Pemasaran berperspektif budaya

advertisement
MARKETING
Pemasaran berperspektif
13
Edisi Minggu Bisnis Indonesia
15 Agustus 2010
budaya
R
ealitasnya kita saksikan, pasar global kian
terbuka. Sushi, hamburger, kebab, menjadi
bagian gaya hidup orang kota. Michael Jackson,
Angelina Jolie dan Valentino Rossi, adalah
pujaan bersama.
Kesadaran merek global memberi ruang
LEILA MONA GANIEM
ekspansi
atas pasar lokal yang telah jenuh.
Doktor Ilmu Komunikasi,
Pemilik
uang
diberbagai belahan dunia,
Konsultan Pengembangan
mengendarai kendaraan bermerek sama, jam
Pribadi
tangan sama, dan jaringan hotel yang sama.
Dosen di sejumlah
Orang muda dan orang kaya memiliki gaya
universitas di Jakarta
hidup yang mirip diberbagai negara (Pr. Smith,
1997:272). Kita juga rasakan banyak kendala
politik terurai akibat pendekatan ekonomi.
Lalu, apakah standardisasi strategi
komunikasi pemasaran dapat dilakukan?
Alasannya, kelompok sosio-demografik yang
dituju sama. Syaraf dari pasar yang disentuh
juga kira-kira sama.
Jawaban segar datang dari Levitt, Theodore
(1983). Dia menyimpulkan bahwa komunikasi
pemasaran dapat distandardisasi lintas budaya.
Secara praktis perusahaan mendapat manfaat
langsung adanya pengurangan biaya produksi
iklan dan biaya implementasi strategi baru.
Namun, tidak sedikit ahli menolak asumsi
Levitt. Menurut mereka, meski suatu produk/
jasa dapat diterima, ada keunikan halus yang
kadang tidak mudah dipahami. Misalnya, orang
China mengasosiasikan warna merah sebagai
keberuntungan.
Sementara warna
hijau adalah warna
Konsumen dari negara spesial bagi orang
kolektivis cenderung lebih suka Islam. Beberapa hotel di
meniru dan kurang inovatif Amerika atau Inggris
memiliki ruang
dalam pembelian dibandingkan tidak
atau lantai bernomor
dengan budaya individualistik. 13. Tidak semua orang
memahami perbedaan
tersebut.
Robert Guang Tian, ahli komunikasi
pemasaran, mengingatkan ”Sangat penting bagi
para pemasar tahu bahwa tidak ada ruang
untuk etnosentrisme dalam praktik pemasaran
abad ke-21.”
Upaya agresif yang ditebarkan korporasi
belum tentu direspon seperti harapan. Faktor
budaya ditengarai berpengaruh paling luas dan
dalam, pada perilaku konsumen. Mengapa
budaya penting?
Isi kepala
Pertanyaan, saran,
kritik, dan komentar
dapat disampaikan ke
redaksi melalui:
[email protected], dan
www.bisnis.com
Menurut Hofstede (2003), budaya adalah
software of the mind. Budaya merupakan
kumpulan nilai, persepsi, dan perilaku yang
dipelajari oleh anggota masyarakat.
Budaya sangat alami, tidak disadari dan
sering diterima begitu saja. Praktisi juga perlu
menyadari potensi dirinya terbelenggu oleh
kepastian budaya yang dianutnya, sehingga
dalam membuat keputusan, tidak sensitif lagi
terhadap perbedaan.
Masih ingat bagaimana produk donat
dihadirkan di Indonesia? Semula, ukurannya
sebesar. Bagi orang Amerika donat adalah menu
sarapan. Bagi kita, donat adalah camilan,
tambahan nasi. Kini banyak kita temukan donat
mini.
Kesalahan Ford ketika memperkenalkan
merek ’Pinto’ di Brasil tercermin pada buruknya
angka penjualan. Ford akhirnya menyadari
bahwa orang Brazil tidak ingin menaiki mobil
yang namanya berarti ‘alat kelamin yang kecil
pada pria’.
Untuk iklan, standarisasinya sulit dilakukan
BISNIS/ADI PURDIYANTO
(Stephan Hall, 2004). Riset Hall
menyimpulkan, konsumen dari negara kolektifis
cenderung lebih suka meniru dan kurang
inovatif dalam pembelian dibandingkan dengan
budaya individualistik. Pernyataan be your self
dan stand out, bisa jadi lebih efektif di negara
individualis daripada kolektivis.
Kekuatan hukum tidak selalu menang ketika
berhadapan dengan budaya. Hal itu dapat kita
saksikan pada kasus Koja antara PT. Pelindo
dengan ahli waris Mbah Priuk. Kasus Drydock
pada April 2010 juga memberi pelajaran pada
kita mengenai pentingnya memahami budaya
dalam mengembangkan hubungan internal
dalam korporasi. Adanya kasta di India
diprediksi berkonstribusi pada pola komunikasi
diantara mereka.
Negara dengan penghindaran
ketidakpastiannya tinggi, cenderung bereaksi
segera menghentikan atau melarang suatu
produk bila ada kesalahan atau kerusakan.
Bahkan, bila hal itu tidak terjadi dinegaranya.
Negara dengan budaya penghindaran
ketidakpastian rendah, cenderung baru bereaksi
bila keadaan kian buruk.
Ada perbedaan antara surat penawaran
produk yang dikirim oleh orang Kanada dan
Amerika. Orang Amerika cenderung
membangun kredibilitas dengan menyampaikan
secara signifikan kelebihan produknya,
sementara orang Kanada tidak terlalu
mengunggulkan diri.
Orang Kanada cenderung curiga bila diimingimingi hadiah jika merespon direct mail.
Menurut mereka, berarti produk/jasanya tidak
layak beli. Orang Amerika bereaksi biasa saja
(Graves, 1997).
Pada negara Arab, hubungan personal yang
dilandasi kepercayaan cenderung lebih berhasil
daripada penjelasan sistematis yang formal.
Sementara bagi orang Amerika, spesifikasi lebih
dipercaya daripada bujukan pribadi.
Konsumen Perancis lebih suka kupon dan
twin pack promotion daripada konsumen
Inggris. Konsumen Inggris lebih merespon bila
ada x percent extra free. Orang Hispanik curiga
pada ’Garansi Uang Kembali”. Menurut mereka,
pasti ada apa-apanya dengan barang tersebut
Dunia penuh keragaman budaya. Korporasi
sebaiknya mempertimbangkan kondisi budaya
lokal meskipun pada merek global.
Penyeragaman pendekatan strategi komunikasi
pemasaran (iklan, direct marketing, personal
selling, PR dan promosi penjualan) tidak
sepenuhnya tepat dan menimbulkan kerugian.
Meski demikian, standardisasi pada tingkat
tertentu dapat dilakukan sebagai dasar
keputusan. Penggunaan jasa lokal dapat pula
sebagai solusi dalam memahami perilaku
konsumen.
Download