Body of Knowledge Iklan Politik Televisi Sri Herwindya Baskara Wijaya Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Begin campaign general electoral in 1999, world of political in Indonesia came in new face. Many political party begin use television media to make promotion. However in before general electoral, political party only use some media without television such us newspaper, radio and below the line media. So far, some political party have used television to advertising political. There are Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PKB, PPP, Partai Gerindra, Partai Hanura, etc up to new political party such is Partai Nasdem. Choosing television as advertising media because reasons of massive and more “live” in public perception. So it need exactly strategy to advertise in television especially see some factor are track and record of political party or candidate, time, message content, advertising creator, ethic and media distributor. Key words: Political party, political advertising, television Pendahuluan Sejak memasuki musim kampanye Pemilu 1999, berbagai partai politik (Parpol) berkompetisi mempromosikan diri. Salah satu media komunikasi politik yang dipakai adalah televisi lewat tayangan iklan politik. Sejumlah partai politik seperti Partai Gerindra, Partai Hanura, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional (PAN) adalah deretan Parpol yang mencoba memasarkan diri lewat televisi. Kondisi ini belum termasuk partai politik baru seperti Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang saat ini gencar menayangkan iklan partainya lewat televisi. Diprediksi perang iklan politik masih akan menghangat bahkan kian seru pada musim-musim kampanye mendatang. Kampanye iklan politik via televisi merupakan hal wajar sebagai salah satu instrumen komunikasi politik dan bukan hanya monopoli negara-negara maju yang tradisi demokrasinya telah mapan seperti Amerika Serikat (AS), Australia, negara-negara di Eropa Barat dan lainnya. Bergulirnya reformasi tahun 1998 membuka kran berdemokrasi lebih luas bagi bangsa Indonesia. Sejak itu pula, iklan politik lewat media televisi merambah Indonesia yang dimulai pada Pemilu 1999 lalu. Derasnya arus iklan politik di industri televisi Indonesia dewasa ini tidak lepas dari iklim kebebasan berpolitik yang sedang merekah. Dari diskursus komunikasi politik, fenomena ini sebagai hal menggembirakan bagi tumbuh kembangnya kajian komunikasi politik di Tanah Air. Tingginya minat Parpol beriklan politik di televisi menunjukkan meningkatnya kesadaran para aktor politik menggunakan strategi pemasaran politik yang lebih sofistikatis dan komprehensif (selain pemanfaatan media cetak, radio, internet dan media iklan konvensional seperti spanduk, baliho, banner dan lainnya). Telaah Pustaka A. Komunikasi Politik Konsep komunikasi politik merupakan salah satu konsep di dalam kajian ilmu sosial yang cukup rumit. Bukan saja karena konsep ini berada di dalam bidang irisan antara ilmu politik dan ilmu komunikasi, masing masing unsur konsep yaitu komunikasi dan politik pun juga mempunyai kerumitan sendiri. Konsep politik misalnya mengandung multimakna. Politik mengandung makna kekuasaan dan pengaruh. Ia juga mempunyai arti yang menunjukkan proses pembuatan keputusan untuk mengalokasi barang-barang social, menegakkan hukum, hak dan kewajiban. Bagaimana proses ini dapat berjalan di dalam masyarakat maka perlu adanya komunikasi. Politik mempunyai hubungan erat dengan komunikasi. Politik tanpa komunikasi ibarat darah tanpa urat nadi (Romarheim, 2005, dalam Satyawan, 2010). Menurut Scudson (dalam Karthubij, 2000 : 18) mendefinisikan komunikasi politik sebagai bentuk-bentuk pengiriman pesan yang dimaksudkan mempengaruhi distribusi atau penggunaan kekuasaan dalam masyarakat atau memiliki efek terhadap efek terhadap sikap dalam menggunakan kekuasaan. Dari sini maka terlihat bahwa komunikasi dimaksudkan untuk mempengaruhi distribusi kekuasaan dan perubahan sikap dalam penggunaan kekuasaan itu. McNair misalnya mengatakan bahwa setiap penulis buku komunikasi politik pasti akan mengawali tulisannya bahwa bidang kajian komunikasi politik adalah sulit untuk didefinisikan. Walaupun demikian pendefinisian komunikasi politik tetap dilakukan. Denton dan Woodward menyebut bahwa komunikasi politik sama dengan diskusi public tentang alokasi sumber-sumber public. Selanjutnya dikatakan: “Political communication is public discussion about the allocation of public resources (revenues), official authority (who is given the power to make legal, legislative and executive decision) and official sanctions (what the state rewards or punishes)” (McNair, 1995, dalam Subagyo, 2010). Meadow (dalam Pawito, 2007) mendefinisikan komunikasi politik sebagai “...any exchange of symbols or message that to a significant extent have been shaped bayor have consequences for the fuction of political systems.” Dan Nimmo (1999: 9) menyatakan komunikasi politik yaitu (kegiatan) komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia di dalam kondisikondisi konflik. Secara ringkas komunikasi politik adalah komunikasi yang mempunyai tujuan-tujuan politik. McNair (Op.cit.) menyebut komunikasi semacam ini menyangkut tiga hal sebagai berikut : 1. All forms of communication undertake by politicians and other political actors for the purpose of achieving specific objective. 2. Communication addressed to these actors by non-politicians such as voters and newspaper columnists, and 3. Communication about them and their activities, as contained in news reports, editorials, and other forms of media discussion of politics. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi politik merupakan hubungan tiga elemen yang berproses dimana aktivitas politik diwujudkan. Ketiga elemen itu adalah: 1) organisasi-organisasi politik (partai, institusi pemerintah, kelompok penekan); 2) aktor-aktor politik yaitu individuindividu yang memberi inspirasi melalui sarana-sarana organisasi dan institusi untuk mempengaruhi pembuatan keputusan politik dan 3) adalah masyarakat dan media (Ibid.). Sementara Pawito (Op.cit.), komunikasi politik setidaknya memiliki enam unsur yaitu aktor atau partisipan, lambang-lambang pesan, saluran, proses, efek dan sistem politik dimana komunikasi politik berlangsung. Aktor dalam komunikasi politik beragam seperti individu, kelompok organisasi/institusi, dan media massa. Lambang-lambang pesan komunikasi politik dapat berupa kata-kata (bahasa verbal), gambar dan simbol-simbol yang memiliki signifikasi dengan politik. B. Iklan Politik Televisi Menurut Hotz-Bacha dan Kaid (2006, dalam Danial, 2008: 93), televisi digunakan oleh partai politik setidaknya melalui dua cara. Pertama, lewat “caracara gratis” melalui peliputan regular media terhadap kegiatan partai atau kandidat politik. Dalam peliputan bebas itu berlaku prinsip-prinsip seleksi jurnalistik dan kriteria produksi yang biasa digunakan oleh para jurnalis dan pengelola televisi. Aktor politik tidak bisa mempengaruhi kapan, seberapa panjang dan bagaimana peristiwa politik itu diliput televisi. Kedua, membayar ke media tersebut karena memasang “iklan politik” (political advertising). Dalam iklan politik, kandidat atau partai politiklah yang memutuskan bagaimana mereka ditampilkan di hadapan pemilih. Karena itulah dua bentuk penggunaan media televisi itu (free and paid media) kerap juga diistilahkan dengan controlled media and uncontrolled media. Politisi dan partai bisa mengontrol isi pesan politik yang disampaikan dalam iklan politik namun tidak mempunyai kontrol terhadap bagaimana media mengemas berita-berita politik di televisi. Kaid dan Holtz-Bacha (1995, dalam Danial, 2008) mendefinisikan iklan politik televisi sebagai moving image programming that is designed to promote the interest of a given party or individual. Untuk menekankan soal kontrol pesan politik tadi, mereka memperluas definisi itu dengan menyodorkan definisi: any programming format under control of the party or candidate and for which time is given or purchased. Dengan perkembangan baru di bidang teknologi komunikasi, mereka kemudian membuat definisi iklan politik yang lebih luas yaitu: any controlled message communicated trough any channel designed to promote the political interest of individuals, parties, groups, governments or other organizations. Definisi terakhir ini tidak saja menitiktekankan pada aspek kontrol dan promosional dari iklan politik saja tetapi juga membuka peluang memasukkan perbedaan iklan poltik dari sisi format dan saluran penyampai pesan. Menurut Norris (2000, dalam Danial, 2008), negara-negara di dunia berbeda dalam sistem pengaturan iklan politik di televisi. Dari kerangka regulasi, kata Norris, paling tidak ada tiga isu yang menjadi fokus pembahasan yaitu 1) pembelian air time di televisi untuk iklan politik; 2) alokasi dan free time bagi iklan politik partai; 3) aturan-aturan yang mengatur keseimbangan politik dalam debat kampanye serta peliputan proses Pemilu. Senada dengan itu, Holtz-Bacha dan Kaid juga menyatakan bahwa ada perbedaan antarnegara tentang bagaimana iklan politik televisi berperan dalam kampanye Pemilu. Ada negara yang membolehkan pembelian waktu tayang untuk iklan politik televisi namun ada juga negara yang melarangnya. Tidak terkecuali di Indonesia. Penulis melihat secara regulasi normatif, pengaturan program-program siaran di televisi termasuk di dalamnya soal iklaniklan politik diatur melalui UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Secara kelembagaan pengaturan tersebut dilakukan lembaga khusus bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan panduan lebih praktis soal penyiaran melalui SK KPI No 009/SK/8/2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Kekuatan Kognitif Dari perspektif sederhana, istilah iklan politik berarti iklan yang isinya politik (advertising whose content is political). Di sini, aktor politik harus mengeluarkan dana agar memiliki kesempatan mengespos pesan politiknya melalui saluran media massa dalam rangka mempengaruhi sikap, kepercayaan dan perilaku politik khalayak. Linda Lee Kaid dalam Political Advertising (2006, dalam Danial, 2008) menyebut beberapa karakteristik iklan politik antara lain mengandung informasi substansial, variabel media berkaitan dengan variabel sumber dan hasil iklannya hanya akan efektif jika tingkat keterlibatan pemilih rendah. Khusus iklan politik di televisi, terpaan (eksposure) yang dihasilkan merupakan terpaan partisan yang selektif meski mungkin hanya untuk aspek perhatian, ingatan dan persepsi tertentu. Iklan politik di televisi menimbulkan efek paling kuat pada level kognitif yaitu meningkatkan pengetahuan tentang kandidat dan isu yang dibawakan. Selain itu, iklan politik di televisi dinilai mempunyai efek langsung yang akan mempengaruhi perilaku pemilih sampai tingkat tertentu. Tak heran para aktor politik di berbagai negara berlomba mengiklankan diri lewat televisi karena pertimbangan daya online, energi massif dan kekuatan direct effect televisi kepada khalayak. Strategi Beriklan Menurut penulis, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam beriklan politik di televisi. Pertama, platform kandidat atau Parpol. Indonesia adalah bangsa majemuk dengan sebaran pemilih yang plural pula. Pemahaman psikografi dan geopolitik khalayak akan sangat membantu rancang bangun kampanye dalam menjaring pemilih. Kedua, daya tarik isi iklan politik. Di sini, kandidat atau Parpol perlu jeli melihat tipe iklan politik apa yang dapat memberikan pemahaman dan keputusan bagi calon pemilih. Ketiga, momentum. Publisitas adalah esensi kampanye, sehingga membidik dan memanfaatkan momentum akan sangat menguntungkan bagi publisitas. Efeknya, popularitas kandidat atau Parpol menjadi ikut terdongkrak. Strategi ini menuntut ketepatan pesan (message) yang dilontarkan yakni membangun simpati, berbobot, memberi penyegaran kognisi politik khalayak serta menggiringnya ke bilik-bilik suara untuk memilih kandidat/Parpol yang dibangun lewat iklan politik. Agar pesan iklan politik tepat sasaran, kandidat/Parpol perlu memperhatikan riset-riset pasar yang sahih baik internal maupun eksternal. Meminjam istilah Susanto Karthubij (2000), iklan politik mesti memahami pesan yang relevan dengan khalayak yang dituju. Keempat, biro iklan. Kandidat/Parpol harus selektif memilih rekanan biro iklan yang menjadi mitra menggarap iklan politiknya. Pemilihan hendaknya didasarkan pada aspek profesionalisme, pengalaman dan prestasi, bukan sekadar kedekatan atau bahkan komprador kandidat/Parpol terkait. Iklan dibuat untuk memberi informasi dan membujuk. Penyusunan komunikasi efektif dalam iklan dilakukan pekerja dan konsultan kreatif dan andal di bidangnya. Tak heran banyak orang terbuai dengan iklan seperti tusukan jarum (jarum hipodermik). Kelima, saluran institusi media. Di sini, perlunya kandidat/Parpol dan biro iklan memilih mitra institusi media yang kredibel dengan jangkauan pangsa pasar luas sesuai segmentasinya (lokal, regional, nasional). Ketepatan memilih institusi media akan turut menentukan efektifitas hasil iklan politik yang dibangun. Keenam, etika. Iklan politik yang efektif adalah iklan politik yang memperhatikan etika promosi yang baik. Strategi komparasi dengan memojokkan kompetitor lain semestinya dihindari agar khalayak tidak merasa dihasut dan dibelah bambu (adu domba). Pun penggunaan simbol-simbol tertentu dalam isi iklan politik sepatutnya memperhatikan situasi dan fakta di lapangan agar tidak bertabuh genderang kontroversial. Pasalnya, logika kandidat atau Parpol tidak selamanya sama dengan logika khalayak. Sebagian khalayak memiliki cara pandang, aturan dan etika sendiri yang mesti dihormati. Meminimalisasi potensi konflik lewat iklan politik adalah strategi jitu membangun citra diri dan mendulang suara pemilih. Penutup Seiring dengan perkembangan zaman, teknologi komunikasi semakin lama semakin canggih. Hal ini tentu saja ikut berpengaruh pada model kampanye politik dari partai-partai politik atau para kandidat dalam kontes-kontes kompetisi politik. Televisi sejauh ini dianggap sebagai salah satu media kampanye paling efektif untuk mempromosikan pesan-pesan politik termasuk lewat iklan-iklan politik. Sesuai dengan definisinya, iklan sebagai sebuah strategi penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan secara persuasif. Pun dalam beriklan politik tidak bisa secara serampangan melakukan promosi iklan. Tanpa didesain secara cermat maka beriklan politik di televisi hanya akan menjadi kesia-siaan. Untuk itu beriklan politik di televisi perlu memperhatikan banyak pertimbangan terutama terkait aspek momentum, daya tarik isi pesan, platform kandidat atau partai politik, biro iklan, etika, dan saluran media. Daftar Pustaka Dan Nimmo. (1999). Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media. Cetakan Ke-3. Terjemahan Tjun Sujarman. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. Danial, Ahmad. (2008). Iklan Politik TV Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru. Yogyakarta: LKiS. Karthubij, Susanto. (2000). Komunikasi Politik: Pengantar Wacana. Surakarta: Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret. Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Cetakan Ke-1. Yogyarakta: LKiS Pelangi Aksara. Subagyo. (2011). Komunikasi Politik Internasional Malaysia dalam Mengklaim Pulau Terumbu Layang-Layang. Jurnal Komunikasi Massa. Volume 4 Nomor 2 Edisi Juli 2011. Surakarta: Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret.