kemampuan anggota kelompok dalam pengelolaan hutan rakyat di

advertisement
KEMAMPUAN ANGGOTA KELOMPOK
DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT
DI DESA TEGAL WARU, KABUPATEN BOGOR,
PROVINSI JAWA BARAT
SHELLY NOVI HANDARINI PRATAMANINGTYAS
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kemampuan Anggota
Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Di Desa Tegal Waru, Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis saya.
Bogor, Juli 2013
Shelly Novi Handarini Pratamaningtyas
I351090081
ABSTRACT
SHELLY NOVI HANDARINI PRATAMANINGTYAS. Ability of Forest Group
Member in the Community Forest Management on Tegal Waru Village, Bogor
Residence, West Java Province. Supervised by SITI AMANAH and NINUK
PURNANINGSIH
Community forest is one alternative to solve problems about unbalance
supply-demand on nature forestwood and also poverty around forest area that
enhancing high pressure on the forest in Indonesia. The sustainability of
community forest management depends on the ability of forest group member to
manage the community forest that must have been gained through learning
process. This thesis inquires into farmer’s learning process in community forest
management, in order to test how external and internal factors influenced ability
of forest group member to manage the community forest. The study used
explanatory research design with survey method on model community forest area
development in Tegal Waru village, Ciampea Sub District, Bogor Regency of
West Java. The research was conducted from Februari to December 2012. The
data were analyzed descriptively and using multiple regresion method. The
findings of the study are: (1) farmer planning ability influenced by farmer’s total
income, length time involved in community forest programme, and social norms
existing among forest group members; (2) farmer self-organizing ability
influenced by number of course attended by farmer, quality of extension material,
social norms existing among forest group members, (3) farmer ability to
implement influenced by number of course attended by farmer and learnerassistant ability to communicate in the farmer’s learning process; and (4) farmer
ability to supervise influenced by farmer’s total income, and production process
organization in community Forest.
Keywords : community forest, learning process, ability in forest management
RINGKASAN
SHELLY NOVI HANDARINI PRATAMANINGTYAS. Kemampuan Anggota
Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru, Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh SITI AMANAH dan NINUK
PURNANINGSIH.
Semakin menurunnya kualitas sumberdaya hutan pada beberapa dekade
terakhir telah mendorong dilakukannya upaya pemberdayaan masyarakat dalam
kegiatan pengelolaan hutan. Keberhasilan upaya pemberdayaan masyarakat dalam
kegiatan pengelolaan hutan ditentukan oleh kemampuan anggota kelompok
mengelola Hutan Rakyat yang diperoleh dari proses pembelajaran. Faktor-faktor
apa yang mempengaruhi kemampuan anggota kelompok tani mengelola Hutan
Rakyat adalah pertanyaan penelitian dalam studi ini. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan anggota
kelompok tani Hutan Rakyat sekaligus menyusun desain strategi yang dapat
memperkuat kelompok tani Hutan Rakyat tersebut. Secara khusus, penelitian ini
bertujuan : (1) Mengidentifikasi kondisi pengelolaan Hutan Rakyat di lokasi
penelitian, (2) Menganalisis pengelolaan Hutan Rakyat di lokasi penelitian, (3)
Menganalisis faktor-faktor penentu yang berpengaruh terhadap kemampuan
anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat, dan (4) Menyusun
alternatif desain strategi yang dapat memperkuat kelompok tani Hutan Rakyat
dalam rangka mengupayakan perbaikan kondisi lingkungan.
Desain penelitian adalah survey, dan penelitian bersifat penelitian
penjelasan (Explanatory Survey) yaitu menjelaskan hubungan kausalitas antara
peubah-peubah penelitian melalui pengujian hipotesis. Lokasi penelitian
ditentukan secara purposive yaitu pada areal model pengembangan Hutan Rakyat.
Populasi penelitian adalah petani pengelola Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru,
Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Seluruh populasi penelitian menjadi
sampel penelitian. Jumlah keseluruhan responden dalam penelitian ini adalah 55
orang petani Hutan Rakyat. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Februari
sampai bulan Juni tahun 2012. Pengumpulan data sekunder dan data primer
menggunakan kuesioner, wawancara mendalam dan observasi. Pengolahan dan
analisa data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif dan statistik
inferensial. Statistik deskriptif menggunakan program SPSS 20, sedangkan
statistik inferensial menggunakan metode analisa Regresi Berganda.
Temuan penelitian ini adalah : (1) Kemampuan petani merencanakan
pengelolaan Hutan Rakyatnya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan petani, lama
petani terlibat dalam pengelolaan Hutan Rakyat, dan norma sosial kelompok yang
mengikat anggota kelompok tani, (2) Kemampuan petani mengorganisir diri
dalam kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat dipengaruhi oleh jumlah pelatihan
yang diikuti petani, kualitas materi penyuluhan yang diterima petani, dan norma
sosial kelompok yang mengikat anggota kelompok tani; dan (3) Kemampuan
petani menerapkan hasil pembelajaran dipengaruhi oleh jumlah pelatihan yang
diikuti petani dan kemampuan sumber belajar berkomunikasi dengan petani dalam
proses pembelajaran Hutan Rakyat; dan (4) Kemampuan petani mengawasi
kegiatan produksi Hutan Rakyat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan petani dan
kualitas pengorganisasian kegiatan produksi Hutan Rakyat
Pembelajaran petani Hutan Rakyat telah mendorong terjadinya perubahan
perilaku petani dalam mengelola lahan. Perubahan pengelolaan lahan dari semula
pertanian sawah lahan basah menjadi Hutan Rakyat di lahan kebun dengan pola
penanaman dan pemeliharaan yang berbeda merupakan bentuk inovasi yang
memerlukan pengetahuan dan keterampilan baru. Pengelolaan Hutan Rakyat
masih menghadapi beberapa permasalahan, yaitu masih rendahnya kesempatan
anggota kelompok memperoleh tambahan pengetahuan dan keterampilan melalui
pendidikan non-formal terkait Hutan Rakyat, belum maksimalnya pelaksanaan
kegiatan penyuluhan kehutanan dari lembaga penyuluhan beserta unit pelaksana
teknis terkait, keterbatasan luas lahan, rendahnya pendapatan dan masih kurang
memadainya kapasitas anggota kelompok tani dalam kelembagaan pengelolaan
Hutan Rakyat.
Kemampuan perencanaan petani dapat meningkat apabila petani
memperoleh wawasan yang memadai mengenai nilai penting lahan Hutan Rakyat
yang dimilikinya, petani memperoleh kesempatan meningkatkan pendapatannya,
terlibat dalam rentang waktu yang cukup pada program Hutan Rakyat sehingga
memiliki pengalaman pembelajaran yang memadai dalam mengelola Hutan
Rakyat, dan terdapat solidaritas tinggi di antara anggota kelompok tani karena
diikat oleh norma sosial kelompok yang kuat. Kemampuan petani mengorganisir
diri dalam kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat dapat meningkat apabila
petani memperoleh kesempatan mengikuti pelatihan Hutan Rakyat sesuai
kebutuhannya dan didukung oleh media kelompok tani dengan solidaritas tinggi
di antara anggota kelompoknya. Kemampuan petani menerapkan hasil
pembelajaran Hutan Rakyatnya dapat meningkat apabila petani memperoleh
kesempatan mengikuti pelatihan Hutan Rakyat sesuai kebutuhannya dan sumber
belajar memperoleh bimbingan atau mengikuti pelatihan pengajaran untuk
mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan petani sebagai pembelajar.
Kemampuan petani mengawasi kegiatan produksi Hutan Rakyat dapat meningkat
apabila petani memperoleh wawasan yang cukup mengenai pentingnya aspek
pengawasan dalam kegiatan produksi Hutan Rakyat didukung oleh pelaksanaan
kegiatan yang terorganisir dengan baik.
Peningkatan pengelolaan Hutan Rakyat secara keseluruhan dilakukan
dengan mengembangkan strategi penguatan kelompok dalam kelembagaan
pengelolaan Hutan Rakyat. Kelompok tani merupakan media pembelajaran yang
berperan penting bagi petani Hutan Rakyat. Strategi untuk meningkatkan
kemampuan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat lebih ditujukan untuk
meningkatkan peran kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat dalam pembelajaran
petani, sekaligus mendorong bentuk penyuluhan swadaya yang partisipatif.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KEMAMPUAN ANGGOTA KELOMPOK
DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT
DI DESA TEGAL WARU, KABUPATEN BOGOR,
PROVINSI JAWA BARAT
SHELLY NOVI HANDARINI PRATAMANINGTYAS
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Hardjanto MS
Judul Tesis
Nama
NIM
Kemampuan Anggota Kelompok dalam Pengelolaan Hutan
Rakyat di Desa Tega l "'aru, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa
Barat
Shelly Novi Handarini Pratamaningtyas
1351090081
Disetujui Komisi Pembimbing ( ~"l't
U/~
Dr Ir SitiAmanafi MSc
Ketua
Dr Ir Ninuk Purnaningsih MSi
Anggota
Diketahui oleh · _r,.
_.
~
. ~
Ketua Program Studi
IImu Penyuluhan Pembangunan
Tanggal Ujian:
.27
JUN 2813
Tanggal Lulus:
30 JUL 2013
JudulTesis
Nama
NIM
: Kemampuan Anggota Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
di Desa Tegal Waru, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat
: Shelly Novi Handarini Pratamaningtyas
: I351090081
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr Ir Siti Amanah MSc
Ketua
Dr Ir Ninuk Purnaningsih MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Siti Amanah MSc
Dr Ir Dahrul Syah MSc Agr
Tanggal Ujian: 27 Juni 2013
Tanggal Lulus : 30 Juli 2013
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 sampai dengan bulan
Desember 2012 adalah Kemampuan Anggota Kelompok dalam Pengelolaan
Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Siti Amanah MSc dan Ibu
Dr Ir Ninuk Purnaningsih MSi selaku pembimbing atas saran dan masukan yang
diberikan. Kepada Prof Dr Ir Hardjanto MS penulis sampaikan terima kasih atas
kesediaannya sebagai penguji luar komisi.
Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Julianto, selaku
koordinator Penyuluh Kehutanan BKP5K Kotamadya Bogor, Bapak Khaerudin,
selaku Penyuluh Kehutanan BP3K Cibungbulang, Bapak Maman Sudirman, S
Hut, BPDAS Citarum-Ciliwung, Bapak Encep selaku Ketua Kelompok Tani
Saluyu II. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh responden
yang telah bersedia menyediakan waktu untuk memberikan informasi pada
penelitian ini. Kepada seluruh staf pengajar, sekretariat, dan rekan-rekan PPN,
Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan selaku sponsor, serta rekan-rekan di
Pusat Standardisasi dan Lingkungan Kementerian Kehutanan, penulis
menyampaikan terima kasih atas bantuan dan dukungannya.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, Bapak Ir
Soetino Wibowo, Ibu Amrih S, Bapak Ir Drs Didi Sukmana G dan Ibu Ir Dewi
Yutikasari atas semua doanya. Kepada adik-adik untuk dukungan dan motivasinya.
Terakhir, terima kasih penulis sampaikan kepada suami Widi Achmad Gozali ST
dan putri tercinta Ranindradewi Aisyah Putri, atas segala doa, dukungan dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi semua.
Bogor, Juli 2013
Shelly Novi Handarini Pratamaningtyas
\
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lamongan pada tanggal 7 November 1975 dari
pasangan Soetino Wibowo dan Amrih Setyaning Wulan. Penulis merupakan putri
pertama dari tiga bersaudara. Penulis menghabiskan masa kecil di Bandung,
Majalengka, dan Malang.
Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di SDN Neglasari 3 Majalengka,
pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Negeri I Malang, dan pendidikan
sekolah menengah atas di SMA Negeri 3 Malang, lulus pada tahun 1994. Pada
tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Universitas Padjadjaran melalui jalur
Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), dan memilih Jurusan
Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Kesempatan untuk
melanjutkan studi ke Program Magister pada Sekolah Pasca Sarjana IPB di
Fakultas Ekologi Manusia dengan Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
(PPN) diperoleh tahun 2009. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Kementerian
Kehutanan melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan.
Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2000, pada tahun
yang sama penulis terlibat dalam Research Project on Women and Children
Home-Based Workers yang diselenggarakan oleh UNICEF – IRC(International
Research Center) Florence, Italy. Selanjutnya penulis bekerja sebagai peneliti di
AKATIGA, Pusat Kajian Sosial di Bandung. Pada pertengahan tahun 2003,
penulis mulai bekerja di Kementerian Kehutanan dan ditempatkan di Pusat
Standardisasi dan Lingkungan sampai sekarang.
1
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Praktik pengelolaan hutan sejak lama telah dilakukan di Indonesia dan
memiliki kaitan erat dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar
kawasan hutan. Sumber daya hutan bagi masyarakat lokal merupakan satu
kesatuan
ekosistem
yang
berperan
penting
dalam
menopang
sistem
kehidupannya. Nilai-nilai kearifan tradisional masyarakat terbentuk dari interaksi
yang berkesinambungan dengan lingkungannya, termasuk lingkungan hutan.
Hubungan sinergis antara masyarakat dengan sumber daya hutan dalam
perkembangannya mengalami pergeseran ketika hutan kemudian dipandang
sebagai komoditas ekonomi dalam industrialisasi kehutanan. Pergeseran cara
pandang tersebut mendorong munculnya perilaku-perilaku masyarakat dalam
pengelolaan hutan, baik perilaku yang tetap mempertahankan nilai-nilai kearifan
lokal pengelolaan hutan maupun perilaku yang cenderung merusak sumber daya
hutan
Beberapa studi mengenai pengelolaan sumber daya hutan menunjukkan
bahwa perilaku masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan berhubungan
positif dengan kondisi kelestarian lingkungan hutan. Hutan Rakyat di daerah
Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah dirintis dan dikelola secara swadaya oleh
masyarakat dengan membangun kelembagaan Hutan Rakyat yang kuat,
mengembangkan dukungan dari Pemerintah Daerah setempat, dan memelihara
komitmen yang tinggi dalam mengelola Hutan Rakyat. Hal tersebut ternyata
mampu memberikan manfaat ekologis berupa kelestarian lingkungan yang
berkesinambungan (Andayani 2003; Lucas 2002). Kearifan masyarakat Gunung
Kidul dalam memanfaatkan sumberdaya manusia danlahan sesuai dengan situasi
dan kondisinya1 untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga secara layak,
1
Tanaman keras berupa Jati, Akasia, dan Sengon biasanya ditebang berdasarkan kebutuhan yang
berbeda-beda. Pohon Jati ditebang dan dijual jika petani penanam memerlukan biaya besar seperti
menikahkan anak. Pohon Akasia dan pohon Sengon yang lebih cepat hasilnya dijual untuk
kebutuhan seperti menyekolahkan anak.
2
2
memberikan kontribusi besar dalam keberhasilan pengelolaan Hutan Rakyat di
daerah yang tandus dan gersang tersebut (Simon 2010; Ferdaus 2005).
Pengelolaan Repong Damar2 di pesisir Krui, Lampung oleh masyarakat lokal
dengan menerapkan kaidah sistem pengelolaan agroforestry tradisional pada
suatu lahan secara turun-temurun mampu memelihara kelestarian lingkungan di
daerah tersebut. Gambaran tersebut memberikan pemahaman bahwa perilaku
masyarakat berperan besar dalam tercapainya kelestarian sumber daya hutan yang
berkelanjutan.
Upaya
penghijauan
harus
melibatkan
masyarakat
untuk
memperoleh hasil yang maksimal. Salah satu upaya pemberdayaan masyarakat di
luar kawasan hutan yang saat ini dikembangkan oleh Kementerian Kehutanan
sebagai upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia adalah pengembangan
Hutan Rakyat.
Hutan Rakyat telah dibangun sejak periode Pelita II dan menunjukkan
perkembangan pesat sejak digalakkannya gerakan penghijauan besar-besaran
berdasarkan Instruksi Presiden No. 8 Tahun 1976 tentang Inpres Bantuan Proyek
Reboisasi dan Penghijauan. Pengusahaan Hutan Rakyat terus berkembang dan
bertambah luas baik melalui swadaya masyarakat maupun melalui bantuan
pemerintah c.q Kementerian Kehutanan. Berbagai studi menunjukkan bahwa
perkembangan Hutan Rakyat telah mampu berperan dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat sekaligus mendorong kelestarian fungsi lingkungan
seperti pencegahan erosi dan banjir, peningkatan kesuburan, serta konservasi air
dan tanah di kawasan hutan, lahan dan Daerah Aliran Sungai (DAS)3 (Mindawati
2
Repong dalam bahasa Lampung pesisir mengandung pengertian kebun campur. Kata “Damar”
merupakan kata yang mengkhususkan pada komoditas jenis tanaman yang paling dominan dalam
sistem kebun campur tersebut. Di Jawa, model Repong ini mirip dengan model pekarangan dan
Hutan Rakyat yang sudah lanjut, dimana sudah terbentuk lapisan tajuk yang bertingkat-tingkat
(multi layer canopy) (Simon 2010; Colchester et al. 2005)
3
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh
punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian
menyalurkannya ke laut melalui sungai utama.Wilayah daratan tersebut dinamakan Daerah
Tangkapan Air (DTA atau cathment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur
utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan manusia sebagai pemanfaat
sumberdaya alam.Daerah aliran sungai biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir
(Asdak 1999).
3
2006; Simon 2010). Saat ini Hutan Rakyat sudah terdapat hampir di seluruh
Indonesia.
Perkembangan Hutan Rakyat yang telah dicapai sampai saat ini tidak
lepas dari kegiatan penyuluhan di bidang kehutanan yang diselenggarakan sejalan
dengan program-program penghijauan dan rehabilitasi lahan di bidang kehutanan
sejak masa Orde Baru sampai masa Reformasi. Kegiatan penyuluhan kehutanan
oleh Dinas instansi terkait maupun oleh penyuluh kehutanan swadaya
masyarakat4 tersebut diintegrasikan dengan pembangunan fisik Hutan Rakyat di
lahan-lahan milik masyarakat. Kegiatan penyuluhan kehutanan dalam berbagai
bentuknya memegang peran penting dalam mendorong keberhasilan pengelolaan
Hutan Rakyat (Ferdaus 2005; Hamid dan Sultan 2005; Agustine 2006; Hudiyani
2010).
Provinsi Jawa Barat memiliki potensi besar dalam pembangunan Hutan
Rakyat. Kawasan utara Provinsi Jawa Barat merupakan daerah berdataran rendah,
kawasan tengah merupakan dataran tinggi bergunung-gunung sedangkan
kawasan Selatan berbukit-bukit dan pantai. Provinsi Jawa Barat memiliki lahan
yang subur berasal dari endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai
menyebabkan sebagian besar dari luas tanahnya digunakan untuk pertanian. Iklim
di Jawa Barat adalah tropis dengan suhu 90 C di Puncak Gunung Pangrango dan
340C di Pantai Utara. Curah hujan rata-rata 2.000 mm/tahun, namun di beberapa
tempat di daerah pegunungan mencapai antara 3.000 sampai dengan 5.000
mm/tahun.
Menurut keadaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Provinsi Jawa Barat,
daerah sebelah utara menjadi muara bagi beberapa sungai besar yaitu Citarum,
Cimanuk, Ciliwung dan Cisadane. Bagian sebelah selatan Jawa Barat terdapat
lebih sedikit sungai besar yang mengalir ke arah Samudera Hindia, yaitu
Citanduy dan Cimandiri. Keadaan berbeda juga ditemukan pada perairan laut
yang membatasi Jawa Barat. Daerah utara berbatasan dengan Laut Jawa dengan
4
Penyuluh kehutanan swadaya masyarakat adalah anggota masyarakat yang secara swadaya aktif
berperan dalam upaya-upaya penyuluhan kehutanan
ii
4
4
perairan dangkal sementara daerah Selatan yang bersebelahan dengan Samudera
Hindia memiliki perairan dalam.
Provinsi Jawa Barat merupakan daerah penyangga ibukota negara dengan
luas daratan sekitar 3.707.317,11 Ha.Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan
No.195/Kpts-II/2003, Provinsi Jawa Barat memiliki sumber daya hutan seluas
816.603 Haatau sebesar 22,03 persen dari total luas wilayah provinsiyang
berfungsi sebagai Hutan Produksi, Hutan Lindung dan Hutan Konservasi. Luasan
kawasan hutan tersebut masih di bawah luasan kawasan hutan minimal sebanyak
30 persen sesuaiPasal 18 ayat 2 UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan.Pasal
tersebut mengharuskan agar pemerintah menetapkan bahwa bagi provinsi dan
kabupaten/kota yang memiliki luas hutan kurang dari 30 persen perlu menambah
luas hutannya. Kekurangan luasan kawasan Hutan Negara tersebut ditutup dari
luasan Hutan Rakyat yang mulai banyak dikembangkan di Provinsi Jawa
Barat.Hutan Rakyat merupakan lahan milik masyarakat yang difungsikan sebagai
hutan dan sebagian besar menerapkan pola-pola agroforestry. Keberadaan Hutan
Rakyat di Provinsi Jawa Barat menjadi penting dalam memenuhi ketentuan
minimal adanya kawasan hutan sebanyak 30 persen dari luas Daerah Aliran
Sungai (DAS) dan atau pulau sesuai sesuai Undang-undang Kehutanan yang
berlaku.
Saat ini kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan dan untuk bahan baku
industri cenderung semakin meningkat, sedangkan pasokan kayu dari hutan alam
(areal HPH) dirasakan tidak mencukupi. Adanya peluang pasar bagi hasil Hutan
Rakyat untuk menunjang kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu,
mendorong peluang berusaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat sehingga
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan Hutan Rakyat
sampai sejauh ini dipandang mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Pengertian Hutan Rakyat sesuai dengan SK Menhut No.49/Kpts-II/1997
tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh
rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dan memiliki penutupan tajuk tanaman kayukayuan dan atau jenis lainnya yang lebih dari 50 persen dan atau tanaman tahun
5
pertama dengan minimal 500 tanaman per Ha. Data terakhir dari Dinas
Kehutanan Provinsi Jawa Barat (2009) diperoleh angka luasan Hutan Rakyat di
Provinsi Jawa Barat sebesar 264.169,7 Ha. Perkembangan luas dan produksi
Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat terus meningkat setiap tahunnya. Tanaman
Hutan Rakyat yang dominan ditanam di Provinsi Jawa Barat adalah Sengon, Jati,
Mahoni, dan Suren. Keberadaan Hutan Rakyat di bagian Hulu dan Tengah DAS
sangat mendukung upaya konservasi dikarenakan Hutan Rakyat didominasi oleh
tanaman keras yang memiliki fungsi hidroorologis, yang dapat mencegah erosi
dan banjir. Oleh karena itu penting untuk mempertahankan upaya konservasi
tanah dan air pada wilayah Hulu DAS. Perkembangan Hutan Rakyat yang
signifikan tidak lepas dari dukungan kebijakan pembangunan kehutanan di Jawa
Barat.
Pembangunan kehutanan di Provinsi Jawa Barat secara spesifik
mengarahkan pada program Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) melalui
kegiatan pengembangan Hutan Rakyat pada lahan-lahan kritis dan lahan-lahan
kosong milik masyarakat (Achmad 2008). Saat ini luasan Hutan Rakyat di
Provinsi Jawa Barat sudah mencapai sekitar 185.547,6 Ha (Dinas Kehutanan
Provinsi Jawa Barat 2006). Pengelolaan Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat
terbukti mampu memberikan manfaat ekologis penting dalam membantu
mengamankan kondisi lingkungan di kawasan-kawasanyang tergolong kritis.
Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah administrasi di Provinsi
Jawa Barat yang memiliki nilai strategis sebagai kawasan konservasi dengan dua
Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang melewatinya, yaitu DAS Ciliwung dan
DAS Cisadane5. Daerah Aliran sungai Ciliwung-Cisadane telah ditetapkan
sebagai kawasan khusus strategis dan penataan ruangnya telah diatur berdasarkan
Keputusan
Presiden
No.
79
Tahun
1985.
Perkembangan
selanjutnya
menunjukkan bahwa penggunaan lahan di kawasan tersebut termasuk salah satu
lokasi di Indonesia yang mengalami perubahan sangat cepat baik dari segi
5
Daerah Aliran sungai Ciliwung-Cisadane termasuk dalam kawasan Jakarta-Bogor-DepokTangerang- Bekasi (Jabodetabek) dan Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur). Kedua
kawasan tersebut dikenal dengan kawasan Jabodetabek-Punjur.
6
6
pertumbuhan penduduk maupun perkembangan aktivitas penduduknya, sehingga
menimbulkan permasalahan lingkungan yang cukup kompleks dari waktu ke
waktu, antara lain terjadinya banjir, tanah longsor, kekeringan, dan perubahan
iklim mikro yang intensitasnya semakin meningkat pada waktu-waktu terakhir.
Pesatnya pertumbuhan pembangunan di kawasan Bogor Barat diindikasikan
dengan berkembangnya industri baik skala industri besar maupun rumahan,
meningkatnya kegiatan pertambangan dan terjadinya alih fungsi lahan untuk
perumahan, kebun campur dan lahan persawahan sehingga menyebabkan fungsi
daerah resapan air (water catchment area) DAS Cisadane sudah tidak berfungsi
optimal dan secara tidak langsung memberikan kontribusi berupa ancaman banjir
dan genangan di daerah Hilir, yaitu daerah Jakarta dan sekitarnya.
Kesadaran mengenai pentingnya mengembalikan fungsi hulu DAS
Cisadanepada kondisi semula untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan
lingkungan yang telah mendorong dilaksanakannya upaya-upaya penghijauan
melalui peningkatan partisipasi masyarakat pada kegiatan-kegiatan pengelolaan
hutan di kawasan hulu DAS Cisadane dan sub-sub DAS penyangganya.
Partisipasi masyarakat lokal, sebagaimana dikemukakan DFID (2003) memegang
peran penting dalam pelaksanaan suatu pengelolaan hutan. Upaya penghijauan
antara lain dilakukan melalui pengelolaan Hutan Rakyat dengan memanfaatkan
lahan-lahan masyarakat setempat yang difungsikan sebagai hutan.
Kondisi hulu DAS Cisadane dan sub-sub DAS penyangganya yang
semakin memprihatinkan sampai saat ini masih belum diimbangi dengan
perkembangan yang signifikan pada kualitas pengelolaan lingkungan di daerah
hulu tersebut. Berdasarkan beberapa penelitian mengenai pengelolaan Hutan
Rakyat yang telah dilakukan di Provinsi Jawa Barat banyak diperoleh
pemahaman mengenai aspek kelayakan teknis dan finansial pengelolaan Hutan
Rakyat, namunmasih belum banyak diperoleh pemahaman terkait dengan
perilaku masyarakat lokal dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Pemahaman tersebut
diperlukan untuk dapat memberikan kontribusi bagi pemecahan permasalahan
lingkungan di DAS Cisadane. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh
7
pemahaman lebih mendalam mengenai kemampuan anggota kelompok dalam
mengelola Hutan Rakyatnya. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada
pertimbangan mengenai lokasi areal permodelan pengembangan Hutan Rakyat di
Desa Tegal Waru yang terletak di wilayah Sub DAS Ciampea anak sungai DAS
Cisadane yang berfungsi penting dalam mendukung konservasi tanah dan air di
daerah hulu DAS Cisadane.
1.2
Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini mengkaji
pembelajaran petani dalam memperoleh kemampuan pengelolaan Hutan Rakyat
secara berkualitas. Secara spesifik penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab
beberapa pertanyaan penelitian berikut ini :
1.
Bagaimana kondisi Hutan Rakyat di lokasi penelitian?
2.
Bagaimana kemampuan petani mengelola Hutan Rakyat di lokasi penelitian?
3.
Faktor-faktor penentu apakah yang berpengaruh terhadap kemampuan
anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat di lahan miliknya?
4.
Bagaimana desain strategi yang dapat memperkuat kelompok tani Hutan
Rakyat guna mendorong perbaikan kondisi lingkungan secara lebih optimal?
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kemampuan anggota kelompok tani Hutan Rakyat
sekaligus menyusun desain strategi yang dapat memperkuat kelompok tani Hutan
Rakyat tersebut. Secara khusus, penelitian ini bertujuan :
1. Mengidentifikasi kondisi pengelolaan Hutan Rakyat di lokasi penelitian
2. Menganalisis pengelolaan Hutan Rakyat di lokasi penelitian
3. Menganalisis faktor-faktor penentu yang berpengaruh terhadap kemampuan
anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat
4. Menyusun alternatif desain strategi yang dapat memperkuat kelompok tani
Hutan Rakyat dalam rangka mengupayakan perbaikan kondisi lingkungan.
8
8
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan, khususnya berkaitan dengan
peningkatan kualitas pengembangan yang dapat diterapkan pada pengelolaan
Hutan Rakyat
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan
bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan dalam merumuskan strategi
untuk mendorong penguatan kelembagaan pada pengelolaan Hutan Rakyat
secara lestari.
9
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan
Pemberdayaan menurut Carr (2011) merupakan proses membuka
kesempatan bagi masyarakat untuk mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri,
memiliki kepercayaan diri, dan mampu mendorong dirinya sendiri dalam
kewaspadaan
sosial,
politik,
ekonomi,
dan
psikologi.
Proses
tersebut
mendampingi individu untuk membentuk pendampingan diri terhadap kekuatan
yang sudah ada pada diri mereka dan memaksimalkan kendali serta
memanfaatkan kekuasaan yang sudah mereka miliki untuk memperoleh hasil
yang diinginkan. Pengertian proses menunjuk pada serangkaian tindakan atau
langkah-langkah
yang
dilakukan
secara
kronologis
sistematis
yang
mencerminkan pentahapan upaya mengubah masyarakat.
Agarwal
(1994)
mendefinisikan
pemberdayaan
sebagai
proses
meningkatkan kemampuan dari individu atau kelompok yang kurang beruntung
untuk mampu merubah hubungan kekuasaan yang sudah ada berdasarkan
kepentingan mereka yang menempatkan mereka dalam posisi ekonomi, sosial
dan
politik
yang
kurang
menguntungkan.
Menurut
Peterson
(2011)
pemberdayaan mengacu pada proses dimana individu, kelembagaan, dan
masyarakat memperoleh kendali yang lebih besar, pencapaian diri, dan keadilan
sosial. Salah satu cara untuk mengembangkan pemberdayaan di masyarakat
adalah melalui partisipasi kelompok maupun partisipasi masyarakat dalam
kegiatan lainnya. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menemukan bahwa
partisipasi mampu mendorong pemberdayaan dan perubahan sosial dalam
berbagai konteks. Masyarakat dapat menjadi berdaya melalui proses partisipasi
dan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut, Wright (1990) menyebutkan bahwa
partisipasi sebagai pemberdayaan merupakan pendekatan yang memiliki
kekuasaan dan secara penuh memiliki kendali terhadap suatu program atau
kelembagaan. Partisipasi untuk pemberdayaan digambarkan dalam suatu proses
10
10
mobilisasi struktural, perubahan sosial dan politik. Menurut Iqbal (2007)
mengacu pada Tjondronegoro (1992), partisipasi dapat dimaknai dalam konteks
keterlibatan kelompok sasaran pada program atau kegiatan dalam konteks
pembangunan, dan jenis keterlibatan kelompok sasaran yang termotivasi dan
menjadi aktif, bahkan mau berkorban untuk pengembangan kelompok untuk
mencapai tujuan spesifik yang sudah disetujui dan ditetapkan bersama dalam
program. Hal tersebut sejalan dengan Singh (1993) yang mengemukakan bahwa
partisipasi masyarakat adalah suatu kegiatan yang berorientasi proses.
Berdasarkan uraian definisi dan pengertian diatas, pemberdayaan
masyarakatdapat dilihat sebagai upaya pengembangan, penguatan potensi atau
daya, dan terciptanya proses pengambilan keputusan secara mandiri untuk
mengembangkan pilihan-pilihan adaptasi terhadap perubahan lingkungan fisik
dan lingkungan sosial pada masyarakat. Partisipasi masyarakat dan atau berbagai
pihak yang terlibat dalam upaya pemberdayaan tersebut berperan penting dalam
mendorong keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan, sehingga pada dasarnya
upaya pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari upaya menumbuhkan partisipasi
masyarakat.
Meluasnya
kesadaran
di
dunia
mengenai
pembangunan
yang
berkelanjutan (sustainable development) sebagai konsep dan sebagai tujuan dari
pengelolaan hutan telah menggeser kebijakan dari pendekatan pengelolaan hutan
yang menekankan pada pemanfaatan kayu menjadi pengelolaan hutan dengan
pendekatan yang berorientasi pada masyarakat (people-oriented approach). Pada
beberapa dekade terakhir, konsep pengelolaan hutan yang berkelanjutan tersebut
memperoleh dukungan kuat dari berbagai pihak.
Salam et al. (2004) mengemukakan bahwa tujuan utama dari pengelolaan
hutan yang berkelanjutan adalah memenuhi kebutuhan yang terkait dengan hutan
dan aspirasi generasi saat ini tanpa membahayakan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.Tujuan tersebut dapat dicapai dengan
memelihara dan meningkatkan nilai penting hutan terhadap masyarakat yang
tinggal di sekitar kawasan hutan.
11
Partisipasi masyarakat merupakan agenda utama dalam pengelolaan hutan
yang berkelanjutan. DFID (2003) menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman
dengan beragam pendekatan dalam pengelolaan hutan, partisipasi bernilai penting
dalam meningkatkan keadilan, efektivitas, dan keberlanjutan. Pengelolaan hutan
dengan berorientasi pada masyarakat merupakan pendekatan partisipatif yang
sejak tahun 1980-an akhirnya secara luas berhasil mendorong masyarakat di
berbagai belahan dunia baik yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan
memiliki akses lebih besar dalam pengelolaan kawasan hutan.
Partisipasi masyarakat dalam konteks pengelolaan hutan harus dipandang
sebagai gerakan menuju kondisi yang lebih humanis dan demokratis di negara
berkembang, yang mengedepankan keadilan dan keberlanjutan. Perbedaan
tahapan perkembangan sejarah dan kondisi politik yang berbeda-beda di masingmasing negara, menyebabkan perbedaan interpretasi terhadap terminologi
partisipasi masyarakat berikut penerapannya pada program-grogram nasional di
masing-masing negara, khususnya negara-negara berkembang6.
2.1.1 Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Hutan Rakyat merupakan konsep perhutanan sosial (Social Forestry)
yang memanfaatkan lahan milik petani yang difungsikan sebagai hutan.Konsep
Perhutanan Sosial didefinisikan sebagai sistem pengelolaan hutan yang dilakukan
baik di hutan negara maupun hutan hak milik dengan keterlibatan masyarakat
lokal sebagai pelaku utama atau mitra utama untuk meningkatkan kesejahteraan
mereka sekaligus mencapai pengelolaan hutan yang berkelanjutan.Di Indonesia,
kegiatan perhutanan sosial (Social Forestry) sudah dilakukan sejak jaman
Kerajaan Mataram pada abad ke-18 ditandai dengan sudah adanya bentuk
penanaman dengan teknik agroforestry tradisional pada masa tersebut. Pada saat
6
Program Perhutanan Sosial Terpadu (Intregated Social ForestryProgramme) di Filipina,
Program Hutan Desa Thailand (Forest Village Programme of Thailand) di Thailand, Komunitas
Penanaman Kayu Bakar (Community Fuelwood Plantations) di Korea, Hutan Kemasyarakatan
(Community Forestry) di Nepal, Pengelolaan Hutan Partisipatif (Partisipatory Forest
Management) di India (Singh, 2003), dan Perhutanan Sosial (Social Forestry) di Indonesia.
12
12
yang sama di luar Pulau Jawa, masyarakat lokal melakukan peladangan
berpindah sebagai sistem kehutanan tradisional yang turun-temurun (Effendi
2000).
Saat ini, Perhutanan Sosial seringkali dipandang sama dengan
pengelolaan berbasis masyarakat yang berkelanjutan (Community Based Forest
Management/CBFM) yaitu sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh
individu atau kelompok masyarakat pada tanah negara, lahan komunal, tanah adat
atau
Hutan Rakyat untuk memenuhi kebutuhan diri mereka sendiri secara
komersial. Pembahasan mengenai definisi pengelolaan hutan berbasis masyarakat
menitikberatkan pada dua hal penting, yaitu sumber daya hutan dan keterlibatan
masyarakat. Hutan sebagai daerah yang didominasi oleh pohon, termasuk
beragam jenis dan bentuk pengelolaannya (dari bentuk sederhana sampai bentuk
agroforetry yang kompleks). Masyarakat sebagai pelaku utama dalam setiap
pelaksanaan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang berperan penting dalam
pengambilan
keputusan
pada
pengelolaan
hutan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Hutan Rakyat merupakan salah
satu bentuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang menempatkan
masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan di lahan miliknya
sendiri.
Departemen
Kehutanan
(1990)
mengemukakan
bahwa
tujuan
pengembangan Hutan Rakyat adalah untuk penghijauan, membantu masyarakat
desa memenuhi kebutuhan kayu bangunan, kayu bakar, kebutuhan bahan baku
industri, peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Pengembangan Hutan Rakyat adalah
sebagai sarana perbaikan lingkungan hidup (environment), peningkatan
kesejahteraan (properity) dan keamanan serta keutuhan hutan (security). Interaksi
antara masyarakat dengan lingkungannya dalam pengelolaan Hutan Rakyat
bersifat langsung dan erat.
Pengertian Hutan Rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik
dengan luas minimal 0.25 ha dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman
13
perkayuan (lebih dari 50 persen), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500
batang (Departemen Kehutanan, 1999). Hutan Rakyat merupakan model
penggunaan lahan di pedesaan oleh masyarakat melalui pengembangan sistem
tanaman campuran antara tanaman pertanian, perkebunan, peternakan, dan
kehutanan.
Penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya,
merupakan salah satu butir kearifan masyarakat dalam rangka memenuhi
berbagai
kebutuhan
hidupnya.
Semakin
terbatasnya
kepemilikan
tanah
menyebabkan peran Hutan Rakyat bagi kesejahteraan masyarakat semakin
penting. Pengetahuan tentang kondisi tanah dan faktor-faktor lingkungannya
untuk dipadukan dengan pengetahuan jenis-jenis pohon yang akan ditanam untuk
mendapatkan hasil yang diharapkan oleh pemilik lahan merupakan faktor yang
menentukan keberhasilan pembangunan Hutan Rakyat. Pengetahuan lokal
menempati posisi penting dan melandasi kebijaksanaan dan sistem pengelolaan
hutan, disamping pengetahuan modern untuk memperkaya.
Karakteristik Hutan Rakyat antara lain adalah tidak merupakan suatu
kawasan yang kompak tetapi terpencar-pencar di antara lahan-lahan pedesaan
lainnya dan bentuk usahanya tidak selalu murni berupa kayu-kayuan. Hutan
Rakyat mengkombinasikan tanaman perkayuan dengan tanaman pangan/palawija
yang biasa dikenal dengan istilah agroforestry7. Hasil utama
Hutan Rakyat
berupa kayu-kayuan baik kayu pertukangan, kayu industri, kayu serat, maupun
kayu energi. Hasil sampingan Hutan Rakyat yaitu getah, nira, bunga, buah.
Tanaman campuran/tanaman sela sebagai tumpangsari yang terdiri dari tanaman
pertanian semusim (padi dan jagung) dan tanaman obat-obatan disamping sebagai
sumber penghasilan musiman limbahnya berupa daun dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pakan ternak (Mindawati et al. 2006; Budiman et al. 2008).
7
A land-use system in which woody perennials (trees, shrubs, palms, bamboos) are deliberately
used on the same land management unit as agricultural crops (woody or not), animals or both,
either in some form of spatial arrangement or temporal sequence. In agroforestry systems there
are both ecological and economic interactions between the different components (World
Agroforestry Centre, 1997)
14
14
Hutan Rakyat sudah berkembang di masyarakat sejak lama dan dilakukan
di lahan-lahan milik. Hal tersebut terlihat dari adanya Hutan Rakyat tradisional
yang diusahakan oleh masyarakat itu sendiri tanpa campur tangan pemerintah
(swadaya murni), baik terdiri dari tanaman satu jenis, maupun dengan pola
tanaman campuran. Teknologi yang dipergunakan diutamakan teknologi lokal,
merupakan teknologi yang telah melalui proses adaptasi dan berada dalam batas
yang dikuasai oleh rakyat. Tingginya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
Hutan Rakyat dikarenakan bentuk pengelolaan tersebut banyak memberi manfaat
bagi petani dan bukan merupakan hal yang sama sekali baru bagi masyarakat.
2.1.2 Dukungan Kebijakan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Keterlibatan pemerintah dalam pengembangan
Hutan Rakyat ditandai
dengan terbitnya Inpres Penghijauan Tahun 1976 mengenai upaya penghijauan
pada lahan-lahan milik yang kritis dan terlantar.
Pengurusan Hutan Rakyat
dilakukan sendiri oleh pemiliknya dengan bimbingan dan pengawasan dari
pemerintah.Dengan adanya PP No. 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian
urusan pemerintahan di bidang Kehutanan kepada daerah, maka pengurusan
pengelolaan Hutan Rakyat telah diserahkan kepada Dati II yang mencakup
pembinaan kegiatan penanaman pohon-pohonan, pemeliharaan, pemanenan,
pemanfaatan, pemasaran dan pengembangan.
Pengembangan Hutan Rakyat mengenal tiga pola pengelolaan, yaitu :(1)
Hutan Rakyat Swadaya, yaitu Hutan Rakyat yang dibangun oleh kelompok atau
perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan
itu sendiri. Melalui pola ini masyarakat didorong agar mau dan mampu untuk
melaksanakan pembuatan Hutan Rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis
kehutanan, (2) Hutan Rakyat subsidi, yaitu Hutan Rakyat yang dibangun melalui
subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Subsidi
atau bantuan diberikan oleh pemerintah (melalui Inpres Penghijauan, Padat Karya
dan dana bantuan lainnya) atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan
Hutan Rakyat, dan (3) Hutan Rakyat kemitraan (Kredit Usaha Hutan Rakyat), yaitu
15
Hutan Rakyat yang dibangun berdasarkan kerjasama masyarakat dan perusahaan
swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga
ringan. Dasar pertimbangan kerjasama tersebut adalah kebutuhan pihak perusahaan
terhadap bahan baku dan kebutuhan masyarakat terhadap bantuan modal kerja.
2.2 Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat
Menurut Singh (1993) dalam pengelolaan hutan hal penting yang
diperlukan dalam memelihara dan mendorong partisipasi masyarakat yang
berkelanjutan adalah membangun kelembagaan yang kuat pada masyarakat
pengelola hutan. Kelembagaan merupakan hambatan terbesar dalam mewujudkan
pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan. Aspek kelembagaan
memegang peranan penting dalam pengelolaan hutan
yang adil dan
berkelanjutan. Kegagalan beberapa program pembangunan kehutanan seringkali
terletak pada masih lemahnya aspek kelembagaan baik di tingkat masyarakat
maupun unsur-unsur pendukungnya.
Koentjaraningrat (2006) menyatakan bahwa pranata sosial adalah suatu
sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas untuk
memenuhi
kompleksitas
kebutuhan
dalam
kehidupan
masyarakat
yang
menekankan pada sistem tata kelakuan atau norma untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Cohen (1992) mengartikan social institutions sebagai pranata-pranata
masyarakat yang memiliki pengertian sistem pola-pola sosial yang tersusun rapi
dan relatif bersifat permanen serta mengandung perilaku-perilaku tertentu yang
kokoh dan terpadu demi pemuasan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok
masyarakat. Gunawan (2000) mengemukakan bahwa pranata sosial merupakan
struktur sosial beserta perlengkapannya, yang dipergunakan oleh masyarakat
untuk mengatur, mengarahkan, dan melaksanakan berbagai kegiatan yang
diperlukan dalam memenuhi kebutuhannya.
Berdasarkan pengertian di atas, maka lembaga sosial umumnya didirikan
berdasarkan nilai dan norma dalam masyarakat, untuk mewujudkan nilai sosial,
masyarakat menciptakan aturan-aturan yang disebut norma sosial yang
16
16
membatasi perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Sekumpulan norma akan
membentuk suatu sistemnorma yang kemudian menjadi awal terbentuknya
lembaga sosial. Sekumpulan nilai dan norma yang telah mengalami proses
penerapan ke dalam institusi atau pelembagaan menghasilkan lembaga sosial
Lembaga sosial merupakan suatu konsep yang abstrak, namun demikian
terdapat sejumlah ciri dan karakter yang dapat dikenali. Gillin dan Gillin di dalam
karyanya yang berjudul "Ciri-ciri Umum Lembaga Sosial" (General Features of
Social Institution) sebagaimana dikutip oleh Soekanto (1994) mengemukakan
bahwa lembaga sosial memiliki ciri-ciri antara lain :
1. Merupakan organisasi pola-pola pemikiran dan perilaku yang terwujud
melalui aktivitas-aktivitas masyarakat dan hasil-hasilnya.
2. Memiliki suatu tingkat kekekalan tertentu. Lembaga sosial merupakan
himpunan norma-norma yang berkisar pada kebutuhan pokok, maka harus
dipelihara dan dibakukan.
3. Memiliki satu atau beberapa tujuan tertentu.
4. Memiliki alat-alat perlengkapan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
5. Memiliki lambang-lambang atau simbol-simbol tertentu yang secara simbolis
menggambar tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan.
6. Memiliki tradisi tertulis dan tidak tertulis yang merumuskan tujuan, tata
tertib, dan lain-lain.
Baga et al.(2009) mengemukakan bahwa suatu kelembagaan (institution)
baik sebagai suatu aturan main maupun sebagai suatu organisasi, dicirikan oleh
adanya tiga komponen utama, yaitu : (1) batas kewenangan (jurisdictional
boundary), (2) hak kepemilikan (property right), dan (3) aturan representasi (rule
of representation). Kelembagaan, selain dimaknai sebagai perangkat keras
(lembaga atau organisasi), juga melingkupi perangkat lunak, aturan main,
keteladanan, rasa percaya dan konsistensi kebijakan yang diterapkan pemerintah
terhadap lembaga-lembaga masyarakat. Kegagalan kegiatan pembangunan
kehutanan seringkali disebabkan oleh masih lemahnya kelembagaan di tingkat
masyarakat
lokal
maupun
unsur-unsur
pendukungnya.
Achmad
(2008)
17
mengemukakan bahwa kelembagaan Hutan Rakyat terdiri dari kelembagaan
sosial, kelembagaan ekonomi, dan kelembagaan pemerintahan/birokrasi.
2.2.1 Kelompok Tani Hutan Rakyat sebagai Kelembagaan Sosial
Bentuk kelembagaan sosial dalam Hutan Rakyat adalah kelompok tani.
Kelompok tani merupakan kumpulan orang-orang tani atau petani, yang terdiri
atas petani dewasa (pria/wanita) maupun petani taruna (pemuda/i), yang terikat
secara informal dalam suatu wilayah kelompok atas dasar keserasian dan
kebutuhan bersama serta berada di lingkungan pengaruh pimpinan seorang
kontak tani (Departemen Kehutanan, 1996). Kelompok tani yang berkaitan
langsung dengan Hutan Rakyat disebut kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR).
KTHR berfungsi sebagai wadah bagi para petani untuk menyalurkan aspirasinya,
melaksanakan kegiatan-kegiatan fisik di lapangan secara berkelompok, dan
menampung aspirasi anggotanya dalam kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat.
Keberadaan KTHR membantu petani Hutan Rakyat untuk dapat saling
berkomunikasi dengan petani Hutan Rakyat lainnya dan juga pihak-pihak lainnya
di luar kelompok tani untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang
dihadapi sebagai petani. Kelembagaan sosial lainnya yang turut menunjang
perkembangan Hutan Rakyat adalah : (1) Lembaga penelitian dan pengembangan
kehutanan, (2) lembaga pendidikan terkait kehutanan (kursus, sekolah, dan
perguruan tinggi),(3) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang melakukan
pendampingan terhadap petani Hutan Rakyat yang tergabung dalam kelompok
tani-kelompok tani (Departemen Kehutanan 1996; Rahman 2006; Achmad et al.
2008)
Kelembagaan ekonomi dalam Hutan Rakyat terdiri dari : (1) lembagalembaga pemasaran sarana produksi kehutanan, dari mulai produsen sampai
dengan pendistribusiannya di tingkat petani, (2) Lembaga-lembaga penunjang
kegiatan produksi, antara lain lembaga keuangan/perbankan dan koperasi, dan (3)
lembaga-lembaga pemasaran produk kehutanan, dari pengolah hasil kehutanan
18
18
sampai pendistribusian kepada konsumen, (4) Jasa konstruksi, telekomunikasi,
dan transportasi (Departemen Kehutanan 1996; Rahman 2006).
Kelembagaan
pemerintah/birokrasi
memegang
peran
yang cukup
dominan dalam pengembangan Hutan Rakyat. Menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan, pada pasal 70
dinyatakan bahwa pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten atau
kota berkewajiban untuk mengembangkan hutan hak melalui pengembangan
kelembagaan. Pengelolaan Hutan Rakyat di Jawa Barat ditangani oleh : (1)
Departemen Kehutanan, (2) Pemerintah Kabupaten/Kota, selaku regulator
kegiatan pengelolaan hutan di Kabupaten/Kota. Penyuluh kehutanan sebagai
ujung tombak pengembangan Hutan Rakyat tergabung dalam Dinas-dinas
Kehutanan Kabupaten/Kota, (3) Keterlibatan Dinas-dinas terkait lainnya, yaitu
Dinas Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan UKM, serta Dinas Perhubungan
(Departemen Kehutanan 1996; Rahman 2006; Achmad 2008)
2.2.2 Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat sebagai Bentuk Tindakan
Bersama (Collective action)
Pengembangan Hutan Rakyat tidak dapat hanya dilakukan oleh petani.
Keberhasilan pengelolaan Hutan Rakyat tidak terlepas dari lembaga-lembaga
yang mendukungnya. Kelembagaan Hutan Rakyat bersifat multidimensi. Sinergi
dari kelembagaan sosial, ekonomi, dan pemerintah dalam kelembagaan Hutan
Rakyat memperlihatkan adanya kompleksitas jaringan (network) multipihak yang
saling berkaitan satu sama lain. Keberlanjutan kelembagaan Hutan Rakyat sangat
terikat dari manfaat, baik ekonomi, sosial dan politik yang dapat diberikannya
bagi pelaku utama yaitu petani, maupun bagi parapihak yang mendukungnya.
Kelembagaan Hutan Rakyat dapat lebih dipahami sebagai tindakan bersama
(collective action) dari parapihak yang terlibat di dalamnya.
Tindakan bersama (collective action) tersebut didorong oleh adanya
kepentingan terhadap sumberdaya, gagasan, dan cita-cita berbagai pihak terkait
19
dengan keberadaan Hutan Rakyat. Kelembagaan Hutan Rakyat dalam hal ini
menjadi saluran bagi tindakan bersama (collective action) yang didorong oleh
kepentingan terhadap manfaat yang diperoleh, legitimasi, dan harapan bersama
yang diinginkan. Kompleksitas jaringan multipihak dalam kelembagaan Hutan
Rakyat memberikan gambaran bahwa akan selalu terjadi proses pembelajaran
yang berkesinambungan dalam rangka meningkatkan kapabilitas pihak-pihak
yang terlibat di dalamnya. Keberlangsungan kelembagaan Hutan Rakyat terikat
dari kemampuan kelembagaan tersebut dalam beradaptasi dengan berbagai
perubahan yang terjadi.Penerapan teknologi untuk mampu beradaptasi terhadap
berbagai perubahan yang terjadi memerlukan sumberdaya yang berkualitas yang
hanya dapat diperoleh dari dilaksanakannya proses pembelajaran.
2.3
Penyuluhan Kehutanan
2.3.1 Penyuluhan secara Umum
Falsafah, pendekatan, definisi, dan strategi penyuluhan senantiasa
berkembang dari waktu ke waktu. Penyuluhan mengandung pengertian mengenai
upaya untuk memperluas penelitian berdasarkan pengetahuan pada sektor
pedesaan untuk meningkatkan taraf kehidupan petani meliputi komponen alih
teknologi, keterampilan manajerial, dan pendidikan non-formal. Saat ini
pemahaman mengenai penyuluhan telah bergeser dari alih teknologi menjadi
fasilitasi, dari pelatihan menjadi pembelajaran, termasuk mendampingi
pembentukan kelompok tani, dan menjadi patner dengan jangkauan yang luas
dengan berbagai pihak.
Jaffe dan Srivatasva (1992) mengemukakan bahwa penyuluhan berlaku
sebagai penghubung diantara para petani untuk alih pengetahuan atau
keterampilan yang dianggap lebih baik dalam bidang pertanian ataupun sebagai
sarana untuk menyebarluaskan kebijakan-kebijakan di bidang pertanian
pertanian. Saito dan Weidemann (1991) mengemukakan bahwa penyuluhan
adalah proses pembelajaran dengan dua tujuan, yaitu menyebarkan informasi dan
teknologi pada petani dan mengajar mereka bagaimana menggunakan informasi
20
20
dan teknologi tersebut untuk mengembangkan produktivitas, mendorong petani
mampu mengenali kebutuhannya dan memberikan umpan balik dalam bentuk
penyuluhan yang sesuai dengan kondisi mereka. Penyuluhan cenderung menjadi
lebih efektif ketika hubungan diantara multipihak yang terlibat dalam penyuluhan
tersebut mampu mendorong terciptanya komunikasi yang terbuka dan umpan
balik yang dinamis (Saito and Weidemann, 1991).
Pengertian
penyuluhan
menurut
Slamet
(2003)
adalah
program
pendidikan luar sekolah yang bertujuan memberdayakan sasaran, meningkatkan
kesejahteraan sasaran secara mandiri, bersifat berkelanjutan, menghasilkan
perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan
masyarakatnya. Penyuluhan dapat pula dipandang sebagai proses perubahan
sosial, ekonomi dan politik untuk memberdayakan dan memperkuat kemampuan
masyarakat melalui proses belajar bersama bersifat partisipatif, agar terjadi
perubahan perilaku pada diri semua stakeholder (individu, kelompok,
kelembagaan) yang terlibat dalam proses pembangunan, demi terwujudnya
kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, dan partisipatif yang semakin
sejahtera secara berkelanjutan.
Mahaliyanaarachchi (2008) memberikan mendefinisikan penyuluhan
sebagai proses pembelajaran nonformal yang berjalan terus-menerus pada suatu
periode waktu tertentu dan mengarah pada peningkatan kondisi kehidupan petani
dan anggota keluarganya dengan meningkatkan keuntungan dari kegiatan
pertanian. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui upaya peningkatan pengetahuan,
keterampilan, dan perubahan sikap petani dalam penerapan teknologi pertanian,
pelaksanaan kegiatan pertanian dan pemasaran hasil-hasil pertanian.Beberapa
studi mengenai dampak ekonomi penyuluhan pertanian menunjukkan adanya
dampak positif penyuluhan terhadap adopsi teknologi, produktivitas pertanian
dan keuntungan yang diperoleh petani dari lahan pertanian (Foti et al. 2007).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 Tentang
Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan menyatakan bahwa
penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan merupakan proses pembelajaran
21
bagi
pelaku
utama
agar
mereka
mau
dan
mampu
menolong
dan
mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi,
permodalan, dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas,
efisiensi
usaha,
pendapatan,
dan
kesejahteraannya,
serta
meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Penyuluhan
pada hakikatnya adalah proses pembelajaran yang bertujuan menciptakan
perubahan perilaku yang diinginkan terdiri dari pengetahuan (knowledge),
keterampilan (skill), dan sikap (attitude) terhadap individu atau kelompok
tertentu dan bertujuan meningkatkan taraf kehidupan pihak-pihak terlibat di
dalamnya.
2.3.2 Penyuluhan Kehutanan
Penyuluhan terpusat pada masalah pertanian di dunia, namun pada saat
yang sama pentingnya penyuluhan dalam meningkatkan pengelolaan hutan terus
meningkat. Terlepas dari fokus terhadap pertanian tradisional, penyuluhan di
bidang kehutanan berkembang menjadi hal yang diperlukan untuk meningkatkan
kehidupan masyarakat pengelola hutan. Menurut Glendingin et al. (2001)
mengacu pada Sim dan Hilmi (1987) menyatakan bahwa sistem penyuluhan
kehutanan berkembang sebagai respon terhadap kebutuhan penyebaran teknologi
kehutanan diantara masyarakat pedesaan yang tinggal di sekitar kawasan hutan.
Proses pembelajaran dan berbagi pengalaman untuk pengembangan kapasitas
sangat penting dalam tercapainya keberhasilan penyuluhan kehutanan. Pada
waktu-waktu terakhir terdapat pergeseran paradigma dalam penyuluhan
kehutanan dari pendekatan tranfer teknologi menjadi lebih bersifat pendekatan
fasilitasi dan partisipatif.
Partisipasi dan dukungan masyarakat menurut Glendingin (2001)
mengacu pada Chambers (1983) dan Kramer (1987) menjadi perhatian utama
dalam kegiatan kehutanan. Kegiatan pembangunan kehutanan yang dilakukan
tidak akan berhasil tanpa adanya keterlibatan masyarakat terhadap pembangunan
22
22
kehutanan tersebut. Penyuluhan kehutanan dipandang sebagai kunci untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan.
Rebugio (1978) mendefinisikan penyuluhan kehutanan sebagai sistem
pendidikan nonformal yang dirancang untuk mengembangkan perilaku diantara
pengguna hutan dan kapabilitas yang diinginkan dalam rangka upaya konservasi
sumberdaya hutan. Penyuluhan kehutanan menurut Anderson dan Farrington
(1996) didefinisikan sebagai proses yang sistematis dari pertukaran ide,
pengetahuan dan teknik yang mengarah pada perubahan yang menguntungkan
dalam sikap mental, praktik, pengetahuan, nilai-nilai, dan perilaku yang bertujuan
meningkatkan pengelolaan hutan dan kayu.
Glendingin (2001) mengacu pada Sim dan Hilmi (1987) mengemukakan
bahwa penyuluhan merupakan proses menyatukan pengetahuan, sikap mental,
dan keterampilan untuk menentukan kebutuhan yang diperlukan, penyelesaian
masalah yang dihadapi, pendampingan terhadap masyarakat lokal dan
sumberdaya penting, dan pendampingan lainnya yang mungkin diperlukan untuk
mengatasi kendala tertentu. Departemen Kehutanan (1996) mengartikan
penyuluhan kehutanan
sebagai upaya alih-teknologi kehutanan melalui
pendidikan luar-sekolah yang ditujukan kepada petani dan kelompok masyarakat
lainnya, untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, keterampilan, dan
kemampuannya dalam memanfaatkan lahan miliknya, pengamanan, serta
pelestarian sumber daya alam.
Beragam definisi mengenai penyuluhan kehutanan menyebabkan sulit
untuk diperoleh satu definisi yang disepakati oleh berbagai pihak. Namun
demikian menurut Anderson dan Farrington (1996) dari beragam definisi tersebut
dapat ditarik dua pandangan mendasar. Pandangan pertama beranggapan bahwa
penyuluhan terikat dengan fungsi alih teknologi dan tidak digabungkan dengan
tugas-tugas lainnya. Pandangan kedua beranggapan bahwa penyuluhan harus
melihat masyarakat sebagai rekan dan memahami kebutuhan mereka. Fungsi
pengembangan
manusia menjadi kunci penting dalam
pelaksanaannya.
Pandangan ini seringkali disebut pendekatan ’utamakan petani’ (farmer first) atau
23
’pendekatan pemecahan masalah’. Kerangka pembangunan yang berkelanjutan
menitikberatkan keduanya pada kandungan isi (teknologi dan penyebarannya)
dan proses (pengembangan kapasitas pemecahan masalah). Penyuluhan
kehutanan harus berakar dari kebutuhan untuk memelihara efisiensi maupun
keadilan dalam pembangunan kehutanan.
Penyuluhan di bidang agroforestry merupakan salah satu penyuluhan
yang
dilakukan
dalam
lingkup
penyuluhan
kehutanan.
Chavangi
and
Zimmermann (1987) mengemukakan bahwa penyuluhan di bidang agroforestry,
tidak seluruhnya merupakan tugas teknis untuk melakukan penanaman pohon,
melainkan lebih kepada gabungan tugas teknis, psikologis, sosiologis,
kelembagaan, dan politik. Menurut Bukenya et al. (2007) dalam teknologi
agroforestry menjadi terkait dengan petani ketika dikomunikasikan pada petani.
Petani belajar mengenai teknologi agroforestry melalui cara yang berbeda,
misalnya dengan mendengarkan, mengamati, berdiskusi dan menggunakan
metode yang diterapkan oleh petugas penyuluhan ketika melaksanakan
penyuluhan. Hasil penyuluhan dapat berbeda pada situasi dan tingkat adopsi yang
berbeda.
Beberapa metode pendekatan dalam penyuluhan menurut Tengnas (1994)
antara lain adalah : (1) pendekatan individu, (2) pendekatan kelompok
(pertemuan, pekerjaan lapangan, demontrasi, dukungan untuk kelompok), (3)
pendekatan kelas, dan (4) pendekatan penyuluhan masal. Penyuluhan di bidang
agroforestry ini salah satunya adalah penyuluhan yang dilaksanakan dalam
rangka mendukung pelaksanaan Hutan Rakyat.
2.3.3 Pelaksanaan Penyuluhan Kehutanan di Indonesia
Di Indonesia, penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh
pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Sejalan dengan pergeseran kebijakan
pembangunan kehutanan dan pelaksanaan otonomi daerah, maka telah dilakukan
reorientasi paradigma penyuluhan kehutanan, yang semula merupakan proses
alih teknologi dan informasi serta merubah sikap dan perilaku masyarakat
24
24
menjadi “penyuluhan kehutanan adalah proses pemberdayaan masyarakat”
(Departemen Kehutanan, 2002). Dengan dasar kerangka pikir paradigma baru
tersebut, maka pengertian penyuluhan kehutanan dalam menghadapi era otonomi
daerah mencakup dua komponen pokok yaitu: (1) Penguatan dan pengembangan
kelembagaan masyarakat sekitar kawasan sumber daya hutan yang berperan
sebagai penggerak masyarakat dan selanjutnya tumbuh kesepakatan antar
kelompok, antar desa bahkan antar kecamatan. (2) Pendampingan yang dilakukan
secara terus menerus sehingga terbentuk kelompok-kelompok masyarakat
produktif mandiri berbasis pembangunan kehutanan. Kegiatan penyuluhan
kehutanan dalam perjalanannya berhadapan dengan sasaran penyuluhan yang
sangat beragam, baik ragam kondisi wilayahnya, maupun keragaman keadaan
sosial-ekonominya.
Pelaksanaan kegiatan penyuluhan pada pengelolaan Hutan Rakyat sampai
saat ini telah menghasilkan beberapa hal pokok, antara lain : (1) areal Hutan
Rakyat yang semakin meluas di berbagai daerah, (2) terbentuknya kelompokkelompok tani Hutan Rakyat (3) meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap
upaya perbaikan kondisi lingkungan, (4) terbentuknya sentra-sentra industri hasil
Hutan Rakyat, dan (4) terjadinya perubahan budaya menanam pada petani dari
hanya penanaman tanaman semusim menjadi penanaman tanaman keras.
Penyuluhan kehutanan terkait pengelolaan Hutan Rakyat di beberapa daerah di
Indonesia harus diakui masih belum berjalan sesuai harapan sehingga berdampak
pada kinerja pengelolaan Hutan Rakyat. Pelaksanaan kegiatan penyuluhan pada
akhirnya masih sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi spesifik yang
melingkupinya, antara lain kondisi sosial-ekonomi masyarakat sasaran, kondisi
wilayah, dan kebijakan yang melingkupinya.
Berdasarkan paparan di atas, penyuluhan kehutanan dapat dimaknai
sebagai proses pembelajaran yang tidak hanya terkait dengan materi
pembelajaran, namun terkait pula dengan interaksi yang terjadi antara pelakupelaku dalam kegiatan pembangunan kehutanan, baik
masyarakat lokal dan
petugas penyuluhan belajar serta pihak-pihak lain yang terlibat saling belajar satu
25
sama lain, dalam konteks penyebaran teknologi kehutanan maupun membentuk
perilaku positif dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
2.4 Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Pemberdayaan masyarakat, tidak dapat dilepaskan dari terjadinya proses
pembelajaran dalam masyarakat. Menurut Asyhar (2011) kata pembelajaran
merupakan terjemahan dari istilah Bahasa Inggris, yaitu instruction. Instruction
diartikan sebagai proses interaktif antara guru dan siswa yang berlangsung secara
dinamis. Penggunaan istilah pembelajaran sebagai pengganti istilah lama Proses
Belajar-Mengajar
(PBM)
tidak
hanya
mengubah
istilah,
melainkan
mengubahfungsi guru dalam proses pembelajaran. Guru dalam proses
pembelajaran tersebut tidak hanya mengajar melainkan membelajarkan peserta
didik agar mau belajar.
Pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja bertujuan dan terkendali
agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri
orang lain. Proses pembelajaran menitikberatkan pada bagaimana membuat
pembelajar mengalami proses belajar. Pembelajaran yang efektif dapat membuat
pebelajar memperoleh keterampilan-keterampilan, pengetahuan, atau sikap-sikap,
dan merasa senang belajar dalam pembelajaran tersebut (Yamin 2011).
Proses pembelajaran dilakukan dalam sebuah proses yang sistematis dan
setiap komponen dalam sistem tersebut memiliki arti penting dalam keberhasilan
belajar pembelajar. Komunikasi dalam proses sistematis tersebut merupakan
unsur yang mutlak diperlukan. Proses pembelajaran merupakan suatu proses
komunikasi. Konsep komunikasi dalam pembelajaran mengacu pada keseluruhan
proses komunikasi informasi atau pesan dari sumber (guru, menteri, atau bahan)
kepada penerima (murid) melalui media atau jaringan. Pembelajaran dalam
penelitian ini mengadaptasi pengertian sebagai segala sesuatu yang dapat
membawa informasi dan pengetahuan dalam interaksi yang berlangsung antara
pendidik dengan peserta didik.
26
26
2.4.1 Kelompok Tani sebagai Media Pembelajaran
Pembelajaran dapat dilakukan baik secara individu maupun kelompok.
Pada pengelolaan Hutan Rakyat, kegiatan pendidikan bagi petani berupa
pelatihan keterampilan dan penyuluhan oleh instansi terkait difasilitasi oleh
kelompok tani Hutan Rakyat. Kelompok tani Hutan Rakyat berperan penting
dalam pembelajaran sosial petani pengelolanya. Sejalan dengan hal tersebut,
penelitian Hauser et al. (2010) mengungkapkan bahwa fasilitasi pembelajaran
yang dilakukan terhadap kelompok petani tradisional berperan penting dalam
mendorong keberhasilan mereka beralih dari petani tradisional berlahan sempit
menjadi petani pertanian organik berorientasi pasar. Elemen penting dalam
proses pembelajaran yang terjadi di antara komunitas petani berlahan sempit
adalah dinamika kelompok yang menghasilkan perubahan perilaku dalam diri
petani. Uraian tersebut menggambarkan bahwa proses pembelajaran yang terjadi
dalam suatu kelompok masyarakat dapat secara efektif menghasilkan perubahan
perilaku pada kelompok yang bersangkutan menuju arah dan kondisi yang lebih
baik.
Sejalan dengan hal tersebut, penelitian Millar dan Curtis (1997)
menemukan bahwa interaksi antar petani, baik diantara mereka sendiri, maupun
bersama dengan para ahli dan penyuluh, berdampak pada terjadinya pertukaran
pengetahuan yang memfasilitasi proses pembelajaran petani secara lebih
mendalam
berdasarkan
sifat
dan
tujuan
kelompok
dimana
petani
mengorganisasikan diri. Millar dan Curtis (1997) menekankan pula bahwa
fasilitasi yang efektif sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses
pembelajaran kelompok petani.
Beberapa studi lain menunjukkan pula bahwa pembelajaran yang
dilakukan dalam kelompok petani secara efektif mampu meningkatkan
pengetahuan, keterampilan serta sikap mental. Menurut Murcot (1995) dan
Chistodoulou dan Gray (1997) sebagaimana dikutip oleh Sherson et al. (2002),
pembelajaran dalam kelompok (learning in-group) merupakan media yang
efektif untuk mendorong perubahan sikap dan perilaku seseorang. Keberadaan
27
suatu kelompok tani juga membuka kesempatan bagi anggota petani di dalamnya
berbagi pengalaman yang mereka miliki dan meningkatkan pengetahuan serta
pemahaman dari anggota kelompok secara personal. Studi yang dilakukan oleh
Moore
(1990)
menyatakan
bahwa
petani
lebih
menyukai
lingkungan
pembelajaran kelompok dengan jumlah kecil yang memberi mereka kesempatan
untuk dapat saling bertanya, berdiskusi, dan berdebat dibandingkan dengan pola
belajar yang bersifat formal di kelas. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Pigg
et al. (1980) yang diacu oleh Sherson et al. (2002) bahwa keberhasilan suatu
proses pembelajaran terikat pada lingkungan belajar yang relevan terhadap gaya
belajar dan kebutuhan pembelajar. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa
pembelajaran petani seringkali berlaku efektif ketika diwadahi oleh kelompok
tani di mana mereka berinteraksi dan mengorganisasikan diri.
2.4.2 Sumber Belajar
Asyhar (2011) mendefinisikan sumber belajar sebagai semua sumber
yang mungkin dapat digunakan oleh peserta didik agar terjadi perilaku belajar.
Sumber belajar adalah segala sesuatu yang ada di sekitar lingkungan kegiatan
belajar yang secara fungsional dapat digunakan untuk membantu optimalisasi
hasil belajar. Hamdani (2010) mengutip Association for Education and
Communication Technology (AECT) menyatakan bahwa sumber belajar adalah
semua sumber, baik berupa data, orang, dan wujud tertentu yang dapat digunakan
oleh siswa dalam belajar
2.4.3 Faktor-faktor Penentu Pembelajaran
Klausmeier dan Goodwin (1975) dalam bukunya yang berjudul Learning
and
Human
mengemukakan
Abilities
bahwa
(Educational
terdapat
Psycology)secara
sembilan
faktor
lebih
terperinci
penentu
yang
mempengaruhiproses belajarindividu (school learning environment). Faktorfaktor tersebut antara lain adalah : (1) Tujuan pembelajaran (educational and
instructional objectives), (2) pokok bahasan (subject matter), (3) bahan ajar
28
28
(instructional material), (4) karakteristik pembelajar (characteristic of the
learner), (5) karakteristik pengajar (characteritic of teacher), (6) interaksi kelas
(classroominteraction),
(7) kelembagaan pembelajaran (organization for
instruction), (8) karakteristik fisik (physical characteristic), dan (9) hubungan
dengan berbagai pihak dalam lingkungan pembelajar (home-school-community
relation). Penjelasan masing-masing peubah tersebut menurut Klausmeier dan
Goodwin (1975) adalah sebagai berikut :
1.
Tujuan pendidikan dan pengajaran (educational and instructional
objectives)
Bagian tujuan pendidikan ini membahas mengenai, yaitu (1) tujuan yang
mempengaruhi arah pendidikan secara luas, (2) mendampingi staf pendidikan
dalam membuat keputusan menyusun program pendidikan, (3) mendampingi
pengajar membuat keputusan tentang program pengajaran untuk siswa-siswa
tertentu. Tujuan pendidikan (educational objective) membahas mengenai tujuan
yang ingin dicapai secara global di tingkat nasional dari pelaksanaan pendidikan.
Tujuan pengajaran membahas mengenai tujuan di tingkat sekolah yang
diterapkan kepada siswa sesuai situasi dan kondisi yang ada.
2.
Bahan Ajar (subject matter)
Bagian pokok bahasan ini membahas mengenai materi yang diajarkan
pada pelajar, menyangkut didalamnya ragam pokok bahasan dan kompetensi
yang diharapkan dimiliki pelajar setelah mengikuti suatu kegiatan pembelajaran.
3.
Bahan pengajaran dan teknologi yang berkaitan (instructional material
and related technology)
Bagian bahan pengajaran dan teknologi yang berkaitan membahas
mengenai bahan (materi) yang dapat digunakan untukmencapai tujuan pengajaran
bagi siswa. Bahan yang dimaksud tersebut adalah alat bantu yang digunakan
pengajar dalam pengajaran bagi siswa. Bahan pengajaran yang digunakan pada
29
kegiatan pembelajaran antara lain dalam bentuk buku, booklet, brosur, audiovisual, dan lainnya. Tiga bentuk teknologi yang berkembang dalam beberapa
dekade terakhir, antara lain yaitu pengajaran melalui televisi (televised
instruction), pengajaran terprogram (programmed instruction), dan pengajaran
melalui komputer (computer-assisted instruction).
4.
Karakteristik pembelajar (characteristic of the learner)
Bagian
berpengaruh
ini
membahas
terhadap
proses
mengenai
belajar.
karakteristik
Informasi
pembelajar
mengenai
yang
karakteristik
pembelajar berguna bagi pengajar dalam proses pembelajaran. Karakteristik
tersebut antara lain mencakup : (1) tingkat pencapaian diri (level of achievement),
(2) tingkat motivasi (level of motivation), (3) kesehatan, (4) konsep diri (self
concept). Pembahasan mengenai karakteristik pembelajar ini bertujuan untuk
mengetahui kesiapan pembelajar untuk belajar dan perkembangan yang dapat
dicapai.
5.
Karakteristik pengajar (characteristic of teacher)
Karakter individual yang melekat pada diri pengajar berpengaruh besar
terhadap efektivitas pengajar dalam pengajaran. Karakteristik pengajar terbagi
menjadi karakteristik kognitif dan karakteristik afektif. Rentang perbedaan
diantara pengajar dalam hal karakteristik afektif meliputi ketertarikan, sikap, nilai
yang dianut, dan integritas kepribadian lebih besar dibandingkan dengan
kemampuan intelektual secara umum dan variabel kognitif lainnya. Hal tersebut
dikarenakan pendidikan dan persyaratan yang diperlukan untuk pengajar
berdasarkan kemampuan kognitif. Namun demikian, kemampuan afektif pengajar
menentukan pula keberhasilan proses pengajaran.
Karakteristik kognitif pengajar antara lain adalah : (1) kemampuan
intelektual, (2) nilai akhir pendidikan tinggi yang dijalani, (3) kesiapan terhadap
pokok bahasan, dan (4) pemahaman mengenai pengembangan dan pembelajaran
anak. Karakteristik afektif pengajar antara lain mencakup: (1) pengetahuan yang
30
30
baik mengenai bahan pengajaran, bersikap hangat, bersikap penuh pengertian dan
bersahabat, bertanggung jawab, sistematis, berkemampuan menstimulasi,
imajinatif, surgent, memiliki antusias tinggi dan fleksibel. Efektivitas pengajaran
ditentukan pula oleh situasi dalam lingkungan pembelajaran.
6.
Interaksi kelas (classroom interaction)
Interaksi kelas (classroom interaction) membahas mengenai interaksi
yang terjadi antara pengajar dan pembelajar dalam proses pembelajaran di dalam
ruangan kelas. Seorang pengajar berinteraksi dengan pembelajar melalui
berbicara, tulisan, dan gerak fisik lainnya. Pembelajar melakukan hal yang sama
dalam berinteraksi dengan pengajar. Seorang pengajar umumnya yang
mengendalikan jenis dan intensitas interaksi tersebut. Ketika pengajar
memutuskan untuk mengajar dan pembelajar belajar secara mandiri, maka tidak
terdapat interaksi verbal yang dilakukan antara pembelajar dan antara pengajar
dan pembelajar. Bentuk interaksi antara pengajar dan pembelajar antara lain
adalah diskusi kelas, diskusi panel, sesi tanya-jawab, dan kegiatan kelompok.
Metode interaksi kelas yang paling banyak dilakukan adalah komunikasi
antara pengajar dan pembelajar melalui aktivitas fisik berupa bicara (talk) atau
menurut Klausmeier dan Goodwin (1975) mengacu pada pendapat Flanders
(1968, 1969) disebut perilaku verbal oral. Pengajar berbicara sebagai respon
terhadap pembelajar atau untuk mengawali pembicaraan dalam pengajaran. Sama
halnya dengan pengajar, pembelajar pun berbicara sebagai respon terhadap
pengajar maupun untuk memulai pembicaraan. Hubungan timbal-balik antara
pengajar dan pembelajar tersebut membentuk interaksi yang berkesinambungan.
Interaksi
kelas
berhubungan
dengan
kepemimpinan
pengajar.
Kepemimpinan pengajar dapat dilihat dalam konteks bahwa pengajar memiliki
kewenangan (authority) untuk mengambil keputusan yang berdampak pada
pembelajar. Pengajar sebagai pemimpin yang efektif mampu mendukung
pembelajar, memfasilitasi interaksi dan terjadinya komunikasi diantara pengajar
dan pembelajar. Tipe kepemimpinan pengajar berkontribusi dalam efektivitas
31
pengajaran oleh pengajar dalam kelas. Berdasarkan studi yang telah dilakukan,
aspek kepemimpinan pengajar berhubungan dengan perilaku pembelajar yang
dihasilkan.
7.
Kelembagaan pengajaran (organization for instruction)
Pengajar tidak dapat secara individual dan mandiri mampu mewujudkan
kondisi pembelajaran yang baik untuk pembelajar atau kondisi kerja yang baik
untuk sesama pengajar tanpa saling berbagi, bekerjasama, dan berkontribusi
sebagai anggota kelompok dalam lingkungan pembelajaran di sekolah. Pengajar
bekerja bersama-sama dengan pengajar di lingkungan sekolah. Pengajar juga
bekerjasama dengan pengelola sekolah, misalnya kepala sekolah, penasihat, staf
administrasi dan lainnya.
Lima kondisi mendasar agar kelompok dapat berfungsi secara efektif
antara lain adalah : (1) adanya tujuan bersama yang diyakini anggota kelompok
dapat diwujudkan secara kolektif daripada secara mandiri, (2) skema organisasi
yang mapan dan efektif dengan hak dan tanggung jawab yang jelas, (3) nilainilai yang dipegang anggota kelompok, (4) pemecahan masalah, dan (5) waktu
tambahan
dari
kegiatan
mandiri
untuk melengkapi
perencanaan
dan
pelaksanaan pekerjaan kelompok. Keterkaitan pengajar dengan pihak-pihak lain
dalam lingkungan pembelajaran tersebut mengindikasikan bahwa pengajar
merupakan anggota dari kelembagaan pendidikan secara khusus yang tidak dapat
berdiri sendiri untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan.
8.
Karakteristik fisik (physical characteristic)
Hubungan antara pengajar dengan pihak-pihak lainnya di dalam proses
pembelajaran di sekolah memerlukan dukungan fasilitas fisik untuk mewujudkan
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Fasilitas fisik tersebut antara lain :(1)
bangunan tempat kelembagaan pendidikan dapat menjalankan kegiatannya, (2)
spesialisasi/pembagian kerja masing-masing personel yang terlibat dalam
kelembagaan pendidikan, (4) materi pengajaran, misalnya panduan pengajaran,
32
32
buku pelajaran, buku latihan, dan lainnya, (3) media pembelajaran yang
digunakan, contohnya : brosur, leaflet, alat peraga pengajaran, sarana audiovisual dan lainnya. Kelengkapan fasilitas fisik dalam kegiatan pembelajaran
berhubungan dengan efektivitas pembelajaran.
9.
Hubungan antara lingkungan rumah-sekolah-masyarakat dalam proses
pembelajaran (home-school-community relation)
Klausmeier dan Goodwin (1975) mengacu pada pendapat Fruth dan
Bowles (1974) menyatakan bahwa lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat
saling berhubungan dalam konteks penyelenggaraan pembelajaran. Pembelajaran
dapat terwujud apabila pengajar dapat memahami lingkungan rumah pembelajar
untuk dapat lebih memahami pembelajar yang bersangkutan. Pengajar
bergantung pada penerimaan orang tua dan komitmen mereka terhadap program
pengajaran yang diberikan kepada anak mereka. Lingkungan keluarga pembelajar
dan masyarakat berpengaruh terhadap terbentuknya sikap, kemampuan dan
keterampilan pembelajar.
Lembaga pendidikan dan masyarakat dapat diorganisasi menjadi
kelompok interaksi yang berfungsi sebagai wadah dimana pengajar dapat
memahami keinginan dan aspirasi orang tua pembelajar terhadap pembelajar dan
pendidikan secara umum. Sebaliknya orang tua dan masyarakat yang lebih luas
dapat mengerti harapan pengajar dan berharap untuk pembelajar. Hal tersebut
berarti bahwa secara bersama-sama pengajar, orang tua dan masyarakat dapat
berusaha mewujudkan tujuan pembelajaran yang diinginkan.
2.5 Kemampuan Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Kemampuan petani dalam mengelola suatu kawasan hutan diartikan
sebagai kualitas yang melekat dalam diri petani mencakup pengetahuan
(kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap mental (afektif) dalam
pengelolaan hutan sesuai standar tertentu yang diharapkan. Kemampuan tersebut
diperoleh dari hasil pembelajaran yang dilakukan oleh petani. Menurut Winkel
33
(2009), proses belajar berlangsung di dalam diri pembelajar dan merupakan
kejadian internal. Kejadian tersebut dalam pandangan psikologi modern bukan
merupakan kejadian tunggal, melainkan suatu rangkaian berbagai kejadian yang
berlangsung berurutan. Setiap kejadian menjadi satu fase dalam suatu
rangkaian/pola fase, yang bersama-sama membentuk proses belajar yang
berlangsung di dalam subyek. Kejadian-kejadian yang terjadi diluar subyek turut
berperan dalam menunjang atau menghambat proses belajar yang berlangsung di
dalam subyek belajar.
Berdasarkan kejadian-kejadian internal (di dalam subyek belajar sendiri)
dan berbagai kejadian eksternal (di luar subyek) dapat ditemukan sejumlah
persyaratan yang harus dipenuhi oleh seluruh subyek belajar dan sejumlah
persyaratan yang patut dipenuhi oleh dalam lingkungan di luar subyek, agar
proses pembelajaran berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Gagne (1977)
dalam Winkel (2009) mengemukakan bahwa persyaratan dalam subyek disebut
kondisi internal, sedangkan persyaratan di luar subyek disebut kondisi ekternal.
Kondisi internal dan eksternal diwujudkan dengan cara berbeda pada setiap jenis
belajar. Setiap jenis belajar merupakan proses pembelajaran tersendiri.
34
34
III.
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTETIS
3.1 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan kajian tentang teori, konsep, dan literatur yang relevan pada
bagian Tinjauan Pustaka, penulis merumuskan kerangka pemikiran seperti
diuraikan di bawah ini.
Sumber daya hutan memiliki nilai penting dari sisi sosio-kultural, ditinjau
dari keberadaannya dan perannya dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat yang
telah bergenerasi hidup di dan dari sumber daya hutan. Keterikatan masyarakat
terhadap sumber daya hutan tidak sebatas pada aspek produksi hutan dan lahan
hutan, tetapi juga fungsi perlindungan dan fungsi tata klimat yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat lokal secara langsung maupun tidak langsung dari
ekosistem tersebut, dalam mempertahankan hidup mereka dan peningkatan
kesejahteraan mereka.
Pasokan kayu dari Hutan Negara semakin menurun, sehingga perlu
alternatif sumber kayu. Kebutuhan kayu di Jawa Barat semakin meningkat seiring
dengan perkembangan jumlah penduduk. Salah satu pemasok kebutuhan tersebut
adalah kayu yang berasal dari Hutan Rakyat. Hal tersebut menyebabkan tekanan
terhadap potensi kayu di Hutan Rakyat menjadi sangat tinggi. Dorongan
kebutuhan hidup petani yang sulit dan keterbatasan pasokan kayu dari luar
Jawa`menyebabkan ancaman terhadap kelestarian Hutan Rakyat meningkat.
Semakin menurunnya kualitas sumberdaya hutan pada beberapa dekade
terakhir akibat tingginya tekanan terhadap sumberdaya hutan dan kesadaran
pentingnya keterlibatan masyarakat di sekitar kawasan telah mendorong
dilakukannya upaya pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan
hutan. Upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan mengarah pada
upaya pengembangan, penguatan potensi dan kemampuan masyarakat untuk
mengambil keputusan dapat secara mandiri mengembangkan pilihan-pilihan
adaptasi terhadap perubahan lingkungan fisik dan sosial dalam pengelolaan
35
hutan. Keberhasilan upaya pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh partisipasi
masyarakat lokal dalam kegiatan pengelolaan hutan secara keseluruhan.
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat
berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang dapat diperoleh
dari Hutan Rakyat. Manfaat yang diperoleh dari Hutan Rakyat dan kemudahan
teknologi dalam pengelolaannya melatarbelakangi partisipasi masyarakat dalam
pengembangan Hutan Rakyat. Hutan Rakyat harus dikelola secara berkualitas
dan berkesinambungan agar dapat memberikan manfaat produksi, ekologis dan
ekonomis bagi masyarakat pengelolanya.
Kualitas pengelolaan Hutan Rakyat ditentukan oleh kemampuan anggota
kelompok tani Hutan Rakyat dalam mengelola lahan miliknya. Kemampuan
petani dalam mengelola suatu kawasan hutan diartikan sebagai kualitas yang
melekat dalam diri petani mencakup pengetahuan (knowledge), keterampilan
(skill), dan sikap (attitude) dalam pengelolaan Hutan Rakyat sesuai dengan
standar pengelolaan berdasarkan aspek kelestarian produksi, kelestarian
lingkungan, dan kelestarian sosial. Studi mengenai kemampuan dalam
pengelolaan Hutan Rakyat merujuk pada teori pembelajaran menurut Klausmeier
dan Goodwin (1975) dan Winkel (2009) di mana kemampuan petani dalam
pengelolaan Hutan Rakyat merupakan pembelajaran petani dalam pengelolaan
Hutan Rakyat berdasarkan kaidah kelestarian. Pembelajaran mengacu pada
pemikiran Winkel (1973) dipengaruhi oleh kondisi internal dan kondisi eksternal.
Kondisi internal dan eksternal tersebut sejalan dengan pendapat Klausmeier dan
Goodwin (1975) mengenai adanya faktor-faktor penentu yang berpengaruh
terhadap berlangsungnya pembelajaran.
Klausmeier dan Goodwin (1975) mengemukakan bahwa terdapat
sembilan faktor penentu dalam pembelajaran yaitu : (1) Tujuan pembelajaran
petani, (2) pokok bahasan, (3) bahan ajar, (4) karakteristik pembelajar, (5)
karakteristik pengajar, (6) interaksi pengajar dan pembelajar, (7) kelembagaan
pengajaran, (8) karakteristik fisik, dan (9) hubungan antara lingkungan rumahsekolah-masyarakat dalam proses pembelajaran (Tabel 1).
36
36
Faktor-faktor penentu pembelajaran menurut Klausmeier dan Goodwin
(1975) dalam penelitian ini diadopsi untuk melihat faktor-faktor yang
mempengaruhi
pembelajaran
petani
dalam
pengelolaan
Hutan
Rakyat,
Pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat termanifestasi dalam
bentuk kemampuan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
Tabel 1. Faktor-faktor Penentu Pembelajaran
No.
1.
2.
3.
Peubah
Tujuan pendidikan dan pengajaran



4.
Pokok Bahasan
Bahan pengajaran dan teknologi yang
berkaitan
Karakteritik Pembelajar

5.
KompetensiPengajar

6.
7.
Interaksi Pembelajar-Pengajar
Kelembagaan pengajaran


8.
9.
Karakteristik fisik
Hubungan antara lingkungan rumahsekolah-masyarakat dalam proses
pembelajaran


Uraian
Cara perumusan dan hasil yang
diinginkan
Ragam dan kualitasmateri bahasan
Ragam, kualitas, dan kelengkapan materi
pembelajaran
Umur, jenis kelamin, pendidikan,
pengalaman, persepsi, karakter afektif
Umur, jenis kelamin, pendidikan,
pengalaman, persepsi, karakter afektif
Frekuensi dan intensitas
Aturan yang berlaku, pembagian tugas,
sistem nilai
Sarana dan prasarana pembelajaran
Frekuensi dan Intensitas
Sumber : Klausmeier dan Goodwin (1975) diadaptasi untuk konteks Hutan Rakyat
Faktor tujuan pembelajaran berkaitan erat dengan pokok bahasan, bahan
pengajaran dan teknologi yang berkaitan, dan karakteristik fisik fasilitas
pembelajaran.
Keempat
faktor
ini
merupakan
bagian
dalam
kegiatan
pembelajaran yang mengarah pada pelaksanaan pembelajaran, materi yang
digunakan, dan dukungan dari kelengkapan fisik yang dimiliki. Faktor-faktor
tersebut mengarah pada kegiatan pembelajaran yang bertujuan membangun aspek
pengetahuan (kognitif), keterampilan, dan sikap petani sehingga memperoleh
kemampuan yang diharapkan dalam rangka perbaikan kondisi kehidupannya.
Keempat faktor pembelajaran tersebut dikelompokkan dalam peubah kegiatan
penyuluhan.
Faktor karakteristik pembelajar dipahami sebagai karakteristik yang
melekat secara personal pada diri pembelajar yaitu petani. Karakteristik pengajar
37
dipahami sebagai karakteristik yang melekat pada diri pengajar dalam
menyampaikan informasi pengajar meliputi pengetahuan, keterampilan, dan
wawasan mengenai sikap. Karakteristik pengajar dalam penelitian ini analog
dengan kompetensi sumber belajar.
Faktor interaksi kelas menekankan pada hubungan timbal-balik antara
pengajar dan pembelajar. Pembelajar harus berinteraksi dengan pihak lain di luar
dirinya agar pembelajaran dapat berhasil. Faktor hubungan antara lingkungan
rumah-sekolah-masyarakat dalam pembelajaran menunjukkan adanya keterkaitan
pembelajar dengan pihak-pihak lain di luar dirinya, yaitu berasal dari lingkungan
rumah/keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kedua faktor tersebut menekankan
pembahasan mengenai pentingnya dinamika hubungan antar individu/perorangan
dalam efektivitas kegiatan pembelajaran. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan
sebagai peubah hubungan interpersonal. Berdasarkan uraian di atas, faktor-faktor
penentu pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) faktor (Tabel 2).
Tabel 2. Kelompok Peubah Pembelajaran
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Peubah Pembelajaran
Tujuan Pembelajaran
Pokok Bahasan
Bahan Pengajaran dan Teknologi yang
berkaitan
Karakteristik fisik
Karakteritik Pembelajar
Karakteristik Pengajar
Kelembagaan Pengajaran
Interaksi Pengajar-Pembelajar
Hubungan antara lingkungan rumahsekolah-masyarakat dalam proses
pembelajaran
Kelompok Peubah Pembelajaran
Kegiatan Penyuluhan
Karakteristik Personal
Kompetensi Sumber Belajar
Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat
Hubungan Interpersonal
Kemampuan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat
adalah kemampuan kognitif, psikomotor, dan afektif, yang melekat pada diri
petani sebagai hasil pembelajaran sendiri maupun dengan melibatkan pihak lain
dalam mengelola Hutan Rakyatnya. Kemampuan anggota kelompok tani diduga
38
38
dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain : (1) Karakteristik personal petani, (2)
Kompetensi sumber belajar, (3) Kegiatan penyuluhan, (4) Kelembagaan
pengelolaan Hutan Rakyat, dan (5) Hubungan interpersonal (Gambar 1).
Kondisi
marjinal
masyarakat di
sekitar hutan
Pemberdayaan
masyarakat
melalui Hutan
Rakyat
Lingkup Amatan Penelitian
Kompetensi
Sumber
Belajar
Partisipasi
Masy. dalam
Hutan Rakyat
Karakteristik
Personal
Kondisi internal
Kemampuan Anggota
Kelompok Tani dalam
Pengelolaan Hutan Rakyat
HUTAN
RAKYAT
LESTARI
Kondisi eksternal
Kebutuhan
terhadap bahan
baku kayu rakyat
meningkat
Kelembagaan
Kelompok
Tani
Hubungan
Interpersonal
PERBAIKAN
KONDISI
LINGKUNGAN
Kegiatan
Penyuluhan
Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian
3.2 Kerangka Operasional
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data mengenai
faktor-faktor yang berpengaruh terhadapkemampuan anggota kelompok tani
dalam pengelolaan Hutan Rakyat (Y1), meliputi: Karakteristik Personal (X1),
Kompetensi Sumber Belajar (X2), Kegiatan Penyuluhan (X3), Kelembagaan
39
Hutan Rakyat(X4), dan Hubungan interpersonal (X5). Kerangka operasional
penelitian disajikan pada gambar 2.
KOMPETENSI
SUMBER BELAJAR
(X2)
KARAKTERISTIK
PERSONAL PETANI
HUTAN RAKYAT (X1)
X1.1
X1.2
X1.3
X1.4
X1.5
X1.6
X1.7
X2.1 Penguasaan materi
X2.2 Kemampuan
berkomunikasi
X2.3 Kemampuan menjadi
teladan/panutan
Umur
Pendidikan
Pekerjaan utama
Pekerjaan sampingan
Penguasaan lahan
Lama bergabung dalam
program Hutan Rakyat
Motivasi mengelola
Hutan Rakyat
KEGIATAN
PENYULUHAN (X3)
X3.1
X3.2
X3.3
X3.4
Y1.1
Y1.2
Y1.3
KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN HUTAN
RAKYAT (X4)
Y1.4
KEMAMPUAN ANGGOTA
KELOMPOK TANI (Y1)
Kemampuan melakukan perenca-naan
dalam kegiatan Hutan Rakyat
Kemampuan mengorganisir diri
dalam kelembagaan pengelolaan
Hutan Rakyat
Kemampuan menggerakkan petani
dalam kegiatan Hutan Rakyat
Kemampuan melakukan
pengawasan dalam kegiatan
produksi Hutan Rakyat
Tujuan penyuluhan
Materi penyuluhan
Metode penyuluhan
Sarana dan prasarana
pendukung kegiatan
penyuluhan
HUBUNGAN
INTERPERSONAL (X5)
X5.1 Interaksi petani dan
sumber belajar
X5.2 Interaksi petani dan
keluarganya
X5.3 Interaksi petani dan
lingkungan masyarakat
X4.1 Tata hubungan kerja
antar anggota dalam
kelompok tani
X4.2 Pengorganisasian
kegiatan produksi
Hutan Rakyat
X4.3 Norma sosial yang
mengikat anggota
kelompok tani
Gambar 2. Kerangka Operasional Penelitian
40
40
3.3 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran, hipotesis penelitian ini adalah :

Kemampuan perencanaan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan
Rakyat dipengaruhi oleh karakteristik personal petani, kompetensi sumber
belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan
hubungan interpersonal.

Kemampuan
pengorganisasian
diri
anggota
kelompok
tani
dalam
pengelolaan Hutan Rakyat dipengaruhi oleh karakteristik personal petani,
kompetensi sumber belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan
Hutan Rakyat, dan hubungan interpersonal.

Kemampuan penerapan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan
Rakyat dipengaruhi oleh karakteristik personal petani, kompetensi sumber
belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan
hubungan interpersonal.

Kemampuan pengawasan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan
Rakyat dipengaruhi oleh karakteristik personal petani, kompetensi sumber
belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan
hubungan interpersonal.
41
IV.
4.1
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah penelitian pengujian hipotesa atau
penelitian penjelasan (explanatory research). Rancangan penelitian ini menurut
Singarimbun dan Effendi (2008) bertujuan untuk menjelaskan hubungan kausal
antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan metode pengumpulan data berupa survei, didukung
dengan pengumpulan data kualitatif untuk menggali data dan informasi yang
tidak dapat diperoleh melalui pendekatan kuantitatif.
Metode pengumpulan data survei digunakan dalam pengumpulan data
dengan pendekatan kuantitatif melalui wawancara terstruktur yang berpedoman
pada kuesioner. Informasi kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam
(Indepth interview) dan metode pengamatan (observasi). Wawancara mendalam
dilakukan pada sejumlah informan untuk melengkapi data dan informasi yang
tidak dapat digali melalui metode survei. Pengamatan (observasi) merupakan cara
atau teknik pengumpulan data melalui pengamatan secara langsung. Dokumentasi
digunakan untuk melengkapi data dari hasil wawancara dan pengamatan tersebut.
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini difokuskan di areal permodelan Hutan Rakyat Desa
Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian
dilakukan secara purposif dengan pertimbangan letak lokasi Hutan Rakyat yang
berada di Sub DAS Ciampea, sebagai bagian dari DAS Cisadane yang memegang
peranan penting bagi kehidupan masyarakat di daerah Ciampea, Bogor.
Pelaksanaan penelitian dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap penelitian
pendahuluan yang dilakukan pada bulan Februari 2012, dan tahap pengumpulan
data di lapangan yang dilakukan pada akhir bulan Februari sampai dengan bulan
Juni 2012. Penelitian pendahuluan meliputi survei lokasi dan memperoleh data
responden, serta melakukan uji coba kuesioner terhadap 20 (dua puluh)
42
42
responden yang memiliki karakteristik yang sama dengan responden penelitian.
Berdasarkan uji coba tersebut, kuesioner penelitian dikaji kembali. Beberapa
pertanyaan diputuskan tidak digunakan. Pengumpulan data penelitian dilakukan
selama empat bulan, dimulai dari akhir bulan Februari sampai dengan akhir bulan
Juni. Pengumpulan data sekunder dilakukan bersamaan dengan masa penelitian
lapangan. Proses pengolahan dan analisa data berlangsung sampai dengan bulan
Desember 2012.
Setiap responden dikunjungi lebih dari satu kali. Kunjungan pertama kali
dilakukan adalah untuk memperkenalkan diri kepada responden. Wawancara
dengan menggunakan kuesioner dilakukan pada kunjungan kedua atau ketiga.
Kunjungan-kunjungan berikutnya dilakukan untuk menggali data kualitatif
melalui wawancara mendalam pada beberapa responden yang juga merupakan
informan kunci (key informant). Kunjungan pada petani dilakukan setelah
terlebih dahulu melakukan kesepakatan kunjungan. Seringkali kunjungan
dilakukan setelah petani kembali dari lahan pada sore atau malam hari. Untuk
mengetahui jalannya pertemuan kelompok tani, peneliti terlibat dalam kegiatan
pertemuan tersebut. Masalah yang ditemui di lapangan adalah sulitnya bertemu
dengan petani pada jam-jam kerja jika tidak terlebih dahulu melakukan
perjanjian.
4.3
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah petani yang mengusahakan Hutan
Rakyat di areal permodelan Hutan Rakyat di blok Ciampea Ilir dan blok Tegal
Desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, dengan anggota
kelompok tani berjumlah 55 orang.Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara
purposif dengan pertimbangan letak lokasi Hutan Rakyat yang berada di Sub
DAS Ciampea, sebagai bagian dari DAS Cisadane yang memegang peranan
penting bagi kehidupan masyarakat di daerah Ciampea, Bogor. Seluruh populasi
penelitian menjadi sampel penelitian. Pertimbangan menggunakan total populasi
dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih representatif dan mengurangi
43
tingkat kesalahan data (Sugiyono, 2010), sehingga nilai yang diperoleh adalah
nilai sesungguhnya.
4.4 Data dan Instrumen Penelitian
4.4.1 Data dan Pengukuran
Data dalam penelitian ini mencakup data tentang sembilan peubah yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu peubah karakteristik petani, kompetensi
personal sumber belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan
Rakyat, hubungan interpersonal dan kemampuan perencanaan, kemampuan
pengorganisasian diri, kemampuan penerapan dan kemampuan pengawasan
petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
Data hasil pengukuran dalam penelitian ini menggunakan berbagai skala
data sesuai dengan pertanyaan dalam peubah penelitian. Skala data nominal dan
ordinal digunakan untuk memperoleh data mengenai peubah karakter individu
petani Hutan Rakyat, sedangkan data mengenai persepsi responden terhadap
topik tertentu berupa skala ordinal yang diperoleh melalui pengukuran
menggunakan skala Likert. Menurut Widoyoko (2012), skala Likert digunakan
untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang
tentang kejadian atau gejala sosial. Skala disusun dalam bentuk suatu pernyataan
dan diikuti oleh pilihan respon yang menunjukkan tingkatan. Bentuk penilaian
jawaban kuesioner pada penelitian ini menggunakan pembobotan dengan empat
buah skala ordinal.
Hasil pengukuran skala Likert kemudian ditransformasikan menjadi tiga
kategori, yaitu kategori rendah, kategori sedang, dan kategori tinggi dan kategori
yang setara lainnya, dengan menggunakan kategorisasi jenjang. Tujuan
kategorisasi ini menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok yang
posisinya berjenjang menurut suatu kontinum berdasar atribut yang diukur
(Azwar, 2012) dengan rumus :
X < (ߤ − 1,0ߪ)
(ߤ − 1,0ߪ) ≤ X < (ߤ + 1,0ߪ)
(ߤ + 1,0ߪ ) ≤ X
Rendah
Sedang
Tinggi
44
44
Keterangan :
ߤ = Mean teoretis pada skala
ߪ = Satuan deviasi standar
4.4.2 Instrumen Penelitian
Instrumen utama dalam penelitian ini adalah kuesioner terstruktur.
Penyusunan kuesioner mengacu kepada kisi-kisi penyusunan instrumen yang
menjabarkan jenis peubah, definisi opersional, indikator, dan pengukuran. Data
yang diperoleh dari penelitian ini terdiri dari skala data nominal, rasio dan
ordinal. Adapun beberapa definisi operasional dari beberapa peubah yang diamati
adalah sebagai berikut :
1.
Karakteristik Personal Petani. Dalam konsep pembelajaran dikemukakan
adanya interaksi antara karakteristik individu dengan lingkungan. Interaksi
antara individu dan lingkungan mendorong terjadinya proses pembelajaran
sehingga mendorong munculnya perilaku. Beberapa studi membahas faktor
karakteristik personal individu antara lain adalah umur, tingkat pendidikan,
kepemilikan lahan, status penguasaan lahan, pengalaman berusahatani.
Karakteristik Personal Petani (X1) adalah ciri-ciri yang melekat pada
individu, meliputi :
(a) Umur (X1.1) yaitu jumlah tahun hidup petani sejak dilahirkan sampai
ulang tahun terakhir.
(b) Pendidikan formal (X1.2), yaitu jumlah tahun responden mengikuti
pendidikan formal
(c) Pendidikan
non-formal
(X1.3)
adalah
pendidikan
non-formal
(kursus/pelatihan) yang diikuti reponden dalam 5 (lima) tahun terakhir
(d) Pendapatan petani (X1.4)adalah jumlah pendapatan petani setiap bulan
(e) Kepemilikan lahan (X1.5) adalah luas lahan yang digarap oleh petani
sebagai Hutan Rakyat dan usahatani lainnya
(f) Lama terlibat dalam program Hutan Rakyat adalah curahan waktu petani
dalam mengelola Hutan Rakyat
45
(g) Motivasi petani (X1.7) adalah dorongan yang melatarbelakangi petani
mengelola Hutan Rakyat
Pengukuran peubah karakteristik personal petani Hutan Rakyat (X1) secara
lengkap disajikan pada tabel 3.
Tabel 3. Pengukuran peubah karakteristik personal petani (X1)
No.
8
Sub Peubah
Indikator
Pengukuran
1.
Umur (X1.1)
Jumlah tahun sejak
responden dilahirkan
sampai pada saat
wawancara dilakukan
 Statistik Deskriptif umur8:
1. Dewasa Awal (18-40 tahun)
2. Dewasa (40-65 tahun)
3. Dewasa Akhir (Lebih dari 65
tahun)
 Statistik Inferensial : Uji Regresi
Umur = jumlah tahun
2.
Pendidikan formal
(X1.2)
Tingkat pendidikan
formal terakhir
3.
Pendidikan nonformal (X1.3)
Jumlah pelatihan yang
diikuti dalam 3 (tiga)
terakhir
4.
Pendapatan petani
(X1.4)
Jumlah pendapatan yang
diperoleh petani dari
pekerjaan utama dan
sampingan
5.
Luas penguasaan
lahan (X1.5)
Luas lahan yang digarap
oleh petani sebagai lahan
Hutan Rakyat
 Statistik Deskriptif :
1. Rendah (0-3 tahun)
2. Sedang (4-7 tahun)
3. Tinggi (8-11 tahun
 Statistik Inferensial : Uji Regresi
 Lama pendidikan=jumlah tahun
 Statistik Deskriptif :
1. Jarang (< 1 kali)
2. Sedang (2-3 kali)
3. Sering (> 4 kali)
 Statistik Inferensial : Uji Regresi
 Tiap pelatihan yang diikuti diberi
skor 1
 Statistik Deskriptif :
1. Rendah (Rp 410.000 – 1.390.000)
2. Sedang (Rp 1.390.100 – 2.370.100)
3. Tinggi (Rp 2.370.200 – 3.350.100)
 Statistik Inferensial : Uji Regresi
 Jumlah pendapatan = jumlah
pendapatan petani yang diperoleh
dari pekerjaan utama dan pekerjaan
sampingan
 Statistik Deskriptif :
1. Sempit (< 0,01-0,25 hektar)
2. Sedang (0,26 – 0,50 hektar)
3. Luas ( > 0,51 hektar)
Kategori umur responden penelitian mengacu pada pendapat Berk (2007) yang membagi periode
perkembangan individu menjadi : Masa kandungan/Prenatal (masa mengandung-lahir);
Balita/Infancy (lahir-2 tahun); Masa kanak-kanak awal/Early Childhood (2-6 tahun), Masa kanakkanak madya dan akhir/Middle and late childhood (6-11 tahun); Masa remaja/Adolescence (11-18
tahun); Dewasa Awal/Early adulthood (18-40); Dewasa Madya/Middle adulthood (40-65 tahun);
Dewasa Akhir/Late adulthood (65 tahun-meninggal).
46
46
Tabel 3. Pengukuran peubah karakteristik personal petani (X1) (Lanjutan)
No.
6.
7.
4.
Sub Peubah
Indikator
Lamanya terlibat
dalam pengelolaan
Hutan Rakyat
(X1.6)
Motivasi
Mengelola Hutan
Rakyat (X1.7)
Pengukuran
 Statistik Inferensial : Uji Regresi
Luas lahan=jumlah luas lahan Hutan
Rakyat dalam hektar (Ha)
 Statistik Deskriptif :
1. Baru ( < 5 tahun)
2. Sedang (5 - 10 tahun)
3. Lama (> 10 tahun)
Curahan waktu
petani dalam
pengelolaan Hutan
Rakyat
 Statistik Inferensial :
Lama terlibat dalam pengelolaan Hutan
Rakyat = jumlah tahun
 Statistik Deskriptif :
1. Rendah (Skor : < 10)
2. Sedang (Skor : 10-15)
3. Tinggi (Skor : < 15)
 Statistik Inferensial :
Penjumlahan dari seluruh skor motivasi
menurut responden masing-masing
diberi skor 1,2,3,4 untuk Tidak setuju,
Kurang setuju, Setuju, Sangat setuju
Alasan petani
melakukan Hutan
Rakyat
Faktor Kompetensi Personal Sumber Belajar. Kompetensi personal
sumber belajar adalah ciri-ciri yangmelekat pada individu-individu yang
memiliki
seluruh
keterampilan,
dan
atau
sebagian
wawasan
informasi
mengenai
mengenai
sikap
pengetahuan,
terkait
dengan
pengelolaanHutan Rakyat, meliputi :
(a) Penguasaan materi penyuluhan (X2.1) adalah kemampuan sumber belajar
dalam menyerap, mengolah, dan menerapkan informasi/pengetahuan atau
keterampilan terkait Hutan Rakyat
(b) Kemampuan berkomunikasi (X2.2) adalah kecakapan personal sumber
belajar menyampaikan materi kepada petani dan memperoleh timbalbalik secara aktif
(c) Kemampuan menjadi teladan/panutan (X2.3) adalah kecakapan yang
dimiliki oleh personal sumber belajar terkait sikap positif yang dapat
mendorong upaya pembelajaran anggota kelompok
Pengukuran peubah karakteristik kompetensi sumber belajar (X2) secara
lengkap disajikan pada tabel 4.
47
Tabel 4. Pengukuran peubah kompetensi sumber belajar (X2)
3.
No.
Peubah
Indikator
1.
Penguasaan materi
penyuluhan (X2.1)
 Mampu menjelaskan
materi secara baik
 Mampu menjawab
pertanyaan petani
 Mampu memperagakan
penerapan suatu
informasi/ pengetahuan
 Mampu memilih materi
sesuai kebutuhan petani
 Mampu selalu
memperbaharui
informasi/
pengetahuannya
 Statistik Deskriptif :
1. Terbatas (Skor : < 14)
2. Sedang (Skor : < 14-21)
3. Sangat baik (Skor : > 21)
 Statistik Inferensial : Uji regresi
Skor penguasaan materi
penyuluhan menurut responden
masing-masing diberi skor
1,2,3,4 untuk buruk/tidak baik ,
kurang baik, baik, Sangat bai
2.
Kemampuan
berkomunikasi
(X2.2)
 Mampu menjelaskan
materi penyuluhan
dengan baik
 Menguasai teknik
komunikasi yang efektif
 Mampu mendorong
petani berpartisipasi
aktif dalam diskusi
 Statistik Deskriptif :
1. Terbatas (Skor : < 10)
2. Sedang (Skor : < 10-15)
3. Sangat baik (Skor : > 15)
 Statistik Inferensial : Uji regresi
Kemampuan berkomunikasi
menurut responden diberi skor
1,2,3,4 untuk untuk buruk/tidak
baik , kurang baik, baik, Sangat
baik
3.
Kemampuan
menjadi
teladan/panutan
(X2.3)
 Memiliki sifat
kepemimpinan
 Memiliki moral etika
yang dapat menjadi
teladan
 Memegang nilai/norma
yang menjadi panduan
dalam menyuluh
 Statistik Deskriptif :
1. Terbatas (Skor : < 12)
2. Sedang (Skor : < 12-18)
3. Sangat baik (Skor : > 18)
 Statistik Inferensial : Uji regresi
Kemampuan menjadi
teladan/panutan menurut
responden masing-masing diberi
skor 1,2,3,4 untuk untuk
buruk/tidak baik , kurang baik,
baik, Sangat baik
Pengukuran
Faktor Kegiatan Penyuluhan. Kegiatan penyuluhan pada hakekatnya
merupakan kegiatan pembelajaran yang bertujuan memperoleh pengetahuan
(kognitif), keterampilan (psikomotor), dan sikap (attitude) dalam rangka
perbaikan kondisi kehidupan petani, meliputi :
(a) pemahaman tujuan penyuluhan (X3.1) adalah pemahaman tentang tujuan
penyuluhan yang diidentifikasi pada saat penelitian
48
48
(b) kualitas materi penyuluhan (X3.2) adalah informasi dan atau inovasi yang
disampaikan sumber belajar pada petani dalam kegiatan penyuluhan.
(c) kualitas metode penyuluhan (X3.3) adalah pendekatan dan teknik dari
sumber belajar pada petani dalam pembelajaran petani Hutan Rakyat
(d) kualitas sarana dan prasarana kegiatan penyuluhan (X3.4) adalah
ketersediaan fasilitas fisik yang mendukung kegiatan penyuluhan
Pengukuran peubah kegiatan penyuluhan (X3) disajikan lengkap pada
Tabel 5.
Tabel 5. Pengukuran peubah kegiatan penyuluhan (X3)
No.
Peubah
Indikator
1.
Pemahaman Tujuan
Penyuluhan (X3.1)
 Kesesuaian tujuan
penyuluhan dengan
kebutuhan petani
2.
Materi Penyuluhan
(X3.2)
 Kesesuaian materi
penyuluhan dengan
kebutuhan petani
3.
Metode Penyuluhan
(X3.3)
Pengukuran
 Statistik Deskriptif
1. Kurang paham (Skor : < 12)
2. Paham (Skor : 12-18)
3. Sangat paham (Skor : > 18)
 Statistik Inferensial : Uji Regresi
Penjumlahan dari seluruh skor
tujuan belajar. Skor penguasaan
materi penyuluhan menurut
responden masing-masing diberi
skor 1,2,3,4 untuk tidak setuju,
kurang setuju, setuju, sangat setuju
 Statistik Deskriptif :
1. Kurang berkualitas (Skor : < 12)
2. Cukup berkualitas (Skor : 12-18)
3. Berkualitas baik (Skor : > 18)
 Statistik Inferensial : Uji Regresi
Penjumlahan dari seluruh skor
materi penyuluhan. Skor
penguasaan materi penyuluhan
menurut responden masing-masing
diberi skor 1,2,3,4 untuk tidak
setuju, kurang setuju, setuju, sangat
setuju
 Kesesuaian metode
 Statistik Deskriptif
yang digunakan
1. Rendah (Skor : < 22)
dengan kondisi petani
2. Sedang (Skor : 22-33)
 Kesesuaian metode
3. Tinggi (Skor > 33)
yang digunakan sesuai  Statistik Inferensial : Uji Regresi
dengan kebutuhan
Penjumlahan dari seluruh skor
petani
metode penyuluhan. Tiap pertanyaan
diberi skor 1,2,3,4 untuk tidak setuju,
kurang setuju, setuju, dan sangat
setuju
49
Tabel 5. Pengukuran peubah kegiatan penyuluhan (X3) (Lanjutan)
No.
Peubah
4.
Prasarana dan Sarana
Penyuluhan (X3.4)
4.
Indikator
 Kesesuaian sarana
dan prasarana
penyuluhan dengan
kebutuhan petani
Pengukuran
 Statistik Deskriptif
1. Rendah (Skor : < 8)
2. Sedang (Skor : 8-12)
3. Tinggi (Skor : > 12)
 Statistik Inferensial
Penjumlahan dari seluruh skor
penguasaan prasarana dan sarana
penyuluhan menurut responden.
Setiap pertanyaan diberi skor
1,2,3,4 untuk Tidak baik/buruk
(0%), kurang baik (25-50%) Baik
(51-75%) dan Sangat baik (76100%) 9
Faktor Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat. Beberapa studi
menunjukkan bahwa kelembagaan memegang peranan penting dalam
kegiatan pengelolaan sumber daya hutan. Kelembagaan Hutan Rakyat adalah
wadah bagi petani Hutan Rakyat untuk menampung dan menyalurkan
aspirasi, berinteraksi dan saling berkomunikasi antara sesama anggota
ataupun dengan pihak-pihak lain, memecahkan berbagai permasalahan yang
dihadapi dalam pengelolaan Hutan Rakyat, serta melaksanakan kegiatankegiatan
fisik
di
lapangan
yang
dilakukan
secara
berkelompok.
Kelembagaan kelompok tani Hutan Rakyat meliputi :
(a) Pola hubungan kerja antar anggota dalam kelompok tani (X4.1) adalah
hubungan-hubungan sosial antarpribadi yang mendasari berlangsungnya
hubungan kerja dalam kelompok tani
(b) Pengorganisasian kegiatan produksi (X4.2) adalah pengaturan seluruh
kegiatan produksi Hutan Rakyat yang dilakukan oleh anggota kelompok
dari mulai kegiatan penanaman sampai pemanenan, untuk dapat
mendorong terwujudnya tujuan kelembagaan
9
Persentase berdasarkan kategori jawaban membantu responden memberikan penilaian mengenai kondisi
prasarana dan sarana penyuluhan sesuai persepsi mereka
50
50
(c) Norma sosial yang mengikat anggota kelompok tani (X4.3) adalah
aturan sosial atau patokan perilaku positif, yang berlaku dalam
hubungan-hubungan sosial pada pengelolaan Hutan Rakyat
Pengukuran peubah kegiatan penyuluhan (X3) disajikan lengkap pada
Tabel 6.
Tabel 6. Pengukuran peubah kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat (X4)
No.
Peubah
Indikator
Pengukuran
1.
Pola hubungan
kerja antar
anggota dalam
kelompok tani
(X4.1)
 Statistik Deskriptif :
 Kesamaan tujuan/
1. Tidak terikat terhadap aturan kerja
kepentingan petani
yang berlaku (Skor : < 6)
 Sistem kerja yang berlaku
2. Longgar terhadap aturan kerja yang
 Penentuan hak dan
berlaku (Skor : 6-9)
kewajiban
3. Terikat pada aturan kerja yang
 Penentuan kesepakatan
berlaku (Skor : > 9)
kerja yang diakui bersama
2.
Pengorganisasian kegiatan
produksi
Hutan Rakyat
(X4.2)
 Pembagian tugas dan
wewenang
 Kepatuhan terhadap
kesepakatan bersama
 Kerjasama antar anggota
kelompok tani dalam
kegiatan produksi
 Statistik Deskriptif
1. Tidak ada pembagian kerja
(Skor : < 14)
2. Ada pembagian kerja tetapi tidak
berkesinambungan (Skor : 14-21)
3. Ada pembagian kerja yang jelas dan
berkesinambungan (Skor : > 21)
 Statistik Inferensial : Uji Regresi
Penjumlahan dari seluruh skor
pengorganisasian kegiatan produksi
Hutan Rakyat. Setiap pertanyaan diberi
skor 1,2,3,4 untuk tidak pernah (0%),
kadang-kadang (25-50%), Sering (5175%), dan selalu (76-100%) 10
3.
10
Norma sosial
yang mengikat
anggota
kelompok tani
(X4.3)
 Keberadaan hukuman
(punish)/ sanksi dan
penghargaan (reward)
 Kesesuaian norma
kelembagaan dengan
lingkungan sosial
masyarakat
 Statistik Deskriptif :
1. Tidak mengikat (Skor : < 6)
2. Mengikat (Skor : 6-9)
3. Sangat mengikat (Skor: > 9)
 Statistik Inferensial : Uji Regresi
Penjumlahan dari seluruh skor norma
sosial yang mengikat anggota
kelompok. Setiap pertanyaan diberi
diberi skor 1,2,3,4 untuk tidak pernah
(0%), kadang-kadang (25-50%), Sering
(51-75%), dan selalu (76-100%) 10
Persentase membantu responden memberikan penilaian sesuai pertanyaan dalam kuesioner mengenai
seberapa sering ragam kegiatan produksi Hutan Rakyat dilakukan berdasarkan pengalaman responden dalam
hubungan kerja.
51
5. Faktor Hubungan Interpersonal. Beberapa studi yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa dalam pengelolaan Hutan Rakyat terdapat keterlibatan
multipihak. Petani berinteraksi dengan petani lainnya, dengan pihak-pihak lain
dalam konteks kegiatan penyuluhan, dan berinteraksi pula dengan lingkungan
sosial di sekelilingnya, baik dalam lingkup keluarga maupun masyarakat.
Hubungan interpersonal (X5)adalah hubungan yang dilakukan petani dengan
pihak-pihak lain di luar dirinya yang dapat mendorong keberhasilan
pengelolaan Hutan Rakyatnya, meliputi :
(a)
Interaksi petani dan keluarganya (X5.1) adalah hubungan timbal balik
antara petani dan keluarganya dalam kegiatan penyuluhan
(b)
Interaksi petani dan sumber belajar (X5.2) adalah hubungan timbal
balik antara petani dan individu sumber belajar dalam kegiatan
penyuluhan
(c)
Interaksi petani dan masyarakat (X5.3) adalah hubungan timbal balik
antara petani dan masyarakat dalam kegiatan penyuluhan
Pengukuran peubah hubungan interpersonal (X5) secara lengkap disajikan
pada tabel 7.
Tabel 7. Pengukuran peubah hubungan interpersonal (X5)
No.
1.
Peubah
Interaksi petani
dan keluarganya
(X5.1)
Indikator
Pengukuran
Jenis dukungan/bantuan
yang diberikan keluarga
terhadap petani pengelola
Hutan Rakyat
 Statistik Deskriptif :
1. Kurang mendukung (Skor : < 12)
2. Cukup mendukung (Skor : 12-18)
3. Sangat mendukung (Skor : > 18)
 Statistik Inferensial : Uji Regresi
Penjumlahan dari seluruh skor
interaksi petani dan sumber
informasi. Masing-masing
pertanyaan diberi skor 1,2,3,4 untuk
untuk tidak pernah (0%), kadangkadang (25-50%), Sering (51-75%),
dan selalu (76-100%)
52
52
Tabel 7. Pengukuran peubah hubungan interpersonal (X5) (Lanjutan)
No.
2.
Peubah
Interaksi petani
dan personal
sumber belajar
(X5.2)
Indikator
Pengukuran
Dukungan personal
sumber belajar terhadap
keputusan petani
melakukan Hutan Rakyat
 Statistik Deskriptif :
1. Kurang mendukung (Skor : < 12)
2. Cukup mendukung (Skor : 12-18)
3. Sangat mendukung (Skor : > 18)
 Statistik Inferensial : Uji Regresi
Penjumlahan dari seluruh skor
interaksi petani dan personel sumber
belajar.Masing-masing pertanyaan
diberi skor 1,2,3,4 untuk tidak pernah
(0%), kadang-kadang (25-50%),
Sering (51-75%), dan selalu (76100%)
3.
Interaksi petani
dan masyarakat
(X5.3)
Dukungan masyarakat
terhadap petani Hutan
Rakyat
 Statistik Deskriptif :
1. Kurang mendukung (Skor : < 12)
2. Cukup mendukung (Skor : 12-18)
3. Sangat mendukung (Skor : > 18)
 Statistik Inferensial : Uji Regresi
Penjumlahan dari seluruh skor
interaksi petani dan masyarakat
Masing-masing pertanyaan diberi
skor 1,2,3,4 untuk tidak pernah (0%),
kadang-kadang (25-50%), Sering
(51-75%), dan selalu (76-100%) 11
Kelompok peubah-peubah bebas (X) diduga berpengaruh terhadap peubahpeubah terikat, yaitu peubah Kemampuan Anggota Kelompok Tani dalam
Pengelolaan Hutan Rakyat (Y1).
Kemampuan Anggota Kelompok Tani Hutan Rakyat (Y.1)
1.
Kemampuan
Anggota
Kelompok
Tani
Hutan
Rakyat.
Kualitas
pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat ditentukan oleh kemampuan
masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan disekitarnya. Masyarakat
dalam konteks pengelolaan
Hutan Rakyat biasanya tergabung dalam
kelompok-kelompok tani. Kelompok tani memfasilitasi pembelajaran
11
Persentase membantu responden memberikan penilaian sesuai pertanyaan dalam kuesioner mengenai
seberapa sering dukungan terhadap Hutan Rakyat diterima responden berdasarkan persepsi responden.
53
kelompok dalam pengelolaan
Hutan Rakyat dalam rangka membangun
kemampuan anggota kelompok tani pada tingkat tertentu. Berdasarkan studi
yang dilakukan, kemampuan terdiri dari pengetahuan, keterampilan dan
sikap individu.
Kemampuan anggota kelompok tani dalam mengelola Hutan Rakyat
(Y1) adalah kecakapan anggota kelompok tani meliputi aspek pengetahuan
(cognitive
domain/knowledge),
domain/skill),
dan
aspek
aspek
sikap
keterampilan
(affective
(psychomotoric
domain/attitude)
melaksanakan serangkaian kegiatan pengelolaan
dalam
Hutan Rakyat secara
efektif. Kemampuan anggota kelompok tani dalam mengelola Hutan Rakyat
meliputi :
(a)
Kemampuan melakukan perencanaan dalam kegiatan Hutan Rakyat
(Y1.1) adalah sekumpulan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
dimiliki petani untuk memahami dan melaksanakan proses menentukan
rencana dalam kegiatan Hutan Rakyat
(b)
Kemampuan mengorganisir diri dalam kelembagaan pengelolaanHutan
Rakyat(Y1.2) adalah sekumpulan pengetahuan, keterampilan dan sikap
yang
dimiliki
petani
untuk
memahami
dan
melaksanakan
pengelompokan kegiatan yang diperlukan dalam Hutan Rakyat agar
tujuan kegiatan dapat terwujud
(c)
Kemampuan Penerapan petani dalam kegiatan pengelolaan Hutan
Rakyat (Y1.3) adalah sekumpulan pengetahuan, keterampilan dan
sikap yang dimiliki petani untukmemahami dan melaksanakan
koordinasi kegiatan berbagai unsur dalam kelembagaan pengelolaan
Hutan Rakyat agar secara efektif dapat mencapai tujuan sesuai dengan
yang telah ditetapkan pada kegiatan perencanaan
(d)
Kemampuan melakukan pengawasan dalam kegiatan pengelolaan
Hutan Rakyat(Y1.4) adalah sekumpulan pengetahuan, keterampilan
dan sikap yang dimiliki petani untuk memahami dan melaksanakan
54
54
proses pengaturan berbagai unsur dalam kegiatan pengelolaan Hutan
Rakyat agar sesuai perencanaan yang telah ditetapkan
Pengukuran peubah kemampuan anggota kelompok tani (X1) secara
lengkap disajikan pada tabel 8.
Tabel 8. Pengukuran peubah kemampuan anggota kelompok tani (Y1)
No.
Peubah
1.
Kemampuan
melakukan
perencanaan
dalam kegiatan
Hutan
Rakyat(HR)
(Y1.1)
 Kemampuan petani memahami  Statistik Deskriptif :
1. Kurang (Skor : < 12)
masalah, kebutuhan, dan tujuan
2. Sedang (Skor : 12-18)
kegiatan HR
3. Tinggi (Skor : > 18)
 Kemampuan petani mengakses
informasi dan menganalisis
 Statistik Inferensial : Uji Regresi
peluang pasar hasil HR
Penjumlahan dari seluruh skor
 Kemampuan petani
kemampuan melakukan
menetapkan jadwal
perencanaan Masing-masing
pelaksanaan kegiatan
pertanyaan diberi skor 1,2,3,4
 Kemampuan petani
untuk tidak pernah (0%), kadangmenetapkan rencana evaluasi
kadang (25-50%), Sering (51kegiatan
75%), dan selalu (76-100%) 12
2.
Kemampuan
mengorganisir
diri dalam
kelembagaan
pengelolaan
Hutan Rakyat
(Y1.2)
 Statistik Deskriptif :
 Kemampuan petani
1. Kurang (Skor : < 10)
menetapkan pelaksanaan
2. Sedang (Skor : 10-15)
kegiatan penanaman,
3. Tinggi (Skor : > 15)
pemeliharaan dan pemanenan
dalam pengelolaan HR
 Statistik Inferensial : Uji Regresi
 Kemampuan petani melakukan
Penjumlahan dari seluruh skor
distribusi tugas dalam
kemampuan melakukan
kelompok tani
perencanaan. Masing-masing
 Kemampuan petani
pertanyaan diberi skor 1,2,3,4
menetapkan individu yang
untuk tidak pernah (0%), kadangbertanggung jawab terhadap
kadang (25-50%), Sering (51tugas tertentu
75%), dan selalu (76-100%) 13
3.
Kemampuan
menerapkan
petani dalam
kegiatan
Hutan Rakyat
(Y1.3)
 Kemampuan petani menerima  Statistik Deskriptif :
/melaksanakan arahan kegiatan
1. Kurang (Skor: < 10)
produksi HR
2. Sedang (Skor : 10-15)
 Petani mampu berkomunikasi
3. Tinggi (Skor : > 15)
dengan anggota kelompok tani  Statistik Inferensial : Uji Regresi
lainnya
Penjumlahan dari seluruh skor
 Kemampuan petani pemasaran
kemampuan menggerakkan.
hasil-hasil HR
Masing-masing pertanyaan diberi
 Kemampuan petani melakukan
skor 1,2,3,4 untuk tidak pernah
kerjasama/koordinasi dengan
(0%), kadang-kadang (25-50%),
parapihak dalam pengelolaan
Sering (51-75%), dan selalu (76Hutan Rakyat
100%) 13
12
Indikator
Pengukuran
Persentase membantu responden memberikan penilaian berdasarkan pengalaman responden sesuai
pertanyaan dalam kuesioner mengenai seberapa sering ragam kegiatan produksi Hutan Rakyat dilakukan.
55
Tabel 8. Pengukuran peubah kemampuan anggota kelompok tani (Y1) (Lanjutan)
No.
Peubah
4.
Kemampuan
melakukan
pengawasan
dalam kegiatan
Hutan Rakyat
(Y1.4)
Indikator
Pengukuran
 Kemampuan petani
 Statistik Deskriptif :
menetapkan pedoman
1. Kurang (Skor : < 12)
pengawasan
2. Sedang (Skor : 12-18)
 Kemampuan petani
3. Tinggi (Skor : > 18)
melakukanpenilaian terhadap
Statistik Inferensial : Uji Regresi
pelaksanaankegiatan
Penjumlahan dari seluruh skor
perencanaan,
kemampuan menggerakkan.
pengorganisasian, dan
Masing-masing pertanyaan diberi
menggerakkanpada HR
skor 1,2,3,4 untuk tidak pernah
 Kemampuan petani untuk
(0%), kadang-kadang (25-50%),
menilai/ menentukan
Sering (51-75%), dan selalu (76terjadinya penyimpangan
100%) 13
Kemampuan petani melakukan
tindakan perbaikan jika
terdapat penyimpangan
4.5 Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
4.5.1 Validitas
Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur
apa yang ingin diukur Suatu data dikatakan valid apabila sudah teruji
validitasnya. Menurut Singarimbun dan Effendi (1989) mengacu pada Ancok
(1989) validitas alat pengumpul data dapat digolongkan beberapa jenis, yaitu
validitas konstruk (construct validity), validitas isi (content validity), validitas
prediktif (Predictive validity), dan validitas rupa (face validity). Validitas yang
diuji pada penelitian ini terdiri validitas konstruk (construct validity), validitas isi
(content validity). Menurut Kerlinger (2006) validitas mengungkapkan bahwa
suatu alat ukur dikatakan sahih apabila alat ukur tersebut dapat digunakan untuk
mengukur secara tepat konsep yang sebenarnya ingin diukur. Beberapa tahapan
dalam pengujian validitas, yaitu : (1) Mendefinisikan secara operasional konsep
yang akan diukur, (2) Melakukan uji coba skala pengukur (3) Mempersiapkan
tabel tabulasi jawaban, (4) Menghitung korelasi antara masing-masing pernyataan
dengan skor total dengan menggunakan rumus teknik korelasi product moment.
13
Persentase membantu responden memberikan penilaian berdasarkan pengalaman responden sesuai
pertanyaan dalam kuesioner mengenai seberapa sering ragam kegiatan produksi Hutan Rakyat dilakukan.
56
56
Perbaikan kuesioner terus dilakukan sampai memiliki tingkat kesahihan dan
keterandalan yang dapat diterima.
4.5.2 Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Penghitungan indeks reliabilitas
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengukuran dengan
menggunakan teknik korelasi product moment. Sebelum disebarkan kepada
responden maka kuesioner penelitian yang disusun tersebut diujicobakan terlebih
dahulu terhadap beberapa responden terpilih yang bukan berasal dari populasi
penelitian. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui gambaran umum responden
dan tingkat pemahaman responden terhadap pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan, sehingga akan diperoleh validitas instrumen yang sahih dan reliabilitas
yang handal.
4.5.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, uji coba kuesioner dilakukan kepada 20 orang yang
memiliki karakteristik relatif sama dengan responden penelitian. Hasil uji coba
terhadap kesahihan dan keterandalan instrumen disajikan pada tabel 9.
Tabel 9. Hasil uji coba validitas dan reabilitas instrumen penelitian (n=20)
Peubah
Validitas
(Kisaran koef. r)
0,560* - 0,832**
0,481* - 0,932**
(X1) Karakteristik Petani HR
(X2) Kompetensi Personal
Sumber Belajar
(X3) Kegiatan Penyuluhan
0,489* - 0,897**
(X4) Kelembagaan
0,600* - 0,892**
Pengelolaan Hutan
Rakyat
(X5) Hubungan Interpersonal
0,509* – 0,859**
(Y1) Kemampuan petani
0,532* - 0,855**
Keterangan :
* Hasil uji realibilitas nyata pada taraf < 0,005
** Hasil uji reabilitas sangat nyata pada taraf < 0,01
Realibilitas
(α cronbach)
0,765
0,763 – 0,871
Valid dan Reliabel
Valid dan Reliabel
0,701 – 0,882
0,775 – 0,835
Valid dan Reliabel
Valid dan Reliabel
0,739 – 0,856
0,740 – 0,798
Valid dan Reliabel
Valid dan Reliabel
Keterangan
57
Berdasarkan hasil uji validitas dan reabilitas di atas dapat disimpulkan
bahwa instrumen penelitian yang dikembangkan mempunyai nilai validitas dan
reabilitas yang dapat diterima dan layak digunakan sebagai instrumen penelitian.
4.6 Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan dari
responden dengan menggunakan bantuan kuesioner. Data primer dalam
penelitian ini mencakup data mengenai lima peubah yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu : karakteristik personal individu petani, kompetensi personal
sumber belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat,
dan Hubungan interpersonal. Data kuantitatif tersebut dilengkapi dengan
wawancara mendalam (indepth-interview) kepada responden untuk data-data
yang sulit diperoleh dengan menggunakan kuesioner.
Adapun data sekunder yang dikumpulkan dari instansi terkait meliputi
data keadaan umum wilayah penelitian, data kondisi Hutan Rakyat di lokasi
penelitian, data mengenai kependudukan, dan data mengenai gambaran umum
kegiatan penyuluhan kehutanan yang dilakukan di lokasi penelitian.
4.7 Teknik Analisis Data
Sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka metode
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1.
Analisis statistik deskriptif dalam bentuk tabel distribusi frekuensi digunakan
untuk melihat distribusi atau sebaran kategori peubah-peubah yang diteliti.
2.
Analisis regresi dilakukan untuk melihat faktor-faktor internal dan eksternal
petani yang berpengaruh terhadap kemampuan petani Hutan Rakyat. Faktor
internal petani adalah karakteristik petani dan karakteristik pendamping
belajar. Faktor eksternal petani adalah kegiatan penyuluhan, kelembagaan
pengelolaan Hutan Rakyat dan hubungan interpersonal petani. Faktor-faktor
tersebut diduga berpengaruh terhadap kemampuan petani dalam mengelola
58
58
Hutan Rakyat, yang terdiri dari kemampuan perencanaan, kemampuan
pengorganisasian diri, kemampuan penerapan, dan kemampuan pengawasan.
Analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi berganda bivariate,
yaitu analisis regresi antara beberapa variabel bebas dengan lebih dari satu
variabel terikat. Berdasarkan jumlah variabel terikat, maka analisis regresi ini
akan menghasilkan 4 (empat) persamaan. Bentuk masing-masing persamaan
regresi berganda adalah :
Y ᇱ = a + bଵXଵ + bଶXଶ … … … b୶X୶
3.
Keterangan :
∶ Peubah terikat yang diprediksikan
Y′
Xଵ, Xଶ ∶ Peubah bebas
∶ Nilai konstanta
a
bଵ, bଶ ∶ ‘‡ϐ‹•‹‡ regresi
Analisis kualitatif meliputi penjelasan dan pemaknaan dari hasil kuesioner,
hasil wawancara mendalam (In-depth interview) dan hasil pengataman di
lokasi penelitian. Analisis ini merupakan pengujian non-numerik dan
interpretasi dari semua data kuantitatif dan kualitatif.
Untuk keperluan analisis regresi berganda, data yang berskala ordinal
terlebih dahulu ditransformasi menjadi data interval dengan method of succesive
Interval (MSI). Sebelum analisis sata, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik
terhadap data penelitian, yaitu uji normalitas residual dengan uji one Sample
Kolmogorov Smirnov, uji Heteroskedastisitas dengan Spearman’s Rho testing,
uji Autokorelasi dengan uji Durbin-Watson, dan uji Multikorelitas dengan
melihat Variance Inflation Factor (VIF). Hasil menunjukkan bahwa data dapat
memenuhi persyaratan uji asumsi klasik sehingga dapat dilakukan analisis regresi
berganda.
Pengolahan data dilakukan dengan SPSS 20 menggunakan uji parametrik
regresi berganda dengan metode enter. Seluruh variabel terikat dimasukkan
59
sekaligus, kemudian dikeluarkan satu persatu untuk mencari variabel yang paling
signifikan berpengaruh terhadap variabel terikat dalam model regresi berganda.
60
60
V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Tegal Waru, Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pada awal bagian ini akan
dibahas secara umum karakteristik lokasi penelitian terkait dengan topik
penelitian.
5.1
Gambaran Umum Hutan Rakyat di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa
Barat
Kabupaten Bogor berada di Provinsi Jawa Barat dan berbatasan langsung
dengan Ibukota negara Republik Indonesia. Secara geografis Kabupaten Bogor
terletak antara 6.190 – 6.470 Lintang Selatan dan 106.10 – 107.1030 Bujur Timur
dengan luas wilayah sekitar 2.237,09 Km2yang merupakan salah satu wilayah
administratif terluas keenam di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Bogor terdiri dari
40 kecamatan dengan jumlah total desa/kelurahan paling banyak se-provinsi Jawa
Barat yatu berjumlah 428 desa/kelurahan. Sebanyak 200 desa/kelurahan termasuk
dalam klasifikasi perkotaan, sedangkan 228 desa lainnya berstatus perdesaan.
Kabupaten Bogor berbatasan dengan Kabupaten Tangerang (Banten),
Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi di sebelah utara, Kabupaten
Karawang di sebelah timur, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi di
sebelah Selatan, dan Kabupaten Lebak (Banten) di sebelah barat. Kabupaten
Bogor memiliki ketinggian berkisar dari 15 m dpl pada dataran di bagian utara
hingga 2.500 m dpl pada puncak-puncak gunung di bagian selatan dan
merupakan wilayah daratan dengan tipe morfologi wilayah yang bervariasi, dari
dataran yang relatif rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di bagian
selatan. Iklim wilayah Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis sangat basah di
bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara, dengan rata-rata curah
hujan tahunan 2.500-5.000 mm/tahun, kecuali di wilayah bagian utara dan
sebagian kecil wilayah timur curah hujan kurang dari 2.500 mm/tahun.
61
Kabupaten Bogor memiliki daerah kawasan hutan yang terdiri dari hutan
lindung atau produksi. Daerah hutan lindung umumnya terdapat di daerah dataran
tinggi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air, sedangkan hutan produksi
relatif terbatas dan menyebar terutama di daerah Cigudeg dan Klapanunggal.
Luas kawasan hutan di Kabupaten Bogor adalah 84.047,02 Ha atau sebesar 28,12
persen dari luas seluruh wilayah Kabupaten Bogor. Berdasarkan fungsinya dari
84.047,02 Ha kawasan hutan tersebut sebesar 8,67 persen atau sebesar 25.912,29
Ha merupakan Hutan Produksi dan sisanya sebesar 19,45 persen atau sebesar
58.134,73 Ha merupakan Hutan Lindung. Berdasarkan target lokasi 45
persenyang diperuntukkan sebagai kawasan lindung di Provinsi Jawa Barat, maka
kawasan lindung di Kabupaten Bogor masih tergolong kecil. Peningkatan
kawasan yang bersifat lindung diupayakan berasal dari kawasan non hutan
melalui usaha mengembangkan Hutan Rakyat, yaitu kawasan hutan pada lahanlahan milik yang dikelola oleh masyarakat.
Wilayah Kabupaten Bogor merupakan wilayah hulu bagi wilayah-wilayah
di sebelah Utara yaitu Tangerang, Depok, DKI Jakarta dan Bekasi.Sungai-sungai
di Kabupaten Bogor mengalir dari daerah pegunungan di bagian selatan ke arah
utara. Dua DAS besar yang mengalir di Kabupaten Bogor adalah DAS
Ciliwung14 dan DAS Cisadane15. Sungai-sungai pada masing-masing DAS
tersebut mempunyai fungsi yang sangat strategis sebagai sumber air irigasi
pertanian, perikanan, rumah tangga, industri dan drainase utama wilayah. Selain
14
DAS Ciliwung memiliki bentuk yang lebih unik dibandingkan dengan bentuk DAS-DAS
lainnya. Bagian hulu yang melebar kemudian menyempit di bagian tengah dan memanjang
sampai ke hilir. Bagian hulu berada di daerah puncak Kabupaten Bogor sampai ke daerah
Katulampa. Bagian tengah berada di daerah Ratujaya, Depok dan bagian hilir DAS ini sampai ke
Banjir Kanal Barat daerah Manggarai. Luas DAS ini ± 37.472 Ha. Seluruh wilayah Daerah hulu
DAS Ciliwung terdapat di Kabupaten Bogor. Masalah yang terdapat di hulu DAS Ciliwung
adalah adanya pelanggaran terhadap tata ruang khususnya adanya pembangunan vila-vila yang
tidak sesuai dengan fungsi resapan. Daerah lahan terbangun DAS ini kurang lebih 45,8 persen
tersebar merata dari bagian tengah sampai hilir.
15
DAS Cisadane mengalir dari G. Salak di bagian selatan Kab. Bogor. Kawasan hijau lebih
banyak tersebar dari bagian hulu sampai bagian hilir (± 33 persen). Banyak wilayah dalam DAS
ini termasuk dalam kawasan hutan. Penutupan lahan di bagian hulu didominasi oleh
lahanpertanian semusim dan daerah ladang, sawah dan tegalan. Di bagian tengah kurang lebih
17,7 persen dari total luas DAS ini adalah lahan terbangun
62
62
itu terdapat situ-situ yang berfungsi sebagai reservoar dalam peresapan air yang
dapat pula dimanfaatkan sebagai usaha perikanan, penampungan air, dan
rekreasi.
DAS Ciliwung dan DAS Cisadane termasuk dalam kawasan JakartaBogor-Depok-Tangerang (Jabodetabek) dan kawasan Bogor-Puncak-Cianjur
(Bopunjur). Kedua kawasan tersebut dikenal dengan kawasan Jabodetabekpunjur dan telah ditetapkan sebagai Kawasan Khusus Strategis yang penataan
ruangnya diatur berdasarkan Keputusan Presiden No. 79 tahun 1985. Pada
Keputusan Presiden No. 79 tahun 1985 kawasan Jabodetabek-punjur adalah dua
kawasan tertentu yang letaknya berdampingan, yaitu Bopunjur sebagai kawasan
konservasi dan Jabodetabek yang berfungsi sebagai kawasan pengembangan
ekonomi. TerbitnyaKeputusan Presiden No. 114 tahun 199916 beserta Rancangan
Keppres tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek-Punjur lebih lanjut
menetapkan bahwa kedua kawasan tersebut merupakan satu kesatuan ekosistem
yang perlu ditangani secara terintegrasi, terutama untuk melindungi wilayah
Ibukota Negara (DKI Jakarta) dari dampak negatif kerusakan lingkungan seperti
banjir dan kekeringan.
Kawasan Jabodetabekpunjur termasuk salah satu lokasi di Indonesia yang
mengalami perubahan sangat cepat. Dua DAS besar yang berada di sebagian
wilayah tersebut, yaitu DAS Ciliwung dan DAS Cisadane merupakan kawasan
yang
sangat
tinggi
tingkat
pertumbuhan
dan
perkembangan
aktivitas
penduduknya. Di wilayah kedua DAS tersebut lahan pertanian subur telah
berubah fungsi secara tidak terkendali menjadi lahan pemukiman dan industri17.
16
Keputusan Presiden No. 114 tahun 1999 diperbarui oleh Keputusan Presiden No. 54 Tahun
2008, yang selanjutnya menetapkan kawasan Jabodetabek-Punjur sebagai Kawasan Strategis
Nasional16 Penetapan tersebut menjadi acuan penyelenggaraan pembangunan kawasan (termasuk
wilayah DAS di dalamnya) yang menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah,
tersedianya air tanah dan air permukaan, serta upaya penanggulangan banjir dengan
mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan.
17
Berdasarkan analisis citra landsat Tahun 1994 dan 2001, telah terjadi pergeseran penggunaan
lahan (perubahan tata guna tanah) dari hutan primer sebesar 41,12 persen di Kawasan BODEPE
(Bogor-Depok-Bekasi) dan sebesar 6,76 persen di Kawasan BOPUNJUR, dari hutan sekunder
sebesar 68,94 di Kawasan BODEPE dan sebesar 1,2 persen di Kawasan BOPUNJUR, serta dari
63
Perubahan penggunaan lahan tersebut mengakibatkan fungsi kawasan sebagai
resapan air menjadi berkurang dan menimbulkan bencana banjir dan genangan di
daerah hilir.
Permasalahan masih kurangnya luas kawasan hutan di wilayah DAS
Cisadane dan masih kurangnya luasan kawasan hutan lindung atau produksi di
Kabupaten Bogor menunjukkan telah terjadinya kondisi degradasi lingkungan di
Kabupaten Bogor. Kondisi tersebut menjadi salah satu alasan mengapa masalah
banjir di DKI Jakarta sangat sulit diatasi. Penurunan fungsi kawasan hutan
lindung/produksi menjadi permasalahan yang harus segera diatasi karena dapat
menjadi ancaman serius bagi kondisi lingkungan di Kabupaten Bogor secara
keseluruhan.
Hal
tersebut
secara
keseluruhan
mendorong
upaya-upaya
rehabilitasi lahan yang dilakukan secara berkesinambungan. Oleh karena itu telah
diupayakan berbagai bentuk usaha yang tidak hanya terbatas pada kegiatan
pembangunan bendungan tetapi meluas ke arah kegiatan pencegahan erosi
melalui pola tanam, penatagunaan lahan, penataan ruang, dan penataan kawasan
pemukiman, industri, dan perkotaan. Upaya meningkatkan kawasan yangbersifat
lindung dalam hal ini akan berasal dari kawasan bukan hutan, yang berarti perlu
ada usaha mengembangkan kawasan hutan kerakyatan, yaitu kawasan hutan pada
lahan-lahan milik yang dikelola oleh masyarakat atau disebut pula Hutan Rakyat.
Salah satu upaya yang berkembang di sektor kehutanan untuk mengatasi
permasalahan penurunan kualitas DAS dan pengurangan luasan kawasan hutan di
Kabupaten Bogor adalah pembangunan Hutan Rakyat di lahan-lahan milik
masyarakat. Luas Hutan Rakyat di Kabupaten Bogor sampai dengan tahun 2010
adalah 15.000 Ha dan secara signifikan mengalami peningkatan sejak tahun 2004
(Tabel 10).
penggunaan sawah sebesar 11,98 persen di Kawasan Bodebek dan sebesar 4,42 persen di
Kawasan Bopunjur (BAPPEDA Provinsi Jawa Barat, 2004).
64
64
Tabel 10. Perkembangan luasan dan produksi kayu Hutan Rakyat di Kabupaten
Bogor Tahun 2004 - 2009
Luas (Ha)
Kabupaten
Tahun 2004
Tahun 2005
Tahun 2006
Tahun 2009
Bogor
a
14.965,3
16.173,1
15.207
15.345,655
Sumber : Monografi Dinas Kehutanan Kabupaten Bogor, 2010
Luas Hutan Rakyat di Indonesia tahun 2009 berdasarkan data dari
Direktorat RHL, Ditjen RLPS Kementerian Kehutanan adalah 3.589.343 Ha.
Untuk Pulau Jawa 2.799.181 Ha. Luas Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat
adalah 973.860 Ha atau setara dengan 34,79 persen dari luas keseluruhan di
Indonesia (Mugiyono, 2009). Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Bogor
(2010), luas Hutan Rakyat di Kabupaten Bogor adalah 15.345,65 Ha atau sama
dengan 1,57 persen dari seluruh Provinsi Jawa Barat. Gambaran ini menunjukkan
bahwa luasan Hutan Rakyat yang masih minimal di Kabupaten Bogor tersebut
masih perlu ditingkatkan dalam rangka perbaikan kondisi lingkungan sekaligus
memperbaiki taraf hidup masyarakat.
5.2 Gambaran Umum Desa Tegal Waru
5.2.1 Kondisi Umum
Lokasi penelitian adalah di Desa Tegal Waru, Kecamatan Ciampea,
Kabupaten Bogor. Kecamatan Ciampea merupakan salah satu kecamatan yang
termasuk daerah pengembangan di Kabupaten Bogor wilayah Barat. Luas
wilayahnya sekitar + 55,63 Km2, terdiri dari 13 Desa, terbagi atas 43 dusun, 108
rukun warga, serta 462 Rukun Tetangga. Berdasarkan kondisi demografis, jumlah
penduduk Kecamatan Ciampea sampai dengan akhir bulan Desember 2011
adalah 148.225 jiwa yang terdiri dari 40.949 Kepala Keluarga. Secara garis besar
sebagian penduduk bekerja sebagai petani dan buruh.
Secara geografis, kecamatan Ciampea berbatasan dengan Kecamatan
Ranca Bungur dan Kemang sebelah Utara, Kecamatan Tenjolaya di sebelah
Selatan, Kecamatan Cibungbulang di Sebelah Barat, dan Kecamatan Dramaga di
65
sebelah Timur. Kecamatan Ciampea sebanyak 45 persen wilayahnya terdiri dari
dataran dan sekitar 55 persen dari wilayahnya merupakan daerah perbukitan
dengan ketinggian wilayah berada diantara 300 m di atas permukaan laut.
Pemanfatan lahan di kecamatan Ciampea antara lain adalah pemukiman
penduduk, persawahan, dan ladang/kebun.
Kecamatan Ciampea merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
Bogor yang termasuk wilayah pengembangan dan pembangunan di daerah Bogor
Barat. Mengacu pada Keputusan Presiden No. 54 Tahun 2008 yang menetapkan
seluruh wilayah Kabupaten Bogor sebagai kawasan lindung, maka rencana tata
ruang
wilayah
Kabupaten
Bogor
berdampak
terhadap
arahan-arahan
pengembangan wilayah kecamatan yang harus mengacu pada upaya kelestarian
lingkungan, yaitu antara lain mampu menyelenggarakan pemanfaatan ruang
wilayah yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sesuai dengan
kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang selektif,
efektif dan efisien, melalui pemberian Building Coverage Ratio (BCR) yang
rendah pada kawasan yang memiliki nilai konservasi, sekaligus meningkatkan
kualitas lingkungan pada kawasanlindung sebagai kawasan konservasi air dan
tanah,melalui program rehabilitasi lahan, dengankegiatan pemanfaatan ruang
yang tidak mengganggufungsi kawasan.
Sejalan dengan hal tersebut, saat ini di sektor pertanian kecamatan
Ciampea sedang dikembangkan kegiatan pertanian berupa pertanian lahan basah,
dan agrowisata, sedangkan pengembangan di sektor kehutanan lebih mengarah
kepada upaya pemanfaatan lahan kering/kebun campur yang menerapkan pola
penanaman palawija (agroforestry) yaitu di lahan-lahan milik masyarakat atau
lahan-lahan kritis lainnya yang dapat mendukung kelestarian lingkungan
sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan lebih dikenal
dengan pengembangan Hutan Rakyat. Salah satu desa di Kecamatan Ciampea
yang mulai menggalakkan pembangunan dan pengembangan
adalah Desa Tegal Waru.
Hutan Rakyat
66
66
Desa Tegal Waru adalah salah satu desa di Kecamatan Ciampea yang
letaknya di sebelah barat pusat kecamatan dengan luas adalah 338,843 Ha. Desa
Tegal Waru berjarak 34 Km dari Ibukota Kabupaten Bogor.Di sebelah Utara dan
Timur, Desa Tegal Waru berbatasan dengan Desa Bojong Jengkol. Di sebelah
Selatan berbatasan dengan Desa Cinangka dan di sebelah Barat berbatasan
dengan Desa Cicadas/Bojong Rangkas (Gambar 3). Desa Tegal Waru terletak di
Sub DAS Ciampea, anak sungai dari DAS Cisadane. Daerah tersebut relatif
memiliki ketersediaan air yang memadai untuk digunakan kehidupan sehari-hari
baik untuk konsumsi rumah tangga, irigasi maupun budidaya tanaman.
Topografi wilayah Desa Tegal Waru yang sebagian datar dan sebagian
cenderung bergelombang berada di ketinggian 300 m dpl, beriklim basah dengan
curah hujan per tahun mencapai 2.500 mm atau lebih. Kondisi topografi tersebut
turut menentukan pola penggunaan lahan di Desa Tegal Waru yang terbagi
menjadi lahan sawah dan kebun/tegalan. Tanah datar banyak digunakan untuk
lahan sawah basah, sedangkan kebun/tegalan banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai Hutan Rakyat dengan penanaman kayu, antara lain Sengon
(albizia falcataria), Afrika (maesopsis eminii), Suren (toona sureni), Jati (tectona
grandis) dan Mahoni (swietenia macrophylla).
Desa Tegal Waru mudah dijangkau dengan sarana transportasi umum.
Transportasi di dalam desa untuk jarak yang cukup jauh banyak menggunakan
jasa ojek. Penggunaan kendaraan bermotor roda dua atau empat di Desa Tegal
Waru ditunjang oleh kondisi sarana perhubungan yang relatif memadai. Sarana
jalan di Desa Tegal Waru adalah jalan aspal dan jalan tanah dengan kondisi baik.
Jalan tanah lebih banyak ditemukan di daerah dengan topografi bergelombang,
curam dan berada di luar jalan utama desa. Hampir seluruh jalan utama desa
sudah diaspal. Sarana perhubungan yang memadai sangat penting untuk
menggerakkan perekonomian desa.
67
Gambar 3. Peta Desa Tegal Waru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten
Bogor (Sumber : BPDAS Citarum-Ciliwung, 2013)
68
68
Pola penggunaan lahan di Desa Tegal Waru antara lain adalah untuk perumahan,
sawah lahan basah, kebun, dan penggunaan lain (Tabel 11).
Tabel 11. Pola penggunaan lahan di Desa Tegal Waru
a
No.
Penggunaan lahan
1.
2.
3.
4.
Perumahan/pemukiman dan pekarangan
Sawah lahan basah
Lahan/kebun/tegalan (huma)
Lain-lain (pemakaman/perkantoran/ sarana
olah raga/bangunan pendidikan/peribadatan)
Total
Luas
(Ha)
123,7
150
50
4,5
Persentase
(%)
37,70
45,70
15,23
1,37
328,2
100
Sumber : Diolah dari Profil Desa Tegal Waru 2012
Jumlah penduduk Desa Tegal Waru adalah sebanyak 12.319 jiwa. Jumlah
penduduk laki-laki 6.150 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 6.169 jiwa, yang
terdiri dari 3.375 KK. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani, baik
sebagai pemilik tanah, petani penggarap arau sebagai buruh tani. Penduduk Desa
Tegal Waru juga bekerja sebagai pedagang, pegawai negeri, buruh industri, buruh
bangunan, pengrajin, dan bekerja di sektor angkutan (Tabel 12).
Tabel 12. Sebaran penduduk menurut mata pencaharian di Desa Tegal Waru
No.
Mata pencaharian
Jumlah
Persentase
(jiwa)
(%)
1. Petani
475
14,98
2. Buruh Tani
473
14,93
3. Pedagang
230
7,26
4. Pegawai Negeri
120
3,78
5. TNI/POLRI
10
0,31
6. Swasta
227
7,16
7. Buruh pabrik
275
8,68
8. Buruh Bangunan
60
1,89
9. Pengrajin
810
25,56
10. Angkutan
30
0,95
11. Lain-lain
459
14,48
Jumlah
3.169
100,00
a
Sumber : Diolah dari Profil Desa Tegal Waru Tahun 2011
69
Kondisi penduduk menurut mata pencaharian pada Tabel 12 memberikan
gambaran bahwa tingkat pendidikan penduduk relatif rendah. Sebagian besar
penduduk Desa Tegal Waru hanya menyelesaikan pendidikan dasar. Semakin
tinggi
tingkat
pendidikan,
semakin
sedikit
penduduk
yang
mampu
menyelesaikannya.
Tabel 13. Sebaran penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Tegal Waru
a
No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah (jiwa)
1
2
3
4
5
6
Tidak Tamat SD/sederajat
Tamat SD/Sederajat
Tamat SLTP/Sederajat
Tamat SLTA/Sederajat
Tamat Akademi/ Sarjana Muda
Perguruan Tinggi
Jumlah
55
1.235
219
93
27
27
1.656
Persentase (%)
3,32
74,58
13,22
5,62
1,63
1,63
100
Sumber : Diolah dari Profil Desa Tegal Waru 2011
Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Tegal Waru antara lain adalah 5
(lima) buah Pendidikan Usia Dini (PAUD), 3 (tiga) Taman Kanak-Kanak (TK),
dan 3 (tiga) Sekolah Dasar Negeri (SDN). Sarana pendidikan untuk jenjang
pendidikan dari mulai sekolah menengah lanjutan pertama sampai perguruan
tinggi berada di luar Desa Tegal Waru. Sarana kesehatan cukup terpenuhi dengan
keberadaan Puskesmas Pembantu, sebuah poliklinik kesehatan, dan 3 (tiga) buah
Rumah Bersalin. Di Desa Tegal Waru terdapat pula 9 (sembilan) Posyandu.
Kehidupan bermasyarakat di Desa Tegal Waru berada pada suasana
damai. Masyarakat masih mengedepankan nilai-nilai kerukunan dan gotongroyong. Hal tersebut terlihat dari masih dilakukannya kegiatan desa secara
bersama-sama, yaitu kerja bakti desa, perbaikan jalan, atau pun tolong-menolong
dalam kehidupan sehari-hari dan apabila terdapat anggota masyarakat yang
sedang tertimpa kesusahan. Tokoh masyarakat yaitu kepala desa, ustadz, ketua
kelompok tani, ataupun pemuka desa lainnya masih berperan penting dalam
kehidupan sosial masyarakat Desa Tegal Waru. Tokoh masyarakat terutama
berperan dalam menggerakkan masyarakat pada kegiatan-kegiatan desa atau
70
70
dalam hal mengenalkan kegiatan atau program baru di bidang Pertanian atau
Kehutanan pada masyarakat desa. Di Desa Tegal Waru, tokoh masyarakat masih
menjadi panutan dan mendapat tempat terhormat di masyarakat.
Sistem perekonomian di Desa Tegal Waru lebih banyak bertumpu pada
sektor pertanian lahan basah (sawah) dan palawija, empon-empon, sayur-sayuran
dan buah-buahan. Petani selain menanam padi juga menanam tanaman palawija
berupa ketela pohon (singkong) dan ubi jalar di kebun serta terdapat pula sayursayuran antara lain jagung, kacang panjang, kacang tanah. Jenis buah-buahan
yang banyak ditanam antara lain adalah pisang, pepaya, rambutan, dan lainnya.
Kebutuhan penduduk sehari-hari dipenuhi dari tegalan/kebun. Padi hasil panen
tidak seluruhnya dijual, sebagian disimpan baik untuk bibit maupun kebutuhan
rumah tangga sendiri. Palawija, empon-empon, sayur-sayuran dan buah-buahan
sebagian dijual, apabila hasilnya sedikit maka dikonsumsi sendiri. Sebagian besar
petani mengambil kebutuhan pangan sehari-hari dari kebun sendiri karena tidak
ada pasar di Desa Tegal Waru. Apabila hendak ke pasar maka harus ke desa lain
atau ke ibukota kecamatan. Di Desa Tegal Waru hanya ada kios/toko/warung
yang menjual barang-barang kelontong sebanyak 45 (empat puluh lima) buah,
selain itu terdapat pula toko bahan bangunan sebanyak 1 (satu) buah.
Pada beberapa tahun terakhir, masyarakat mulai mengembangkan Hutan
Rakyat. Sebetulnya masyarakat secara tradisional sudah mengenal pohon Sengon,
Jati, atau Mahoni. Sebagian besar masyarakat sudah memanfaatkan pekarangan
rumah atau lahan kebunnya yang tidak dapat dimanfaatkan sebagai sawah lahan
basah menjadi Hutan Rakyat. Pengembangan Hutan Rakyat di wilayah Bogor
Barat oleh Departemen Kehutanan didasarkan atas kebutuhan penghijauan di
wilayah hulu DAS Cisadane mengingat semakin meningkatnya bencana banjir,
longsor dan kekeringan di wilayah hilir.
5.2.2 Pengembangan Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru
5.2.2.1 Areal Model Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru
Pengembangan Hutan Rakyat dalam bentuk program kehutanan yang
71
bertujuan mendorong upaya rehabilitasi kawasan DAS sekaligus pemberdayaan
masyarakat di Desa Tegal Waru dimulai sejak tahun 2007 melalui pembangunan
areal permodelan Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru. Kegiatan tersebut
dilaksanakan dengan memaksimalkan koordinasi multipihak, yaitu Departemen
Kehutanan, Dinas Kehutanan Kabupaten, pihak mitra industri kayu, dan pihakpihak terkait lainnya pada areal model pembangunan Hutan Rakyat pada lahan
seluas 25 Ha di Blok Ciampea Ilir, Desa Tegal Waru.
Upaya pembangunan areal permodelan Hutan Rakyat pada awalnya
bukan hal yang mudah dilaksanakan di Desa Tegal Waru, dikarenakan Desa
Tegal Waru merupakan kawasan budidaya pertanian dengan gabungan pertanian
lahan basah, sayur-sayuran dan palawija. Hutan Rakyat dalam kerangka program
Kehutanan merupakan upaya pengelolaan hutan yang memfungsikan lahan-lahan
milik masyarakat sebagai kawasan hutan. Masyarakat dalam hal ini petani Hutan
Rakyat menjadi pelaku utama dalam upaya pengelolaan hutan tersebut. Luasan
Hutan Rakyat pada areal permodelan 25 Ha secara bertahap meningkat luasannya
menjadi 35 Ha secara swadaya. Masyarakat sekitar yangmemperoleh penjelasan
mengenai manfaat Hutan Rakyat sekaligus melihat prospek keuntungannya mulai
tertarik mengusahakan Hutan Rakyat di lahan miliknya secara swadaya.
Hutan Rakyat dalam kerangka program pembangunan kehutanan,
berupaya mendorong penanaman tanaman keras/kayu-kayuan di lahan-lahan
milik masyarakat. Pengembangan
Hutan Rakyat dimulai pada tahun 2007
dengan memberikan bantuan bibit Sengon diikuti dengan pemberian bantuan
dana pemeliharaan Hutan Rakyat sampai tahun ketiga18 setelah penanaman. Luas
Hutan Rakyat di Blok Ciampea Ilir, Desa Tegal Waru berkisar antara 0,05 Ha – 3
Ha. Jenis tanaman keras yang banyak ditanam oleh masyarakat adalah kayu
Sengon, kayu Mahoni, dan Jati. Masyarakat tertarik menanam sengon karena
pertumbuhannya yang cepat dan pemeliharaannya yang mudah.
18
Pemeliharaan tanaman keras secara intensif diperlukan sampai tahun ketiga setelah penanaman. Tanaman
dianggap dapat tumbuh dengan baik setelah melewati masa kritis tanaman pada tahun ketiga.
72
72
Pola penanaman Hutan Rakyat terbagi menjadi : (1) pola penanaman
monokultur, yaitu penanaman tanaman keras dalam satu petak lahan yang terdiri
dari satu jenis tanaman keras, (2) pola penanaman dengan menerapkan teknikteknik
tumpangsari
(wanatani/agroforestry)
yaitu
penanaman
dengan
menggabungkan penanaman tanaman keras dan tanaman semusim. Pola
penanaman dengan teknik tumpangsari (wanatani/agroforestry) memungkinkan
petani dapat memenuhi kebutuhan pangan sehari-harinya, sekaligus dapat
menjual hasil kebunnya ke pasar apabila jumlah hasilnya banyak.
5.2.2.2 Kelompok Tani Hutan Rakyat dan Penyuluhan Kehutanan di Desa
Tegal Waru
Masyarakat Desa Tegal Waru sebenarnya sudah sejak lama mengenal
penanaman tanaman keras/kayu-kayuan yang ditanam di lahan kebun, pematang
sawah ataupun pekarangan rumah. Namun demikian pengembangan areal
permodelan Hutan Rakyat dengan melibatkan masyarakat merupakan kegiatan
baru bagi masyarakat, karena dalam prosesnya petani Hutan Rakyat didorong
untuk belajar mengenai cara pembibitan, penanaman dan pemanenan tanaman
keras berdasarkan ketentuan/standar penanaman tanaman keras/kayu-kayuan
yang berlaku. Sebelum pembangunan areal permodelan Hutan Rakyat, petani
hanya belajar secara otodidak dari kebiasaan tradisional yang berlaku di
masyarakat mengenai cara-cara budidaya Hutan Rakyat. Tanaman keras/kayukayuan yang ditanam masyarakat sebelumnya bersifat sporadis, berskala kecil,
dan seringkali mengalami petumbuhan yang tidak maksimal atau bahkan mati
akibat kesalahan jarak tanam maupun serangan hama penyakit yang sulit diatasi
petani karena kurangnya pengetahuan mengenai penanganan hama penyakit pada
tanaman keras/kayu-kayuan.
Petani Hutan Rakyat tergabung dalam kelompok tani Hutan Rakyat
Saluyu II sejak tahun 2007. Kelompok tani tersebut semula adalah rintisan
kelompok tani yang bergerak di bidang pertanian meliputi pengolahan sawah
lahan basah dan sayuran. Kelompok tani Hutan Rakyat merupakah wadah
73
berkumpulnya petani Hutan Rakyat untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilannya dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Petani Hutan Rakyat secara
teratur melakukan pertemuan yang dimanfaatkan sebagai sarana untuk
mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi petani dalam mengelola Hutan
Rakyatnya. Kelompok tani dipimpin oleh seorang Ketua Kelompok yang
biasanya juga merupakan tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati oleh
masyarakat. Kelompok tani Hutan Rakyat memiliki struktur organisasi terdiri
dari Ketua, Sekretaris, dan anggota.
Pembangunan areal permodelan Hutan Rakyat dan pembekalan
pengetahuan/keterampilan dasar mengenai Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru
pada
awal
kegiatan
dilaksanakan
oleh
BPDAS
Citarum-Ciliwung.
Penyelenggaraan bimbingan teknis berupa penyuluhan kehutanan dilakukan oleh
Penyuluh Kehutanan dari BP3K Cibungbulang yang berada di bawah Pemerintah
Daerah Kabupaten Bogor. Penyuluh Kehutanan BP3K yang bertugas di Desa
Tegal Waru berjumlah 1 (satu) orang penyuluh kehutanan dengan dibantu oleh 1
(satu) orang tenaga harian untuk beberapa wilayah binaan di Kabupaten Ciampea.
Waktu kunjungan penyuluh kehutanan berkisar antara 1 (satu) sampai dengan 3
(tiga) bulan sekali pada satu kelompok tani. Hal tersebut memberikan gambaran
mengenai kondisi ketersediaan tenaga penyuluh kehutanan di Desa Tegal Waru.
74
74
VI. PROFIL PETANI HUTAN RAKYAT
6.1 Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian adalah petani Hutan Rakyat yang
mengusahakan Hutan Rakyat pada areal model Hutan Rakyat yang dibina oleh
BPDAS Citarum-Ciliwung. Dalam perkembangannya Hutan Rakyat tersebut
telah bergeser dari kegiatan yang bersifat keproyekan menjadi swadaya
masyarakat yang dikelola oleh masyarakat secara mandiri. Petani Hutan Rakyat
di lokasi penelitian sudah mengenal penanaman tanaman keras (kayu-kayuan)
khususnya Sengon jauh sebelum areal permodelan tersebut dibangun, oleh karena
itu Hutan Rakyat relatif mudah diterima oleh masyarakat setempat.
Karakteristik umur responden petani Hutan Rakyat berada pada rentang
umur termuda adalah 27 tahun dan umur tertua adalah 82 tahun. Sebanyak 61,83
persen responden berada pada kategori 40 - 65 tahun. Hal itu menunjukkan
bahwa hampir sebagian besar responden Petani Hutan Rakyat berada di atas usia
produktif. Hutan Rakyat merupakan alternatif pemanfaatan lahan yang tidak
memerlukan pemeliharaan intensif. Responden memiliki kemudahan dalam
pengelolaannya dibandingkan dengan pemeliharaan pada tanaman padi sawah
dan palawija. Hutan Rakyat menjadi pilihan sebagai sumber pendapatan
tambahan bagi responden petani yang tidak berada umur produktif lagi.
Tabel 14. Sebaran responden berdasarkan umur
a
No.
Kategori umur responden
1
2
3
Dewasa awal (umur 18-40 tahun)
Dewasa (umur 41-65 tahun)
Dewasa akhir (lebih dari umur 65)
Total
Jumlah (jiwa)
7
34
14
55
Persentase (%)
12,72
61,83
25,45
100,00
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Tingkat pendidikan responden petani Hutan Rakyat tergolong masih
rendah. Sebesar 54,54 persen responden hanya bersekolah kurang dari 3 (tiga)
75
tahun atau tidak menamatkan pendidikan dasar. Sebanyak 36,36 persen
responden lainnya memiliki ragam yaitu (1) responden yang mengikuti
pendidikan dasar dan sudah duduk di kelas-kelas akhir tetapi tidak menyelesaikan
pendidikannya, (2) responden yang berhasil menamatkan pendidikan SD, dan (3)
responden yang berhasil menamatkan pendidikan SD dan melanjutkan bersekolah
sampai ke sekolah menengah lanjutan pertama, namun hanya pada tahun-tahun
awal saja. Sebagian responden yang sudah duduk di jenjang SLTP dan SLTA
karena keterbatasan biaya, akhirnya memilih tidak melanjutkan sekolah. Hal
tersebut menjelaskan rentang waktu penyelesaian pendidikan formal responden
yang tertinggi hanya 11 tahun (Tabel 15).
Tabel 15. Sebaran responden berdasarkan jumlah tahun mengikuti pendidikan
formal
No.
1.
2.
3.
a
Jumlah tahun bersekolah
Jumlah n (jiwa)
Rendah (0 – 3 tahun)
Sedang (4 – 7 tahun)
Tinggi (8 – 11 tahun)
Jumlah
30
20
5
55
Persentase (%)
54,54
36,36
9,09
100,00
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Dalam pengelolaan Hutan Rakyat, responden juga memperoleh tambahan
pengetahuan dari kursus/pelatihan di bidang pertanian dan kehutanan yang
diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten, Perguruan Tinggi, BPDAS
Citarum-Ciliwung, ataupun dari pemerintah desa setempat.
Pelatihan di bidang Hutan Rakyat, khususnya diselenggarakan pada awal
pembangunan areal permodelan Hutan Rakyat, meliputi kegiatan pelatihan
pembibitan dan penanaman tanaman sengon. Pelatihan tersebut dilaksanakan
dengan disertai praktek langsung di lahan petani. Kegiatan serupa di bidang
penanaman palawija juga pernah dilakukan oleh Instansi BP3K Cibungbulang.
Jenis pelatihan yang lebih berorientasi pada bidang perkebunan banyak
diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang terdekat dengan lokasi penelitian,
yaitu Institut Pertanian Bogor (Tabel 16).
76
76
Berdasarkan
wawancara
mendalam,
responden
merasa
jumlah
penyelenggarakan pelatihan baik di bidang pertanian maupun kehutanan, masih
sangat terbatas. Padahal pelatihan-pelatihan tersebut memberikan manfaat berupa
tambahan informasi dan pengetahuan agar mereka dapat mengolah lahan Hutan
Rakyat dengan lebih baik.
Tabel 16. Pelatihan yang diikuti oleh petani Hutan Rakyat
No.
1
2
3
4
a
Nama pelatihan yang diikuti
Pembibitan dan penanaman pohon Sengon
Penanaman Palawija
Pembuatan Pupuk Cair organik
Pembuatan Jamur Tiram
Penyelenggara
Instansi Kehutanan
BP3K
IPB
IPB
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Dalam kurun waktu tahun 2007 sampai dengan tahun 2012, pelatihan
Hutan Rakyat yang diselenggarakan hanya pada saat pemberian bantuan bibit
areal permodelan Hutan Rakyat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak
72,72 persen responden menyatakan tidak pernah dan/atau hanya 1 (satu) kali
memperoleh pelatihan terkait Hutan Rakyat (Tabel 17). Hal tersebut
menunjukkan masih rendahnya intensitas penyelenggaraan pelatihan terkait
Hutan Rakyat di lokasi penelitian.
Tabel 17. Jumlah pelatihan yang diikuti responden terkait Hutan Rakyat
No.
1
2
3
a
Kursus/pelatihan di bidang
kehutanan yang diikuti petani
Jarang ( < 1 kali)
Sedang (2-3 kali)
Sering ( > 4 kali)
Total
Jumlah n
(jiwa)
40
14
1
55
Persentase (%)
72,72
25,45
1,81
100,00
Sumber : Olahan data primer, 2012
Mata pencaharian utama responden di lokasi penelitian adalah sebagai
petani, baik petani lahan basah maupun sayur-sayuran/palawija. Selain mata
77
pencaharian utama tersebut,
responden juga memiliki pekerjaan sampingan
lainnya yaitu sebagai buruh angkut (mikul), buruh tani, beternak, berdagang,
pengrajin tas, dan usaha ikan hias (Tabel 18). Ragam mata pencaharian
responden menunjukkan bahwa Hutan Rakyat bukan merupakan pilihan satusatunya sumber pendapatan responden.
Tabel 18. Pekerjaan sampingan yang dilakukan responden
Jumlah n
No.
Jenis pekerjaan sampingan
(jiwa)
1.
Tidak punya pekerjaan sampingan
19
2.
Buruh angkut
6
3.
Buruh sawah
6
4.
Berdagang
1
5.
Beternak
6
6.
Budidaya Ikan Hias
5
7.
Pengrajin tas
5
8.
Buruh tani dan Berdagang
4
9.
Budidaya Ikan Hias dan Berternak
3
Jumlah
55
a
Persentase
(%)
34,50
10,90
10,90
1,80
10,90
9,10
9,10
7,30
5,50
100,00
Sumber : Olahan data primer, 2012
Berdasarkan ragam mata pencaharian responden, kategori responden
dapat dipilah kembali berdasarkan jumlah pekerjaan sampingan yang dimilikinya,
yaitu : (1) responden yang tidak memiliki pekerjaan sampingan, (2) responden
yang memiliki 1 (satu) pekerjaan sampingan, dan (3) responden yang memiliki 2
(dua) atau lebih pekerjaan sampingan (Tabel 19).
Tabel 19. Jumlah pekerjaan sampingan responden
No.
1.
2.
3.
a
Jumlah pekerjaan sampingan
Tidak memiliki pekerjaan sampingan
Memiliki satu pekerjaan sampingan
Memiliki dua atau lebih pekerjaan
sampingan
Jumlah
Sumber : Olahan data primer, 2012
Jumlah n
(jiwa)
19
36
7
55
Persentase
(%)
34,5
10,9
10,9
100
78
78
Sebagian besar responden berpandangan bahwa Hutan Rakyat merupakan
tabungan jangka panjang. Pemeliharaan tanaman keras secara intensif dilakukan
sampai pada tahun ketiga. Pada tahun keempat dan seterusnya Hutan Rakyat
relatif
dapat
dibiarkan,
dalam
artian
pemeliharaannya
hanya
sebatas
membersihkan rumput atau tanaman liar dan melakukan penjarangan.
Kemudahan pengelolaan Hutan Rakyat dengan hasil yang cukup menjanjikan
mendorong responden tertarik mengelola Hutan Rakyat di lahannya sendiri.
Berdasarkan gambaran mengenai mata pencaharian petani, maka sumber
pendapatan petani dapat diperoleh dari lahan sawah, lahan Hutan Rakyat, dan
sumber pendapatan sampingan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pendapatan petani di lokasi penelitian tergolong rendah (Tabel 20).
Tabel 20. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendapatan
Jumlah n
No.
Pendapatan petani
(jiwa)
1. Rendah (Rp 410.000 – Rp 1.390.000)
46
2. Sedang (Rp 1.390.100 – Rp 2.370.100)
8
3. Tinggi (Rp 2.370.100 – Rp 3.350.100)
1
Total
55
a
Persentase (%)
83,63
14,55
1,82
100,00
Sumber : Olahan data primer, 2012
Lama petani mengusahakan Hutan Rakyat adalah jumlah tahun sejak
responden terlibat dalam kegiatan Hutan Rakyat dan keikutsertaan pada
pelaksanaan program areal permodelan Hutan Rakyat yang dimulai sejak tahun
2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 52,7 persen responden
sudah mengusahakan Hutan Rakyat selama lebih dari 5 (lima) tahun dan masuk
pada kategori lama. Responden pada kategori ini merupakan responden yang
tergabung dalam areal model pembangunan Hutan Rakyat sejak pertama kali
dilaksanakan pada tahun 2007 (Tabel 21).
Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa sebanyak 41,8 persen
responden baru mengusahakan Hutan Rakyat selama 3 (tiga) sampai 4 (empat)
tahun. Responden dengan lama mengusahakan Hutan Rakyat dalam kategori
79
sedang ini adalah petani Hutan Rakyat yang tergerak untuk ikut secara sukarela
dan swadaya mengusahakan Hutan Rakyat di lahannya, setelah melihat
perkembangan Hutan Rakyat di lahan-lahan petani yang sudah lebih dulu
mengusahakan Hutan Rakyat. Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun
masyarakat sudah mengenal tanaman kayu sebelum program areal model Hutan
Rakyat dilaksanakan, tetapi program tersebut tidak serta dapat langsung diterima
oleh masyarakat.
Tabel 21. Sebaran responden berdasarkan lama mengusahakan Hutan Rakyat
Persentase
No. Lama mengusahakan Hutan Rakyat
Jumlah n (jiwa)
(%)
1. Baru ( < 2 tahun)
3
5,4
2. Sedang (3-4 tahun)
23
41,8
3. Lama (>5 tahun)
29
52,7
Total
55
100,00
a
Sumber : Olahan data primer, 2012
Luas lahan di lokasi penelitian dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori
yaitu luas, sedang, dan sempit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 40
persen responden memiliki lahan dengan luasan pada dalam kategori sempit
(Tabel 22). Berdasarkan wawancara mendalam, keterbatasan luas lahan
merupakan salah satu kendala yang dihadapi responden petani Hutan Rakyat.
Mereka menyatakan apabila mereka memiliki tanah yang lebih luas, maka
mereka akan menanaminya dengan tanaman kayu lebih banyak lagi.
Tabel 22. Sebaran responden berdasarkan kepemilikan luas lahan
No.
Luas Lahan
1. Srata I (Luas) ( > 0,50 Ha)
2. Strata II (Sedang) (0,26 – 0,50 Ha)
3. Strata III (Sempit) (0,01 – 0,25)
Total
a
Sumber : Olahan data primer, 2012
Jumlah n (jiwa)
18
15
22
55
Persentase (%)
32,72
27,27
40,00
100,00
80
80
Penggunaan lahan dengan luasan tersebut terbagi menjadi jenis kebun dan
kebun-sawah. Pada lahan dengan jenis kebun ditanami tanaman keras (kayukayuan) dan tanaman palawija serta buah-buahan, sedangkan pada lahan petani
dengan
jenis
kebun-sawah,
artinya
dalam
waktu
yang
sama,
petani
mengusahakan sawah dan juga tanaman keras (kayu-kayuan), tanaman palawija,
dan buah-buahan di bagian tanahnya yang lain. Dalam istilah setempat, lahan
yang digunakan sebagai kebun disebut tanah kering. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perbandingan antara petani yang hanya mempunyai lahan
kebun dan petani yang mempunyai lahan kebun dan sawah hampir sama, yaitu
sebesar 49,10 persen dan 50,90 persen (Tabel 24).
Tabel 23. Sebaran responden berdasarkan jenis lahan yang dimiliki
No.
1.
2.
a
Luas lahan
Jumlah n (jiwa)
Kebun
Sawah dan Kebun
Total
Persentase (%)
27
28
55
49,10
50,90
100,00
Sumber : Olahan data primer, 2012
Berdasarkan status lahan, sebanyak 45 responden (80,4 persen) memiliki
Hutan Rakyat pada lahan milik. Sisanya dalam jumlah kecil terbagi menjadi
responden yang memiliki Hutan Rakyat pada lahan sewa dan pada lahan garapan
(maro) atau gabungan dari keduanya (Tabel 24).
Tabel 24. Sebaran responden berdasarkan status kepemilikan lahan
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
a
Status kepemilikan lahan
Lahan milik
Lahan sewa
Lahan garapan (maro)
Lahan milik dan sewa
Lahan milik dan garapan
Lahan sewa dan lahan garapan
Jumlah
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Jumlah n (jiwa)
45
3
1
3
2
1
55
Persentase (%)
80,40
5,40
1,80
5,40
3,60
1,80
100,00
81
Pemilik lahan yang menyewakan tanahnya untuk dikelola sebagai Hutan
Rakyat merupakan petani yang memiliki aset lahan cukup luas dan memutuskan
menyewakan tanahnya untuk memperoleh keuntungan dari harga sewa. Biasanya
mereka memiliki pekerjaan lain di luar lahan pertanian atau kehutanan. Hal ini
juga terjadi pada pemilik lahan yang mengolah lahannya dengan sistem maro.
Sistem bagi hasil maro ini dilakukan untuk menekan biaya produksi. Pada lahan
sewa, petani menyewa lahan pada orang lain dengan imbalan sejumlah uang.
Biaya produksi di lahan sepenuhnya menjadi tanggung jawab petani penyewa.
Pada lahan garapan (maro), responden mengolah lahan milik petani lainnya.
Biaya produksi dan hasil penjualan panen dibagi dua (maro) antara pemilik tanah
dan petani penggarap. Bentuk kepemilikan tanah berupa sewa dan maro
disebabkan oleh keterbatasan lahan di lokasi penelitian.
Data pada Tabel 24 menunjukkan bahwa pemilik tanah di lokasi
penelitian, selain mengolah sendiri lahannya dapat menyewakan sebagian
tanahnya pada orang lain atau memilih sistem garapan maro. Terdapat pula
pemilik tanah yang selain menyewakan tanah, juga mengolah lahannya dengan
sistem garapan maro.
Pemilihan jenis oleh responden banyak ditentukan oleh kondisi lahan,
tradisi masyarakat setempat, dan kemudahan penanaman dan pemeliharaannya.
Seluruh petani menanam kayu Sengon, namun ada juga yang mengusahakan kayu
Jati, Afrika, Suren, Mahoni, Jabon, Karet dan Bambu. Responden juga
memanfaatkan lahan Hutan Rakyat dengan pola tanam tumpangsari. Pola
tanam tersebut memungkinkan petani menanam tanaman keras bersama-sama
dan/atau bergiliran dengan tanaman palawija antara lain ketela pohon, ubi jalar,
kacang tanah, empon-empon, cabe, jagung, dan lain sebagainya. Petani menanam
palawija tanaman buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebelum
tanaman kayu-kayuan dapat dipanen. Responden petani Hutan Rakyat juga
menanam tanaman buah. Tanaman buah biasanya ditanam di lahan kebun atau di
pekarangan. Petani memperoleh bibitnya secara tidak sengaja di lahan atau
memperoleh bibit tersebut dari petani lain. Bantuan berupa bibit tanaman buah
82
82
belum pernah diberikan oleh dinas instansi terkait. Hasil buah dari lahan kebun
responden apabila jumlahnya sedikit cukup dikonsumsi sendiri, sedangkan
apabila jumlahnya banyak akan dijual ke pasar (Tabel 25).
Tabel 25. Sebaran responden berdasarkan jenis tanaman yang ditanam di lahan
Hutan Rakyatnya
No
a
Jenis tanaman
Hutan Rakyat
I.
Tanaman Keras
II.
Tanaman
Semusim/
Palawija
III.
Buah-buahan
Nama
pohon/tanaman
Jumlah n
(jiwa)
Sengon
Mahoni
Afrika
Jati
Suren
Jabon
Karet
Bambu
Ketela Pohon
Jagung
Ubi Jalar
Kc. Tanah
Empon2
Cabe
Kc. panjang
Kol
Katuk
Timun
Buncis
Kedelai
Pisang
Kelapa
Rambutan
Nangka
Pepaya
Jambu
Pala
Manggis
Durian
Cempedak
55
14
12
10
7
6
3
5
39
26
25
14
14
12
7
5
4
4
3
2
20
16
12
11
11
6
5
3
1
1
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Persentase
(jiwa)
100,00
25,50
21,80
18,20
12,70
10,90
5,450
9,09
70,90
47,30
45,50
25,50
25,50
21,80
12,70
9,09
7,27
7,27
5,45
3,64
36,40
29,10
21,80
20,00
20,00
10,90
9,09
5,45
1,82
1,82
83
Penanaman tanaman keras, palawija, dan buah-buahan oleh responden
terbagi
menjadi
petani
yang
hanya
menanam
satu
jenis
tanaman
keras/palawija/buah-buahan di lahannya dan petani yang menggabungkan lebih
dari satu tanaman keras/palawija/buah-buahan di lahannya (Tabel 26). Hal
tersebut menunjukkan bahwa responden petani Hutan Rakyat berupaya
memaksimalkan penggunaan dan pemanfaatan lahan Hutan Rakyat. Penanaman
tanaman keras (kayu-kayuan) dimaksudkan untuk kebutuhan jangka panjang,
sedangkan tanaman palawija dan buah-buahan untuk kebutuhan jangka pendek.
Tanaman palawija dan buah-buahan selain dapat dijual juga dapat dimakan untuk
lauk-pauk sehari-hari.
Tabel 26. Sebaran responden berdasarkan jumlah gabungan jenis tanaman yang
ditanam pada lahan Hutan Rakyat.
No.
I.
II.
III.
IV.
a
Jumlah tanaman
yang ditanam di
lahan Hutan Rakyat
Tanaman Keras
0–1
2–3
>3
Jumlah
Tanaman Palawija
0–1
2–3
>3
Jumlah
Tanaman Buah-buahan
0–1
2–3
>3
Jumlah
Gabungan Tanaman
0–3
Keras/ Palawija/Buah4–7
buahan
>7
Jumlah
Kategori Jenis
Tanaman
Jumlah n
(jiwa)
Persentase
(%)
28
20
7
55
14
23
18
55
32
16
7
55
11
28
16
55
50,90
36,40
12,70
100,00
25,50
14,80
32,70
100,00
58,20
29,10
12,70
100,00
20,00
50,90
29,10
100,00
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Motivasi responden mengusahakan Hutan Rakyat adalah alasan yang
melatar belakangi keputusan responden untuk menanam kayu di lahannya.
84
84
Motivasi responden dapat dibagi menjadi motivasi responden menanam tanaman
keras (kayu-kayuan), tanaman palawija, dan menanam tanaman buah-buahan
(Tabel 27).
Tabel 27. Sebaran responden berdasarkan motivasi menanam Hutan Rakyat
Jumlah n
Jenis
(%)
Motivasi MenanamHutan Rakyat
No.
(jiwa)
Tanaman
I. Tanaman
(1) Dijual untuk kebutuhan jangka
40
72,72
Kayu-kayuan
panjang
(2) Dijual untuk menambah
38
69,09
penghasilan
(3) digunakan sendiri untuk
30
54,54
membangun/ memperbaiki
rumah
(4) Mengikuti tradisi setempat
24
43,63
menanam kayu sengon
(5) Memanfaatkan lahan kosong
18
32,72
(6) Dijual untuk keperluan anak
16
29,09
sekolah
(7) Simpanan untuk kebutuhan
14
24,45
mendadak
(8) Tertarik pada program
7
12,72
penghijauan pemerintah
II. Tanaman
(1) Dijual untuk membeli
48
87,27
Semusim
kebutuhan sehari-hari sebelum
(Palawija)
panen sengon
(2) Dikonsumsi sendiri
28
50,90
(3) Dijual untuk menambah
14
25,45
penghasilan
III. Tanaman
(1) Dikonsumsi sendiri
43
78,18
Buah(2) Dijual untuk menambah
27
49,09
penghasilan
buahan
(3) Dijual untuk membeli
15
27,27
kebutuhan sehari-hari sebelum
panen sengon
a
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 72,72 responden
menyatakan bahwa hasil kayu Hutan Rakyat merupakan tabungan masa depan
Penanaman kayu di lahan Hutan Rakyat memerlukan rentang waktu yang cukup
85
panjang sebelum siap panen. Kayu Sengon rata-rata dapat ditebang dengan
diameter kayu yang memadai setelah umur 7 (tujuh) tahun. Oleh karena itu kayu
sengon dipandang merupakan investasi jangka panjang yang menguntungkan.
Tanaman kayu Sengon merupakan salah satu jaminan sumber pendapatan petani
yang dapat dijual sewaktu-waktu apabila petani memerlukannya. Petani Hutan
Rakyat dengan motivasi menanam kayu sebagai tabungan masa depan biasanya
akan menjual tanaman kayunya pada saat kayu sudah cukup umur untuk
ditebang. Namun demikian sebanyak responden 69,09 persen berpendapat bahwa
hasil kayu dari Hutan Rakyat merupakan simpanan apabila ada kebutuhan
mendadak.
Berdasarkan wawancara mendalam, responden dengan motivasi demikian
lebih mudah menebang kayu dari lahannya apabila membutuhan tambahan
pendapatan walaupun kayu belum mencapai diameter yang cukup. Penanaman di
lahan Hutan Rakyat untuk tanaman palawija menunjukkan sebaran terbesar
sebanyak 87,29 persen pada pengelompokan jawaban yang sama, yaitu dijual
untuk membeli kebutuhan sehari-hari sebelum panen sengon.
Penanaman tanaman palawija seperti misalnya ketela pohon, ubi, emponempon dan tanaman lainnya di lahan Hutan Rakyat merupakan penopang
kebutuhan hidup petani Hutan Rakyat sebelum pohon Sengon dapat ditebang dan
dijual. Selanjutnya sebanyak 78,18 responden petani Hutan Rakyat menyatakan
menanam tanaman buah-buahan di lahan Hutan Rakyatnya untuk dikonsumsi
sendiri. Hal tersebut terkait dengan luas kepemilikan lahan yang relatif kecil
sehingga tidak terdapat lahan yang cukup untuk menanam tanaman buah-buahan
pada skala yang lebih besar.
Motivasi responden petani Hutan Rakyat terbagi menjadi responden
petani Hutan Rakyat dengan motivasi tinggi, motivasi sedang, dan motivasi
rendah (Tabel 28). Responden petani Hutan Rakyat yang memiliki motivasi
tinggi adalah petani yang secara bersungguh-sungguh mengelola Hutan Rakyat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden petani Hutan Rakyat memiliki
motivasi mengelola Hutan Rakyat termasuk dalam kategori sedang.
86
86
Tabel 28. Sebaran responden berdasarkan tingkat motivasi petani mengelola
Hutan Rakyat
Tingkat motivasi petani mengelola
Jumlah n (jiwa) Persentase (%)
No.
Hutan Rakyat
1.
Rendah (skor : < 10)
1
1,83
2.
Sedang (skor : 10-15)
29
52,72
3.
Tinggi (skor : < 15)
25
45,45
Jumlah
55
100,00
a
Sumber : Diolah dari Data Lapangan, 2012
Gambaran
motivasi
responden
petani
mengelola
Hutan
Rakyat
menunjukkan bahwa motivasi petani Hutan Rakyat menanam tanaman keras,
tanaman palawija dan tanaman buah-buahan di lahan Hutan Rakyat
dilatarbelakangi motivasi ekonomi, yaitu sebagai sebagai tabungan (saving)
untuk jangka panjang dan sebagai sumber pendapatan sehari-hari untuk jangka
pendek.
6.2 Kompetensi Personal Sumber Belajar
Menurut Spencer dan Spencer (1993) kompetensi adalah karakteristik
dasar seseorang yang ada hubungan sebab-akibat dengan prestasi kerja yang luar
biasa atau dengan efektivitas kerja. Karakteristik dasar tersebut meliputi motif,
sifat, konsep diri, pengetahuan dan keterampilan. Menurut Parulian dan Thoha
(2008) mengacu pada Miller, Rankin dan Neathey (2001), kompetensi
didefinisikan sebagai gambaran tentang apa yang harus diketahui atau dilakukan
seseorang agar dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Kompetensi
sumber belajar yang dimaksud pada bagian ini adalah pengetahuan dan
keterampilan yang dimiliki sumber belajar dalam mengelola Hutan Rakyat dilihat
berdasarkan tiga aspek yaitu penguasaan informasi/pengetahuan terkait Hutan
Rakyat, kemampuan melakukan komunikasi dengan petani Hutan Rakyat, dan
kemampuan menjadi teladan/panutan.
87
6.2.1 Personal Sumber Belajar
Hutan Rakyat merupakan inovasi baru bagi petani Hutan Rakyat di lokasi
penelitian yang memuat teknologi baru mengelola tanaman keras dengan
menggabungkan tanaman semusim (palawija) dan tanaman buah-buahan.
Responden yang semula hanya bercocok tanam padi basah dan sayur-mayur
kemudian harus belajar mengusahakan tanaman keras dan kayu-kayuan. Petani
memperoleh pengetahuan dan mengenai pengelolaan Hutan Rakyat dari berbagai
sumber belajar. Berdasarkan hasil penelitian, persepsi petani mengenai individu
yang menjadi personal sumber belajar dalam pengelolaan Hutan Rakyat cukup
beragam (Tabel 29).
Tabel 29. Sebaran persepsi responden mengenai personal sumber belajar
Jumlah n Persentase
No.
Sumber Belajar
(jiwa)
(%)
1. Ketua Kelompok Tani
27
49,09
2. Penyuluh kehutanan dan Ketua Kelompok tani
12
21,81
3. Ketua Kelompok Tani dan rekan sesama
5
9,09
anggota kelompok tani yang lebih
berpengalaman
4. Penyuluh Kehutanan
4
7,27
5. Penyuluh kehutanan, Ketua Kelompok tani,
3
5,45
dan rekan sesama anggota kelompok tani yang
lebih berpengalaman
6. Rekan sesama anggota kelompok tani yang
2
3,64
lebih berpengalaman
7. Penyuluh kehutanan dan rekan sesama anggota
2
3,64
kelompok tani yang lebih berpengalaman
Jumlah
55
100,00
a
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Personal sumber belajar dalam persepsi responden antara lain adalah
penyuluh kehutanan, ketua kelompok tani, dan rekan sesama anggota kelompok
tani. Persepsi masyarakat mengenai sumber belajar dapat berbeda-beda terikat
pengaruh sumber belajar tersebut terhadap tambahan pengetahuan dan
keterampilan pengelolaan Hutan Rakyat. Namun demikian, hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebanyak 49,09 persen responden petani Hutan Rakyat
88
88
menyatakan bahwa sosok ketua kelompok tani merupakan sumber belajar yang
dianggap penting bagi responden petani Hutan Rakyat. Personel sumber belajar
responden petani Hutan Rakyat tidak hanya sebagai sosok yang mampu
memberikan tambahan keahlian dan keterampilan, namun juga memiliki sikapsikap pemimpin, seperti mengayomi dan dapat menjadi panutan.
Ancok (2012) menyatakan bahwa inovasi adalah suatu proses memikirkan
dan mengimplementasikan suatu pemikiran, sehingga menghasilkan hal baru.
Inovasi adalah suatu bentuk perubahan dari sesuatu hal, baik yang bersifat
inkremental (sedikit demi sedikit), maupun perubahan yang radikal. Pengertian
mengenai inovasi tersebut sejalan dengan pernyataan Rogers dan Shoemaker
(1971) bahwa inovasi adalah ide, praktik atau obyek yang dipandang baru oleh
seseorang. Hal baru dalam inovasi tidak hanya dimaknai sebagai pengetahuan
baru. Sebuah inovasi dapat sudah diketahui oleh individu selama beberapa waktu,
namun individu yang bersangkutan belum mambangun reaksi atau perilakunya,
baik menerima atau menolak ide, praktik maupun obyek baru tersebut. Di lokasi
penelitian, responden petani Hutan Rakyat sudah lama mengenal tanaman keras
semisal kayu sengon, Jati, atau Afrika, yang penanamannya di lahan milik
digabungkan dengan tanaman palawija atau tanaman semusim lainnya. Hal
tersebut menjadi sesuatu yang baru ketika Hutan Rakyat dikelola dalam bentuk
model percontohan yang menerapkan teknologi terbaru dan membutuhkan
partisipasi petani Hutan Rakyat dalam pengelolaannya.
Ancok (2012) mengemukakan bahwa beberapa pakar di bidang inovasi
beranggapan bahwa perilaku inovatif terdiri atas dua tahapan, yaitu tahapan
pemunculan
gagasan
(initiation)
dan
tahapan
implementasi
gagasan
(implementation). Hal tersebut menjelaskan bahwa inovasi tidak dapat dilepaskan
dari aspek kepemimpinan. Ketua kelompok tani, penyuluh kehutanan, dan kepala
desaberada dalam lingkaran kepemimpinan pada sistem sosial masyarakat. Orang
yang dianut, orang yang menjadi teladan, dan orang yang ditiru perilakunya. Hal
tersebut menjelaskan persepsi responden petani Hutan Rakyat mengenai sumber
89
belajarnya yang lebih banyak adalah ketua kelompok tani dibandingkan dengan
rekan sesama responden petani Hutan Rakyat.
Rekan sesama responden petani Hutan Rakyat atau dapat disebut sebagai
rekan sebaya (peer group) juga memiliki nilai penting dalam pembelajaran Hutan
Rakyat. Berdasarkan wawancara mendalam apabila rekan sesama responden
dipilih, maka rekan responden tersebut dianggap lebih pandai dan memiliki
keterampilan lebih dibandingkan dengan responden petani Hutan Rakyat.
6.2.2 Penguasaan Informasi/Pengetahuan terkait Hutan Rakyat
Sumber belajar atau pendamping belajar responden petani Hutan Rakyat
dapat memiliki tingkat penguasaan informasi/pengetahuan yang saling berbeda
mengenai pengelolaan Hutan Rakyat. Ketika personal sumber belajar dapat
memberikan pemahaman informasi dan memberikan keterampilan yang memadai
terhadap responden maka responden berpendapat bahwa sumber belajar memiliki
kompetensi yang tinggi, demikian pula sebaliknya.
Tabel 30. Persepsi responden terhadap penguasaan informasi/pengetahuan sumber
belajar mengenai Hutan Rakyat
Jenis informasi/pengetahuan yang dikuasai sumber belajar
1. Mengetahui jenis-jenis tanaman kayu (sengon/mahoni/jati/
suren)
2. Mengetahui informasi/ pengetahuan terbaru mengenai
Hutan Rakyat
3. Mengetahui cara penanaman, pemeliharaan, dan
pemanenan kayu Hutan Rakyat
4. Mengetahui jenis-jenis hama penyakit tanaman kayu dan
cara mengatasinya
5. Memahamikebijakan/aturan pengelolaan Hutan Rakyat
6. Mengetahui cara berorganisasi melalui kelompok tani
7. Mengetahui cara pemasaran kayu Hutan Rakyat
a
Ya (%)
47 (85,50)
42 (76,40)
38 (69,10)
10 (18,20)
9 (16,40)
7 (12,80)
6 (10,90)
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Penguasaan informasi atau pengetahuan mengenai Hutan Rakyat meliputi
penguasaan informasi/pengetahuan mengenai jenis-jenis tanaman Hutan Rakyat,
90
90
jenis-jenis hama penyakit dan cara mengatasinya, tahapan produksi yang harus
dilakukan, dan aturan/kebijakan pengelolaan Hutan Rakyat yang berlaku saat ini.
Penguasaan informasi atau pengetahuan berhubungan dengan alih pengetahuan
(tranfer knowledge).
Tingkat penguasaan materi atau informasi personel sumber belajar
mengenai Hutan Rakyat terbagi menjadi responden petani Hutan Rakyat dengan
kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
personal sumber belajar memiliki kemampuan penguasaan materi atau informasi
yang tergolong sedang (Tabel 31).
Tabel 31. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan
penguasaan informasi/pengetahuan personal belajar mengenai Hutan
Rakyat
No.
Tingkat kemampuan penguasaan
Jumlah n
Persentase
informasi/pengetahuan personal
(jiwa)
(%)
sumber belajar
1. Rendah (skor : < 14)
19
34,55
2. Sedang (skor : 14-21)
36
65,45
3. Tinggi (skor : < 21)
0
0,00
Jumlah
55
100,00
a
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Kemampuan melakukan komunikasi memegang peranan penting dalam
proses pembelajaran petani. Menurut (Leeuwis 2009) komunikasi merupakan
proses di mana orang bertukar arti. Penekanan aspek komunikasi pada
penyuluhan menandakan pergeseran dari fokus pendidikan menjadi fokus
pembelajaran. Seorang sumber belajar yang terlibat dalam pembelajaran
pengelolaan Hutan Rakyat harus mampu menciptakan komunikasi yang baik
antara dirinya dan petani-petani Hutan Rakyat agar informasi/pengetahuan dapat
tersampaikan sesuai sasaran yang diharapkan. Kemampuan komunikasi sumber
belajar diukur berdasarkan kemampuan menciptakan dialog dua arah,
menghidupkan suasana diskusi, menyampaikan pesan dengan baik, dan mampu
mendorong petani mencoba atau menerapkan cara baru di lahannya. Hasil
91
penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 72,70 persen responden menyatakan
sumber belajar sudah mampu menciptakan dialog dua arah atau timbal-balik dan
sebanyak 67,70 responden mampu menghidupkan suasana diskusi (Tabel 32).
Tabel 32. Persepsi responden terhadap kemampuan komunikasi personal sumber
belajar dalam kegiatan penyuluhan kehutanan
Kemampuan komunikasi pendamping belajar
1.
2.
3.
4.
5.
a
Mampu menciptakan dialog dua arah dengan petani
Mampu menghidupkan suasana diskusi
Maksud/pesan sumber belajar mudah diterima petani
Mampu mendorong petani mencoba cara baru di lahan
Mampu mendorong petani menerapkan cara baru di lahan
Ya (%)
40 (72,70)
37 (67,30)
36 (65,40)
29 (52,70)
27 (49,10)
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Tingkat kemampuan berkomunikasi personal sumber belajar terbagi
menjadi kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa personal sumber belajar memiliki kemampuan berkomunikasi dalam
kategori sedang (Tabel 33).
Tabel 33. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan
berkomunikasi personal belajar
Tingkat kemampuan berkomunikasi
Jumlah n
Persentase
No.
personal sumber belajar
(jiwa)
(%)
1.
Rendah (skor : < 10)
1
1,82
2.
Sedang (skor : 10-15)
48
87,30
6
10,90
3.
Tinggi (skor : < 15)
Jumlah
55
100,00
a
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Salah satu kemampuan penting lainnya yang harus dimiliki oleh sumber
belajar dalam proses pembelajaran petani adalah kemampuan untuk menjadi
teladan/panutan. Kemampuan sumber belajar untuk menjadi teladan/panutan
didasarkan antara lain disiplin diri, menjadi contoh dalam bersikap, perilaku
positif, sifat pemimpin, mudah bekerjasama, mampu memotivasi petani, dan arif
dalam mengambil keputusan (Tabel 34).
92
92
Tabel 34. Persepsi responden terhadap kemampuan personal sumber belajar
menjadi panutan dalam kegiatan penyuluhan kehutanan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
a
Kemampuan personal sumber belajar
menjadi teladan/panutan
Memiliki disiplin diri yang tinggi
Menjadi contoh dalam bersikap dan berprilaku positif
Memiliki sifat kepemimpinan
Mudah bekerjasama dengan petani dan pihak-pihak
lainnya
Mampu memotivasi petani memiliki semangat belajar
dan bekerja yang tinggi
Kearifan dalam mengambil keputusan
Ya (%)
47 (85,40)
44 (80,00)
43 (78,20)
39 (70,90)
37 (67,30)
31 (56,40)
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik petani di lokasi
penelitian yang masih membutuhkan kepemimpinan dalam melakukan suatu
kegiatan atau usaha. Personal sumber belajar yang terlibat dalam pembelajaran
pengelolaan Hutan Rakyat dan memiliki kemampuan menjadi teladan/panutan
bagi petani Hutan Rakyat akan lebih mudah menyampaikan dan menyebarkan
pengetahuan/informasi baru. Kemampuan sumber belajar memimpin pelaksanaan
kegiatan dengan muatan inovasi baru kepada petani dapat dipandang telah
mendorong penyelenggaraan proses pembelajaran sosial yang akan menyebabkan
terjadinya perubahan perilaku petani. Berdasarkan wawancara mendalam,
responden menyatakan bahwa personal sumber belajar adalah individu yang
memiliki kedudukan sosial yang baik di masyarakat dan memegang peranan
penting dalam kehidupan bermasyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka.
Tabel 35. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan
menjadi teladan/panutan personal belajar
Tingkat kemampuan berkomunikasi
Jumlah n
Persentase
No.
personal sumber belajar
(jiwa)
(%)
1.
Rendah (skor : < 12)
0
0,00
2.
Sedang (skor : 12-18)
46
83,64
3.
Tinggi (skor : > 18)
9
16,36
Jumlah
55
100,00
a
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
93
Tingkat kemampuan personal sumber belajar menjadi teladan atau panutan
terbagi menjadi kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa personal sumber belajar memiliki kemampuan menjadi
teladan atau panutan yang tergolong sedang (Tabel 35).
6.3 Kegiatan Penyuluhan
6.3.1 Pemahaman mengenai Tujuan Kegiatan Penyuluhan
Kegiatan penyuluhan kehutanan terkait Hutan Rakyat diselenggarakan
dengan tujuan berupa tercapainya peningkatan pengetahuan dan keterampilan
petani
mengenai
dasar-dasar
pengembangan
Hutan
Rakyat
dengan
memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Kegiatan penyuluhan
kehutanan
dapat
secara
efektif
mencapai
sasarannya
apabila
tujuan
penyelenggaraan kegiatan penyuluhan kehutanan dipahami dengan baik oleh
masing-masing anggota kelompok tani.
Kegiatan penyuluhan kehutanan bernilai penting ketika petani memahami
bahwa tujuan kegiatan penyuluhan kehutanan yang dilaksanakan dapat
memenuhi kebutuhannya dalam pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat. Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
tujuan
kegiatan
penyuluhan
kehutanan
berdasarkan persepsi petanicukup beragam. Responden petani Hutan Rakyat
memiliki persepsi positif mengenai tujuan kegiatan penyuluhan (Tabel 36).
Tujuan-tujuan, harapan-harapan atas hasil, nilai-nilai, dan efikasi-diri
menurut
Schunk (2012) sangat penting pengaruhnya terhadap pembelajaran.
Sebuah tujuan mencerminkan maksud seseorang dan mengacu pada kuantitas,
kualitas atau nilai praktik. Penentuan tujuan merupakan penetapan standar atau
arah pencapaian yang menjadi target dari tindakan seseorang. Tindakan
seseorang dalam hal ini diarahkan oleh kebutuhan yang dirasakannya. Dalam
konteks pengelolaan Hutan Rakyat, kebutuhan petani adalah memperoleh
pengetahuan dan keterampilan yang lebih memadai untuk mengelola Hutan
Rakyat. Pemahaman mengenai tujuan kegiatan penyuluhan menjadi penting bagi
petani untuk menentukan apakah kegiatan tersebut dapat membantu memenuhi
94
94
kebutuhannya terhadap tambahan pengetahuan dan keterampilan mengelola
Hutan Rakyatnya.
Tabel 36. Persepsi responden terhadap pemahaman tujuan kegiatan penyuluhan
Tujuan kegiatan Penyuluhan
1. Sarana mendiskusikan masalah petani di lahan dengan
penyuluh kehutanan/ketua kelompok tani, dan petani lainnya
2. Meningkatkan pengetahuan/keterampilan petani mengelola
Hutan Rakyat
3. Menyebarkan perkembangan terbaru mengenai kayu rakyat
4. Wadah silahturahmi antar sesama petani Hutan Rakyat
5. Kegiatan kelompok tani yang harus diikuti petani
a
Ya (%)
44 (80,00)
44 (80,00)
43 (78,10)
20 (36,40)
42 (76,40)
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Tingkat pemahaman terhadap tujuan kegiatan penyuluhan terbagi menjadi
tinggi, sedang, dan rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
pemahaman tujuan kegiatan penyuluhan responden petani Hutan Rakyat
tergolong sedang (Tabel 37).
Tabel 37. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat pemahaman
tujuan kegiatan penyuluhan
Tingkat kemampuan berkomunikasi
Jumlah n
Persentase
No.
personal sumber belajar
(jiwa)
(%)
1. Rendah (skor : < 12)
9
16,36
2. Sedang (skor : 12-18)
27
49,10
3. Tinggi (skor : > 18)
19
34,54
Jumlah
55
100,00
a
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
6.3.2 Materi Penyuluhan
Mosher (1966) mengemukakan bahwa mengolah lahan bukanlah sekedar
kegiatan bertani untuk menghasilkan suatu produk, tetapi merupakan suatu sistem
produksi yang memadukan unsur-unsur manusia, modal, tenaga kerja, sumber
daya alam, kelembagaan, dan didukung oleh sarana serta prasarana yang
95
memadai. Oleh karena itu pokok bahasan yang perlu disampaikan pendamping
belajar kepada petani Hutan Rakyat harus mencakup banyak hal, baik yang
berkaitan langsung dengan kegiatan pengelolaan di lahan, pengelolaan rumah
tangga petani, kelembagaan kelompok tani, maupun program Hutan Rakyat
secara keseluruhan. Materi penyuluhan merupakan segala pesan yang ingin
dikomunikasikan oleh seorang penyuluh kepada masyarakat sasarannya. Pesan
yang disampaikan harus bersifat informatif, persuasif, penghiburan, dan sekaligus
inovatif yang mampu mendorong perubahan sehingga terjadi perbaikan mutu
kualitas kehidupan masyarakat sasaran.
Materi penyuluhan dalam kegiatan penyuluhan kehutanan di lokasi
penelitian tidak diberikan dalam bentuk pengajaran di kelas. Materi penyuluhan
biasanya diberikan di saung tempat pertemuan kelompok tani di lahan dan
lebihbanyak bersifat lisan, yaitu berupa : (1) informasi/pengetahuan mengenai
pembibitan kayu sengon, cara penanaman, pemeliharaan terhadap hama/penyakit,
dan (2) pengalaman dari petani yang sudah berhasil mengelola lahannya atau dari
pihak-pihak lain yang lebih dulu terlibat dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
Bentuk lisan materi penyuluhan disampaikan dalam bentuk diskusi ataupun
ceramah dalam pertemuan kelompok tani.
Materi
penyuluhan
meliputi
informasi/pengetahuan terkait Hutan Rakyat yang perlu disampaikan kepada
petani sebagian besar disampaikan melalui praktik langsung di lahan. Pada
kegiatan pembibitan di awal pembuatan Hutan Rakyat, responden petani Hutan
Rakyat mempelajari langkah-langkah pembuatan bibit tanaman kayu Sengon
dengan langsung terlibat pada kegiatan pembibitan Hutan Rakyat yang
diselenggarakan kelompok tani.
Kelompok tani hanya beberapa kali mendapat bantuan berupa brosur,
leaflet dan majalah dari instansi penyuluhan maupun UPT Kehutanan setempat,
sehingga
materi
penyuluhan
jumlahnya
sangat
terbatas.
Pencapaian
pengembangan Hutan Rakyat di lokasi penelitian saat ini ditentukan oleh kualitas
materi penyuluhan yang diterima oleh masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa responden petani Hutan Rakyat memiliki persepsi positif terhadap kualitas
96
96
materi penyuluhan. Sebanyak 81,8 persen responden menyatakan bahwa materi
penyuluhan memberi informasi/pengetahuan mengenai cara menanam kayu dan
tanaman sela sesuai aturan yang ditetapkan di kehutanan dan 76,4 persen lainnya
menyatakan bahwa materi penyuluhan dapat menjadi panduan memecahkan
masalah hama/penyakit di lahan Hutan Rakyat. Sedangkan sisanya menyatakan
bahwa bahasa mudah dimengerti, petunjuk dapat langsung dipraktekkan dilahan,
dan sesuai dengan kebiasaan masyarakat adalah sebanyak 72,7 persen (Tabel 38).
Tabel 38. Persepsi responden terhadap materi penyuluhan kehutanan
Materi penyuluhan kehutanan
1. Memberi informasi/pengetahuan mengenai cara menanam
kayu dan tanaman sela sesuai aturan yang ditetapkan di
kehutanan
2. Bisa menjadi panduan memecahkan masalah hama/penyakit
di lahan Hutan Rakyat
3. Disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti
4. Petunjuk menanam bisa langsung dipraktekkan di lahan
5. Memberi petunjuk cara bercocok tanam yang disesuaikan
dengan budaya/ kebiasaan masyarakat setempat
a
Ya (%)
45 (81,80)
42 (76,40)
40 (72,70)
40 (72,70)
40 (72,70)
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Kategori materi penyuluhan terbagi menjadi kurang berkualitas, cukup
berkualitas, dan berkualitas baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas
materi penyuluhan menurut persepsi responden petani Hutan Rakyat tergolong
berkualitas baik (Tabel 39).
Tabel 39. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap kualitas materi
penyuluhan
Jumlah n
Persentase
No.
Kualitas materi penyuluhan
(jiwa)
(%)
1 Kurang berkualitas (skor : < 12)
7
12,72
2 Cukup berkualitas (skor : 12-18)
20
36,38
3 Berkualitas baik (skor : > 18)
28
50,90
Jumlah
55
100,00
a
Sumber : Olahan data primer, 2012
97
Berdasarkan wawancara mendalam, responden beranggapan bahwa materi
penyuluhan yang digunakan saat ini mendukung responden memperoleh
tambahan pengetahuan mengenai pengelolaan Hutan Rakyat melalui kegiatan
penyuluhan kehutanan dan proses pembelajaran Hutan Rakyat dalam kelompok
tani.
6.3.3 Metode Penyuluhan
Metode penyuluhan kehutanan dalam pengelolaan Hutan Rakyat adalah
cara-cara yang digunakan oleh pendamping belajar untuk mengoptimalkan
pembelajaran petani mengenai pengelolaan Hutan Rakyat. Efektifitas hasil
belajar salah satunya ditentukan oleh metode penyuluhan yang digunakan.
Persepsi responden petani Hutan Rakyat terhadap kualitas metode penyuluhan
adalah berdasarkan bentuk pertemuan petani dan sumber belajar, demonstrasi dan
pelatihan, serta media pembelajaran yang digunakan (Tabel 40).
Tabel 40. Persepsi responden terhadap kualitas metode penyuluhan kehutanan
Metode Penyuluhan
1. Sumber belajar berkunjung ke rumah petani
2. Sumber belajar berkunjung ke lahan Hutan Rakyat
3. Petani mendengarkan ceramah dari penyuluh
kehutanan/ketua kelompok tani di pertemuan kelompok tani
4. Petani saling berdiskusi di pertemuan kelompok tani
5. Petani memperoleh tambahan pengetahuan/keterampilan
dari sesama petani (Getok Tular)
6. Petani berdiskusi dengan petani lainnya di waktu senggang
7. Pendamping belajar membuat demplot penanaman kayu
Hutan Rakyat (demonstrasi hasil)
8. Sumber belajar mencontohkan cara pembibitan, pemupukan,
atau jarak tanam di lahan (demonstrasi cara)
9. Sumber belajar memfasilitasi petani mengikuti pelatihan
terkait Hutan Rakyat
10. Petani memperoleh brosur/leaflet/majalah/surat kabar
terkait Hutan Rakyat
11. Sumber belajar menggunakan media audiovideo/radio/televisi dalam pembelajaran Hutan Rakyat
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Ya (%)
14 (25,50)
41 (74,50)
44 (80,00)
47 (85,40)
42 (76,40)
46 (83,70)
44 (80,00)
39 (70,90)
12 (21,80)
15 (27,30)
13 (23,60)
98
98
Kegiatan penyuluhan kehutanan terkait Hutan Rakyat di lokasi penelitian
biasanya dilakukan di saung yang terletak di areal Hutan Rakyat. Jadwal
pertemuan terbagi menjadi jadwal rutin dan jadwal yang disesuaikan dengan
kebutuhan kelompok tani, yaitu misalnya apabila ada perkembangan terbaru yang
perlu dikomunikasikan oleh ketua kelompok tani atau penyuluh kehutanan
kepada para petani Hutan Rakyat. Bangunan saung tersebut sebenarnya sudah
kurang layak dijadikan tempat pertemuan, namun demikian bagi para responden
petani Hutan Rakyat kondisi bangunan tempat pertemuan tersebut sudah cukup
memadai, dikarenakan posisinya yang strategis di areal tempat mereka bekerja.
Ketua Kelompok tani atau penyuluh kehutanan, selain mengadakan
pertemuan secara berkala dengan responden petani Hutan Rakyat di saung, juga
secara teratur berkunjung ke masing-masing lahan Hutan Rakyat secara
bergiliran. Penyebaran informasi baru dalam kelompok tani paling efektif
dilakukan melalui cara dari mulut ke mulut (getok tular), baik dilakukan oleh
ketua kelompok tani dengan petani maupun antara petani dan petani. Hal itu juga
berlaku untuk pelaksanaan kegiatan produksi Hutan Rakyat, undangan untuk
pertemuan kelompok tani dilakukan dari mulut ke mulut tanpa undangan tertulis.
Pada awal pembangunan Hutan Rakyat, tidak semua anggota kelompok
tani Saluyu II tertarik mengikuti program Hutan Rakyat di areal permodelan
Hutan Rakyat, dikarenakan Hutan Rakyat bagi sebagian anggota kelompok tani
memuat cara-cara baru dalam bercocok-tanam yang memiliki bentuk berbeda
dengan pertanian lahan basah yang lebih dulu mereka lakukan. Ketertarikan
petani terhadap Hutan Rakyat dibangun ketika ketua kelompok tani memelopori
pembangunan Hutan Rakyat di petak lahan miliknya yang terletak di areal
permodelan Hutan Rakyat. Pertumbuhan kayu sengon yang cepat dan
penanganan yang mudah dengan peluang penjualan yang menjanjikan,
mendorong anggota kelompok tani tertarik ikut mengusahakan Hutan Rakyat,
dengan menggabungkan penanaman tanaman keras, tanaman semusim, termasuk
buah-buahan di lahan miliknya. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan
oleh Lionberger and Gwin (1982) bahwa sebelum individu mengadopsi
99
pengetahuan atau teknologi baru, terdapat tahapan berupa kesadaran (awareness),
merasa tertarik (Interest), mengevaluasi (Evaluation), mencoba (trial) dan
terakhir mengadopsi (Adoption).
Berdasarkan wawancara mendalam, sebelum responden memutuskan
mengusahakan Hutan Rakyat di lahan miliknya, mereka terlebih dahulu merasa
tertarik dengan perkembangan Hutan Rakyat di petak penanaman yang dirintis
oleh Ketua kelompok tani sekaligus dengan potensi keuntungan yang dapat
diperoleh. Setelah melalui berbagai pertimbangan mengenai kemampuan
sumberdaya yang dimiliki, petani mulai mencoba menanam kayu sengon di
lahannya, sebelum akhirnya responden petani Hutan Rakyat memutuskan
mengadopsi pengelolaan lahan dengan pola Hutan Rakyat pada skala yang lebih
besar. Pada tahapan mengadopsi tersebut terjadi proses pembelajaran dalam diri
petani mengenai pengelolaan Hutan Rakyat.
Pelatihan terkait Hutan Rakyat hanya diberikan pada awal pembangunan
areal permodelan Hutan Rakyat, yaitu pelatihan mengenai cara pembibitan dan
penanaman kayu Sengon. Pelatihan tersebut diikuti hampir seluruh responden
petani Hutan Rakyat karena sifatnya untuk mempersiapkan petani terlibat dalam
pembangunan areal permodelan Hutan Rakyat. Pelatihan tersebut tidak diikuti
dengan pelatihan di bidang Kehutanan lainnya secara berkelanjutan. Apabila
terdapat pelatihan di bidang kehutanan lainnya biasanya hanya diikuti oleh ketua
kelompok tani yang akan menyebarkan hasil pelatihan atau pameran kehutanan
kepada anggota kelompok tani lainnya. Ketua kelompok tani terkadang juga
mengajak wakilnya atau beberapa anggota kelompok tani lainnya yang tergolong
senior
mengikuti
kegiatan
pelatihan
atau
pameran
kehutanan.Hal
itu
menunjukkan bahwa kesempatan tiap-tiap petani Hutan Rakyat mengikuti
pelatihan atau pameran kehutanan masih sangat terbatas.
Penggunaan
media
pembelajaran
berdasarkan
wawancara
dan
pengamatan lapangan dapat dikategorikan masih sangat minim. Bantuan berupa
buku-buku, brosur/leaflet, dan majalah/surat kabar sangat jarang diperoleh.
Bantuan diberikan kepada kelompok dan bukan kepada masing-masing anggota
100
100
kelompok
tani.
Sebagian
besar
bantuan
diberikan
hanya
pada
awal
pengembangan Hutan Rakyat. Pembelajaran petani Hutan Rakyat juga tidak
menggunakan media elektronik seperti media radio atau televisi. Kualitas metode
penyuluhan terbagi menjadi kategori tinggi, sedang, dan rendah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kualitas metode penyuluhan tergolong sedang Tabel 41).
Tabel 41. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap kualitas metode
penyuluhan
Jumlah n
Persentase (%)
No.
Kualitas metode penyuluhan
(jiwa)
1
Rendah (skor : < 22)
2
3,64
2
Sedang (skor : 22-33)
49
89,09
3
Tinggi (skor : >33)
4
7,27
Jumlah
55
100,00
a
Sumber : Diolah dari, 2012
6.3.4 Sarana dan Prasarana Penunjang Kegiatan Penyuluhan
Persepsi mengenai kualitas sarana dan prasarana kegiatan penyuluhan
mengandung pengertian mengenai efektivitas sarana dan prasarana penunjang
kegiatan penyuluhan yang membantu responden memperoleh tambahan
informasi/pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
Pengelolaan Hutan Rakyat merupakan suatu proses pembelajaran bagi responden
petani Hutan Rakyat. Sarana dan prasarana kegiatan penyuluhan meliputi
ketersediaan media pembelajaran dan efektifitasnya memberikan tambahan
informasi dan pengetahuan bagi responden petani Hutan Rakyat.
Media pembelajaran menurut Gerlach & Ely (1971) dalam Arsyad (2011)
dapat dipahami bahwa secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian
yang membangun kondisi yang membuat pembelajar mampu memperoleh
pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Arsyad (1997) secara implisit
mengemukakan bahwa media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik
digunakan untuk menyampaikan isi materi pembelajaran, yaitu buku, tape
recorder, kaset, video camera, video recorder, film, slide (bingkai), foto, gambar,
grafik, televisi, dan komputer.
101
Arsyad (1997) mengemukakan pula bahwa media pembelajaran yang
digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat berpengaruh terhadap efektivitas
pembelajaran. Efektivitas pembelajaran dapat dilihat dari adanya tambahan
pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan Hutan Rakyat yang
diperolehresponden melalui penggunaan media pembelajaran yang tersedia di
lokasi penelitian (Tabel 42).
Tabel 42. Persentase persepsi responden terhadap ketersediaan sarana dan
prasarana penunjang kegiatan Penyuluhan Kehutanan
1.
2.
3.
4.
a
Sarana dan Prasarana Penunjang Kegiatan Penyuluhan
Ya (%)
Tempat pertemuan/kegiatan
Alat bantu papan tulis
Buku panduan teknis/juknis terkait Hutan Rakyat
Brosur/leaflet/majalah/surat kabar terkait Hutan Rakyat
41 (74,60)
41 (74,60)
25 (45,50)
12 (21,80)
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Berdasarkan pengamatan dan wawancara di lapangan,
ketersediaan
sarana dan prasarana kegiatan penyuluhan masih sangat terbatas. Kegiatan
penyuluhan kehutanan yang diselenggarakan oleh kelompok tani dilaksanakan di
saung yang terletak di lahan Hutan Rakyat dengan kondisi yang sudah
memerlukan perbaikan. Namun demikian, kondisi tersebut dapat diterima oleh
responden petani Hutan Rakyat karena letaknya yang berdekatan dengan lahan
milik petani, sehingga petani tidak perlu membuang waktu pergi ke tempat
pertemuan yang berjauhan. Apabila membutuhkan tempat yang lebih luas,
kelompok tani akan menyelenggarakan kegiatan penyuluhan di bangunan gedung
yang pada pagi hari digunakan sebagai sekolah untuk Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD), tempat tersebut menjadi alternatif berkumpulnya anggota kelompok tani
Saluyu II untuk menyelenggarakan kegiatan penyuluhan dan rapat rutin diantara
para anggota. Alat bantu berupa papan tulis (whiteboard) hanya terdapat di
rumah kelompok tani, yang digunakan apabila diperlukan. Di ruangan tersebut
juga disimpan buku-buku dan brosur terkait Hutan Rakyat untuk dibaca oleh
anggota kelompok tani. Sejak tahun 2008, responden hanya sekali memperoleh
102
102
bantuan berupa pemberian leaflet/brosur terkait Hutan Rakyat. Jumlah bantuan
yang terbatas menjadikan leaflet/brosur hanya dapat dibaca oleh responden secara
bergiliran, bahkan beberapa responden menyatakan tidak tahu-menahu tentang
adanya bantuan tersebut. Ketersediaan leaflet/brosur terkait Hutan Rakyat tidak
selalu diperbaharui oleh kelompok tani melalui pembelian dikarenakan
keterbatasan biaya.
Kegiatan penyuluhan kehutanan tidak menggunakan alat bantu elektronik
berupa komputer untuk membantu pembelajaran petani. Kualitas metode
penyuluhan terbagi menjadi kategori tinggi, sedang, dan rendah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kualitas sarana dan prasarana penunjang kegiatan
penyuluhan tergolong sedang (Tabel 43).
Tabel 43. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap kualitas sarana dan
prasana penunjang kegiatan penyuluhan
Tingkat kemampuan berkomunikasi
Jumlah n
Persentase
No.
personal sumber belajar
(jiwa)
(%)
1 Rendah (skor : < 8)
3
5,45
2 Sedang (skor : 8-12)
45
81,82
3 Tinggi (skor : > 12)
7
12.73
Jumlah
55
100,00
a
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
6.4. Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat
Kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat adalah kelompok tani Hutan
Rakyat. Kelompok tani Hutan Rakyat berfungsi sebagai wadah bagi para petani
untuk menyalurkan aspirasinya dan bertugas melaksanakan kegiatan-kegiatan di
lapangan yang dikerjakan secara berkelompok. Keberadaan kelompok tani Hutan
Rakyat membantu petani Hutan Rakyat dapat berkomunikasi dengan sesama
petani Hutan Rakyat lainnya dan juga pihak-pihak lain untuk dapat
menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi sebagai petani.
103
6.4.1 Pola Hubungan Kerja dalam Kelompok Tani
Pola hubungan kerja dalam kelompok tani Hutan Rakyat adalah
berdasarkan kesepakatan bersama melalui musyarawah di antara anggotanya.
Pola hubungan kerja dalam kelompok tani masih diwarnai nilai-nilai gotongroyong diantara seluruh anggotanya. Selain nilai-nilai gotong-royong petani, di
dalam kelompok tani terdapat aturan-aturan tidak tertulis yang sepakat dipatuhi
bersama oleh para anggotanya. Kepatuhan anggota kelompok tani terhadap
aturan yang berlaku terkait erat dengan fakta bahwa keputusan bergabung
menjadi anggota kelompok tani Hutan Rakyat dilakukan dengan kesadaran untuk
mengikuti aturan yang berlaku dalam kelompok tani tersebut. Berdasarkan
wawancara mendalam, responden tidak memperoleh sosialisasi yang cukup
mengenai aturan-aturan yang harus dipatuhi sebagai anggota kelompok tani dan
hanya mengikuti kebiasaan yang sudah berlaku sebelumnya. Pola hubungan
kerja dalam kelompok tani Hutan Rakyat diukur berdasarkan frekuensi
pelaksanakan kegiatan berdasarkan musyawarah, terdapat aturan kerja yang
disepakati bersama, dan kerjasama yanga di antara anggota kelompok tani (Tabel
44).
Kelembagaan kelompok tani Hutan Rakyat dapat berjalan dengan baik,
apabila dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai. Sarana dan
prasarana Kelompok tani Hutan Rakyat Saluyu II secara formal sudah memiliki
Ketua
kelompok,
sekretaris,
dan
bendahara.
Namun
demikian
dalam
kesehariannya susunan pengurus kelompok tani belum sepenuhnya dipahami
petani. Pengurus kelompok tani bagi responden identik dengan ketua kelompok.
Kelompok tani belum mendokumentasikan secara tertulis aturan yang
berlaku di kelompok tani dalam bentuk AD/ART. Kelompok tani belum memiliki
sub-sub bidang kerja yang mempermudah pelaksanaan kegiatan Hutan Rakyat.
Namun demikian kelompok tani secara teratur menyelenggarakan pertemuan
kelompok tani Hutan Rakyat terutama membahas perkembangan terbaru dan
rencana kegiatan di lahan.
104
104
Tabel 44. Persepsi responden terhadap pola hubungan kerja antar anggota dalam
kelompok tani Hutan Rakyat
Pola hubungan kerja
1. Pelaksanaan kegiatan berdasarkan musyawarah
2. Terdapat aturan kerja yang disepakati bersama
3. Kerjasama yang baik di antara anggota kelompok tani
a
b
Sering (%)b
46 (83,60)
45 (81,80)
38 (69,10)
Sumber : Olahan data primer, 2012
Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan
Kualitas pola hubungan kerja antar anggota kelompok dalam kelompok
tani Hutan Rakyat terbagi menjadi kategori tidak terikat pada aturan kerja yang
berlaku, longgar terhadap aturan kerja yang berlaku, dan sangat terikat pada
aturan kerja yang berlaku (Tabel 45).
Tabel 45. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap pola hubungan kerja
antar anggota dalam kelompok tani Hutan Rakyat
No Tingkat kemampuan berkomunikasi personal
Jumlah n
Persentase
.
sumber belajar
(jiwa)
(%)
1 Tidak terikat terhadap aturan kerja yang
0
0,00
berlaku (skor : <6)
2 Longgar terhadap aturan kerja yang berlaku
41
74,55
(skor : 6-9)
3 Terikat pada aturan kerja yang berlaku
14
25,55
(skor : >9)
Jumlah
55
100,00
a
Sumber : Diolah dari, 2012
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola hubungan kerja antar anggota
dalam kelompok tani Hutan Rakyat tergolong longgar terhadap aturan kerja yang
berlaku dalam kelompok tani Hutan Rakyat.
6.4.2 Pengorganisasian Kegiatan Produksi
Pengorganisasian kegiatan produksi di kelompok tani adalah berdasarkan
adanya musyawarah untuk memperoleh kata sepakat dari para anggota kelompok
tani dan koordinasi yang dilakukan kelompok tani. Kelompok tani sebagai
105
kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat belum mengembangkan mekanisme
pengembangan kapasitas secara sistematis bagi anggotanya. Pengembangan
kapasitas tersebut antara lain adalah pelatihan-pelatihan di bidang Hutan Rakyat
yang difasilitasi oleh kelompok tani. Hal tersebut kiranya berkaitan dengan
keterbatasan anggaran dan akses dari kelompok tani yang bersangkutan.
Pengorganisasian kegiatan produksi yang berjalan di kelompok tani saat
ini pada dasarnya bertumpu pada aspek kesepakatan atau musyawarah dan peran
ketua kelompok tani untuk mengkoordinasikan anggotanya.Kelompok tani belum
memfasilitasi kegiatan pemasaran kayu-kayu hasil Hutan Rakyat, terutama
dikarenakan keterbatasan akses terhadap aspek pemasaran (Tabel 46).
Tabel 46. Persepsi responden terhadap pengorganisasian kegiatan produksi dalam
kelompok tani Hutan Rakyat
Pengorganisasian kegiatan produksi
1. Kesepakatan anggota tentang pembagian kerja
2. Kegiatan kelompok tani berjalan berdasarkan instruksi
Ketua Kelompok tani
3. Musyawarah terkait rencana kegiatan kelompok
4. Penunjukan anggota yang bertanggung jawab
5. Mekanisme koordinasi diantara anggota kelompok
6. Fasilitasi pemasaran kayu oleh kelompok tani
7. Fasilitasi pelatihan kehutanan oleh kelompok tani
a
b
Sering (%) b
43 (78,2)
42 (76,4)
41 (74,5)
40 (72,7)
34 (61,8)
10 (18,2)
6 (10,9)
Sumber : Olahan data primer, 2012
Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan
Selain itu, produksi kayu yang dapat dipanen masih cukup belum
memadai. Berdasarkan kondisi kelompok tani Hutan Rakyat saat ini, kelompok
tani masih belum menerapkan prinsip-prinsip organisasi modern. Kelompok tani
Hutan Rakyat Saluyu II berada dalam masa transisi tradisional menjadi modern.
Pengorganisasian kegiatan produksi terbagi menjadi kategori tidak ada
pembagian kerja, ada pembagian kerja tetapi tidak berkesinambungan, dan ada
pembagian kerja yang jelas dan berkesinambungan (Tabel 47). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengorganisasian kegiatan produksi Hutan Rakyat termasuk
dalam kategori ada pembagian kerja tetapi belum berkesinambungan. Hal
106
106
tersebut sejalan dengan pengamatan di lapangan, bahwa di antara anggota
kelompok tani sudah terdapat pembagian kerja namun dalam pelaksanaannya
belum sangat mengikat.
Tabel 47. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap pengorganisasian
kegiatan produksi Hutan Rakyat
Jumlah n
Persentase
No.
Pengorganisasian kegiatan produksi
(jiwa)
(%)
1. Tidak ada pembagian kerja (skor : <14)
1
1,82
2. Ada pembagian kerja tetapi tidak
52
94,54
berkesinambungan (skor : 14-21)
3. Ada pembagian kerja yang jelas dan
2
3,64
berkesinambungan (skor : > 21)
Jumlah
55
100,00
a
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
6.4.3 Norma sosial dalam Kelompok Tani
Aturan-aturan tidak tertulis di dalam kelompok tani yang dipatuhi oleh
anggota kelompok secara tidak langsung mengatur hubungan kerja dan
hubungan-hubungan sosial yang terjadi didalamnya. Seperti halnya nilai-nilai
gotong-royong, musyawarah, dan hal-hal yang dilarang dilakukan dalam
kelompok tani (Tabel 48).
Tabel 48. Persepsi responden terhadap norma sosial dalam kelompok tani
Hutan Rakyat
Norma sosial dalam kelompok tani
1. Terdapat aturan tidak tertulis yang disepakati bersama
2. Sanksi sosial terhadap pelanggaran anggota
3. Kepatuhan anggota terhadap aturan tidak tertulis
a
b
Sering (%) b
48 (87,30)
42 (76,30)
40 (72,70)
Sumber : Olahan data primer, 2012
Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan
Pelanggaran terhadap larangan kelompok tersebut akan diberikan sanksi
sebagai hukuman (punisment). Pemberian sanksi berupa teguran sampai sanksi
berupa tidak dilibatkan dalam kegiatan kelompok merupakan salah satu
mekanisme
untuk
menjaga
keterikatan
anggota
kelompoknya
terhadap
107
kelembagaan kelompok tani. Ikatan norma sosial kelompok tani menjaga
solidaritas dan kemapanan kelompok. Norma sosial yang mengikat anggota
kelompok tani Hutan Rakyat terbagi menjadi kategori tidak mengikat, cukup
mengikat, dan sangat mengikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa norma
sosial dalam kelompok tani Hutan Rakyat termasuk dalam kategori mengikat
anggota kelompoknya (Tabel 49).
Tabel 49. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap norma sosial dalam
kelompok tani Hutan Rakyat
Jumlah n
Persentase
No.
Norma sosial dalam kelompok
(jiwa)
(%)
1 Tidak mengikat (skor : <6)
0
0,00
2 Mengikat (skor : 6-9)
47
85,45
3 Sangat mengikat (skor : >9)
8
14,55
Jumlah
55
100,00
a
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
6.4.4 Hutan Rakyat dan Keterlibatan Multipihak
Penyelenggaraan kegiatan Hutan Rakyat dalam konteks kelembagaan
Hutan Rakyat melibatkan parapihak. Peranan kelembagaan sangat besar
pengaruhnya terhadap keberhasilan pengembangan Hutan Rakyat (Tabel 50).
Tabel 50. Persepsi responden mengenai instansi/lembaga/unit usaha yang
mendukung penyelenggaraan Hutan Rakyat
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
a
Instansi/lembaga/unit
usaha
Dinas Kehutanan
Kabupaten
BPDAS Citarum-Ciliwung
BP4K/BP3K Ciampea
GAPOKTAN
Pemerintah Desa
LSM
Unit Perbankan
Industri pemasaran kayu
Sumber : Olahan data primer, 2012
0
5
%
9,09
11
6
8
4
53
55
55
20
10,9
14,54
7,27
96,36
100
100
Jumlah N=55
Frekuensi kegiatan (bulan)
>6
%
3-6
%
1-3
8
14,5
39
70,9
3
36
38
35
12
2
-
65,45
69,09
63,63
21,81
3,63
-
4
8
8
35
-
7,27
14,5
14,5
63,6
-
4
3
3
4
-
%
5,45
7,27
5,45
5,45
7,27
-
108
108
Kelembagaan Hutan Rakyat berkaitan dengan campur tangan pemerintah
dalam proses berkembangnya Hutan Rakyat di Indonesia. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa frekuensi kegiatan yang diselenggarakan oleh instansi
terkait dalam menyelenggarakan kegiatan penyuluhan Hutan Rakyat masih
rendah. Tabel 50 menunjukkan bahwa unit perbankan dan industri pemasaran
kayu belum masuk dalam skema pengelolaan Hutan Rakyat. Beberapa studi19
menunjukkan bahwa aspek pemasaran dalam pengelolaan Hutan Rakyat
menempati peran yang penting.
6.5 Hubungan Interpersonal
Hubungan interpersonal atau relasi antarpribadi menurut Pearson (1983)
adalah hubungan yang terdiri dari dua orang atau lebih yang saling terikat satu
sama lain dan menggunakan pola interaksi yang konsisten. Hubungan
interpersonal mengandung adanya proses interaksi di antara personal atau pribadi
yang terlibat di dalam hubungan tersebut. Interaksi merupakan hubungan timbal
balik, yang saling berpengaruh satu sama lain. Interaksi yang terjadi antara
individu dengan individu lainnya disebut interaksi sosial. Interaksi sosial adalah
hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan
kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Interaksi sosial merupakan proses
komunikasi di antara individu untuk saling mempengaruhi perasaan, pikiran, dan
tindakan. Proses komunikasi yang terjadi dalam hubungan interpersonal disebut
komunikasi interpersonal.
Mosher (1966) mengemukakan bahwa petani lebih dari sekedar seorang
petani dan seorang manajer. Petani adalah individu mandiri sekaligusmerupakan
anggota dari keluarganya dan anggota masyarakat dimana ia tinggal. Hubungan
interpersonal petani merupakan terjadinya proses interaksi antara petani dengan
keluarganya, petani dengan kelompok masyarakat di lingkungan kerjanya dan
kelompok masyarakat di lingkungan sosialnya. Oleh karena itu hubungan
interpersonal petani Hutan Rakyat mengandung pengertian terjadinya interaksi
19
Hutan Rakyat di Kab. Wonogiri, Kab. Gunung Kidul, dan Konawe Selatan
109
antara petani Hutan Rakyat dengan keluarganya, petani Hutan Rakyat dengan
pendamping belajarnya, dan petani dengan masyarakat.
6.5.1
Interaksi Petani dan Keluarganya dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Keluarga
merupakan
bagian
terkecil dari
masyarakat di mana
keluarga berhubungan dengan masyarakat atau lingkungannya. Petani Hutan
Rakyat tidak dapat dipisahkan keterkaitannya dari keluarga yang melingkupinya.
Di dalam keluarga terdapat individu-individu yang saling berinteraksi satu sama
lain. Komunikasi antarpribadi antara petani dan anggota keluarganya adalah
bentuk interaksi yang terjadi di dalam keluarga petani Hutan Rakyat. De Vito
(1976) mengemukakan bahwa komunikasi antarpribadi mengandung lima
karakteristik yaitu keterbukaan, empati, dukungan, perasaan positif dan
kesamaan. Dalam konteks pengelolaan Hutan Rakyat, salah satu bentuk interaksi
di dalam rumah tangga petani Hutan Rakyat adalah dukungan anggota keluarga
terhadap petani dalam mengelola Hutan Rakyat. Berdasarkan tabel 51, sebanyak
43,63 persen responden menyatakan bahwa anggota keluarga yang memberikan
dukungan mengelola Hutan Rakyat adalah istri dan anak. Hal tersebut
menunjukkan bahwa dukungan paling besar yang diterima responden petani
Hutan Rakyat adalah berasal dari keluarga inti, yaitu istri dan anak.
Tabel 51. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap anggota keluarga
yang mendukung pengelolaan Hutan Rakyat
Jumlah n
No.
Anggota Keluarga
Persentase (%)
(jiwa)
1. Istri dan anak
24
43,63
2. Istri
15
27,27
3. Anak
4
7,27
4. Suami
3
5,45
5. Kerabat jauh
3
5,45
4. Tidak ada
3
5,45
6. Istri, anak, dan kerabat jauh
2
3,63
7. Mertua
1
1,81
Jumlah
55
100,00
a
Sumber : Olahan data primer, 2012
110
110
Mosher (1966) mengemukakan bahwa petani adalah individu yang
memutuskan apa yang akan diusahakan atau akan ditanam berikut cara
pengelolaannya di lahan milik. Namun demikian keputusan petani tersebut pada
dasarnya adalah keputusan keluarga (family decision) dikarenakan banyak
kegiatan produksi dalam Hutan Rakyat yang ikut dilakukan oleh anggota
keluarga lainnya. Keputusan petani mengelola Hutan Rakyat diikuti implikasi
berupa dukungan keluarga dalam bentuk dukungan semangat, tenaga kerja,
bantuan uang, dan saran/teknis pengelolaan Hutan Rakyat.
Bentuk sikap positif keluarga terhadap pengembangan Hutan Rakyat
meliputi persetujuan atau dorongan terhadap responden untuk mengikuti program
Hutan Rakyat. Dukungan tersebut dapat pula berupa bantuan dari anggota
keluarga untuk membantu mengerjakan kegiatan produksi di lahan Hutan Rakyat.
Anggota keluarga juga dapat memberikan saran/masukan budidaya Hutan Rakyat
apabila anggota keluarga yang bersangkutan lebih berpengalaman dan memiliki
informasi yang diperlukan. Selain itu dukungan anggota keluarga juga dapat
berupa pinjaman modal atau informasi mengenai penyediaan sarana produksi
bagi responden, misalnya penyediaan pupuk, benih/bibit, dan perangkat bercocok
tanam.
Tabel 52. Persepsi responden terhadap jenis dukungan anggota
pengelolaan Hutan Rakyat
Dukungan anggota keluarga dalam
pengelolaan Hutan Rakyat
1. Keluarga memberikan bantuan sebagai tenaga kerja
2. Keluarga memberikan persetujuan mengelola usahatani
Hutan Rakyat
3. Keluarga beranggapan hutan rakyat bermanfaat dan
menguntungan di masa depan
4. Keluarga memberikan modal (hibah/pinjaman uang)
5. Keluarga memberikan sarana/masukan teknis lapangan
6. Keluarga memberikan informasi penyediaan saprodi
a
b
Sumber : Olahan data primer, 2012
Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan
keluarga dalam
Sering (%)b
48 (87,30)
43 (96,40)
40 (90,90)
20 (36,30)
13 (23,70)
12 (21,90)
111
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis dukungan dari anggota
keluarga terhadap keputusan responden untuk mengelola Hutan Rakyat cukup
beragam. Sebanyak 96,4 persen dan 90,9 persen responden menyatakan bahwa
jenis dukungan yang diterima anggota keluarga berupa sikap positif terhadap
pengelolaan Hutan Rakyat dan bantuan tenaga kerja.
Sikap positif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persetujuan lisan
atau dorongan dari anggota keluarga untuk mengelola Hutan Rakyat. Sikap
positif tersebut merupakan bagian keputusan rumah tangga petani untuk
mengelola Hutan Rakyat, yang dikuti dengan dukungan dalam bentuk
penggunaan tenaga kerja dari anggota keluarga pada kegiatan produksi di lahan
sebagai bentuk dukungan lain yang diberikan anggota keluarga kepada responden
petani Hutan Rakyat.
Berdasarkan wawancara mendalam dan pengamatan lapangan, responden
petani Hutan Rakyat banyak melibatkan anggota keluarga inti, yaitu suami/istri,
anak laki-laki, menantu laki-laki dalam kegiatan produksi Hutan Rakyat. Bentuk
keterlibatan tersebut banyak ditemuka terutama pada lahan-lahan milik Hutan
Rakyat dengan luasan sempit (< 0,5 Ha). Biaya produksi diminimalkan dengan
cara menggunakan tenaga dari anggota keluarga. Pada lahan Hutan Rakyat yang
cukup luas (> 3 Ha) banyak ditemukan tenaga kerja yang berasal dari kerabat
jauh dan bukan berasal dari keluarga inti.
Mosher (1966) menggarisbawahi bahwa sebagian besar keputusan terkait
kegiatan bercocok-tanam di lahan masih
berada di tangan petani, namun
keputusan tersebut diambil berdasarkan posisinya sebagai anggota keluarga, apa
yang menurutnya dapat ia lakukan untuk anggota keluarga yang lain, dan
pengaruh dari anggota keluarga lainnya. Keterikatan terhadap hasil produksi
membuat anggota keluarga petani mendorong petani memutuskan sesuatu terkait
kegiatan produksi di lahan termasuk mengadopsi cara-cara baru yang dapat
menjamin hasil produksi di lahan yang mereka miliki.
Dalam pelaksanaan Hutan Rakyat, kuat tidaknya dukungan keluarga
terhadap keterlibatan responden dalam Hutan Rakyat berhubungan dengan
112
112
keputusan responden petani Hutan Rakyat sebagai keputusan keluarga.
Keberhasilan pembelajaran mengenai pengelolaan Hutan Rakyat di lahan milik
dengan menggabungkan tanaman keras dan tanaman semusim (palawija) bagi
responden petani Hutan Rakyat ikut ditentukan oleh dukungan keluarga. Tingkat
dukungan keluarga petani terhadap petani Hutan Rakyat dalam pengelolaan
Hutan Rakyat terbagi menjadi kategori kurang mendukung, cukup mendukung,
dan sangat mendukung (Tabel 53).
Tabel 53. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat dukungan
keluarga petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat
No.
1
2
3
a
Tingkat Dukungan Keluarga terhadap
Petani Hutan Rakyat
Kurang mendukung (skor : <12)
Cukup mendukung (skor : 12-18)
Sangat mendukung (skor : >18)
Jumlah
Jumlah n
(jiwa)
3
47
5
55
Persentase
(%)
5,45
85,45
9,10
100,00
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat dukungan keluarga terhadap
keputusan petani mengelola Hutan Rakyat termasuk dalam kategori cukup
mendukung.
6.5.2
Interaksi Petani dan Personal Sumber Belajar dalam Pengelolaan
Hutan Rakyat
Sumber belajar adalah semua sumber, baik berupa data, orang, dan wujud
tertentu yang dapat digunakan oleh siswa dalam belajar, pengertian sumber
belajar dalam penelitian ini adalah pendamping belajar petani Hutan Rakyat yang
membantu pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat. Berdasarkan paparan hasil
penelitian pada sub bab 6.2.1, personal sumber belajar bagi responden petani
Hutan Rakyat adalah ketua kelompok tani, penyuluh kehutanan, dan sesama
anggota kelompok tani lainnya. Banyak pihak yang terlibat dalam pengelolaan
Hutan Rakyat, sehingga pada hakikatnya responden petani Hutan Rakyat dapat
melakukan interaksi pembelajar dan personal pendamping belajar dengan pihak-
113
pihak yang sudah lebih berpengalaman dan lebih dahulu terlibat dalam
pengelolaan Hutan Rakyat.
Tabel 54. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap personal sumber
belajar yang mendukung pengelolaan Hutan Rakyat
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
a
Personal sumber belajar yang mendukung
pengelolaan Hutan Rakyat
Ketua Kelompok Tani
Penyuluh Kehutanan dan Ketua Kelompok Tani
Rekan sesama anggota kelompok tani yang lebih
berpengalaman dan Ketua Kelompok Tani
Rekan sesama anggota kelompok tani yang lebih
berpengalaman
Penyuluh Kehutanan, rekan sesama anggota
kelompok tani, Ketua kelompok tani
Penyuluh Kehutanan dan rekan sesama anggota
kelompok tani
Jumlah
Jumlah n
(jiwa)
28
12
10
Persentase
(%)
50,90
21,80
18,20
2
3,60
2
3,60
1
1,80
55
100,00
Sumber : Olahan data primer, 2012
Personal sumber belajar melakukan interaksi dengan responden petani
Hutan Rakyat dalam hubungan kerja di lahan sekaligus dalam pembelajaran
pengelolaan Hutan Rakyat. Dukungan sumber belajar mengandung hubungan
timbal balik antara responden petani dan sumber belajarnya yang memberi
manfaat terhadap pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebanyak 50,9 persen responden menyatakan bahwa ketua
kelompok tani adalah individu sumber belajar yang mampu memberikan
tambahan pengetahuan dan keterampilan pengelolaan Hutan Rakyat. Selanjutnya
sebanyak 21,8 responden menyatakan bahwa sumber belajar adalah ketua
kelompok tani dan Penyuluh Kehutanan, sedangkan sebanyak 18,20 persen
menyatakan sumber belajar adalah ketua kelompok tani dan rekan sesama
anggota kelompok tani yang lebih berpengalaman. Sisanya adalah masing-masing
atau kombinasi gabungan ketiga personal sumber belajar.
Dukungan personal sumber belajar responden petani Hutan Rakyat diukur
berdasarkan perannya dalam mendorong responden petani mengelola Hutan
114
114
Rakyat, memberikan saran/masukan teknis lapangan, memfasilitasi kegiatan
kelompok tani, dan menyediakan informasi yang diperlukan mengenai sarana
produksi dan pemasaran Hutan Rakyat. Komunikasi antarpribadi antara personal
sumber belajar dan responden petani Hutan Rakyat sebagai pembelajar
merupakan bentuk interaksiantara pendamping belajar dan responden petani
Hutan Rakyat.
Tabel 55. Persepsi responden terhadap jenis dukungan personal sumber belajar
dalam pengelolaan Hutan Rakyat
Seringb
(%)
Dukungan pendamping belajar dalam
pengelolaan Hutan Rakyat
1.
2.
3.
4.
Dorongan mengembangkan Hutan Rakyat
Memfasilitasi kegiatan kelompok tani terkait hutan rakyat
Memberikan sarana/masukan teknis lapangan
Anggapan Hutan Rakyat bermanfaat dan menguntungkan
di masa depan
5. Memberikan informasi penyedia saprodi
6. Memberikan informasi pemasaran
a
b
44 (80,00)
39 (70,90)
37 (67,20)
35 (63,70)
20 (36,40)
19 (34,60)
Sumber : Olahan data primer, 2012
Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan
Tingkat dukungan personal sumber belajar terhadap petani Hutan Rakyat
dalam pengelolaan Hutan Rakyat terbagi menjadi kategori kurang mendukung,
cukup mendukung, dan sangat mendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tingkat dukungan keluarga petani terhadap petani Hutan Rakyat dalam
pengelolaan Hutan Rakyat termasuk dalam kategori cukup mendukung.
Tabel 56. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat dukungan
personel sumber belajar dalam pengelolaan Hutan Rakyat
No.
1
2
3
a
Tingkat dukungan personal sumber
belajar terhadap petani Hutan Rakyat
Kurang mendukung (skor : <12)
Cukup mendukung (skor : 12-18)
Sangat mendukung (skor : > 18)
Jumlah
Sumber : Diolah dari data primer, 2012
Jumlah n
(jiwa)
1
51
3
55
Persentase
(%)
1,82
92,73
5,45
100,00
115
6.5.3
Interaksi Petani dengan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan
Rakyat
Petani Hutan Rakyat sebagai makhluk sosial dalam kehidupan
bermasyarakat, tidak dapat dilepaskan dari lingkungan masyarakat lokal di
sekitarnya. Petani berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya, yaitu tetangga
di lingkungan tempat tinggalnya, ketua RT/RW setempat, kepala desa ataupun
aparat desa lainnya. Mosher (1966) mengemukakan bahwa perilaku petani
ditentukan oleh interaksi dan perilaku masyarakat di lingkungan tempat
tinggalnya. Hal tersebut terkait dengan kebutuhan mengenai keterjaminan
(security) bahwa interaksi yang dilakukan dengan masyarakat setempat akan
menjamin penerimaan anggota masyarakat terhadap diri petani.
Keberlangsungan program pengelolaan hutan yang dikembangkan di
suatu daerah harus memperhatikan tradisi/kebiasaan yang berlaku dan
memperoleh dukungan dari masyarakat setempat. Berdasarkan hasil penelitian,
sebanyak 47,3 persen responden menyatakan bahwa anggota masyarakat yang
mendukung pengelolaan Hutan Rakyat adalah gabungan antara tetangga dan
Ketua RT/RW setempat. Tetangga yang dimaksud pada penelitian ini adalah
anggota masyarakat yang tinggal berdekatan atau tinggal di sekitar tempat tinggal
responden. Tetangga dapat memiliki lahan Hutan Rakyat atau memiliki mata
pencaharian lain. Apabila sedang tidak ada anggota keluarga yang dapat
membantu di lahan, responden petani Hutan Rakyat akan meminta bantuan
tetangga terdekat yang menguasai pekerjaan yang perlu dilakukan di lahan. Peran
Ketua RT/RW lebih kepada memberikan dukungan terkait fasilitasi pelaksanaan
kegiatan Hutan Rakyat di daerahnya, antara lain pelaksanaan kegiatan
penyuluhan kehutanan maupun rapat-rapat kelompok tani. Ketua RT/RW ikut
menginformasikan kegiatan-kegiatan kelompok tani kepada responden petani
Hutan Rakyat yang menjadi warganya.
116
116
Tabel 57. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap dukungan anggota
masyarakat dalam pengelolaan Hutan Rakyat
No.
1.
2.
3.
4.
5.
a
Anggota Masyarakat yang Memberikan
Dukungan Pengembangan Hutan Rakyat
Tetangga dan Ketua RT/RW
Ketua RT/RW dan Kepala Desa/Aparat Desa
Ketua RT/RW
Tetangga
Kepala Desa/Aparat Desa
Jumlah
Jumlah n
(jiwa)
26
10
8
6
5
55
Persentase
(%)
47,30
18,18
14,54
10,90
9,10
100,00
Sumber : Olahan data primer, 2012
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa persentase responden mengenai
dukungan Kepala Desa/Aparat desa setempat tergolong rendah. Hal tersebut
menunjukkan bahwa responden tidak merasa memperoleh dukungan secara
maksimal dari Kepala Desa/Aparat desa setempat dalam pembelajaran
pengelolaan Hutan Rakyat. Berdasarkan wawancara mendalam, Kepala
Desa/Aparat Desa setempat hanya terlibat secara intensif di lahan pada saat
program Hutan Rakyat baru dimulai. Selebihnya pengelolaan Hutan Rakyat lebih
banyak dilakukan tanpa pembinaan dari Kepala Desa setempat.
Tabel 58. Persepsi responden terhadap jenis dukungan anggota masyarakat
dalam pengelolaan Hutan Rakyat
Dukungan anggota masyarakat dalam pengelolaan
Sering (%)b
Hutan Rakyat
1. Masyarakat mendorong mengembangkan Hutan Rakyat
38 (69,10)
di lahan
2. Masyarakat beranggapan hutan rakyat bermanfaat dan
40 (72,70)
menguntungkan di masa depan
3. Masyarakat memberikan saran/masukan teknis lapangan
26 (47,30)
4. Masyarakat memfasilitasi kegiatan kelompok tani
34 (61,80)
Hutan Rakyat
5. Masyarakat memberikan informasi penyedia saprodi
25 (45,40)
6. Masyarakat memberikan informasi pemasaran
23 (41,80)
a
b
Sumber : Olahan data primer, 2012
Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan
117
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 72,7 persen responden
memperoleh dukungan dalam bentuk adanya anggapan dari masyarakat mengenai
manfaat Hutan Rakyat di masa mendatang. Persepsi positif tersebut merupakan
bentuk dukungan yang penting bagi responden dan dapat mendorong fasilitasi
oleh anggota masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan Hutan Rakyat.
Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa jumlah persentase
responden sebanyak 47,3 persen, berupa dukungan dalam bentuk saran/masukan
mengenai cara bercocok tanam lebih kepada upaya berbagi pengetahuan
mengenai kebiasaan-kebiasaan lokal masyarakat mengenai cara-cara bercocok
tanam kayu rakyat. Responden sebanyak 45,4 persen dan 41,8 persen menyatakan
mendapat dukungan dari masyarakat dalam bentuk pemberian informasi sarana
produksi dan pemasaran kayu rakyat.
Tingkat dukungan masyarakat terhadap responden dalam pengelolaan
Hutan Rakyat terbagi menjadi kategori kurang mendukung, cukup mendukung,
dan sangat mendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat dukungan
masyarakat terhadap petani Hutan Rakyat dalam pengelolaan Hutan Rakyat
termasuk dalam kategori cukup mendukung.
Tabel 59. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat dukungan
personel sumber belajar dalam pengelolaan Hutan Rakyat
No.
1.
2.
3.
a
Tingkat dukungan personal sumber
belajar terhadap petani Hutan Rakyat
Kurang mendukung (skor : <12)
Cukup mendukung (skor : 12-18)
Sangat mendukung (skor : > 18)
Jumlah
Jumlah n
(jiwa)
5
41
9
55
Persentase
(%)
9,09
74,54
16,36
100,00
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Menurut Hidayat (2012) salah satu prasyarat komunikasi interpersonal
dapat berjalan efektifadalah adanya kesamaan persepsi. Ketidaksamaan persepsi
mengenai dukungan masyarakat terhadap petani Hutan Rakyat pada kedua belah
pihak menjadi kendala terjalinnya komunikasi antarpribadi yang dapat
118
118
mendorong upaya pembelajaran responden untuk mengelola Hutan Rakyat.
Ketidaksamaan persepsi dapat merupakan akibat dari kurangnya sosialisasi
mengenai Hutan Rakyat terhadap anggota masyarakat.
6.6 Kemampuan Anggota Kelompok Tani
6.6.1
Kemampuan Perencanaan Kegiatan Hutan Rakyat
Kualitas pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat ditentukan oleh
kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan disekitarnya.
Masyarakat dalam konteks pengelolaan Hutan Rakyat biasanya tergabung dalam
kelompok-kelompok tani. Kelompok tani memfasilitasi pembelajaran kelompok
dalam pengelolaan Hutan Rakyat dalam rangka membangun kemampuan anggota
kelompok tani pada tingkat tertentu. Berdasarkan studi yang dilakukan,
kemampuan terdiri dari pengetahuan, keterampilan dan sikap individu.
Kemampuan anggota kelompok tani dalam mengelola Hutan Rakyat
adalah kecakapan anggota kelompok tani meliputi aspek pengetahuan (cognitive
domain/knowledge), aspek keterampilan (psychomotoric domain/skill), dan aspek
sikap (affective domain/attitude) dalam melaksanakan serangkaian kegiatan
pengelolaan
Hutan Rakyat secara efektif. Kemampuan petani merencanakan
kegiatan produksi dalam pengelolaan Hutan Rakyat adalah sekumpulan
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki petani untuk memahami dan
melaksanakan proses menentukan rencana dalam kegiatan Hutan Rakyat.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara mendalam, responden sudah melakukan
kegiatan perencanaan dalam pengelolaan Hutan Rakyat, walaupun belum
sepenuhnya mencakup keseluruhan kegiatan. Perencanaan kegiatan yang
dimaksud adalah rencana atau persiapan yang dilakukan responden sebelum
kegiatan
produksi Hutan Rakyat meliputi kegiatan pembibitan, penanaman,
pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran hasil, dilaksanakan.
Responden petani Hutan Rakyat tidak secara formal melakukan kegiatan
perencanaan. Kegiatan perencanaan biasanya dilakukan dengan mengadakan
pertemuan kelompok tani dan diperoleh kata sepakat mengenai kegiatan yang
119
akan dilakukan oleh kelompok tani. Hasil musyawarah mengenai kesepakatan
mengenai kegiatan yang akan dilakukan didasarkan atas kepercayaan (trust) antar
anggota kelompok tani (Tabel 60).
Tabel 60. Persepsi terhadap kemampuan perencanaan dalam mengelola Hutan
Rakyat
a
b
Kemampuan perencanaan dalam pengelolaan Hutan Rakyat
Sering (%)b
1. Petani membandingkan kegiatan terdahulu dan saat ini
agar hasil mendatang dapat maksimal
2. Masalah yang dihadapi petani di lahan menjadi bahan
pertimbangan dalam perencanaan petani
3. Kesesuaian kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat saat ini
dengan kebutuhan petani
4. Petani menyusun rencana kegiatan Hutan Rakyat
5. Informasi harga jual kayu digunakan untuk
merencanakan jenis kayu yang ditanam
6. Petani berusaha mencari informasi tentang jenis kayu
yang bernilai jual tinggi
18 (32,70)
13 (23,60)
11 (20,00)
10 (18,20)
10 (18,20)
9 (16,40)
Sumber : Olahan data primer, 2012
Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan
Responden petani Hutan Rakyat menyatakan tidak pernah menyusun
ragam kegiatan perencanaan setiap bulan atau setiap tahun secara tertulis.
Demikian pula halnya di tingkat responden petani Hutan Rakyat. Responden
tidak mempersiapkan secara terinci kegiatan perencanaan untuk kegiatan Hutan
Rakyat yaitu kegiatan pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.
Persiapan petani untuk melaksanakan kegiatan produksi masih diarahkan oleh
kebutuhan (need) responden petani yang bersangkutan.
Berdasarkan wawancara, petani sudah mampu mengenali masalah yang
harus dihadapinya di lahan, antara lain pertumbuhan kayu yang masih kurang
memuaskan, rendahnya sumber daya manusia, kegiatan penyuluhan yang masih
kurang mendukung, dan masalah pemasaran. Kemampuan responden mengenali
masalahnya menjadi penting karena mendasari kesadaran responden yang
bersangkutan mengenai kebutuhannya. Kebutuhan yang dirasakan oleh
120
120
responden mengarahkan responden pada proses perencanaan dalam pengelolaan
Hutan Rakyat.
Terkait dengan motivasi responden mengusahakan Hutan Rakyat yang
sebagian besar dilatarbelakangi oleh alasan finansial, sebagian responden selalu
berusaha memperoleh informasi mengenai kayu yang bernilai jual tinggi atau
sedang disukai oleh pembeli. Kegiatan penanaman Hutan Rakyat pada waktu
berikutnya akan memanfaatkan informasi yang diperoleh di lapangan dengan
memilih jenis tanaman keras yang dapat menguntungkan petani. Proses
perencanaan pada tingkat responden petani Hutan Rakyat masih sederhana,
karena belum memiliki bentuk perencanaan seperti halnya dalam bentuk
organisasi modern. Tingkat kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan
Hutan Rakyat terbagi menjadi kategori kurang, sedang, dan tinggi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemampuan perencanaan petani dalam
pengelolaan Hutan Rakyat termasuk dalam kategori sedang (Tabel 61).
Tabel 61. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan
perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat
No.
1.
2.
3.
a
Tingkat kemampuan perencanaan petani
dalam pengelolaan Hutan Rakyat
Kurang (skor : <12)
Sedang (skor : 12-18)
Tinggi (skor : > 18)
Jumlah
Jumlah n
(jiwa)
25
29
1
55
Persentase
(%)
45,45
52,73
1,82
100,00
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Kegiatan
perencanaan
pada
pengelolaan
Hutan
Rakyat
masih
berdasarkan pada kebutuhan (need) petani dengan menyesuaikan terhadap
sumber daya yang dimiliki. Segi penting kegiatan perencanaan dalam
pengelolaan Hutan Rakyat perlu dipahami oleh petani agar produktivitas lahan
dapat maksimal. Pembelajaran petani harus lebih diarahkan untuk membangun
kemampuan petani merencanakan kegiatan produksi dalam pengelolaan Hutan
Rakyat.
121
6.6.2 Kemampuan mengorganisir diri dalam kelembagaan pengelolaan
Hutan Rakyat
Kemampuan mengorganisir diri dalam kelembagaan Hutan Rakyat adalah
sekumpulan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki petani untuk
memahami dan melaksanakan pengelompokan kegiatan agar tujuan kegiatan
Hutan Rakyat dapat terwujud. Kemampuan mengorganisir diri dalam
kelembagaan
Hutan Rakyat terkait dengan pembagian kerja dan koordinasi
diantara sesama anggota kelompok tani Hutan Rakyat. Pembagian kerja dalam
kelompok tani Hutan Rakyat mengacu pada struktur organisasi kelompok tani
yang berkembang saat ini, yaitu ketua kelompok tani, wakil ketua kelompok tani
dan bendahara kelompok tani. Ketua kelompok tani bertugas mengkoordinasikan
seluruh kegiatan produksi Hutan Rakyat di kelompok tani. Sehari-hari ketua
kelompok tani dibantu oleh wakilnya. Wakil ketua kelompok tani bertugas
menghubungkan ketua kelompok tani dan petani Hutan Rakyat. Apabila terdapat
rencana pertemuan kelompok tani, wakil ketua kelompok tani akan menyiapkan
tempat pelaksanaan kegiatan pertemuan dan mengundang anggota kelompok tani.
Bendahara kelompok tani mengatur keuangan kelompok tani yang berasal dari
swadaya anggota kelompok dan bantuan instansi terkait ke kelompok tani.
Pembagian kerja di antara petani Hutan Rakyat tidak secara tegas
ditentukan pada awal pembentukan kelompok tani. Pembagian kerja diantara
petani
Hutan
Rakyat
terbentuk
berdasarkan
keahlian/pengalaman
dan
kesepakatan masing-masing petani yang terbentuk selama kegiatan produksi
Hutan Rakyat. Petani yang pada awal pembangunan Hutan Rakyat terlibat dalam
kegiatan pembibitan memiliki kemampuan melakukan kegiatan pembibitan
dibandingkan petani lainnya. Petani Hutan Rakyat lainnya memiliki kemampuan
mengkoordinasikan kegiatan penanaman kayu sengon. Pada pelaksanaan
kegiatan penanaman, ketua kelompok tani membantu mengkoordinasikan
pelaksanaan kegiatan di areal Hutan Rakyat, dibantu dengan wakil ketua
kelompok tani untuk memastikan tidak ada masalah kekurangan pupuk dan
serangan hama/penyakit. Sebagian petani Hutan Rakyat lainnya memiliki akses
122
122
yang cukup baik terhadap informasi pasar, sehingga memiliki kemampuan terkait
pemasaran hasil-hasil Hutan Rakyat. Petani tersebut akan membantu petani
lainnya yang akan menjual kayu ke pembeli/tengkulak sehingga memperoleh
harga yang cukup menguntungkan.
Tabel 62. Persepsi responden terhadap kemampuan mengorganisir diri dalam
kelembagaan Hutan Rakyat
Kemampuan Mengorganisir diri dalam Pengelolaan Hutan
Sering (%) b
Rakyat
1. Petani melakukan pembagian kerja di dalam kelompok tani
43 (78,2)
2. Petani bersepakat mengenai tahapan-tahapan pelaksanaan
40 (72,7)
kegiatan Hutan Rakyat
3. Koordinasi diantara anggota kelompok tani agar kegiatan
38 (69,1)
berjalan sesuai rencana
4. Kesesuaian penunjukan anggota pelaksana kegiatan dengan 16 (29,1)
harapan anggota kelompok
5. Pemahaman petani terhadap aturan organisasi kelompok
10 (18,2)
tani
a
b
Sumber : Olahan data primer, 2012
Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan
Pembagian kerja di dalam kelompok tani Hutan Rakyat Saluyu II adalah
berdasarkan kesepakatan dan kepercayaan diantara sesama anggota kelompok
tani. Kesepakatan tersebut terbangun dengan memperhatikan keahlian dan
pengalaman petani yang bersangkutan. Saat ini distribusi tugas sekaligus
penentuan anggota yang bertanggung jawab melaksanakannya sudah berjalan
baik. Kemampuan mengorganisir diri diwarnai oleh pembagian kerja, koordinasi,
penunjukan pelaksana kegiatan, dan pemahaman mengenai aturan kelompok
sehingga kegiatan dalam pengelolaan Hutan Rakyat dapat dilaksanakan dengan
baik (Tabel 62).
Kemampuan mengorganisir diri dalam kelembagaan Hutan Rakyat tidak
dapat dipisahkan dari peran kepemimpinan ketua kelompok tani. Ketua kelompok
tani bertugas mengkoordinasikan pengelolaan Hutan Rakyat oleh anggota
kelompok tani. Koordinasi tersebut penting dilakukan karena pada tahapan saat
ini petani Hutan Rakyat masih memerlukan sosok pemimpin yang mampu
123
mengarahkan mereka dalam pelaksanaan kegiatan produksi Hutan Rakyat. Ketua
kelompok tani dengan dibantu wakilnya mengkoordinasikan pelaksanaan
kegiatan pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan di lahan Hutan
Rakyat. Arahan ketua kelompok tani berperan besar meningkatkan kemampuan
petani mengelola Hutan Rakyat, baik kemampuan mengatur distribusi dan
pembagian kerja di antara mereka maupun kemampuan sebagai pelaksana
kegiatan produksi.
Ketua Kelompok Tani juga berupaya mengkoordinasikan pelaksanaan
kegiatan penyuluhan dan pelatihan dengan instansi terkait, antara lain BPDAS
Citarum-Ciliwung,
Dinas
Kehutanan
Kabupaten
Bogor,
dan
BP3K
Cibungbulang. Proses peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam hal ini
anggota kelompok tani menentukan kapasitas kelembagaan Hutan Rakyat. Saat
ini frekuensi kegiatan penyuluhan dari instansi terkait masih tergolong rendah.
Namun demikian koordinasi kelompok tani dengan instansi terkait melalui ketua
kelompok tani sudah berjalan cukup baik.
Tingkat kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan
Hutan Rakyat terbagi menjadi kategori kurang, sedang, dan tinggi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemampuan pengorganisasian diri petani
dalam pengelolaan Hutan Rakyat termasuk dalam kategori sedang.
Tabel 63. Sebaran responden berdasarkan
persepsi
terhadap tingkat
kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan
Rakyat
Tingkat kemampuan pengorganisasian
Jumlah n
No.
diri petani dalam pengelolaan
Persentase (%)
(jiwa)
Hutan Rakyat
1
Kurang (skor : <10)
0
0,00
2
Sedang (skor : 10-15)
48
87,27
3
Tinggi (skor : > 15)
7
12,73
Jumlah
55
100,00
a
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
124
124
Kemampuan mengorganisasikan diri mengandung pula pengertian
mengenai adanya negosiasi dan kesepakatan antara sesama anggota petani Hutan
Rakyat dan adanya musyawarah antar anggota kelompok dalam pelaksanaan
kegiatan Hutan Rakyat dengan menempatkan masing-masing orang sesuai
kapasitasnya. Tahapan perkembangan petani Hutan Rakyat saat ini menunjukkan
bahwa responden petani Hutan Rakyat telah memiliki kemampuan yang cukup
untuk mengatur diri dalam pembagian kerja, distribusi tugas, dan melakukan
koordinasi dengan berbagai pihak dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
6.6.3 Kemampuan Penerapan Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Kemampuan petani untuk menerapkan merupakan kemampuan yang lebih
rumit dibandingkan dengan kemampuan perencanaan, mengorganisir diri dalam
kelembagaan, dan melakukan pengawasan. Kemampuan petani menerapkan hasil
pembelajaran merupakan upaya untuk mewujudkan perencanaan secara konkrit.
Kemampuan penerapan diindikasikan dengan kemampuan petani menerima dan
melaksanakan arahan dari ketua kelompok tani untuk melaksanakan kegiatan
produksi di lahan
Hutan Rakyat, kemampuan petani berkomunikasi dengan
anggota kelompok lainnya agar saling menggerakkan/ memotivasi untuk
mewujudkan tujuan bersama, serta melakukan koordinasi dengan parapihak
untuk melaksanakan kegiatan produksi Hutan Rakyat.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara mendalam, responden petani
Hutan Rakyat di lokasi penelitian sudah mampu menerima arahan dari ketua
kelompok
tani
dengan
baik.
Pengelolaan
Hutan
Rakyat
pada
awal
pengembangannya masih merupakan hal baru bagi petani pengelolanya, sehingga
sejak saat itu proses pembelajaran berlangsung secara terus-menerus diantara
sesama responden petani Hutan Rakyat. Arahan dan bimbingan dari dinas terkait,
penyuluh kehutanan dan ketua kelompok tani sangat penting membantu
responden petani untuk mampu mengelola
Hutan Rakyat. Kemampuan petani
menerapkan hasil pembelajaran diukur dari kemampuan petani menerima dan
melaksanakan instruksi yang diberikan, petani mampu memotivasi petani
125
lainnya, dan mampu mendiskusikan pelaksanaan kegiatan Hutan Rakyat dengan
parapihak (Tabel 64).
Tabel 64. Persepsi responden terhadap kemampuan penerapan petani dalam
pengelolaan Hutan Rakyat
Kemampuan penerapan dalam pengelolaan Hutan Rakyat
1. Petani selalu mengikuti instruksi dari ketua kelompok
tani
2. Petani menerima arahan/bimbingan melaksanakan
kegiatan produksi Hutan Rakyat
3. Instruksi ketua kelompok membantu petani mengelola
Hutan Rakyatnya
4. Petani memotivasi petani lainnya agar kegiatan Hutan
Rakyat berjalan dengan baik
5. Petani mendiskusikan kegiatan Hutan Rakyat dengan
pihak lain di luar kelompok tani
a
b
Sering (%)b
43 (78,20)
41 (75,50)
41 (74,50)
31 (56,40)
11 (20,00)
Sumber : Olahan data primer, 2012
Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan
Sebelum terlibat dalam pembangunan areal permodelan Hutan Rakyat di
lokasi penelitian, sebagian besar petani Hutan Rakyat mengusahakan pertanian
lahan basah (sawah) dan sayur-sayuran. Sebenarnya penanaman tanaman keras
dengan menggabungkan tanaman semusim (palawija), sebelumnya sudah secara
informal dikenal oleh masyarakat setempat. Namun Hutan Rakyat baru
dikenalkan secara resmi kepada masyarakat melalui pembangunan areal
permodelan Hutan Rakyat. Petani pengelola yang tergabung dalam kelompok tani
kemudian
mempelajari
pengelolaannya,
mencakup
dari
mulai
kegiatan
pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan.
Pada kegiatan produksi, ketua kelompok tani memberikan arahan
pelaksanaan kepada anggota kelompok tani. Arahan tersebut meliputi petunjuk
pelaksanaan kegiatan, alat yang digunakan, dan pihak-pihak yang terlibat. Arahan
ketua kelompok tani merupakan bagian pembelajaran anggota kelompok tani
untuk mempelajari tata cara pembibitan tanaman keras pada lahan Hutan Rakyat.
Anggota petani Hutan Rakyat menerima arahan dari ketua kelompok tani dan
126
126
penyuluh kehutanan dengan baik. Petani akan mendiskusikannya kembali, baik
dengan Ketua kelompok tani maupun dengan anggota petani lainnya, kemudian
berusaha melaksanakannya sebaik mungkin. Pendamping belajar, yaitu penyuluh
kehutanan dan ketua kelompok tani Hutan Rakyat, masih berperan penting dalam
kegiatan pembelajaran petani. Pendamping belajar masih menjadi panutan atau
teladan bagi petani dalam kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat. Nilai paternalistik
yang masih kuat pada masyarakat setempat menjadikan nilai-nilai penting yang
perlu dipahami oleh responden petani Hutan Rakyat dalam kegiatan pembelajaran
responden lebih mudah diadopsi oleh responden petani Hutan Rakyat.
Tingkat kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat
terbagi menjadi kategori kurang, sedang, dan tinggi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan
Hutan Rakyat termasuk dalam kategori sedang (Tabel 65).
Tabel 65. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan
penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat
No.
1.
2.
3.
a
Tingkat kemampuan penerapan petani
dalam pengelolaan Hutan Rakyat
Kurang (skor : <10)
Sedang (skor : 10-15)
Tinggi (skor : > 15)
Jumlah
Jumlah n
(jiwa)
Persentase
(%)
2
43
10
55
3,64
78,18
18.18
100,00
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
Komunikasi antara petani dengan pendamping belajar dan antara sesama
petani berlangsung cukup baik. Pada tahap penerapan, kualitas komunikasi ikut
menentukan berjalannya kegiatan produksi sesuai tujuan yang ingin dicapai.
Komunikasi menjadi alat penting dalam menggerakkan dan memotivasi petani,
baik dilakukan oleh penyuluh kehutanan atau kelompok tani, atau diantara
sesama petani Hutan Rakyat sendiri. Ketua kelompok tani memberikan
arahannya kepada anggota kelompok tani lainnya melalui komunikasi dua arah.
Di lokasi penelitian, biasa terjadi petani mendiskusikan kembali arahan dari ketua
127
kelompok tani sebelum kegiatan dilaksanakan dan pada saat kegiatan sedang
berjalan. Dinamika tersebut yang menjadikan efektivitas komunikasi antara
pendamping belajar dan responden petani Hutan Rakyat tetap terjaga.
Kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat sampai saat ini masih melibatkan
banyak pihak, yaitu dari kalangan pemerintah, kelompok tani, maupun instansi
terkait lainnya. Koordinasi antara kelompok tani dengan instansi terkait dan
pemerintah setempat sampai saat ini masih dilakukan oleh ketua kelompok tani.
Ketua kelompok tani Hutan Rakyat memiliki hubungan yang cukup baik dengan
penyuluh di Dinas Kabupaten Bogor, BPDAS Citarum-Ciliwung, dan penyuluh
Kehutanan BP3K.Ketua Kelompok Tani memandang penting koordinasi dengan
berbagai pihak. Saat ini sedikit demi sedikit anggota kelompok tani Hutan Rakyat
lainnya mulai dibina agar memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan
koordinasi dengan pihak-pihak lain di luar kelompok tani. Ketua kelompok tani
pada beberapa kali kesempatan mengirim anggotanya untuk berkoordinasi
dengan instansi terkait mengenai perkembangan pengelolaan Hutan Rakyat.
6.6.4 Kemampuan Melakukan Pengawasan dalam Hutan Rakyat
Kemampuan melakukan pengawasan dalam Hutan Rakyat adalah
sekumpulan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki petani untuk
memahami dan melaksanakan proses pengaturan berbagai unsur dalam kegiatan
pengelolaan Hutan Rakyat agar pelaksanaan kegiatan sesuai dengan perencanaan
yang telah ditetapkan. Kemampuan pengawasan ini diindikasikan dengan
kemampuan petani menetapkan pedoman pengawasan, kemampuan petani
melakukan
penilaian
terhadap
pelaksanaan
kegiatan
perencanaan,
pengorganisasian, dan menerapkan pada Hutan Rakyat, kemampuan petani untuk
menilai/menentukan terjadinya penyimpangan,dan kemampuan petani melakukan
tindakan perbaikan jika terdapat penyimpangan (Tabel 66).
Berdasarkan pengamatan dan wawancara mendalam, responden petani
melakukan kegiatan pengawasan berdasarkan kebutuhan. Oleh karena itu di
kelompok tani tidak ada pedoman tertulis mengenai kegiatan pengawasan pada
128
128
Hutan Rakyat yang disusun atau ditetapkan berdasarkan kesepakatan anggota
kelompok tani Hutan Rakyat. Kegiatan pengawasan dalam persepsi petani adalah
melakukan monitoring terhadap pelaksanaan kegiatan produksi Hutan Rakyat dan
kesesuaiannya terhadap pencapaian tujuan awal kegiatan. Secara tidak tertulis,
anggota kelompok tani sepakat bahwa kegiatan pengawasan terutama dilakukan
pada kegiatan pembibitan, penanaman dan pemeliharaan.
Tabel 66. Persepsi responden terhadap kemampuan melakukan pengawasan
dalam pengelolaan Hutan Rakyat
Kemampuan pengawasan dalam pengelolaan Hutan Rakyat
1. Kesesuaian tindakan perbaikan yang dilakukan petani
dengan hasil perbaikan yang diperoleh
2. Kesepakatan diantara anggota kelompok tani tentang halhal yang perlu diawasi
3. Petani melakukan tindakan perbaikan terhadap masalah
yang dihadapi di lahan
4. Petani selalu mengawasi perkembangan tanaman di
lahannya
5. Petani menemui masalah di lahan yang tidak sesuai
dengan perencanaan kegiatan
6. Petani membandingkan setiap hasil pengawasan di lahan
dengan hasil sebelumnya
a
b
Sering (%) b
43 (78,20)
36 (65,40)
35 (63,60)
34 (61,80)
33 (60,00)
29 (52,70)
Sumber : Olahan data primer, 2012
Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan
Pengawasan terhadap kegiatan pembibitan pada awal pembangunan areal
permodelan Hutan Rakyat dianggap penting oleh responden petani Hutan Rakyat
karena menentukan kualitas Hutan Rakyat yang akan dibangun. Pengawasan
dilakukan responden untuk mengikuti perkembangan pertumbuhan bibit tanaman
keras. Hal tersebut menurut pernyataan responden dilakukan untuk menghindari
lebih banyak mengalami kerugian akibat bibit yang mati di lapangan. Apabila
diketahui terdapat bibit yang mati di lahan, responden segera menanam bibit
pengganti. Namun demikian apabila tidak ada bantuan atau biaya untuk membeli
bibit baru, maka petani akan membiarkan saja bibit yang mati tersebut dan tidak
129
berusaha menggantinya dengan bibit yang baru. Namun demikian sebagian besar
responden menyatakan mengikuti perkembangan pertumbuhan bibit tanaman
keras di lahannya pada tiga tahun pertama secara lebih cermat untuk menghindari
resiko kerugian yang lebih parah.
Dikarenakan
berdasarkan
kebutuhan
dan
belum
mengenal
pola
pengawasan seperti halnya pada organisasi modern, petani belum secara
terorganisir
melakukan
penilaian
terhadap
kegiatan
perencanaan,
pengorganisasian dan penerapan. Bagi petani yang penting adalah dalam ukuran
mereka kegiatan sudah terlaksana dengan baik dibuktikan dengan pertumbuhan
kayu yang sesuai dengan harapan mereka. Minimnya biaya dan kesempatan
penanaman yang terbatas (dibatasi) menjadikan petani cukup waspada apabila
terjadi sesuatu yang dapat merugikan mereka. Mereka akan sekuat tenaga
melakukan antisipasi, meskipun ketika sudah tidak terdapat pilihan lain maka
mereka bersikap pasrah. Kelemahan pengawasan yang berdasarkan kebutuhan ini
adalah bahwa pengawasan belum dilakukan secara maksimal dengan melibatkan
keseluruhan sumber daya manusia yang ada. Namun demikian petani sudah
mampu mengenali penyimpangan yang terjadi dalam kegiatan produksi Hutan
Rakyat.
Tingkat kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat
terbagi menjadi kategori kurang, sedang, dan tinggi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan
Hutan Rakyat termasuk dalam kategori tinggi (Tabel 67).
Tabel 67.
No.
1.
2.
3.
a
Sebaran responden berdasarkan
persepsi
terhadap tingkat
kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat
Tingkat kemampuan pengawasan
Jumlah n
petani dalam pengelolaan Hutan
Persentase (%)
(jiwa)
Rakyat
Kurang (skor : <12)
2
3,64
Sedang (skor : 12-18)
24
43,64
Tinggi (skor : > 18)
29
52,72
Jumlah
55
100,00
Sumber : Olahan Data Primer, 2012
130
130
Pengawasan tidak hanya berlangsung pada kegiatan produksi Hutan
Rakyat tetapi juga pada kelembagaan Hutan Rakyat. Misalnya apakah
kesepakatan bersama ada yang dilanggar atau tidak. Apabila ada anggota
kelompok tani yang melanggar, maka ketua kelompok atau anggota petani
lainnya akan menegur yang bersangkutan dan mengingatkan kembali mengenai
kesepakatan bersama yang telah disepakati antar anggota kelompok tani Hutan
Rakyat. Responden petani Hutan Rakyat senantiasa melakukan perbaikan
terhadap penyimpangan kegiatan yang terjadi, seperti misalnya menanam bibit
pengganti, mengganti takaran pupuk apabila kurang tepat ukurannya, dan
memperbaiki jarak tanam. Beberapa responden menyatakan bahwa mereka akan
berusaha melakukan perbaikan apabila hal tersebut masih dapat diusahakan.
Membiarkan saja tumbuhan yang mati dilakukan sebagai pilihan terakhir apabila
jalan lainnya sudah tidak memungkinkan. Terutama apabila menemui kendala
keuangan.
131
VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMAMPUAN
ANGGOTA KELOMPOK DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT
Analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan
perencanaan, pengorganisasian diri, penerapan dan pengawasan petani dilakukan
dengan menggunakan uji statistik regresi berganda. Model regresi linier dapat
disebut sebagai model yang baik jika model tersebut memenuhi beberapa asumsi
klasik. Asumsi klasik yang harus terpenuhi dalam model regresi linier adalah
residual terdistribusi normal, tidak adanya multikolinearitas, tidak adanya
heteroskedastisitas, dan tidak adanya adanya autokorelasi pada model regresi.
Uji normalitas Residual. Uji normalitas residual pada model regresi
digunakan untuk menguji apakah nilai residual yang dihasilkan dari regresi
terdistribusi secara normal atau tidak. Residual merupakan nilai sisa atau selisih
antara nilai peubah terikat (Y) dengan peubah terikat hasil analisis regresi (Y’).
Model regresi yang baik adalah yang memiliki data residual yang terdistribusi
normal (Priyatno 2012). Hasil uji pada Tabel 68 menunjukkan bahwa nilai
signifikansi (Asymp. Sig. (2-tailed) adalah 0,634, 0,840, 0,852, dan 0,967. Karena
signifikansi lebih besar dari 0,05, sehingga residual terdistribusi dengan normal.
Tabel 68. Ringkasan Hasil uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Peubah Terikat
Kemampuan Perencanaan (Y1.1)
Asymp. Sig. (2-tailed)
Kemampuan Pengorganisasian diri (Y1.1)
Asymp. Sig. (2-tailed)
Kemampuan Penerapan (Y1.1)
Asymp. Sig. (2-tailed)
Kemampuan Pengawasan (Y1.1)
Asymp. Sig. (2-tailed)
a
Sumber : Hasil analisis SPSS
Tolerance
0,634
0,840
0,852
0,967
132
132
Uji Multikolineritas. Uji multikolineritas adalah keadaan dimana model
regresi ditemukan adanya kolerasi yang sempurna atau mendekati sempurna antar
peubah bebas. Pada model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di
antara variabel bebas (Priyatno 2012). Hasil uji pada tabel 69 menunjukkan
bahwa nilai Tolerance dari kelompok peubah bebas lebih dari 0,10 dan nilai VIF
kurang dari 10. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi masalah
multikolineritas pada model regresi.
Tabel 69. Ringkasan hasil uji melalui nilai Tolerance dan Inflation Factor (VIF)
Peubah Terikat
Kemampuan Perencanaan (Y1.1)
Kemampuan Pengorganisasian diri (Y1.1)
Kemampuan Penerapan (Y1.1)
Kemampuan Pengawasan (Y1.1)
a
Tolerance
VIF
0,172 – 0,683
0,172 – 0,548
0,176 – 0,683
0,176 – 0,683
1.465 -5.697
1.465-5.812
1.465-5.812
1.465-5.812
Sumber : Hasil analisis SPSS
Uji Heteroskedastisitas. Uji Heteroskedastisitas adalah keadaan di mana
dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual pada satu
pengamatan ke pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah tidak
terjadi heteroskedastisitas (Priyatno 2012). Uji heteroskedastisitas dilakukan
dengan melakukan uji koefisien korelasi Spearman’s rho (Tabel 70).
Tabel 70. Ringkasan hasil uji Koefisien Korelasi Spearman’s Rho
Peubah Terikat
(Residual tidak terstandardisasi)
Kemampuan Perencanaan (Y1.1)
Kemampuan Pengorganisasian diri (Y1.2)
Kemampuan Penerapan (Y1.3)
Kemampuan Pengawasan (Y1.4)
a
Signifikansi
Sig. (2-tailed)
0,587 – 0,966
0,511 – 0,995
0,965 – 0,572
0,494 – 0,993
Sumber : Hasil analisis SPSS
Hasil uji menunjukkan bahwa korelasi peubah bebas dengan residual
tidak terstandardisasi pada masing-masing peubah terikat memiliki nilai
133
signifikansi lebih dari 0,05, sehingga disimpulkan bahwa tidak terjadi masalah
heteroskedastisitas pada model regresi.
Uji Autokorelasi. Autokorelasi adalah keadaan dimana pada model regresi
ada korelasi antara residual pada periode t dengan residual pada periode
sebelumnya (t-1). Model regresi yang baik adalah yang tidak terdapat masalah
autokorelasi (Priyatno 2012). Metode pengujian menggunakan uji DurbinWatson (Tabel 71).
Tabel 71. Ringkasan Hasil uji Durbin-Watson
Peubah Terikat
Kemampuan Perencanaan (Y1.1)
Kemampuan Pengorganisasian diri (Y1.2)
Kemampuan Penerapan (Y1.3)
Kemampuan Pengawasan (Y1.4)
a
Nilai Durbin-Watson
1,940
1,960
1,677
1,610
Sumber : Hasil analisis SPSS
Dasar pengambilan keputusan adanya autokorelasi adalah jika nilai
Durbin-Watson berada pada rentang ─2 < Durbin Watson < 2, maka tidak terjadi
autokorelasi (Agusyana dan Islandscript 2011). Apabila jika tidak pada rentang
tersebut maka terjadi autokorelasi. Hasil uji menunjukkan bahwa untuk kempat
peubah terikat, nilai Durbin-Watson berada pada rentang 1,960-1,610, sehingga
tidak terjadi autokorelasi. Berdasarkan persyaratan uji asumsi klasik regresi yang
telah dipenuhi maka tahapan analisis data dapat dilanjutkan.
Analisis regresi berganda dilakukan dengan metode enter, yaitu
memasukkan seluruh variabel bebas sekaligus, kemudian dikeluarkan satu
persatu untuk mencari peubah yang paling signifikan berpengaruh terhadap
peubahterikat dalam model regresi berganda, sehingga diperoleh hasil akhir
mengenai peubah yang signifikan berpengaruh terhadap kemampuan petani
dalam pengelolaan Hutan Rakyat
134
134
7.1
Hasil Uji Faktor-faktor yang mempengaruhi Kemampuan Anggota
Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Kemampuan petani dalam mengelola suatu kawasan hutan diartikan
sebagai kualitas yang melekat dalam diri petani mencakup pengetahuan
(kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap mental (afektif) dalam
pengelolaan hutan sesuai standar tertentu yang diharapkan. Kemampuan petani
mengelola Hutan Rakyat dalam penelitian ini terdiri dari kemampuan
perencanaan, pengorganisasian diri, penerapan dan pengawasan.
7.1.1
Kemampuan Perencanaan Anggota Kelompok dalam Pengelolaan
Hutan Rakyat
Pada sub bab ini akan dibahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
kemampuan perencanaan petani dalam mengelola Hutan Rakyat, dan merupakan
jawaban atas hipotesis pertama dari penelitian ini.
Hipotesis : Kemampuan perencanaan anggota kelompok tani dalam
pengelolaan Hutan Rakyat dipengaruhi oleh karakteristik
personal petani, kompetensi sumber belajar, kegiatan
penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan
hubungan interpersonal.
Hasil analisis regresi secara simultan dari seluruh peubah bebas
(karakteristik petani, kompetensi pendamping belajar, kegiatan penyuluhan,
kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan hubungan interpersonal) yang
diduga berpengaruh terhadap variabel kemampuan perencanaan petani Hutan
Rakyat dengan metode enter diperoleh nilai R2 sebesar 0,199 (Tabel 72). Nilai
tersebut menunjukkan bahwa kemampuan perencanaan dipengaruhi oleh
kelompok peubah bebas sebesar 19,9 persen, dan sisanya sebesar 80,1 persen
dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk ke dalam analisis.
Hasil analisis regresi selanjutnya diperoleh pengaruh nyata (pada taraf
lima persen) yaitu 0,010, 0,021, dan 0,049, dari sub peubah pendapatan petani,
lama mengelola Hutan Rakyat, dan norma sosial yang mengikat anggota
135
kelompok tani terhadap kemampuan perencanaan petani (Tabel 72). Keempat sub
peubah di atas memiliki nilai Sig di bawah α=0,05, sehingga ketiga sub peubah
bebas tersebut berpengaruh simultan dan signifikan terhadap kemampuan
perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
Tabel 72. Analisa signifikansi peubah bebas yang berpengaruh terhadap
kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat
Koefisien
Sub Variabel
Signifikansi
regresi
Konstan
0,634*
Pendidikan
0,174
0,236*
Pendapatan petani
-0,368
0,010*
Lama mengelola Hutan Rakyat
0,345
0,021*
Norma sosial yang mengikat petani
0,289
0,049*
Interaksi petani-pendamping belajar
0,143
0,288*
Nilai korelasi R : 0,446
Nilai Koefisian Determinasi (R2) : 0,199
a
b
c
Sumber : Olahan data primer, 2012
Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan
Signifikan pada α=0,05
Persamaan regresi faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan
perencanaan anggota kelompok tani Hutan Rakyat adalah sebagai berikut :
Y = 1.965 + 0,174 pendidikan – 0,368 pendapatan + 0,345 lama mengelola Hutan
Rakyat + 0,289 norma sosial + 0,143 interaksi petani dan pendamping
belajar
Sub peubah pendapatan petani menunjukkan nilai signifikansi 0,010 yaitu
dibawah α=0,05, sehingga signifikan berpengaruh terhadap kemampuan
perencanaan petani dalam mengelola Hutan Rakyat. Arah pengaruh negatif
menunjukkan bahwa apabila pendapatan petani mengalami penurunan sebesar 1
satuan maka kemampuan perencanaan akan mengalami kenaikan sebesar 0,368
satuan dengan asumsi sub peubah bebas lainnya bernilai tetap.
Sub peubah lama mengelola Hutan Rakyat memiliki nilai signifikansi
kurang dari α=0,05 yaitu sebesar 0,021 sehingga signifikan berpengaruh
terhadap kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Arah
hubungan adalah positif, sehingga penambahan lama tahun mengelola Hutan
136
136
Rakyat sebesar 1 satuan akan meningkatkan kemampuan perencanaan petani
dalam pengelolaan Hutan Rakyat sebesar 0,345 dengan asumsi sub peubah bebas
lainnya bernilai tetap. Sebaliknya penurunan lama mengelola Hutan Rakyat
sebesar 1 satuan akan menurunkan kemampuan perencanaan petani dalam
pengelolaan Hutan Rakyat sebesar 0,345 satuan.
Sub peubah norma sosial yang mengikat petani memiliki nilai signifikansi
sebesar 0,049 yaitu kurang dari α=0,05 sehingga signifikan berpengaruh terhadap
kemampuan perencanaan petani. Arah hubungan positif menunjukkan bahwa
peningkatan sub peubah norma sosial yang mengikat petani sebesar 1 satuan akan
meningkatkan kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat
sebesar 0,309. Sebaliknya penurunan sub peubah norma sosial yang mengikat
petani menjadi teladan/panutan sebesar 1 satuan akan menurunkan kemampuan
perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat sebesar 0,309.Berdasarkan
koefisien regresi, sub peubah yang paling berpengaruh terhadap terhadap
kemampuan perencanaan petani berturut-turut adalah adalah pendapatan petani
(0,368), lama mengelola Hutan Rakyat (0,345), dan norma sosial yang mengikat
petani (0,289).
7.1.2 Kemampuan Pengorganisasian Diri Anggota Kelompok Tani
Pada sub bab ini akan dibahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
kemampuan perencanaan petani dalam mengelola Hutan Rakyat, dan merupakan
jawaban atas hipotesis kedua dari penelitian ini.
Hipotesis : Kemampuan pengorganisasian diri anggota kelompok tani dalam
pengelolaan Hutan Rakyat dipengaruhi oleh karakteristik
personal petani, kompetensi sumber belajar, kegiatan penyuluhan,
kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan hubungan
interpersonal.
Hasil analisis regresi secara simultan dari seluruh sub peubah bebas yang
diduga berpengaruh terhadap sub peubah kemampuan pengorganisasian diri
petani mengelola Hutan Rakyat dengan metode enter diperoleh nilai R2 sebesar
0,175. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pengorganisasian diri
137
dipengaruhi oleh sub peubah bebas sebesar 17,5 persen, dan sisanya dipengaruhi
oleh faktor lain yang tidak termasuk ke dalam analisis. Hasil analisis regresi
selanjutnya diperoleh pengaruh nyata (pada taraf lima persen) yaitu 0,05 dari sub
peubah motivasi petani mengelola Hutan Rakyat (Tabel 73).
Tabel 73.
Analisa signifikansi variabel bebas yang berpengaruh terhadap
kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan
Rakyat
Koefisien
Signifikansi
Sub Variabel
regresi
Konstan
0,016*
Jumlah pelatihan yang diikuti petani
0,307
0,024*
Kemampuan komunikasi personal sumber belajar
0,162
0,248*
Materi penyuluhan
-0,350
0,036*
Norma sosial yang mengikat anggota kelompok
0,395
0,006*
Interaksi petani dan keluarganya
0,248
0,093*
Nilai korelasi : 0,472
Nilai Koefisian Determinasi (R square/R2) : 0,223
a
b
c
Sumber : Olahan data primer, 2012
Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan
Signifikan pada α=0,05
Persamaan regresi dari sub peubah yang mempengaruhi kemampuan
pengorganisasian diri anggota kelompok tani Hutan Rakyat adalah sebagai
berikut :
Y=
6.442 + 0,307 jumlah pelatihan + 0,162 kemampuan komunikasi personel
sumber belajar ─ 0,350 materi penyuluhan ─ 0,395 norma sosial + 0,248
interaksi petani dan keluarganya
Sub peubah jumlah pelatihan yang diikuti petani menunjukkan nilai
signifikansi dibawah α=0,05 yaitu 0,024 sehingga signifikan berpengaruh
terhadap kemampuan pengorganisasian diri dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
Arah hubungan adalah positif menunjukkan bahwa peningkatan 1 satuan jumlah
pelatihan yang diikuti petani akan meningkatkan kemampuan pengorganisasian
diri 0,307 dengan asumsi sub peubah bebas lainnya bernilai tetap.
Sub peubah materi penyuluhan menunjukkan nilai signifikansi dibawah
α=0,05yaitu 0,036 sehingga signifikan berpengaruh terhadap kemampuan
138
138
pengorganisasian diri dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Arah hubungan adalah
negatif menunjukkan bahwa peningkatan 1 satuan jumlah pelatihan yang diikuti
petani akan menurunkan kemampuan pengorganisasian diri 0,350 dengan asumsi
sub peubah bebas lainnya bernilai tetap. Sebaliknya penurunan materi
penyuluhan akan meningkatkan 0,350 kemampuan pengorganisasian petani.
Sub peubah norma sosial yang mengikat kelompok menunjukkan nilai
signifikansi dibawah α=0,05 yaitu 0,006 sehingga signifikan berpengaruh
terhadap kemampuan pengorganisasian diri dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
Arah hubungan adalah positif menunjukkan bahwa peningkatan 1 satuan norma
sosial yang mengikat anggota kelompok akan meningkatkan kemampuan
pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat sebanyak 0,395
dengan asumsi sub peubah bebas lainnya bernilai tetap. Sebaliknya penurunan 1
satuan norma sosial yang mengikat anggota kelompok akan menurunkan
kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat
sebanyak 0,395. Berdasarkan koefisien regresi, sub peubah yang paling
berpengaruh terhadap terhadap kemampuan pengorganisasian diri petani berturutturut adalah adalah norma sosial yang mengikat anggota kelompok (0,395),
materi penyuluhan (0,350), dan jumlah pelatihan yang diikuti petani (0,307).
7.1.3. Kemampuan Penerapan Anggota Kelompok Tani
Pada sub bab ini akan dibahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
kemampuan perencanaan petani dalam mengelola Hutan Rakyat, dan merupakan
jawaban atas hipotesis ketiga dari penelitian ini.
Hipotesis : Kemampuan penerapan anggota kelompok tani dalam pengelolaan
Hutan Rakyat dipengaruhi oleh karakteristik personal petani,
kompetensi sumber belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan
pengelolaan Hutan Rakyat, dan hubungan interpersonal.
Hasil analisis regresi secara simultan dari seluruh sub peubah bebas
(karakteristik petani, kompetensi pendamping belajar, kegiatan penyuluhan,
kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan hubungan interpersonal) yang
139
diduga berpengaruh terhadap sub peubah kemampuan penerapan petani
mengelola Hutan Rakyat dengan metode enter diperoleh nilai R2 sebesar 0,247.
Nilai tersebut menunjukkan bahwa kemampuan penerapan petani dalam
pengelolaan Hutan Rakyat dipengaruhi oleh sub peubah bebas sebesar 24,7
persen, dan sisanya 75,3 persen dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk
ke dalam analisis.
Hasil analisis regresi selanjutnya diperoleh nilai signifikansi pada taraf
lima persen yaitu 0,000 dan 0,026 dari variabel jumlah pelatihan yang diikuti
petani dan kemampuan pendamping belajar berkomunikasi dengan petani (Tabel
74). Kedua sub peubah di atas memiliki nilai Sig di bawah α=0,05, sehingga
berpengaruh simultan dan signifikan terhadap kemampuan penerapan petani
dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
Tabel 74. Analisa signifikansi sub peubah bebas yang berpengaruh terhadap
Kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat
Koefisien
Sub Variabel
Signifikansi
regresi
Konstan
0,000*
Umur
-0,176
0,155*
Jumlah pelatihan yang diikuti petani
0,478
0,000*
Kemampuan sumber belajar berkomunikasi
0,278
0,026*
Nilai korelasi R :
Nilai Koefisian Determinasi (R square/R2) : 0,269
a
b
c
Sumber : Olahan data primer, 2012
Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan
Signifikan pada α=0,05
Persamaan regresi dari faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan
penerapan anggota kelompok tani Hutan Rakyat adalah sebagai berikut :
Y = 11.250 ─ 0,176 usia petani + 0,478 penguasaan materi + 0,218 pemahaman
tujuan penyuluhan
Sub peubah jumlah pelatihan yang diikuti petani menunjukkan nilai
signifikansi 0,000 yaitu dibawah α=0,05 sehingga sub peubah tersebut signifikan
berpengaruh terhadap kemampuan penerapan dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
140
140
Arah hubungan adalah positif, menunjukkan bahwa peningkatan 1 satuan jumlah
pelatihan yang diikuti akan meningkatkan kemampuan penerapan petani dalam
pengelolaan Hutan Rakyat sebesar 0,478. Sebaliknya pengurangan 1 satuan
jumlah pelatihan yang diikuti akan menurunkan kemampuan penerapan petani
dalam pengelolaan Hutan Rakyat sebesar 0,478. Pelatihan di bidang pengelolaan
Hutan Rakyat terkait dengan pengembangan kapasitas petani dalam mengelola
lahan Hutan Rakyatnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin sedikit
pelatihan yang diikuti petani maka kemampuan penerapan petani semakin
berkurang. Semakin banyak pelatihan yang diikuti petani maka semakin baik
kemampuan penerapan petani. Pelatihan yang diikuti petani di bidang Hutan
Rakyat
merupakan
sarana
petani
untuk
memperoleh
tambahan
informasi/pengetahuan dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
Variabel
kemampuan
komunikasi
pendamping
belajar
dalam
pembelajaran petani menunjukkan nilai signifikansi 0,026 yaitu dibawah α=0,05
sehingga sub variabel tersebut signifikan berpengaruh terhadap kemampuan
penerapan dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Arah hubungan adalah positif,
sehingga peningkatan 1 satuan kemampuan komunikasi pendamping belajar akan
meningkatkan kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
Berdasarkan koefisien regresi, sub peubah yang paling berpengaruh terhadap
terhadap kemampuan penerapan petani berturut-turut adalah adalah jumlah
pelatihan yang diikuti petani (0,489) dan kemampuan berkomunikasi pendamping
belajar (0,278).
7.1.4. Kemampuan Pengawasan Anggota Kelompok Tani
Pada sub bab ini akan dibahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
kemampuan perencanaan petani dalam mengelola Hutan Rakyat, dan merupakan
jawaban atas hipotesis keempat dari penelitian ini.
Hipotesis : Kemampuan pengawasan anggota kelompok tani dalam
pengelolaan Hutan Rakyat dipengaruhi oleh karakteristik
personal petani, kompetensi sumber belajar, kegiatan
141
penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan
hubungan interpersonal.
Hasil analisis regresi secara simultan dari seluruh sub peubah bebas
(karakteristik petani, kompetensi pendamping belajar, kegiatan penyuluhan,
kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan hubungan interpersonal) yang
diduga berpengaruh terhadap variabel kemampuan pengawasan petani dalam
mengelola Hutan Rakyat dengan metode enter diperoleh nilai R2 sebesar 0,291.
Nilai tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pengawasan dipengaruhi sub
peubah terikat sebesar 29,1 persen, dan sisanya sebesar 70,9 dipengaruhi oleh
faktor lain yang tidak termasuk ke dalam analisis.
Hasil analisis regresi selanjutnya diperoleh nilai signifikansi 0,001 dan
0,009 dari sub peubah pendapatan petani dan pengorganisasian kegiatan produksi
(Tabel 75). Kedua sub peubah di atas memiliki nilai Sig di bawah α=0,05,
sehingga berpengaruh simultan dan signifikan terhadap kemampuan pengawasan
petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
Tabel 75. Analisa signifikansi variabel bebas yang berpengaruh terhadap
kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat
Sub Variabel
Koefisien
regresi
Konstan
Pendapatan petani
Materi Penyuluhan
Pengorganisasian Kegiatan Produksi
-0,414
0,207
0,321
Signifikansi
0,000*
0,001*
0,088*
0,009*
Nilai Korelasi R :
Nilai Koefisian Determinasi (R square/R2) : 0,291
a
b
c
Sumber : Olahan data primer, 2012
Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan
Signifikan pada α=0,05
Persamaan regresi faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan
pengawasan anggota kelompok tani Hutan Rakyatadalah sebagai berikut :
Y = 13.300 ─ 0,414 pendapatan petani + 0,207 materi penyuluhan + 0,321
pengorganisasian kegiatan produksi
142
142
Sub peubah pendapatan petani dalam pembelajaran petani menunjukkan
nilai signifikansi 0,001 yaitu di bawah α=0,05 sehingga sub peubah tersebut
signifikan berpengaruh terhadap kemampuan pengawasan dalam pengelolaan
Hutan Rakyat. Arah hubungan adalah negatif, sehingga pengurangan 1 satuan
pendapatan petani akan meningkatkan kemampuan pengawasan petani dalam
pengelolaan Hutan Rakyat. Sebaliknya peningkatan 1 satuan pendapatan petani
akan menurunkan kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan
Rakyat. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa bahwa semakin tinggi pendapatan
petani maka kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat
semakin berkurang. Sebaliknya semakin berkurang pendapatan petani, maka
kemampuan pengawasan petani semakin meningkat.
Sub peubah proses pengorganisasian kegiatan produksi menunjukkan
nilai signifikansi 0,009 yaitu dibawah α=0,05 sehingga sub peubah tersebut
signifikan berpengaruh terhadap kemampuan pengawasan dalam pengelolaan
Hutan Rakyat. Arah hubungan adalah positif, sehingga peningkatan 1 satuan
pengorganisasian
kegiatan
produksi
akan
meningkatkan
kemampuan
pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat sebesar 0,207. Sebaliknya
pengurangan 1 satuan pengorganisasian kegiatan produksi akan menurunkan
kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat sebesar 0,207.
Berdasarkan koefisien regresi, sub peubah yang paling berpengaruh terhadap
kemampuan pengawasan petani berturut-turut adalah pendapatan petani (0,414)
dan pengorganisasian kegiatan produksi (0,321).
7.2 Kemampuan Anggota Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan petani memiliki
pengaruh negatif terhadap tingkat kemampuan perencanaan petani dalam
pengelolaan Hutan. Artinya semakin rendah tingkat pendapatan petani, maka
semakin tinggi kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
Sebaliknya semakin tinggi pendapatan petani, semakin rendah tingkat
kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Hal tersebut
143
dapat pula dimaknai bahwa ketika pendapatan petani rendah, maka petani
melakukan kegiatan perencanaan dalam pengelolaan Hutan Rakyat dengan lebih
baik. Hutan Rakyat merupakan alternatif pendapatan petani yang dipandang
berpotensi dapat memberikan tambahan pendapatan yang layak bagi petani.
Ragam tingkat pendapatan responden disusun berdasarkan pendapatan
dari lahan sawah, lahan Hutan Rakyat dan pendapatan sampingan. Petani
subsisten dengan pendapatan rendah akan memperhitungkan manfaat atau
keuntungan ekonomi yang dapat diperolehnya dari setiap sumber pendapatan.
Petani akan merencanakan dengan cermat setiap tindakan ekonominya dengan
memperhitungkan keterbatasan lahan dan sumber pendapatan yang dimilikinya.
Temuan penelitian tersebut diperkuat dengan studi Scott (1983) mengenai
moral ekonomi petani, bahwa terdapat nilai utamakan selamat dalam diri petani.
Petani akan mengukur setiap tindakannya dengan tidak membahayakan
pemenuhan kebutuhan dasarnya. Hal tersebut menjelaskan hasil uji regresi bahwa
semakin rendah tingkat pendapatan petani maka kemampuan perencanaan petani
mengelola lahan Hutan Rakyatnya semakin meningkat. Petani Hutan Rakyat
dengan tingkat pendapatan rendah cenderung merencanakan pengelolaan
lahannya dengan lebih cermat. Tindakan-tindakan ekonomi yang dilakukan
petani merupakan tindakan alamiah petani untuk beradaptasi dengan kondisi
keterbatasan yang melingkupinya, baik kondisi keterbatasan tenaga kerja, sumber
pendapatan ataupun aset kepemilikan lahan. Oleh karena itu, tidak mudah
mendorong petani dengan tingkat pendapatan yang berbeda-beda dapat
berperilaku
sama
dalam
kegiatan
mengelola
lahan
Hutan
Rakyatnya.
Kemampuan perencanaan petani dapat dioptimalkan dengan membangun
kesamaan pemahaman mengenai nilai penting investasi modal masing-masing
petani, yang mendorong terbukanya wawasan ekonomi lebih luas dalam diri
petani sehingga kemampuan perencanaan petani dalam mengelola Hutan Rakyat
tidak hanya ditentukan oleh respon alamiah petani terhadap kondisi keterbatasan
yang dihadapinya, melainkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional
yang sudah berorientasi keberlangsungan kegiatan produksi. Kemampuan petani
144
144
merencanakan pengelolaan Hutan Rakyat juga dapat ditingkatkan dengan
membuka peluang wirausaha yang berfokus pada hasil-hasil Hutan Rakyat selain
kayu agar petani dapat meningkatkan pendapatannya.
Lama petani mengelola Hutan Rakyat memiliki pengaruh positif terhadap
kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Artinya
semakin lama petani mengelola Hutan Rakyat, maka semakin tinggi kemampuan
perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Sebaliknya semakin
singkat petani mengelola Hutan Rakyat. Semakin rendah tingkat kemampuan
perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Waktu yang dicurahkan
petani mengelola Hutan Rakyat berpengaruh terhadap kemampuan merencanakan
kebutuhan yang diperlukan dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Temuan ini
diperkuat oleh penelitian Oladele (2011) yang menyatakan bahwa pengalaman
berusahatani yang berasal dari pengalaman petani dalam kurun waktu tertentu
merupakan hal yang penting dalam mengelola lahan. Pengembangan kapasitas
petani dalam mengelola Hutan Rakyat ditentukan oleh pengalaman mengelola
lahannya sehari-hari. Kemampuan perencanaan petani terbangun melalui proses
pembelajaran dalam kurun waktu tertentu yang cukup memberikan pembelajaran
petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Semakin lama pengalaman yang
diperoleh petani, maka semakin baik kemampuan perencanaan yang dimilikinya.
Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa variabel norma sosial
yang mengikat petani memiliki pengaruh positif terhadap kemampuan
perencanaan dan kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan
Hutan Rakyat. Hal tersebut dapat diartikan bahwa semakin kuat ikatan norma
sosial dalam kelompok tani maka semakin tinggi kemampuan perencanaan dan
kemampuan pengorganisasian diri petani dalam mengelola Hutan Rakyat.
Semakin longgar ikatan norma sosial dalam kelompok tani semakin rendah
kemampuan perencanaan dan pengorganisasia diri petani dalam mengelola Hutan
Rakyat.
Norma merupakan elemen dasar dalam kehidupan sosial. Kehidupan
sosial selain memiliki konsekuensi berupa komitmen, juga didasarkan pada
145
kerjasama, saling memperhatikan dan membutuhkan. Kelompok tani Hutan
Rakyat merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat secara luas. Bentuk
kehidupan sosial dalam kelompok tani Hutan Rakyat adalah adanya interaksi
antara anggota kelompok tani Hutan Rakyat. Menurut Setiadi dan Kolip (2010)
norma tidak dapat dipisahkan dari nilai. Nilai merupakan sesuatu yang dianggap
sebagai hal yang baik, patut, layak, benar, maka norma merupakan perwujudan
dari nilai yang didalamnya terdapat kaidah, aturan, patokan, atau kaidah pada
suatu tindakan (aksi). Norma merupakan cara kelakuan sosial yang disetujui oleh
nilai, sehingga setiap pola perilaku yang telah dijadikan norma mengandung
unsur pembenaran. Pemberlakuan norma sosial ditujukan untuk menekan anggota
masyarakat agar segala perbuatan (perilaku) yang dilakukan anggota kelompok
tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang telah disepakati bersama.
Interaksi sosial antar anggota kelompok tani Hutan Rakyat diatur oleh
norma sosial yang disepakati dan dipatuhi bersama oleh seluruh anggota
kelompok. Berlangsungnya hubungan sosial yang mapan diindikasikan dengan
kuatnya ikatan norma sosial kelompok akan mendorong anggota kelompok
mewujudkan tujuan bersama yang ingin dicapai melalui kelompok tani Hutan
Rakyat. Petani Hutan Rakyat akan secara cermat merencanakan kegiatan
produksi Hutan Rakyat di lahannya sekaligus berusaha mengorganisasikan
dirinya dalam kelompok tani Hutan Rakyat.
Temuan penelitian ini diperkuat oleh penelitian Ranjan (2010) yang
menyatakan bahwa keberadaan norma sosial di masyarakat agraris mendorong
petani tetap berkelompok dan mengelola keterbatasan sumber daya yang mereka
miliki
secara
berkelanjutan.
Griskevicius
et
al.
(2008)
lebih
lanjut
menggambarkan kemampuan norma sosial dalam mempengaruhi perilaku
individu atau kelompok pro lingkungan terkait perubahan iklim. Norma berperan
sebagai alat perekat solidaritas sosial di dalam kehidupan kelompok. Kelompok
tani Hutan Rakyat harus mampu memberikan suasana kondusif terhadap
terjadinya interaksi antar anggota kelompok tani yang dilandasi ikatan kuat
terhadap norma-norma sosial kelompok.
146
146
Norma sosial yang mengikat anggota kelompok dan mendasari hubunganhubungan sosial dalam kegiatan produksi Hutan Rakyat, kehidupan berkelompok,
dan bermasyarakat. Semakin kuat ikatan norma sosial diantara anggota kelompok
akan membangun kebersamaan dan solidaritas kelompok yang kuat sehingga
kelembagaan petani semakin mapan. Hal itu dapat meningkatkan upaya
pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat di antara anggota kelompok agar
memperoleh taraf kehidupan yang lebih baik. Berdasarkan uraian di atas,
kemampuan perencanaan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan
Rakyat ditentukan oleh : (1) Tingkat pendapatan petani, (2) keterlibatan petani
dalam pengelolaan Hutan Rakyat, dan (3) Kemapanan norma sosial yang
mengikat anggota kelompok tani Hutan Rakyat.
Kemampuan pengorganisasian diri petani selain dipengaruhi oleh norma
sosial yang mengikat anggota kelompok, juga dipengaruhi oleh jumlah pelatihan
yang diikuti petani dan kualitas materi penyuluhan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa jumlah pelatihan yang diikuti petani memiliki pengaruh positif terhadap
kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan. Artinya
semakin banyak jumlah pelatihan yang diikuti petani, maka semakin tinggi
kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
Sebaliknya semakin sedikit pelatihan yang diikuti petani, maka semakin rendah
kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
Jumlah pelatihan yang diikuti petani juga memiliki pengaruh positif terhadap
kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Artinya semakin
banyak jumlah pelatihan yang diikuti petani, maka semakin tinggi kemampuan
penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Sebaliknya semakin sedikit
pelatihan yang diikuti petani, maka semakin rendah kemampuan penerapan
petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
Pelatihan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelatihan terkait
Hutan Rakyat yang diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan
keterampilan petani dalam mengelola Hutan Rakyatnya. Jumlah pelatihan yang
diikuti petani setara dengan tambahan pengetahuan atau keterampilan petani
147
terhadap pengelolaan Hutan Rakyat. Dixit et al. (1990) dalam Jha (2012)
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dalam
bidang perhutanan sosial (social forestry) dengan adopsi pelaksanaan wanatani
(agroforestry). Pelatihan di bidang Hutan Rakyat merupakan adopsi terhadap
bentuk pengelolaan lahan yang relatif baru bagi anggota kelompok tani Hutan
Rakyat. Proses adopsi tersebut berlangsung melalui proses pembelajaran petani.
Kimaru-Muchai et al (2012) menyatakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh
terhadap penyebaran informasi mengenai kesuburan tanah di Kenya. Tingkat
pendidikan petani dapat diartikan sebagai ragam pengetahuan dan keterampilan
yang dimiliki petani. Hal tersebut menunjukkan pentingnya pengembangan
kapasitas anggota kelompok melalui tambahan pengetahuan dan keterampilan
terkait pengelolaan Hutan Rakyat. Pelatihan terkait Hutan Rakyat akan memberi
wawasan kepada petani mengenai pentingnya pengembangan kapasitas
kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat dalam hal ini kelompok tani agar dapat
membantu mewujudkan tujuan yang ingin dicapainya.
Variabel bebas lainnya yang berpengaruh terhadap pengorganisasian diri
petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat adalah materi penyuluhan. Materi
penyuluhan memiliki pengaruh negatif terhadap kemampuan pengorganisasian
diri. Artinya peningkatan kualitas materi penyuluhan akan menurunkan
kemampuan pengorganisasian diri petani. Sebaliknya penurunan kualitas materi
penyuluhan akan meningkatkan kemampuan pengorganisasian petani. Materi
penyuluhan yang saat ini digunakan atau diberikan dalam kegiatan pembelajaran
Hutan Rakyat belum mengarahkan petani bertindak dalam konteks kelembagaan,
pengetahuan/informasi
yang
diberikan
justru
lebih
kepada
mendorong
kemandirian petani untuk secara individu mampu memenuhi kebutuhannya
sendiri terkait pengelolaan Hutan Rakyat. Materi penyuluhan memiliki peran
penting dalam proses pembelajaran. Materi penyuluhan dapat mendorong
terjadinya perubahan perilaku dalam individu. Berdasarkan uraian di atas,
kemampuan pengorganisasian diri anggota kelompok tani ditentukan oleh : (1)
kemapanan norma sosial yang mengikat anggota kelompok tani Hutan Rakyat,
148
148
(2) materi penyuluhan harus membangun dasar-dasar kelembagaan pengelolaan
Hutan Rakyat, dan (3) terbukanya kesempatan dan akses yang dimiliki petani
untuk mengikuti pelatihan Hutan Rakyat.
Hasil
penelitian
selanjutnya
menunjukkan
bahwa
kemampuan
berkomunikasi sumber belajar dalam pembelajaran petani Hutan Rakyat memiliki
pengaruh positif terhadap kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan
Hutan Rakyat. Artinya semakin baik kemampuan komunikasi sumber belajar,
maka akan semakin baik kemampuan penerapan petani Hutan Rakyat.
Komunikasi antara petani dan sumber belajar dalam pembelajaran pengelolaan
Hutan Rakyat menjadi penting karena petani harus mampu memahami dengan
baik aspek-aspek apa saja yang perlu dilakukan dalam mewujudkan kegiatan
perencanaan. Komunikasi yang baik antara petani dan sumber belajar mendorong
terjadinya kesesuaian antara informasi yang ingin disampaikan dan tercapainya
pelaksanaan sasaran kegiatan yang diinginkan.
Kemampuan penerapan anggota kelompok dalam pengelolaan Hutan
Rakyat ditentukan oleh : (1) terbukanya kesempatan dan akses yang dimiliki
petani untuk mengikuti pelatihan Hutan Rakyat sesuai dengan kebutuhan anggota
kelompok tani, (2) sumber belajar mampu berkomunikasi dengan baik dalam
kegiatan pembelajaran kelompok tani dan memberikan panduan konkrit
pelaksanaan kegiatan Hutan Rakyat, baik dalam panduan teknis Hutan Rakyat
maupun mengenai kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat.
Kemampuan pengawasan petani dipengaruhi oleh pendapatan petani,.
Pendapatan petani memiliki pengaruh negatif kemampuan pengawasan petani
terhadap dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Artinya semakin rendah tingkat
pendapatan petani, maka semakin tinggi kemampuan pengawasan petani dalam
pengelolaan Hutan Rakyat. Sebaliknya semakin tinggi pendapatan petani, maka
semakin rendah kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan
Rakyat. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, pendapatan responden
petani Hutan Rakyat disusun berdasarkan pendapatan dari lahan sawah, lahan
Hutan Rakyat dan pendapatan sampingan. Petani subsisten dengan pendapatan
149
rendah selain memperhitungkan dengan cermat manfaat atau keuntungan
ekonomi yang dapat diperolehnya dari setiap sumber pendapatan juga akan
mengawasi dengan baik pengelolaan Hutan Rakyatnya.
Pengelolaan Hutan Rakyat tidak dapat dipisahkan dari keberadaan lahan
milik petani. Tanah atau lahan memiliki nilai penting bagi petani pengelolanya.
Polanyi (1957) dalam Wolf (1985) menyatakan bahwa tanah bagi petani adalah
komoditi dan harga belinya dianggap sebagai investasi modal. Dalam hal ini
maka petani akan memperlakukan tanahnya sebaik mungkin. Petani dengan lahan
sempit dan tingkat pendapatan rendah akan cenderung mengganggap lahannya
sebagai aset kepemilikan berharga yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin.
Petani dalam hal ini akan turun langsung mengolah lahannya dan mengerahkan
anggota keluarganya untuk ikut membantu di lahan. Petani berlahan luas dengan
tingkat pendapatan yang tinggi cenderung akan lebih longgar
mengolah
lahannya, dikarenakan surplus ekonomi yang diterimanya dari lahan. Petani
sudah mulai mempekerjakan sejumlah orang untuk mengerjakan lahannya dan
tidak turun tangan sendiri di lahan.
Sebagaimana dinyatakan oleh Scott (1983) dalam studinya mengenai
moral ekonomi petani yaitu bahwa terdapat nilai utamakan selamat dalam diri
petani. Petani akan mengukur setiap tindakannya dan sedapat mungkin tidak
membahayakan pemenuhan kebutuhan dasarnya. Uraian tersebut menjelaskan
bagaimana semakin rendah pendapatan petani maka kemampuan pengawasan
petani dalam pengelolaan Hutan Rakyatnya semakin meningkat. Tindakantindakan ekonomi yang dilakukan petani merupakan tindakan alamiah petani
untuk beradaptasi dengan kondisi keterbatasan yang melingkupinya, baik kondisi
keterbatasan tenaga kerja, sumber pendapatan ataupun aset kepemilikan lahan.
Oleh karena itu, sebagaimana kemampuan perencanaan petani, kemampuan
pengawasan petani dapat dioptimalkan dengan membangun pemahaman
mengenai nilai penting investasi modal masing-masing petani. Keterbukaan
wawasan ekonomi yang lebih luas dalam diri petani mendorong kemampuan
pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat tidak hanya ditentukan oleh
150
150
respon alamiah petani terhadap kondisi keterbatasan yang dihadapinya. Sebagian
besar petani Hutan Rakyat memiliki pendapatan sampingan di luar lahan (offfarm). Hal tersebut menunjukkan pula bahwa petani dengan pendapatan tinggi
dan merasa aman (financial safety) maka ia tidak merasa perlu mengawasi lahan
Hutan Rakyatnya secara intensif. Petani dengan pendapatan rendah, menganggap
bahwa lahan Hutan Rakyat merupakan aset yang harus dikelola dan diawasi
dengan baik.
Kemampuan pengawasan petani dipengaruhi pula oleh pengorganisasian
kegiatan produksi dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Pengorganisasian kegiatan
produksi memiliki pengaruh positif terhadap kemampuan pengawasan petani
dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Artinya semakin baik pengorganisasian
kegiatan produksi dalam pengelolaan Hutan Rakyat maka akan semakin baik
kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Kemampuan
pengawasan petani ditentukan oleh : (1) keterbatasan lahan yang dimilikinya dan
(2) pembagian kerja yang terorganisir dengan alur koordinasi yang jelas.
7.9 Strategi Penguatan Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Strategi penguatan kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat dilakukan
dengan memetakan permasalahan yang dihadapi petani dan mengintegrasikannya
dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan anggota kelompok
dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Keberlangsungan pengelolaan Hutan Rakyat
salah satunya ditentukan oleh kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat.
Kelompok tani Hutan Rakyat merupakan bagian dari kelembagaan pengelolaan
Hutan Rakyat dan berperan penting sebagai wadah interaksi antar anggota
kelompok tani Hutan Rakyat. Proses pembelajaran petani terjadi dalam kelompok
tani Hutan Rakyat. Kelompok tani memfasilitasi penyelenggaraan kegiatan
produksi Hutan Rakyat. Peningkatan kualitas pengelolaan Hutan Rakyat di masa
mendatang dapat dilakukan dengan merumuskan strategi yang menekankan pada
penguatan kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat.
151
Pretty (1995) mengemukakan bahwa kelompok dan kelembagaan lokal
sudah sejak lama berperan penting dalam pembangunan pertanian pedesaan.
Pembangunan pertanian yang berkelanjutan tidak hanya tergantung pada motivasi
masing-masing petani, tetapi juga tergantung pada tindakan kelompok atau
masyarakat secara keseluruhan. Kelompok tani berperan penting dalam
pengelolaan Hutan Rakyat sebagaimana halnya dalam pertanian pedesaan.
Pengelolaan Hutan Rakyat adalah proses pembelajaran petani Hutan Rakyat
mengenai cara mengelola Hutan Rakyat berdasarkan kaidah yang ditentukan.
Penelitian Millar dan Curtis (1997) menemukan bahwa interaksi antar petani,
baik diantara mereka sendiri, maupun bersama dengan para ahli dan penyuluh,
berdampak pada terjadinya pertukaran pengetahuan yang memfasilitasi proses
pembelajaran petani secara lebih mendalam. Fasilitasi yang efektif sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan proses pembelajaran kelompok petani.
Strategi penguatan kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat secara
garis besar terbagi menjadi strategi penguatan kelompok melalui pengembangan
kapasitas anggota kelompok didukung dan reorientasi penyelenggaraan kegiatan
penyuluhan kehutanan.
Pengembangan kapasitas anggota kelompok mengandung pengertian
peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam kelompok tani. Peningkatan
kualitas sumber daya manusia dalam kelompok tani dilakukan melalui: (1)
peningkatan pendapatan petani pengelola Hutan Rakyat, (2) peningkatan
kapasitas kelembagaan kelompok tani Hutan Rakyat, (3) Keterbukaan akses
terhadap pelatihan Hutan Rakyat sesuai kebutuhannya, (4) Peningkatan kapasitas
sumber belajar, dan (5) Peningkatan kemampuan petani dalam aspek pemasaran
Hutan Rakyat.
Strategi penguataan kelompok tersebut harus didukung oleh reorientasi
penyelenggaraan penyuluhan kehutanan terkait Hutan Rakyat. Reorientasi
penyelenggaraan penyuluhan kehutanan pada dasarnya adalah memaknai kembali
kegiatan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan yang sudah berjalan saat ini.
Kesesuaian sistem yang ada dengan kebutuhan petani, kemudahan akses
152
152
informasi, dan dukungan parapihak. Beberapa hal yang perlu dipikirkan kembali
dalam penyelenggaraan kegiatan penyuluhan adalah keterlibatan multipihak yang
berjalan saat ini dalam pola pembelajaran petani.
Tabel 76. Strategi penguatan kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat
No.
Masalah
1.
Rendahnya
tingkat
pendapatan
petani Hutan
Rakyat
2.
Tujuan
Program
- Petani
memiliki
pemahaman
mengenai
nilai-nilai
investasi
modal
- Petani
memiliki
sumber
pendapatan
lainnya untuk
meningkatkan
pendapatan
Kelembagaan - Komitmen
anggota
pengelolaan
kelompok
Hutan Rakyat
terhadap
masih belum
mapan
kelompok
tani
meningkat
- Pemahaman
petani
terhadap
aspek
kelembagaan
pengelolaan
Hutan Rakyat
meningkat
Program
Sasaran
Pelaksana
- Diversifikasi
usaha
masyarakat dari
lahan Hutan
Rakyat
- Pelatihan
pembuatan
kerajinan siap
jual dari limbah
kayu Hutan
Rakyat
- Pelatihan
pengolahan
hasil-hasil
palawija menjadi
barang siap jual
- Pelatihan
kewirausahaan
dengan pola
kemitraan
Petani Hutan
Rakyat
dengan
penghasilan
rendah
- Pemerintah
- Instansi
Dinas
terkait
- Dinas
Kehutanan
Kab/Prop.
- BKP5K
- BP3K
- Pengembangan
kapasitas
kelembagaan
kelompok tani
Hutan Rakyat
Petani
sebagai
anggota
kelompok
tani Hutan
Rakyat
Petani Hutan
Rakyat
dengan
penghasilan
memadai
- Pemerintah
- Instansi/UP
T terkait
- Lembaga
penyuluhan
- LSM
Swadaya
153
Tabel 76.
Strategi penguatan kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat
(Lanjutan)
No.
Masalah
3.
Kesempatan
petani
memperoleh
tambahan
pengetahuan
dan
keterampilan
Hutan Rakyat
masih terbatas
4.
Kemampuan
sumber belajar
dalam
pembelajaran
pengelolaan
Hutan Rakyat
masih terbatas
5.
Penguasaan
petani terhadap
aspek
pemasaran
masih rendah
Tujuan
Program
Petani
memperoleh
kesempatan
pelatihan Hutan
Rakyat sesuai
kebutuhannya
Program
Sasaran
Pelaksana
- Identifikasi
kebutuhan
petani
terhadap
pelatihan
Hutan Rakyat
- Peningkatan
penyelenggara
an pelatihan
Hutan Rakyat
bagi petani
Petani
pengelola
Hutan
Rakyat
- Pemerintah
- Instansi/UPT
terkait
- Lembaga
penyuluhan
- LSM
Swadaya
Peningkatan
kapasitas
sumber belajar
- Identifikasi
tingkat
pengetahuan
dan
keterampilan
sumber belajar
- Penyusunan
rancangan
materi
pembelajaran
sesuai
kebutuhan
sumber belajar
- Pelatihan
untuk
meningkatkan
kompetensi
sumber belajar
Ketua
kelompok
tani,
penyuluh
kehutanan,
penyuluh
swadaya
masy,
kader
sumber
belajar
- Pemerintah
- Instansi/UPT
terkait
- Dinas
Kehutanan
Kab/Prop.
- BKP5K
- BP3K
Petani
menguasai
aspek
pemasaran
Hutan Rakyat
- Pendampingan petani
Hutan Rakyat
- Pelatihan
kewirausahaan Hutan
- Pembentukan
koperasi
Hutan Rakyat
Petani
pengelola
Hutan
Rakyat
- Pemerintah
- Instansi/UPT
terkait
- Lembaga
penyuluhan
- LSM
Swadaya
154
154
Tabel 76.
Strategi penguatan kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat
(Lanjutan)
No.
Masalah
6.
Hasil kayu
Hutan Rakyat
belum
maksimal
7.
Petani Hutan
Rakyat sulit
memperoleh
bantuan modal
Tujuan
Program
Petani
memiliki
pengetahuan
dan
keterampilan
mengelola
Hutan Rakyat
secara
berkelanjutan
- Pendampingan
Pengelolaan
Hutan berbasis
Masyarakat
lestari
- Pelatihan Hutan
Rakyat
Petani
pengelol
a Hutan
Rakyat
- Pemerintah
- Instansi/UPT
terkait
- Lembaga
penyuluhan
- LSM
Swadaya
Terbukanya
akses modal
terhadap petani
untuk
meningkatkan
skala usahanya
- Bank masuk
desa
- Program
simpan-pinjam
petani Hutan
Rakyat
Petani
pengelol
a Hutan
Rakyat
- Pemerintah
- Instansi/UPT
terkait
- Lembaga
penyuluhan
- Perbankan
Program
Sasaran
Pelaksana
155
VIII. SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan
Simpulan yang dapat disampaikan dari penelitian ini adalah :
1.
Pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat dalam kelompok tani telah
mendorong terjadinya perubahan perilaku petani dalam mengelola lahan.
Perubahan pengelolaan lahan dari semula pertanian sawah lahan basah
menjadi Hutan Rakyat di lahan kebun dengan pola penanaman dan
pemeliharaan yang berbeda merupakan bentuk inovasi yang memerlukan
pengetahuan dan keterampilan baru dari petani.
2.
Pengelolaan Hutan Rakyat masih menghadapi beberapa permasalahan, yaitu
masih rendahnya kesempatan anggota kelompok memperoleh tambahan
pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan non-formal terkait Hutan
Rakyat, belum maksimalnya pelaksanaan kegiatan penyuluhan kehutanan
dari lembaga penyuluhan beserta unit pelaksana teknis terkait, keterbatasan
luas lahan, rendahnya pendapatan petani dan masih kurang memadainya
kapasitas anggota kelompok tani dalam kelembagaan pengelolaan Hutan
Rakyat.
3.
Kemampuan perencanaan petani dapat meningkat apabila petani memperoleh
wawasan yang memadai mengenai nilai penting lahan Hutan Rakyat yang
dimilikinya, petani memperoleh kesempatan meningkatkan pendapatannya,
terlibat dalam rentang waktu yang cukup pada program Hutan Rakyat
sehingga memiliki pengalaman pembelajaran yang memadai dalam
mengelola Hutan Rakyat, dan terdapat solidaritas tinggi di antara anggota
kelompok tani karena diikat oleh norma sosial kelompok yang kuat.
4.
Kemampuan petani mengorganisir diri dalam kelembagaan pengelolaan
Hutan Rakyat dapat meningkat apabila petani memperoleh kesempatan
mengikuti pelatihan Hutan Rakyat sesuai kebutuhannya dan didukung oleh
media kelompok tani dengan solidaritas tinggi di antara anggota kelompok
tani Hutan Rakyat.
156
156
5.
Kemampuan petani menerapkan hasil pembelajaran Hutan Rakyatnya dapat
meningkat apabila petani memperoleh kesempatan mengikuti pelatihan
Hutan Rakyat sesuai kebutuhannya dan sumber belajar memperoleh
bimbingan atau mengikuti pelatihan pengajaran untuk mengembangkan
kemampuan berkomunikasi dengan petani sebagai pembelajar.
6.
Kemampuan petani mengawasi kegiatan produksi Hutan Rakyat dapat
meningkat apabila petani memperoleh wawasan yang cukup mengenai
pentingnya aspek pengawasan dalam kegiatan produksi Hutan Rakyat
didukung oleh pelaksanaan kegiatan yang terorganisir dengan baik.
7.
Ketua kelompok tani berperan penting dalam mengkoordinasikan seluruh
kegiatan produksi Hutan Rakyat, sehingga ketergantungan kelompok tani
terhadap ketua kelompok masih sangat besar.
8.
Bentuk pembelajaran petani berlangsung secara vertikal dan horisontal.
Secara vertikal yaitu antara anggota kelompok-ketua kelompok tani dan
anggota kelompok-penyuluh kehutanan. Secara horisontal pembelajaran
petani berlangsung dari petani ke sesama petani lainnya yang dianggap lebih
berpengalaman.
8.2
Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan adalah :
1.
Pemerintah, terdiri dari lembaga penyuluhan dan instansi teknis terkait
melakukan identifikasi dan inventarisasi data mengenai kompetensi sumber
belajar yang saat ini terlibat dalam pembelajaran petani Hutan Rakyat. Hasil
identifikasi tersebut digunakan sebagai bahan untuk merancang bentuk
kegiatan peningkatan kompetensi sumber belajar yang dapat dilakukan,
antara lain melalui penyelenggaraan pelatihan bagi sumber belajar sesuai
kebutuhan terhadap jenis kompetensi sumber belajar yang dibutuhkan oleh
petani Hutan Rakyat agar kemampuan mengelola lahannya dapat meningkat.
2.
Pemerintah, terdiri dari lembaga penyuluhan dan instansi teknis terkait
mengkaji kembali dukungan sistem penyuluhan yang berjalan saat ini
157
terhadap proses pembelajaran petani Hutan Rakyat di lapangan dan
kesesuaian kebijakan-kebijakan penyuluhan yang berjalan saat ini dengan
kebutuhan petani Hutan Rakyat. Reorientasi dan perombakan sistem
penyuluhan perlu dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan kegiatan
penyuluhan kehutanan sebagai ujung tombak keberhasilan Hutan Rakyat.
9.
Pemerintah, terdiri dari lembaga penyuluhan dan instansi teknis terkait
menyusun rancangan upaya peningkatan kapasitas petani antara lain melalui
penyelenggaraan pelatihan Hutan Rakyat secara intensif, memberikan materi
penyuluhan yang lebih komprehensif kepada petani Hutan Rakyat,
mengembangkan pembelajaran petani berbasis pengalaman dan pemecahan
masalah (problem solving) petani, serta membangun kemandirian dalam
dinamika kelompok dengan mengembangkan potensi masing-masing
anggota kelompok secara maksimal.
3.
Strategi untuk meningkatkan kemampuan petani dalam pengelolaan Hutan
Rakyat lebih ditujukan untuk meningkatkan peran kelembagaan pengelolaan
Hutan Rakyat dalam pembelajaran petani Hutan Rakyat, sekaligus
mendorong bentuk penyuluhan swadaya yang partisipatif.
4.
Peran kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat dapat ditingkatkan dengan
membangun kesepahaman parapihak mengenai pentingnya kelembagaan
pengelolaan Hutan Rakyat. Kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat harus
mampu memfasilitasi proses pembelajaran petani agar terjadi perubahan
perilaku untuk mampu melakukan perbaikan lingkungan sekaligus
memperoleh taraf kehidupan yang lebih baik. Kelembagaan pengelolaan
Hutan Rakyat yang dibangun terdiri dari parapihak yaitu petani pengelola
Hutan Rakyat, pemerintah (Tingkat Provinsi dan Kabupaten), lembaga
penyuluhan (BKP5K/BP3K), perguruan tinggi, dinas instansi terkait
(Kementerian Kehutanan, Pertanian, Perindustrian, dan lainnya), lembaga
pendukung (lembaga donor/LSM pendamping) dan perbankan.
5.
Keterhubungan dan sinergitas multipihak dalam kelembagaan pengelolaan
Hutan Rakyat dikoordinasikan pelaksanaannya oleh pemerintah (Tingkat
158
158
Provinsi dan Kabupaten), lembaga penyuluhan, dan instansi teknis terkait.
Oleh karena itu perlu dibentuk wadah pendampingan pengelolaan Hutan
Rakyat di Tingkat Provinsi/Kabupaten.
6.
Penyuluhan swadaya yang partisipatif adalah bentuk penyuluhan yang
dilakukan di antara petani atau dari petani ke petani Hutan Rakyat (farmer to
farmer extension) secara mandiri dan dilakukan oleh ketua kelompok tani
beserta seluruh anggota kelompok tani Hutan Rakyatnya. Penyuluhan
swadaya partisipatif dibina dan dikoordinasikan penyelenggaraannya oleh
pemerintah (Tingkat Provinsi dan Kabupaten) bekerjasama dengan lembaga
penyuluhan setempat (BKP5K, BP3K).
159
DAFTAR PUSTAKA
Agarwal, B. 1994. A field of one's own: Gender and land rights in South Asia.
Cambridge University press
Agustine R. 2006. Satu lagi, Hutan Rakyat Mendapatkan Sertifikat Ekolabel
IntipHUTAN Media Informasi Seputar Hutan Indonesia. Bogor : Forest
Watch Indonesia
Agusyana Yus, Islandscript. 2011. Olah Data Skripsi dan Penelitian dengan SPSS
19. Jakarta : PT Elex Komputindo
Ancok D. 2012. Psikologi Kepemimpinan dan Inovasi. Jakarta : Penerbit
Erlangga
Andayani, W. 2003. Strategi Pengembangan Hutan Rakyat. Jurnal Hutan Rakyat
V (3). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan.
Arsyad A. 1997. Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
Asdak, C. 1999. DAS sebagai Satuan Monitoring dan Evaluasi Lingkungan: Air
sebagai Indikator Sentral. Seminar Sehari PERSAKI DAS sebagai Satuan
Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Air; 1999 Des
21; Jakarta.
Anderson J, Farrington, J. 1996. Forestry extension: facing the challenges of
today and tomorrow. UNASYLVA (41)184: 3-12.
Azwar, Saifuddin. 2012. Penyusunan Skala Psikologi. Edisi 2. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Berk LE. 2007. Development through the life span. Fourth Edition. Boston :
Allyn & Bacon
Budiman A, Handayani W, Diniyati D, Fauziyah E, Hani A, Widyaningsih TS,
Herawati T. 2008. Hutan Rakyat Jawa Barat : Status Riset dan Strategi
Pengembangannya. Ciamis : Balai Penelitian Kehutanan Ciamis
Bukenya M, Bbale W, Buyinza M, Ndemere P. 2007. Effectiveness of individual
and Group Agroforestry Extension Methods : A Case Study of ViAgroforestry Project in Uganda.. Research Journal of Applied Science
2(12): 1224-128. Medwell Journal
160
160
Carr GF. 2011. Empowerment: A Framework to Develop Advocacy in African
American Grandmothers Providing Care for Their Grandchildren.
International Scholaly Research Network. Volume 2011, Article ID
5311717, 7 pages.
Carter J, Stockdale M, Roman FS, Lawrence A. 1995. Local People’s
Perticipation inForest Resource Assessment: An Analysis of Recent
Experience, with Case Studies from Indonesia and Mexico.
Commonwealth Forestry Review 74(4), 1995. Halaman 333-341
Chavangi AH, Zimmermann R. 1987. Guide to farm forestry. Nairobi: Ministry
of Environment and Natural Resources.
Cohen BJ. 1992. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta :Penerbit Rineka Cipta
Departemen Kehutanan. 1996. Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Kerjasama
Pusat Penyuluhan Kehutanan Departemen Kehutanan Republik Indonesia
dengan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS). Jakarta :
Departemen Kehutanan
Direktorat RHL, Ditjen RLPS Kementerian Kehutanan (2009)
[DFID] Department for International Development. 2003. Key Sheet 6.
Participation in Forest Management dalam Key Sheet for Sustainable
Livelihood. London: DFID [Internet]. [Diunduh 2011 Desember 15].
Tersedia pada : www. Dfid.gov.uk
Departemen Kehutanan. 2002. Rencana Strategis Departemen Kehutanan. Jakarta
: Departemen Kehutanan
[Dinas Kehutanan Kabupaten Bogor]. 2010. Monografi Dinas Kehutanan
Kabupaten Bogor
De Vito JA. 2011. Komunikasi Antarmanusia. Saputra L, Wahyu YI, Prihantini
Y, editor. Jakarta : Karisma Publishing Group. Terjemahan dari: The
Interpersonal Communication Book (Fifth Edition)
Effendi A. 2000. Hutan bagi masyarakat. Majalah Kehutanan Indonesia, Edisi
3/XIII/1999-2000. Jakarta: Departemen Kehutanan Dan Perkebunan
Ferdaus RM. 2005. Peluang Sertifikasi Hutan Rakyat di Kabupaten Gunung
Kidul. Label Hijau : Kompilasi Pengetahuan dan Pengalaman Sertifikasi
Ekolabel di Indonesia. Bogor : Lembaga Ekolabel Indonesia
161
Foti Richard, Nyakudya Innocent, Moyo Mack, Chikuvire John, Mlambo
Nyararai. 2007. Determinants of Farmer Demand for “Fee-for-Service”
Extension in Zimbabwe: The Case of Mashonaland Central province.
Journal of International Agricultural and Extension Education [Internet].
Volume 14 no. 1; [Diunduh 2012 Jul 18]. Tersedia pada www.
Glendinning A, Mahapatra A, Mitchell C. P.2001. Modes of Communication and
Effectiveness of Agroforestry Extension in Eastern India. Cornell
University : Human Ecology
Griskevicius V, Cialdini RB, Goldstein NJ. 2008. Social Norms: An
Underesimated and underemployed Lever for Managing Climate Change.
IJSC [Internet]. Volume 3 (2008): 5-13; [Diunduh 2013 Januari 24].
Tersedia pada: www.ijsc-online.org
Gunawan B, Takeuchi K, Abdoellah OS. 2004. Challenges to community
participation in watershed management: an analysis of fish farming
activities at saguling eservoir, West Java – Indonesia. Journal Water
Policy 6. Halaman 319-334.
Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia
Hamid dan Sultan A. 2005. Studi kasus Sertifikasi Pengelolaan Hutan Jati di
Tanah Milik Masyarakat, Kabupaten Konawe Selatan. Label Hijau :
Kompilasi Pengetahuan dan Pengalaman Sertifikasi Ekolabel di
Indonesia. Bogor : Lembaga Ekolabel Indonesia
Hauser M, Aigelsperger L, Owamani A, Delve RJ. 2010. Learning achievement
of farmers during the transition to market-oriented organic agriculture in
rural Uganda. Journal Agriculture and Rural Development in The Tropics
and Subtropics [Internet]. [Diunduh 2012 Jul 2]. Tersedia pada :
www.jart.info
Hudiyani, Indiyah. 2009. Kelembagaan Penyuluhan Partisipatif Dalam
Pengelolaan Hutan Rakyat (Studi Kasus Komunitas Petani Sertifikasi
Percabaan Dusun Pagersengon Kelurahan Selopuro Kecamatan
Batuwarno Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah) [tesis]. Institut
Pertanian Bogor.
Hutapea dan Thoha, Parulian dan Nurianna. 2008. Kompetensi Plus :Teori,
Desain, Kasus, dan Penerapan untuk HR dan Organisasi yang dinamis.
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
162
162
Huxley P, Helenvan Houten. 2003. Glossary for agroforestry. World Agroforestry
Centre.
Mugiyono Is. 2009. Penyusunan Database Hutan Rakyat di Pulau Jawa (Sebagai
Prakondisi Implementasi Sistem Legalitas Kayu dan Rencana Proyek
Karbon). Workshop di Sahid Raya Hotel-Yogyakarta 2009 Agustus 19
Iqbal
M. 2007. Concent and Implementation of Participation and
Empowerment:Reflection from the Coffee IPM-SECP. Makara Sosial
Humaniora, Vol. 11 No. 2 Desember 2007. Halaman 58-70
Jaffee S, Srivastava J. 1992. Seed System Development : The Appropiate Roles
of the Private and Public Sectors. World Bank Discussion Paper; 167.
Washington : World Bank
Jha KK. 2012. Factors Influencing Knowledge Level of Farmers about Social
Forestry. J Hum Ecol, 38(3): 175-180
Kerlinger FN. 2006. Asas-asas Penelitian Behaviorial. Cetakan ketiga.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Kimaru-Muchai SW, Mugwe JN, Mucheru-Muna M, Mirura FS, Mugendi DN.
2012. Infuence of education level on dissemination of soil fertility
management information in the central highlands of Kenya. Journal of
Agriculture and Rural Development in the Tropics and Subtropics
[Internet]. [Diunduh pada 2013 Februari 16]; vol 113 No.2 (2012) 89-99.
Tersedia pada : www.jarts.info
Klausmeier HJ, Goodwin, W. 1971. Learning and Human Abilities: Educational
Psychology. Fourth Edition. New York : Harper & Row Publishers
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Penerbit PT.
Rineka Cipta
Latan H dan Temalagi S. 2013. Analisis Multivariate (Teknik dan Aplikasi
menggunakan program IBM SPSS 20.0). Bandung : Alfabeta
Leeuwis, Cees. 2009. Komunikasi untuk Inovasi Pedesaan. Berpikir Kembali
tentang Penyuluhan Pertanian.Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Lionberger HF, Gwin PH. 1982. Communication Strategis : A Guide for
Agricultural Change Agent. United State of America : The Interstate
Printers and Publisher Inc
163
Lucas R, Handoyo, Fay C, Sirait M, Paysa G. 2002. Model Konservasi fungsi
Hutan Artikel Baru pendekatan perhutanan sosial. Paper utama dalam
Seminar Perhutanan Sosial. Bogor : Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan.
Mahaliyanaarachchi RMAS B,
Rohana P. 2006. Commercialization of
Agriculture and Role of Agricultural Extension. Sabaragamuwa
University Journal, vol 6, no. 1, halaman 13-22
Millar J, Curtis A. 1997. Moving Farmer knowledge beyond the farm gate: An
Australian study of farmer knowledge in group learning. European
Journal of Agricultural Education and Extension. Vol. 4 No. 2
Mosher AT. 1966. Getting Agriculture Moving: Essentials For Development and
Modernization. New York : The Agricultural Development Council
Mindawati N, Asmanah W, Rustaman B. Review Hasil Penelitian Hutan Rakyat.
Priyono NS, editor. 2006. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan Tanaman
Oladele OI. 2011. Contribution of indigenous vegetables and fruits to poverty
alleviation in Oyo State, Nigeria. J Hum Ecol. 34(1) :1-6
Pearson JP. 1983. Interpersonal Communication. Illinois : Scott, Foresman, and
Company
Peterson NA, Speer PW, Peterson CH. 2011. Pathways to Empowerment in
Substance Abuse Prevention: itizan Participation, Sense of Community,
and Police Responsiveness in an Urban U.S Setting. Global Journal of
Comminity Psychology Practice [Internet]. Volume 1, Issue 3; [Diunduh
2012 Agustus 8]. Tersedia pada : www.gicpp.org
Pretty JN. 1995. Regenerating Agriculture, Policies and Practise for
Sustainability and Self-Reliance. London : Earthscan Publication Ltd
Priyatno Duwi. 2012. Mandiri Belajar Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta :
Mediakom
Rahman A. 2006 Koperasi Pilar Perekonomian Masyarakat. IntipHUTAN Media
Informasi Seputar Hutan Indonesia. Bogor : Forest Watch Indonesia
Bogor
Ranjan R. 2010. Social Norms, Social Capital and Sustainability of Small Scale
Economies. Journal of Natural Resources Policy and Research,
forthcoming
164
164
Rebugio, L. L., 1978. Forestry Extension in the Philippines: A brief review.
Forestry Occupancy Management and Extension Seminar. Maddela,
Philippines.
Roger E, Shoemaker F.F. 1971. Communication of Innovations. Second Edition.
New York : A Division the Macmillan Company
Saito KA, Weidemann CJ. 1991. Agricultural Extension for Women Farmers.
Discussion Paper No. 103. Washington : The World Bank
Salam MA, Noguchi T, Koike M. 2005. Factors Influencing The Sustained
Participation of Farmers in Participatory Forestry: A Case Study in
Central Sal Forest in Bangladesh. Journal of Environmental Management
[Internet]. Volume 74(2005) Halaman 43-5; [Diunduh 2012 September
18]. Tersedia pada: www.elsevier.com/locate/jenvman
Scott JC. 1983. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara. Jakarta : Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial
Schunk DH. 2012. Teori-teori Pembelajaran : Perspektif Pendidikan. Edisi
keenam. Eva Hamdiah, Rahmat F, penerjemah. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar. Terjemahan dari : Learning Theories An Educational Perspective.
Sixth Edition
Setiadi EM, Kolip U. 2010. Pengantar Sosiologi : Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya. Jakarta :
Kencana Prenada Media Group
Sherson D, Gray DI, Reid JI, Gardner, JWM. 2002. The Facilitation of Learning
Groups: A Study of a Dairy Discussion Group Facilitator. Paper prepared
for presentation at the 13th International Farm Management Congress,
Wageningen, The Netherlands, 7-12 Juli, 2002 [Internet]. [Diunduh 2011
Maret 18]. Tersedia pada : www.ageconsearch.umn.edu
Simon, Hasanu. 2010. Dinamika Hutan Rakyat di Indonesia. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Singh S, Khare A. 1993. People’s Participation in Forest Management.
Commonwealth Forestry Review 72(4), 1993. Halaman 279-283
Singarimbun M, Effendi S (Editor). 2008. Metode Penelitian Survai . Cet.
Kesembilan belas. Jakarta : LP3S
165
Slamet, M, 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor : IPB
Press
Soekanto S. 1994. Sosiologi, Suatu Pengantar. Edisi baru keempat cetakan ke-19.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Spencer LM Jr, Spencer SM. 1993. Competence at Work: Models for Superior
Performance. New York : John Wiley & Sons
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung :
Penerbit Alfabeta
Tengnas B. 1994. Agroforestry Extension Manual for Kenya. Nairobi:
International Centre for Research in Agroforestry
Widoyoko EP. 2012.Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Winkel WS. 2009. Psikologi Pengajaran. Cetakan Ke-10. Yogyakarta : Penerbit
Media Abadi
Wolf ER. Petani, Suatu Tinjauan Antropologis. Cetakan ke-2. Yayasan Ilmu-ilmu
Sosial (YIIS), penerjemah. Jakarta : CV Rajawali. Terjemahan dari:
Peasants
Wright S. 1990. Rural Development: Problems and Practices. Buller H and
Wright S, editor. Great Britain : Atheneum Press Ltd.
Yamin M. 2011. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta : Gaung Persada Pers
Jakarta.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN ..............................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................
1
1.2 Masalah Penelitian .....................................................................
7
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................
7
1.4 Manfaat Penelitian .....................................................................
8
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat di Sekitar Kawasan
Hutan .........................................................................................
2.1.1 Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan
Rakyat ................................................................................
2.1.2 Dukungan Kebijakan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat …..
2.2 Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat .....................................
2.2.1 Kelompok Tani Hutan Rakyat sebagai Kelembagaan
Sosial ......................................................................................
2.2.2 Kelembagaan Hutan Rakyat sebagai Bentuk Tindakan
Bersama (Collective action) ............................................
2.3 Penyuluhan Kehutanan .............................................................
2.3.1 Penyuluhan secara Umum ...................................................
2.3.2 Penyuluhan Kehutanan .......................................................
2.3.3 Pelaksanaan Penyuluhan Kehutanan di Indonesia .............
2.4 Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat ..............
2.4.1 Kelompok Tani sebagai Media Pembelajaran .....................
2.4.2 Sumber Belajar ....................................................................
2.4.3 Faktor-faktor Penentu Pembelajaran .................................
2.5 Kemampuan Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat ...................
9
9
11
14
15
17
18
19
19
21
23
25
26
27
27
32
III.
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS .................................
3.1 Kerangka Pemikiran ....................................................................
3.2 Kerangka Operasional .................................................................
3.3 Hipotesis ......................................................................................
34
34
38
40
IV.
METODE PENELITIAN ....................................................................
4.1 Rancangan Penelitian .................................................................
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................
4.3 Populasi dan Sampel ..................................................................
4.4 Data dan Instrumentasi Penelitian .............................................
4.4.1 Data dan Pengukuran ......................................................
4.4.2 Instrumentasi Penelitian ..................................................
4.5 Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ........................
4.5.1 Validitas
.......................................................................
4.5.2 Reliabilitas .......................................................................
4.5.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabitas Instrumen Penelitian….
41
41
41
42
43
43
44
55
55
56
56
4.6 Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 57
4.7 Teknik Analisa Data ................................................................... 57
V.
VI.
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ...........................
5.1 Gambaran Umum Hutan Rakyat di Kabupaten Bogor, Provinsi
Jawa Barat
...............................................................................
5.2 Gambaran Umum Desa Tegal Waru .........................................
5.2.1 Kondisi Umum ................................................................
5.2.2 Pengembangan Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru ……...
5.2.2.1 Areal Model Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru…
5.2.2.2 Kelompok Tani Hutan Rakyat dan Penyuluhan
Kehutanan di Desa Tegal Waru .............................
PROFIL PETANI HUTAN RAKYAT
6.1 Karakteristik Responden
........................................................
6.2 Kompetensi Sumber Belajar .....................................................
6.2.1 Personal Pendamping Belajar ............................................
6.2.2 Penguasaan Informasi/Pengetahuan terkait Hutan
Rakyat ................................................................................
6.3 Kegiatan Penyuluhan ..................................................................
6.3.1 Pemahaman mengenai Tujuan Kegiatan Penyuluhan ……
6.3.2 Materi Penyuluhan .............................................................
6.3.3 Metode Penyuluhan ...........................................................
6.3.4 Sarana dan Prasarana Penunjang Kegiatan Penyuluhan ….
6.4 Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat ....................................
6.4.1 Pola Hubungan Kerja dalam Kelompok Tani ...................
6.4.2 Pengorganisasian Kegiatan Produksi .................................
6.4.3 Norma sosial Dalam Kelompok Tani .................................
6.4.4 Hutan Rakyat dan Keterlibatan Multipihak ........................
6.5 Hubungan Interpersonal ...............................................................
6.5.1 Interaksi Petani dan Keluarganya dalam Pengelolaan
Hutan Rakyat ......................................................................
6.5.2 Interaksi Petani dan Pendamping Belajar dalam
Pengelolaan Hutan Rakyat .................................................
6.5.3 Interaksi Petani dengan Masyarakat dalam Pengelolaan
Rakyat ................................................................................
6.6 Kemampuan Anggota Kelompok Tani ........................................
6.6.1 Kemampuan Perencanaan Kegiatan Hutan Rakyat ...........
6.6.2 Kemampuan mengorganisir diri dalam kelembagaan
Hutan Rakyat ......................................................................
6.6.3 Kemampuan Penerapan Petani dalam Pengelolaan Hutan
Rakyat ................................................................................
6.6.4 Kemampuan Pengawasan dalan Hutan Rakyat ..................
60
60
64
64
70
70
72
74
74
86
87
89
93
93
94
97
100
102
103
104
106
107
108
109
112
115
118
118
121
124
127
VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMAMPUAN
ANGGOTA KELOMPOK DALAM PENGELOLAAN HUTAN
RAKYAT ............................................................................................ 131
7.1 Hasil Uji Faktor-faktor yang mempengaruhi Kemampuan
Anggota Kelompok dalam Penglolaan Hutan Rakyat .................. 134
7.1.1 Kemampuan Perencanaan Anggota Kelompok Tani
dalam Pengelolaan Hutan Rakyat ......................................
7.1.2 Kemampuan Pengorganisasian Diri Anggota Kelompok
Tani ....................................................................................
7.1.3 Kemampuan Penerapan Anggota Kelompok Tani .............
7.1.4 Kemampuan Pengawasan Anggota Kelompok Tani ..........
7.2 Kemampuan Anggota Kelompok dalam Pengelolaan Hutan
Rakyat ..........................................................................................
7.3 Strategi Penguatan Kelompok dalam Pengelolaan Hutan
Rakyat ...........................................................................................
134
136
138
140
142
150
VIII. SIMPULAN DAN SARAN ……………………………..………….. 155
8.1 Simpulan ……………………………………………..………… 155
8.2 Saran ……………………………………………….……..…….. 156
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….………. 159
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
Halaman
Faktor-faktor penentu pembelajaran ........................................................ 36
Kelompok peubah Pembelajaran .............................................................. 37
Pengukuran peubah karakteristik personal petani (X1) ............................. 45
Pengukuran peubah kompetensi sumber Belajar (X2) ............................... 47
Pengukuran peubah kegiatan penyuluhan (X3) ......................................... 48
Pengukuran peubah kelembagaan kelompok tani Hutan Rakyat (X4) …..... 50
Pengukuran peubah hubungan interpersonal (X5) ..................................... 51
Pengukuran peubah kemampuan anggota kelompok tani (Y1) ................. 54
Hasil uji coba validitas dan reabilitas instrumen penelitian (n=20) ........... 56
Perkembangan luasan dan produksi kayu Hutan Rakyat di Kabupaten
Bogor Tahun 2004 – 2009 ......................................................................... 64
Pola penggunaan lahan di Desa Tegal Waru ............................................. 68
Sebaran penduduk menurut mata pencaharian di Desa Tegal Waru ......... 68
Sebaran penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Tegal Waru … 69
Sebaran responden berdasarkan umur ....................................................... 74
Sebaran responden berdasarkan jumlah tahun mengikuti pendidikan
formal ……………………………………….............................................. 75
Pelatihan yang diikuti oleh petani Hutan Rakyat ...................................... 76
Jumlah pelatihan yang diikuti responden terkait Hutan Rakyat ................ 76
Pekerjaan sampingan yang dilakukan responden ...................................... 77
Jumlah pekerjaan sampingan responden ................................................... 77
Sebaran responden berdasarkan tingkat pendapatan ................................. 78
Sebaran responden berdasarkan lama mengusahakan Hutan Rakyat ........ 79
Sebaran responden berdasarkan kepemilikan luas lahan ........................... 79
Sebaran responden berdasarkan jenis lahan yang dimiliki ........................ 80
Sebaran responden berdasarkan status kepemilikan lahan ........................ 80
Sebaran responden berdasarkan jenis tanaman yang ditanam di lahan
Hutan Rakyatnya ........................................................................................ 82
Sebaran responden berdasarkan jumlah gabungan jenis tanaman yang
ditanam pada lahan Hutan Rakyat .............................................................. 83
Sebaran responden berdasarkan motivasi menanam Hutan Rakyat ........... 84
Sebaran responden berdasarkan tingkat motivasi petani mengelola Hutan
Rakyat ......................................................................................................... 86
Sebaran persepsi responden mengenai personal sumber belajar ................ 87
Persepsi responden terhadap penguasaan informasi/ pengetahuan sumber
belajar mengenai Hutan Rakyat .................................................................. 89
Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan
penguasaan informasi/pengetahuan personal belajar mengenai Hutan
Rakyat ......................................................................................................... 90
Persepsi responden terhadap kemampuan komunikasi personal sumber
belajar dalam kegiatan penyuluhan kehutanan .......................................... 91
Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan
berkomunikasi personal belajar .................................................................. 91
Persepsi responden terhadap kemampuan personal sumber belajar
menjadi panutan dalam kegiatan penyuluhan kehutanan ........................... 92
35 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan
menjadi teladan/panutan personal belajar .................................................. 92
36 Persepsi responden mengenai tujuan kegiatan penyuluhan kehutanan ...... 94
37 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat pemahaman
tujuan kegiatan penyuluhan ....................................................................... 94
38 Persepsi responden terhadap materi penyuluhan kehutanan ....................... 96
39 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap kualitas materi
penyuluhan ................................................................................................. 96
40 Persepsi responden terhadap kualitas metode penyuluhan kehutanan ….... 97
41 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap kualitas metode
penyuluhan ................................................................................................. 100
42 Persentase persepsi responden terhadap ketersediaan sarana dan
prasarana penunjang kegiatan Penyuluhan Kehutanan .............................. 101
43 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap kualitas sarana dan
prasana penunjang kegiatan penyuluhan ...........................................
102
44 Persepsi responden terhadap pola hubungan kerja antar anggota dalam
kelompok tani Hutan Rakyat ..................................................................... 104
45 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap pola hubungan kerja
antar anggota dalam kelompok tani Hutan Rakyat ..................................... 104
46 Persepsi responden terhadap pengorganisasian kegiatan produksi dalam
kelompok tani Hutan Rakyat ..................................................................... 105
47 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap pengorganisasian
kegiatan produksi Hutan Rakyat ................................................................. 106
48 Persepsi responden terhadap norma sosial dalam kelompok tani
Hutan Rakyat ............................................................................................. 106
49 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap norma sosial dalam
kelompok tani Hutan Rakyat ...................................................................... 107
50 Persepsi responden mengenai instansi/lembaga/unit usaha yang
mendukung penyelenggaraan Hutan Rakyat ............................................. 107
51 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap anggota keluarga
yang mendukung pengelolaan Hutan Rakyat ............................................. 109
52 Persepsi responden terhadap jenis dukungan anggota keluarga dalam
pengelolaan Hutan Rakyat........................................................................... 110
53 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat
dukungan keluarga petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat ..................... 112
54 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap personal sumber
belajar yang mendukung pengelolaan Hutan Rakyat ................................ 113
55 Persepsi responden terhadap jenis dukungan personal sumber belajar
dalam pengelolaan Hutan Rakyat ........................................................... 114
56 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat
dukungan personel sumber belajar dalam pengelolaan Hutan Rakyat ....... 114
57 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap dukungan anggota
masyarakat dalam pengelolaan Hutan Rakyat ........................................... 116
58 Persepsi responden terhadap jenis dukungan anggota masyarakat
dalam pengelolaan Hutan Rakyat .............................................................. 116
59 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat dukungan
personel sumber belajar dalam pengelolaan Hutan Rakyat ........................117
60 Persepsi terhadap kemampuan perencanaan dalam mengelola Hutan
Rakyat ........................................................................................................ 119
61 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat
kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat ......... 120
62 Persepsi responden terhadap kemampuan mengorganisir diri dalam
Kelembagaan Hutan Rakyat ...................................................................... 122
63 Sebaran responden berdasarkan
persepsi
terhadap tingkat
kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan
Rakyat ........................................................................................................ 123
64 Persepsi responden terhadap kemampuan penerapan petani dalam
pengelolaan Hutan Rakyat ........................................................................ 125
65 Sebaran responden berdasarkan
persepsi
terhadap tingkat
kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat ............ 126
66 Persepsi responden terhadap kemampuan melakukan pengawasan dalam
pengelolaan Hutan Rakyat ......................................................................... 128
67 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat
kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat ........... 129
68 Ringkasan hasil uji One-Sample Kolmogorof-Smirnov Test ................... 131
69 Ringkasan hasil uji Melalui Nilai Tolrance dan Inflation Faktor (VIF)… 132
70 Ringkasan hasil uji koefisien korelasi Spearman’s Rho ........................... 132
71 Ringkasan hasil uji Durbin Watson .......................................................... 133
72 Analisa signifikansi peubah bebas yang berpengaruh terhadap
kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat ........... 135
73 Analisa signifikansi variabel bebas yang berpengaruh terhadap
kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan
Rakyat ........................................................................................................ 137
74 Analisa signifikansi sub peubah bebas yang berpengaruh
terhadap Kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan
Rakyat.......................................................................................................... 139
75 Analisa signifikansi variabel bebas yang berpengaruh terhadap
kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat ........ 141
76 Strategi penguatan kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat ………... 152
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
2
3
Kerangka Konseptual Penelitian …………………………………………... 38
Kerangka Operasional Penelitian ……..……………………………………. 39
Peta Desa Tegal Waru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor ………….. 67
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner Penelitian ……………………………... …………………….... 166
2 Hasil Uji Regresi …………………………………………………………... 178
3 Foto ……………………………………………………………………….. 182
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian
KUESIONER PENELITIAN
KEMAMPUAN ANGGOTA KELOMPOK
DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT
Nama Responden
: _______________________
Tanggal Pengisian
: _______________________
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Halaman | 1
Kepada :
Yth. Bapak/Ibu Responden
Pengelola Hutan Rakyat
di
Tempat
Dengan hormat,
Bersama ini saya memperkenalkan diri kepada Bapak/Ibu bahwa saya adalah Mahasiswa Program
Magister (S2) pada program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) Sekolah Pascasarjana IPB.
Dalam rangka penyusunan tesis sebagai tugas akhir program Magister Ilmu Penyuluhan
Pembangunan (PPN), kami melaksanakan penelitian dengan judul :Kemampuan Anggota Kelompok
dalam pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor,
Propinsi Jawa Barat
Sehubungan dengan penelitian tersebut kami membutuhkan informasi dari Bapak/Ibu terkait
pengelolaan Hutan Rakyat di lahan Bapak/Ibu.Besar harapan kami Bapak/Ibu berkenan menjadi
responden penelitian dan bersedia melakukan pengisian kuesioner yang diajukan.
Penelitian ini semata-mata untuk kepentingan studi akademik guna memenuhi persyaratan
menyelesaikan studi, sehingga diharapkan Bapak/Ibu tidak memiliki keraguan atau kekhawatiran dalam
memberikan pernyataan. Tidak ada jawaban yang benar atau salah dan jawaban yang Bapak/Ibu
berikan akan diperlakukan sesuai dengan standar profesionalitas dan etika penelitian yang dijamin
kerahasiaannya.
Demikian, atas kesediaan, bantuan dan kerjasama Bapak/Ibu/Saudara/Saudari, kami ucapkan terima
kasih.
Hormat kami,
Shelly Novi
Halaman | 2
I. KARAKTERISTIK PERSONAL PETANI
A. IDENTITAS RESPONDEN
A01 Nama
:
A02 Alamat
:
A03 Usia
:
………. Tahun
B. PENDIDIKAN FORMAL/NON-FORMAL
Jenjang pendidikan formal tertinggi yang berhasil ditamatkan?
B01 Kode Jenjang Pendidikan
1 = Tidak pernah sekolah 2 =Tidak tamat SR/SD/setingkat 3 = Tamat SR/SD/setingkat
4 = Tidak Tamat SMP/setingkat 5 = Tamat SMP/setingkat
=Tidak Tamat SMA/setingkat7 = Tamat SMA/setingkat 8 = Tidak Tamat akademi/ PT 9 = Tamat akademi/PT
10 = Lainnya..................
6
B02 Kegiatan pelatihan/kursus (pendidikan non-formal) yang pernah diikuti terkait Hutan Rakyat dalam 3 tahun terakhir?
No.
Nama pelatihan
Materi yang diberikan
Penyelenggara
Tempat
Pelaksanaan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
1.
2.
3.
4.
C. PEKERJAAN
C01 Pekerjaan yang dimiliki? (dapat lebih dari satu)
Kode Pekerjaan Sampingan
1=Wiraswasta di bidang pertanian 2=wiraswasta di bidang perikanan 3=wiraswasta di bidang peternakan
5 = jasa ......................................... 6=lainnya......................................(sebutkan)
C02 Berapa pendapatan [BAPAK/IBU] setiap bulan?
Pertanian
Hutan Rakyat
Rp……………………………
4=pengrajin
Di luar lahan
Rp……………………………
Jumlah
Rp……………………………
Rp……………………………
D. KEPEMILIKAN LAHAN
D01 Bagaimana jenis komoditi yang ditanam, luas, jenis, dan kepemilikan lahan Hutan Rakyat?
No
Jenis Komoditi
Luas (Ha)
Jenis lahan
.
(1)
(2)
1. TK
(3)
(4)
Status Kepemilikan
(5)
............ Ha
............m2
TS
TB
2. TK
............ Ha
............m2
TS
TB
Kode Kolom 2
Jenis Komoditi yang ditanam
Tanaman kayu (TK):
01 = Jati
02 =Albizia/Sengon
03 = Afrika
04 = Suren
05 = Mahoni
06 = Meisopsis
07 = Jabon
08 = lainnya.........
Tanaman Semusim (TS):
09 = Ketela Pohon
10 = Jagung
11 = Kacang panjang
12 = Buncis
13 = Kacang Tanah
14 = Ubi jalar
15 =Cabe
17 = Empon-empon
16 = Kol
17 = lainnya..............
Kode Kolom 4
Jenis Lahan
Tanaman Buah :
18 = Nangka
19 = Pisang
20 = Pepaya
21 = Kelapa
22 = Jambu
23 = lainnya............
1 = Sawah
2 = Kebun
3 = Lainnya....................
Kode Kolom 5
Status Kepemilikan
1 = Lahan milik
2 = sewa
3 = Lahan garapan (maro)
4 = Lainnya .....................
Halaman | 3
E. LAMA TERLIBAT DALAM KEGIATAN HUTAN RAKYAT
E01 Sudah berapa lama [BAPAK/IBU]menanam tanaman kayu Hutan Rakyat?
............ tahun
............ bulan
F. MOTIVASI PETANI MENGELOLA HUTAN RAKYAT
F01 Alasan apa yang mendorong Bapak/Ibu menanam tanaman Hutan Rakyat? (Lihat isian jawaban I.D (D01)
No.
(1)
Jenis Tanaman
Alasan Penanaman
(2)
(3)
1.
Tanaman Keras
2.
Tanaman Semusim
3.
Tanaman Buah
F02 Tingkat motivasi dalam mengelola Hutan Rakyat :
Keterangan :
Pilihlah sesuai keadaan sebenarnya. Lingkari pilihan jawaban anda. Keterangan pilihan jawaban : 1 = Tidak Setuju; 2 = Kurang Setuju; 3 = Setuju; 4 = Sangat Setuju
No.
Pernyataan
Tingkat Motivasi
(1)
(2)
(3)
1
Saya menanam kayu untuk kebutuhan jangka panjang
1
2 3 4
2
Saya termotivasi menanam kayu karena manfaat finansial bagi masa depan keluarga saya
1
2 3 4
3
Saya ingin dihormati dan dihargai oleh sesama petani dilingkungan tempat tinggal saya
1
2 3 4
4
Saya senang ikut serta dalam kegiatan kelompok tani di daerah saya
1
2 3 4
5
Saya merasa puas apabila saya sudah bekerja maksimal untuk keluarga saya
1
2 3 4
II. KARAKTERISTIK PENDAMPING BELAJAR
A. PERSONAL PENDAMPING BELAJAR
A01 Kepada siapa [BAPAK/IBU] belajar mengelola Hutan Rakyat? (Jawaban dapat lebih dari satu)
Kode Pendamping Belajar :
1 = Penyuluh kehutanan
5 = pemuka agama
2= Ketua Kelompok Tani
3=rekan sesama petani yang lebih berpengalaman4 =Tokoh masyarakat
6 =Lainnya ................................. (sebutkan)
B. PENGUASAAN INFORMASI/PENGETAHUAN TERKAIT HUTAN RAKYAT
Keterangan :
Pilihlah sesuai keadaan sebenarnya. Lingkari pilihan jawaban anda. Keterangan pilihan jawaban : 1 = Buruk/Tidak baik; 2 = Kurang Baik; 3 = Baik; 4 = Sangat Baik
B01 Bagaimana penguasaan informasi/pengetahuan terkait Hutan Rakyat?
No.
Pernyataan
(1)
(2)
Penguasaan informasi/pengetahuan
(3)
Tingkat
Penguasaan
(4)
1
Mengetahui jenis-jenis tanaman kayu (sengon/mahoni/jati/suren)
1. Ya
2. Tidak
1 2 3 4
2
Mengetahui jenis-jenis hama penyakit tanaman kayu dan cara mengatasinya
1. Ya
2. Tidak
1 2 3 4
3
Mengetahui cara penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan kayu Hutan Rakyat
1. Ya
2. Tidak
1 2 3 4
4
Mengetahui cara berorganisasi melalui kelompok tani
1. Ya
2. Tidak
1 2 3 4
5
Mengetahui pemasaran kayu Hutan Rakyat
1. Ya
2. Tidak
1 2 3 4
6
Memahami kebijakan/aturan pengelolaan Hutan Rakyat
1. Ya
2. Tidak
1 2 3 4
Halaman | 4
7
Mengetahui informasi/pengetahuan terbaru mengenai Hutan Rakyat
1. Ya
2. Tidak
1 2 3 4
C. KOMUNIKASI DALAM KEGIATAN PENYULUHAN
Keterangan :
Pilihlah sesuai keadaan sebenarnya. Lingkari pilihan jawaban anda. Keterangan pilihan jawaban : 1 = Tidak baik/Buruk; 2 = Kurang Baik; 3 = Baik; 4 = Sangat Baik
C01 Bagaimana kemampuan komunikasi pendamping belajar dalam kegiatan belajar/penyuluhan?
Kemampuan
No.
Pernyataan
komunikasi
Kondisi
1
Mampu menciptakan dialog dua arah dengan petani
1. Ya
2. Tidak
1 2 3 4
2
Maksud/pesan sumber belajar mudah diterima petani
1. Ya
2. Tidak
1 2 3 4
3
Mampu menghidupkan suasana diskusi dalam kegiatan belajar petani
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
4
Mampu mendorong petani mencoba carabaru di lahan
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
5
Mampu mendorong petani menerapkan cara baru di lahan
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
D. MENJADI TELADAN/PANUTAN
Keterangan :
Pilihlah sesuai keadaan sebenarnya. Lingkari pilihan jawaban anda. Keterangan pilihan jawaban : 1 = Tidak baik/Buruk; 2 = Kurang Baik; 3 = Baik; 4 = Sangat Baik
D01 Bagaimana kemampuan pendamping belajar menjadi teladan/panutan [BAPAK/IBU]?
No.
Pernyataan
Kemampuan
menjadi teladan
Tingkat kemampuan
menjadi teladan
(1)
(2)
(3)
(4)
1
Memiliki sifat kepemimpinan
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
2
Memiliki disiplin diri yang tinggi
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
3
Mampu memotivasi petani memiliki semangat belajar dan bekerja yang tinggi
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
4
Mudah bekerjasama dengan petani dan pihak-pihak lainnya
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
5
Kearifan dalam mengambil keputusan
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
6
Menjadi contoh dalam bersikap dan berperilaku positif
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
III.
A.
KEGIATAN PENYULUHAN
PEMAHAMAN MENGENAI TUJUAN KEGIATAN PENYULUHAN
Keterangan :
Pilihlah sesuai keadaan sebenarnya. Lingkari pilihan jawaban anda. Keterangan pilihan jawaban : 1 = Tidak Setuju; 2 = Kurang Setuju; 3 = Setuju; 4 = Sangat Setuju
A01 Pemahaman mengenai tujuan kegiatan penyuluhan :
No
(1)
Pernyataan
Pemahaman
Tingkat Pemahaman
(2)
(3)
(4)
1
Sarana mendiskusikan masalah petani di lahan dengan penyuluh kehutanan/ketua
1. Ya 2. Tidak
kelompok tani, dan petani Hutan Rakyat lainnya
1
2
Meningkatkan pengetahuan/keterampilan petani mengelola Hutan Rakyat
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
3
Menyebarluaskan perkembangan terbaru mengenai kayu rakyat
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
4
Wadah silahturahmi antar sesama petani Hutan Rakyat
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
5
Kegiatan kelompok tani yang harus diikuti petani
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
2 3 4
B. KUALITAS MATERI PENYULUHAN
Keterangan :
Pilihlah sesuai keadaan sebenarnya. Lingkari pilihan jawaban anda. Keterangan pilihan jawaban : 1 = Tidak baik/Buruk; 2 = Kurang baik; 3 = Baik; 4 = Sangat baik
B01 Bagaimana kualitas materi penyuluhan yang disampaikan?
Halaman | 5
No.
Pernyataan
Materi Penyuluhan
Kualitas
(3)
(4)
(1)
(2)
1
Memberi informasi/pengetahuan mengenai cara menanam kayu dan tanaman sela
sesuai aturan yang ditetapkan di kehutanan
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
2
Bisa menjadi panduan memecahkan masalah hama/penyakit di lahan Hutan
Rakyat
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
3
Disampaikan denganbahasa yang mudah dimengerti
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
4
Petunjuk menanam kayu bisa langsung dipraktekkan di lahan
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
5
Memberi petunjuk cara bercocok tanam yang disesuaikan dengan budaya/
kebiasaan masyarakat setempat
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
C. KUALITAS METODE PENYULUHAN
Keterangan :
Keterangan pilihan jawaban kolom (4) : 1 = Tidak setuju; 2 = Kurang setuju; 3 = Setuju; 4 = Sangat setuju
C01 Bagaimana kualitas pelaksanaan metode penyuluhan yang berjalan saat ini?
No
Pernyataan
Metode
Penyuluhan
Kualitas
(1)
(2)
(3)
(4)
1
Pendamping belajar secara teratur berkunjung ke rumah petani
1. 1. Ya 2. Tidak
1
2 3 4
2
Pendamping belajar secara teratur mengunjungi petani di lahan Hutan
Rakyatnya
1. Ya 2. Tidak
1
2 3 4
3
Petani sering memperoleh tambahan pengetahuan/ keterampilan dari sesama
petani (Getok Tular)
1. Ya 2. Tidak
1
2 3 4
4
Petani sering melakukan diskusi/pertemuan informal antar anggota kelompok tani
hutan
1. Ya 2. Tidak
1
2 3 4
5
Petani secara teratur mengadakan pertemuan formal di kelompok tani sebagai
sarana belajar
1. Ya 2. Tidak
1
2 3 4
6
Pendamping belajar membuat demplot penanaman kayu sebagai bahan belajar
petani (demonstrasi hasil)
1. Ya 2. Tidak
1
2 3 4
7
Pendamping belajar mencontohkan cara pembibitan, pemupukan atau jarak
tanam di lahan (demonstrasi cara)
1. Ya 2. Tidak
1
2 3 4
8
Pendamping belajar memfasilitasi petani mengikuti pelatihan Hutan Rakyat
1. Ya 2. Tidak
1
2 3 4
9
Pendamping belajar teratur memberikan brosur/ leaflet Hutan Rakyat pada petani
1. Ya 2. Tidak
1
2 3 4
10
Pendamping belajar memberikan majalah/surat kabar yang memuat berita
mengenai tanaman kayu Hutan Rakyat
1. Ya 2. Tidak
1
2 3 4
11
Pendamping belajar menggunakan media radio/ televisi sebagai media
pembelajaran Hutan Rakyat
1. Ya 2. Tidak
1
2 3 4
D. KUALITAS SARANA DAN PRASARANA PENUNJANG KEGIATAN PENYULUHAN
Keterangan :
Keterangan pilihan jawaban kolom (3) : 1 = Tidak baik/Buruk (0%); 2 = Kurang baik (0-25%); 3 = Baik (25-50%); 4 = Sangat Baik (76-100%)
D01 Menurut [BAPAK/IBU] bagaimana kualitas sarana dan prasarana penunjang kegiatan penyuluhan?
No
JENIS SARANA DAN PRASARANA
(1)
KETERSEDIAAN
(2)
KUALITAS
(3)
1
Tempat pertemuan/kegiatan
1. Ya
2
Alat bantu papan tulis,OHP, slide film
1. Ya
2. Tidak
3
Buku panduan teknis/juknis terkait Hutan Rakyat
1. Ya
2. Tidak
4
Brosur/leaflet/majalah/surat kabar terkait Hutan Rakyat
1. Ya
2. Tidak
5
Lainnya................................
1. Ya
2. Tidak
2. Tidak
(4)
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
4
4
4
4
4
Halaman | 6
IV. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT
A. POLA HUBUNGAN KERJA
0%
25 -50%
51 - 75%
76 -100%
Apakah [BAPAK/IBU] melakukan musyawarah mengenai rencana kegiatan
A01
kelompok tani?
1.
2.
3.
4.
Dalam kelompok tani [BAPAK/IBU], apakah ada aturan kerja yang disepakati
A02
bersama oleh anggota kelompok?
1.
2.
3.
4.
Tidak Pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
0%
25 -50%
51 - 75%
76 -100%
Apakah [BAPAK/IBU] bekerjasama dengan anggota kelompok tani lainnya
A03 ketika mengerjakan kegiatan produksi (pembibitan, penanaman, dan
pemeliharaan) dalam kelompok tani Hutan Rakyat?
1.
2.
3.
4.
Tidak Pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
0%
25 -50%
51 - 75%
76 -100%
A04
No.
(1)
1
2
3
4
5
6
7
8
Tidak pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Menurut [BAPAK/IBU], bagaimana keterlibatan instansi/lembaga/unit usaha pendukung dalam pengelolaan Hutan Rakyat di
daerah [BAPAK/IBU]?
Intansi/Lembaga/unit usaha pendukung
Frekuensi Kegiatan
(2)
Dinas kehutanan Kabupaten
BPDAS Citarum-Ciliwung
Lembaga Penyuluhan (BP4K/BP3K)
GAPOKTAN
Pemerintah Desa
LSM …………………………………
Unit Perbankan …………………….
Industri pemasaran kayu
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
3
3
3
(3)
4
4
4
4
4
4
4
4
Keterangan :
Keterangan pilihan jawaban kolom (3) : 1 = Tidak pernah; 2 = < 6 bulan sekali; 3 = 3 - 6 bulan sekali; 4 = 1 - 3 bulan sekali.
B. PENGORGANISASIAN KEGIATAN PRODUKSI
Apakah sebelum kegiatan memulai kegiatan Hutan Rakyat di lahan
B01 [BAPAK/IBU] melakukan musyawarah mengenai kegiatan produksi
(penanaman, pemeliharaan, pemanenan) Hutan Rakyat yang akan dilakukan?
B02
Apakah ketua kelompok tani mengkoordinasikan pembagian kerja di kelompok
tani?
B03
Apakah anggota kelompok tani sepakat mengenai adanya pembagian kerja
dalam kegiatan produksi Hutan Rakyat?
B04
Apakah pembagian kerja dalam kelompok tani diikuti dengan penunjukkan
anggota kelompok yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaannya?
B05 Apakah kegiatan kelompok tani dimulai jika ada instruksi ketua kelompok tani?
B06
Apakah kelompok tani membantu memasarkan hasil kayu [BAPAk/IBU] pada
pembeli?
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
Tidak Pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Tidak Pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Tidak Pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Tidak Pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Tidak Pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Tidak Pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
0%
25 -50%
51 - 75%
76 -100%
0%
25 -50%
51 - 75%
76 -100%
0%
25 -50%
51 - 75%
76 -100%
0%
25 -50%
51 - 75%
76 -100%
0%
25 -50%
51 - 75%
76 -100%
0%
25 -50%
51 - 75%
76 -100%
Halaman | 7
Apakah kelompok tani sering mengadakan pelatihan untuk menambah
B07
pengetahuan dan keterampilan [BAPAK/IBU] dan anggota petani lainnya?
1.
2.
3.
4.
Tidak Pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
0%
25 -50%
51 - 75%
76 -100%
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
Tidak Pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Tidak Pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Tidak Pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
0%
25 -50%
51 - 75%
76 -100%
0%
25 -50%
51 - 75%
76 -100%
0%
25 -50%
51 - 75%
76 -100%
C. NORMA KELOMPOK
C01
Apakah ada kebiasaan/tradisi/aturan kelompok yang dipatuhi oleh
[BAPAK/IBU] dan anggota kelompok tani lainnya?
C02 Apakah [BAPAK/IBU] mengikuti kebiasaan/tradisi/aturan dalam kelompok tani?
C03
Apakah ada sanksi apabila tidak mengikuti kebiasaan umum/tadisi/aturan yang
berlaku didalam kelompok tani?
V. HUBUNGAN INTERPERSONAL
A. PETANI-KELUARGA
A0 Siapa saja anggota keluarga yang memberikan dukungan kepada [BAPAK/IBU]untuk mengelola Hutan Rakyat? (Jawaban dapat
1 lebih dari satu, sesuai urutan besarnya dukungan)
Kode Jawaban
0 = tidak ada
8 = paman
1 = Istri
9 = bibi
2 = suami
3 = Anak
4 = kakak/adik kandung 5 = kakak/adik ipar 6 = ayah/ibu kandung
10 = Lainnya ................................
7 = ayah/ibu mertua
A02 Bagaimana dukungan keluarga dalam pengelolaan Hutan Rakyat?
No
Jenis dukungan
Jawaban
(1
)
(2)
(3)
1.
Keluarga memberikan persetujuan mengelola Hutan Rakyat
2.
3.
Keluarga beranggapan Hutan Rakyat bermanfaat dan menguntungkan di
masa depan
Keluarga memberikan bantuan sebagai tenaga kerja
4.
Tingkat Dukungan
(4)
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
Keluarga memberikan saran/masukan teknis lapangan
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
5
Keluarga memberikan modal (hibah/pinjaman uang )
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
6
Keluarga memberikan informasi penyediaan saprodi
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
Keterangan :
Keterangan pilihan jawaban kolom (4) : 1 = Tidak pernah (0%); 2 = Kadang-kadang (25-50%); 3 = Sering (51-75%); 4 = Selalu (76-100%)
B.
B01
Siapa saja pendamping belajar yang memberikan dukungan kepada [BAPAK/IBU]untuk mengelola Hutan Rakyat? (Jawaban
dapat lebih dari satu, sesuai urutan besarnya dukungan)
Kode Jawaban
0 = tidak ada 1 = Penyuluh kehutanan
B02
PETANI-PENDAMPING BELAJAR
2 = rekan sesama petani yang lebih berpengalaman 3 = Ketua Kelompok Tani
4 = Lainnya .......................
Bagaimana dukungan pendamping belajar dalam pengelolaan Hutan Rakyat?
No
Jenis dukungan
Jawaban
(1)
(2)
(3)
Tingkat Dukungan
(4)
1.
Pendamping belajar memberikan dorongan mengembangkan Hutan Rakyat
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
2.
Pendamping belajar beranggapan Hutan Rakyat bermanfaat dan
menguntungkan di masa depan
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
Halaman | 8
3.
Pendamping belajar memberikan saran/masukan teknis lapangan
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
4.
Pendamping belajar memfasilitasi kegiatan kelompok tani terkait Hutan Rakyat
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
5.
Pendamping belajar memberikan informasi penyediaan saprodi
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
6.
Pendamping belajar memberikan informasi pemasaran
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
Keterangan :
Keterangan pilihan jawaban kolom (4) : 1 = Tidak pernah (0%); 2 = Kadang-kadang (25-50%); 3 = Sering (51-75%); 4 = Selalu (76-100%)
C. PETANI-MASYARAKAT
C01 Di lingkungan masyarakat desa, siapa yang memberikan dukungan kepada [BAPAK/IBU]untuk mengelola Hutan Rakyat?
(Jawaban dapat lebih dari satu, sesuai urutan besarnya dukungan)
Kode Jawaban :
0 = Tidak ada
1 = Tetangga
6 = aparat Pemerintah Desa
2 = Ketua RT/RW
3 = Kepala Desa
7 = Lainnya ................................
4 = anggota LMDH
5 = Tokoh masyarakat
C02 Bagaimana dukungan yang diberikan anggota masyarakat dalam pengelolaan Hutan Rakyat?
No
Jenis dukungan
Jawaban
(1)
(2)
(3)
Tingkat dukungan
(4)
1.
Masyarakat mendorong mengembangkan Hutan Rakyat di lahan petani
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
2.
Masyarakat beranggapan Hutan Rakyat bermanfaat dan menguntungkan di
masa depan
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
3.
Masyarakat memberikan saran/masukan teknis lapangan
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
4.
Masyarakat memfasilitasi kegiatan kelompok tani terkait Hutan Rakyat
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
5.
Masyarakat memberikan informasi penyediaan saprodi
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
6.
Masyarakat memberikan informasi pemasaran
1. Ya 2. Tidak
1 2 3 4
Keterangan :
Keterangan pilihan jawaban kolom (4) : 1 = Tidak pernah (0%); 2 = Kadang-kadang (25-50%); 3 = Sering (51-75%); 4 = Selalu (76-100%)
VI.
KEMAMPUAN ANGGOTA KELOMPOK TANI
A. KEMAMPUAN PERENCANAAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT
Apakah masalah yang dihadapi [BAPAK/IBU] dalam menanam kayu menjadi
A01
pertimbangan [BAPAK/IBU] dalam perencanaan kegiatan Hutan Rakyat?
A02
Apakah pengelolaan Hutan Rakyat di lahan [BAPAK/IBU] saat ini sudah sesuai
dengan kebutuhan [BAPAK/IBU]?
A03
Apakah [BAPAK/IBU]menyusun rencana bulanan/tahunan kegiatan Hutan
Rakyat di kelompok tani?
A04
Apakah [BAPAK/IBU] mencari informasi tentang jenis kayu yang sedang
diminati/bernilai jual tinggi di pasaran?
Apakah informasi mengenai harga jual tanaman kayu Hutan Rakyat digunakan
A05 [BAPAK/IBU] untuk merencanakan jenis tanaman kayu yang akan ditanam di
lahan [BAPAK/IBU]?
Apakah[BAPAK/IBU]membandingkan kegiatan Hutan Rakyat sebelumnya dan
A06
saat ini agar hasil mendapatang dapat maksimal?
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
Tidak pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Tidak pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Tidak pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Tidak pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Tidak pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
1.
2.
3.
4.
Tidak pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
0%
25 -50%
51 - 75%
76 -100%
0%
25 -50%
51 - 75%
76 -100%
0%
26-50%
51 - 75%
76 -100%
0%
26-50%
51 - 75%
76 -100%
0%
26-50%
51 - 75%
76 -100%
0%
26-50%
51 - 75%
76 -100%
Halaman | 9
B. KEMAMPUAN MENGORGANISIR DIRI DALAM KELEMBAGAAN
1. Tidak Pernah
2. Kadang-kadang
3. Sering
4. Selalu
1. Tidak Pernah
Apakah terdapat kesepakatan bersama (lisan/tulisan) mengenai urutan/tata cara
2. Kadang-kadang
yang harus diikuti [BAPAK/IBU] dalam pelaksanaan kegiatan produksi Hutan
3. Sering
Rakyat?
4. Selalu
1. Tidak Pernah
Apakah [BAPAK/IBU] bersepakat mengatur pembagian tugas/kerja diantara
2. Kadang-kadang
anggota kelompok tani?
3. Sering
4. Selalu
1. Tidak Pernah
Apakah untuk pelaksana kegiatan ditunjuk anggota kelompok yang sesuai
2. Kadang-kadang
dengan harapan [BAPAK/IBU]?
3. Sering
4. Selalu
1. Tidak pernah
2. Kadang-kadang
Apakah [BAPAK/IBU] melakukan koordinasi dengan anggota kelompok tani
3. Sering
lainnya agar kegiatan Hutan Rakyat berjalan sesuai rencana?
4. Selalu
C. KEMAMPUAN PENERAPAN PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT
Apakah [BAPAK/IBU] memahami aturan-aturan organisasi dalam kelompok tani
B01
Hutan Rakyat?
B02
B03
B04
B05
0%
26-50%
51 - 75%
76 -100%
0%
26-50%
51 - 75%
76 -100%
0%
26-50%
51 - 75%
76 -100%
0%
26-50%
51 - 75%
76 -100%
0%
26-50%
51 - 75%
76 -100%
1. Tidak pernah
0%
2. Kadang-kadang
26-50%
3. Sering
51 - 75%
4. Selalu
76 -100%
1. Tidak pernah
0%
Apakah [BAPAK/IBU] mengikuti instruksi dari ketua kelompok tani atau
2. Kadang-kadang
26-50%
pendamping belajar terkait kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat?
3. Sering
51 - 75%
4. Selalu
76 -100%
1. Tidak pernah
0%
Seberapa sering instruksi dari ketua kelompok tani atau pendamping belajar
2. Kadang-kadang
26-50%
membantu [BAPAK/IBU] mengerjakan kegiatan penanaman/pemeliharaan
3. Sering
51 - 75%
tanaman kayu Hutan Rakyat?
4. Selalu
76 -100%
1. Tidak pernah
0%
2. Kadang-kadang
26-50%
Apakah [BAPAK/IBU] memberi semangat(motivasi) agar anggota kelompok tani
3. Sering
51 - 75%
lainnya melaksanakan kegiatan Hutan Rakyat dengan baik?
4. Selalu
76 -100%
1. Tidak pernah
0%
Apakah [BAPAK/IBU] sering mendiskusikan masalah penanaman/pemeliharaan
2. Kadang-kadang 26-50%
tanaman kayu Hutan Rakyat dengan pihak-pihak lain di luar kelompok tani?
3. Sering
51 - 75%
4. Selalu
76 -100%
D.KEMAMPUAN MELAKUKAN PENGAWASAN DALAM KEGIATAN HUTAN RAKYAT
Apakah [BAPAK/IBU] melaksanakan kegiatan Hutan Rakyat seperti pembibitan,
C01 penanaman, dan pemeliharaan berdasarkan arahan/bimbingan dariketua
kelompok tani atau pendamping belajar?
C02
C03
C04
C05
Apakah [BAPAK/IBU] selalu mengawasi/memantau perkembangan tanaman di
D01
lahan Hutan Rakyat [BAPAK/IBU] agar sesuai dengan perencanaan?
D02
Apakah [BAPAK/IBU] bersepakat dengan anggota kelompok tani lainnya tentang
hal-hal yang perlu diawasi/dipantau dalam pengelolaan Hutan Rakyat?
D03
Apakah[BAPAK/IBU]membandingkan setiap hasil pengawasan di lahan dengan
hasil ?
Apakah [BAPAK/IBU] pernah menemui masalah di lahan, misalnya jadwal
D04 penanaman yang meleset dari rencana, bibit tanaman yang mati atau kurang
bagus pertumbuhannya?
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
1.
2.
3.
4.
Tidak pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Tidak pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Tidak pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Tidak pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
0%
25 -50%
51-75%
76-100%
0%
26-50%
51 - 75%
76 - 100%
0%
26-50%
51 - 75%
76 - 100%
0%
26-50%
51 - 75%
76 -100%
Halaman | 10
Apabila ada hal-hal yang tidak berjalan sesuairencana, apakah [BAPAK/IBU]
D05 melakukan perbaikan? Misalnya penggantian bibit, penambahan/pengurangan
pupuk,perbaikan cara/waktu tanam, dan lainnya?
D06
Apakah tindakan perbaikan yang [BAPAK/IBU] lakukan di lahan sesuai dengan
hasil perbaikan yang diperoleh [BAPAK/IBU] ?
5.
6.
7.
8.
1.
2.
3.
4.
Tidak pernah
Kadang-kadang
Sering
Selalu
Tidak sesuai
Kurang sesuai
Sesuai
Sangat sesuai
0%
26-50%
51 - 75%
76 -100%
0%
25 -50%
51-75%
76-100%
TERIMA KASIH
Halaman | 11
Lampiran 2. Hasil uji Regresi
A. Hasil uji kelompok peubah X dengan peubah Y1.1 (Kemampuan perencanaan
REGRESSION
/MISSING LISTWISE
/STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA
/CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10)
/NOORIGIN
/DEPENDENT Y1.1
/METHOD=ENTER X1.2 X1.4 X1.6 X4.3 X5.2.
Regression
[DataSet5] C:\Users\User\Documents\Thesis 2012\inputdata_SPSS\input_data_mg.sav
a
Variables Entered/Removed
Model
Variables
Variables
Method
Entered
Removed
X5.2, X1.6,
1
X1.4, X4.3,
. Enter
b
X1.2
a. Dependent Variable: Y1.1
b. All requested variables entered.
Model
1
a.
b.
Model Summary
R Square
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
a
.446
.199
.117
2.31740
Predictors: (Constant), X5.2, X1.6, X1.4, X4.3, X1.2
R
a
Model
Regression
1
Sum of Squares
65.362
ANOVA
df
5
Mean Square
13.072
5.370
Residual
263.148
49
Total
328.510
54
F
2.434
Sig.
b
.048
t
Sig.
a. Dependent Variable: Y1.1
b. Predictors: (Constant), X5.2, X1.6, X1.4, X4.3, X1.2
Coefficients
Unstandardized Coefficients
Model
B
(Constant)
Std. Error
1.965
4.099
X1.2
.194
X1.4
-1.640E-006
1
X1.6
.794
X4.3
.538
X5.2
.154
a. Dependent Variable: Y1.1
.162
.000
.334
.266
.144
a
Standardized
Coefficients
Beta
.174
-.368
.345
.289
.143
.479
.634
1.200
-2.663
2.379
2.021
1.073
.236
.010
.021
.049
.288
B. Hasil uji kelompok peubah X dengan peubah Y1.2 (Kemampuan pengorganisasian diri)
REGRESSION
/MISSING LISTWISE
/STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA
/CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10)
/NOORIGIN
/DEPENDENT Y1.2
/METHOD=ENTER X1.3 X2.2 X3.2 X4.3 X5.1.
Regression
[DataSet5] C:\Users\User\Documents\Thesis 2012\inputdata_SPSS\input_data_mg.sav
a
Variables Entered/Removed
Model
Variables
Variables
Method
Entered
Removed
X5.1, X4.3,
1
X1.3, X2.2,
. Enter
b
X3.2
a. Dependent Variable: Y1.2
b. All requested variables entered.
Model Summary
Model
R
R Square
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
a
1
.472
.223
.144
1.76389
a. Predictors: (Constant), X5.1, X4.3, X1.3, X2.2, X3.2
a
Model
Regression
1
Sum of Squares
43.782
ANOVA
df
5
Mean Square
8.756
3.111
Residual
152.454
49
Total
196.237
54
F
2.814
Sig.
b
.026
t
Sig.
a. Dependent Variable: Y1.2
b. Predictors: (Constant), X5.1, X4.3, X1.3, X2.2, X3.2
Coefficients
Unstandardized Coefficients
Model
B
(Constant)
X1.3
X2.2
1
X3.2
X4.3
X5.1
a. Dependent Variable: Y1.2
Std. Error
6.442
2.578
.640
.138
-.262
.569
.179
.274
.118
.121
.199
.105
a
Standardized
Coefficients
Beta
.307
.162
-.350
.395
.248
2.499
.016
2.337
1.169
-2.157
2.857
1.714
.024
.248
.036
.006
.093
C. Hasil Uji kelompok peubah X dan Peubah Y1.3 (Kemampuan Penerapan)
REGRESSION
/MISSING LISTWISE
/STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA
/CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10)
/NOORIGIN
/DEPENDENT Y1.3
/METHOD=ENTER X1.1 X1.3 X2.2.
Regression
C:\Users\User\Documents\Thesis2012\inputdata_SPSS\input_data_mg.sav
a
Variables Entered/Removed
Model
Variables
Variables
Method
Entered
Removed
X2.2, X1.1,
1
. Enter
b
X1.3
a. Dependent Variable: Y1.3
b. All requested variables entered.
Model Summary
R Square
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
a
1
.518
.269
.226
1.92084
a. Predictors: (Constant), X2.2, X1.1, X1.3
Model
R
a
Model
3
Mean Square
23.026
Residual
188.171
51
3.690
Total
257.250
54
Regression
1
Sum of Squares
69.079
ANOVA
df
F
6.241
Sig.
b
.001
t
Sig.
a. Dependent Variable: Y1.3
b. Predictors: (Constant), X2.2, X1.1, X1.3
Coefficients
Unstandardized Coefficients
Model
B
(Constant)
1
X1.1
X1.3
X2.2
a. Dependent Variable: Y1.3
Std. Error
11.250
2.075
-.030
1.139
.271
.021
.293
.118
a
Standardized
Coefficients
Beta
-.176
.478
.278
5.420
.000
-1.444
3.892
2.296
.155
.000
.026
D. Hasil uji kelompok Peubah X dan peubah Y1.4 (Kemampuan Pengawasan)
REGRESSION
/MISSING LISTWISE
/STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA
/CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10)
/NOORIGIN
/DEPENDENT Y1.4
/METHOD=ENTER X1.5 X3.2 X4.2.
Regression
[DataSet1]
C:\Users\User\Documents\Thesis2012\inputdata_SPSS\input_data_mg.sav
Variables Entered/Removed
Model
1
Variables
Variables
Entered
Removed
a
Method
X4.2, X1.5,
X3.2
. Enter
b
a. Dependent Variable: Y1.4
b. All requested variables entered.
Model Summary
Model
R
R Square
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
a
1
.539
.291
a. Predictors: (Constant), X4.2, X1.5, X3.2
.249
2.11866
a
ANOVA
Model
Sum of Squares
Regression
1
df
Mean Square
93.865
3
31.288
Residual
228.924
51
4.489
Total
322.789
54
F
Sig.
6.970
.001
b
a. Dependent Variable: Y1.4
b. Predictors: (Constant), X4.2, X1.5, X3.2
Coefficients
Model
Unstandardized Coefficients
a
Standardized
t
Sig.
Coefficients
B
(Constant)
Std. Error
13.300
2.870
X1.5
.000
.000
X3.2
-.198
.351
Beta
4.633
.000
-.414
-3.507
.001
.114
-.207
-1.741
.088
.130
.321
2.705
.009
1
X4.2
a. Dependent Variable: Y1.4
Lampiran Foto
Foto 1. Lahan Hutan Rakyat Sengon dengan Tanaman Sela Ketela
Pohon
Foto 2. Lahan Hutan Rakyat Sengon
Foto 3. Lahan Hutan Rakyat dengan usia penanaman lebih dari 5 (lima) tahun
Foto 4. Tanaman Hutan Rakyat di Lahan Miring
Foto 5. Tanaman Hutan Rakyat yang ditanam di pematang sawah
Foto 6. Pemeliharaan tanaman Hutan Rakyat dengan pupuk kompos
dari ternak dari petani Hutan Rakyat
Foto 6. Pembibitan Tanaman Hutan Rakyat
Foto 7. Areal Pembibitan Sengon
Foto 8. Areal Pembibitan Sengon
Download