BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori Penelitian ini mengangkat masalah mengenai pengaruh kebijakan dividen, leverage, dan kepemilikan manajerial terhadap kos keagenan pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia tahun 2008-2010. Ada beberapa teori yang berkaitan dengan penelitian ini, antara lain yaitu teori keagenan, kos keagenan, teori struktur modal, kebijakan dividen, leverage, struktur kepemilikan, dan kepemilikan manajerial. 2.1.1 Teori Keagenan Teori keagenan menjelaskan hubungan antara dua pihak yang terlibat dalam suatu kontrak, yang terdiri atas agen sebagai pihak yang diberikan tanggung jawab untuk suatu tugas dan prinsipal sebagai pihak yang memberi tugas. Kondisi ini mengandung konsekuensi bahwa kedua belah pihak, baik agen maupun prinsipal, akan berusaha untuk memaksimalkan utilitasnya (Jensen dan Meckling, 1976). Hubungan agensi dikatakan telah terjadi ketika suatu kontrak antara seseorang (atau lebih), seorang prinsipal, dan orang lainnya, seorang agen untuk memberikan jasa demi kepentingan prinsipal termasuk melibatkan adanya pemberian delegasi kekuasaan pengambilan keputusan kepada agen (Belkaoui, 2007:186). Teori 9 keagenan (agency theory) merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang member wewenang (prinsipal) yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer, dalam bentuk kontrak kerja sama yang disebut “nexus of contract”. Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri (Anthony dan Govindarajan, 2005:269). Pemegang saham sebagai prinsipal diasumsikan hanya tertarik pada hasil keuangan yang bertambah atau investasi mereka di dalam perusahaan. Sedangkan para agen diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dan syarat-syarat yang menyertai dalam hubungan tersebut. Widana dan Ratnadi (2008) menyatakan adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan suatu perusahaan menimbulkan masalah keagenan (agency problem). Masalah ini timbul karena adanya kecenderungan dari manajemen untuk melakukan moral hazard dalam memaksimalkan kepentingan sendiri dengan mengorbankan kepentingan pihak prinsipal. Teori keagenan juga dapat mengimplikasikan adanya asimetri informasi. Asimetri informasi adalah suatu kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi dengan pihak pemegang saham dan stakeholder, sebagai pengguna informasi. Asimetri informaasi menimbulkan dua dampak, kedua dampak tersebut adalah sebagai berikut. 10 1) Adverse selection Adverse selection adalah suatu tipe informasi asimetri dimana satu orang atau lebih pelaku transaksi bisnis atau transaksi potensial mempunyai informasi lebih atas yang lain (Scott, 2000). Informasi ini kemudian digunakan oleh manajer untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan jalannya perusahaan, namun pada akhirnya keputusan yang diambil tersebut salah satu keliru sehingga hal ini dapat merugikan perusahaan. 2) Moral Hazard Moral hazard adalah jenis asimetri informasi dimana satu pihak dalam suatu perusahaan (manajer), memiliki informasi yang dimiliki ini kemudian digunakan oleh manajer untuk mengambil keputusan, namun keputusan tersebut diambil untuk keuntungan atau kepentingan dirinya sendiri sehingga keputusan tersebut dapat merugikan perusahaan. Menurut Baiman (1990) dalam Elqorni (2009), terdapat 3 model hubungan agensi, yaitu: The Principal-Agent Model, The Transaction Cost Economic Model, The Rochester Model. Ketiganya memiliki dua kerangka kesamaan dan dua perbedaan. Kesamaannya, pertama, ketiganya memahami ketentuan dan penyebab hilangnya efesiensi yang diciptakan oleh divergensi antara perilaku kerjasama dan kepentingan individu. Kedua, ketiganya menganalisa dan memahami implikasi perbedaan proses pengendalian menghindari hilangnya efisiensi pada maslah agensi. Sedangkan perbedaannya, pertama, menekankan perbedaan sumber-sumber divergensi perilaku kerjasama dan kepentingan individu. Kedua, menekankan 11 perbedaan aspek pada agenda riset pada umumnya. Ketiga, pemodelan berhati-hati yang mendasari konteks ekonomi yang menyebabkan timbulnya masalah agensi. Keempat, derivasi optimalisasi hubungan kerja dan memahami bagaimana hubungan kerja yang meringankan masalah agensi. Kelima, komparasi hasil-hasil untuk melakukan observasi praktik model yang dipakai dan menganalisanya. Artinya dalam kerangka umum model hubungan agensi memperlihatkan bahwa manajer melakukan maksimalisasi expected utility agar dapat mempengaruhi desain kontrak kerja mereka. Pemilik dan manajer secara bersamaan dibatasi biaya atas masalah agensi, sehingga memerlukan insentif untuk mendesain kontrak yang mengurangi secara efisien masalah agensi. Dua tokoh utama (prinsipal dan agen) dalam interaksi bisnis tersebut sebenarnya mengarah pada kepentingan yang sama, yaitu wealth (kekayaan). Agency problem secara garis besar dapat terjadi ketika manajer membuat sebuah keputusan yang tidak konsisten dengan tujuan umum dari sebuah perusahaan yaitu memaksimalkan kemakmuran pemegang saham. Hal ini dikarenakan manajer ingin mementingkan dirinya sendiri. Eisenhardt (1989) menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia guna menjelaskan tentang teori agensi yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk adverse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak berdasarkan sifat opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan-kepentingan (Wibisono, 2004). 12 Munculnya masalah keagenan dijelaskan dalam beberapa faktor. Faktorfaktor tersebut adalah sebagai berikut. 1) Moral Hazard Astika (2010) ketidakbersediaan menyatakan berupaya, moral hazard padahal sebagai terdapat berikut kesempatan sebagai untuk melaksanakan upaya tersebut. Astika (2010) menggambarkan ketimpangan dalam penguasaan informasi dari beberapa orang yang melakukan transaksi bisnis atau potensial transaksi, yaitu pihak yang satu dapat mengobservasi kegiatan transaksinya secara penuh dibandingkan dengan pihak yang lainnya sebagai moral hazard. Moral hazard adalah suatu tipe informasi asimetri (asymmetric information) di mana satu orang atau lebih pelaku bisnis atau transaksi potensial yang dapat mengamati kegiatan-kegiatan mereka secara penuh dibandingkan dengan pihak lain. Masalah moral hazard ini terjadi karena pihak-pihak di luar perusahaan (investor) mendelegasikan tugas dan kewenangannya kepada manajer tetapi investor tidak dapat sepenuhnya memantau manajer dalam melaksanakan pendelegasian tersebut. 2). Penahanan laba (Earning Retention) Masalah ini berkisar pada kecenderungan untuk melakukan investasi yang berlebihan oleh pihak manajemen melalui peningkatan dana pertumbuhan dengan tujuan memperbesar kekuasaan, prestise, atau memperbesar kemampuan untuk mendominasi dewan komisaris, maupun penghargaan bagi dirinya, namun dapat menghancurkan kesejahteraan pemegang saham. 13 3). Horizon Waktu Konflik ini muncul sebagai akibat dari kondisi arus kas, dimana pemegang saham lebih menekankan pada arus kas untuk masa depan yang kondisinya belum pasti, sedangkan manajemen cenderung menekankan kepada hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. 4). Penghindaran risiko manajerial Masalah ini muncul ketika ada batasan diversifikasi portofolio yang berhubungan dengan pendapatan manajerial atas kinerja yang dicapainya, sehingga manajer akan berusaha meminimalkan risiko saham perusahaan dari keputusan investasi yang meningkatkan risikonya. Misalnya manajemen lebih menyukai pendanaan ekuitas dan berusaha menghindari penjamin hutang, karena mengalami kebangkrutan atau kegagalan. Sartono (2001:12) menyatakan bahwa dalam usaha meminimumkan masalah keagenan atau konflik antar kelompok dalam perusahaan maka diperlukan biaya yang disebut dengan kos keagenan dan tercermin dalam empat alternatif, yaitu: 1) Pengeluaran untuk monitoring seperti halnya biaya untuk pemeriksaan akuntansi dan prosedur pengendalian intern. 2) Pengeluaran insentif sebagai kompensasi untuk manajemen atas prestasi yang konsisten. 3) Fidelity bond adalah kontrak antara perusahaan dengan pihak ketiga di mana pihak ketiga (bonding company) setuju untuk membayar perusahaan jika manajer berbuat tidak jujur sehingga menimbulkan kerugian bagi perusahaan. 14 4).Golden Parachutes dan poison pill dapat digunakan pula untuk mengurangi konflik antara manajemen dengan pemegang saham. Golden Parachutes adalah suatu kontrak antara manajemen dengan pemegang saham yang menjamin bahwa manajemen akan mendapatkan kompensasi sejumlah tertentu apabila perusahaan dibeli oleh perusahaan lain atau terjadi perubahan pengendalian perusahaan. Poison pill adalah usaha pemegang saham untuk menjaga agar perusahaan tidak diambil alih oleh perusahaan lain. Usaha ini dapat dilakukan dengan mengeluarkan hak penjualan saham pada harga tertentu atau mengeluarkan obligasi disertai dengan hak menjual obligasi pada harga tertentu. 2.1.2 Kos Keagenan Banyak masalah yang sering muncul berkaitan dengan masalah keagenan. Hubungan keagenan terjadi ketika hubungan antara dua pihak yang menunjukkan bahwa suatu pihak (pemegang saham) memberikan tugas kepada orang lain (manajemen) untuk melakukan suatu pekerjaan. Dalam kondisi seperti ini manajemen memiliki kecenderungan untuk berprilaku tertentu dengan mengutamakan kepentingannya sendiri. Untuk itu pemegang saham harus memiliki mekanisme pemantauan agar dapat mengendalikan perilaku manajemen sesuai aturan yang ditentukan. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan insentif kompensasi yang berupa pemberian saham kepada manajer dan cara lain yang dapat 15 dilakukan adalah dengan monitoring, misalnya dalam bentuk audit. Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan tersebut disebut dengan biaya keagenan. Namun, biaya keagenan dapat dikurangi dengan meningkatkan level kepemilikan manajemen supaya mengurangi biaya monitoring. Biaya keagenan yang lebih rendah diasosiasikan dengan nilai perusahaan yang semakin tinggi. Alternatif untuk mengurangi biaya keagenan yaitu melalui mekanisme pengendalian internal dan mekanisme pengendalian eksternal atau pengendalian pasar. Mekanisme pengendalian internal didesain untuk menyamakan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Menurut Jensen dan Meckling (1976) ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengurangi biaya keagenanan yaitu pertama dengan meningkatkan kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen karena dengan hal itu manajer merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil. Keduan dengan meningkatkan divident pay-out ratio, dengan demikian tidak tersedia cukup banyak free cash flow. Ketiga dengan meningkatkan pendanaan dengan hutang. Keempat melalui institusional investor sebagai monitoring agents. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan terdapat tiga macam kos keagenan, diantaranya sebagai berikut. 1) Biaya bonding (bonding cost), kos ini ditanggung oleh manajer untuk memberi jaminan kepada pemilik bahwa manajer tidak melakukan tindakan yang merugikan perusahaan. 2) Biaya monitoring (monitoring cost), kos ini merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pemegang saham untuk mengawasi aktivitas dan perilaku manajer. 16 3) Kerugian residual (residual loss), kos yang timbul akibat adanya perbedaan antara keputusan yang diambil oleh manajemen dengan keputusan yang seharusnya dapat memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham. 2.1.3 Mekanisme Untuk Mengurangi Masalah Keagenan Arifin (2005:60) menyatakan bahwa mekanisme untuk mengurangi masalah agensi adalah sebagai berikut: 1) Mekanisme kontrol dengan monitoring Ada beberapa mekanisme untuk mengurangi kos keagenan. Berikut mekanisme-mekanisme kontrol dengan monitoring yang dapat dipakai untuk mengurangi masalah keagenan : (1) Pembentukan Dewan Komisaris Pembentukan dewan komisaris adalah salah satu mekanisme yang banyak dipakai untuk memonitoring manajer. Namun penelitian Mace (1986) menemukan bahwa pengawas dewan komisaris terhadap manajemen pada umumnya tidak efektif. Ini terjadi karena proses pemeliharaan dewan komisaris yang kurang demokratis dimana kandidat dewan komisaris sering dipilih oleh manajemen sehingga stelah dipilih tidak berani mengkritik manajemen. Namun jika manajemen didominasi oleh anggota dari luar (independent board of director) maka monitoring dewan komisaris terhadap manajer menjadi lebih efektif seperti yang ditemukan oleh Weisbach (1988). 17 (2) Pasar Corporate Control Manne (1965) menyatakan bahwa adanya pasar untuk corporate control dimana pasar yang menurun nilainya akibat adanya masalah keagenan akan diambil oleh perusahaan lain, merupakan mekanisme yang lebih bagus, sehingga masalah agensi dapat diatasi. (3) Pemegang saham besar Model pengurangan masalah keagenan yang dibuat Jensen dan Meckling (1976) mengasumsikan bahwa pemegang saham terdiri dari investorinvestor kecil. Oleh karena itu, biaya monitoring terhadap manajemen oleh para investor tersebut akan sangat besar sehingga mereka cenderung tidak melaksanakan monitoring (4) Kepemilikan terkonsentrasi Kepemilikan dikatakan lebih terkonsentrasi untuk mencapai kontrol dominasi atau mayoritas dibutuhkan penggabungan lebih sedikit investor. (5) Pasar Manajer Fama (1980), menyatakan bahwa masalah keagenan akan berkurang dengan sendirinya karena manajer akan dicatat kinerjanya oleh pasar manajer, baik yang ada dalam perusahaan sendiri maupun yang berasal dari luar perusahaan. 2) Mekanisme kontrol dengan peningkatan kepemilikan manajer Ketika kepemilikan saham oleh manajer perusahaan meningkat, maka mereka akan berinisiatif untuk menginvestasikannya pada proyek-proyek yang 18 memiliki net present value (NPV) yang positif dan mengurangi konsumsi untuk kepentingan pribadinya. Insentif kepemilikan dapat memberikan manajer dan pemegang saham untung maupun rugi yang sama. 3) Mekanisme kontrol dengan bonding Jensen (1986) melihat masalah dari sudut keterbatasan uang yang dapat digunakan untuk kegiatan konsumtif. Dana tersebut adalah free cash flows, yaitu kelebihan dana yang ada dalam perusahaan setelah semua proyek yang menghasilkan net present value (NPV) positif dilaksanakan. Manajer harus menunjukkan kepada pemegang saham bahwa ia telah menunjukkan upaya menahan diri (bonding) untuk tidak menciptakan peluang melakukan penyimpangan. 2.1.4 Teori Struktur Modal Menurut Arifin (2005:93), teori struktur modal berkaitan dengan kos keagenan (agency cost) sebenarnya hanya merujuk pada teori keagenan yang dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976). Teori keagenan menganggap manajer tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Oleh karena itu perlu ada mekanisme agar manajer mau bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Salah satu mekanisme yang diusulkan oleh Jensen dan Meckling (1976) adalah dengan menambah porsi hutang. Menambah porsi hutang dapat mengurangi masalah keagenan karena dua alasan pertama dengan meningkatnya hutang maka akan semakin kecil porsi saham 19 yang harus dijual perusahaan. Semakin kecil nilai saham yang beredar maka semakin kecil masalah agensi yang timbul antara manajer dengan pemegang saham. Kedua, dengan semakin besar hutang maka semakin kecil dana yang menganggur yang dapat dipakai manajer untuk pengeluaran-pengeluaran yang kurang perlu. Semakin besar hutang maka perusahaan harus mencadangkan lebih banyak kas untuk membayar bunga dari hutang tersebut dan juga untuk mengangsur pokok hutang. Mekanisme untuk mengurangi free cash flow oleh Jensen dan Meckling (1976) dikelompokkan sebagai mekanisme bonding, suatu mekanisme yang dipakai oleh manajer untuk membuktikan bahwa mereka tidak akan menghamburkan dana perusahaan dan dana mereka berani mengambil resiko kehilangan pekerjaan jika tidak bias mengelola perusahaan dengan serius. 2.1.5 Kebijakan Dividen Kebijakan dividen menyangkut keputusan apakah laba yang dibayarkan sebagai dividen atau ditahan untuk reinvestasi dalam perusahaan. Kebijakan dividen menimbulkan kontroversi karena bila dividen ditingkatkan, arus kas untuk investor akan meningkat yang akan menguntungkan investor. Keputusan pembagian dividen ditentukan oleh pemegang saham melalui RUPS memberikan konsekuensi bahwa besar kecilnya dividen dapat dijadikan alat bagi pemegang saham untuk mengendalikan manajemen. Hubungan keagenan antara pemilik perusahaan dengan manajemen menciptakan kesempatan bagi manajemen untuk mengejar tujuan 20 pribadinya di samping memaksimalkan kesejahteraan pemilik (Widanaputra dan Ratnadi, 2008). Schooley et al. (1994) mengungkapkan bahwa kebijakan dividen dan manajerial digunakan untuk menurunkan biaya keagenan. Mereka menguji kebijakan dividen dan kepemilikan saham sebagai suatu hal yang saling berhubungan untuk mengurangi biaya keagenan. Dengan memberikan kepemilikan saham bagi manajemen mungkin dapat mengurangi biaya keagenan. Pembayaran dividen menyebabkan jumlah dana yang dikelola oleh perusahaan menjadi semakin kecil. Demikian juga dengan memberikan kepemilikan saham menyebabkan manajemen mungkin tidak akan melakukan manipulasi karena di samping sebagai manajemen dia juga berposisi sebagai pemilik perusahaan. Kedua posisi tersebut akan dapat mengurangi besarnya biaya keagenan. Martin et al (1999:473) dalam Mardy (2008) mengatakan bahwa ada beberapa pola kebijakan pembayaran dividen yang biasa dipraktikkan, yaitu: 1) Rasio pembayaran dividen konstan (constant dividend payaout ratio) Jumlah dividen dibakukan sekian persen dari pendapatan perusahaan. Meskipun rasio dividen terhadap pendapatan itu stabil atau tetap, jumlah uangnya (sekian dolar, sekian rupiah) tentu saja bias saja berubah sesuai dengan perubahan jumlah pendapatan. 2) Dividen per lembar saham dalam jumlah stabil (stable amount per share) Jumlah dividen yang dibayarkan dari waktu ke waktu jumlah tetap. Kenaikan jumlah dividen akan terlaksana jika manajemen yakin perusahaan sudah 21 mampu membayarnya dari waktu ke waktu, karena sekali naik maka jumlahnya tidak turun lagi. Tapi, manajemen juga dapat memutuskan untuk mengurangi jumlah tersebut jika kemampuan pendapatan perusahaan dirasakan mengendur. Perubahan jumlah tersebut harus lebih cermat, karena sifat yang semi-permanen. 3) Dividen regular plus ekstra tutup tahun (low regular dividend plus extra) Perusahaan secara regular (misalnya per kwartal) membayarkan dividen dalam jumlah yang kecil, namun di akhir tahun, perusahaan menambahkan ekstra dividen (tentu saja bila di tahun tersebut perusahaan memang memetik laba yang cukup banyak). Tujuan dari digunakannya cara ini adalah untuk menghapus konotasi dividen permanen. Tujuan ini tidak aka nada jika investor setiap akhir tahun selalu menunggu-nunggu dividen ekstra. Kebijakan dividen pada hakikatnya menentukan berapa banyak bagian keuntungan yang akan dibagikan kepada para pemegang saham, dan beberapa banyak yang akan ditahan. Schelenger et al. (1989) dalam Widanaputra dan Ratnadi (2008) meneliti tentang hubungan antara kebijakan dividen dengan komposisi board of director dan kesejahteraan pemegang saham. Mereka berpendapat bahwa baik pemilik perusahaan maupun manajemen akan menciptakan beberapa strategi untuk melakukan kontrol terhadap aset perusahaan. Manajemen mungkin tidak mengendalikan aset dengan cara yang terbaik, tetapi pemilik mempunyai kepentingan untuk melakukan pengendalian yang baik terhadap manajemennya untuk kepentingan dirinya. 22 2.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen suatu perusahaan antara lain sebagai berikut (Riyanto,2001,267) : 1) Posisi likuditas perusahaan Makin kuatnya posisi likuiditas perusahaan berarti makin besar kemampuannya untuk membayar dividen. Jadi dapat dikatakan bahwa makin kuat likuiditas perusahaan maka makin tinggi dividend payout ratio-nya. 2) Kebutuhan dana untuk membayar hutang Apabila perusahaan menetapkan pelunasan hutangnya akan mengambil dari laba ditahan, berarti perusahaan harus menahan sebagian besar laba dari pendapatannya untuk keperluan tersebut. Ini berarti bahwa hanya sebagaian kecil saja dari pendapatan atau earning dapat dibayarkan sebagai dividen. Dengan kata lain perusahaan harus menetapkan dividend payout ratio yang rendah. 3) Tingkat pertumbuhan perusahaan Makin cepat tingkat pertumbuhan perusahaan, makin besar kesempatan dana yang dibutuhkan, makin besar bagian dari pendapatan yang ditahan dalam perusahaan yang berarti makin rendah dividend payout ratio-nya. Apabila perusahaan telah mencapai tingkat pertumbuhan sedemikian rupa sehingga perusahaan telah well established. Dimana kebutuhan dananya dapat dipenuhi dengan dana yang berasal dari pasar modal atau sumber dana lainnya, maka 23 keadaannya akan berbeda. Dalam hal ini perusahaan akan menetapkan dividend payout ratio yang tinggi. 4) Pengawasan terhadap perusahaan Ada perusahaan yang mempunyai kebijakan hanya membiayai ekspansinya dengan dana yang berasal dari sumber intern saja. Kebijakan tersebut dijalankan atas dasar pertimbangan bahwa apabila ekspansi dibiayai dengan dana yang berasal dari hasil penjualan saham baru akan melemahkan kontrol dari kelompok dominan dalam perusahaan, demikian pula apabila membiayai ekspansi dengan Mempercayakan hutang pada akan memperbesar pembelanjaan intern resiko dalam finansialnya. rangka usaha mempertahankan kontrol terhadap perusahaan, berarti mengurangi dividend payout ratio-nya. 2.1.7 Leverage Menurut Weston dan Brigham (1997) dalam Kristya (2007) leverage adalah tingkat penggunaan hutang sebagai sumber pembiayaan perusahaan. Menurut Widanaputra dan Ratnadi (2008), leverage keuangan adalah penggunaan sumber dana yang menimbulkan beban tetap keuangan. Beban tetap keuangan yaitu bunga yang harus dibayar tanpa memperdulikan tingkat laba perusahaan. Adapun rasio pengelolaan utang dibagi menjadi tiga yaitu, rasio utang, rasio kemampuan membayar bunga atau Time Interest Earned (TIE), dan rasio kemampuan membayarkan beban tetap. 24 Perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, dalam hubungannya dengan leverage, sebaiknya menggunakan ekuitas sebagai sumber pembiayaannya agar tidak terjadi biaya keagenan (agency cost) antara pemegang saham dengan manajemen perusahaan, sebaliknya perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang rendah sebaiknya menggunakan hutang sebagai sumber pembiayaannya karena penggunaan hutang akan mengharuskan perusahaan tersebut membayar bunga secara teratur. Leverage keuangan menunjukkan dua hal penting. Dengan demikian dana melalui utang, pemilik dapat mempertahankan pengendalian atas perusahaan dengan investasi terbatas. Kreditor mensyaratkan adanya ekuitas atau dana yang disediakan oleh pemilik sebagai margin pengaman. Jika pemilik hanya menyediakan sebagian kecil dari pembiayaan total, maka risiko perusahaan dipikul terutama oleh kreditornya (Widanaputra dan Ratnadi, 2008). 2.1.8 Struktur Kepemilikan Struktur kepemilikan (ownership structure) merupakan persentase saham yang dimiliki oleh insider shareholder dan outsider holders. Menurut Edy Mas’ud (2003) struktur kepemilikan dapat dijelaskan dari dua sudut pandang yaitu pendekatan keagenan (agency approach) dan pendekatan ketidak seimbangan informasi (asymmetric information approach). Pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan sebagai sebuah instrument atau alat untuk mengurangi konflik kepentingan diantara berbagai pemegang klaim. Sedangkan pendekatan ketidakseimbangan informasi memandang mekanisme struktur kepemilikan sebagai 25 suatu cara untuk mengurangi ketidak seimbangan informasi antara insider dan outsider melalui pengungkapan informasi di pasar informasi di pasar modal. Menurut Kristya (2007:10) pemegang saham sebagai pemilik modal dapat dibedakan menjadi 3, diantaranya adalah: 1) Internal Ownership Adalah pemegang saham yang merupakan pihak insiders perusahaan yang ikut aktif dalam kegiatan operasional perusahaan seperti dewan direksi dan manajer. 2) Eksternal Ownership Adalah pemegang saham perorangan yang pasif dalam kegiatan operasional perusahaan di luar pihak insiders perusahaan. 3) Institution Ownership Adalah pemegang saham yang berbentuk institusi (perusahaan) yang pasif dalam kegiatan operasional perusahaan. Struktur kepemilikan perusahaan berbeda setiap negara. Kepemilikan yang menyebar (banyak pemilik dengan presentase kecil) hanya terjadi pada negara dengan perlindungan legal yang sangat baik terhadap pemilik. Sedangkan di negara dengan perlindungan negara yang buruk, kepemilikannya cenderung terkonsentrasi (sedikit pemilik dengan kepemilikan dalam jumlah besar). Bahkan dalam banyak kasus, kepemilikan perusahaan banyak dikendalikan oleh keluarga atau negara (Gunarsih, 2003). Pada kepemilikan menyebar, masalah perbedaan kepentingan utama yang terjadi, adalah antara kepentingan pemilik (pemegang saham) dan kepentingan 26 pengelola (manajemen). Permasalahan perbedaan kepentingan ini berbeda dengan perusahaan yang mempunyai struktur kepemilikan terkonsentrasi. Kepemilikan terkonsentrasi masalah utamanya yaitu perbedaan kepentingan antara pemilik mayoritas dan sebagai pengendali perusahaan dengan pemilik minoritas. 2.1.9 Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial adalah jumlah kepemilikan saham oleh pihak manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang dikelola (Gideon, 2005). Kepemilikan manajerial marupakan konsentrasi kepemilikan saham yang dimiliki oleh pihak manajemen (agen) dalam suatu perusahaan. Penelitian yang pernah dilakukan Jansen dan Meckling (1976) menunjukkan bahwa untuk meminimalkan konflik keagenan adalah dengan meningkatkan kepemilikan manajerial di dalam perusahaan. Ross et al (1999) menyatakan bahwa semakin besar kepemilikan manajemen dalam perusahaan maka manajemen akan cenderung berusaha meningkatkan kinerjanya untuk kepentingan pemegang saham dan kepentingannya sendiri. Besar kecilnya jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan adanya kesamaan (congruence) kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham (Faizal, 2004). Kepemilikan saham manajerial akan membantu penyatuan kepentingan antara manajer dan pemegang saham, sehingga manajer ikut merasakan secara langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan ikut pula menanggung kerugian dari pengambilan keputusan yang salah. 27 Penelitian Ross et al. (1999) dalam Prasetiyo (2010) menemukan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajemen, maka manajemen cenderung berusaha lebih giat untuk kepentingan pemegang saham untuk meningkatkan nilai perusahaan, salah satunya dengan menerapkan konservatisme akuntansi. Gideon (2005) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) mengatakan bahwa persentase tertentu kepemilikan saham oleh pihak manajemen cenderung mempengaruhi tindakan manajemen laba. 2.1.10 Hubungan Antara Kebijakan Dividen dengan Kos Keagenan Keputusan pembagian dividen ditentukan oleh pemegang saham melalui RUPS memberikan konsekuensi bahwa besar kecilnya dapat dijadikan oleh pemegang saham untuk mengendalikan manajemen. Hubungan keagenan antara pemilik perusahaan dengan manajemen menciptakan kesempatan bagi manajemen untuk mengejar tujuan pribadinya disamping memaksimalkan kesejahteraan pemilik. Penelitian yang meneliti tentang hubungan kebijakan dividen dengan kos keagenan diantaranya Schooley et al. (1994) menyatakan bahwa kebijakan dividen dan manajerial digunakan untuk menurunkan kos keagenan, dan Easterbrook (1984) berpendapat bahwa dividen memainkan peran dalam mengendalikan masalah keagenan ekuitas. Sedangkan Mollah et al (2000) juga berpendapat yang sama bahwa menurut hasil penelitiannya kebijakan dividen dan kepemilikan saham sebagai suatu yang saling berhubungan untuk mengurangi kos keagenan. Dengan memberikan kepemilikan saham bagi manajemen mungkin dapat mengurangi kos keagenan. 28 Pembayaran dividen menyebabkan jumlah dana yang dikelola perusahaan menjadi semakin kecil, demikian juga dengan memberikan kepemilikan saham menyebabkan manajemen tidak akan melakukan manipulasi karena disamping juga sebagai manajemen dia juga beroperasi sebagai pemilik perusahaan. Kedua kondisi tersebut akan dapat mengurangi besarnya kos keagenan. Hasil dari penelitian ini adalah kebijakan dividen dan kepemilikan saham berhubungan negatif dengan kos keagenan. Wei et al (2003) juga berpendapat demikian dimana terdapat korelasi negatif antara dividen per saham dengan kepemilikan saham. 2.1.11 Hubungan Antara Leverage dengan Kos Keagenan Kecenderungan para manajer untuk melakukan aktivitas hanya untuk kepentingan sendiri juga timbul karena para pemegang saham tidak mungkin dapat mengawasi seluruh aktivitas yang dilakukan oleh manajer. Untuk mengurangi agency conflict ini, para pemegang saham harus mengeluarkan biaya-biaya yang disebut dengan agency cost. Agency cost terdiri dari seluruh biaya yang membebani pemegang saham untuk mendorong manajer agar berusaha memaksimumkan harga saham perusahaan dari pada hanya bertindak untuk kepentingan pribadi saja. Menurut Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa salah satu cara untuk menengahi masalah keagenan adalah meningkatkan hutang. Argumen tersebut didukung oleh pernyataan bahwa dengan meningkatkannya hutang akan semakin kecil porsi saham yang akan dijual perusahaan dan semakin besar hutang perusahaan maka semakin kecil dana menganggur yang dapat dipakai perusahaan untuk dipakai perusahaan 29 untuk pengeluaran-pengeluaran yang kurang perlu. Semakin besar hutang maka perusahaan harus mencadangkan lebih banyak kas untuk membayar bunga serta pokok pinjaman. Mekanisme untuk mengurangi free cash flow ini oleh Jensen (1986) dikelompokan sebagai bonding, yaitu suatu mekanisme yang dipakai manajer untuk membuktikan bahwa mereka tidak akan menghamburkan dana perusahaan dan mereka tidak akan menghamburkan dana perusahaan dan mereka berani mengambil risiko kehilangan pekerjaan jika tidak bias mengelola perusahaan dengan serius. Disisi pemegang saham, kebijakan peningkatan hutang dapat mengurangi pengawasan terhadap manajemen karena pihak ketiga yang meminjamkan dana (bondholder) akan melakukan pengawasan terhadap manajemen agar pinjamannya tidak disalah gunakan. Dalam penelitian ini kebijakan hutang diproksikan dengan leverage. Leverage mengukur nilai dana yang dibiayai dari pinjaman pihak ketika. Sehingga hubungan leverage dengan kos keagenan adalah negatif yang berarti semakin tinggi leverage akan dapat menurunkan kos keagenan. 2.1.12 Hubungan Antara Kepemilikan Manajerial dengan Kos Keagenan Kecenderungan para manajer untuk melakukan aktivitas hanya untuk kepentingan sendiri timbul karena para pemegang saham tidak mungkin dapat mengawasi seluruh aktivitas yang dilakukan oleh manajer. Untuk mengurangi agency conflict ini, para pemegang saham harus mengeluarkan biaya-biaya yang disebut dengan agency cost. 30 Menurut Crutchley dan Hansen (1989) dalam Vivin (2005:16) untuk mengurangi agency cost ada dua cara yang dilakukan, salah satunya yaitu dengan meningkatkan kepemilikan manajerial saham manajer dalam perusahaan, sehingga terdapat persamaan kepentingan dengan pemegang saham. Besar kecilnya jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan adanya kesamaan (congruence) kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham. Perusahaan dengan jumlah kepemilikan saham yang besar seharusnya mempunyai konflik keagenan yang rendah dan agency cost yang rendah pula. Rozeff (1982) berpendapat bahwa kebijakan dividen dan kepemilikan saham manajerial adalah pengganti peralatan yang digunakan untuk mengurangi biaya agen. Konflik keagenan yang rendah dapat direflesikan dari rendahnya selling and general administrative (SGA) yang merupakan proksi dari beban operasi yang ditunjukkan dari rendahnya biaya audit (monitoring) yang timbul akibat monitoring kinerja manajer yang dilakukan oleh pemegang saham (prinsipal). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi agency cost ini adalah dengan meningkatkan kepemilikan dari saham (insider ownership) / kepemilikan manajerial. Dengan adanya kepemilikan manajerial yang tinggi diharapkan agency cost yang timbul akan semakin rendah. 2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Sebagai acuan dalam penelitian ini adalah penelitian sebelumnya antara lain: 1) Meryani (2008) meneliti variabel kepemilikan manajerial dan risiko sebagai variabel bebas dan kos keagenan sebagai variabel terikat. Objek 31 penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2000-2005. Analisis data yang digunakan adalah model persamaan regresi berganda dan melakukan pengujian asumsi klasik diantaranya, uji normalitas, multikolinearitas, autokorelasi, heteroskedastisitas serta linearitas. Hasil penelitian Meryani menunjukkan struktur risiko berpengaruh signifikan terhadap kos keagenan. Secara parsial kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap kos keagenan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode tahun 2000-2005. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Meryani adalah sama-sama menggunakan kepemilikan manajerial sebagai variabel bebas, menggunakan uji asumsi klasik dengan teknik analisis data, dan penelitian ini sama-sama menggunakan kos keagenan sebagai variabel terikat. Perbedaan dari kedua penelitian ini adalah dilihat dari periode penelitian, penelitian Meryani menggunakan tahun 2000-2005 sebagai periode penelitian, sedangkan penelitian ini menggunakan tahun 20082010. 2) Widanaputra dan Ratnadi (2008) menguji apakah kebijakan dividen, leverage, dan kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap kos keagenan. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kos keagenan sebagai variabel terikat, sedangkan kebijakan dividen, 32 leverage, dan kepemilikan manajerial sebagai variabel bebas. Objek dari penelitian ini yaitu perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa efek Jakarta pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2004. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda dengan modal ordinary least squares dan menggunakan pengujian asumsi klasik, diantaranya yaitu uji autokorelasi dan uji nonheteroskedastisitas. Hasil penelitian Widanaputra dan Ratnadi menunjukkan bahwa kebijakan dividen tidak berpengaruh secara statistik terhadap kos keagenan (agency cost), leverage berpengaruh negatif yang signifikan secara statistik terhadap kos keagenan (agency cost) dan agency cost pada perusahaan yang dikelola oleh manajer pemilik lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang dikelola manajer nonpemilik. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Widanaputra dan Ratnadi adalah menggunakan kos keagenan sebagai variabel terikat. Perbedaannya adalah pengunaan tahun yang berbeda, pada penelitian Widanaputra dan Ratnadi menggunakan tahun 2000-2004 sebagai periode penelitian, sedangkan penelitian ini menggunakan tahun 2008-2010 3) Paramartha (2009) meneliti variabel kos keagenan sebagai variabel terikat dan kebijakan dividen, risiko, leverage, dan kepemilikan institusional sebagai variabel bebas. Objek penelitian ini yaitu perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2006-2008. Teknik 33 analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda dan menggunakan pengujian asumsi klasik, diantaranya yaitu uji normalitas, uji heteroskedastisitas dan multikolinearitas. Hasil penelitian Paramartha menunjukkan bahwa kebijakan dividen, risiko, dan kepemilikan institusional tidak berpengaruh secara statistik terhadap kos keagenan, sedangkan leverage berpengaruh negatif terhadap kos keagenan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Paramartha adalah menggunakan kos keagenan sebagai variabel terikat. Perbedaannya adalah penelitian Paramartha menggunakan seluruh perusahaan yang terdaftar di BEI periode 2006-2008 sebagai objek penelitian, sedangkan penelitian ini hanya menggunakan perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2008-2010 2.3 Rumusan Hipotesis 2.3.1 Pengaruh kebijakan dividen terhadap kos keagenan Porta et al (1999) yang menyatakan bahwa dividen memegang peranan penting menyangkut masalah keagenan antara manajemen dan pemegang saham. Penentuan besarnya dividen merupakan salah satu alat yang digunakan oleh pemegang saham untuk mengendalikan jumlah dana yang berada di tangan manajemen. Dengan semakin kecil jumlah dana yang dipegang oleh manajemen dapat memperkecil pengawasan oleh pihak pemegang saham sehingga kos keagenan yang ditimbulkan semakin rendah. Beberapa penelitian dividen sebagai alat kontrol 34 dari pemegang saham untuk menemukan kos keagenan dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya Schooley et al. (1994), Faizal (2004). Utthavi (2007), Widanaputra dan Ratnadi (2008), serta Paramantha (2009). Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesis sebagai berikut: H1 : Kebijakan dividen berpengaruh negatif terhadap kos keagenan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). 2.3.2 Pengaruh leverage terhadap kos keagenan Menurut Jansen dan Meckling (1976) cara yang dapat dilakukan untuk menengahi permasalahan agensi adalah dengan meningkatkan hutang. Pernyataan bahwa dengan meningkatnya hutang akan semakin kecil porsi saham yang akan dijual perusahaan dan semakin besar hutang perusahaan maka semakin kecil dana menganggur yang dapat dipakai perusahaan untuk pengeluaran-pengeluaran yang kurang perlu. Crutchley dan Hansen (1989) menyatakan bahwa peningkatan hutang juga merupakan cara untuk mengurangi kos keagenan. Semakin besar hutang, maka perusahaan harus mencadangkan lebih banyak kas untuk membayar bunga serta pokok pinjaman sehingga akan memperkecil dana yang menganggur. Disisi pemegang saham, kebijakan peningkatan hutang dapat mengurangi pengawasan terhadap manajemen karena pihak ketiga yang meminjamkan dana (bond holder) akan melakukan pengawasan terhadap manajemen agar pinjamannya tidak disalahgunakan, sehingga nantinya akan mengurangi kos keagenan. 35 Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah: H2: Leverage berpengaruh negatif terhadap kos keagenan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa efek Indonesia (BEI). 2.3.3 Pengaruh kepemilikan manajerial terhadap kos keagenan Jensen dan Meckling (1976) berpendapat bahwa pemilik akan dapat meyakinkan dirinya bahwa agar akan membuat keputusan yang optimal bila diberikan insentif yang memadai. Salah satu caranya adalah dengan memberikan kepemilikan manajemen. Kos keagenan dalam suatu perusahaan yang dikelola oleh manajer pemilik akan lebih rendah karena ada kepentingan yang sama antara pemegang saham dan manajemen (Jensen dan meckling, 1979). Kondisi ini disebabkan oleh manajer pemilik tidak terlalu terbebani dengan kewajiban untuk mengatur laba (yang bersifat moral hazard). Crutchley dan Hansen (1989), Bathala, Moon, dan Rao (1994) menyimpulakan bahwa level kepemilikan manajerial yang lebih tinggi dapat digunakan untuk mengurangi masalah keagenan. Berdasarkan penjelaskan tersebut, maka hipotesis penelitian ini adalah: H3: Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap kos keagenan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) 36