan kos keagenan sebagai variabel
terikat. Perbedaan dari kedua penelitian ini adalah dilihat dari periode
penelitian, penelitian Meryani menggunakan tahun 2000-2005 sebagai
periode penelitian, sedangkan penelitian ini menggunakan tahun 20082010.
2) Widanaputra dan Ratnadi (2008) menguji apakah kebijakan dividen,
leverage, dan kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap kos
keagenan. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kos
keagenan sebagai variabel terikat, sedangkan kebijakan dividen,
32
leverage, dan kepemilikan manajerial sebagai variabel bebas. Objek dari
penelitian ini yaitu perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa efek
Jakarta pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2004. Teknik analisis data
yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda dengan modal
ordinary least squares dan menggunakan pengujian asumsi klasik,
diantaranya yaitu uji autokorelasi dan uji nonheteroskedastisitas. Hasil
penelitian Widanaputra dan Ratnadi menunjukkan bahwa kebijakan
dividen tidak berpengaruh secara statistik terhadap kos keagenan (agency
cost), leverage berpengaruh negatif yang signifikan secara statistik
terhadap kos keagenan (agency cost) dan agency cost pada perusahaan
yang dikelola oleh manajer pemilik lebih kecil dibandingkan dengan
perusahaan yang dikelola manajer nonpemilik. Persamaan penelitian ini
dengan penelitian Widanaputra dan Ratnadi adalah menggunakan kos
keagenan sebagai variabel terikat. Perbedaannya adalah pengunaan tahun
yang berbeda, pada penelitian Widanaputra dan Ratnadi menggunakan
tahun 2000-2004 sebagai periode penelitian, sedangkan penelitian ini
menggunakan tahun 2008-2010
3) Paramartha (2009) meneliti variabel kos keagenan sebagai variabel terikat
dan kebijakan dividen, risiko, leverage, dan kepemilikan institusional
sebagai variabel bebas. Objek penelitian ini yaitu perusahaan-perusahaan
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2006-2008. Teknik
33
analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda dan
menggunakan pengujian asumsi klasik, diantaranya yaitu uji normalitas,
uji heteroskedastisitas dan multikolinearitas. Hasil penelitian Paramartha
menunjukkan bahwa kebijakan dividen, risiko, dan kepemilikan
institusional tidak berpengaruh secara statistik terhadap kos keagenan,
sedangkan leverage berpengaruh negatif terhadap kos keagenan.
Persamaan
penelitian
ini
dengan
penelitian
Paramartha
adalah
menggunakan kos keagenan sebagai variabel terikat. Perbedaannya
adalah penelitian Paramartha menggunakan seluruh perusahaan yang
terdaftar di BEI periode 2006-2008 sebagai objek penelitian, sedangkan
penelitian ini hanya menggunakan perusahaan manufaktur yang terdaftar
di BEI periode 2008-2010
2.3
Rumusan Hipotesis
2.3.1
Pengaruh kebijakan dividen terhadap kos keagenan
Porta et al (1999) yang menyatakan bahwa dividen memegang peranan
penting menyangkut masalah keagenan antara manajemen dan pemegang saham.
Penentuan besarnya dividen merupakan salah satu alat yang digunakan oleh
pemegang saham untuk mengendalikan jumlah dana yang berada di tangan
manajemen. Dengan semakin kecil jumlah dana yang dipegang oleh manajemen
dapat memperkecil pengawasan oleh pihak pemegang saham sehingga kos keagenan
yang ditimbulkan semakin rendah. Beberapa penelitian dividen sebagai alat kontrol
34
dari pemegang saham untuk menemukan kos keagenan dilakukan oleh beberapa
peneliti, diantaranya Schooley et al. (1994), Faizal (2004). Utthavi (2007),
Widanaputra dan Ratnadi (2008), serta Paramantha (2009).
Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis sebagai berikut:
H1 :
Kebijakan dividen berpengaruh negatif terhadap kos keagenan pada
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
2.3.2
Pengaruh leverage terhadap kos keagenan
Menurut Jansen dan Meckling (1976) cara yang dapat dilakukan untuk
menengahi permasalahan agensi adalah dengan meningkatkan hutang. Pernyataan
bahwa dengan meningkatnya hutang akan semakin kecil porsi saham yang akan dijual
perusahaan dan semakin besar hutang perusahaan maka semakin kecil dana
menganggur yang dapat dipakai perusahaan untuk pengeluaran-pengeluaran yang
kurang perlu.
Crutchley dan Hansen (1989) menyatakan bahwa peningkatan hutang juga
merupakan cara untuk mengurangi kos keagenan. Semakin besar hutang, maka
perusahaan harus mencadangkan lebih banyak kas untuk membayar bunga serta
pokok pinjaman sehingga akan memperkecil dana yang menganggur. Disisi
pemegang saham, kebijakan peningkatan hutang dapat mengurangi pengawasan
terhadap manajemen karena pihak ketiga yang meminjamkan dana (bond holder)
akan melakukan pengawasan terhadap manajemen agar pinjamannya tidak
disalahgunakan, sehingga nantinya akan mengurangi kos keagenan.
35
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah:
H2:
Leverage berpengaruh negatif terhadap kos keagenan pada perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa efek Indonesia (BEI).
2.3.3
Pengaruh kepemilikan manajerial terhadap kos keagenan
Jensen dan Meckling (1976) berpendapat bahwa pemilik akan dapat
meyakinkan dirinya bahwa agar akan membuat keputusan yang optimal bila
diberikan insentif yang memadai. Salah satu caranya adalah dengan memberikan
kepemilikan manajemen. Kos keagenan dalam suatu perusahaan yang dikelola oleh
manajer pemilik akan lebih rendah karena ada kepentingan yang sama antara
pemegang saham dan manajemen (Jensen dan meckling, 1979). Kondisi ini
disebabkan oleh manajer pemilik tidak terlalu terbebani dengan kewajiban untuk
mengatur laba (yang bersifat moral hazard). Crutchley dan Hansen (1989), Bathala,
Moon, dan Rao (1994) menyimpulakan bahwa level kepemilikan manajerial yang
lebih tinggi dapat digunakan untuk mengurangi masalah keagenan.
Berdasarkan penjelaskan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah:
H3:
Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap kos keagenan pada
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)
36
Download