21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Sabut

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Sabut Kelapa Sawit Fermentasi oleh Pleurotus ostreatus dan
Kandungan Ransum Penelitian
Peranan Pleurotus ostreatus pada Kualitas Sabut Kelapa Sawit
Fermentasi dengan Pleurotus ostreatus pada sabut kelapa sawit dapat
meningkatkan nilai nutrisi dari sabut tersebut yang terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Nutrien Sabut Kelapa Sawit Non Fermentasi dan Fermentasi
dengan Pleurotus ostreatus
Nutrien (%)
Sabut kelapa sawit a
Rumput Gajahb
Non Fermentasi
Fermentasi
Bahan Kering
88,38
90,09
22,0
Abu
11,95
9,88
12,3
Protein Kasar
9,50
14,16
8,70
Serat Kasar
54,75
50,49
32,9
Lemak Kasar
6,75
0,80
2,70
Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen
17,04
24,66
44,3
Neutral Detergent Fiber (NDF)
-
84,67
-
Acid Detergent Fiber (ADF)
-
78,11
-
Selulosa
31,82c
54,89
-
Lignin
21,92c
21,18
-
Keterangan: a Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, 2012
b
Suharto, 2004
c
Irawadi et al., 1996
Serat merupakan bagian dari makanan yang tidak dapat tercerna secara
enzimatis oleh enzim yang diproduksi oleh saluran pencernaan manusia dan ternak
(Linder, 1992). Serat termasuk bagian dari karbohidrat yang menyusun dinding sel
tanaman yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, dan silika yang bermanfaat
untuk memperkuat dinding sel (Cheeke, 2005). Setelah fermentasi, kandungan serat
kasar pada sabut kelapa sawit mengalami penurunan 4,26% dari kandungan awal.
Hal ini dapat menunjukkan bahwa adanya degradasi ikatan lignoselulosa oleh enzim
ekstraseluler yang dihasilkan oleh Pleurotus ostreatus sehingga selulosa dapat
21
terlepas dari ikatan kristalin dengan lignin sehingga menyediakan selulosa untuk
didegradasi oleh mikroba selulolitik dalam rumen. Serat kasar yang menurun ini
terlihat dari komposisi serat berupa lignin setelah fermentasi sebesar 21,18%
sedangkan sebelum fermentasi sebesar 21,92% (Irawadi et al., 1996). Penurunan ini
diduga dari aktivitas enzim ekstraseluler pendegradasi lignin yang diproduksi oleh P.
ostreatus. Penelitian Sangadji (2009) memperlihatkan bahwa Pleurotus ostreatus
dapat menurunkan lignin pada ampas sagu.
Kandungan protein kasar sabut kelapa sawit hasil fermentasi mengalami
peningkatan 4,66% dari sebelum difermentasi. Adanya peningkatan protein kasar
dikarenakan miselium yang menempel pada sabut kelapa sawit. Peningkatan pada
protein substrat media tanam Pleurotus ostreatus karena meningkatnya kandungan
asam-asam amino (Sova dan Cibuka, 1990). Adanya asam-asam amino yang
terkandung pada miselium Pleurotus ostreatus yang menempel pada media tumbuh
serta kemampuan yang dimiliki oleh miselium untuk mengikat nitrogen diudara dan
menghasilkan enzim yang mendegradasi substrat dapat meningkatkan nitrogen
sehingga protein kasar dari substrat meningkat (Chang dan Miles, 2004). Media
tumbuh berupa ampas sagu dan ampas tebu yang difermentasi Pleurotus ostreatus
masing–masing protein kasarnya meningkat sebesar 2,2% dan 2,75% serta
menurunkan lignin masing–masing 5,5% dan 2,24% (Sangadji, 2009; Tarmidi,
2004).
Lemak kasar sabut kelapa sawit sebelum difermentasi sebesar 6,75% yang
lebih tinggi dari Mathius et al. (2004) sebesar 3,22%. Perbedaan kandungan ini dapat
disebabkan oleh umur panen dari tandan buah segar kelapa sawit, proses
pengepresan dalam produksi minyak sawit, waktu pengambilan sampel, dan metode
analisis yang digunakan. Sabut kelapa sawit yang digunakan dalam penelitian ini
diambil tepat setelah proses pengepresan berlangsung sehingga minyak masih
banyak menempel pada sabut. Pada sabut kelapa sawit yang telah difermentasi
mengalami penurunan lemak kasar yang diduga akibat dari proses pemanasan berupa
pengukusan dan sterilisasi pada baglog. Sebelum digunakan sebagai bahan campuran
media tumbuh jamur, dilakukan proses pengukusan terlebih dahulu yang bertujuan
untuk meluruhkan minyak yang masih menempel pada sabut kelapa sawit. Kemudian
22
setelah itu baglog disterilisasi menggunakan uap panas pada autoclave dengan suhu
121˚C yang menyebabkan semakin luruhnya minyak pada sabut kelapa sawit.
Kandungan Nutrien Ransum Penelitian
Kandungan kimia dari ransum perlakuan yang mengandung sabut kelapa
sawit hasil fermentasi dengan Pleurotus ostreatus (SSf) dicantumkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Persentase Kandungan Nutrien Ransum Penelitian Berdasarkan 100% BK
Kandungan Nutrien (%)
Ransum Perlakuan
R0
R1
R2
Bahan Kering
83,97
84,56
84,85
Abu
9,69
9,14
10,10
Protein Kasar
19,84
19,04
20,53
Lemak Kasar
2,81
1,72
2,31
Serat Kasar
28,01
27,25
28,47
39,65
42,85
38,58
59,27
59,54
59,11
Bahan
Ekstrak
Nitrogen
TDN*
Tanpa
Keterangan : Kandungan nutrien ransum komplit berdasarkan hasil analisis Laboratorium Ilmu dan
Teknologi Pakan, 2011. R0 = 30% Rumput Gajah (RG) + 70% konsentrat; R1 = 15%
RG + 15% SSf + 70% konsentrat; R2 = 30% SSf + 70% konsentrat.
* TDN hasil perhitungan menurut Hartadi et al., 1997.
Hasil analisis proksimat setiap ransum perlakuan didapatkan bahwa protein
kasar (Tabel 4) sebesar 19,04%–20,53% lebih tinggi dari susunan ransum perlakuan
(Tabel 2) sebesar 16,05%–16,09%. Protein kasar yang dicapai ini diduga adanya
sumbangan protein dari konsentrat dalam ransum. Pada ransum R2 lebih tinggi dari
dua ransum lain diduga berasal dari miselium yang menempel pada sabut kelapa
sawit yang turut meningkatkan proteinnya. Substrat yang difermentasi akan
meningkat proteinnya akibat dari pertumbuhan mikroorganisme (kapang atau jamur)
sehingga terjadi peningkatan massa selnya (Nur, 2012; Sangadji, 2009). Protein dari
ransum telah mencukupi kebutuhan domba dengan bobot badan 20 kg berdasarkan
NRC (1975) sebesar 16% sedangkan TDN yang dibutuhkan domba sebesar 73%.
Pada susunan ransum (Tabel 2) TDN sebesar 73,07%-73,85% sedangkan hasil
23
perhitungan TDN dari ransum perlakuan sebesar 59,11%–59,54%. Berdasarkan hasil
tersebut, TDN ransum perlakuan lebih rendah dari susunan ransum dan kebutuhan
domba. Kandungan TDN yang rendah ini diduga karena kandungan nutrien bahan
penyusun ransum lebih rendah dari literatur yang digunaakan saat penyusunan
ransum awal sebelum penelitian in vivo dilakukan.
Konsumsi Nutrien Domba dengan Ransum Sabut Kelapa Sawit Fermentasi
Konsumsi adalah jumlah bahan makanan yang diberikan dikurangi sisa bahan
makan. Faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi ternak adalah fisiologis ternak,
sifat pakan, komposisi bahan pakan, kecernaan dan keadaan lingkungan (Parakkasi,
1999). Pengaruh penambahan sabut kelapa sawit hasil fermentasi dalam ransum
domba terlihat pada konsumsi nutrien yang dicantumkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan Konsumsi Nutrien Ransum Domba Selama Pemeliharaan
Rataan
Konsumsi
(g/ekor/hari)
Standar Eror (SE)
R0
R1
R2
Bahan Kering
976,70
938,90
1176,30
52
Protein Kasar
193,80
178,80
241,30
11,6
Lemak Kasar
27,45a
16,10b
27,06a
1,97
Serat Kasar
273,60
255,80
334,80
15,5
387,20
402,30
454,50
Bahan Ekstrak Tanpa
Nitrogen
1,86
Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya pengaruh perlakuan
(P<0,05). R0 = 30% Rumput Gajah (RG) + 70% konsentrat; R1 = 15% RG + 15% SSf
+ 70% konsentrat; R2 = 30% SSf + 70% konsentrat.
Konsumsi Bahan Kering
Konsumsi didapat dari selisih antara pemberian dan sisa pakan dalam satu
hari. Konsumsi pakan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering
(BK) tidak memperlihatkan perbedaan nyata antar ransum. Hal ini menunjukkan
bahwa proses fermentasi dengan menggunakan Pleurotus ostreatus tidak
berpengaruh terhadap konsumsi domba dan mampu meningkatkan palatabilitas
24
ternak dengan penambahan SSf sampai 30% pada ransum. Menurut McDonald et al.
(2002) bahwa konsumsi ruminansia akan dipengaruhi oleh faktor karakteristik
makanan, hewan dan lingkungan. Karakteristik makanan berupa sifat pakan yang
bulky, kandungan kimia, bentuk pakan, defisiensi nutrien, dan daya cerna pakan
dapat berpengaruh terhadap konsumsi dan kecernaan dari suatu bahan makanan.
Palatabilitas ternak terhadap ransum ditentukan oleh jumlah kandungan energi dan
protein. Ransum perlakuan memiliki kandungan energi dan protein yang tidak
berbeda sehingga palatabilitasnya sama yang menghasilkan konsumsi bahan kering
yang tidak berbeda tiap ransum perlakuan. Konsumsi bahan kering yang dihasilkan
R0 976,70; R1 938,90; R2 1176,30 gram/ekor/hari lebih tinggi dibandingkan hasil
Tarmidi (2004) sebesar 677,59–718,68 gram/ekor/hari yang menggunakan ampas
tebu biofermentasi dengan Pleurotus ostreatus pada ransum sebagai pengganti
rumput raja dengan perbandingan hijauan yang digunakan sebanyak 70%. Konsumsi
penelitian ini diduga dipengaruhi oleh energi yang terkandung dalam ransum (Tabel
4) yang belum memenuhi kebutuhan domba. Ternak akan meningkatkan
konsumsinya untuk memenuhi kebutuhan energi disebabkan energi pakan rendah
(Cheeke, 2005).
Bentuk ransum juga mempengaruhi konsumsi bahan kering dengan ketiga
ransum yang berbentuk mash dapat mempercepat rate of passage atau laju aliran
pakan dalam rumen menyebabkan pengosongan rumen menjadi lebih cepat.
Kesempatan ternak untuk mengkonsumsi ransum lebih banyak agar rumen tetap
terisi makanan serta seluruh bahan penyusun ransum dapat dikonsumsi ternak tanpa
kesempatan untuk memilih makanan yang lebih disenangi sehingga kebutuhan
nutrien dapat terpenuhi.
Hasil penelitian didapatkan bahwa persentase konsumsi domba untuk ransum
R0 3,47%; R1 3,40% dan R2 4,11% yang menandakan ransum yang diberikan telah
mencukupi kebutuhan domba yang harus dikonsumsi satu hari ± 3% bobot badan.
Konsumsi pakan merupakan faktor esensial untuk hidup pokok dan menentukan
produksi ternak (Parakkasi, 1999).
Konsumsi Protein Kasar
Protein merupakan nutrien yang harus tersedia dalam ransum karena berperan
dalam pembentukan sel baru yang akan mendukung pertumbuhan ternak. Konsumsi
25
protein kasar yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh pemberian ransum perlakuan.
Protein adalah bagian dari bahan organik dalam ransum. Jumlah konsumsi akan
dipengaruhi oleh konsumsi bahan kering dan kandungan protein kasar ransum.
Konsumsi bahan kering yang tidak berbeda tiap ransum
menyebabkan jumlah
protein yang dikonsumsi tidak berbeda. Apalagi kandungan protein ransum yang
tidak jauh berbeda tiap perlakuan sehingga perlakuan penambahan sabut hasil
fermentasi dalam ransum
tidak berpengaruh pada konsumsi. Tingkat konsumsi
ternak dipengaruhi oleh konsumsi bahan kering dan defisiensi nutrien seperti protein
yang dapat menurunkan konsumsi makanan (McDonald et al., 2002). Kandungan
protein kasar pada R2 20,53% dengan jumlah konsumsi bahan kering 1176,30
gram/ekor/hari yang dihasilkan konsumsi protein kasar 241,30 gram/ekor/hari lebih
tinggi dibandingkan dua perlakuan lainnya. Konsumsi protein kasar R0 193,80
gram/ekor/hari sedangkan terendah pada R1 178,80 gram/ekor/hari. Jumlah protein
yang harus dikonsumsi domba jantan dalam masa pertumbuhan sebesar 160
gram/ekor/hari (NRC, 1975). Protein dalam ransum perlakuan telah mencukupi
kebutuhan harian domba.
Konsumsi Lemak Kasar
Pemberian ransum yang ditambahkan sabut fermentasi memperlihatkan
adanya penurunan yang nyata pada konsumsi lemak kasar
ransum
(P<0,05).
Konsumsi lemak kasar ransum dengan penambahan 15% sabut fermentasi berbeda
dengan ransum rumput gajah tetapi tidak berbeda dengan ransum 30% sabut
fermentasi. Konsumsi lemak kasar dari ransum dipengaruhi oleh jumlah konsumsi
bahan kering dan kandungan lemak kasar tiap ransum.
Konsumsi ransum R0
27,45% lebih tinggi daripada dua ransum lain R1 16,10% dan R2 27,06% (Tabel 5).
Konsumsi lemak kasar paling besar dipengaruhi oleh kandungan lemak kasar
ransum R0 2,81%; R1 1,72%, dan R2 2,31%. Penggantian rumput gajah dengan
sabut fermentasi menurunkan konsumsi lemak kasar ransum karena sabut fermentasi
menyumbang lemak kasar yang kecil pada ransum. Konsumsi lemak kasar pada
ransum dipengaruhi oleh jumlah konsumsi bahan kering dan kandungan lemak kasar
ransum serta komposisi kimia pakan (Suci, 2011). Fermentasi sabut dengan
Pleurotus ostreatus menghasilkan lemak kasar yang menurun menjadi 0,8% yang
diduga dari luruhnya minyak akibat proses pemanasan yang dilakukan. Hasil lemak
26
kasar lebih rendah daripada penelitian menggunakan ampas sagu sebagai media
tumbuh Pleurotus ostreatus sebesar 0,9% (Sangadji, 2009).
Konsumsi Serat Kasar
Serat kasar merupakan bagian dari bahan organik yang menjadi sumber
energi dari ternak ruminansia. Serat kasar menggambarkan tebalnya dinding sel suatu
tanaman. Serat kasar tersusun dari polimer-polimer karbohidrat bahkan lignin.
Kandungan serat kasar apalagi lignin dalam suatu bahan pakan dapat mempengaruhi
kecernaan nutrien bahan pakan tersebut (McDonald et al., 2002). Lignin adalah
komponen yang paling mempengaruhi kecernaan bahan pakan karena lignin yang
tinggi dapat menurunkan kecernaan nutrien lainnya. Mikroba dalam rumen tidak
dapat mendegradasi lignin karena tidak mensintesis enzim pendegradasi lignin. Jika
bahan pakan yang memiliki lignin tinggi tidak dapat langsung diberikan pada ternak
perlu dilakukan suatu perlakuan untuk menurunkan kandungan lignin. Salah satu
cara yang dapat dilakukan dengan memfermentasikan dengan jamur pendegradasi
lignin, misalnya jamur pembusuk putih (Pleurotus ostreatus). Konsumsi serat kasar
tidak dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan.
Jumlah konsumsi ransum R2
334,80 gram/ekor/hari lebih banyak dari R0 dan R1 sebesar 273,60 dan 255,80
gram/ekor/hari disebabkan oleh serat kasar pada ransum R2 28,47% lebih tinggi
dibandingkan dengan ransum lain. Kandungan serat kasar pada ransum R1 dan R2
masih dapat dikonsumsi oleh domba sama seperti R0.
Konsumsi Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN)
Bahan ekstrak tanpa nitrogen adalah fraksi karbohidrat yang terdapat dalam
makanan. Fraksi karbohidrat dalam suatu bahan makanan terdiri dari dua fraksi yaitu
serat kasar dan BETN. Serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Nilai
BETN didapatkan dari pengurangan 100% bahan kering dengan abu, protein, serat,
dan lemak. Komponen yang termasuk dalam BETN seperti gula, fruktan, pati, pectin,
asam organik dan pigmen (McDonald et al., 2002). Konsumsi BETN domba tidak
berbeda nyata untuk tiap ransum perlakuan. Jumlah konsumsi diduga dipengaruhi
oleh konsumsi bahan kering dan jumlah BETN yang terkandung dalam ransum.
Kandungan nutrien lain (abu, protein, lemak, dan serat) dalam ransum akan
mempengaruhi jumlah BETN. Konsumsi BETN ransum akan terpengaruh oleh
27
jumlah konsumsi bahan kering dan serat kasar ransum (Nur, 2012). Jumlah konsumsi
BETN tertinggi pada ransum R2 4454,5 gram/ekor/hari lalu diikuti oleh ransum R1
dan R0 sebesar 402,30 dan 387,20 gram/ekor/hari. Jumlah konsumsi R2 ini
mengikuti konsumsi bahan keringnya walaupun serat kasar juga paling tinggi.
Fermentasi dengan menggunakan P. ostreatus pada sabut kelapa sawit membuat
ikatan
serat
kasarnya
amorphous
sehingga
memudahkan
mikroba
rumen
mendegradasinya. Perubahan ikatan tersebut mengakibatkan konsumsi bahan kering
meningkat. Fermentasi dengan P. ostreatus pada ampas sagu dapat meningkatkan
BETN dan menurunkan serat kasar, NDF, ADF, selulosa, hemiselulosa, dan lignin
sehingga meningkatkan konsumsi ransum yang ditambahkan ampas sagu (Sangadji,
2009).
Kecernaan Nutrien
Kecernaan merupakan jumlah pakan yang diserap oleh tubuh hewan atau
jumlah pakan yang tidak diekskresikan dalam feses (McDonald et al., 2002).
Kecernaan nutrien pakan menunjukkan kualitas dari pakan tersebut. Persentase
koefisien kecernaan ransum dapat terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Kecernaan Nutrien Ransum Sabut Kelapa Sawit Fermentasi dengan
Pleurotus ostreatus pada Domba Lokal Jantan
Kecernaan (%)
Rataan
Standar Eror (SE)
R0
R1
R2
Bahan Kering
60,54
58,28
54,06
1,07
Protein Kasar
68,54a
61,81b
64,54ab
1,03
Lemak Kasar
84,38
77,25
83,63
2,54
Serat Kasar
45,92d
35,11e
33,53e
1,99
TDN
59,16
57,08
53,82
0,92
Keterangan : Huruf berbeda pada baris kecernaan protein kasar menunjukkan adanya pengaruh
perlakuan (P<0,05); Huruf berbeda pada baris kecernaan serat kasar menunjukkan
adanya pengaruh perlakuan (P<0,01); R0 = 30% Rumput Gajah (RG) + 70%
konsentrat; R1 = 15% RG + 15% SKSF + 70% konsentrat; R2 = 30% SKSF + 70%
konsentrat.
Kecernaan Bahan Kering
Kecernaan
bahan
kering
domba
yang
diberi
ransum
perlakuan
memperlihatkan bahwa penambahan sabut kelapa sawit fermentasi dalam ransum
28
tidak mempengaruhi kecernaan domba sampai taraf 30%. Sabut kelapa sawit
fermentasi dapat menggantikan peran dari rumput gajah dalam ransum. Kecernaan
suatu ransum dapat dipengaruhi oleh konsumsi bahan kering, bentuk ransum,
kandungan ransum, dan kondisi ternak. Menurut Parakkasi (1999) bahwa kecernaan
dipengaruhi oleh tingkat pemberian pakan, spesies hewan, kandungan lignin bahan
pakan, defisiensi zat makanan, pengolahan bahan pakan, pengaruh gabungan bahan
pakan, dan gangguan saluran pencernaan. Kecernaan yang dihasilkan dalam
penelitian ini dapat disebabkan oleh kandungan nutrien dan konsumsi bahan kering
yang tidak berbeda tiap ransum sehingga menyediakan nutrien dalam jumlah yang
sama untuk dimanfaatkan oleh domba. Fermentasi dapat meningkatkan kualitas sabut
sehingga menghasilkan efek terhadap kecernaan yang tidak berbeda. Walaupun nilai
kecernaan terlihat menurun pada penambahan sabut kelapa sawit fermentasi dalam
ransum R1 58,28 % dan R2 54,06% dibandingkan ransum kontrol (R0) 60,54%.
Nilai kecernaan yang dihasilkan lebih rendah dari penelitian Zain (2007) dengan
serat sawit amoniasi sebesar 51,16%-64,51% dengan persentasi hijauan 50% dari
ransum. Jika dibandingkan dengan penelitian Asriningrum (2003) kecernaan bahan
kering dari sabut yang difermentasi Ganoderma lucidum sebesar 58,79%–61,99 %
sedangkan penelitian Sangadji (2009) menghasilkan kecernaan bahan kering ampas
sagu yang difermentasi Pleurotus ostreatus sebesar 70,1%–76,5% dengan hijauan
60% dalam ransum sapi.
Hasil penelitian lebih rendah diduga adanya kandungan lignin yang belum
terfermentasi optimal oleh Pleurotus ostreatus. Kondisi lingkungan yang optimal
untuk pertumbuhan miselium Pleurotus ostreatus pada temperatur 25-28˚C dan pH
5,5-6,5. Substrat media tumbuh Pleurotus ostreatus agar miselium dapat tumbuh
optimal harus mengandung sumber karbon seperti glukosa, pati, selulosa dan lignin
(Chang dan Miles, 2004). Kondisi lingkungan saat masa fermentasi pada musim
kemarau serta jumlah karbohidrat mudah dicerna yang banyak berasal dari dedak
padi menyebabkan lignin belum terdegradasi dengan baik selama masa pertumbuhan
miselium jamur tiram. Pada proses pelapukan kayu oleh mikroorganisme akan
memanfaatkan polisakarida yang mudah dipecah terlebih dahulu lalu mensekresikan
enzim ekstraseluler yang digunakan untuk mendegradasi lignin (Perez et al., 2002).
Jamur Pleurotus sp. termasuk dalam jamur lignoselulosik yang efektif di alam pada
29
pelapukan kayu dengan menghasilkan enzim lakase dan manganese peroksidase yang
mampu mendegradasi lignin ( Martinez et al., 2005; Giardina et al., 2000).
Kecernaan Protein Kasar
Kecernaan protein kasar sangat nyata (P<0,01) menurun dengan penambahan
sabut kelapa sawit fermentasi dalam ransum. Kecernaan ransum perlakuan R2 tidak
berbeda nyata terhadap ransum R0 dan R1. Rataan kecernaan protein kasar pada
ransum R0 68,54% lebih tinggi dibandingkan dua perlakuan R1 61,81% dan R2
64,54%. Penurunan kecernaan protein kasar dipengaruhi oleh kecernaan bahan
kering yang cenderung menurun dengan penambahan sabut fermentasi dalam
ransum. Ransum yang kandungan protein kasarnya rendah memiliki kecernaan yang
rendah pula. Walaupun kandungan protein kasar dari ransum lebih tinggi berkisar
19,04%–20,53% daripada susunan ransum awal sebesar 16% (Tabel 2). Kecernaan
protein dalam pakan tergantung pada jumlah protein dalam ransum, protein dalam
jumlah tertentu diperlukan untuk perkembangbiakan, dan aktivitas mikroba rumen
yang berpengaruh pula pada kecernaan (Parakkasi, 1999). Kecernaan yang menurun
mengindikasikan bahwa protein kasar dalam ransum tidak dapat didegradasi oleh
mikroba rumen dan diserap dengan baik oleh alat pencernaan pasca rumen domba.
Protein yang terdapat dalam pakan pun dibuang melalui feses. Fermentasi oleh
mikroba rumen akan dipengaruhi oleh komposisi pakan seperti perombakan protein
yang berkorelasi dengan kelarutannya serta lignin lebih dari 4%–12% menurunkan
kecernaan dan menghambat penyerapan asam amino di usus halus (Freer dan Dove,
2002). Adanya lignin pada sabut kelapa sawit diduga menyebabkan penurunan
kecernaan protein kasar dengan melindungi protein dari serangan mikroba
proteolitik. Kecernaan protein penelitian ini lebih rendah dari penelitian Asriningrum
(2003) dengan menggunakan biomasa serat kelapa sawit hasil fermentasi G. lucidum
berkisar 73,10%–75,30%. Lignin pada SS hasil fermentasi Pleurotus ostreatus belum
terdegradasi sebaik dengan menggunakan G. lucidum sehingga protein tidak dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh domba. Menurut Nur (2012) bahwa kecernaan
protein akan ditentukan oleh keseimbangan protein dengan zat–zat lain seperti
energi, serat kasar dan tercernanya zat lain. Ransum kontrol R0 memiliki kecernaan
nutrien yang baik dibandingkan dengan ransum R1 dan R2 serta energi yang tersedia
30
lebih banyak terlihat dari nilai TDN (Tabel 7) dan komponen serat kasarnya yang
mudah dicerna oleh mikroba rumen sehingga kecernaan protein kasarnya lebih baik.
Kecernaan Lemak Kasar
Hasil kecernaan lemak kasar domba tidak dipengaruhi (Tabel 5) oleh
pemberian perlakuan sabut kelapa sawit fermentasi dalam ransum. Rataan kecernaan
lemak kasar ransum sebesar R0 84,38%; R1 77,25%, dan R2 83,63 %. Kecernaan
yang tidak berbeda ini dipengaruhi oleh kecernaan bahan kering dari ransum yang
tidak dipengaruhi oleh pemberian perlakuan. Lemak yang mudah dicerna banyak
terdapat pada konsentrat. Konsentrat yang digunakan dalam jumlah banyak pada
ransum menyebabkan lemak mudah dicerna tersedia banyak sehingga daya cerna
lemak kasar tidak berbeda antar perlakuan. Miselium Pleurotus ostreatus yang
terdapat pada sabut juga memiliki asam lemak jenuh sebesar 72% (Chang dan Miles,
2004). Asam lemak jenuh yang banyak dapat meningkatkan kecernaan lemak kasar
ransum. Persentase kecernaan lemak ini seiring dengan kandungan lemak kasar dan
kecernaan bahan kering dalam ransum penelitian yang hampir sama. Penelitian Nur
(2012) bahwa kecernaan lemak domba 74,06%-84,46% yang lebih rendah
dibandingkan dengan hasil penelitian.
Kecernaan Serat Kasar
Degradasi serat kasar oleh mikroba rumen dapat mempengaruhi kecernaan
nutrien makanan. Serat kasar merupakan bagian dari dinding sel tanaman yang
menjadi sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Serat kasar tersusun dari
selulosa, hemiselulosa dan lignin. Kecernaan serat kasar dari ransum yang
ditambahkan sabut kelapa sawit fermentasi nyata menurun (P<0,05) dengan semakin
besar persentasenya dalam ransum. Ransum R0 berbeda nyata dengan ransum yang
ditambahkan sabut fermentasi tetapi ransum R1 tidak berbeda dengan R2.
Rataan nilai kecernaan serat kasar ransum R0 45,92% lalu terus menurun
dengan R1 35,11% dan R2 33,53%. Kecernaan yang menurun ini mengindikasikan
bahwa komponen serat kasar tidak terdegradasi dengan baik oleh mikroba rumen.
Mikroba rumen menghasilkan enzim pendegradasi selulosa dan hemiselulosa tetapi
tidak menghasilkan enzim pendegradasi lignin. Jika bahan pakan yang kandungan
ligninnya tinggi maka bahan pakan tersebut akan tidak dapat dicerna dan dibuang
31
melalui saluran pencernaan. Faktor yang dapat mempengaruhi kecernaan pakan
seekor ternak ruminansia adalah tingkat pemberian pakan, spesies hewan, kandungan
lignin bahan pakan, defisiensi zat makanan, pengolahan bahan pakan, pengaruh
gabungan bahan pakan, dan gangguan saluran pencernaan (Parakkasi, 1999). Sabut
kelapa sawit yang terdapat lignin diduga menghambat kecernaan komponen serat
kasar sehingga serat kasar banyak yang terbuang melalui feses dimana lignin sabut
sawit hasil fermentasi masih 21,18%. Ikatan kristalin yang tersusun atas ester antara
lignin dengan selulosa atau hemiselulosa tersebut tidak dapat dipenetrasi oleh enzim
yang dihasilkan mikroba rumen sehingga selulosa dan hemiselulosa tidak dapat
difermentasi untuk dijadikan sumber energi mikroba. Bentuk pakan yang mash juga
mempengaruhi kecernaan yang menurun dengan mempersingkat waktu fermentasi
pakan dalam rumen. Pengolahan pakan seperti penggilingan dapat mempercepat laju
aliran pakan dalam rumen yang menyebabkan kecernaan menurun (McDonald et al.,
2002). Lama waktu fermentasi dalam rumen yang singkat akan mengurangi
kesempatan mikroba untuk mendegradasi serat kasar dan nutrien lain dalam bahan
pakan dimana laju aliran pakan (rate of passage) menjadi cepat. Laju aliran pakan
yang cepat dapat mengakibatkan nutrien belum terdegradasi sempurna dirumen tidak
dapat diserap oleh usus halus dengan baik sehingga terbuang melalui feses.
Total Digestible Nutrient (TDN)
Energi dapat didefinisikan sebagai kapasitas dalam melakukan suatu kerja.
Bentuk energi yang biasa dijumpai pada ternak seperti energi kimiawi dan energi
thermal. Energi kimia memiliki bagian terbesar dalam menyediakan energi pada
tubuh ternak. Jumlah energi yang tersedia untuk tubuh ternak dapat diukur dari
kecernaan nutrien pakan. Kebutuhan energi dalam penyusunan ransum ternak
ruminansia sering menggunakan data TDN. Energi tercerna dapat dinyatakan dalam
bentuk TDN (Total Digestible Nutrient) yang dinyatakan dalam unit berat atau
persen. Pengukuran TDN berdasarkan dari evaluasi analisis proksimat bahan pakan
dan feses (Perry et al., 2003). Metode pengukuran energi menggunakan TDN ini
pertama kali digunakan di Amerika Serikat secara langsung maupun tidak langsung
pada ternak ruminansia dan babi. TDN adalah penjumlahan dari kecernaan protein,
karbohidrat dan 2,25 lemak (Pond et al., 2005).
32
Rataan TDN domba tidak berpengaruh terhadap pemberian ransum
perlakuan. Nilai TDN (Tabel 6) ransum R0 59,16% lebih tinggi dibandingkan
dengan R1 57,08 % dan R2 53,82%. Empat faktor yang mempengaruhi nilai TDN,
yaitu persentase bahan kering (BK), kecernaan bahan kering, jumlah mineral
tercerna, dan jumlah lemak tercerna (Perry et al., 2003). Konsumsi bahan kering,
kecernaan bahan kering, dan kecernaan lemak dari ransum perlakuan yang tidak beda
nyata sehingga persentase nilai TDN yang dihasilkan pun tidak beda nyata.
Pengukuran TDN suatu bahan makanan pada ternak tertentu dapat diketahui bahwa
energi yang tersedia dalam pakan itu telah mencukupi kebutuhan ternak atau belum
secara semu. Nilai TDN ransum penelitian lebih rendah dibandingkan penelitian Zain
(2007) sebesar 63,2% menggunakan sabut kelapa sawit amoniasi sebanyak 50%
dalam ransum.
Retensi Nitrogen
Retensi nitrogen secara umum menggambarkan protein yang dimanfaatkan
oleh tubuh ternak. Nilai retensi nitrogen didapatkan dari selisih nitrogen yang
dikonsumsi dengan nitrogen yang dikeluarkan dari feses dan urin. Nilai rataan retensi
nitrogen dapat dilihat pada Tabel 7. Rataan retensi nitrogen tidak berbeda nyata pada
tiap ransum. Nilai retensi nitrogen tiap ransum masih positif. Hal ini menunjukkan
bahwa protein dari tiap ransum dimanfaatkan oleh tubuh ternak dengan baik.
Kecernaan protein kasar
ransum akan berpengaruh terhadap retensi nitrogen.
Kecernaan protein tergantung pada banyaknya kandungan protein di dalam pakan
(McDonald et al., 2002). Kecernaan protein kasar ransum sejalan dengan kandungan
protein dari tiap ransum tetapi didapatkan bahwa nitrogen yang diretensi semakin
meningkat dengan penambahan sabut fermentasi dalam ransum. Protein yang
terdapat pada sabut kelapa sawit yang sebelumnya bersifat tidak dapat didegradasi
dengan proses fermentasi terjadi pemecahan ikatan lignoselulosa sehingga protein
menjadi lebih mudah didegradasi oleh mikroba rumen yang dapat meningkatkan
penyerapannya pada usus. Nitrogen ini selanjutnya dimanfaatkan oleh tubuh dengan
baik salah satunya untuk pembentukan jaringan massa otot. Nitrogen dari protein
pakan dapat digunakan dan diretensi oleh ternak dipengaruhi oleh jumlah energi
yang tersedia yang akan mempengaruhi bobot badan (Sun dan Zhao, 2009).
Fermentasi oleh Pleurotus ostreatus ampas sagu yang memiliki serat kasar tinggi
33
dapat meningkatkan retensi nitrogen pada sapi (Sangadji, 2009). Retensi nitrogen
pada tubuh domba terlihat dari pertambahan bobot badan yang meningkat dengan
pemberian sabut fermentasi dalam ransum. Hasil penelitian yang didapatkan lebih
tinggi dari penelitian Asriningrum (2003) sebesar 7,10%–9,78% pada pemberian
ransum dengan penambahan tandan kosong dan sabut kelapa sawit hasil fermentasi
Ganoderma lucidum pada domba.
Tabel 7. Rataan Retensi Nitrogen, Efisiensi Ransum, dan Pertambahan Bobot Badan
Harian Domba
Uraian
Rataan
Standar Eror (SE)
R0
R1
R2
Retensi Nitrogen (%)
23,10
25,34
35,34
2,28
Efisiensi Ransum (%)
15,43
15,02
14,56
11,5
PBBH (gram/ekor/hari)
152,3
139,80
172,10
0,79
Keterangan : R0 = 30% Rumput Gajah (RG) + 70% konsentrat; R1 = 15% RG + 15% SSf + 70%
konsentrat; R2 = 30% SSf + 70% konsentrat.
Performa Domba
Perlakuan yang diberikan berupa serat kelapa sawit fermentasi pada domba
diharapkan memberi pengaruh positif terhadap produktivitas domba tersebut.
Produktivitas dapat diukur dari efisiensi pemanfaatan makanan yang dikonsumsi oleh
domba dapat berpengaruh positif meningkatkan pertambahan bobot badan harian
(PBBH) domba yang dapat dilihat pada Tabel 7.
Pertambahan Bobot Badan Harian
Laju pertumbuhan ternak dengan pemberian suatu ransum dapat dilihat dari
pertambahan bobot badan harian. Rataan pertambahan bobot badan harian domba
hasil sidik ragam tidak berbeda dengan penambahan sabut kelapa sawit fermentasi
dalam ransum. Penambahan sabut sebanyak 30% memberikan pengaruh yang positif
dengan bobot badan yang meningkat selama pemeliharaan. Fermentasi sabut kelapa
sawit oleh Pleurotus ostreatus dapat menigkatkan palatabilitas ternak dan
ketersediaan nutrien yang mudah dimanfaatkan oleh domba. Degradasi jerami oleh
enzim-enzim yang diproduksi Pleurotus ostreatus selama masa produksi dapat
memudahkan ruminansia mencerna zat makanan yang terkandung dalam jerami
34
sehingga dapat meningkatkan konsumsi bahan kering, bobot badan, dan efisiensi
penggunaan bahan makanan oleh ruminansia (Admovic et al., 1998). Ransum R2
menghasilkan pertambahan bobot badan harian (Tabel 7) yang lebih tinggi sebesar
172,10 gram/ekor/hari dibandingkan R0 152,30 gram/ekor/hari dan ransum R1
139,80 gram/ekor/hari. Pertambahan bobot badan domba yang dihasilkan dengan
pemberian media tanam Ganoderma lucidum yang terdiri dari campuran TKKS dan
SS sebagai pengganti rumput gajah sebesar 45,37-57,41 gram/ekor/hari (Priono,
2007). Hasil pertambahan bobot badan harian penelitian yang didapatkan lebih
tinggi. Pertambahan bobot badan harian ini diduga adanya pertumbuhan kompensasi
(compensatory growth) dari domba. Pertumbuhan kompensasi dapat terjadi pada
ternak yang kekurangan nutrisi lalu mengalami pertumbuhan yang melebihi normal
ketika mendapatkan pakan yang kualitasnya lebih baik. Menurut Soeparno (1994)
pertumbuhan kompensasi pada ternak dapat terjadi akibat dari ternak yang
kekurangan makanan yang bernutrisi sehingga pertumbuhannya lambat, jika ternak
tersebut mendapat makanan yang sesuai kebutuhan maka pertumbuhannya akan
cepat bahkan melebihi pertumbuhan normal ternak tersebut. Ternak yang mengalami
pertumbuhan kompensasi memiliki pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan
yang lebih tinggi serta menimbun protein lebih banyak dan lemak lebih sedikit pada
setiap pertambahan bobot badan ternak tersebut (Ryan et al., 1993; Sainz et al.,
1995). Domba yang digunakan dalam penelitian, sebelum diberi perlakuan
mendapatkan makanan hanya berupa hijauan oleh peternak dan belum mencukupi
kebutuhan ternak. Domba yang diberikan pakan yang berkualitas (konsentrat) dalam
jumlah yang lebih banyak dalam ransum dapat meningkatkan PBBH dan lama
pemeliharaan akan mempengaruhi PBBH yang disebabkan oleh fenomena
pertumbuhan kompensasi (Purbowati, 2001). Ransum yang diberikan selama
penelitian kandungan nutrien telah disusun sesuai dengan kebutuhan domba sehingga
domba mengalami pertumbuhan kompensasi.
Efisiensi Ransum
Ransum perlakuan tidak berpengaruh terhadap efisiensi penggunaan ransum
oleh domba. Efisiensi penggunaan ransum pada domba diperlihatkan pada Tabel 7.
ransum R0 15,43%, R1 15,02% dan R2 14,56% hasil ini lebih tinggi dari penelitian
sebelumnya oleh Zain (2007) bahwa efisiensi pakan domba yang diberi ransum sabut
35
amoniasi 6,6% sedangkan ransum rumput lapang sebesar 12,27%. Nilai efisiensi
tersebut termasuk dalam kisaran normal efisiensi rasum untuk domba tropis. Domba
priangan yang diberi ampas tebu hasil biofermentasi oleh Pleurotus ostreatus sebagai
substitusi rumput raja dengan rasio hijauan dalam ransum 70% dapat menghasilkan
efisiensi ransum (8,2%–10,4%) yang masih masuk kisaran normal efisiensi ransum
domba tropis (Tarmidi, 2004). Fermentasi sabut kelapa sawit dengan Pleurotus
ostreatus juga dapat meningkatkan efisiensi pakan jika dibandingkan dengan ransum
sabut amoniasi. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa domba yang diberikan
ransum dengan sabut kelapa sawit fermentasi oleh Pleurotus ostreatus sampai 30%
cenderung menurunkan efisiensi pakan. Efisiensi pakan dipengaruhi oleh faktor
kemampuan ternak dalam mencerna bahan makanan, jenis makanan, dan kecukupan
nutrisi untuk hidup pokok, pertumbuhan, dan fungsi tubuh (Campbell et al., 2003).
Nutrisi dan kecernaan dari ransum perlakuan yang hampir sama menyebabkan
efisiensi pakan yang tidak berbeda.
Pembahasan Umum
Fermentasi menggunakan jamur Pleurotus ostreatus dapat meningkatkan
kualitas sabut kelapa sawit terutama protein kasar. Konsumsi dari ransum sabut
fermentasi menunjukkan peningkatan tetapi kecernaannya menurun dengan sabut
kelapa sawit fermentasi dalam ransum. Kecernaan yang menurun diduga disebabkan
oleh lignin sabut yang belum terfermentasi optimal. Lignin sabut kelapa sawit masih
lebih tinggi dari rumput gajah sehingga nutrien sabut kelapa sawit fermentasi banyak
yang terbuang melalui feses, terlihat pada kecernaan bahan kering, protein kasar,
serat kasar dan energi yang menurun. Retensi nitrogen dari sabut kelapa sawit
fermentasi meningkat, diduga protein dari sabut tersebut lebih mudah difermentasi
atau bersifat by pass sehingga nitrogennya banyak yang teretensi dalam tubuh
domba. Retensi nitrogen ini mempengaruhi pertambahan bobot badan domba yang
meningkat. Pertambahan bobot badan domba ini merupakan pertumbuhan
kompensasi dari domba. Efisiensi ransum domba mengalami penurunan dengan
sabut kelapa sawit dalam ransum. Pertumbuhan kompensasi terjadi akibat domba
diberi pakan yang tidak mencukupi kebutuhannya saat dipelihara peternak.
Kecernaan domba mungkin dapat ditingkatkan dengan optimalisasi waktu fermentasi
sabut kelapa sawit agar ligninnya sama dengan rumput gajah. Pada penelitian ini
36
dihasilkan retensi nitrogen, efisisien ransum dan pertumbuhan bobot badan yang
yang lebih tinggi dari penelitian sebelumnya. Hal ini diduga pengaruh dari
pertumbuhan kompensasi sehingga tubuh domba berusaha untuk mengembalikan
kondisi normalnya. Domba yang mengalami pertumbuhan kompensasi akan
mengkonsumsi pakan lebih banyak, kecernaan, metabolisme energi, retensi nitrogen,
dan efisisien yang lebih baik dari domba yang diberikan pakan sesuai kebutuhan
sehingga pertambahan bobot badan dapat melebihi rata-rata pertumbuhan normal
domba (Mahyuddin, 1995; Mahyuddin dan Teleni, 1995; Purbowati, 2001). Sabut
kelapa sawit fermentasi sebanyak 50% menggantikan rumput gajah atau 15% dalam
ransum memberikan pengaruh yang lebih baik daripada 100% SSf atau 30% dalam
ransum. Pemeliharaan domba perlu dilakukan dalam jangka waktu yang lebih
panjang agar terlihat pengaruh dari sabut kelapa sawit fermentasi terhadap kecernaan
dan performa domba. Pemeliharaan yang lebih panjang diharapkan dapat
memperlihatkan hasil yang tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan kompensasi yang
sedang dialami domba atau sesuai dengan pertumbuhan normal domba.
37
Download