gyguguyguygiuigfyfguigiifuu

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
“Rotator Cuff” merupakan kelompok otot stabilitator aktif sendi glenohumeralis dan
sekaligus sebagai penggerak. Dengan demikian fungsi “rotator cuff” berkaitan dengan
fungsi pemeliharaan sikap dan membuat sendi glenohumeralis dan berkaitan dengan sikap
tubuh serta gerak tubuh secara keseluruhan.
Sakit pada “Rotator Cuff” dapat disebabkan oleh trauma besar atau kecil baik secara
langsung ataupun tidak langsung, atau oleh infeksi, metabolismae, neoplasma atau
kongenital.. Dalam makalah ini hanya diulas penyebab trauma atau gangguan trofik dalam
kaitannya dengan sikap tubuh baik lokal maupun segmental, gerak anggota tubuh,
mobilitas lokal dan segmental serta kaitannya dengan nutrisi.
Dalam klinis ternyata penyakit pada “Rotator Cuff” cukup kompleks, gangguan
segmental “cervical” bawah dan “thoracal” atas serta hiper aktifitas sistem simpatis dapat
menyebabkan patologi pada “Rotator Cuff”
14 1
BAB II
ISI
1.
ROTATOR CUFF
Pada sendi glenohumeralis stabilitasnya terutama dipelihara oleh stabilitator aktif,
Yaitu oleh aktifitas “rotator cuff”, mengingat bentuk mangkuk sendinya lebih longgar serta
lingkup geraknya sangat luas.
“Rotataor Cuff” terdiri atas m.sub skapularis, m.supra spinatus, m. infra spinatus dan
m. teres minor. Karena m. teres minor jarang terjadi patologi dan fungsinya sebagai
stabilitator kecil, maka pada makalah ini tidak dibahas.
1.1
M. Sub Skapularis
Terletak di sebelah vental sendi gleno humeralis dengan origo pada facies anterior
skapulae dan insersinya pada tuberkulum minus humeri. Tendonnya tipis tapi lebar dan
sebagian kecil menutupi tendon m. biceps caput longum, inervasinya diperoleh dari n. sub
skapularis segmen C5, C6, C7 dan (C8) terutama dari C5 dan C6. Fungsinya sebagai gerak
endorotasi dan adduksi horizontal serta sebagai stabilitator depan.
Provokasi regangan pada ROM Maksimal abduksi horizontal atau ekso rotasi,
provokasi tekanan pada ROM maksimal adduksi horizontal serta adduksi elevasi dengan
posisi lengan eksorotasi.
1.2
M. Supra Spinatus
Tipe serabutnya netral , berarti fungsinya sebagai stabilitator dan penggerak
seimbang. Letaknya pada bagian posterior sendi gleno humeralis. Origonya pada fossa
infraspinata 2/3 bagian medial dan insersinya pada permukaan medial tuberkulum mayus
humeri. Disarafi oleh n. supra skapularis dari segmen (C4), C5 dan (C6).
Fungsi sebagai stabilitator sendi gleno humeralis bagian posterior serta sebagai
penggerak sendi gleno humeralis ke arah eksorotasi dan abduksi horizontal.
Provokasi regangan pada ROM akhir adduksi horizontal sedangkan tekanan pada
gerak abduksi elevasi 45-120 derajat dengan posisi lengan tanpa eksorotasi.
14 2
2.
MOBILITAS “SHOULDER COMPLEX” DAN PENGARUHNYA
Secara timbal balik sikap dan mobilitas kompleks sendi bahu mempengaruhi “rotator
cuff” selalu berkaitan dengan sikap dan gerak bahu.
2.1
Sikap
Sikap bahu yang turun atau posisi skapula turun menyebabkan cavitas glenoidalis
menghadap serong ke kaudal, sehingga diperlukan aktifitas berlebih dari m. supra spinatus.
Akibatnya otot tersebut hipertropi dan hipertonia. Pada aktifitas dengan abduksi sendi bahu
m. supra spinatus teriritasi. Disamping itu dalam kerja statik, m. supra spinatus dapat
terjadi iskemik yang kemudian diikuti dengan proses radang kronik sehingga terjadi miosis
atau tendomiosis.
2.2
Gerak
Gerak bahu secara normal terjadi halus dan terkoordinasi , dimana grak pada masingmasingsendi dan kerja otot yang terkait pada shoulder compleksterjadi secara sinkron. Dr.
E. Codman memilahkan masing-masing gerak yang terjadi pada humerus, skapula dan
klavikula sebagai “skapulo humeral rhythm”.
Tiap abduksi 15 derajat terdiri atas komponen gerak abduksi gleno humeralis 10
derajat dan rotasi skapula terhadap didnding torak 5 derajat. Perbandingan 2 : 1 dari
humerus dan skapula ini terjadi terus sepanjang abduksi bahu dengan pola halus dan ritmis.
Skapula hanya dapat rotasi 60 deajat dan humerus bergerak aktif hanya mencapai 90
derajat. Untuk mencapai abduksi elevasi penuh diperlukan rotasi humerus keluar.
Oleh Steven-Overbeek ananlisa “scapulo humeral rhytm” ini disempurnakan lagi
dengan meneliti gerak klavikula, intervertebralis dan kostovertebralis. Pada akhir gerak
abduksi elevasi ternyata terjadi gerak rotasi C7-Th4 dengan arah yang sama dan fleksi
lateral ke sisi yang berlawanan serta terjadi gerak elevasi kosta I dan II (III) pada sisi yang
sama.
Apabila terjadi deviasi pada sendi glenomumeralis (hipomobil), maka gerak skapula
lebih awal, dikenal sebagai “reserve humeroscapular rhyhtm”. Pada situasi ini rotator cuff
tidak terganggu. Tetapi apabila sendi akromioklavikularis terdapat hipomobilitas atau sendi
sternoklivikularis terdapat hipomobilitas, maka terjadi gerak glenohumeralis secara lebih
awal atau berlebih sehingga pada abduksi bahu terjadi benturan antara tuberkulum minus
14 3
humeri, yang dapat menyebabkan cidera pada tendon m. supraspinatus atau m.
infraspinatus. Sementara pada gerak adduksi horizontal akan terjadi benturan antara
humerus denga procesus coracoideus yang dapat menyebabkan cidera pada tendon m.
subskapularis atau bisa menimbulkan regangan berlebih pada m. infraspinatus.
Apabila terjadi hipomobilitas intervertebralis C7-Th4 dan kosta I-II, pada ROM akhir
sendi bahu dapat menimbulkan terauma seperti di atas. Hal ini terjadi pada saat olahraga.
2.3
Olah Raga
Pada olah raga melempar, misalnya pada ‘base ball’ atau lempar lembing, pada waktu
akselerasi
terjadi rotasi humerus maksimal disusul konteraksi mendadak ke arah
endorotasi. Pada fase inilah sering terjadi sprined m. subskapularis. Pada fase yang sama
terjadi pula pada olah raga tenis dan bulutangkis saat melakukan ‘over head smash’.
Pada gerak ini dapat terjadi pula benturan tendon m. supraspinatus yang dapat terjadi
pada olah raga palang sejajar atau ring.
Pada olah raga golf atau pukulan ‘back hand’ pada tenis dapat pula menyebabkan
benturan tendon m. subscapularis dengan proc. Coracoideus.
Pada olah raga gulat, judo dan lain-lain yang dapat menyebabkan sprained atau sub
luksasi atau bahkan luksasi akan menyebabkan cidera pada “rotator cuuf”. Demikian pula
pada kecelakaan olah raga atau kecelakaan lalu lintas.
3.PATOLOGI ROTATOR CUFF
3.1
Beberpa Patologi
Patologi ‘ rotator cuff’ umumnya disebabkan faktor-faktor seperti telah dibahas di
atas, yaitu mikro trauma dan makro trauma baik terjadi karena adanya hipomobilitas
‘shoulder complex’, gangguan sikap, olah raga pekerjaan atau kecelakaan. Namun dapat
pula karena faktor penyebab yang lain yaitu misalnya problema segmental C5-C6. Adanya
iritasi pada radik C5-C6 (C7) akan menyebabkan nyeri radikuler yang dapad menyebabkan
nyeri pada otot-otot yang sesegmen.
Apabila keluhan nyeri berlangsung lama akan menimbulkan ‘shympatetic
nocisensoric reflex’ yaitu aktifitas sistem simpatis yang berlebih sehingga terjadi gangguan
mikro sirkulasi pada jaringan yang memperoleh efferent simpatis tersebut, akibatnya dapat
terjadi miosis atau tendomiosis dan zona jaringan ikat pada dermatome simpatisnya.
14 4
3.2 Proses Penyembuhan Luka
Sebenarnya proses penyembuhan jaringan tubuh secara alami yang memiliki pola
dan tahapan tertentu dengan waktu tertentu pula. Tetapi tiap tahap penyembuhan luka
sangat bertumpang tindih dan saling terkait. Apabila pada satu tahap terganggu maka akan
mulai dengan tahap peradangan lagi dan sepanjang gangguan tidak hilang maka proses
inflamasi bisa berlangsung lama.
Tahapan proses penyembuhan adalah sebagai berikut :
Kerusakan Jaringan
Perdarahan
Fase I
Peradangan
Fase II
Regenerasi
Fase III
Proliverasi -> Produksi -> Pembentukan kembali
Sembuh
4.ANALISA DASAR MANUAL TERAPI
Dari pengetahuan dasar anatomi, fisiologi / kinesiologi danpatologi dikaitkan
dengan data yang diperoleh dari pemeriksaan, haruslah dianalisa dengan cermat sehingga
diperoleh problema yang sebenarnya serta dapat ditetapkan metode dan modalitas yang
paling efektif dan efisien.
Analisa dasar pada kasus ini antara lain meliputi sikap maupun gerak tubuh dan
anggota tubuh selalu stimultan yang melibatkan beberapa sendi dan otot serta aktifitas
fisiologi yang lain. Pada gangguan fungsi perifer dapat disebabkan oleh gangguan fungsi
kolumna vertebralis dan sebaliknya. Pada patologi perifer dapat menyebabkan manifestasi
nyeri pada jaringan lain yang sesegmen. Makin dalam dan makin ke proksimal serta makin
tinggi aktualitasnya, makin jauh dan luas ‘reffered sensation’ yang terjadi. Gangguan sikap
merupakan salah satu faktor penyebab patologi gerak. Gangguan fungsi segmental selalui
14 5
dijumpai ketegangan otot dan gangguan sensorik seperti nyeri pada jaringan sesegmen.
Gangguan fungsi yang telah melibatkan sistem simpatis dapat menyebabkan terjadinya
‘trigger point syndrome’, tendomiosis atau miosis.
5. PENGKAJIAN
Pada kasus ini, keluahan utama pasien adalah nyeri, dapat hanya terjadi pada saat
gerak atau bahkan saat istirahat, hanya pada sekitar gelang bahu saja atau menyebar ke
lengan atas atau bahkan sampai lengan bawah. Tak seorangpun dapat menetapkan bahwa
hal tersebut adalah ‘rotator cuff’ tertentu dengan lokasi tertentu pula tanpa melakukan
pemeriksaan yang cermat. Oleh sebab itu perlu dilakukan pemeriksaan dengan sistematika
yang baku, yaitu dari anamnesa, inspeksi kemudian disusul pemeriksaan fungsi gerak
meliputi tes orientasi, pemeriksaan gerak aktif, gerak pasif dan gerak isometris melawan
tahanan, untuk kemudian beranjak dari pemeriksaan di atas dilakukan pemeriksaan khusus
termasuk palpasi seta pemeriksaan tambahan bila diperlukan.
Hasil dari pemeriksaan dianalisa, dikaitkan dengan komponen shoulder complex dan
segmental.
5.1 Anamnesis
Apabila seorang pasien datanga ke praktek dengan keluhan rasa sakit di sekitar
daerah bahu atau lengan atas, maka kita pertama-tama dapat mempertanyakan dari apakah
keluhan mungkin disebabkan oleh gangguan pada ( gelang ) bahu. Sewaktu membuat
anamnasa kita sudah bisa membuat kesan tentanga hal ini. Pasien biasanya akan
mengatakan bahwa keluhannya timbul bila lengan digerakkan. Acap kali gerakan, yang
terjadi dari elevasi lengan di atas kira-kira 90 derajat, menimbulkan masalah. Kadangkadang pasien mengatakan bahea dia tidak dapat berbaring pada sisi yang terkena, sehingga
istirahat malamnya terganggu. Jika gerakan kepala dapat menimbulkan keluhan, maka
analisa kita pertama-tama menuju ke arah adanya kelainan di tulang belakang bagian
cervikal. Apabila keluhan sama sekali tidak ada hubungannya dengan gerakan, maka kita
harus waspada akan adanya patologi yang sama sekali lain, yang lokasinya juga tidak harus
berada di alat penggerak tubuh ( angina pectoris, batu empedu, dan lain-lain ).
Bertitik tolak dari kenyataan bahwa keluhan rasa sakit memang timbul apabila lengan
digerakkan, ternyata bahwa rasa sakit yang dikeluhkan hampir selalu ditunjukkan di tempat
14 6
yang sama, apapun jenis kelainannya: yaitu di daerah deltoidea. Daerah ini termasuk
segmen leher yang kelima. Hampir semua struktur daerah bahu secara embriologis berasal
dari segmen C5 itu. Akibatnya adalah bahwa ‘reffered pain’ terasa di dalam dermatom C5.
Clavicula, sendi akromioklavikuler dan sendi sternoklavikuler berasal dari segmen C4.
Apabila rasa sakit ditunjukkan berada di daerah dermatom C4, ada penyebabnya dapat
berada di sendi AC dan SC.
Pertanyaan kedua adalah: apakah dapat ditunjukkan faktor-faktor penyebab yang
mengakibatkan timbulnya keluhan tersebut? Dalam hal ini dapat dipikirkan trauma atau
pembebanan yang terlalu berat ( insidentil atau kronis ) baik traumata maupun pembebanan
yang terlalu berat dapat berhubungan dengan aktifitas pasien sehari-hari ( pekerjaan, hobi,
olah raga ) Di pihak lain juga imobilisasi ( bidai gips, kain sandang ) dapat menyebabkan
kelainan.
Ketiga, berguna untuk mendapatkan kesan tentang parahnya keluhan. Sebenarnya
rasa sakit itu sukar untuk dinyatakan obyektif, namun walaupun demikian masih mungkin
untuk memberikan gradasi tertentu, menurut kriteria yang dapat diberikan pasien dengan
baik. Semakin parah gangguannya, semakin jauh penjalaran rasa sakit. Suatu luka ‘ringan’
memberikan rasa sakit di lengan atas, luka yang ‘berat’ menyebabkan penjalaran rasa sakit
sampai lengan bawah. Suatu luka ‘berat’ kadang-kadang sudah menyebabkan rasa sakit
dalam keadaan istirahat, sedangkan luka ringan menimbulkan rasa sakit hanya bila lengan
digerakkan. Pada luka yang ‘berat’ pasien kadang-kadang mengatakan bahwa waktu malam
dia terbangun bila berbalik ingin tidur menyamping pada sisi yang terkena. Sedangkan
pada luka yang ringan tidak demikian halnya.
Pada akhirnya kita masih harus menyakinkan diri bahwa keluhan sehubungan dengan
bahu itu terlepas dari hal-hal lain: apakah ada keluhan sehubungan dengan sendi-sendi lain,
apakah terdapat gejala-gejala penyakit yang umum ( demam, kelemahan, eksantema ),
apakah pasien mengenal penyakit ( kronis ) yang lain, apakah pasien memakai medikasi
pemeliharaan? Sudah jelas umur pasien kadang-kadang relevan.
5.2 Inspeksi
Inspeksi sudah mulai dari saat pasien masuk: apakah lengan ditopang dalam sikap
tertentu ( oleh lengan yang sehat atau oleh kain sandang )? Juga sementara pasien
membuka pakaian gangguan gerak acap kali sudah tampak. Jelaskan bahwa untuk
14 7
pemeriksaan bahu, pakaian bagian atas harus dibuka seluruhnya. Selanjutnya pasien
diperiksa dalam sikap duduk atau berdiri: posisi kepala, simetri kontur tubuh ( m. trapezius,
m. deltoideus, claviculae, scapulae ), posisi tulang belakang, berubahnya warna kulit, atrofi
otot, pembengkakan yang abnormal.
Adanya asimetri ringan sebagai akibat skoliosis torakal yang ringan tidak mempunyai
arti klinis. Juga posisi bahu dominan agak lebih rendah merupakan gejala yang normal,
yang terutama pada olahragawan sering ditemukan. Atrofi m. supraspinatus dan m.
infraspinatus kadang-kadang tidak kita lihat dalam inspeksi. Walaupun hal ini sebenarnya
mudah terlihat,jika kita membandingkan lengkungan-lengkungan di sebelah spina scapula
kiri dan kanan.
5.3 Tes Orientasi
Pada pemeriksaan regio bahu perlu dilakukan tes orientasi, yaitu tes cepat untuk
melihat sepintas adakah kelainan pada kuadran yang terkait, meliputi tes orientasi regio
cervical-thoracal atas dan scapulohumeral rhytm.
Tes flexi-extensi dan gerak tiga dimensi sisi yang sama dari leher. Tes gerak flexiextensi untuk provokasi pada discus dan facet daerah leher dan thoracal atas, sedangkan
gerak tiga dimensi, yaitu extensi, flexi lateral dan rotasi ke sisi yang sama, untuk provokasi
di damping pada juga pada jaringan foramen intervertebralisnya. Tes ini positif bila timbul
keluhan yang sama dengan keluhan utamanya. Apabila tes ini ternyata menimbulkan
keluhan tetapi tidak sama dengan keluhan utamanya, gangguan pada regio tersebut
kemungkinan ada kaitannya dengan keluhan utamanya atau mungkin juga tidak.
Tes abduksi – elevasi bahu perlu diperhatikan ritme skapulohumeralis, adakah
penyimpangan-penyimpangan
seperti
‘painful
arc’,
nyeri
akhir
gerak,
‘reserve
humeroscapular rhythm’, krepitasi dan lain-lain. Pada lesi ‘rotator cuff’ hampir sering
dijumpai ‘painful arc’, dimana dirasakan nyeri saat abduksi 45-120 derajat, kecuali lesinya
pada otot atau tendon m. subskapularis bagian inferior. Apabila dijumpai ‘reserve
humeroscapular rhythm’, yaitu gerak rotasi skapula yang terjadi lebih awal dan lebih besar
dibandingkan gerak humerus berarti terdapat hipomobilitas sendi glenohumeralis. Apabila
nyeri timbul di akhir ROM kemungkinan terdapat hipomobilitas pada sendi AC joint atau
SC joint. Tetapi bila terbatas pada akhir ROM saja, kemungkinan ada gangguan fungsi
pada
‘cervicothoracal
junction’
atau
terdapat
14 8
hipomobilitas
ringan
sendi-sendi
glenohumeralis atau terdapat hipomobilitas ringan sendi-sendi glenohumeralis atau AC
joint atau SC joint.
Tes gerak ‘shoulder girdle’ dilakukan dengan gerak aktif elevasi-depresi dan
protraksi-retraksi dilakukan bila ada kecurigaan adanya gangguan fungsi ‘shoulder
girdle.setelah tes abduksi elevasi. Keterbatasan atau nyeri pada gerak ini menunjukkan
kelainan pada komponen ‘shoulder girdle’.
5.4
Pemeriksaan Gerak Aktif dan Pasif
Pemeriksaan gerak aktif yang penting adalah abduksi-elevasi seperti di atas,
sedangkan pemeriksaan gerak pasif dilakukan terutama gerak abduksi, endorotasi dan
eksorotasi sendi glenohumeralis. Pada lesi ‘rotator cuff’ dijumpai nyeri hanya pada gerak
abduksi sementara gerak yanglain bebas nyeri, kecuali bila aktualitasnya tinggi. Namun
bila pada gerak abduksi ditambah traksi ke kaudal nyerinya akan hilang atau berkurang.
5.5 Pemeriksaan Gerak Isometrik Melawan Tahanan
Bila gerak abduksi isometrik melawan tahanan timbul rasa nyeri, kemungkinan besar
terdapat lesi pada m. supraspinatus, bila benar, maka nyeri akan tetap timbul walaupun
ditambahkan traksi ke arah kaudal.
Bila gerak isometrik endorotasi melawan tahanan timbul nyeri, maka kemungkinan
lesi pada m. subskapularis.
Bila gerak isomertik eksorotasi melawan tahanan terjadi rasa nyeri maka,
kemungkinan lesi pada m. infraspinatus.
Tes gerak isometrik fleksi siku tidak menimbulkan nyeri, sementara gerak isometrik
ekstensi siku menimbulkan nyeri, tetapi hal ini dikarenakan adanya penekanan jaringan
suprahumeralis termasuk ‘rotator cuff’.
5.6 Palpasi
Yang terpenting dalam pemeriksaan khusus untuk menentukan lokasi lesi ‘rotator
cuff’ adalah palpasi. Dengan palpasi dapat ditentukan titik lokal patologinya secara tepat,
sekaligus untuk menentukan lokasi terapinya.
Palpasi m. supraspinatus posisi pasien duduk atau setengah duduk atau terlentang
dengan lengan di balik punggung sehingga bahu pada posisi adduksi dan endorotasi,
kemudian dilakukan palpasi pada tendon m. supraspinatus dengan gerak tranversal pada
lokasi ventral-kaudal akromion mencapai ujung tuberkolum mayus humeri. Pada posisi ini
14 9
tendon m. supraspinatus letaknya vertikal. Untuk palpasi m. supraspinatus pada ototnya
dilakukan pada posisi bahu abduksi 90 derajat di samping badan dengan lengan disangga.
Palpasi m. subskapularis tidak bisa dilakukan kecuali sebagian kecil pada bagian
medialnya, tetapi tendonnya yang sering cidera, dapat dipalpasi walau sedikit sulit karena
tendonnya tipis dan agak lebar. Pada posisi sedikit abduksi kurang lebih 30 derajat, ibu jari
yang digunakan untuk palpasi diletakkan antara tuberkulum mayus dan minus sambil
menggerakkan
lengan
atas
endo
dan
eksorotasi.
Pada
bagian
medial
sulkus
intertuberkularis yang dapat teraba ini, dilakukan palpasi pada tepi medialnya dengan arah
vertikal ke arah tuberkulum minus humeri.
Palpasi m. infraspinatus dalam pisisi ‘sphinx’ dimana lengan dalam posisi adduksi
horizontal kurang lebih 30 derajat dan eksorotasi, maka tendon m. infraspinatus dapat
dipalpasi pada dorsolateral akromion dan palpasi dengan arah horizontal. Ototnya sendiri
mudah dipalpasi dengan posisi telungkup atau duduk, yaitu dibawah spina scapula.
5.7 Beberapa Pemeriksaan Khusus Pada Lesi ‘Rotator Cuff’
Seperti pada palpasi, pemeriksaan khusus hanya dilakukan bila dalam periksaan
fungsi gerak mengarah ke sana. Banyak pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan, antara
lain sebagai berikut.
Gerak isometris melawan tahanan sambil melakukan traksi ini ditujukan untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya provokasi pada jaringan suprahumeralis pada saat
melakukan tes isometris. Apabila pada pemeriksaan ini masih terdapat nyeri, berarti letak
lesi pada pada tendonnya.
Pada tes adduksi horizontal, tendon m. subskapularis bagian superior tertekan oleh
proc. Coracoideus yang akan nyeri bial terdapat lesi pada lokasi tersebut. Tetapi bila nyeri
pada bagian posterior berarti karena regangan pada m. infraspinatus.
Apabila dicurigai adanya hipomobilitas sendi dalam ‘shoulder complex’, Perlu
dilakukan tes traksi-translasi untuk memastikan apakah penyebab hipomobilitas sendi
tersebut oleh faktor kapsuler.
6
INTERVENSI
Tergantung dari penyebab lesi, terapi dapat hanya dengan pendekatan lokal atau
hanya dengan pendekatan lokal atau dengan pendekatan regional atau bahkan dengan
1410
pendekatan segmental. Pada lesi akibat cidera langsung seperti misalnya pada olah raga
melempar, hanya perlu dilakukan intervensi lokal saja, tetapi pada kasus lain seperti
‘kissing coracoid’ misalnya, diperlukan mobilitas sendi dalam ‘shoulder complex’ tertentu
yang ditemukan hipomobilitas. Bila penyebab primernya dari iritasi segmental, misalnya
dari segmen C5-C6, diperlukan intervensi segmental pula. Demikian juga pada kasus
kronik yang telah diikuti gangguan segmen Th4-Th6 maka diperlukan intervensi pada
jaringan yang telah terlibat pada segmen tersebut.
6.1
Intervensi Lokal
Pada intervensi lokal, Dos Winkel et al membagi dalam 5 stadium klinis sesuai
dengan gejala yang dijumpai.
Pada stadium I nyeri timbul hanya bila sudah melakukan aktifitas atau olah raga saja.
Dalam pemeriksaan fisik dijumpai pada tes gerak isometrik melawan tahanan nyeri timbul
setelah kontraksi. Di sini terapi umumnya hanya perlu 4-6 kali friksi transversal saja.
Pada stadium II nyeri dirasakan pada saat awal olah raga atau aktifitas yang
membebani ‘rotator cuff’ yang bersangkutan. Pada pemeriksaan dujumpai ‘painful arc’ dan
nyeri pada tes gerak melawan tahanan. Di sini terapi cukup 6-12 kali friksi transversal dan
dianjurkan untuk mengurangi aktifitas olah raga terkait hingga 50%.
Pada stadium III nyeri bahu dirasakan selam dan setelah olahraga, tetapi pasien masih
mampu melanjutkan aktifitas tersebut dengan presentasi cukup baik. Pada pemeriksaan
dijunpai ‘painful arc’ dan nyeri pada tes gerak isometris. Pada stadium ini friksi transversal
dicoba 6 kali dan mengistirahatkan anggota gerak
yang bersangkutan. Apabila ada
perbaikan maka dilakukan sampai sembuh. Tetapi bila tidak ada perbaikan perlu
dikonsultasikan ke orthopaedie untuk memperoleh infiltrasi lokal.
Kasus yang berada pada stadium IV relatif tidak banyak. Nyeri dirasakan selama dan
sesudah olah raga atau aktifitas yang membebani ‘rotator cuff’ yang bersangkutan, hingga
pasien tidak mampu melakukan aktifitasnya disetai penurunan prestasi yang jelas. Pada
pemeriksaan ‘painful arc’, nyeri pada gerak isometris melawan tahanan serta gerak pasif
elevasi terdapat nyeri pada akhir ROM. Terapi dilakukan seperti pada stadium III dan
tangan disangga dengan mitela, tetapi bila tidak berhasil harus dikonsultasikan untuk
memperoleh infiltrasi lokal.
1411
Pada stadium V sangat jarang dijumpai. Secara klinis pasien tak mampu melakukan
olah raga atau aktifitas yang laindengan lengan yang bersangkutan. Pada kasus ini harus
dikonsultasikan dengan dokter untuk memperoleh terapi medis lain atau operasi.
6.2
Intervensi Regional
Yang harus diperhatikan pada intervensi regional adalah apakah patologi suatu sendi
atau beberapa sendi tertentu dalam ‘shoulder complex’ merupakan penyebab primer atau
sekunder. Bila primer ada kaitannya dengan sikap atau gerak serta jenis patologinya berupa
hipomobilitas atau hipermobilitas atau instabilitas, adakah pemendekan atau kelemahan
otot.
Metoda yangdipakai untuk memperbaiki hipomobilitas adalah mobilisasi traksi,
translasi dan roll slide atau manipulasi. Dosisi terapi dipilih sesuai dengan variabel
aktualitas patologinya. Pada aktualitas tinggi dengan tehnikmobilisasi osilasi dan bila
aktualitas rendah dengan mobilisasi translasi-traksi stakato atau regangan, serta bila
pembatasan gerak minimal dapat dengan tehnik manipulasi, terutama pada ‘joint blokade’.
Perhatian utama ditujukan pada sendi akromioclavicularis dan sternoclavicularis yang
sering mempengaruhi patologi ‘rotator cuff’. Pada sendi lain, yaitu ‘cervicothoracic
junction’ dapat dilakukan manipulasi dengan tehnik ‘nelson traction’ dan diikuti mobilisasi
costovertebralis I-II.
Apabila dijumpai hipermobilitas ‘shoulder complex’ atau bahkan instabilitas,
digunakan metoda stabilisasi aktif dengan metoda ‘Bugnet’ atau ‘rhythmical stabilitation
PNF’ dan kemudian diikuti latihan koreksi sikap.
Bila dijumpai pemendean otot maka diterapkan tehnik peregangan otot dari Janda
atau ‘contrac relax PNF’. Di sini perlu diperhatikanotot-otot tipe I atau tipe tonik, yaitu m.
trapezius pars superior, m. levator scapula, m. pectoralis mayor dan minor serta biceps
brachii.
6.3
Intervensi Segmental
Keterkaitan segmen C5-C6 dan Th4-Th6 dapat sebagai penyebab primer atau
sekunder, misalnya iritasi radiks C5-C6 atau hiperaktifitas sistem simpatis Th4-Th6.
1412
Jaringan yang disarafi oleh segmen terkait yang mungkin terlibat antara lain facet,
kostovertebralis, otot dan jaringan ikat bawah kulit. Gangguan sendi umumnya berupa
hipomobilitas, gangguan otot sebagai tendomiosis/ miosis/ ‘myofascial trigger point
syndrome’, gangguan jaringan ikat bawahkulit berupa ‘connective tissue zone’ sehingga
menimbulkan ‘pseudo radikulair’. Apabila terdapat iritasi radiks maka akan dijumpai gejala
radikuler.
Intervensi manual terapi pada kasus tersebut berupa mobilisasi kulit yang terkait.
Traksi segmen C5-C6 dapat diberikan secara manual atau dengan alat traksi leher,
walaupun traksi leher dengan alat tak mungkin mengisolasi segmen lain. Mobilisasi dan
manipulasi segmental merupakan tehnik yang tepat, namun memerlukan keterampilan dan
dasar tehnik dan ilmiah yang tidak sederhana, sehingga diterapkan umumnya traksi leher
baik dengan alat ataupun secara manual. Tehnik ini tidak boleh diberikan bila dijumpai
insufisiensi vertebro basiler.
Mobilisasi intervertebralis Th4-Th6 dan kostovertebralis 4-6 dilakukan secara
manual. Beberapa ahli menganjurkan penggunaan tehnik manipulasi karena tidak terjadi
rasa nyeri dan memerlukan waktu yang singkat dengan hasil yang baik namun hanya bisa
dilakukan bila tidak dijumpai hipomobilitas yang jelas atau hanya minimal.
Mobilitas otot diterapkan pada otot paravertebralis daerah Th4-Th6 dan sekitarnya
yang turut terlibat serta otot lain yang dijumpai patologi, yaitu regangan manual atau friksi
transversal.
Mobilosasi jaringan ikat bawah kulit dilakukan dengan tehnik massage ‘connective
tissue’ diterapkan pada daerah sekitar segmentasi Th4-Th6.
7
EVALUASI
Untuk melihat perkembangannya, meliputi kemanjuan atau kemunduran atau keadaan
menetap, dilakukan evaluasi pada tiap akan melakukan intervensi, saat melakukan
intervensi dan setelah melakukan intervensi, dengan cara yang cepat namun tepat melalui
anamnesa singkat dan tes cepat.
Pada periode tertentu sesuai dengan program terapi, dilakukanlah evaluasi yang lebih
lengkap dan dibandingkan dengan hasil pemeriksaan periode sebelumnya.
1413
Kadang saat melakukan intervensi dapat ditemukan hal-hal yang belum ditemukan
sebelumnya atau perkembangan atau keadaan baru, sehingga tak jarang intervensi
dilakukan dengan metoda, tehnik dan saran yang lain dengan sebelumnya. Atau bahkan
pada waktu tertentu diputuskan untuk mengganti terapinya atau dikonsultasikan dengan
profesi lain. Dengan demikian intervensi manual terapi tak mungkin dibuat resep.
BAB III
KESIMPULAN
1414
‘Rotator Cuff’ Merupakan kelompok otot yang berfungsi sebagai pemelihara
stabilitas aktif sendi glenohumeralis yang sekaligus sebagai penggerak sendi. M.
supraspinatus, m. subskapularis dan m. infraspinatus sering terjadi patologi dan umumnya
disebabkan oleh trauma, baik trauma makro maupun mikro.
Patologi yangterdapat pada ‘rotator cuff’ dapat primer berasal dari ‘rotator cuff’
sendiri atau karena gangguan fungsi ‘shoulder complex’ atau berasal dari gangguan fungsi
segmental. Sebaliknya lesi ‘rotator cuff’ dapat menyebabkan gangguan fungsi ‘shoulder
complex’ dan segmental. Oleh karenanya di dalam pengkajian di samping harus dapat
ditetapkan tempat lesi lokal harus ditemukan adakah gangguan fungsi ‘shoulder complex’
dan gangguan fungsi segmental, apakah sebagai penyebab primer ataukah sebagai akibat
dari patologi ‘rotator cuff’ tersebut.
Intervensi manual terapi yang utama adalah friksi tranversal. Apabila dijumpai
gangguan fungsi regional atau gangguan fungsi segmental, maka intervensi dilanjutkan
dengan pendekatan regional dan atau segmental sesuai patologi yang ditemukan.
Untuk melihat kemajuan, kemunduran atau keadaan menetap setelah dilakukan
intervensi manual terapi, maka dilakukan evaluasi. Hasil evaluasi dapat dipakai sebagai
pedoman untuk menetapkan program selanjutnya, apakah metoda atau tehnik intervensinya
diteruskan, dikurangi, diubah atau bahkan terapi dihentikan. Mengingat bahwa metoda dan
tehnik intervensi manual terapi didasari pengetahuan terhadap anatomi, kinesiologi/
fisiologi, patologi dan pemeriksaan spesifik.
DAFTAR ISI
1415
I
Pendahuluan
1
II
Isi
2
1 Rotator cuff
2
1.1 M. Subscapularis
2
1.2 M. Supra spinatus
2
2 Mobilitas shoulder complex & pengaruhnya
3
2.1 Sikap
3
2.2 Gerak
3
2.3 Olah raga
4
3 Patologi rotator cuff
4
3.1 Beberapa patologi
4
3.2 Proses penyembuhan luka
5
4 Analisa dasar manual terapi
5
5 Pengkajian
6
5.1 Anamnesa
6
5.2 Inspeksi
8
5.3 Orientasi
8
5.4 Pemeriksaan gerak aktif & pasif
9
5.5 Pemeriksaan gerak isometrik
9
5.6 Palpasi
9
5.7 Pemeriksaan khusus
10
6 Intervensi
11
6.1 Intervensi lokal
11
6.2 Intervensi regional
12
6.3 Intervensi segmental
13
7 Evaluasi
13
III Kesimpulan
15
1416
1417
Download