tinjauan pustaka - USU-IR - Universitas Sumatera Utara

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Tanah sawah
Tanah sawah adalah habitat yang sangat unik untuk penambatan nitrogen
secara hayati. Mikroba penambat nitrogen hidup bebas pada tanah sawah
digolongkan menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok heterotrofik dan
autotrofik. Berbagai proses mikrobiologis terjadi di sawah, seperti fiksasi
nitrogen, perombakan bahan organik, metanotrofi, denitrifikasi, dan nitrifikasi.
Mikroba perombak memainkan peranan yang penting pada perombakan bahan
organik seperti alga dan tanaman air yang sudah mati untuk mendapatkan energi.
Dalam melakukan fungisnya, mikroba memerlukan oksigen atau zat-zat
teroksidasi lain seperti nitrat (NO3-), mangan, besi, sulfat, atau CO2 untuk
berfungsi sebagai akseptor elektron (Prasetyo et al., 2004).
Tanah sawah dapat terbentuk dari tanah kering dan tanah basah atau tanah
rawa sehingga karakterisasi sawah-sawah tersebut akan sangat dipengaruhi oleh
bahan pembentuk tanahnya. Sebelum tanah digunakan sebagai tanah sawah,
secara alamiah tanah telah mengalami proses pembentukan tanah sesuai dengan
faktor-faktor pembentuk tanahnya, sehingga terbentuklah jenis-jenis tanah tertentu
yang masing-masing mempunyai sifat morfologi tersendiri. Tanah sawah yang
berasal dari tanah kering akan mengalami perubahan-perubahan sifat morfologi
tanah yang jelas, sedangkan tanah sawah yang berasal dari tanah basah tidak akan
menunjukkan perubahan sifat morfologi yang jelas. Perubahan sifat morfologi ini
dapat bersifat sementara ataupun permanen. Perubahan sifat fisik dan morfologi
yang bersifat sementara pada waktu proses penyawahan tanah berkaitan dengan
proses pelumpuran/pengolahan dalam keadaan tergenang dan perubahan yang
Universitas Sumatera Utara
terjadi pada sifat kimia adalah dengan adanya proses reduksi dan oksidasi.
Perubahan permanen terjadi sebaai efek kumulatif dari perubahan sementara
karena penggenangan tanah, atau praktek pengolahan tanah seperti pembuatan
teras,
perataan
tanah,
pembuatan
pematang,
dan
lain
- lain
(Hardjowigeno et al., 2004).
Secara umum, tanah sawah memiliki ciri khas yang membedakannya
dengan tanah tergenang lainnya, yaitu adanya lapisan oksidasi di bawah
permukaan air akibat difusi O2 setebal 0,8-1,0 cm dan selanjutnya lapisan reduksi
setebal 25-30 cm dan diikuti oleh lapisan tapak bajak yang kedap air. Lapisan
tapak bajak ini merupakan lapisan yang terbentuk sebagai akibat dari adanya
praktek pengolahan tanah sawah dalam keadaan tergenang. Sedangkan
penggenanangan tanah selama masa pertanaman padi dapat mereduksi Fe dan Mn,
sehingga mudah larut dan terjadi proses eluviasi Fe dan Mn. Dalam keadaan
tergenang, reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ menyebabkan warna tanah menjadi abu-abu.
Namun, dalam keadaan tergenang, dijumpai adanya lapisan tipis yang teroksidasi
berwarna kecoklatan. Pada saat tanah dikeringkan, Fe2+ kembali teroksidasi dan
akan menimbulkan
karatan coklat
pada tanah sawah (Mukhlis et al., 2011;
Hardjowigeno et al., 2004).
Produksi Padi
Dalam rangkaian seminar tentang lahan sub-optimal, sebagai tumpuan
utama penyediaan pangan bagi 245 juta penduduk Indonesia, sektor pertanian
merupakan penyumbang 15% PDB. Dalam rangka memenuhi ketahanan dan
kedaulatan pangan, pemerintah berupaya terus meningkatkan produksi beras
nasional 5% per tahun dan pencapaian target surplus beras 10 juta ton pada tahun
Universitas Sumatera Utara
2015, disamping peningkatan produksi perkebunan dan peternakan.Selanjutnya
dikemukakan bahwa berdasarkan tren kebutuhan pangan nasional terutama padi,
jagung, dan kedelai, maka hingga tahun 2025 dibutuhkan 4,7 juta lahan bukaan
baru. Untuk menjamin produksi beras hingga tahun 2025, dibutuhkan perluasan
areal sawah sekitar 1,4 juta ha, sedangkan untuk kedelai sekitar 2 juta ha dan
untuk tanaman jagung sekitar 1,3 juta ha. Apalagi hingga tahun 2050, diperlukan
tambahan lahan sekitar 14,9 juta ha yang terdiri dari 5 juta ha lahan sawah, 8,7
juta ha lahan kering, dan 1,2 juta ha lahan rawa. Padahal disisi lain, selain hutan
primer pada umumnya lahan yang tersedia adalah lahan sub-optimal termasuk
lahan yang sudah terdegradasi atau terlantar (Haryono, 2013).
Statistik produksi tanaman pangan yang disajikan dalam Berita Resmi
Statistik (BRS) ini terdiri dari luas panen, produktivitas, dan angka produksi untuk
komoditas padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubi
jalar. Angka produksi tanaman pangan yang dirilis disajikan dengan tiga status
angka yang berbeda, yaitu Angka Tetap (ATAP) 2013, Angka Tetap (ATAP)
2014, dan Angka Ramalan (ARAM I) 2015. ATAP 2013 dan ATAP 2014 adalah
realisasi produksi selama satu tahun (Januari–Desember) sedangkan ARAM 2015
merupakan angka produksi realisasi Januari-April 2015 dan angka ramalan MeiDesember 2015 (BPS Provinsi Sumatera Utara, 2014).
Produksi padi pada tahun 2015 (ASEM) sebesar 4,04 juta ton Gabah
Kering Giling, naik sebesar 413.790 ton dibanding produksi padi ATAP tahun
2014. Kenaikan produksi disebabkan kenaikan luas panen sebesar 64.451 hektar
atau 8,98 persen dan kenaikan produktivitas sebesar 1,12 ku/ha atau sebesar 2,21
persen. Kenaikan produksi padi pada tahun 2015 sebesar 413.790 ton (11,40%)
Universitas Sumatera Utara
terjadi pada subround September-Desember sebesar 225.171 ton (20,99%),
subround Mei-Agustus sebesar 161.518 ton (15,58%) dan pada subround JanuariApril produksi naik sebesar 27.101 ton (1,78%) dibandingkan dengan produksi
pada subround yang sama di tahun 2014 (BPS Provinsi Sumatera Utara, 2016).
Upaya peningkatan produksi padi nasional untuk mencapai surplus beras
10 juta ton pada tahun 2014 dan swasembada berkelanjutan memerlukan teknik
budi daya yang lebih baik. Cara budi daya padi terbaik mempertimbangkan secara
ilmiah aspek lingkungan (tanah, air, iklim, organisme pengganggu tanaman/OPT).
Jarak Tanam
Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi padi antara lain melalui
pengaturan jarak tanam dan penggunaan umur bibit yang tepat. Jarak tanam
dipengaruhi oleh sifat varietas padi yang ditanam dan kesuburan tanah. Varietas
padi yang memiliki sifat menganak tinggi membutuhkan jarak tanam lebih lebar
jika dibandingkan dengan varietas yang memiliki daya menganaknya rendah.
Umur bibit pindah tanam harus tepat dan sesuai untuk mengantisipasi
perkembangan akar yang umumnya berhenti pada umur 42 hari sesudah semai,
sementara jumlah anakan produktif akan mencapai maksimal pada umur 49-50
hari sesudah semai (Haryono, 2013).
Menurut Masdar (2005), jarak tanam berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman karena berhubungan dengan persaingan antar sistem perakaran dalam
konteks pemanfaatan pupuk. Kondisi tanah yang subur, menggunakan jarak tanam
yang lebih pendek dibandingkan dengan tanah yang kurang subur. Varietas padi
yang jumlah anakan banyak, jarak tanamnya lebih lebar dibandingkan dengan
varietas padi yang jumlah anakannya sedikit (Prasetiyo, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Kerapatan tanam sangat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan
hasil padi. Jarak tanam bergantung pada kesuburan tanah, musim, dan varietas
yang ditanam. Varietas dengan daya menganak yang tinggi ditanam dengan jarak
tanam yang lebih lebar sebaliknya varietas yang mempunyai daya menganak
rendah ditanam pada jarak tanam yang rapat dan tidak renggang. Pertanaman pada
musim kemarau dalam keadaan kekurangan air, lebih baik menggunakan jarak
tanam yang lebih rapat. Semakin rapat pertanaman, maka pertumbuhan gulma
akan terhambat karena faktor cahaya dan faktor penting lainnya yang membantu
perkecambahan gulma tidak dapat mencapai tanah akibat terhalangi oleh tanaman
pokoknya, disamping itu kemampuan kompetisi tanaman akan sangat dipengaruhi
oleh varietas dan jarak tanam yang digunakan (Prasetiyo, 2002).
Secara umum jarak tanam yang dipakai adalah 20 x 20 cm dan bisa
dimodifikasi menjadi 22,5 x 22,55 cm atau 25 x 25 cm sesuai pertimbangan
varietas padi yang akan ditanam atau tingkat kesuburan tanahnya. Jarak tanam
untuk padi yang sejenis dengan varietas IR-64 seperti varietas ciherang cukup
dengan jarak tanam 20 x 20 cm sedangkan untuk varietas padi yang memiliki
penampilan lebat dan tinggi perlu diberi jarak tanam yang lebih lebar misalnya
22,5 sampai 25 cm. Demikian juga pada tanah yang kurang subur cukup
digunakan jarak tanam 20 x 20 cm sedangkan pada tanah yang lebih subur perlu
diberi jarak yang lebih lebar misal 22,5 cm atau pada tanah yang sangat subur
jarak tanamnya bisa 25 x 25 cm. Pemilihan ukuran jarak tanam ini bertujuan agar
mendapatkan hasil yang optimal (Suharno, 2014).
Pada faktor tunggal dengan perlakuan jarak tanam yang berbeda
menghasilkan jumlah anakan yang berbeda nyata. Jarak tanam yang lebih rapat 25
Universitas Sumatera Utara
cm x 25 cm (jumlah anakan total 23,63 batang) dan 30 cm x 30 cm (jumlah
anakan total 27,44 batang) lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah anakan yang
ditanam dengan jarak tanam yang lebih lebar yaitu 35 cm x 35 cm (jumlah anakan
total 33.22 batang) dan jarak tanam 40 cm x 40 cm (jumlah anakan total 36,25
batang).
Kondisi
tersebut
disebabkan
jarak
tanam
yang
lebih
lebar
mengguntungkan bagi tanaman, dimana tanaman memperoleh asupan kebutuhan
faktor tumbuh yang lebih dari jarak tanam yang sempit (Marzuki et al., 2013).
Jarak tanam untuk padi seperti varietas Ciherang cukup dengan jarak 20
cm, sedangkan untuk varietas padi yang punya penampilan lebih lebat dan tinggi
perlu diberi jarak tanam yang lebih lebar misalnya antara 22,5 - 25 cm. Demikian
juga pada tanah yang kurang subur cukup digunakan jarak tanam 20 cm,
sedangkan pada tanah yang lebih subur perlu diberi jarak tanam yang lebih lebar
misalnya 22,5 cm atau pada tanah yang sangat subur jarak tanamnya 25 cm.
Pemilihan
ukuran
jarak tanam bertujuan agar mendapat hasil yang optimal
(BPTP Jambi, 2011).
Sistem Tanam Jajar Legowo
Jajar legowo (2 : 1) adalah cara tanam padi dimana setiap dua baris
tanaman diselingi oleh satu barisan kosong yang memiliki jarak dua kali dari jarak
tanaman antar baris sedangkan jarak tanaman dalam barisan adalah setengah kali
jarak tanam antar barisan. Dengan demikian jarak tanam pada sistem jajar legowo
(2 : 1) adalah 20 cm (antar barisan) x 10 cm (barisan pinggir) x 40 cm (barisan
kosong). Dengan sistem jajar legowo (2 : 1) seluruh tanaman dikondisikan seolaholah menjadi tanaman pinggir. Penerapan sistem jajar legowo (2 : 1) dapat
meningkatkan produksi padi dengan gabah kualitas benih dimana sistem jajar
Universitas Sumatera Utara
legowo seperti ini sering dijumpai pada pertanaman untuk tujuan penangkaran
atau produksi benih (Suharno, 2014).
Jajar legowo (4 : 1) adalah cara tanam padi dimana setiap empat baris
tanaman diselingi oleh satu barisan kosong yang memiliki jarak dua kali dari jarak
tanaman antar barisan. Dengan sistem legowo seperti ini maka setiap baris
tanaman ke-1 dan ke-4 akan termodifikasi menjadi tanaman pinggir yang
diharapkan dapat diperoleh hasil tinggi dari adanya efek tanaman pinggir. Prinsip
penambahan jumlah populasi tanaman dilakukan dengan cara menanam pada
setiap barisan pinggir (baris ke-1 dan ke-4) dengan jarak tanam setengah dari
jarak tanam antar barisan. Dengan demikian jarak tanam pada sistem jajar legowo
(4 : 1) adalah 20 cm (antar barisan dan pada barisan tengah) x 10 cm (barisan
pinggir) x 40 cm (barisan kosong) (Suharno, 2014).
Keuntungan Cara Tanam Jajar Legowo
yaitu pada cara tanam Jajar
Legowo 2:1, semua maupun tanaman seolah-olah berada pada barisan pinggir
pematang, sedangkan pada cara tanam Jajar Legowo 4:1, separuh tanaman berada
pada bagian pinggir (mendapat manfaat border effect), jumlah rumpun padi
meningkat
sampai
33%/ha,
meningkatkan
produktivitas
padi
12-22%,
memudahkan pemeliharaan tanaman (BPPT Jambi, 2011).
Cara Tanam
Menurut Suriapermana et al. (1997) bahwa cara tanam tabela terbagi tiga
cara yaitu (a) tabela tegel dimana benih ditanam secara beraturan dengan jarak
tanam 20-25 cm, (b) tabela larikan yaitu benih ditanam dilarik dengan jarak tanam
20-25 cm, jumlah benih 50-60 butir per meter, dan (c) tabela larikan legowo, yaitu
benih disebar dalam larikan, jumlah 20-30 biji per meter, jarak larikan 20-22 cm.
Universitas Sumatera Utara
Hasil pengkajian Imran et al. (2006) dan Massinai (2006) menunjukkan
bahwa cara tanam pindah memberikan hasil gabah sangat nyata lebih tinggi
dibanding cara 4 tanam hambur langsung dan tabela. Syarat utama dalam
pengembangan tanam benih langsung antara lain adalah sawah harus mempunyai
sistem drainase yang baik, tidak terjadi curah hujan yang besar minimal selama 3
hari setelah tanam, dan benih yang digunakan harus berkualitas tinggi yaitu dapat
berkecambah paling lama pada hari ke empat atau kelima setelah tanam dan daya
tumbuh benih diatas 90 persen.
Meningkatnya prasarana yang menunjang dalam usahatani budidaya padi,
seperti : ketersediaan air yang lebih baik akibat perbaikan dan perluasan irigasi,
tersedianya herbisida dengan harga relatif murah, varietas padi modern yang
berumur pendek dan naiknya upah tenaga kerja, telah mendorong para petani di
Malaysia, Philippina dan Thailand beralih dari padi tapin (tanam pindah) ke
sistem padi tabela (tanam benih lansung). Di Indonesia sendiri teknologi tersebut
pernah dilakukan pengkajian melalui sistem usahatani berbasis padi dengan alih
teknologi padi sistem tabela. Saat ini varietas –varietas modern yang dibuat untuk
sistem tapin juga dipakai untuk tabela. Syarat-syarat mendasar tipe tanaman untuk
sistem tabela, diantaranya adalah, (a) ketegaran bibit (seedling vigor) tinggi, (b)
batang kuat (stiff straw) dan (c) daya cengkeram (root an chorage) kuat. Jika
varietas padi memiliki ketiga karakter tersebut dipastikan bahwa varietas tersebut
memiliki sifat tahan rebah (Yamin dan Moentono, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Download