BAB II HUKUM WAKALAH DALAM PRAKTEK DI BANK TABUNGAN NEGARA SYARI’AH CABANG BATAM A. Pengertian Wakalah Dalam Pandangan Hukum Islam Wakalah (Perwakilan), penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat atau power of attorney (bahasa lnggris) akad pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Praktek wakalah dalam lembaga keuangan syariah mengharuskan adanya, muwakil atau yang mrwakili, wakil dalam hal bank ini dan taukil atau objek atau wewenang yang diwakilkan. Sementara Al wakalah dalam fiqh Islam adalah penyerahan tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak yang berdasarkan pada definisi wakalah yaitu menyerahkan tugasnya atau urusannya kepada orang lain dan diserahkan tanggungjawabnya untuk bertindak bagi pihaknya. 30 Hikmah disyariatkan wakalah merupakan tugas asal tanggungjawab urusan seseorang yang terkadang tidak dapat meneruskan tugas itu oleh sebab keuzuran yang timbul pada pemberi kuasa dengan sebab-sebab dan urusan-urusan lain atau sakit sehingga berhalangan yang tidak dapat dihindari maka seseorang berhajat kepada orang lain yang boleh bertindak untuk menyempurnakan tanggung jawab tersebut maka terpaksa dia mewakilkan bagi pihak dirinya untuk faedah dan kebaikannya. Hukum berwakalah ada pada hukum syara’ adalah harus berdasarkan Al Qur’an dan sunnah. 30 Daeng Naja, Op.Cit, hal. 79. 27 Universitas Sumatera Utara 28 Sebagaiman Firman Alllah SWT dalam Surah Al Kahfi ayat 19 yang bermaksud : "Hendaklah kamu utuskan seorang daripada kamu ke bandar dengan membawa uang untuk membeli makanan."31 Diriwayatkan bahawa Rasullullah SAW telah mewakilkan Hakim bin Hazm membeli kambing untuk membuat qurban. Di riwayat dari Abdullah bin Jaafar r.a. berkata : Saidina Ali tidak pernah menghadir diri dalam perbicaraan berhubung dengan harta benda dan beliau mewakilkan Aqil r.a. bagi pihak dirinya. Maka atas aqad wakalah inilah kita menyediakan khidmat bagi pihak pelanggan untuk urusan jual beli dan amanah menjaga emas bagi pihak penyimpan emas. Elektronik dinar atau edinar hanyalah cara simpanan dan transaksi dinar emas. Masyarakat Islam sejak zaman awal Islam telah menggunakan al wakalah dalam urusan jual beli, terutamanya yang melibatkan urusan yang jauh, dimana seseorang tidak dapat menghadirkan dirinya akan mewakilkan urusannya kepada orang lain. Rasullulah SAW sendiri bertindak sebagai wakil Siti Khadijah dalam urusan jual beli sebelum baginda diangkat menjadi rasul. Pengertian lain tentang wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti menyerahkan atau mewakilkan urusan sedangkan wakalah adalah pekerjaan wakil32. Al-wakalah menurut istilah para ulama didefinisikan sebagai berikut : 31 32 Rachmadi Usman, Op cit, hal 268 Tim Kashiko, Kamus Arab-Indonesia, Kashiko, 2000, hal. 693. Universitas Sumatera Utara 29 a. Golongan Malikiyah : “Seseorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban) b. Golongan Hanafiyah : “Seseorang menempati diri orang lain dalam pengelolaan” c. Golongan Syafi’iyah : “Seseorang menyerahkan sesuatu kepada yang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya” d. Golongan Hambali : “permintaan ganti seseorang yang didalamnya terdapat penggantian hak Allah dan hak manusia” e. Ulama fiqh klasik Al-Dhimyati : “seseorang menyerahkan urusannya kepada yang lain yang didalamnya terdapat penggantian” f. Imam Taqy : “Seseorang yang menyerahkan hartanya untuk dikelola kepada orang lain ketika hidupnya”.33 Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud wakalah adalah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu dimana perwakilan tersebut berlaku selama yang mewakilkan masih hidup34. Wakalah dalam pengertian penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat juga terdapat dalam kata Al-hifzhu yang berarti pemeliharaan35. Karena itu penggunaan kata wakalah atau wikalah dianggap bermakna sama dengan hifzhun 33 Makalah, lzzudin Abdul Manaf, LC MA,Produk-produk syariah,peneliti STEI SEBI Dr. H. Hendi Suhendi, MSi, Fiqh Muamalah, Jakarta, Rajawali Press, hal. 233. 35 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah dalam Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani, 2008, hal. 120-121. 34 Universitas Sumatera Utara 30 (pemeliharaan), kata yang digunakan dalam pelaksanaan akad wakalah adalah wakalah, karena antara wakalah dan wikalah mempunyai pengertian yang sama.36 Yang menyebabkan Wakalah menjadi batal atau berakhir adalah: a.) Bila salah satu pihak yang berakad Wakalah itu tidak dalam kondisi sadar. b.) Bila maksud yang terkandung dalam akad Wakalah sudah selesai pelaksanaannya atau dihentikan. c.) Diputuskannya Wakalah tersebut oleh salah satu pihak yang berWakalah baik pihak pemberi kuasa ataupun pihak yang menerima kuasa. d.) Hilangnya kekuasaan atau hak pemberi kuasa atau sesuatu obyek yang dikuasakan. B. Praktek Akad Wakalah di Bank Tabungan Negara Syari’ah Cabang Batam Pada prinsipnya wakalah dalam praktek perbankan syariah terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang atau dalam hal pembiayaan. Hal ini juga berlaku di Bank Tabungan Negara Syari’ah Cabang Batam yang mana dalam pelaksanaannya tetap berpedoman pada Peraturan Bank lndonesia, Fatwa Majelis Ulama lndonesia dan Fatwa Dewan Syarian Nasional. Akan tetapi pada praktek akad wakalah di Bank Tabungan Negara Syariah Cabang Batam ada penyimpangan dalam hal pelaksanaan penandatanganan akad antara akad wakalah dan akad murabahah, serta adanya penyimpangan yaitu pihak bank hanya 36 H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Rajawali Press, Jakarta, hal. 233 Universitas Sumatera Utara 31 menyelipkan saja akad wakalah tanpa melakukan praktek yang sebenarnya sesuai anjuran Peraturan Bank Indonesia, Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Indonesia. Di dalam ketentuan hukum lslam jarak waktu penandatanganan akad antara wakalah dan murabahah terjadi tenggang waktu satu minggu, alasan adanya jarak waktu ini karena wakalah tidak bisa terjadi jika belum ada kesepakatan antara nasabah dan bank yang dalam hal ini bertindak sebagai penerima kuasa untuk membelikan suatu barang yang mana barang tersebut harus ada kesepakatan akan hal penambahan harga untuk penentuan margin/bagi hasil. Pelanggaran ini terjadi sebabkan kurangnya pengawasan dari Dewan Pengawas Syariah, Menurut Surat Keputusan Dewan Syariah Nasional dan Majelis Ulama Indonesia No.Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus Dewan Syariah Nasional dan Majelis Ulama Indonesia memberikan tugas kepada Dewan Pengawas Syariah untuk : 1. Pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah 2. Mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada Dewan Syarian Nasional 3. Melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada Dewan Syariah Nasional sekurang- kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran Universitas Sumatera Utara 32 4. Merumuskan permasalahan yang memerlukan pembahasan dengan Dewan Syariah Nasional. 5. Untuk melakukan pengawasan tersebut, anggota Dewan Pengawas Syariah harus memiliki kualifikasi keilmuan yang integral, yaitu ilmu fiqh muamalah dan ilmu ekonomi keuangan Islam modern. Kesalahan besar perbankan syari’ah saat ini adalah mengangkat Dewan Pengawas Syariah karena kharisma dan kepopulerannya di tengah masyarakat, bukan karena keilmuannya di bidang ekonomi dan perbankan syari’ah. Masih banyak anggota Dewan Pengawas Syariah yang belum mengerti tentang teknis perbankan dan Lembaga Keuangan Syariah, apalagi ilmu ekonomi keuangan Islam seperti akuntansi, akibatnya pengawasan dan peran-peran strategis lainnya sangat tidak optimal. Dewan Pengawas Syariah juga harus memahami ilmu yang terkait dengan perbankan syariah seperti ilmu ekonomi moneter misalnya, dampak bunga terhadap investasi, produksi, unemployment. Dampak bunga terhadap inflasi dan volatilitas currency, Dengan memahami ini, maka tidak ada lagi ulama yang menyamakan margin jual beli murabahah dengan bunga. Tetapi faktanya, masih banyak ulama yang tidak bisa membedakan margin murabahah dengan bunga, karena minimnya ilmu yang mereka miliki. Karena pengangkatan Dewan Pengawas Syariah bukan didasarkan pada keilmuannya, maka sudah bisa dipastikan, fungsi pengawasan Dewan Pengawas Syariah tidak optimal, akibatnya penyimpangan dan praktek syariah menjadi hal yang mungkin dan sering Universitas Sumatera Utara 33 terjadi. Sehingga perbankan syariah sangat rentan terhadap kesalahan-kesalahan yang bersifat syar’ah. Tuntutan target, tingkat keuntungan yang lebih baik, serta penilaian kinerja pada setiap cabang bank syari’ah, yang masih dominan didasarkan atas kinerja keuangan, akan dapat mendorong para pimpinan dan praktisi yang bisa melanggar ketentuan syari’ah. Hal ini akan semakin rentan terjadi pada bank syari’ah dengan tingkat pengawasan syariah yang rendah. Oleh karena itu masih banyak ditemukannya pelanggaran aspek syari’ah yang dilakukan oleh lembaga-lembaga perbankan syariah, khususnya perbankan yang konversi ke syariah atau membuka unit usaha syariah. Sering kali kasus-kasus yang menyimpang dari syar’ah Islam di bank syari’ah, lebih dahulu diketahui oleh Bank Indonesia daripada oleh Dewan Pengawa Syariah, sehingga Dewan Pengawas Syari’ah baru mengetahui adanya penyimpangan syari’ah setelah mendapat informasi dari Bank Indonesia. Demikianlah lemahnya pengawasan Dewan Pengawas Syariah di bank-bank syari’ah. Bank syariah harus menyadari bila mereka sering mengabaikan kepatuhan prinsip syariah, mereka akan menghadapi risiko reputasi (reputation-risk) yang bermuara pada kekecewaan masyarakat dan sekaligus merusak citra lembaga perbankan syari’ah. Bank Indonesia selalu menyampaikan banyaknya indikasi Universitas Sumatera Utara 34 pelanggaran syari’ah yang dilakukan oleh lembaga perbankan syari’ah dalam praktek operasionalnya.37 Dari indikator pengawasan dan pemeriksaan yang dilaporkan Bank Indonesia, masih ditemui berbagai sistem operasional bank syariah yang belum sesuai dengan prinsip kepatuhan pada nilai-nilai syariah.38 Bank Syariah seharusnya segera meluruskan pihak manajemen bank syariah terkait. Sejak dini Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) dan pengawas bank syari’ah, harus meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di bank syari’ah. Hal ini penting agar bank syari’ah tidak menjadi bank yang bermasalah. Khusus terhadap prinsip-prinsip syari’ah, bankir syari’ah harus sepenuhnya konsisten terhadap penerapan prinsip-prinsip syari’ah, karena umumnya di dunia ini kegagalan bank syari’ah dapat terjadi, karena ketidak-konsistenan dalam menjalankan prinsip syari’ah. Peran DPS sangat menentukan dalam mengawasi operasi bank syari’ah agar tetap memenuhi prinsip-prinsip syari’ah. DPS harus secara aktif dan rutin melakukan pengawasan terhadap bank syari’ah. Kelangkaan ulama integratif sebagaimana disebut di atas, bahwa DPS harus menguasai fiqh mu’amalah bersama perangkatnya (ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh, tafsir dan hadits ekonomi), juga harus menguasai ilmu ekonomi keuangan dan perbankan Islam modern. Tapi kenyataannnya persyaratan tersebut sangat sulit 37 sumber : http://blog.umy.ac.id/rodes2008/peran-dan-fungsi-dewan-pengawas-syariah-dps/ Topik : Peran dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah Tautan http://www.gudangmateri.com/2011/01/ peran- dan-fungsi-dewan-pengawas-syariah.html. 38 Seminar Bank lndonesia dalam hal pengawasan bank syariah di Hotel mulya Jakarta oleh Deputi Bank Indonesia Maulana lbrahim. Universitas Sumatera Utara 35 diwujudkan, karena kita kekurangan ulama yang memahami kedua disiplin keilmuan tersebut sekaligus. Fenomena itu tidak saja di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Dalam lembaga DPS bank syariah misalnya, harus mengetahui konsep dan mekanisme operasional perbankan syari’ah, struktur dan terminologi bank dan LKS, legal documentation, mengatahui dasar-dasar akuntansi sehingga bisa membaca laporan keuangan, dan tentu saja pemahaman yang baik tentang fikih muamalah . Karena itu Yasaar sebagai lembaga yang khusus menangani shariah board mulai merekrut ulama muda potensial yang menguasai ilmu ekonomi keuangan. Dengan ilmu yang integral tersebut pengawasan bisa lebih optimal dan mereka bisa merumuskan menetapkan serta pembuatan fatwa hukum ekonomi syari’ah di Indonesia, ulama muda potensial dapat direkrut di program Doktor Ekonomi Ekonomi Islam yang mulai tumbuh dan berkembang di berbagai Perguruan Tinggi. Keunggulan mereka ini adalah dikarenakan para Doktor Ekonomi memiliki dua keahlian keilmuan sekaligus, yaitu pertama, fiqih mumalah, ushul fiqh, qawaid fiqh serta ayat dan hadits ekonomi dan kedua, mereka juga mengerti tentang praktek perbankan dan LKS yang disertai bekal ilmu ekonomi keuangan modern, sehingga mereka bisa melakukan pengawasan dengan baik, bukan sekedar pajangan kharisma. Universitas Sumatera Utara 36 C. Perbedaan Akad Pembiayaan Kredit Kepemilikan Rumah di Bank Syari’ah dan Bank Konvensional 1. Akad Pembiayaan KPR di Bank Syariah Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah Islam adalah bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam.39 Sebagaimana bank konvensional, bank syariah memiliki fungsi sebagai intermediasi yang menjembatani para penabung dan investor. Hubungan antara bank syariah dengan nasabah lebih bersifat partner dari pada lender atau borrower, sehingga bank ini dapat bertindak sebagai pembeli, penjual, atau pihak yang menyewakan. Produk yang ditawarkan bank syariah sangat bervariasi dengan prinsip saling menguntungkan (fairness) dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan. Produk yang ditawarkan bank syariah berupa pengerahan dana masyarakat, penyaluran dan jasa perbankan lainnya.40 Produk pembiayaan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) yang digunakan dalam perbankan syari’ah memiliki berbagai macam perbedaan dengan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) di perbankan konvensional. Hal ini merupakan implikasi dari perbedaan prinsipal yang diterapakan perbankan syari’ah dan perbankan 39 Edy Wibowo, Untung Hendy Widodo, Mengapa Memilih Bank Syariah, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hal. 87. 40 Ahmad Ramzy Tadjoeddin, et.al, Berbagai Aspek Ekonomi Islam, Tiara Wacana dan P3EI UII, Yogyakarta, 1992, hal. 167-170. Universitas Sumatera Utara 37 konvensional, yaitu konsep bagi hasil dan kerugian (profit and loss sharing) sebagai pengganti sistem bunga perbankan konvensional. Dalam produk pembiayaan kepemilikan rumah ini, terdapat beberapa perbedaan antara perbankan syari’ah dan perbankan konvensional, di antaranya adalah pemberlakuan sistem kredit dan sistem mark up, kebolehan dan ketidakbolehan tawar menawar (bargaining position) antara nasabah dengan bank, prosedur pembiayaan dan lain sebagainya. Dari segi pengistilahan, untuk produk pembiayaan pemilikan rumah, perlu dipikirkan suatu bentuk pengistilahan yang relevan. Karena istilah KPR cenderung memunculkan asumsi terjadinya kredit, padahal dalam perbankan syari’ah tidak menggunakan sistem kredit. Untuk menghindari hal itu (tetapi tetap menggunakan istilah KPR), beberapa bank syari’ah (seperti BTN Syari’ah) memaknai KPR dengan ”Kebutuhan Pemilikan Rumah“. Dalam menjalankan produk KPR, bank syari’ah memadukan dan menggali skim-skim transaksi yang dibolehkan dalam Islam dengan operasional Kredit Kepemilikan Rumah (KPR)perbankan konvensional. Adapun skim yang banyak digunakan oleh perbankan syari’ah di Indonesia dalam menjalankan produk pembiayaan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) adalah skim murabahah, istisna’ dan ijaroh, khususnya ijarah muntahiya bi tamlik (IMBT).41 41 Helmi Haris, Pembiayaan Kepemilikan Rumah (Sebuah Inovasi Pembiayaan Perbankan Syari’ah), Jurnal Ekonomi Islam, Vol. I Nomor.1, Juli 2007, hal. 4. Universitas Sumatera Utara 38 Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Syariah menggunakan sistem berbasis murabahah (jual beli). Secara etimologi, murabahah berasal dari kata ribh, yang berarti keuntungan.42 Sedangkan dalam pengertian terminologis, murabahah adalah jual beli barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati antara penjual dengan pembeli.43 Dengan mengacu pada skim murabahah, dapat disimpulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi KPR Syari’ah adalah sebagai berikut:44 1. Pihak bank harus memberitahukan biaya pembelian rumah kepada nasabah KPR Syari’ah. 2. Kontrak transaksi KPR Syari’ah ini haruslah sah. 3. Kontrak tersebut harus terbebas dari riba 4. Pihak bank syari‘ah harus memberikan kejelasan tentang rumah yang dijadikan obyek transaksi KPR Syari‘ah. 5. Penjual harus menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan proses perolehan barang tersebut. Sedangkan persyaratan yang ditetapkan oleh Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) tentang aplikasi murabahah dalam perbankan syari’ah, yaitu: 1. Bank dan nasabah harus mengadakan akad murabahah yang bebas riba. 2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh Syari‘at Islam. 3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pemberian barang yang telah disepakati kualitasnya. 42 Abdullah al-Muslih & Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Daarul Haq, Jakarta, 2004, hal. 198. 43 Adiwarman A. Karim, Bank Islam; Analisis Fiqih dan Keuangan, IIIT Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 161. 44 Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah ; Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, hal. 102. Universitas Sumatera Utara 39 4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, bukan atas nama pembeli atau nasabah dan pembelian ini harus sah dan bebas dari riba. 5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya, jika pembelian dilakukan secara hutang. 6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pesanan) dengan harga jual senilai harga perolehan (harga beli ditambah dengan pajak pertambahan nilai/ PPN, biaya angkut dan biaya lain yang terkait dengan pembelian) ditambah dengan keuntungan. Dalam kaitan ini, bank harus memberitahukan secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. 7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati. 8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian secara khusus dengan nasabah. 9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang sendiri dari pihak ketiga, maka akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.45 Sedangkan ketentuan murabahah kepada nasabah yang diawali dengan akad wakalah antara lain : 45 Majelis Ulama’ Indonesia, Himpunan Fatwa-Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, DSN MUI bekerjasama dengan Bank Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 17. Universitas Sumatera Utara 40 1). Nasabah mengajukan permohonan secara murabahah kepada bank. Jika bank setuju, maka akan diterbitkan offering letter kepada nasabah. Jika nasabah setuju pembelian barang dilakukannya sendiri secara wakalah atas nama bank, maka nasabah harus mengembalikan surat penawaran tersebut kepada bank. 2). Dalam surat penawaran, bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. 3). Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu asset yang dipesannya secara sah dari pedagang yang bonafide sesuai dengan syarat-syarat dalam perjanjian. 4). Bank kemudian menawarkan asset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli. 5). Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut karena barang tidak sesuai, bank menanggung biaya risiko. Dan apabila nasabah menolak membeli barang tersebut padahal barang sudah sesuai dengan pesanan, maka biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut. 6). Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah. 7). Jika kontrak jual beli menggunakan uang muka atau memakai sistem kontrak (urbun) sebagai altematif maka : Universitas Sumatera Utara 41 a.) Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga. b.) Jika nasabah batal membeli barang tersebut, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya. Dan jika lebih, Bank wajib mengembalikan sisa uang muka tersebut. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang, antara lain dalam bentuk barang yang telah dibeli dari bank. Secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan hutangnya kepada bank. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya. Akan tetapi, jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan hutangnya sesuai kesepakatan awal. la tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan. Ketentuan diskon dalam murabahah ditentukan bahwa harga (tsaman) dalam jual beli adalah suatu jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik sama dengan nilai (qimah) benda yang menjadi obyek jual beli, lebih tinggi maupun lebih Universitas Sumatera Utara 42 rendah. Harga dalam jual beli murabahah adalah harga beli dan biaya yang diperlukan ditambah keuntungan sesuai dengan kesepakatan. Jika dalam jual beli murabahah bank mendapat diskon dari supplier, harga sebenarnya adalah harga setelah diskon, karena itu diskon adalah hak nasabah. Akan tetapi, jika pemberian diskon terjadi setelah akad, pembagian diskon tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian (persetujuan) yang dimuat dalam akad. Pembagian diskon setelah akad hendaklah diperjanjikan dan ditandatangani. Didalam akad murabahah, mengenai ketentuan penundaan pembayaran, nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya. Apabila nasabah tidak dapat memenuhi atau menyelesaikan hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan, bank berhak mengenakan denda kecuali jika dapat dibuktikan bahwa nasabah tidak mampu melunasi. Besarnya denda sesuai dengan yang diperjanjikan dalam akad dan dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana social (qardhul hasan). Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam murabahah mengikat tidak dapat dibatalkan. Apabila aktiva murabahah yang telah dibeli bank dalam transaksi murabahah mengikat sebelum diserahkan kepada pembeli mengalami penurunan nilai maka penurunan nilai tersebut menjadi beban penjual. Dalam murabahah juga Universitas Sumatera Utara 43 diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara pembayaran yang berbeda. Bank dapat memberikan muqashah (potongan) apabila nasabah mempercepat pembayaran cicilan, atau melunasi piutang murabahah sebelum jatuh tempo. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Jadi didalam akad bank syari’ah, hubungan antara bank dengan nasabah adalah hubungan kemitraan, artinya adanya transparansi atas kegunaan uang yang dipakai tersebut. Hal ini didasarkan pada Hadist Nabi saw, yang mengatakan bahwa setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat adalah riba, sedangkan para ulama sepakat bahwa riba itu haram. Karena itu dalam perbankan syari’ah, pinjaman tidak disebut dengan kredit, tapi pembiayaan (financing), dengan kata lain bahwa nasabah tidak secara langsung menerima uang dari pihak bank, melainkan banklah yang membayarkan uang tersebut kepada pengembang sebagai supplier. Nasabah diwajibkan untuk membayar harga, yang telah disepakati dengan pihak bank, secara mencicil. Kesepakatan harga (yang didalamnya sudah terkandung mark up) ini tidak berubah sampai berakhirnya kontrak. Pada Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) bank syari’ah, akad yang dipakai adalah nasabah dan bank berkongsi dalam pengadaan suatu barang. Untuk membeli rumah tersebut, nasabah harus membayar kepada bank sebesar jumlah yang dimiliki oleh bank, karena pembayarannya dilakukan secara angsuran, penuruan porsi kepemilikan bank pun berkurang secara proporsional sesuai besarnya angsuran. Universitas Sumatera Utara 44 Barang yang telah dibeli secara kongsi tersebut baru akan menjadi milik nasabah setelah porsi nasabah menjadi seratus persen dan bank nol persen. Dalam syari’ah Islam, barang milik perkongsian bisa disewakan kepada siapapun, termasuk kepada anggota perkongsian itu sendiri, dalam hal ini adalah nasabah. Dengan merujuk pada skim murabahah, penentuan harga atau keuntungan dan angsuran dalam KPR Syari’ah haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan berikut:46 1). Keuntungan atau mark-up yang diminta bank harus diketahui oleh nasabah. 2). Harga jual bank adalah harga beli (harga perolehan) bank ditambah keuntungan. 3). Harga jual tidak boleh berubah selama masa perjanjian. 4). Sistem pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama. 2. Akad Pembiayaan KPR di Bank Konvensional Pengertian Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa lalu lintas pembayaran, Usaha Bank Umum Konvensional menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, serta sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu memberikan kredit, 46 Ibid. Universitas Sumatera Utara 45 menerbitkan surat pengakuan hutang, berjangka pendek dan berjangka panjang berupa obligasi atau sekuritas kredit.47 Kegiatan umum lain bank konvensional sebagai berikut : 1). Investasi yang halal dan haram. 2). Memakai perangkat bunga. 3). Profit oriented 4). Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur. 5). Tidak terdapat dewan sejenis. 6). Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah diantaranya memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference). Dilain pihak kepentingan pemakai dana (debitor) adalah memperoleh tingkat bunga yang rendah (biaya murah). Dengan demikian terhadap ketiga kepentingan dari tiga pihak tersebut terjadi antagonisme yang sulit diharmoniskan. Dalam hal ini bank konvensional berfungsi sebagai lembaga perantara saja. 7). Tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang. 47 Julius R Latumaerissa, Bank dan Lembaga Keuangan lain, Salemba Empat, Jakarta, 2011, hal.135. Universitas Sumatera Utara 46 8). Sistem bunga: Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank. Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik. Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. Pelaksanaan pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) pada bank konvensional dan bank unit syariah berdasarkan prinsip kehati-hatian memiliki perbedaan dalam hal : a. Perjanjian, b. Jangka waktu, c. Ketentuan biaya d. Perhitungan bunga atau bagi hasil. Persamaan yang ada di Bank Syariah dan Bank Konvensional adalah : a. Syarat pelaksanaan pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR), b. Jaminan, c. Pelaksanaan pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Flowchart d. pelaksanaan pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Sedangkan perbedaan pelaksanaan pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) pada bank konvensional adalah system perhitungan angsuran, dimana pada bank Universitas Sumatera Utara 47 konvensional terkenal dengan system bunga. Sedangkan pada bank unit syariah lebih terkenal system angsuran dengan bagi hasil, dimana kedua belah pihak mengadakan perjanjian sesuai dengan akad Murabahah atau akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik (IMBT). Selain itu, penelitian ini pun membahas tentang permasalahan pelaksanaan pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) pada bank kovensional dan bank unit syariah yang dihadapin oleh Bank Tabungan Negara Syariah cabang Batam , antara lain : 1. Nasabah 2. Masalah jaminan 3. Terjadinya kredit macet Dengan demikian, dalam melakukan pelaksanaan pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) pada bank kovensional dan bank unit syariah haruslah berdasarkan prinsip kehati-hatian karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan : 1. Kecukupan modal 2. Kualitas aset 3. Kualitas manajemen 4. Likuidasi 5. Rentabilitas 6. Rolvabilitas Universitas Sumatera Utara 48 Sesuai dengan peraturan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang unit syariah adalah Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam KPR perbankan konvensional, sistem yang digunakan adalah kredit, sehingga nasabah menerima langsung sejumlah uang dari bank yang kemudian dibayarkan oleh nasabah kepada pengembang perumahan. Jadi hubungan yang terjadi antara pihak bank dengan nasabah adalah hubungan hutang piutang. Nasabah harus membayar kepada pihak bank dengan cara mengangsur dengan melihat pada rate suku bunga pasar. Dalam konteks ini, cost akan meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Karena waktu memiliki harga tersendiri, maka setiap perpanjangan waktu akan menaikkan harga. Jadi dengan ditundanya masa pembayaran selama sekian waktu, maka secara tidak langsung orang yang berhutang harus membayar uang tambahan pengembalian pada pihak bank. Universitas Sumatera Utara