Suplementsi Kromiun Pikolinat Murni Dalam

advertisement
4
TINJAUAN PUSTAKA
Mineral Kromium
Kromium merupakan mineral yang tergolong dalam unsur transisi yang
mempunyai bilangan oksidasi 0; 2+; 3+; 4+ dan 6+, namun umumnya bervalensi tiga
merupakan bentuk yang stabil (Stoecker 1990). Kromium bervalensi empat bersifat
toksit, tetapi dalam saluran pencernaan dapat ditransformasikan menjadi bentuk
bervalensi tiga (Wenk 1995).
Kromium pertama kali ditemukan oleh ahli kimia Perancis bernama Vaugel
pada tahun 1797 ketika menyelidiki batu-batuan yang kaya akan lead chromate.
Namun kromium diambil dari nama Yunani chroma yang artinya warna, karena
unsur ini berada dalam beberapa warna yang berbeda. Komponen ini telah lama
digunakan untuk mewarnai dan menyamak kulit. Pada tahun 1900 kromium
merupakan bahan yang penting sebagai pelindung logam dari korosi dan terus
digunakan hingga kini (Ensminger et al. 1990). Mineral kromium pertama kali
dilaporkan sebagai mineral jarang esensial pada tahun 1959 (Mc Donald at al.
1988).
Menurut Anderson dan Kozlovsky (1988) penyerapan kromium dalam bentuk
organik 5-10 kali lebih baik dibandingkan dengan kromium klorida (hanya 2-3%).
Linder (1992) melaporkan bahwa, kemungkinan sistim pengangkutan kromium
adalah, setelah diserap, kromium diangkut pada protein pengangkut Fe (iron carrier
protein) dari plasma darah, yakni transferin. Tidak diketahui apakah faktor glukosa
yang diserap melalui usus akan masuk ke dalam darah tanpa perubahan bentuk
atau juga terikat dengan transferin. Dari usus, hampir semua kromium masuk ke
dalam hati dan akan digabungkan ke dalam faktor toleransi glukosa.
Sejumlah
faktor toleransi glukosa tertentu disekresi ke dalam plasma dan akan tersedia untuk
membantu aktivitas insulin.
Kalau kadar gula darah meningkat, insulin akan
disekresi dan peningkatan insulin akan meningkatkan aliran faktor toleran glukosa
atau kromium ke dalam plasma.
Faktor toleran glukosa akan meningkatkan
pengaruh insulin yang disekresi tersebut dan kemudian keluar melalui urin.
Akhir-akhir ini muncul produksi kromium pikolinat dan kromium nikotinat.
Asam pikolinat dan asam nikotinat keduanya merupakan isomer yang hanya
berbeda pada posisi penempelan asam karboksilat pada cincin piridin. Pada asam
pikolinat gugus karboksil menempel pada posisi tiga sedangkan asam nikotinat pada
5
posisi dua. Kedua bentuk tersebut sama efektifnya. Pada keadaan alami kromium
berikatan dengan asam nikotinat sehingga kromium yang berasal dari ragi (nikotinat)
lebih disukai karena sifat alaminya.
Menurut Linder (1992) defisiensi kromium dapat menyebabkan hiperkoles
terolemia. Mekanisme interaksi kromium dan metabolisme kolesterol belum jelas,
walaupun suplementasi dengan preparat kromium aktif dapat menurunkan kadar
kolesterol plasma ataupun serum darah. Hal ini mungkin disebabkan oleh
pengaruhnya dalam menghambat reduktase hidroksimetilglutaril coenzim-A dari hati
yang analog dengan aktifitas vanadium. Tetapi pada percobaan in-vitro, pengaruh
kromium dapat meransang atau menghambat, tergantung pada konsentrasinya
(Underwood & Suttle 1977). Menurut Merkel (1990) kromium tersebar diseluruh
jaringan tubuh dengan konsentrasi yang rendah. Selanjutnya dikatakan bahwa
konsentrasi tertinggi adalah waktu lahir dan menurun sesuai dengan pertambahan
umur.
Berdasarkan hasil penelitian Lindemann (1966) defisiensi kromium pada
tikus akan menunjukan tanda-tanda sebagai berikut : (1) tidak mampu
memetabolisme karbohidrat secara normal, (2) menurunkan sensitifitas jaringan
perifer terhadap insulin, (3) mengganggu metabolisme protein, (4) mengurangi laju
pertumbuhan, (5) umur lebih pendek, (6) meningkatkan kolesterol serum darah,
(7) meningkatkan sumbatan pada aorta, (8) luka pada selapat bening dan (9)
mengurangi jumlah sperma dan fertilitas. Setelah penyuntikan kromium pada tikus,
konsentrasi puncak dalam darah tercapai satu jam kemudian dan kadarnya menurun
secara logaritmis hingga konsentrasi 20% dalam waktu 24 jam. Umumnya kromium
terakumulasi pada limpa, tulang, pangkreas, ginjal dan hati (Stoecker 1990).
Hasil penelitian dari Brasil memperlihatkan bahwa suplementasi kromium
ragi 0.4 ppm pada ayam broiler sangat nyata menurunkan persentase lemak daging
bagian dada dan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan (Hossain 1955). Pangan
et al. (1995) melaporkan bahwa suplementasi kromium pada kuda pacu
berpengaruh positif tehadap respon metabolisme ketika periode latihan berat pada
kecepatan tinggi. Suplementasi kromiun sangat nyata menurunkan kadar glukosa
laktat, kortisol dan meningkatkan trigliserida dalam plasma darah. Selanjutnya hasil
kurva menunjukan bahwa penggunaan energi lebih efisien pada suplementasi
kromium.
6
Peranan Kromium dalam Sistim Transpor dan Metabolisme Nutrisi
Kromium (Cr) dikenal merupakan mineral esensial sejak tahun 1959.
Schwartz dan Mertz (1959) adalah orang pertama yang menemukan bahwa yeast
mengandung suatu substansi yang mampu meningkatkan pengambilan glukosa dan
meningkatkan potensi aktivitas insulin. Substansi ini kemudian diketahui sebagai
faktor toleransi glukosa (Glucosa Tolerance Factor, GTF). Struktur GTF tersusun
dari komplek antara Cr3+ dengan 2 molekul asam nikotinat dan 3 asam amino yang
terkandung dalam glutation yaitu glutamat, glisin dan sistein (Linder 1992) seperti
diperlihatkan pada Gambar 1.
COOH
N
Glisin
Glutamat
atau Glisin
Cr
3+
Sistein
HOOC
Gambar 1 Struktur Faktor Toleransi Glucosa (Linder 1992).
Di dalam struktur GTF, kromium adalah komponen aktifnya, sehingga tanpa
adanya kromium pada pusat atau intinya, GTF tidak dapat bekerja mempengaruhi
insulin (Burton 1995). Anderson dan Kozlovsky (1988) menyatakan kerja GTF pada
sistim transpor glukosa dan asam amino adalah meningkatkan pengikatan insulin
dengan reseptor spesifiknya pada organ target.
Saat insulin mengikat reseptor
spesifiknya, pengambilan seluler glukosa dan asam amino dipermudah, dalam hal ini
fungsi GTF adalah meningkatkan efektifitas potensi insulin.
7
Saner (1980) berpendapat bahwa fungsi GTF sebenarnya lebih terpusat
pada sel target. Pendapat ini sesuai dengan pernyataan Linder (1992) bahwa kerja
GTF dalam transport gula pada sel ragi tidak bergantung pada kehadiran insulin.
Pada sel kelenjer ambing hewan ruminansia pengambilan glukosa ditentukan oleh
insulin (Collier 1985; Mc Guire et al. 1995; Manalu 1999),
namun insulin sangat
dibutuhkan untuk pengambilan asam amino khususnya asam aspartat, valin,
isoleusin, leusin dan tirosin (Laarveld et al. 1981).
Hasil penelitian Fleet dan
Mepham (1985) mendapatkan bahwa selain asam amino diatas, asam amino lain
yang mengambil selulernya ke dalam sel kelenjer ambing meningkat oleh perlakuan
infusi insulin adalah metionin, lisin, asam glutamat, treonin, asparagin dan serin.
Yang et al. (1996) menyatakan bahwa suplementasi kromium dapat
meningkatkan pengambilan glukosa pada sel kelenjer ambing dengan cara
mengurangi jumlah reseptor pada sel hati dan jaringan perifer sehingga
sensitifitasnya terhadap insulin menurun.
Pendapat ini didukung hasil penelitian
Subiyatno et al. (1996) bahwa suplementasi kromium meningkatkan ratio insulin
atau glukosa, sementara konsentrasi IGF-I (Insulin Like Growth Factor I) meningkat.
Manalu (1994) menghimpun beberapa hasil penelitian tentang pengaruh IGF-I pada
produksi
susu
mendapatkan
bahwa
hormon
tersebut
berpengaruh
pada
pertumbuhan sel kelenjer ambing dan perkembangan sistim transport glukosa pada
sel tersebut.
Ditambahkan IGF-I bekerja secara langsung pada epithelium sel
kelenjer susu untuk meningkatkan sintesa susu. Mc Carty (1993) menduga bahwa
kromium dapat meningkatkan aktivitas reseptor IGF-I yang fungsi dan strukturnya
sama dengan reseptor hormon insulin.
Spears (1999) yang menghimpun beberapa hasil penelitian tentang peranan
kromium dalam sistim kekebalan menyimpulkan bahwa kromium berpengaruh baik
pada pembentukan sistim kekebalan hormonal (HI) maupun kekebalan yang
diperantarai oleh sel (CMI).
Dalam kekebalan hormonal suplementasi kromium
meningkatkan produksi antibodi atau imunoglobin (Igs), sedangkan dalam CMI
suplementasi kromium menyebabkan peningkatan respon blastogenik (lymphocit
blastogenesis) terhadap imunostimulan.
Sohn et al. (2000) menyatakan bahwa
peningkatan produktifitas antibodi adalah sebagai akibat penurunan konsentrasi
kortisol dan kekurangan energi dari pakan.
Hormon ini bekerja meningkatan
glukogenesis pada saat ternak dalam kondisi stres.
Proses glukogenesis akan
menekan sintesis protein dalam hati sehingga sintesis antibodi juga ditekan.
8
Dengan kata lain hormon kortisol bekerja berlawanan dengan terbantuknya sistim
kekebalan dalam tubuh ternak.
Myers et al. (1997) menyatakan bahwa kromuim dapat memodulasi produksi
sitokin (cytokine).
Menurut
Ganong (1995)
salah satu sitokin penting yang
dihasilkan limfosit T4 adalah interleukin (IL), yaitu IL-2 yang mempengaruhi
proliferasi sel T8 dan IL-4 yang bekerja mempengaruhi proliferasi dan deferensiasi
limfosit B. Pada pemeriksaan sel darah limfosit T dan B akan terukur sebagai
leukosit total, sehingga pada kondisi terinfeksi konsentrasi leukosit total akan
mengikat.
Kebutuhan dan Bentuk Suplemen Kromium dalam Pakan
Kebutuhan kromium pada ternak belum diketahui dengan pasti. Pada kondisi
stres kebutuhan kromium akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh mobilisasi
cadangan kromium dalam tubuh akibat peningkatan mobilitas cadangan glukosa
jaringan perifer untuk mencukupi kebutuhan glukosa pada otak, yang selanjutnya
sebagian kromium itu akan hilang melalui urine (Burton 1995). Selama kebuntingan
dan laktasi kebutuhan kromium juga meningkat, hal ini karena pada saat tersebut
mengalami stres akibat perubahan fisiologis, fisik dan metabolik (Yang et al. 1996).
Meskipun konsentrasi kromium dalam tubuh relatif kecil, toleransinya dalam
pakan cukup besar yaitu 3000 ppm dalam bentuk Cr2O3 dan 1000 ppm dalam
bentuk CrCl3 (NRC 1988). Efectivitas suplementasi kromium selain tergantung pada
jenis ternak juga tergantung pada kondisi fisiologis dan bentuk kromium yang
digunakan.
Komplek organik kromium terdapat dalam bentuk kromium chelate, kromium
proteinat ragi (high Cr yeast) dan kromium pikolinat. Kromium pikolinat terbentuk
dari Cr3+ yang mengikat 3 molekul asam pikolinat. Asam pikolinat adalah metabolit
sekunder yang dihasilkan pada metabolisme triptopan sebelum membentuk niasin
atau asam nikotinat (West & Todd 1961; Combs 1992; Groff & Gropper 2000).
Pengaruh Suplementasi Kromium Terhadap Produksi Ternak
Page et al. (1993) yang meneliti tentang suplementasi kromium pada babi
sedang tumbuh mendapatkan bahwa kromium pikolinat sebanyak 0.2 ppm
meningkatkan pertambahan bobot badan (0.87 kg/hr) lebih tinggi dibandingkan
kontrol (0.81 kg/hr). Hasil yang sama diperoleh Cho et al. (2000) yang memberikan
9
kromium pikolinat 0.05% BK ransum pada babi lepas sapih, menghasilkan retensi N
dan pertambahan bobot badan (74.88% dan 294.4 g/hari) lebih tinggi dibanding
kontrol (67.12% dan 281.6 g/hari).
Pertambahan bobot badan yang tinggi pada penelitian tersebut diatas
menggambarkan terjadinya peningkatan síntesis protein dan lemak pada jaringan
perifer akibat meningkatnya pengambilan asam amino dan glukosa oleh efektivitas
kerja insulin akibat adanya kromium. Namun demikian suplementasi kromium pada
kondisi laktasi berpengaruh menurunkan sensitifitas jaringan perifer terhadap insulin
sehingga asam amino dan glukosa dialirkan ke dalam sel kelenjer ambing untuk
produksi susu.
Fenomena di atas dibuktikan oleh hasil penelitian Yang et al. (1996) pada
sapi perah laktasi bahwa suplementasi kromium chelate sebesar 5 mg kromium per
hari menghasilkan peningkatan produksi susu sebesar 13.2% (27.5 vs 24.3 kg/hari).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa suplementasi kromium juga meningkatkan konsumsi
bahan kering sebesar 15% (13.76 vs 11.93 kg/hari), mengubah resistensi insulin
pada sel kelenjer ambing, menurunkan kejadian milk fever dan heat edema.
Penelitian senada yang dilakukan oleh Subiyatno et al. (1996) mendapatkan hasil
bahwa, suplementasi kromium pada sapi perah laktasi sebesar 7.25 mg/hari mampu
meningkatkan produksi susu sebesar 24% (22.9 vs 18.5 kg) pada 2 minggu pertama
laktasi. Selain itu juga meningkatkan konsentrasi hormon IGF-I (39.05 vs 49.42
ng/ml) dan ratio insulin atau glukosa (7.27 vs 5.76 µ/mol).
Tang et al. (2000) melihat pengaruh kromium terhadap pembentukan
antibodi dengan memberikan suplementasi kromium-yeast sebanyak 0.2 ppm
ransum pada babi yang disuntik antigen virus demam. Empat belas hari setelah
penyuntikan diperoleh hasil bahwa jumlah titer antibodi lebih tinggi pada babi yang
diberi kromium-yeast dibanding kontrol yaitu 0.09 vs 0.17 µ. Hasil senada diperoleh
Burton et al. (1993, 1994) bahwa, suplementasi kromium meningkatkan titer antibodi
sapi yang disuntik dengan antigen sel darah manusia (HRBC) dan vaksin virus
rhinotracheitis.
Pengaruh Suhu Lingkungan Terhadap Sapi Perah
Iklim sangat penting dalam sistim produksi ternak, karena dapat
mempengaruhi ternak secara langsung yang berpengaruh terhadap jumlah
konsumsi pakan dan produktifitasnya.
Esmay (1978) menyatakan bahwa,
10
lingkungan disekitar ternak merupakan total keseluruhan kondisi eksternal yang
mempengaruhi perkembangan, respon dan pertumbuhan.
Secara langsung komponen iklim berupa suhu udara dapat mempengaruhi
kemampuan sapi-sapi perah dalam berproduktivitas. Kenaikan suhu udara akan
mengakibatkan peningkatan frekuensi denyut nadi dan pernafasan setiap menitnya.
Meningkatnya frekuensi pernafasan adalah reaksi tubuh sapi perah itu sendiri untuk
mengatasi kenaikan suhu tubuhnya.
Meningkatnya frekuensi denyut nadi adalah
untuk mempercepat penyaluran darah sebagai transportasi O2 dan panas.
Menurut Yousef (1985) batas suhu kritis minimum sapi FH adalah – 27OC
sampai 9OC dan batas suhu kritis maksimum 25OC sampai 26OC. Suhu udara yang
tinggi akan menyebabkan turunnya produktifitas, pertumbuhan dan produksi susu
antara lain sebagai akibat dari turunnya nafsu makan dan turunnya efisiensi
penggunaan energi untuk produktifitas, pertumbuhan dan produksi susu. Suhu udara
yang tinggi sebenarnya bukan saja berakibat pada turunnya konsumsi pakan,
sehingga konsumsi energi menjadi kurang, tetapi juga mengakibatkan tidak
efisiennya lagi penggunaan energi.
Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara yang dapat
dinyatakan sebagai kelembaban mutlak. Kelembaban mutlak adalah perbandingan
tekanan dan suhu yang sama. Kelembaban lingkungan udara memberikan pengaruh
yang nyata terhadap kecepatan pelepasan panas ternak, terutama pada suhu udara
yang tinggi. Atmadilaga (1959) menyatakan bahwa, toleransi kelembaban untuk sapi
perah agar berproduksi tinggi dengan RH maksimum 55%.
Indek suhu kelembaban merupakan tetapan untuk mengetahui adanya
cekaman panas karena lingkungan yang tidak nyaman (discomfort). Nilai ISK ini
merupakan indeks imbangan antara suhu udara dan kelembaban. Hahn (1985)
menentukan bahwa perhitungan ISK untuk sapi FH menggunakan persamaan :
ISK = DBT + 0.36 W B2 T + 41.2
dimana DBT (Dry bulb temperature = suhu udara bola kering, 0C) dan WBT (Wet
bulb temperature = suhu udara bola basah,
0
C).
Pembagian selang ISK untuk
mengetahui tingkat kenyamanan lingkungan hidup sapi perah terlihat pada Tabel 1
berikut.
11
Tabel 1 Nilai Indek Suhu Kelembaban (ISK) dan tingkat kenyamanan.
No.
Indek Suhu Kelembaban (ISK)
1.
2.
3.
4.
<
71
79
>
Keterangan
70
– 78
– 83
83
Normal
Waspada
Bahaya
Kritis
Sumber : Yousef (1985).
Produkstifitas sapi perah dipengaruhi oleh faktor lingkungan, karena faktor
tersebut dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas, keseimbangan
energi, keseimbangan air dan tingkah laku. Proses keseimbangan tersebut
melibatkan sistim syaraf dan hormonal di dalam tubuh (McDowell 1972).
Unsur lingkungan yang langsung berpengaruh pada ternak adalah suhu
lingkungan, kelembaban udara, kecepatan angin dan radiasi (Armstrong 1977;
Etgen et al. 1987; Payne 1990). Antara suhu lingkungan dan suhu tubuh terdapat
suatu keseimbangan yang memungkinkan setiap proses biokimiawi dan faali dapat
berlangsung dengan semestinya, bila terjadi ketidakseimbangan akan menyebabkan
ketidaknormalan mekanisme dalam tubuh (McDowell 1972; Mount 1979; Esmay
1978).
Daerah beriklim tropis basah seperti Indonesia, lama dan intensitas
penyinaran matahari menyebabkan peningkatan suhu udara (Payne 1990).
Akibatnya, ternak yang dipelihara akan menerima panas yang semakin besar.
Di samping itu, tingkat kandungan air yang tinggi di udara akan meningkatkan
kelembaban, sehingga akan menghambat proses penguapan dari permukaan tubuh
ternak. Kedua faktor iklim tesebut secara sendiri-sendiri maupun bersama menekan
produktifitas ternak (Esmay 1978). Interaksi suhu dan kelembaban tersebut
digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui ketidaknyamanan suatu lokasi
terhadap penampilan produktifitas ternak, sehingga (Armstrong 1977; Esmay 1978;
Hahn 1985) menyarankan penggunaan indeks suhu dan kelembaban (Temperature
Humidity Index = THI)
untuk
mengetahui
adanya
keadan lingkungan yang tidak nyaman (discomfort).
cekaman
panas
karena
Sapi mulai tidak nyaman
apabila THI sudah melebihi 72 (Armstrong 1977) sedangkan menurut Ryan et al.
(1992) adalah 75.
12
Untuk mengetahui status cekaman panas pada ternak dapat dilakukan
dengan mengetahui suhu tubuh yang diestimasi dari hasil pengukuran suhu rektal
dan suhu kulit,
sedangkan untuk mengetahui tingkat pembuangan panas tubuh
(heat loss) dapat dilakukan dengan menetahui suhu kulit, frekuensi pernafasan dan
denyut jantung (Purwanto 1993a).
Pengaruh yang timbul akibat peningkatan suhu tubuh pada keadaan
cekaman panas antara lain : (1) penurunan nafsu makan, (2) peningkatan konsumsi
minum, (3) penurunan anabolisme dan peningkatan katabolisme, (4) peningkatan
pelepasan panas melalui penguapan, (5) peningkatan respirasi, (6) penurunan
konsentrasi hormon dalam darah, (7) peningkatan temperatur tubuh, (8) peningkatan
denyut jantung (McDowell 1972; Amstrong 1977) dan (9) perubahan tingkah laku
(Ingram & Dauncey, 1985).
Perubahan-perubahan fisiologis pada tubuh sapi Fries Holstein (FH) yang
menderita cekaman panas disajikan pada Tabel 2. Pengaruh cekaman panas atau
suhu lingkungan yang tinggi terhadap respons fisiologis sapi sangat jelas pada
peningkatan suhu rektal, frekuensi pernafasan dan denyut jantung.
Tabel 2 Suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi pernafasan sapi FH dalam
kondisi suhu lingkungan berbeda.
Parameter
Suhu rektal ( 0C )
Denyut jantung (kali/menit)
Pernafasan (kali/menit)
Sumber
1
2
1
2
1
2
Suhu Lingkungan
Netral
Cekaman
38.7
38.8
77.0
64.0
48.0
31.0
40.0
39.8
79.0
67.0
87.0
75.0
Perbedaan (%)
+ 3.4
+ 2.6
+ 2.6
+ 4.7
+ 81.3
+ 141.9
Sumber : 1) Kibler (1962). Digunakan sapi dara Holstein dengan suhu netral
21.6 0C dan suhu cekaman 32.20C.
2) Purwanto (1993a). Digunakan sapi dara Holstein dengan suhu rektal
15.00C dan suhu cekaman 30.00C.
Daerah Termonetral pada Sapi Perah
Daerah termonetral (confort zone ) bagi hewan ternak merupakan kisaran
suhu udara yang paling sesuai untuk kehidupannya, di mana terjadi metabolisme
basal dan hanya terjadi mekanisme pengaturan panas secara sensible dengan
menggunakan energi yang paling sedikit. Kisaran suhu udara tersebut tidak
13
menyebabkan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh (McDowell 1972; Yoesef
1985a). Terjadinya metabolisme basal pada kisaran suhu termonetral tesebut berarti
pula produksi panas tubuh sangat rendah. Apabila terjadi peningkatan atau
penurunan suhu lingkungan (di atas atau di bawah suhu nyaman), mengakibatkan
pula peningkatan produksi panas dalam upaya membuang kelebihan panas atau
mempertahankan panas tubuh (Yoesef 1985a). Kisaran suhu nyaman dan pola
perubahan produksi panas di dalam tubuh ternak akibat perubahan suhu lingkungan
disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Daerah termonetral hewan homeotermik (Yousef 1985a).
Daerah termonetral terdiri atas 3 sub daerah, yaitu daerah optimum (BC),
daerah dingin (AB) dan daerah hangat (CD). Daerah BC merupakan daerah yang
paling optimum untuk menampilkan produktivitas ternak (sapi perah berkisar antara
0 dan 160C).
Daerah AB merupakan daerah dengan produksi panas tetap normal,
namun ternak melakukan penyesuaian dengan tingkah laku atau mekanisme
otomatik untuk menghasilkan panas tubuh dalam rangka mengimbangkan dengan
keadaan yang mulai dingin bagi ternak. Daera CD merupakan daerah dengan
produksi panas minimal, namun mekanisme termoregulasi telah mulai bekerja
dengan cara meningkatkan vasodilatasi dan meningkatkan evaporasi untuk
membuang panas. Apabila suhu udara dibawah suhu kritis (low critical temperature
= LCT), tubuh ternak meningkatkan pruduksi panas untuk menjaga agar tubuh
14
tidak kedinginan dan ternak akan mati bila beban dingin terus meningkat.
Demikian juga bila suhu udara diatas suhu kritis (upper critical temperature = UCT),
terjadi peningkatan produksi panas sebagai akibat dari usaha membuang tambahan
beban panas dari luar tubuh. Keadaan ini selanjutnya akan meningkatkan suhu
tubuh.
Sapi FH mempunyai kisaran suhu termonetral yang rendah, sehingga lebih
toleran terhadap perubahan suhu rendah dibandingkan dengan perubahan suhu
tinggi (Payne 1990).
Penampilan
produktivitas sapi FH akan optimal apabila
dipelihara di lokasi dengan suhu yang nyaman. Suhu nyaman sapi perah berkisar
antara 4,4-21,10C (Schmidt 1971); antara 13-180C (McDowell 1972); antara 4-250C
(Yousef 1985a). Suhu kritis sapi FH adalah 270C (Kibler 1962; McDowell 1972),
sedangkan menurut Yousef (1985a) adalah 250C. Apabila suhu udara meningkat di
atas suhu kritis, sapi akan mulai menderita cekaman panas, sehingga mekanisme
termoreguilasi mulai bekerja terutama dengan cara meningkatkan pernafasan,
denyut jantung dan penguapan air melalui kulit (Hafez 1968; Armstrong 1977; Linvill
& Pardue 1992).
Sapi-sapi FH yang dipelihara di daerah tropis, bobot badan sapi dewasa
lebih kecil 18 sampai 30 persen dibandingkan bila dipelihara di daerah beriklim
sedang, karena adanya tropical degeneration (McDowell 1972).
Glukosa Darah dan Regulasinya
Sumber energi utama dalam tubuh ternak adalah karbohidrat. Sumber energi
ini berasal dari pangan yang dikonsumsi setiap hari. Energi yang terbentuk melalui
metabolisme, disimpan dalam bentuk apa yang disebut “ikatan energi tinggi” yang
menghubungkan fosfor dengan atom oksigen di dalam ATP (adenosin tri
phosphate). Dengan adanya enzim yang cocok (ATPase), sebuah gugus fosfor
terlepas dalam suatu transforilasi dengan membebaskan energi yang siap pakai.
Senyawa yang dihasilkan adalah ADP (adenosin di phosphate)
yang siap
dikonversikan menjadi ATP dengan penambahan fosfat dan energi (Frandson,
1993).
Metabolisme karbohidrat menyangkut semua reaksi yang terjadi dalam tubuh
baik berasal dari pakan maupun terbentuk dalam tubuh, bukan berasal dari
karbohidrat. Produk metabolisme karbohidrat salah satunya adalah glukosa. Sekitar
8% dari tubuh kita adalah darah (Page 1985). Darah terdiri dari bagian cair (plasma)
15
dan komponen-komponen seluler yaitu eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel
darah putih) dan trombosit. Fungsi primernya adalah untuk mengangkut oksigen
dan metabolit ke sel serta mengangkut karbondioksida dan hasil limbah
metabolisme ke luar.
Darah merupakan campuran kompleks dari banyak zat,
termasuk gukosa (sekitar 65 sampai 90 mg/100 ml, secara normal). Sel darah merah
tidak mempunyai mitokondria, oleh karena itu hanya dapat menggunakan glukosa
sebagai bahan bakar (Colby 1989).
Glukosa darah melalui peredaran darah dihantar dari suatu organ ke organ
lain. Organ seperti usus dan hati akan memberikan masukan glukosa ke dalam
darah, sehingga dapat meningkatkan kadar gula di dalam darah. Alat tubuh lain
seperti otak, oto (dalam keadaan aktif) akan menggunakan glukosa dalam darah
untuk kebutuhan fisiologisnya yang berakibat turunnya kadar glukosa dalam darah
(Djojosoebagio 1990). Dalam keadaan normal, otak secara keseluruhan juga
tergantung pada suplai glukosa yang kontiniu karena otak tidak dapat mengambil
asam lemak dan hanya dapat mengabsorbsi benda keton setelah beberapa hari
puasa, bila konsentrasinya tinggi di dalam darah.
Untuk memenuhi kebutuhan
bahan bakar jaringan yang tergantung pada glukosa darah dipertahankan dalam
batas 3.7 mmol/liter. Ini jelas berbeda dengan konsentrasi asam lemak (10 kali) dan
benda keton (100 kali).
Terdapat beberapa alasan penting mengapa konsentrasi glukosa darah
diatur dengan batas-batas yang sempit. Bila konsentrasi glukosa darah turun di
bawah 1.5 mmol/liter, otak tidak cukup disuplai bahan bakar, kadar ATP otak
menurun dan fungsi otak terganggu, selanjutnya dapat timbul koma dan kematian
(Colby 1989). Menurut Djojosoebagio (1990), meskipun kadar glukosa dalam darah
dipengaruhi oleh beberapa faktor, keseimbangannnya diatur oleh dinamika yang
unik dan dalam keadaan fisiologis normal selalu relatif konstan. Keadaan ini dapat
dipertahankan sebagai hasil kerja alat-alat tubuh yang terkoordinasi dengan rapi.
Bila salah alat tubuh melepaskan glukosa ke dalam darah, maka dengan segera
glukosa tersebut diserap oleh alat tubuh lainnya. Berbagai faktor mempengaruhi
dan mengontrol metabolisme glukosa sejak dikonsumsi sampai diserap oleh usus
kemudian tiba di dalam sel-sel yang membutuhkannya. Diantara berbagai faktor
tersebut adalah pengaruh hormonal yang salah satunya adalah insulin. Tanpa
insulin, sangat menurunlah kemampuan untuk memetabolisasi glukosa menjadi
energi atau mensintesis lemak dari glukosa. Insulin memiliki pengaruh utama agar
glukosa menembus membran dan masuk ke dalam sel, dimana kemudian
16
dimetabolisasikan (Frandson 1993). Selama pencernaan makanan, kadar glukosa
darah meningkat.
Peningkatan kadar insulin dalam situasi yang menyertainya
mengakibatkan pengeluaran glukosa dari sirkulasi dengan meningkatkan kecepatan
transpor glukosa ke dalam sel dan dengan meningkatkan aktifitas lintasan yang
menggunakan glukosa (Colby 1989).
Peranan Kromium Pikolinat pada Ternak
Peran kromium sebagai suatu trace elemen esensial untuk pertumbuhan dan
perkembangan normal mamalia serta unggas telah didokumentasikan dengan baik
(NRC 1997). Pengaruh kromium terhadap kadar glukosa darah mungkin dapat
melalui peningkatan efetivitas insulin secara endogen (disekresi, sebagai respon
terhadap konsumsi glukosa) atau dalam pengobatan dimana insulin akan
meningkatkan pengambilan glukosa oleh urat daging serta jaringan lemak dan
meningkatkan sintesis glikogen dalam urat daging dan hati (Linder 1992). Kromium
mempunyai potensi penting dalam metabolisme karbohidrat, lipid, protein dan asam
nukleat karena itu kromium diduga mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan
karbohidrat dan lipid sebagai sumber energi serta protein untuk pertumbuhan
sehingga mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan. Kromium merupakan
bagian dari suatu substansi yang mampu meningkatkan pengambilan glukosa dan
memperbaiki efisiensi penggunaan insulin dimana substansi ini diketahui sebagai
GTF. Komplek GTF juga mengandung asam nikotinat, glysine, asam glutamat dan
sistein (Linder 1992).
GTF meningkatkan kesanggupan suatu jaringan yang sensitf terhadap
insulin. Semakin cepat transport glukosa kedalam sel maka semakin cepat
pemenuhan kebutuhan energi sel oleh glukosa dan dengan cara demikian semakin
banyak glukosa (dan tentunya karbohidrat) yang digunakan sebagai sumber energi.
Kromium trivalen dalam bentuk komplek organik berperan aktif dalam metabolisme
karbohidrat melalui GTF (Mertz 1993). Peningkatan kecepatan transport glukosa
oleh insulin dikarenakan pengaruh GTF berarti bahwa level glukosa dalam sel-sel
tersebut cendrung turun dengan lebih cepat dibawah level homeostasi. Kondisi ini
merangsang se-sel tersebut untuk menyerap glukosa dengan segera.
Pengaruh kromium terhadap metabolisme lipid terlihat tidak bergantung dari
pengaruh-pengaruh
terhadap
metabolisme
glukosa.
Beberapa
penelitian
mengemukakan pengaruh dari kromium pikolinat pada metabolisme lemak.
17
Kromium pikolinat diduga menurunkan retensi lemak melalui penghambatan
lipogenesis, yang mana inkonsisten dengan hasil Cho et al. (2000). Kromium diduga
berinteraksi dengan biosintesis protein dikarenakan adanya peran insulin dalam
meregulasi pengambilan asam amino oleh jaringan hewan. Dengan adanya kromium
pikolinat terhadap tingginya sensivitas insulin menyebabkan peningkatan dalam
pengambilan glukosa dan asam amino oleh sel-sel otot untuk protein (Yi et al. 1996).
Peranan Hormon Tiroksin (T3 dan T4) Terhadap Suhu Lingkungan Tinggi
Hormon-hormon tiroksin merupakan hormon utama dalam mekanisme panas
oleh karena perannya dalam merangsang metabolisme tingkat sel di seluruh tubuh
(Ganong 1983; Djojosoebagio 1990). Peningkatan konsentrasi hormon T3 dan T4
dalam darah akan meningkatkan pula metabolisme didalam sel-sel tubuh (Capen &
Martin 1989). Dijelaskan lebih lanjut bahwa hormon-hormon tiroksin merangsang
penggunaan oksigen dan meningkatkan produksi panas (heat production) oleh selsel tubuh.
Hal itu disebabkan karena peningkatan penggunaan karbohidrat,
peningkatan katabolisme protein yang ditandai dengan ekskresi nitrogen dan
peningkatan oksidasi ternak yang ditandai dengan kehilangan bobot badan.
Apabila ternak ada di dalam lingkungan bersuhu tinggi, maka ternak terkena
cekaman panas karena mendapatkan tambahan panas dari luar dan merasa tidak
nyaman. Sedangkan bila suhu lingkungan dingin terjadi sebaliknya (Capen & Martin
1989; Djojosoebagio 1990). Selanjutnya diuraikan bahwa cekaman panas
menyebabkan penghambatan keluarnya tiroksin releasing hormon (TRH) dari
hipotalamus, sehingga terhambat pula keluarnya tiroksin stimulating hormone (TSH)
dari anterior pituitary dan menyebabkan sekresi T3 dan T4, sehingga proses
metabolisme berjalan dalam taraf yang mencukupi. Mekanisme umpan balik
pengaruh suhu lingkungan panas dan linkungan dingin terhadap sekresi hormon
tiroksin disajikan pada Gambar 3.
Dalam keadaan cekaman seperti perubahan suhu lingkungan yang drastis,
terjadi perubahan secara cepat pada sistim hormonal. Keadaan ini ditandai dengan
peningkatan tekanan darah, kontraksi otot, percepatan frekuensi pernafasan dan
peningkatan kandungan glukosa darah.
Hormon yang menaikan peranan pada
keadaan ini adalah adrenalin atau epinefrin yang dihasilkan oleh medula adrenal dan
norepinefrine yang dihasilkan pada ujung saraf (Ganong 1983).
Lebih lanjut
dinyatakan bahwa dalam keadaan cekaman, hormon yang ikut berperan adalah
18
hormon yang berasal dari gertakan hipotalamus. Hipotalamus mensekresikan
corticotropin releasing factor (CRF) ke hipofise anterior dan selanjutnya hipofise
anterior akan mengeluarkan adrenocorticotropin (ACTH) yang disekresikan ke
suluruh tubuh.
Kemudian jaringan kortek adrenal akan memberikan tanggapan
terhadap ACTH dengan meningkatkan sintesa dan pelepasan hormon steroid,
keadaan ini ditandai dengan peningkatan hormon kortisol dalam darah.
Rangsang
Suhu Panas
Rangsang
Suhu Dingin
Reseptor
Panas
Reseptor
Dingin
Hypothalamus
Tiroksin Releasing Hormon (TRH)
Anterior Pituitary
T3 dan
T4
Tiroksin Stimulating Hormon (TSH)
Kelenjer Tiroid
Keterangan :
= alur sekresi.
= alur penghambat.
Gambar 3 Mekanisme umpan balik sekresi hormon tiroksin akibat perubahan suhu
lingkungan (Ganong 1983).
Suhu lingkungan dingin akan merangsang produksi tiroksin, akibatnya proses
metabolisme sel ditingkatkan dalam taraf yang mencukupi sehingga proses
metabolisme pada umumnya dapat terkendali lebih baik (Schmidt 1971). McDowell
(1972) mengemukakan bahwa sapi Fries Holstein pada suhu lingkungan 18 dan
300C mempunyai kadar tiroksin secara berturut-turut 0.06 dan 0.04 ug/ml yang
berarti terjadi penurunan kandungan tiroksin sebesar 33%. Purwanto et al. (1991)
melaporkan bahwa kandungan tiroksin (T3) menurun dari 2.51 menjadi 1.79 ng/ml
19
pada saat suhu lingkungan meningkat dari 10 menjadi 300C. Selain itu dijelaskan
bahwa suhu lingkungan dan konsumsi ransum sangat berpengaruh terhadap
fisiologis kelenjer gondok.
Gambaran suhu lingkungan terhadap konsentrasi hormon T3 dan T4
dilaporkan juga oleh Magdub et al. (1982) dan Nixon et al. (1988) bahwa suhu
lingkungan yang tinggi akan menurunkan sintesis hormon-hormon tiroksin. Hal ini
berhubungan dengan penghambatan sekresi tiroksin releasing hormon (TRH) dari
hipotalamus dan akhirnya keluarnya tiroksin stimulating hormon (TCH) karena ada
cekaman panas (Johnson 1985; Nixon et al. 1988).
Download