KEMAMPUAN ANGGOTA KELOMPOK DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DI DESA TEGAL WARU, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT SHELLY NOVI HANDARINI PRATAMANINGTYAS SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kemampuan Anggota Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Di Desa Tegal Waru, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis saya. Bogor, Juli 2013 Shelly Novi Handarini Pratamaningtyas I351090081 ABSTRACT SHELLY NOVI HANDARINI PRATAMANINGTYAS. Ability of Forest Group Member in the Community Forest Management on Tegal Waru Village, Bogor Residence, West Java Province. Supervised by SITI AMANAH and NINUK PURNANINGSIH Community forest is one alternative to solve problems about unbalance supply-demand on nature forestwood and also poverty around forest area that enhancing high pressure on the forest in Indonesia. The sustainability of community forest management depends on the ability of forest group member to manage the community forest that must have been gained through learning process. This thesis inquires into farmer’s learning process in community forest management, in order to test how external and internal factors influenced ability of forest group member to manage the community forest. The study used explanatory research design with survey method on model community forest area development in Tegal Waru village, Ciampea Sub District, Bogor Regency of West Java. The research was conducted from Februari to December 2012. The data were analyzed descriptively and using multiple regresion method. The findings of the study are: (1) farmer planning ability influenced by farmer’s total income, length time involved in community forest programme, and social norms existing among forest group members; (2) farmer self-organizing ability influenced by number of course attended by farmer, quality of extension material, social norms existing among forest group members, (3) farmer ability to implement influenced by number of course attended by farmer and learnerassistant ability to communicate in the farmer’s learning process; and (4) farmer ability to supervise influenced by farmer’s total income, and production process organization in community Forest. Keywords : community forest, learning process, ability in forest management RINGKASAN SHELLY NOVI HANDARINI PRATAMANINGTYAS. Kemampuan Anggota Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh SITI AMANAH dan NINUK PURNANINGSIH. Semakin menurunnya kualitas sumberdaya hutan pada beberapa dekade terakhir telah mendorong dilakukannya upaya pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan. Keberhasilan upaya pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan ditentukan oleh kemampuan anggota kelompok mengelola Hutan Rakyat yang diperoleh dari proses pembelajaran. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kemampuan anggota kelompok tani mengelola Hutan Rakyat adalah pertanyaan penelitian dalam studi ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan anggota kelompok tani Hutan Rakyat sekaligus menyusun desain strategi yang dapat memperkuat kelompok tani Hutan Rakyat tersebut. Secara khusus, penelitian ini bertujuan : (1) Mengidentifikasi kondisi pengelolaan Hutan Rakyat di lokasi penelitian, (2) Menganalisis pengelolaan Hutan Rakyat di lokasi penelitian, (3) Menganalisis faktor-faktor penentu yang berpengaruh terhadap kemampuan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat, dan (4) Menyusun alternatif desain strategi yang dapat memperkuat kelompok tani Hutan Rakyat dalam rangka mengupayakan perbaikan kondisi lingkungan. Desain penelitian adalah survey, dan penelitian bersifat penelitian penjelasan (Explanatory Survey) yaitu menjelaskan hubungan kausalitas antara peubah-peubah penelitian melalui pengujian hipotesis. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu pada areal model pengembangan Hutan Rakyat. Populasi penelitian adalah petani pengelola Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Seluruh populasi penelitian menjadi sampel penelitian. Jumlah keseluruhan responden dalam penelitian ini adalah 55 orang petani Hutan Rakyat. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Februari sampai bulan Juni tahun 2012. Pengumpulan data sekunder dan data primer menggunakan kuesioner, wawancara mendalam dan observasi. Pengolahan dan analisa data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif menggunakan program SPSS 20, sedangkan statistik inferensial menggunakan metode analisa Regresi Berganda. Temuan penelitian ini adalah : (1) Kemampuan petani merencanakan pengelolaan Hutan Rakyatnya dipengaruhi oleh tingkat pendapatan petani, lama petani terlibat dalam pengelolaan Hutan Rakyat, dan norma sosial kelompok yang mengikat anggota kelompok tani, (2) Kemampuan petani mengorganisir diri dalam kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat dipengaruhi oleh jumlah pelatihan yang diikuti petani, kualitas materi penyuluhan yang diterima petani, dan norma sosial kelompok yang mengikat anggota kelompok tani; dan (3) Kemampuan petani menerapkan hasil pembelajaran dipengaruhi oleh jumlah pelatihan yang diikuti petani dan kemampuan sumber belajar berkomunikasi dengan petani dalam proses pembelajaran Hutan Rakyat; dan (4) Kemampuan petani mengawasi kegiatan produksi Hutan Rakyat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan petani dan kualitas pengorganisasian kegiatan produksi Hutan Rakyat Pembelajaran petani Hutan Rakyat telah mendorong terjadinya perubahan perilaku petani dalam mengelola lahan. Perubahan pengelolaan lahan dari semula pertanian sawah lahan basah menjadi Hutan Rakyat di lahan kebun dengan pola penanaman dan pemeliharaan yang berbeda merupakan bentuk inovasi yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan baru. Pengelolaan Hutan Rakyat masih menghadapi beberapa permasalahan, yaitu masih rendahnya kesempatan anggota kelompok memperoleh tambahan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan non-formal terkait Hutan Rakyat, belum maksimalnya pelaksanaan kegiatan penyuluhan kehutanan dari lembaga penyuluhan beserta unit pelaksana teknis terkait, keterbatasan luas lahan, rendahnya pendapatan dan masih kurang memadainya kapasitas anggota kelompok tani dalam kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat. Kemampuan perencanaan petani dapat meningkat apabila petani memperoleh wawasan yang memadai mengenai nilai penting lahan Hutan Rakyat yang dimilikinya, petani memperoleh kesempatan meningkatkan pendapatannya, terlibat dalam rentang waktu yang cukup pada program Hutan Rakyat sehingga memiliki pengalaman pembelajaran yang memadai dalam mengelola Hutan Rakyat, dan terdapat solidaritas tinggi di antara anggota kelompok tani karena diikat oleh norma sosial kelompok yang kuat. Kemampuan petani mengorganisir diri dalam kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat dapat meningkat apabila petani memperoleh kesempatan mengikuti pelatihan Hutan Rakyat sesuai kebutuhannya dan didukung oleh media kelompok tani dengan solidaritas tinggi di antara anggota kelompoknya. Kemampuan petani menerapkan hasil pembelajaran Hutan Rakyatnya dapat meningkat apabila petani memperoleh kesempatan mengikuti pelatihan Hutan Rakyat sesuai kebutuhannya dan sumber belajar memperoleh bimbingan atau mengikuti pelatihan pengajaran untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan petani sebagai pembelajar. Kemampuan petani mengawasi kegiatan produksi Hutan Rakyat dapat meningkat apabila petani memperoleh wawasan yang cukup mengenai pentingnya aspek pengawasan dalam kegiatan produksi Hutan Rakyat didukung oleh pelaksanaan kegiatan yang terorganisir dengan baik. Peningkatan pengelolaan Hutan Rakyat secara keseluruhan dilakukan dengan mengembangkan strategi penguatan kelompok dalam kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat. Kelompok tani merupakan media pembelajaran yang berperan penting bagi petani Hutan Rakyat. Strategi untuk meningkatkan kemampuan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat lebih ditujukan untuk meningkatkan peran kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat dalam pembelajaran petani, sekaligus mendorong bentuk penyuluhan swadaya yang partisipatif. © Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB. KEMAMPUAN ANGGOTA KELOMPOK DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DI DESA TEGAL WARU, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT SHELLY NOVI HANDARINI PRATAMANINGTYAS Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Penyuluhan Pembangunan SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Hardjanto MS Judul Tesis Nama NIM Kemampuan Anggota Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Tega l "'aru, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat Shelly Novi Handarini Pratamaningtyas 1351090081 Disetujui Komisi Pembimbing ( ~"l't U/~ Dr Ir SitiAmanafi MSc Ketua Dr Ir Ninuk Purnaningsih MSi Anggota Diketahui oleh · _r,. _. ~ . ~ Ketua Program Studi IImu Penyuluhan Pembangunan Tanggal Ujian: .27 JUN 2813 Tanggal Lulus: 30 JUL 2013 JudulTesis Nama NIM : Kemampuan Anggota Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat : Shelly Novi Handarini Pratamaningtyas : I351090081 Disetujui Komisi Pembimbing Dr Ir Siti Amanah MSc Ketua Dr Ir Ninuk Purnaningsih MSi Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr Ir Siti Amanah MSc Dr Ir Dahrul Syah MSc Agr Tanggal Ujian: 27 Juni 2013 Tanggal Lulus : 30 Juli 2013 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 sampai dengan bulan Desember 2012 adalah Kemampuan Anggota Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Siti Amanah MSc dan Ibu Dr Ir Ninuk Purnaningsih MSi selaku pembimbing atas saran dan masukan yang diberikan. Kepada Prof Dr Ir Hardjanto MS penulis sampaikan terima kasih atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Julianto, selaku koordinator Penyuluh Kehutanan BKP5K Kotamadya Bogor, Bapak Khaerudin, selaku Penyuluh Kehutanan BP3K Cibungbulang, Bapak Maman Sudirman, S Hut, BPDAS Citarum-Ciliwung, Bapak Encep selaku Ketua Kelompok Tani Saluyu II. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh responden yang telah bersedia menyediakan waktu untuk memberikan informasi pada penelitian ini. Kepada seluruh staf pengajar, sekretariat, dan rekan-rekan PPN, Pusat Pendidikan dan Latihan Kehutanan selaku sponsor, serta rekan-rekan di Pusat Standardisasi dan Lingkungan Kementerian Kehutanan, penulis menyampaikan terima kasih atas bantuan dan dukungannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, Bapak Ir Soetino Wibowo, Ibu Amrih S, Bapak Ir Drs Didi Sukmana G dan Ibu Ir Dewi Yutikasari atas semua doanya. Kepada adik-adik untuk dukungan dan motivasinya. Terakhir, terima kasih penulis sampaikan kepada suami Widi Achmad Gozali ST dan putri tercinta Ranindradewi Aisyah Putri, atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi semua. Bogor, Juli 2013 Shelly Novi Handarini Pratamaningtyas \ RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lamongan pada tanggal 7 November 1975 dari pasangan Soetino Wibowo dan Amrih Setyaning Wulan. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Penulis menghabiskan masa kecil di Bandung, Majalengka, dan Malang. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh di SDN Neglasari 3 Majalengka, pendidikan sekolah menengah pertama di SMP Negeri I Malang, dan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 3 Malang, lulus pada tahun 1994. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Universitas Padjadjaran melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), dan memilih Jurusan Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister pada Sekolah Pasca Sarjana IPB di Fakultas Ekologi Manusia dengan Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) diperoleh tahun 2009. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Kementerian Kehutanan melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2000, pada tahun yang sama penulis terlibat dalam Research Project on Women and Children Home-Based Workers yang diselenggarakan oleh UNICEF – IRC(International Research Center) Florence, Italy. Selanjutnya penulis bekerja sebagai peneliti di AKATIGA, Pusat Kajian Sosial di Bandung. Pada pertengahan tahun 2003, penulis mulai bekerja di Kementerian Kehutanan dan ditempatkan di Pusat Standardisasi dan Lingkungan sampai sekarang. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Praktik pengelolaan hutan sejak lama telah dilakukan di Indonesia dan memiliki kaitan erat dengan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Sumber daya hutan bagi masyarakat lokal merupakan satu kesatuan ekosistem yang berperan penting dalam menopang sistem kehidupannya. Nilai-nilai kearifan tradisional masyarakat terbentuk dari interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungannya, termasuk lingkungan hutan. Hubungan sinergis antara masyarakat dengan sumber daya hutan dalam perkembangannya mengalami pergeseran ketika hutan kemudian dipandang sebagai komoditas ekonomi dalam industrialisasi kehutanan. Pergeseran cara pandang tersebut mendorong munculnya perilaku-perilaku masyarakat dalam pengelolaan hutan, baik perilaku yang tetap mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal pengelolaan hutan maupun perilaku yang cenderung merusak sumber daya hutan Beberapa studi mengenai pengelolaan sumber daya hutan menunjukkan bahwa perilaku masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan berhubungan positif dengan kondisi kelestarian lingkungan hutan. Hutan Rakyat di daerah Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah dirintis dan dikelola secara swadaya oleh masyarakat dengan membangun kelembagaan Hutan Rakyat yang kuat, mengembangkan dukungan dari Pemerintah Daerah setempat, dan memelihara komitmen yang tinggi dalam mengelola Hutan Rakyat. Hal tersebut ternyata mampu memberikan manfaat ekologis berupa kelestarian lingkungan yang berkesinambungan (Andayani 2003; Lucas 2002). Kearifan masyarakat Gunung Kidul dalam memanfaatkan sumberdaya manusia danlahan sesuai dengan situasi dan kondisinya1 untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga secara layak, 1 Tanaman keras berupa Jati, Akasia, dan Sengon biasanya ditebang berdasarkan kebutuhan yang berbeda-beda. Pohon Jati ditebang dan dijual jika petani penanam memerlukan biaya besar seperti menikahkan anak. Pohon Akasia dan pohon Sengon yang lebih cepat hasilnya dijual untuk kebutuhan seperti menyekolahkan anak. 2 2 memberikan kontribusi besar dalam keberhasilan pengelolaan Hutan Rakyat di daerah yang tandus dan gersang tersebut (Simon 2010; Ferdaus 2005). Pengelolaan Repong Damar2 di pesisir Krui, Lampung oleh masyarakat lokal dengan menerapkan kaidah sistem pengelolaan agroforestry tradisional pada suatu lahan secara turun-temurun mampu memelihara kelestarian lingkungan di daerah tersebut. Gambaran tersebut memberikan pemahaman bahwa perilaku masyarakat berperan besar dalam tercapainya kelestarian sumber daya hutan yang berkelanjutan. Upaya penghijauan harus melibatkan masyarakat untuk memperoleh hasil yang maksimal. Salah satu upaya pemberdayaan masyarakat di luar kawasan hutan yang saat ini dikembangkan oleh Kementerian Kehutanan sebagai upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Indonesia adalah pengembangan Hutan Rakyat. Hutan Rakyat telah dibangun sejak periode Pelita II dan menunjukkan perkembangan pesat sejak digalakkannya gerakan penghijauan besar-besaran berdasarkan Instruksi Presiden No. 8 Tahun 1976 tentang Inpres Bantuan Proyek Reboisasi dan Penghijauan. Pengusahaan Hutan Rakyat terus berkembang dan bertambah luas baik melalui swadaya masyarakat maupun melalui bantuan pemerintah c.q Kementerian Kehutanan. Berbagai studi menunjukkan bahwa perkembangan Hutan Rakyat telah mampu berperan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus mendorong kelestarian fungsi lingkungan seperti pencegahan erosi dan banjir, peningkatan kesuburan, serta konservasi air dan tanah di kawasan hutan, lahan dan Daerah Aliran Sungai (DAS)3 (Mindawati 2 Repong dalam bahasa Lampung pesisir mengandung pengertian kebun campur. Kata “Damar” merupakan kata yang mengkhususkan pada komoditas jenis tanaman yang paling dominan dalam sistem kebun campur tersebut. Di Jawa, model Repong ini mirip dengan model pekarangan dan Hutan Rakyat yang sudah lanjut, dimana sudah terbentuk lapisan tajuk yang bertingkat-tingkat (multi layer canopy) (Simon 2010; Colchester et al. 2005) 3 Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama.Wilayah daratan tersebut dinamakan Daerah Tangkapan Air (DTA atau cathment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam.Daerah aliran sungai biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir (Asdak 1999). 3 2006; Simon 2010). Saat ini Hutan Rakyat sudah terdapat hampir di seluruh Indonesia. Perkembangan Hutan Rakyat yang telah dicapai sampai saat ini tidak lepas dari kegiatan penyuluhan di bidang kehutanan yang diselenggarakan sejalan dengan program-program penghijauan dan rehabilitasi lahan di bidang kehutanan sejak masa Orde Baru sampai masa Reformasi. Kegiatan penyuluhan kehutanan oleh Dinas instansi terkait maupun oleh penyuluh kehutanan swadaya masyarakat4 tersebut diintegrasikan dengan pembangunan fisik Hutan Rakyat di lahan-lahan milik masyarakat. Kegiatan penyuluhan kehutanan dalam berbagai bentuknya memegang peran penting dalam mendorong keberhasilan pengelolaan Hutan Rakyat (Ferdaus 2005; Hamid dan Sultan 2005; Agustine 2006; Hudiyani 2010). Provinsi Jawa Barat memiliki potensi besar dalam pembangunan Hutan Rakyat. Kawasan utara Provinsi Jawa Barat merupakan daerah berdataran rendah, kawasan tengah merupakan dataran tinggi bergunung-gunung sedangkan kawasan Selatan berbukit-bukit dan pantai. Provinsi Jawa Barat memiliki lahan yang subur berasal dari endapan vulkanis serta banyaknya aliran sungai menyebabkan sebagian besar dari luas tanahnya digunakan untuk pertanian. Iklim di Jawa Barat adalah tropis dengan suhu 90 C di Puncak Gunung Pangrango dan 340C di Pantai Utara. Curah hujan rata-rata 2.000 mm/tahun, namun di beberapa tempat di daerah pegunungan mencapai antara 3.000 sampai dengan 5.000 mm/tahun. Menurut keadaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Provinsi Jawa Barat, daerah sebelah utara menjadi muara bagi beberapa sungai besar yaitu Citarum, Cimanuk, Ciliwung dan Cisadane. Bagian sebelah selatan Jawa Barat terdapat lebih sedikit sungai besar yang mengalir ke arah Samudera Hindia, yaitu Citanduy dan Cimandiri. Keadaan berbeda juga ditemukan pada perairan laut yang membatasi Jawa Barat. Daerah utara berbatasan dengan Laut Jawa dengan 4 Penyuluh kehutanan swadaya masyarakat adalah anggota masyarakat yang secara swadaya aktif berperan dalam upaya-upaya penyuluhan kehutanan ii 4 4 perairan dangkal sementara daerah Selatan yang bersebelahan dengan Samudera Hindia memiliki perairan dalam. Provinsi Jawa Barat merupakan daerah penyangga ibukota negara dengan luas daratan sekitar 3.707.317,11 Ha.Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.195/Kpts-II/2003, Provinsi Jawa Barat memiliki sumber daya hutan seluas 816.603 Haatau sebesar 22,03 persen dari total luas wilayah provinsiyang berfungsi sebagai Hutan Produksi, Hutan Lindung dan Hutan Konservasi. Luasan kawasan hutan tersebut masih di bawah luasan kawasan hutan minimal sebanyak 30 persen sesuaiPasal 18 ayat 2 UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan.Pasal tersebut mengharuskan agar pemerintah menetapkan bahwa bagi provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki luas hutan kurang dari 30 persen perlu menambah luas hutannya. Kekurangan luasan kawasan Hutan Negara tersebut ditutup dari luasan Hutan Rakyat yang mulai banyak dikembangkan di Provinsi Jawa Barat.Hutan Rakyat merupakan lahan milik masyarakat yang difungsikan sebagai hutan dan sebagian besar menerapkan pola-pola agroforestry. Keberadaan Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat menjadi penting dalam memenuhi ketentuan minimal adanya kawasan hutan sebanyak 30 persen dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan atau pulau sesuai sesuai Undang-undang Kehutanan yang berlaku. Saat ini kebutuhan kayu sebagai bahan bangunan dan untuk bahan baku industri cenderung semakin meningkat, sedangkan pasokan kayu dari hutan alam (areal HPH) dirasakan tidak mencukupi. Adanya peluang pasar bagi hasil Hutan Rakyat untuk menunjang kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu, mendorong peluang berusaha dan kesempatan kerja bagi masyarakat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan Hutan Rakyat sampai sejauh ini dipandang mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Pengertian Hutan Rakyat sesuai dengan SK Menhut No.49/Kpts-II/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dan memiliki penutupan tajuk tanaman kayukayuan dan atau jenis lainnya yang lebih dari 50 persen dan atau tanaman tahun 5 pertama dengan minimal 500 tanaman per Ha. Data terakhir dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat (2009) diperoleh angka luasan Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat sebesar 264.169,7 Ha. Perkembangan luas dan produksi Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat terus meningkat setiap tahunnya. Tanaman Hutan Rakyat yang dominan ditanam di Provinsi Jawa Barat adalah Sengon, Jati, Mahoni, dan Suren. Keberadaan Hutan Rakyat di bagian Hulu dan Tengah DAS sangat mendukung upaya konservasi dikarenakan Hutan Rakyat didominasi oleh tanaman keras yang memiliki fungsi hidroorologis, yang dapat mencegah erosi dan banjir. Oleh karena itu penting untuk mempertahankan upaya konservasi tanah dan air pada wilayah Hulu DAS. Perkembangan Hutan Rakyat yang signifikan tidak lepas dari dukungan kebijakan pembangunan kehutanan di Jawa Barat. Pembangunan kehutanan di Provinsi Jawa Barat secara spesifik mengarahkan pada program Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) melalui kegiatan pengembangan Hutan Rakyat pada lahan-lahan kritis dan lahan-lahan kosong milik masyarakat (Achmad 2008). Saat ini luasan Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat sudah mencapai sekitar 185.547,6 Ha (Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2006). Pengelolaan Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat terbukti mampu memberikan manfaat ekologis penting dalam membantu mengamankan kondisi lingkungan di kawasan-kawasanyang tergolong kritis. Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah administrasi di Provinsi Jawa Barat yang memiliki nilai strategis sebagai kawasan konservasi dengan dua Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang melewatinya, yaitu DAS Ciliwung dan DAS Cisadane5. Daerah Aliran sungai Ciliwung-Cisadane telah ditetapkan sebagai kawasan khusus strategis dan penataan ruangnya telah diatur berdasarkan Keputusan Presiden No. 79 Tahun 1985. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa penggunaan lahan di kawasan tersebut termasuk salah satu lokasi di Indonesia yang mengalami perubahan sangat cepat baik dari segi 5 Daerah Aliran sungai Ciliwung-Cisadane termasuk dalam kawasan Jakarta-Bogor-DepokTangerang- Bekasi (Jabodetabek) dan Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur). Kedua kawasan tersebut dikenal dengan kawasan Jabodetabek-Punjur. 6 6 pertumbuhan penduduk maupun perkembangan aktivitas penduduknya, sehingga menimbulkan permasalahan lingkungan yang cukup kompleks dari waktu ke waktu, antara lain terjadinya banjir, tanah longsor, kekeringan, dan perubahan iklim mikro yang intensitasnya semakin meningkat pada waktu-waktu terakhir. Pesatnya pertumbuhan pembangunan di kawasan Bogor Barat diindikasikan dengan berkembangnya industri baik skala industri besar maupun rumahan, meningkatnya kegiatan pertambangan dan terjadinya alih fungsi lahan untuk perumahan, kebun campur dan lahan persawahan sehingga menyebabkan fungsi daerah resapan air (water catchment area) DAS Cisadane sudah tidak berfungsi optimal dan secara tidak langsung memberikan kontribusi berupa ancaman banjir dan genangan di daerah Hilir, yaitu daerah Jakarta dan sekitarnya. Kesadaran mengenai pentingnya mengembalikan fungsi hulu DAS Cisadanepada kondisi semula untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan lingkungan yang telah mendorong dilaksanakannya upaya-upaya penghijauan melalui peningkatan partisipasi masyarakat pada kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan di kawasan hulu DAS Cisadane dan sub-sub DAS penyangganya. Partisipasi masyarakat lokal, sebagaimana dikemukakan DFID (2003) memegang peran penting dalam pelaksanaan suatu pengelolaan hutan. Upaya penghijauan antara lain dilakukan melalui pengelolaan Hutan Rakyat dengan memanfaatkan lahan-lahan masyarakat setempat yang difungsikan sebagai hutan. Kondisi hulu DAS Cisadane dan sub-sub DAS penyangganya yang semakin memprihatinkan sampai saat ini masih belum diimbangi dengan perkembangan yang signifikan pada kualitas pengelolaan lingkungan di daerah hulu tersebut. Berdasarkan beberapa penelitian mengenai pengelolaan Hutan Rakyat yang telah dilakukan di Provinsi Jawa Barat banyak diperoleh pemahaman mengenai aspek kelayakan teknis dan finansial pengelolaan Hutan Rakyat, namunmasih belum banyak diperoleh pemahaman terkait dengan perilaku masyarakat lokal dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Pemahaman tersebut diperlukan untuk dapat memberikan kontribusi bagi pemecahan permasalahan lingkungan di DAS Cisadane. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh 7 pemahaman lebih mendalam mengenai kemampuan anggota kelompok dalam mengelola Hutan Rakyatnya. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan mengenai lokasi areal permodelan pengembangan Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru yang terletak di wilayah Sub DAS Ciampea anak sungai DAS Cisadane yang berfungsi penting dalam mendukung konservasi tanah dan air di daerah hulu DAS Cisadane. 1.2 Masalah Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini mengkaji pembelajaran petani dalam memperoleh kemampuan pengelolaan Hutan Rakyat secara berkualitas. Secara spesifik penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian berikut ini : 1. Bagaimana kondisi Hutan Rakyat di lokasi penelitian? 2. Bagaimana kemampuan petani mengelola Hutan Rakyat di lokasi penelitian? 3. Faktor-faktor penentu apakah yang berpengaruh terhadap kemampuan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat di lahan miliknya? 4. Bagaimana desain strategi yang dapat memperkuat kelompok tani Hutan Rakyat guna mendorong perbaikan kondisi lingkungan secara lebih optimal? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan anggota kelompok tani Hutan Rakyat sekaligus menyusun desain strategi yang dapat memperkuat kelompok tani Hutan Rakyat tersebut. Secara khusus, penelitian ini bertujuan : 1. Mengidentifikasi kondisi pengelolaan Hutan Rakyat di lokasi penelitian 2. Menganalisis pengelolaan Hutan Rakyat di lokasi penelitian 3. Menganalisis faktor-faktor penentu yang berpengaruh terhadap kemampuan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat 4. Menyusun alternatif desain strategi yang dapat memperkuat kelompok tani Hutan Rakyat dalam rangka mengupayakan perbaikan kondisi lingkungan. 8 8 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut: 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan, khususnya berkaitan dengan peningkatan kualitas pengembangan yang dapat diterapkan pada pengelolaan Hutan Rakyat 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan dalam merumuskan strategi untuk mendorong penguatan kelembagaan pada pengelolaan Hutan Rakyat secara lestari. 9 II. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Pemberdayaan menurut Carr (2011) merupakan proses membuka kesempatan bagi masyarakat untuk mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, memiliki kepercayaan diri, dan mampu mendorong dirinya sendiri dalam kewaspadaan sosial, politik, ekonomi, dan psikologi. Proses tersebut mendampingi individu untuk membentuk pendampingan diri terhadap kekuatan yang sudah ada pada diri mereka dan memaksimalkan kendali serta memanfaatkan kekuasaan yang sudah mereka miliki untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Pengertian proses menunjuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pentahapan upaya mengubah masyarakat. Agarwal (1994) mendefinisikan pemberdayaan sebagai proses meningkatkan kemampuan dari individu atau kelompok yang kurang beruntung untuk mampu merubah hubungan kekuasaan yang sudah ada berdasarkan kepentingan mereka yang menempatkan mereka dalam posisi ekonomi, sosial dan politik yang kurang menguntungkan. Menurut Peterson (2011) pemberdayaan mengacu pada proses dimana individu, kelembagaan, dan masyarakat memperoleh kendali yang lebih besar, pencapaian diri, dan keadilan sosial. Salah satu cara untuk mengembangkan pemberdayaan di masyarakat adalah melalui partisipasi kelompok maupun partisipasi masyarakat dalam kegiatan lainnya. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menemukan bahwa partisipasi mampu mendorong pemberdayaan dan perubahan sosial dalam berbagai konteks. Masyarakat dapat menjadi berdaya melalui proses partisipasi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, Wright (1990) menyebutkan bahwa partisipasi sebagai pemberdayaan merupakan pendekatan yang memiliki kekuasaan dan secara penuh memiliki kendali terhadap suatu program atau kelembagaan. Partisipasi untuk pemberdayaan digambarkan dalam suatu proses 10 10 mobilisasi struktural, perubahan sosial dan politik. Menurut Iqbal (2007) mengacu pada Tjondronegoro (1992), partisipasi dapat dimaknai dalam konteks keterlibatan kelompok sasaran pada program atau kegiatan dalam konteks pembangunan, dan jenis keterlibatan kelompok sasaran yang termotivasi dan menjadi aktif, bahkan mau berkorban untuk pengembangan kelompok untuk mencapai tujuan spesifik yang sudah disetujui dan ditetapkan bersama dalam program. Hal tersebut sejalan dengan Singh (1993) yang mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat adalah suatu kegiatan yang berorientasi proses. Berdasarkan uraian definisi dan pengertian diatas, pemberdayaan masyarakatdapat dilihat sebagai upaya pengembangan, penguatan potensi atau daya, dan terciptanya proses pengambilan keputusan secara mandiri untuk mengembangkan pilihan-pilihan adaptasi terhadap perubahan lingkungan fisik dan lingkungan sosial pada masyarakat. Partisipasi masyarakat dan atau berbagai pihak yang terlibat dalam upaya pemberdayaan tersebut berperan penting dalam mendorong keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan, sehingga pada dasarnya upaya pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari upaya menumbuhkan partisipasi masyarakat. Meluasnya kesadaran di dunia mengenai pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) sebagai konsep dan sebagai tujuan dari pengelolaan hutan telah menggeser kebijakan dari pendekatan pengelolaan hutan yang menekankan pada pemanfaatan kayu menjadi pengelolaan hutan dengan pendekatan yang berorientasi pada masyarakat (people-oriented approach). Pada beberapa dekade terakhir, konsep pengelolaan hutan yang berkelanjutan tersebut memperoleh dukungan kuat dari berbagai pihak. Salam et al. (2004) mengemukakan bahwa tujuan utama dari pengelolaan hutan yang berkelanjutan adalah memenuhi kebutuhan yang terkait dengan hutan dan aspirasi generasi saat ini tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.Tujuan tersebut dapat dicapai dengan memelihara dan meningkatkan nilai penting hutan terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. 11 Partisipasi masyarakat merupakan agenda utama dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan. DFID (2003) menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman dengan beragam pendekatan dalam pengelolaan hutan, partisipasi bernilai penting dalam meningkatkan keadilan, efektivitas, dan keberlanjutan. Pengelolaan hutan dengan berorientasi pada masyarakat merupakan pendekatan partisipatif yang sejak tahun 1980-an akhirnya secara luas berhasil mendorong masyarakat di berbagai belahan dunia baik yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan memiliki akses lebih besar dalam pengelolaan kawasan hutan. Partisipasi masyarakat dalam konteks pengelolaan hutan harus dipandang sebagai gerakan menuju kondisi yang lebih humanis dan demokratis di negara berkembang, yang mengedepankan keadilan dan keberlanjutan. Perbedaan tahapan perkembangan sejarah dan kondisi politik yang berbeda-beda di masingmasing negara, menyebabkan perbedaan interpretasi terhadap terminologi partisipasi masyarakat berikut penerapannya pada program-grogram nasional di masing-masing negara, khususnya negara-negara berkembang6. 2.1.1 Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Hutan Rakyat merupakan konsep perhutanan sosial (Social Forestry) yang memanfaatkan lahan milik petani yang difungsikan sebagai hutan.Konsep Perhutanan Sosial didefinisikan sebagai sistem pengelolaan hutan yang dilakukan baik di hutan negara maupun hutan hak milik dengan keterlibatan masyarakat lokal sebagai pelaku utama atau mitra utama untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sekaligus mencapai pengelolaan hutan yang berkelanjutan.Di Indonesia, kegiatan perhutanan sosial (Social Forestry) sudah dilakukan sejak jaman Kerajaan Mataram pada abad ke-18 ditandai dengan sudah adanya bentuk penanaman dengan teknik agroforestry tradisional pada masa tersebut. Pada saat 6 Program Perhutanan Sosial Terpadu (Intregated Social ForestryProgramme) di Filipina, Program Hutan Desa Thailand (Forest Village Programme of Thailand) di Thailand, Komunitas Penanaman Kayu Bakar (Community Fuelwood Plantations) di Korea, Hutan Kemasyarakatan (Community Forestry) di Nepal, Pengelolaan Hutan Partisipatif (Partisipatory Forest Management) di India (Singh, 2003), dan Perhutanan Sosial (Social Forestry) di Indonesia. 12 12 yang sama di luar Pulau Jawa, masyarakat lokal melakukan peladangan berpindah sebagai sistem kehutanan tradisional yang turun-temurun (Effendi 2000). Saat ini, Perhutanan Sosial seringkali dipandang sama dengan pengelolaan berbasis masyarakat yang berkelanjutan (Community Based Forest Management/CBFM) yaitu sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok masyarakat pada tanah negara, lahan komunal, tanah adat atau Hutan Rakyat untuk memenuhi kebutuhan diri mereka sendiri secara komersial. Pembahasan mengenai definisi pengelolaan hutan berbasis masyarakat menitikberatkan pada dua hal penting, yaitu sumber daya hutan dan keterlibatan masyarakat. Hutan sebagai daerah yang didominasi oleh pohon, termasuk beragam jenis dan bentuk pengelolaannya (dari bentuk sederhana sampai bentuk agroforetry yang kompleks). Masyarakat sebagai pelaku utama dalam setiap pelaksanaan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang berperan penting dalam pengambilan keputusan pada pengelolaan hutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Hutan Rakyat merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan di lahan miliknya sendiri. Departemen Kehutanan (1990) mengemukakan bahwa tujuan pengembangan Hutan Rakyat adalah untuk penghijauan, membantu masyarakat desa memenuhi kebutuhan kayu bangunan, kayu bakar, kebutuhan bahan baku industri, peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Pengembangan Hutan Rakyat adalah sebagai sarana perbaikan lingkungan hidup (environment), peningkatan kesejahteraan (properity) dan keamanan serta keutuhan hutan (security). Interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya dalam pengelolaan Hutan Rakyat bersifat langsung dan erat. Pengertian Hutan Rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0.25 ha dengan penutupan tajuk didominasi oleh tanaman 13 perkayuan (lebih dari 50 persen), dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang (Departemen Kehutanan, 1999). Hutan Rakyat merupakan model penggunaan lahan di pedesaan oleh masyarakat melalui pengembangan sistem tanaman campuran antara tanaman pertanian, perkebunan, peternakan, dan kehutanan. Penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya, merupakan salah satu butir kearifan masyarakat dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Semakin terbatasnya kepemilikan tanah menyebabkan peran Hutan Rakyat bagi kesejahteraan masyarakat semakin penting. Pengetahuan tentang kondisi tanah dan faktor-faktor lingkungannya untuk dipadukan dengan pengetahuan jenis-jenis pohon yang akan ditanam untuk mendapatkan hasil yang diharapkan oleh pemilik lahan merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan Hutan Rakyat. Pengetahuan lokal menempati posisi penting dan melandasi kebijaksanaan dan sistem pengelolaan hutan, disamping pengetahuan modern untuk memperkaya. Karakteristik Hutan Rakyat antara lain adalah tidak merupakan suatu kawasan yang kompak tetapi terpencar-pencar di antara lahan-lahan pedesaan lainnya dan bentuk usahanya tidak selalu murni berupa kayu-kayuan. Hutan Rakyat mengkombinasikan tanaman perkayuan dengan tanaman pangan/palawija yang biasa dikenal dengan istilah agroforestry7. Hasil utama Hutan Rakyat berupa kayu-kayuan baik kayu pertukangan, kayu industri, kayu serat, maupun kayu energi. Hasil sampingan Hutan Rakyat yaitu getah, nira, bunga, buah. Tanaman campuran/tanaman sela sebagai tumpangsari yang terdiri dari tanaman pertanian semusim (padi dan jagung) dan tanaman obat-obatan disamping sebagai sumber penghasilan musiman limbahnya berupa daun dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak (Mindawati et al. 2006; Budiman et al. 2008). 7 A land-use system in which woody perennials (trees, shrubs, palms, bamboos) are deliberately used on the same land management unit as agricultural crops (woody or not), animals or both, either in some form of spatial arrangement or temporal sequence. In agroforestry systems there are both ecological and economic interactions between the different components (World Agroforestry Centre, 1997) 14 14 Hutan Rakyat sudah berkembang di masyarakat sejak lama dan dilakukan di lahan-lahan milik. Hal tersebut terlihat dari adanya Hutan Rakyat tradisional yang diusahakan oleh masyarakat itu sendiri tanpa campur tangan pemerintah (swadaya murni), baik terdiri dari tanaman satu jenis, maupun dengan pola tanaman campuran. Teknologi yang dipergunakan diutamakan teknologi lokal, merupakan teknologi yang telah melalui proses adaptasi dan berada dalam batas yang dikuasai oleh rakyat. Tingginya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Hutan Rakyat dikarenakan bentuk pengelolaan tersebut banyak memberi manfaat bagi petani dan bukan merupakan hal yang sama sekali baru bagi masyarakat. 2.1.2 Dukungan Kebijakan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Keterlibatan pemerintah dalam pengembangan Hutan Rakyat ditandai dengan terbitnya Inpres Penghijauan Tahun 1976 mengenai upaya penghijauan pada lahan-lahan milik yang kritis dan terlantar. Pengurusan Hutan Rakyat dilakukan sendiri oleh pemiliknya dengan bimbingan dan pengawasan dari pemerintah.Dengan adanya PP No. 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang Kehutanan kepada daerah, maka pengurusan pengelolaan Hutan Rakyat telah diserahkan kepada Dati II yang mencakup pembinaan kegiatan penanaman pohon-pohonan, pemeliharaan, pemanenan, pemanfaatan, pemasaran dan pengembangan. Pengembangan Hutan Rakyat mengenal tiga pola pengelolaan, yaitu :(1) Hutan Rakyat Swadaya, yaitu Hutan Rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. Melalui pola ini masyarakat didorong agar mau dan mampu untuk melaksanakan pembuatan Hutan Rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis kehutanan, (2) Hutan Rakyat subsidi, yaitu Hutan Rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Subsidi atau bantuan diberikan oleh pemerintah (melalui Inpres Penghijauan, Padat Karya dan dana bantuan lainnya) atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan Hutan Rakyat, dan (3) Hutan Rakyat kemitraan (Kredit Usaha Hutan Rakyat), yaitu 15 Hutan Rakyat yang dibangun berdasarkan kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama tersebut adalah kebutuhan pihak perusahaan terhadap bahan baku dan kebutuhan masyarakat terhadap bantuan modal kerja. 2.2 Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat Menurut Singh (1993) dalam pengelolaan hutan hal penting yang diperlukan dalam memelihara dan mendorong partisipasi masyarakat yang berkelanjutan adalah membangun kelembagaan yang kuat pada masyarakat pengelola hutan. Kelembagaan merupakan hambatan terbesar dalam mewujudkan pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan. Aspek kelembagaan memegang peranan penting dalam pengelolaan hutan yang adil dan berkelanjutan. Kegagalan beberapa program pembangunan kehutanan seringkali terletak pada masih lemahnya aspek kelembagaan baik di tingkat masyarakat maupun unsur-unsur pendukungnya. Koentjaraningrat (2006) menyatakan bahwa pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas untuk memenuhi kompleksitas kebutuhan dalam kehidupan masyarakat yang menekankan pada sistem tata kelakuan atau norma untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Cohen (1992) mengartikan social institutions sebagai pranata-pranata masyarakat yang memiliki pengertian sistem pola-pola sosial yang tersusun rapi dan relatif bersifat permanen serta mengandung perilaku-perilaku tertentu yang kokoh dan terpadu demi pemuasan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat. Gunawan (2000) mengemukakan bahwa pranata sosial merupakan struktur sosial beserta perlengkapannya, yang dipergunakan oleh masyarakat untuk mengatur, mengarahkan, dan melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan pengertian di atas, maka lembaga sosial umumnya didirikan berdasarkan nilai dan norma dalam masyarakat, untuk mewujudkan nilai sosial, masyarakat menciptakan aturan-aturan yang disebut norma sosial yang 16 16 membatasi perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Sekumpulan norma akan membentuk suatu sistemnorma yang kemudian menjadi awal terbentuknya lembaga sosial. Sekumpulan nilai dan norma yang telah mengalami proses penerapan ke dalam institusi atau pelembagaan menghasilkan lembaga sosial Lembaga sosial merupakan suatu konsep yang abstrak, namun demikian terdapat sejumlah ciri dan karakter yang dapat dikenali. Gillin dan Gillin di dalam karyanya yang berjudul "Ciri-ciri Umum Lembaga Sosial" (General Features of Social Institution) sebagaimana dikutip oleh Soekanto (1994) mengemukakan bahwa lembaga sosial memiliki ciri-ciri antara lain : 1. Merupakan organisasi pola-pola pemikiran dan perilaku yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas masyarakat dan hasil-hasilnya. 2. Memiliki suatu tingkat kekekalan tertentu. Lembaga sosial merupakan himpunan norma-norma yang berkisar pada kebutuhan pokok, maka harus dipelihara dan dibakukan. 3. Memiliki satu atau beberapa tujuan tertentu. 4. Memiliki alat-alat perlengkapan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 5. Memiliki lambang-lambang atau simbol-simbol tertentu yang secara simbolis menggambar tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan. 6. Memiliki tradisi tertulis dan tidak tertulis yang merumuskan tujuan, tata tertib, dan lain-lain. Baga et al.(2009) mengemukakan bahwa suatu kelembagaan (institution) baik sebagai suatu aturan main maupun sebagai suatu organisasi, dicirikan oleh adanya tiga komponen utama, yaitu : (1) batas kewenangan (jurisdictional boundary), (2) hak kepemilikan (property right), dan (3) aturan representasi (rule of representation). Kelembagaan, selain dimaknai sebagai perangkat keras (lembaga atau organisasi), juga melingkupi perangkat lunak, aturan main, keteladanan, rasa percaya dan konsistensi kebijakan yang diterapkan pemerintah terhadap lembaga-lembaga masyarakat. Kegagalan kegiatan pembangunan kehutanan seringkali disebabkan oleh masih lemahnya kelembagaan di tingkat masyarakat lokal maupun unsur-unsur pendukungnya. Achmad (2008) 17 mengemukakan bahwa kelembagaan Hutan Rakyat terdiri dari kelembagaan sosial, kelembagaan ekonomi, dan kelembagaan pemerintahan/birokrasi. 2.2.1 Kelompok Tani Hutan Rakyat sebagai Kelembagaan Sosial Bentuk kelembagaan sosial dalam Hutan Rakyat adalah kelompok tani. Kelompok tani merupakan kumpulan orang-orang tani atau petani, yang terdiri atas petani dewasa (pria/wanita) maupun petani taruna (pemuda/i), yang terikat secara informal dalam suatu wilayah kelompok atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama serta berada di lingkungan pengaruh pimpinan seorang kontak tani (Departemen Kehutanan, 1996). Kelompok tani yang berkaitan langsung dengan Hutan Rakyat disebut kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR). KTHR berfungsi sebagai wadah bagi para petani untuk menyalurkan aspirasinya, melaksanakan kegiatan-kegiatan fisik di lapangan secara berkelompok, dan menampung aspirasi anggotanya dalam kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat. Keberadaan KTHR membantu petani Hutan Rakyat untuk dapat saling berkomunikasi dengan petani Hutan Rakyat lainnya dan juga pihak-pihak lainnya di luar kelompok tani untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi sebagai petani. Kelembagaan sosial lainnya yang turut menunjang perkembangan Hutan Rakyat adalah : (1) Lembaga penelitian dan pengembangan kehutanan, (2) lembaga pendidikan terkait kehutanan (kursus, sekolah, dan perguruan tinggi),(3) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang melakukan pendampingan terhadap petani Hutan Rakyat yang tergabung dalam kelompok tani-kelompok tani (Departemen Kehutanan 1996; Rahman 2006; Achmad et al. 2008) Kelembagaan ekonomi dalam Hutan Rakyat terdiri dari : (1) lembagalembaga pemasaran sarana produksi kehutanan, dari mulai produsen sampai dengan pendistribusiannya di tingkat petani, (2) Lembaga-lembaga penunjang kegiatan produksi, antara lain lembaga keuangan/perbankan dan koperasi, dan (3) lembaga-lembaga pemasaran produk kehutanan, dari pengolah hasil kehutanan 18 18 sampai pendistribusian kepada konsumen, (4) Jasa konstruksi, telekomunikasi, dan transportasi (Departemen Kehutanan 1996; Rahman 2006). Kelembagaan pemerintah/birokrasi memegang peran yang cukup dominan dalam pengembangan Hutan Rakyat. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan, pada pasal 70 dinyatakan bahwa pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten atau kota berkewajiban untuk mengembangkan hutan hak melalui pengembangan kelembagaan. Pengelolaan Hutan Rakyat di Jawa Barat ditangani oleh : (1) Departemen Kehutanan, (2) Pemerintah Kabupaten/Kota, selaku regulator kegiatan pengelolaan hutan di Kabupaten/Kota. Penyuluh kehutanan sebagai ujung tombak pengembangan Hutan Rakyat tergabung dalam Dinas-dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, (3) Keterlibatan Dinas-dinas terkait lainnya, yaitu Dinas Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan UKM, serta Dinas Perhubungan (Departemen Kehutanan 1996; Rahman 2006; Achmad 2008) 2.2.2 Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat sebagai Bentuk Tindakan Bersama (Collective action) Pengembangan Hutan Rakyat tidak dapat hanya dilakukan oleh petani. Keberhasilan pengelolaan Hutan Rakyat tidak terlepas dari lembaga-lembaga yang mendukungnya. Kelembagaan Hutan Rakyat bersifat multidimensi. Sinergi dari kelembagaan sosial, ekonomi, dan pemerintah dalam kelembagaan Hutan Rakyat memperlihatkan adanya kompleksitas jaringan (network) multipihak yang saling berkaitan satu sama lain. Keberlanjutan kelembagaan Hutan Rakyat sangat terikat dari manfaat, baik ekonomi, sosial dan politik yang dapat diberikannya bagi pelaku utama yaitu petani, maupun bagi parapihak yang mendukungnya. Kelembagaan Hutan Rakyat dapat lebih dipahami sebagai tindakan bersama (collective action) dari parapihak yang terlibat di dalamnya. Tindakan bersama (collective action) tersebut didorong oleh adanya kepentingan terhadap sumberdaya, gagasan, dan cita-cita berbagai pihak terkait 19 dengan keberadaan Hutan Rakyat. Kelembagaan Hutan Rakyat dalam hal ini menjadi saluran bagi tindakan bersama (collective action) yang didorong oleh kepentingan terhadap manfaat yang diperoleh, legitimasi, dan harapan bersama yang diinginkan. Kompleksitas jaringan multipihak dalam kelembagaan Hutan Rakyat memberikan gambaran bahwa akan selalu terjadi proses pembelajaran yang berkesinambungan dalam rangka meningkatkan kapabilitas pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Keberlangsungan kelembagaan Hutan Rakyat terikat dari kemampuan kelembagaan tersebut dalam beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi.Penerapan teknologi untuk mampu beradaptasi terhadap berbagai perubahan yang terjadi memerlukan sumberdaya yang berkualitas yang hanya dapat diperoleh dari dilaksanakannya proses pembelajaran. 2.3 Penyuluhan Kehutanan 2.3.1 Penyuluhan secara Umum Falsafah, pendekatan, definisi, dan strategi penyuluhan senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Penyuluhan mengandung pengertian mengenai upaya untuk memperluas penelitian berdasarkan pengetahuan pada sektor pedesaan untuk meningkatkan taraf kehidupan petani meliputi komponen alih teknologi, keterampilan manajerial, dan pendidikan non-formal. Saat ini pemahaman mengenai penyuluhan telah bergeser dari alih teknologi menjadi fasilitasi, dari pelatihan menjadi pembelajaran, termasuk mendampingi pembentukan kelompok tani, dan menjadi patner dengan jangkauan yang luas dengan berbagai pihak. Jaffe dan Srivatasva (1992) mengemukakan bahwa penyuluhan berlaku sebagai penghubung diantara para petani untuk alih pengetahuan atau keterampilan yang dianggap lebih baik dalam bidang pertanian ataupun sebagai sarana untuk menyebarluaskan kebijakan-kebijakan di bidang pertanian pertanian. Saito dan Weidemann (1991) mengemukakan bahwa penyuluhan adalah proses pembelajaran dengan dua tujuan, yaitu menyebarkan informasi dan teknologi pada petani dan mengajar mereka bagaimana menggunakan informasi 20 20 dan teknologi tersebut untuk mengembangkan produktivitas, mendorong petani mampu mengenali kebutuhannya dan memberikan umpan balik dalam bentuk penyuluhan yang sesuai dengan kondisi mereka. Penyuluhan cenderung menjadi lebih efektif ketika hubungan diantara multipihak yang terlibat dalam penyuluhan tersebut mampu mendorong terciptanya komunikasi yang terbuka dan umpan balik yang dinamis (Saito and Weidemann, 1991). Pengertian penyuluhan menurut Slamet (2003) adalah program pendidikan luar sekolah yang bertujuan memberdayakan sasaran, meningkatkan kesejahteraan sasaran secara mandiri, bersifat berkelanjutan, menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan masyarakatnya. Penyuluhan dapat pula dipandang sebagai proses perubahan sosial, ekonomi dan politik untuk memberdayakan dan memperkuat kemampuan masyarakat melalui proses belajar bersama bersifat partisipatif, agar terjadi perubahan perilaku pada diri semua stakeholder (individu, kelompok, kelembagaan) yang terlibat dalam proses pembangunan, demi terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, dan partisipatif yang semakin sejahtera secara berkelanjutan. Mahaliyanaarachchi (2008) memberikan mendefinisikan penyuluhan sebagai proses pembelajaran nonformal yang berjalan terus-menerus pada suatu periode waktu tertentu dan mengarah pada peningkatan kondisi kehidupan petani dan anggota keluarganya dengan meningkatkan keuntungan dari kegiatan pertanian. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui upaya peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan perubahan sikap petani dalam penerapan teknologi pertanian, pelaksanaan kegiatan pertanian dan pemasaran hasil-hasil pertanian.Beberapa studi mengenai dampak ekonomi penyuluhan pertanian menunjukkan adanya dampak positif penyuluhan terhadap adopsi teknologi, produktivitas pertanian dan keuntungan yang diperoleh petani dari lahan pertanian (Foti et al. 2007). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan menyatakan bahwa penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan merupakan proses pembelajaran 21 bagi pelaku utama agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Penyuluhan pada hakikatnya adalah proses pembelajaran yang bertujuan menciptakan perubahan perilaku yang diinginkan terdiri dari pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude) terhadap individu atau kelompok tertentu dan bertujuan meningkatkan taraf kehidupan pihak-pihak terlibat di dalamnya. 2.3.2 Penyuluhan Kehutanan Penyuluhan terpusat pada masalah pertanian di dunia, namun pada saat yang sama pentingnya penyuluhan dalam meningkatkan pengelolaan hutan terus meningkat. Terlepas dari fokus terhadap pertanian tradisional, penyuluhan di bidang kehutanan berkembang menjadi hal yang diperlukan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat pengelola hutan. Menurut Glendingin et al. (2001) mengacu pada Sim dan Hilmi (1987) menyatakan bahwa sistem penyuluhan kehutanan berkembang sebagai respon terhadap kebutuhan penyebaran teknologi kehutanan diantara masyarakat pedesaan yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Proses pembelajaran dan berbagi pengalaman untuk pengembangan kapasitas sangat penting dalam tercapainya keberhasilan penyuluhan kehutanan. Pada waktu-waktu terakhir terdapat pergeseran paradigma dalam penyuluhan kehutanan dari pendekatan tranfer teknologi menjadi lebih bersifat pendekatan fasilitasi dan partisipatif. Partisipasi dan dukungan masyarakat menurut Glendingin (2001) mengacu pada Chambers (1983) dan Kramer (1987) menjadi perhatian utama dalam kegiatan kehutanan. Kegiatan pembangunan kehutanan yang dilakukan tidak akan berhasil tanpa adanya keterlibatan masyarakat terhadap pembangunan 22 22 kehutanan tersebut. Penyuluhan kehutanan dipandang sebagai kunci untuk meningkatkan partisipasi masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan. Rebugio (1978) mendefinisikan penyuluhan kehutanan sebagai sistem pendidikan nonformal yang dirancang untuk mengembangkan perilaku diantara pengguna hutan dan kapabilitas yang diinginkan dalam rangka upaya konservasi sumberdaya hutan. Penyuluhan kehutanan menurut Anderson dan Farrington (1996) didefinisikan sebagai proses yang sistematis dari pertukaran ide, pengetahuan dan teknik yang mengarah pada perubahan yang menguntungkan dalam sikap mental, praktik, pengetahuan, nilai-nilai, dan perilaku yang bertujuan meningkatkan pengelolaan hutan dan kayu. Glendingin (2001) mengacu pada Sim dan Hilmi (1987) mengemukakan bahwa penyuluhan merupakan proses menyatukan pengetahuan, sikap mental, dan keterampilan untuk menentukan kebutuhan yang diperlukan, penyelesaian masalah yang dihadapi, pendampingan terhadap masyarakat lokal dan sumberdaya penting, dan pendampingan lainnya yang mungkin diperlukan untuk mengatasi kendala tertentu. Departemen Kehutanan (1996) mengartikan penyuluhan kehutanan sebagai upaya alih-teknologi kehutanan melalui pendidikan luar-sekolah yang ditujukan kepada petani dan kelompok masyarakat lainnya, untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, keterampilan, dan kemampuannya dalam memanfaatkan lahan miliknya, pengamanan, serta pelestarian sumber daya alam. Beragam definisi mengenai penyuluhan kehutanan menyebabkan sulit untuk diperoleh satu definisi yang disepakati oleh berbagai pihak. Namun demikian menurut Anderson dan Farrington (1996) dari beragam definisi tersebut dapat ditarik dua pandangan mendasar. Pandangan pertama beranggapan bahwa penyuluhan terikat dengan fungsi alih teknologi dan tidak digabungkan dengan tugas-tugas lainnya. Pandangan kedua beranggapan bahwa penyuluhan harus melihat masyarakat sebagai rekan dan memahami kebutuhan mereka. Fungsi pengembangan manusia menjadi kunci penting dalam pelaksanaannya. Pandangan ini seringkali disebut pendekatan ’utamakan petani’ (farmer first) atau 23 ’pendekatan pemecahan masalah’. Kerangka pembangunan yang berkelanjutan menitikberatkan keduanya pada kandungan isi (teknologi dan penyebarannya) dan proses (pengembangan kapasitas pemecahan masalah). Penyuluhan kehutanan harus berakar dari kebutuhan untuk memelihara efisiensi maupun keadilan dalam pembangunan kehutanan. Penyuluhan di bidang agroforestry merupakan salah satu penyuluhan yang dilakukan dalam lingkup penyuluhan kehutanan. Chavangi and Zimmermann (1987) mengemukakan bahwa penyuluhan di bidang agroforestry, tidak seluruhnya merupakan tugas teknis untuk melakukan penanaman pohon, melainkan lebih kepada gabungan tugas teknis, psikologis, sosiologis, kelembagaan, dan politik. Menurut Bukenya et al. (2007) dalam teknologi agroforestry menjadi terkait dengan petani ketika dikomunikasikan pada petani. Petani belajar mengenai teknologi agroforestry melalui cara yang berbeda, misalnya dengan mendengarkan, mengamati, berdiskusi dan menggunakan metode yang diterapkan oleh petugas penyuluhan ketika melaksanakan penyuluhan. Hasil penyuluhan dapat berbeda pada situasi dan tingkat adopsi yang berbeda. Beberapa metode pendekatan dalam penyuluhan menurut Tengnas (1994) antara lain adalah : (1) pendekatan individu, (2) pendekatan kelompok (pertemuan, pekerjaan lapangan, demontrasi, dukungan untuk kelompok), (3) pendekatan kelas, dan (4) pendekatan penyuluhan masal. Penyuluhan di bidang agroforestry ini salah satunya adalah penyuluhan yang dilaksanakan dalam rangka mendukung pelaksanaan Hutan Rakyat. 2.3.3 Pelaksanaan Penyuluhan Kehutanan di Indonesia Di Indonesia, penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Sejalan dengan pergeseran kebijakan pembangunan kehutanan dan pelaksanaan otonomi daerah, maka telah dilakukan reorientasi paradigma penyuluhan kehutanan, yang semula merupakan proses alih teknologi dan informasi serta merubah sikap dan perilaku masyarakat 24 24 menjadi “penyuluhan kehutanan adalah proses pemberdayaan masyarakat” (Departemen Kehutanan, 2002). Dengan dasar kerangka pikir paradigma baru tersebut, maka pengertian penyuluhan kehutanan dalam menghadapi era otonomi daerah mencakup dua komponen pokok yaitu: (1) Penguatan dan pengembangan kelembagaan masyarakat sekitar kawasan sumber daya hutan yang berperan sebagai penggerak masyarakat dan selanjutnya tumbuh kesepakatan antar kelompok, antar desa bahkan antar kecamatan. (2) Pendampingan yang dilakukan secara terus menerus sehingga terbentuk kelompok-kelompok masyarakat produktif mandiri berbasis pembangunan kehutanan. Kegiatan penyuluhan kehutanan dalam perjalanannya berhadapan dengan sasaran penyuluhan yang sangat beragam, baik ragam kondisi wilayahnya, maupun keragaman keadaan sosial-ekonominya. Pelaksanaan kegiatan penyuluhan pada pengelolaan Hutan Rakyat sampai saat ini telah menghasilkan beberapa hal pokok, antara lain : (1) areal Hutan Rakyat yang semakin meluas di berbagai daerah, (2) terbentuknya kelompokkelompok tani Hutan Rakyat (3) meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap upaya perbaikan kondisi lingkungan, (4) terbentuknya sentra-sentra industri hasil Hutan Rakyat, dan (4) terjadinya perubahan budaya menanam pada petani dari hanya penanaman tanaman semusim menjadi penanaman tanaman keras. Penyuluhan kehutanan terkait pengelolaan Hutan Rakyat di beberapa daerah di Indonesia harus diakui masih belum berjalan sesuai harapan sehingga berdampak pada kinerja pengelolaan Hutan Rakyat. Pelaksanaan kegiatan penyuluhan pada akhirnya masih sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi spesifik yang melingkupinya, antara lain kondisi sosial-ekonomi masyarakat sasaran, kondisi wilayah, dan kebijakan yang melingkupinya. Berdasarkan paparan di atas, penyuluhan kehutanan dapat dimaknai sebagai proses pembelajaran yang tidak hanya terkait dengan materi pembelajaran, namun terkait pula dengan interaksi yang terjadi antara pelakupelaku dalam kegiatan pembangunan kehutanan, baik masyarakat lokal dan petugas penyuluhan belajar serta pihak-pihak lain yang terlibat saling belajar satu 25 sama lain, dalam konteks penyebaran teknologi kehutanan maupun membentuk perilaku positif dalam pengelolaan hutan secara berkelanjutan. 2.4 Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Pemberdayaan masyarakat, tidak dapat dilepaskan dari terjadinya proses pembelajaran dalam masyarakat. Menurut Asyhar (2011) kata pembelajaran merupakan terjemahan dari istilah Bahasa Inggris, yaitu instruction. Instruction diartikan sebagai proses interaktif antara guru dan siswa yang berlangsung secara dinamis. Penggunaan istilah pembelajaran sebagai pengganti istilah lama Proses Belajar-Mengajar (PBM) tidak hanya mengubah istilah, melainkan mengubahfungsi guru dalam proses pembelajaran. Guru dalam proses pembelajaran tersebut tidak hanya mengajar melainkan membelajarkan peserta didik agar mau belajar. Pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja bertujuan dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain. Proses pembelajaran menitikberatkan pada bagaimana membuat pembelajar mengalami proses belajar. Pembelajaran yang efektif dapat membuat pebelajar memperoleh keterampilan-keterampilan, pengetahuan, atau sikap-sikap, dan merasa senang belajar dalam pembelajaran tersebut (Yamin 2011). Proses pembelajaran dilakukan dalam sebuah proses yang sistematis dan setiap komponen dalam sistem tersebut memiliki arti penting dalam keberhasilan belajar pembelajar. Komunikasi dalam proses sistematis tersebut merupakan unsur yang mutlak diperlukan. Proses pembelajaran merupakan suatu proses komunikasi. Konsep komunikasi dalam pembelajaran mengacu pada keseluruhan proses komunikasi informasi atau pesan dari sumber (guru, menteri, atau bahan) kepada penerima (murid) melalui media atau jaringan. Pembelajaran dalam penelitian ini mengadaptasi pengertian sebagai segala sesuatu yang dapat membawa informasi dan pengetahuan dalam interaksi yang berlangsung antara pendidik dengan peserta didik. 26 26 2.4.1 Kelompok Tani sebagai Media Pembelajaran Pembelajaran dapat dilakukan baik secara individu maupun kelompok. Pada pengelolaan Hutan Rakyat, kegiatan pendidikan bagi petani berupa pelatihan keterampilan dan penyuluhan oleh instansi terkait difasilitasi oleh kelompok tani Hutan Rakyat. Kelompok tani Hutan Rakyat berperan penting dalam pembelajaran sosial petani pengelolanya. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian Hauser et al. (2010) mengungkapkan bahwa fasilitasi pembelajaran yang dilakukan terhadap kelompok petani tradisional berperan penting dalam mendorong keberhasilan mereka beralih dari petani tradisional berlahan sempit menjadi petani pertanian organik berorientasi pasar. Elemen penting dalam proses pembelajaran yang terjadi di antara komunitas petani berlahan sempit adalah dinamika kelompok yang menghasilkan perubahan perilaku dalam diri petani. Uraian tersebut menggambarkan bahwa proses pembelajaran yang terjadi dalam suatu kelompok masyarakat dapat secara efektif menghasilkan perubahan perilaku pada kelompok yang bersangkutan menuju arah dan kondisi yang lebih baik. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian Millar dan Curtis (1997) menemukan bahwa interaksi antar petani, baik diantara mereka sendiri, maupun bersama dengan para ahli dan penyuluh, berdampak pada terjadinya pertukaran pengetahuan yang memfasilitasi proses pembelajaran petani secara lebih mendalam berdasarkan sifat dan tujuan kelompok dimana petani mengorganisasikan diri. Millar dan Curtis (1997) menekankan pula bahwa fasilitasi yang efektif sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses pembelajaran kelompok petani. Beberapa studi lain menunjukkan pula bahwa pembelajaran yang dilakukan dalam kelompok petani secara efektif mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan serta sikap mental. Menurut Murcot (1995) dan Chistodoulou dan Gray (1997) sebagaimana dikutip oleh Sherson et al. (2002), pembelajaran dalam kelompok (learning in-group) merupakan media yang efektif untuk mendorong perubahan sikap dan perilaku seseorang. Keberadaan 27 suatu kelompok tani juga membuka kesempatan bagi anggota petani di dalamnya berbagi pengalaman yang mereka miliki dan meningkatkan pengetahuan serta pemahaman dari anggota kelompok secara personal. Studi yang dilakukan oleh Moore (1990) menyatakan bahwa petani lebih menyukai lingkungan pembelajaran kelompok dengan jumlah kecil yang memberi mereka kesempatan untuk dapat saling bertanya, berdiskusi, dan berdebat dibandingkan dengan pola belajar yang bersifat formal di kelas. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Pigg et al. (1980) yang diacu oleh Sherson et al. (2002) bahwa keberhasilan suatu proses pembelajaran terikat pada lingkungan belajar yang relevan terhadap gaya belajar dan kebutuhan pembelajar. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran petani seringkali berlaku efektif ketika diwadahi oleh kelompok tani di mana mereka berinteraksi dan mengorganisasikan diri. 2.4.2 Sumber Belajar Asyhar (2011) mendefinisikan sumber belajar sebagai semua sumber yang mungkin dapat digunakan oleh peserta didik agar terjadi perilaku belajar. Sumber belajar adalah segala sesuatu yang ada di sekitar lingkungan kegiatan belajar yang secara fungsional dapat digunakan untuk membantu optimalisasi hasil belajar. Hamdani (2010) mengutip Association for Education and Communication Technology (AECT) menyatakan bahwa sumber belajar adalah semua sumber, baik berupa data, orang, dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh siswa dalam belajar 2.4.3 Faktor-faktor Penentu Pembelajaran Klausmeier dan Goodwin (1975) dalam bukunya yang berjudul Learning and Human mengemukakan Abilities bahwa (Educational terdapat Psycology)secara sembilan faktor lebih terperinci penentu yang mempengaruhiproses belajarindividu (school learning environment). Faktorfaktor tersebut antara lain adalah : (1) Tujuan pembelajaran (educational and instructional objectives), (2) pokok bahasan (subject matter), (3) bahan ajar 28 28 (instructional material), (4) karakteristik pembelajar (characteristic of the learner), (5) karakteristik pengajar (characteritic of teacher), (6) interaksi kelas (classroominteraction), (7) kelembagaan pembelajaran (organization for instruction), (8) karakteristik fisik (physical characteristic), dan (9) hubungan dengan berbagai pihak dalam lingkungan pembelajar (home-school-community relation). Penjelasan masing-masing peubah tersebut menurut Klausmeier dan Goodwin (1975) adalah sebagai berikut : 1. Tujuan pendidikan dan pengajaran (educational and instructional objectives) Bagian tujuan pendidikan ini membahas mengenai, yaitu (1) tujuan yang mempengaruhi arah pendidikan secara luas, (2) mendampingi staf pendidikan dalam membuat keputusan menyusun program pendidikan, (3) mendampingi pengajar membuat keputusan tentang program pengajaran untuk siswa-siswa tertentu. Tujuan pendidikan (educational objective) membahas mengenai tujuan yang ingin dicapai secara global di tingkat nasional dari pelaksanaan pendidikan. Tujuan pengajaran membahas mengenai tujuan di tingkat sekolah yang diterapkan kepada siswa sesuai situasi dan kondisi yang ada. 2. Bahan Ajar (subject matter) Bagian pokok bahasan ini membahas mengenai materi yang diajarkan pada pelajar, menyangkut didalamnya ragam pokok bahasan dan kompetensi yang diharapkan dimiliki pelajar setelah mengikuti suatu kegiatan pembelajaran. 3. Bahan pengajaran dan teknologi yang berkaitan (instructional material and related technology) Bagian bahan pengajaran dan teknologi yang berkaitan membahas mengenai bahan (materi) yang dapat digunakan untukmencapai tujuan pengajaran bagi siswa. Bahan yang dimaksud tersebut adalah alat bantu yang digunakan pengajar dalam pengajaran bagi siswa. Bahan pengajaran yang digunakan pada 29 kegiatan pembelajaran antara lain dalam bentuk buku, booklet, brosur, audiovisual, dan lainnya. Tiga bentuk teknologi yang berkembang dalam beberapa dekade terakhir, antara lain yaitu pengajaran melalui televisi (televised instruction), pengajaran terprogram (programmed instruction), dan pengajaran melalui komputer (computer-assisted instruction). 4. Karakteristik pembelajar (characteristic of the learner) Bagian berpengaruh ini membahas terhadap proses mengenai belajar. karakteristik Informasi pembelajar mengenai yang karakteristik pembelajar berguna bagi pengajar dalam proses pembelajaran. Karakteristik tersebut antara lain mencakup : (1) tingkat pencapaian diri (level of achievement), (2) tingkat motivasi (level of motivation), (3) kesehatan, (4) konsep diri (self concept). Pembahasan mengenai karakteristik pembelajar ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan pembelajar untuk belajar dan perkembangan yang dapat dicapai. 5. Karakteristik pengajar (characteristic of teacher) Karakter individual yang melekat pada diri pengajar berpengaruh besar terhadap efektivitas pengajar dalam pengajaran. Karakteristik pengajar terbagi menjadi karakteristik kognitif dan karakteristik afektif. Rentang perbedaan diantara pengajar dalam hal karakteristik afektif meliputi ketertarikan, sikap, nilai yang dianut, dan integritas kepribadian lebih besar dibandingkan dengan kemampuan intelektual secara umum dan variabel kognitif lainnya. Hal tersebut dikarenakan pendidikan dan persyaratan yang diperlukan untuk pengajar berdasarkan kemampuan kognitif. Namun demikian, kemampuan afektif pengajar menentukan pula keberhasilan proses pengajaran. Karakteristik kognitif pengajar antara lain adalah : (1) kemampuan intelektual, (2) nilai akhir pendidikan tinggi yang dijalani, (3) kesiapan terhadap pokok bahasan, dan (4) pemahaman mengenai pengembangan dan pembelajaran anak. Karakteristik afektif pengajar antara lain mencakup: (1) pengetahuan yang 30 30 baik mengenai bahan pengajaran, bersikap hangat, bersikap penuh pengertian dan bersahabat, bertanggung jawab, sistematis, berkemampuan menstimulasi, imajinatif, surgent, memiliki antusias tinggi dan fleksibel. Efektivitas pengajaran ditentukan pula oleh situasi dalam lingkungan pembelajaran. 6. Interaksi kelas (classroom interaction) Interaksi kelas (classroom interaction) membahas mengenai interaksi yang terjadi antara pengajar dan pembelajar dalam proses pembelajaran di dalam ruangan kelas. Seorang pengajar berinteraksi dengan pembelajar melalui berbicara, tulisan, dan gerak fisik lainnya. Pembelajar melakukan hal yang sama dalam berinteraksi dengan pengajar. Seorang pengajar umumnya yang mengendalikan jenis dan intensitas interaksi tersebut. Ketika pengajar memutuskan untuk mengajar dan pembelajar belajar secara mandiri, maka tidak terdapat interaksi verbal yang dilakukan antara pembelajar dan antara pengajar dan pembelajar. Bentuk interaksi antara pengajar dan pembelajar antara lain adalah diskusi kelas, diskusi panel, sesi tanya-jawab, dan kegiatan kelompok. Metode interaksi kelas yang paling banyak dilakukan adalah komunikasi antara pengajar dan pembelajar melalui aktivitas fisik berupa bicara (talk) atau menurut Klausmeier dan Goodwin (1975) mengacu pada pendapat Flanders (1968, 1969) disebut perilaku verbal oral. Pengajar berbicara sebagai respon terhadap pembelajar atau untuk mengawali pembicaraan dalam pengajaran. Sama halnya dengan pengajar, pembelajar pun berbicara sebagai respon terhadap pengajar maupun untuk memulai pembicaraan. Hubungan timbal-balik antara pengajar dan pembelajar tersebut membentuk interaksi yang berkesinambungan. Interaksi kelas berhubungan dengan kepemimpinan pengajar. Kepemimpinan pengajar dapat dilihat dalam konteks bahwa pengajar memiliki kewenangan (authority) untuk mengambil keputusan yang berdampak pada pembelajar. Pengajar sebagai pemimpin yang efektif mampu mendukung pembelajar, memfasilitasi interaksi dan terjadinya komunikasi diantara pengajar dan pembelajar. Tipe kepemimpinan pengajar berkontribusi dalam efektivitas 31 pengajaran oleh pengajar dalam kelas. Berdasarkan studi yang telah dilakukan, aspek kepemimpinan pengajar berhubungan dengan perilaku pembelajar yang dihasilkan. 7. Kelembagaan pengajaran (organization for instruction) Pengajar tidak dapat secara individual dan mandiri mampu mewujudkan kondisi pembelajaran yang baik untuk pembelajar atau kondisi kerja yang baik untuk sesama pengajar tanpa saling berbagi, bekerjasama, dan berkontribusi sebagai anggota kelompok dalam lingkungan pembelajaran di sekolah. Pengajar bekerja bersama-sama dengan pengajar di lingkungan sekolah. Pengajar juga bekerjasama dengan pengelola sekolah, misalnya kepala sekolah, penasihat, staf administrasi dan lainnya. Lima kondisi mendasar agar kelompok dapat berfungsi secara efektif antara lain adalah : (1) adanya tujuan bersama yang diyakini anggota kelompok dapat diwujudkan secara kolektif daripada secara mandiri, (2) skema organisasi yang mapan dan efektif dengan hak dan tanggung jawab yang jelas, (3) nilainilai yang dipegang anggota kelompok, (4) pemecahan masalah, dan (5) waktu tambahan dari kegiatan mandiri untuk melengkapi perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan kelompok. Keterkaitan pengajar dengan pihak-pihak lain dalam lingkungan pembelajaran tersebut mengindikasikan bahwa pengajar merupakan anggota dari kelembagaan pendidikan secara khusus yang tidak dapat berdiri sendiri untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. 8. Karakteristik fisik (physical characteristic) Hubungan antara pengajar dengan pihak-pihak lainnya di dalam proses pembelajaran di sekolah memerlukan dukungan fasilitas fisik untuk mewujudkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Fasilitas fisik tersebut antara lain :(1) bangunan tempat kelembagaan pendidikan dapat menjalankan kegiatannya, (2) spesialisasi/pembagian kerja masing-masing personel yang terlibat dalam kelembagaan pendidikan, (4) materi pengajaran, misalnya panduan pengajaran, 32 32 buku pelajaran, buku latihan, dan lainnya, (3) media pembelajaran yang digunakan, contohnya : brosur, leaflet, alat peraga pengajaran, sarana audiovisual dan lainnya. Kelengkapan fasilitas fisik dalam kegiatan pembelajaran berhubungan dengan efektivitas pembelajaran. 9. Hubungan antara lingkungan rumah-sekolah-masyarakat dalam proses pembelajaran (home-school-community relation) Klausmeier dan Goodwin (1975) mengacu pada pendapat Fruth dan Bowles (1974) menyatakan bahwa lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat saling berhubungan dalam konteks penyelenggaraan pembelajaran. Pembelajaran dapat terwujud apabila pengajar dapat memahami lingkungan rumah pembelajar untuk dapat lebih memahami pembelajar yang bersangkutan. Pengajar bergantung pada penerimaan orang tua dan komitmen mereka terhadap program pengajaran yang diberikan kepada anak mereka. Lingkungan keluarga pembelajar dan masyarakat berpengaruh terhadap terbentuknya sikap, kemampuan dan keterampilan pembelajar. Lembaga pendidikan dan masyarakat dapat diorganisasi menjadi kelompok interaksi yang berfungsi sebagai wadah dimana pengajar dapat memahami keinginan dan aspirasi orang tua pembelajar terhadap pembelajar dan pendidikan secara umum. Sebaliknya orang tua dan masyarakat yang lebih luas dapat mengerti harapan pengajar dan berharap untuk pembelajar. Hal tersebut berarti bahwa secara bersama-sama pengajar, orang tua dan masyarakat dapat berusaha mewujudkan tujuan pembelajaran yang diinginkan. 2.5 Kemampuan Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Kemampuan petani dalam mengelola suatu kawasan hutan diartikan sebagai kualitas yang melekat dalam diri petani mencakup pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap mental (afektif) dalam pengelolaan hutan sesuai standar tertentu yang diharapkan. Kemampuan tersebut diperoleh dari hasil pembelajaran yang dilakukan oleh petani. Menurut Winkel 33 (2009), proses belajar berlangsung di dalam diri pembelajar dan merupakan kejadian internal. Kejadian tersebut dalam pandangan psikologi modern bukan merupakan kejadian tunggal, melainkan suatu rangkaian berbagai kejadian yang berlangsung berurutan. Setiap kejadian menjadi satu fase dalam suatu rangkaian/pola fase, yang bersama-sama membentuk proses belajar yang berlangsung di dalam subyek. Kejadian-kejadian yang terjadi diluar subyek turut berperan dalam menunjang atau menghambat proses belajar yang berlangsung di dalam subyek belajar. Berdasarkan kejadian-kejadian internal (di dalam subyek belajar sendiri) dan berbagai kejadian eksternal (di luar subyek) dapat ditemukan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh seluruh subyek belajar dan sejumlah persyaratan yang patut dipenuhi oleh dalam lingkungan di luar subyek, agar proses pembelajaran berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Gagne (1977) dalam Winkel (2009) mengemukakan bahwa persyaratan dalam subyek disebut kondisi internal, sedangkan persyaratan di luar subyek disebut kondisi ekternal. Kondisi internal dan eksternal diwujudkan dengan cara berbeda pada setiap jenis belajar. Setiap jenis belajar merupakan proses pembelajaran tersendiri. 34 34 III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTETIS 3.1 Kerangka Pemikiran Berdasarkan kajian tentang teori, konsep, dan literatur yang relevan pada bagian Tinjauan Pustaka, penulis merumuskan kerangka pemikiran seperti diuraikan di bawah ini. Sumber daya hutan memiliki nilai penting dari sisi sosio-kultural, ditinjau dari keberadaannya dan perannya dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat yang telah bergenerasi hidup di dan dari sumber daya hutan. Keterikatan masyarakat terhadap sumber daya hutan tidak sebatas pada aspek produksi hutan dan lahan hutan, tetapi juga fungsi perlindungan dan fungsi tata klimat yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lokal secara langsung maupun tidak langsung dari ekosistem tersebut, dalam mempertahankan hidup mereka dan peningkatan kesejahteraan mereka. Pasokan kayu dari Hutan Negara semakin menurun, sehingga perlu alternatif sumber kayu. Kebutuhan kayu di Jawa Barat semakin meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk. Salah satu pemasok kebutuhan tersebut adalah kayu yang berasal dari Hutan Rakyat. Hal tersebut menyebabkan tekanan terhadap potensi kayu di Hutan Rakyat menjadi sangat tinggi. Dorongan kebutuhan hidup petani yang sulit dan keterbatasan pasokan kayu dari luar Jawa`menyebabkan ancaman terhadap kelestarian Hutan Rakyat meningkat. Semakin menurunnya kualitas sumberdaya hutan pada beberapa dekade terakhir akibat tingginya tekanan terhadap sumberdaya hutan dan kesadaran pentingnya keterlibatan masyarakat di sekitar kawasan telah mendorong dilakukannya upaya pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan. Upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan mengarah pada upaya pengembangan, penguatan potensi dan kemampuan masyarakat untuk mengambil keputusan dapat secara mandiri mengembangkan pilihan-pilihan adaptasi terhadap perubahan lingkungan fisik dan sosial dalam pengelolaan 35 hutan. Keberhasilan upaya pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan pengelolaan hutan secara keseluruhan. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang dapat diperoleh dari Hutan Rakyat. Manfaat yang diperoleh dari Hutan Rakyat dan kemudahan teknologi dalam pengelolaannya melatarbelakangi partisipasi masyarakat dalam pengembangan Hutan Rakyat. Hutan Rakyat harus dikelola secara berkualitas dan berkesinambungan agar dapat memberikan manfaat produksi, ekologis dan ekonomis bagi masyarakat pengelolanya. Kualitas pengelolaan Hutan Rakyat ditentukan oleh kemampuan anggota kelompok tani Hutan Rakyat dalam mengelola lahan miliknya. Kemampuan petani dalam mengelola suatu kawasan hutan diartikan sebagai kualitas yang melekat dalam diri petani mencakup pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude) dalam pengelolaan Hutan Rakyat sesuai dengan standar pengelolaan berdasarkan aspek kelestarian produksi, kelestarian lingkungan, dan kelestarian sosial. Studi mengenai kemampuan dalam pengelolaan Hutan Rakyat merujuk pada teori pembelajaran menurut Klausmeier dan Goodwin (1975) dan Winkel (2009) di mana kemampuan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat merupakan pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat berdasarkan kaidah kelestarian. Pembelajaran mengacu pada pemikiran Winkel (1973) dipengaruhi oleh kondisi internal dan kondisi eksternal. Kondisi internal dan eksternal tersebut sejalan dengan pendapat Klausmeier dan Goodwin (1975) mengenai adanya faktor-faktor penentu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya pembelajaran. Klausmeier dan Goodwin (1975) mengemukakan bahwa terdapat sembilan faktor penentu dalam pembelajaran yaitu : (1) Tujuan pembelajaran petani, (2) pokok bahasan, (3) bahan ajar, (4) karakteristik pembelajar, (5) karakteristik pengajar, (6) interaksi pengajar dan pembelajar, (7) kelembagaan pengajaran, (8) karakteristik fisik, dan (9) hubungan antara lingkungan rumahsekolah-masyarakat dalam proses pembelajaran (Tabel 1). 36 36 Faktor-faktor penentu pembelajaran menurut Klausmeier dan Goodwin (1975) dalam penelitian ini diadopsi untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat, Pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat termanifestasi dalam bentuk kemampuan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Tabel 1. Faktor-faktor Penentu Pembelajaran No. 1. 2. 3. Peubah Tujuan pendidikan dan pengajaran 4. Pokok Bahasan Bahan pengajaran dan teknologi yang berkaitan Karakteritik Pembelajar 5. KompetensiPengajar 6. 7. Interaksi Pembelajar-Pengajar Kelembagaan pengajaran 8. 9. Karakteristik fisik Hubungan antara lingkungan rumahsekolah-masyarakat dalam proses pembelajaran Uraian Cara perumusan dan hasil yang diinginkan Ragam dan kualitasmateri bahasan Ragam, kualitas, dan kelengkapan materi pembelajaran Umur, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman, persepsi, karakter afektif Umur, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman, persepsi, karakter afektif Frekuensi dan intensitas Aturan yang berlaku, pembagian tugas, sistem nilai Sarana dan prasarana pembelajaran Frekuensi dan Intensitas Sumber : Klausmeier dan Goodwin (1975) diadaptasi untuk konteks Hutan Rakyat Faktor tujuan pembelajaran berkaitan erat dengan pokok bahasan, bahan pengajaran dan teknologi yang berkaitan, dan karakteristik fisik fasilitas pembelajaran. Keempat faktor ini merupakan bagian dalam kegiatan pembelajaran yang mengarah pada pelaksanaan pembelajaran, materi yang digunakan, dan dukungan dari kelengkapan fisik yang dimiliki. Faktor-faktor tersebut mengarah pada kegiatan pembelajaran yang bertujuan membangun aspek pengetahuan (kognitif), keterampilan, dan sikap petani sehingga memperoleh kemampuan yang diharapkan dalam rangka perbaikan kondisi kehidupannya. Keempat faktor pembelajaran tersebut dikelompokkan dalam peubah kegiatan penyuluhan. Faktor karakteristik pembelajar dipahami sebagai karakteristik yang melekat secara personal pada diri pembelajar yaitu petani. Karakteristik pengajar 37 dipahami sebagai karakteristik yang melekat pada diri pengajar dalam menyampaikan informasi pengajar meliputi pengetahuan, keterampilan, dan wawasan mengenai sikap. Karakteristik pengajar dalam penelitian ini analog dengan kompetensi sumber belajar. Faktor interaksi kelas menekankan pada hubungan timbal-balik antara pengajar dan pembelajar. Pembelajar harus berinteraksi dengan pihak lain di luar dirinya agar pembelajaran dapat berhasil. Faktor hubungan antara lingkungan rumah-sekolah-masyarakat dalam pembelajaran menunjukkan adanya keterkaitan pembelajar dengan pihak-pihak lain di luar dirinya, yaitu berasal dari lingkungan rumah/keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kedua faktor tersebut menekankan pembahasan mengenai pentingnya dinamika hubungan antar individu/perorangan dalam efektivitas kegiatan pembelajaran. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan sebagai peubah hubungan interpersonal. Berdasarkan uraian di atas, faktor-faktor penentu pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) faktor (Tabel 2). Tabel 2. Kelompok Peubah Pembelajaran No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Peubah Pembelajaran Tujuan Pembelajaran Pokok Bahasan Bahan Pengajaran dan Teknologi yang berkaitan Karakteristik fisik Karakteritik Pembelajar Karakteristik Pengajar Kelembagaan Pengajaran Interaksi Pengajar-Pembelajar Hubungan antara lingkungan rumahsekolah-masyarakat dalam proses pembelajaran Kelompok Peubah Pembelajaran Kegiatan Penyuluhan Karakteristik Personal Kompetensi Sumber Belajar Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat Hubungan Interpersonal Kemampuan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat adalah kemampuan kognitif, psikomotor, dan afektif, yang melekat pada diri petani sebagai hasil pembelajaran sendiri maupun dengan melibatkan pihak lain dalam mengelola Hutan Rakyatnya. Kemampuan anggota kelompok tani diduga 38 38 dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain : (1) Karakteristik personal petani, (2) Kompetensi sumber belajar, (3) Kegiatan penyuluhan, (4) Kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan (5) Hubungan interpersonal (Gambar 1). Kondisi marjinal masyarakat di sekitar hutan Pemberdayaan masyarakat melalui Hutan Rakyat Lingkup Amatan Penelitian Kompetensi Sumber Belajar Partisipasi Masy. dalam Hutan Rakyat Karakteristik Personal Kondisi internal Kemampuan Anggota Kelompok Tani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat HUTAN RAKYAT LESTARI Kondisi eksternal Kebutuhan terhadap bahan baku kayu rakyat meningkat Kelembagaan Kelompok Tani Hubungan Interpersonal PERBAIKAN KONDISI LINGKUNGAN Kegiatan Penyuluhan Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian 3.2 Kerangka Operasional Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadapkemampuan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat (Y1), meliputi: Karakteristik Personal (X1), Kompetensi Sumber Belajar (X2), Kegiatan Penyuluhan (X3), Kelembagaan 39 Hutan Rakyat(X4), dan Hubungan interpersonal (X5). Kerangka operasional penelitian disajikan pada gambar 2. KOMPETENSI SUMBER BELAJAR (X2) KARAKTERISTIK PERSONAL PETANI HUTAN RAKYAT (X1) X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X1.7 X2.1 Penguasaan materi X2.2 Kemampuan berkomunikasi X2.3 Kemampuan menjadi teladan/panutan Umur Pendidikan Pekerjaan utama Pekerjaan sampingan Penguasaan lahan Lama bergabung dalam program Hutan Rakyat Motivasi mengelola Hutan Rakyat KEGIATAN PENYULUHAN (X3) X3.1 X3.2 X3.3 X3.4 Y1.1 Y1.2 Y1.3 KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (X4) Y1.4 KEMAMPUAN ANGGOTA KELOMPOK TANI (Y1) Kemampuan melakukan perenca-naan dalam kegiatan Hutan Rakyat Kemampuan mengorganisir diri dalam kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat Kemampuan menggerakkan petani dalam kegiatan Hutan Rakyat Kemampuan melakukan pengawasan dalam kegiatan produksi Hutan Rakyat Tujuan penyuluhan Materi penyuluhan Metode penyuluhan Sarana dan prasarana pendukung kegiatan penyuluhan HUBUNGAN INTERPERSONAL (X5) X5.1 Interaksi petani dan sumber belajar X5.2 Interaksi petani dan keluarganya X5.3 Interaksi petani dan lingkungan masyarakat X4.1 Tata hubungan kerja antar anggota dalam kelompok tani X4.2 Pengorganisasian kegiatan produksi Hutan Rakyat X4.3 Norma sosial yang mengikat anggota kelompok tani Gambar 2. Kerangka Operasional Penelitian 40 40 3.3 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran, hipotesis penelitian ini adalah : Kemampuan perencanaan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat dipengaruhi oleh karakteristik personal petani, kompetensi sumber belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan hubungan interpersonal. Kemampuan pengorganisasian diri anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat dipengaruhi oleh karakteristik personal petani, kompetensi sumber belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan hubungan interpersonal. Kemampuan penerapan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat dipengaruhi oleh karakteristik personal petani, kompetensi sumber belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan hubungan interpersonal. Kemampuan pengawasan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat dipengaruhi oleh karakteristik personal petani, kompetensi sumber belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan hubungan interpersonal. 41 IV. 4.1 METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini adalah penelitian pengujian hipotesa atau penelitian penjelasan (explanatory research). Rancangan penelitian ini menurut Singarimbun dan Effendi (2008) bertujuan untuk menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode pengumpulan data berupa survei, didukung dengan pengumpulan data kualitatif untuk menggali data dan informasi yang tidak dapat diperoleh melalui pendekatan kuantitatif. Metode pengumpulan data survei digunakan dalam pengumpulan data dengan pendekatan kuantitatif melalui wawancara terstruktur yang berpedoman pada kuesioner. Informasi kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam (Indepth interview) dan metode pengamatan (observasi). Wawancara mendalam dilakukan pada sejumlah informan untuk melengkapi data dan informasi yang tidak dapat digali melalui metode survei. Pengamatan (observasi) merupakan cara atau teknik pengumpulan data melalui pengamatan secara langsung. Dokumentasi digunakan untuk melengkapi data dari hasil wawancara dan pengamatan tersebut. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan di areal permodelan Hutan Rakyat Desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposif dengan pertimbangan letak lokasi Hutan Rakyat yang berada di Sub DAS Ciampea, sebagai bagian dari DAS Cisadane yang memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat di daerah Ciampea, Bogor. Pelaksanaan penelitian dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap penelitian pendahuluan yang dilakukan pada bulan Februari 2012, dan tahap pengumpulan data di lapangan yang dilakukan pada akhir bulan Februari sampai dengan bulan Juni 2012. Penelitian pendahuluan meliputi survei lokasi dan memperoleh data responden, serta melakukan uji coba kuesioner terhadap 20 (dua puluh) 42 42 responden yang memiliki karakteristik yang sama dengan responden penelitian. Berdasarkan uji coba tersebut, kuesioner penelitian dikaji kembali. Beberapa pertanyaan diputuskan tidak digunakan. Pengumpulan data penelitian dilakukan selama empat bulan, dimulai dari akhir bulan Februari sampai dengan akhir bulan Juni. Pengumpulan data sekunder dilakukan bersamaan dengan masa penelitian lapangan. Proses pengolahan dan analisa data berlangsung sampai dengan bulan Desember 2012. Setiap responden dikunjungi lebih dari satu kali. Kunjungan pertama kali dilakukan adalah untuk memperkenalkan diri kepada responden. Wawancara dengan menggunakan kuesioner dilakukan pada kunjungan kedua atau ketiga. Kunjungan-kunjungan berikutnya dilakukan untuk menggali data kualitatif melalui wawancara mendalam pada beberapa responden yang juga merupakan informan kunci (key informant). Kunjungan pada petani dilakukan setelah terlebih dahulu melakukan kesepakatan kunjungan. Seringkali kunjungan dilakukan setelah petani kembali dari lahan pada sore atau malam hari. Untuk mengetahui jalannya pertemuan kelompok tani, peneliti terlibat dalam kegiatan pertemuan tersebut. Masalah yang ditemui di lapangan adalah sulitnya bertemu dengan petani pada jam-jam kerja jika tidak terlebih dahulu melakukan perjanjian. 4.3 Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah petani yang mengusahakan Hutan Rakyat di areal permodelan Hutan Rakyat di blok Ciampea Ilir dan blok Tegal Desa Tegalwaru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, dengan anggota kelompok tani berjumlah 55 orang.Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposif dengan pertimbangan letak lokasi Hutan Rakyat yang berada di Sub DAS Ciampea, sebagai bagian dari DAS Cisadane yang memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat di daerah Ciampea, Bogor. Seluruh populasi penelitian menjadi sampel penelitian. Pertimbangan menggunakan total populasi dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih representatif dan mengurangi 43 tingkat kesalahan data (Sugiyono, 2010), sehingga nilai yang diperoleh adalah nilai sesungguhnya. 4.4 Data dan Instrumen Penelitian 4.4.1 Data dan Pengukuran Data dalam penelitian ini mencakup data tentang sembilan peubah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu peubah karakteristik petani, kompetensi personal sumber belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, hubungan interpersonal dan kemampuan perencanaan, kemampuan pengorganisasian diri, kemampuan penerapan dan kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Data hasil pengukuran dalam penelitian ini menggunakan berbagai skala data sesuai dengan pertanyaan dalam peubah penelitian. Skala data nominal dan ordinal digunakan untuk memperoleh data mengenai peubah karakter individu petani Hutan Rakyat, sedangkan data mengenai persepsi responden terhadap topik tertentu berupa skala ordinal yang diperoleh melalui pengukuran menggunakan skala Likert. Menurut Widoyoko (2012), skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang kejadian atau gejala sosial. Skala disusun dalam bentuk suatu pernyataan dan diikuti oleh pilihan respon yang menunjukkan tingkatan. Bentuk penilaian jawaban kuesioner pada penelitian ini menggunakan pembobotan dengan empat buah skala ordinal. Hasil pengukuran skala Likert kemudian ditransformasikan menjadi tiga kategori, yaitu kategori rendah, kategori sedang, dan kategori tinggi dan kategori yang setara lainnya, dengan menggunakan kategorisasi jenjang. Tujuan kategorisasi ini menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok yang posisinya berjenjang menurut suatu kontinum berdasar atribut yang diukur (Azwar, 2012) dengan rumus : X < (ߤ − 1,0ߪ) (ߤ − 1,0ߪ) ≤ X < (ߤ + 1,0ߪ) (ߤ + 1,0ߪ ) ≤ X Rendah Sedang Tinggi 44 44 Keterangan : ߤ = Mean teoretis pada skala ߪ = Satuan deviasi standar 4.4.2 Instrumen Penelitian Instrumen utama dalam penelitian ini adalah kuesioner terstruktur. Penyusunan kuesioner mengacu kepada kisi-kisi penyusunan instrumen yang menjabarkan jenis peubah, definisi opersional, indikator, dan pengukuran. Data yang diperoleh dari penelitian ini terdiri dari skala data nominal, rasio dan ordinal. Adapun beberapa definisi operasional dari beberapa peubah yang diamati adalah sebagai berikut : 1. Karakteristik Personal Petani. Dalam konsep pembelajaran dikemukakan adanya interaksi antara karakteristik individu dengan lingkungan. Interaksi antara individu dan lingkungan mendorong terjadinya proses pembelajaran sehingga mendorong munculnya perilaku. Beberapa studi membahas faktor karakteristik personal individu antara lain adalah umur, tingkat pendidikan, kepemilikan lahan, status penguasaan lahan, pengalaman berusahatani. Karakteristik Personal Petani (X1) adalah ciri-ciri yang melekat pada individu, meliputi : (a) Umur (X1.1) yaitu jumlah tahun hidup petani sejak dilahirkan sampai ulang tahun terakhir. (b) Pendidikan formal (X1.2), yaitu jumlah tahun responden mengikuti pendidikan formal (c) Pendidikan non-formal (X1.3) adalah pendidikan non-formal (kursus/pelatihan) yang diikuti reponden dalam 5 (lima) tahun terakhir (d) Pendapatan petani (X1.4)adalah jumlah pendapatan petani setiap bulan (e) Kepemilikan lahan (X1.5) adalah luas lahan yang digarap oleh petani sebagai Hutan Rakyat dan usahatani lainnya (f) Lama terlibat dalam program Hutan Rakyat adalah curahan waktu petani dalam mengelola Hutan Rakyat 45 (g) Motivasi petani (X1.7) adalah dorongan yang melatarbelakangi petani mengelola Hutan Rakyat Pengukuran peubah karakteristik personal petani Hutan Rakyat (X1) secara lengkap disajikan pada tabel 3. Tabel 3. Pengukuran peubah karakteristik personal petani (X1) No. 8 Sub Peubah Indikator Pengukuran 1. Umur (X1.1) Jumlah tahun sejak responden dilahirkan sampai pada saat wawancara dilakukan Statistik Deskriptif umur8: 1. Dewasa Awal (18-40 tahun) 2. Dewasa (40-65 tahun) 3. Dewasa Akhir (Lebih dari 65 tahun) Statistik Inferensial : Uji Regresi Umur = jumlah tahun 2. Pendidikan formal (X1.2) Tingkat pendidikan formal terakhir 3. Pendidikan nonformal (X1.3) Jumlah pelatihan yang diikuti dalam 3 (tiga) terakhir 4. Pendapatan petani (X1.4) Jumlah pendapatan yang diperoleh petani dari pekerjaan utama dan sampingan 5. Luas penguasaan lahan (X1.5) Luas lahan yang digarap oleh petani sebagai lahan Hutan Rakyat Statistik Deskriptif : 1. Rendah (0-3 tahun) 2. Sedang (4-7 tahun) 3. Tinggi (8-11 tahun Statistik Inferensial : Uji Regresi Lama pendidikan=jumlah tahun Statistik Deskriptif : 1. Jarang (< 1 kali) 2. Sedang (2-3 kali) 3. Sering (> 4 kali) Statistik Inferensial : Uji Regresi Tiap pelatihan yang diikuti diberi skor 1 Statistik Deskriptif : 1. Rendah (Rp 410.000 – 1.390.000) 2. Sedang (Rp 1.390.100 – 2.370.100) 3. Tinggi (Rp 2.370.200 – 3.350.100) Statistik Inferensial : Uji Regresi Jumlah pendapatan = jumlah pendapatan petani yang diperoleh dari pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan Statistik Deskriptif : 1. Sempit (< 0,01-0,25 hektar) 2. Sedang (0,26 – 0,50 hektar) 3. Luas ( > 0,51 hektar) Kategori umur responden penelitian mengacu pada pendapat Berk (2007) yang membagi periode perkembangan individu menjadi : Masa kandungan/Prenatal (masa mengandung-lahir); Balita/Infancy (lahir-2 tahun); Masa kanak-kanak awal/Early Childhood (2-6 tahun), Masa kanakkanak madya dan akhir/Middle and late childhood (6-11 tahun); Masa remaja/Adolescence (11-18 tahun); Dewasa Awal/Early adulthood (18-40); Dewasa Madya/Middle adulthood (40-65 tahun); Dewasa Akhir/Late adulthood (65 tahun-meninggal). 46 46 Tabel 3. Pengukuran peubah karakteristik personal petani (X1) (Lanjutan) No. 6. 7. 4. Sub Peubah Indikator Lamanya terlibat dalam pengelolaan Hutan Rakyat (X1.6) Motivasi Mengelola Hutan Rakyat (X1.7) Pengukuran Statistik Inferensial : Uji Regresi Luas lahan=jumlah luas lahan Hutan Rakyat dalam hektar (Ha) Statistik Deskriptif : 1. Baru ( < 5 tahun) 2. Sedang (5 - 10 tahun) 3. Lama (> 10 tahun) Curahan waktu petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Statistik Inferensial : Lama terlibat dalam pengelolaan Hutan Rakyat = jumlah tahun Statistik Deskriptif : 1. Rendah (Skor : < 10) 2. Sedang (Skor : 10-15) 3. Tinggi (Skor : < 15) Statistik Inferensial : Penjumlahan dari seluruh skor motivasi menurut responden masing-masing diberi skor 1,2,3,4 untuk Tidak setuju, Kurang setuju, Setuju, Sangat setuju Alasan petani melakukan Hutan Rakyat Faktor Kompetensi Personal Sumber Belajar. Kompetensi personal sumber belajar adalah ciri-ciri yangmelekat pada individu-individu yang memiliki seluruh keterampilan, dan atau sebagian wawasan informasi mengenai mengenai sikap pengetahuan, terkait dengan pengelolaanHutan Rakyat, meliputi : (a) Penguasaan materi penyuluhan (X2.1) adalah kemampuan sumber belajar dalam menyerap, mengolah, dan menerapkan informasi/pengetahuan atau keterampilan terkait Hutan Rakyat (b) Kemampuan berkomunikasi (X2.2) adalah kecakapan personal sumber belajar menyampaikan materi kepada petani dan memperoleh timbalbalik secara aktif (c) Kemampuan menjadi teladan/panutan (X2.3) adalah kecakapan yang dimiliki oleh personal sumber belajar terkait sikap positif yang dapat mendorong upaya pembelajaran anggota kelompok Pengukuran peubah karakteristik kompetensi sumber belajar (X2) secara lengkap disajikan pada tabel 4. 47 Tabel 4. Pengukuran peubah kompetensi sumber belajar (X2) 3. No. Peubah Indikator 1. Penguasaan materi penyuluhan (X2.1) Mampu menjelaskan materi secara baik Mampu menjawab pertanyaan petani Mampu memperagakan penerapan suatu informasi/ pengetahuan Mampu memilih materi sesuai kebutuhan petani Mampu selalu memperbaharui informasi/ pengetahuannya Statistik Deskriptif : 1. Terbatas (Skor : < 14) 2. Sedang (Skor : < 14-21) 3. Sangat baik (Skor : > 21) Statistik Inferensial : Uji regresi Skor penguasaan materi penyuluhan menurut responden masing-masing diberi skor 1,2,3,4 untuk buruk/tidak baik , kurang baik, baik, Sangat bai 2. Kemampuan berkomunikasi (X2.2) Mampu menjelaskan materi penyuluhan dengan baik Menguasai teknik komunikasi yang efektif Mampu mendorong petani berpartisipasi aktif dalam diskusi Statistik Deskriptif : 1. Terbatas (Skor : < 10) 2. Sedang (Skor : < 10-15) 3. Sangat baik (Skor : > 15) Statistik Inferensial : Uji regresi Kemampuan berkomunikasi menurut responden diberi skor 1,2,3,4 untuk untuk buruk/tidak baik , kurang baik, baik, Sangat baik 3. Kemampuan menjadi teladan/panutan (X2.3) Memiliki sifat kepemimpinan Memiliki moral etika yang dapat menjadi teladan Memegang nilai/norma yang menjadi panduan dalam menyuluh Statistik Deskriptif : 1. Terbatas (Skor : < 12) 2. Sedang (Skor : < 12-18) 3. Sangat baik (Skor : > 18) Statistik Inferensial : Uji regresi Kemampuan menjadi teladan/panutan menurut responden masing-masing diberi skor 1,2,3,4 untuk untuk buruk/tidak baik , kurang baik, baik, Sangat baik Pengukuran Faktor Kegiatan Penyuluhan. Kegiatan penyuluhan pada hakekatnya merupakan kegiatan pembelajaran yang bertujuan memperoleh pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), dan sikap (attitude) dalam rangka perbaikan kondisi kehidupan petani, meliputi : (a) pemahaman tujuan penyuluhan (X3.1) adalah pemahaman tentang tujuan penyuluhan yang diidentifikasi pada saat penelitian 48 48 (b) kualitas materi penyuluhan (X3.2) adalah informasi dan atau inovasi yang disampaikan sumber belajar pada petani dalam kegiatan penyuluhan. (c) kualitas metode penyuluhan (X3.3) adalah pendekatan dan teknik dari sumber belajar pada petani dalam pembelajaran petani Hutan Rakyat (d) kualitas sarana dan prasarana kegiatan penyuluhan (X3.4) adalah ketersediaan fasilitas fisik yang mendukung kegiatan penyuluhan Pengukuran peubah kegiatan penyuluhan (X3) disajikan lengkap pada Tabel 5. Tabel 5. Pengukuran peubah kegiatan penyuluhan (X3) No. Peubah Indikator 1. Pemahaman Tujuan Penyuluhan (X3.1) Kesesuaian tujuan penyuluhan dengan kebutuhan petani 2. Materi Penyuluhan (X3.2) Kesesuaian materi penyuluhan dengan kebutuhan petani 3. Metode Penyuluhan (X3.3) Pengukuran Statistik Deskriptif 1. Kurang paham (Skor : < 12) 2. Paham (Skor : 12-18) 3. Sangat paham (Skor : > 18) Statistik Inferensial : Uji Regresi Penjumlahan dari seluruh skor tujuan belajar. Skor penguasaan materi penyuluhan menurut responden masing-masing diberi skor 1,2,3,4 untuk tidak setuju, kurang setuju, setuju, sangat setuju Statistik Deskriptif : 1. Kurang berkualitas (Skor : < 12) 2. Cukup berkualitas (Skor : 12-18) 3. Berkualitas baik (Skor : > 18) Statistik Inferensial : Uji Regresi Penjumlahan dari seluruh skor materi penyuluhan. Skor penguasaan materi penyuluhan menurut responden masing-masing diberi skor 1,2,3,4 untuk tidak setuju, kurang setuju, setuju, sangat setuju Kesesuaian metode Statistik Deskriptif yang digunakan 1. Rendah (Skor : < 22) dengan kondisi petani 2. Sedang (Skor : 22-33) Kesesuaian metode 3. Tinggi (Skor > 33) yang digunakan sesuai Statistik Inferensial : Uji Regresi dengan kebutuhan Penjumlahan dari seluruh skor petani metode penyuluhan. Tiap pertanyaan diberi skor 1,2,3,4 untuk tidak setuju, kurang setuju, setuju, dan sangat setuju 49 Tabel 5. Pengukuran peubah kegiatan penyuluhan (X3) (Lanjutan) No. Peubah 4. Prasarana dan Sarana Penyuluhan (X3.4) 4. Indikator Kesesuaian sarana dan prasarana penyuluhan dengan kebutuhan petani Pengukuran Statistik Deskriptif 1. Rendah (Skor : < 8) 2. Sedang (Skor : 8-12) 3. Tinggi (Skor : > 12) Statistik Inferensial Penjumlahan dari seluruh skor penguasaan prasarana dan sarana penyuluhan menurut responden. Setiap pertanyaan diberi skor 1,2,3,4 untuk Tidak baik/buruk (0%), kurang baik (25-50%) Baik (51-75%) dan Sangat baik (76100%) 9 Faktor Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat. Beberapa studi menunjukkan bahwa kelembagaan memegang peranan penting dalam kegiatan pengelolaan sumber daya hutan. Kelembagaan Hutan Rakyat adalah wadah bagi petani Hutan Rakyat untuk menampung dan menyalurkan aspirasi, berinteraksi dan saling berkomunikasi antara sesama anggota ataupun dengan pihak-pihak lain, memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan Hutan Rakyat, serta melaksanakan kegiatankegiatan fisik di lapangan yang dilakukan secara berkelompok. Kelembagaan kelompok tani Hutan Rakyat meliputi : (a) Pola hubungan kerja antar anggota dalam kelompok tani (X4.1) adalah hubungan-hubungan sosial antarpribadi yang mendasari berlangsungnya hubungan kerja dalam kelompok tani (b) Pengorganisasian kegiatan produksi (X4.2) adalah pengaturan seluruh kegiatan produksi Hutan Rakyat yang dilakukan oleh anggota kelompok dari mulai kegiatan penanaman sampai pemanenan, untuk dapat mendorong terwujudnya tujuan kelembagaan 9 Persentase berdasarkan kategori jawaban membantu responden memberikan penilaian mengenai kondisi prasarana dan sarana penyuluhan sesuai persepsi mereka 50 50 (c) Norma sosial yang mengikat anggota kelompok tani (X4.3) adalah aturan sosial atau patokan perilaku positif, yang berlaku dalam hubungan-hubungan sosial pada pengelolaan Hutan Rakyat Pengukuran peubah kegiatan penyuluhan (X3) disajikan lengkap pada Tabel 6. Tabel 6. Pengukuran peubah kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat (X4) No. Peubah Indikator Pengukuran 1. Pola hubungan kerja antar anggota dalam kelompok tani (X4.1) Statistik Deskriptif : Kesamaan tujuan/ 1. Tidak terikat terhadap aturan kerja kepentingan petani yang berlaku (Skor : < 6) Sistem kerja yang berlaku 2. Longgar terhadap aturan kerja yang Penentuan hak dan berlaku (Skor : 6-9) kewajiban 3. Terikat pada aturan kerja yang Penentuan kesepakatan berlaku (Skor : > 9) kerja yang diakui bersama 2. Pengorganisasian kegiatan produksi Hutan Rakyat (X4.2) Pembagian tugas dan wewenang Kepatuhan terhadap kesepakatan bersama Kerjasama antar anggota kelompok tani dalam kegiatan produksi Statistik Deskriptif 1. Tidak ada pembagian kerja (Skor : < 14) 2. Ada pembagian kerja tetapi tidak berkesinambungan (Skor : 14-21) 3. Ada pembagian kerja yang jelas dan berkesinambungan (Skor : > 21) Statistik Inferensial : Uji Regresi Penjumlahan dari seluruh skor pengorganisasian kegiatan produksi Hutan Rakyat. Setiap pertanyaan diberi skor 1,2,3,4 untuk tidak pernah (0%), kadang-kadang (25-50%), Sering (5175%), dan selalu (76-100%) 10 3. 10 Norma sosial yang mengikat anggota kelompok tani (X4.3) Keberadaan hukuman (punish)/ sanksi dan penghargaan (reward) Kesesuaian norma kelembagaan dengan lingkungan sosial masyarakat Statistik Deskriptif : 1. Tidak mengikat (Skor : < 6) 2. Mengikat (Skor : 6-9) 3. Sangat mengikat (Skor: > 9) Statistik Inferensial : Uji Regresi Penjumlahan dari seluruh skor norma sosial yang mengikat anggota kelompok. Setiap pertanyaan diberi diberi skor 1,2,3,4 untuk tidak pernah (0%), kadang-kadang (25-50%), Sering (51-75%), dan selalu (76-100%) 10 Persentase membantu responden memberikan penilaian sesuai pertanyaan dalam kuesioner mengenai seberapa sering ragam kegiatan produksi Hutan Rakyat dilakukan berdasarkan pengalaman responden dalam hubungan kerja. 51 5. Faktor Hubungan Interpersonal. Beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dalam pengelolaan Hutan Rakyat terdapat keterlibatan multipihak. Petani berinteraksi dengan petani lainnya, dengan pihak-pihak lain dalam konteks kegiatan penyuluhan, dan berinteraksi pula dengan lingkungan sosial di sekelilingnya, baik dalam lingkup keluarga maupun masyarakat. Hubungan interpersonal (X5)adalah hubungan yang dilakukan petani dengan pihak-pihak lain di luar dirinya yang dapat mendorong keberhasilan pengelolaan Hutan Rakyatnya, meliputi : (a) Interaksi petani dan keluarganya (X5.1) adalah hubungan timbal balik antara petani dan keluarganya dalam kegiatan penyuluhan (b) Interaksi petani dan sumber belajar (X5.2) adalah hubungan timbal balik antara petani dan individu sumber belajar dalam kegiatan penyuluhan (c) Interaksi petani dan masyarakat (X5.3) adalah hubungan timbal balik antara petani dan masyarakat dalam kegiatan penyuluhan Pengukuran peubah hubungan interpersonal (X5) secara lengkap disajikan pada tabel 7. Tabel 7. Pengukuran peubah hubungan interpersonal (X5) No. 1. Peubah Interaksi petani dan keluarganya (X5.1) Indikator Pengukuran Jenis dukungan/bantuan yang diberikan keluarga terhadap petani pengelola Hutan Rakyat Statistik Deskriptif : 1. Kurang mendukung (Skor : < 12) 2. Cukup mendukung (Skor : 12-18) 3. Sangat mendukung (Skor : > 18) Statistik Inferensial : Uji Regresi Penjumlahan dari seluruh skor interaksi petani dan sumber informasi. Masing-masing pertanyaan diberi skor 1,2,3,4 untuk untuk tidak pernah (0%), kadangkadang (25-50%), Sering (51-75%), dan selalu (76-100%) 52 52 Tabel 7. Pengukuran peubah hubungan interpersonal (X5) (Lanjutan) No. 2. Peubah Interaksi petani dan personal sumber belajar (X5.2) Indikator Pengukuran Dukungan personal sumber belajar terhadap keputusan petani melakukan Hutan Rakyat Statistik Deskriptif : 1. Kurang mendukung (Skor : < 12) 2. Cukup mendukung (Skor : 12-18) 3. Sangat mendukung (Skor : > 18) Statistik Inferensial : Uji Regresi Penjumlahan dari seluruh skor interaksi petani dan personel sumber belajar.Masing-masing pertanyaan diberi skor 1,2,3,4 untuk tidak pernah (0%), kadang-kadang (25-50%), Sering (51-75%), dan selalu (76100%) 3. Interaksi petani dan masyarakat (X5.3) Dukungan masyarakat terhadap petani Hutan Rakyat Statistik Deskriptif : 1. Kurang mendukung (Skor : < 12) 2. Cukup mendukung (Skor : 12-18) 3. Sangat mendukung (Skor : > 18) Statistik Inferensial : Uji Regresi Penjumlahan dari seluruh skor interaksi petani dan masyarakat Masing-masing pertanyaan diberi skor 1,2,3,4 untuk tidak pernah (0%), kadang-kadang (25-50%), Sering (51-75%), dan selalu (76-100%) 11 Kelompok peubah-peubah bebas (X) diduga berpengaruh terhadap peubahpeubah terikat, yaitu peubah Kemampuan Anggota Kelompok Tani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat (Y1). Kemampuan Anggota Kelompok Tani Hutan Rakyat (Y.1) 1. Kemampuan Anggota Kelompok Tani Hutan Rakyat. Kualitas pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat ditentukan oleh kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan disekitarnya. Masyarakat dalam konteks pengelolaan Hutan Rakyat biasanya tergabung dalam kelompok-kelompok tani. Kelompok tani memfasilitasi pembelajaran 11 Persentase membantu responden memberikan penilaian sesuai pertanyaan dalam kuesioner mengenai seberapa sering dukungan terhadap Hutan Rakyat diterima responden berdasarkan persepsi responden. 53 kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat dalam rangka membangun kemampuan anggota kelompok tani pada tingkat tertentu. Berdasarkan studi yang dilakukan, kemampuan terdiri dari pengetahuan, keterampilan dan sikap individu. Kemampuan anggota kelompok tani dalam mengelola Hutan Rakyat (Y1) adalah kecakapan anggota kelompok tani meliputi aspek pengetahuan (cognitive domain/knowledge), domain/skill), dan aspek aspek sikap keterampilan (affective (psychomotoric domain/attitude) melaksanakan serangkaian kegiatan pengelolaan dalam Hutan Rakyat secara efektif. Kemampuan anggota kelompok tani dalam mengelola Hutan Rakyat meliputi : (a) Kemampuan melakukan perencanaan dalam kegiatan Hutan Rakyat (Y1.1) adalah sekumpulan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki petani untuk memahami dan melaksanakan proses menentukan rencana dalam kegiatan Hutan Rakyat (b) Kemampuan mengorganisir diri dalam kelembagaan pengelolaanHutan Rakyat(Y1.2) adalah sekumpulan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki petani untuk memahami dan melaksanakan pengelompokan kegiatan yang diperlukan dalam Hutan Rakyat agar tujuan kegiatan dapat terwujud (c) Kemampuan Penerapan petani dalam kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat (Y1.3) adalah sekumpulan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki petani untukmemahami dan melaksanakan koordinasi kegiatan berbagai unsur dalam kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat agar secara efektif dapat mencapai tujuan sesuai dengan yang telah ditetapkan pada kegiatan perencanaan (d) Kemampuan melakukan pengawasan dalam kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat(Y1.4) adalah sekumpulan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki petani untuk memahami dan melaksanakan 54 54 proses pengaturan berbagai unsur dalam kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat agar sesuai perencanaan yang telah ditetapkan Pengukuran peubah kemampuan anggota kelompok tani (X1) secara lengkap disajikan pada tabel 8. Tabel 8. Pengukuran peubah kemampuan anggota kelompok tani (Y1) No. Peubah 1. Kemampuan melakukan perencanaan dalam kegiatan Hutan Rakyat(HR) (Y1.1) Kemampuan petani memahami Statistik Deskriptif : 1. Kurang (Skor : < 12) masalah, kebutuhan, dan tujuan 2. Sedang (Skor : 12-18) kegiatan HR 3. Tinggi (Skor : > 18) Kemampuan petani mengakses informasi dan menganalisis Statistik Inferensial : Uji Regresi peluang pasar hasil HR Penjumlahan dari seluruh skor Kemampuan petani kemampuan melakukan menetapkan jadwal perencanaan Masing-masing pelaksanaan kegiatan pertanyaan diberi skor 1,2,3,4 Kemampuan petani untuk tidak pernah (0%), kadangmenetapkan rencana evaluasi kadang (25-50%), Sering (51kegiatan 75%), dan selalu (76-100%) 12 2. Kemampuan mengorganisir diri dalam kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat (Y1.2) Statistik Deskriptif : Kemampuan petani 1. Kurang (Skor : < 10) menetapkan pelaksanaan 2. Sedang (Skor : 10-15) kegiatan penanaman, 3. Tinggi (Skor : > 15) pemeliharaan dan pemanenan dalam pengelolaan HR Statistik Inferensial : Uji Regresi Kemampuan petani melakukan Penjumlahan dari seluruh skor distribusi tugas dalam kemampuan melakukan kelompok tani perencanaan. Masing-masing Kemampuan petani pertanyaan diberi skor 1,2,3,4 menetapkan individu yang untuk tidak pernah (0%), kadangbertanggung jawab terhadap kadang (25-50%), Sering (51tugas tertentu 75%), dan selalu (76-100%) 13 3. Kemampuan menerapkan petani dalam kegiatan Hutan Rakyat (Y1.3) Kemampuan petani menerima Statistik Deskriptif : /melaksanakan arahan kegiatan 1. Kurang (Skor: < 10) produksi HR 2. Sedang (Skor : 10-15) Petani mampu berkomunikasi 3. Tinggi (Skor : > 15) dengan anggota kelompok tani Statistik Inferensial : Uji Regresi lainnya Penjumlahan dari seluruh skor Kemampuan petani pemasaran kemampuan menggerakkan. hasil-hasil HR Masing-masing pertanyaan diberi Kemampuan petani melakukan skor 1,2,3,4 untuk tidak pernah kerjasama/koordinasi dengan (0%), kadang-kadang (25-50%), parapihak dalam pengelolaan Sering (51-75%), dan selalu (76Hutan Rakyat 100%) 13 12 Indikator Pengukuran Persentase membantu responden memberikan penilaian berdasarkan pengalaman responden sesuai pertanyaan dalam kuesioner mengenai seberapa sering ragam kegiatan produksi Hutan Rakyat dilakukan. 55 Tabel 8. Pengukuran peubah kemampuan anggota kelompok tani (Y1) (Lanjutan) No. Peubah 4. Kemampuan melakukan pengawasan dalam kegiatan Hutan Rakyat (Y1.4) Indikator Pengukuran Kemampuan petani Statistik Deskriptif : menetapkan pedoman 1. Kurang (Skor : < 12) pengawasan 2. Sedang (Skor : 12-18) Kemampuan petani 3. Tinggi (Skor : > 18) melakukanpenilaian terhadap Statistik Inferensial : Uji Regresi pelaksanaankegiatan Penjumlahan dari seluruh skor perencanaan, kemampuan menggerakkan. pengorganisasian, dan Masing-masing pertanyaan diberi menggerakkanpada HR skor 1,2,3,4 untuk tidak pernah Kemampuan petani untuk (0%), kadang-kadang (25-50%), menilai/ menentukan Sering (51-75%), dan selalu (76terjadinya penyimpangan 100%) 13 Kemampuan petani melakukan tindakan perbaikan jika terdapat penyimpangan 4.5 Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian 4.5.1 Validitas Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur Suatu data dikatakan valid apabila sudah teruji validitasnya. Menurut Singarimbun dan Effendi (1989) mengacu pada Ancok (1989) validitas alat pengumpul data dapat digolongkan beberapa jenis, yaitu validitas konstruk (construct validity), validitas isi (content validity), validitas prediktif (Predictive validity), dan validitas rupa (face validity). Validitas yang diuji pada penelitian ini terdiri validitas konstruk (construct validity), validitas isi (content validity). Menurut Kerlinger (2006) validitas mengungkapkan bahwa suatu alat ukur dikatakan sahih apabila alat ukur tersebut dapat digunakan untuk mengukur secara tepat konsep yang sebenarnya ingin diukur. Beberapa tahapan dalam pengujian validitas, yaitu : (1) Mendefinisikan secara operasional konsep yang akan diukur, (2) Melakukan uji coba skala pengukur (3) Mempersiapkan tabel tabulasi jawaban, (4) Menghitung korelasi antara masing-masing pernyataan dengan skor total dengan menggunakan rumus teknik korelasi product moment. 13 Persentase membantu responden memberikan penilaian berdasarkan pengalaman responden sesuai pertanyaan dalam kuesioner mengenai seberapa sering ragam kegiatan produksi Hutan Rakyat dilakukan. 56 56 Perbaikan kuesioner terus dilakukan sampai memiliki tingkat kesahihan dan keterandalan yang dapat diterima. 4.5.2 Reliabilitas Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Penghitungan indeks reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengukuran dengan menggunakan teknik korelasi product moment. Sebelum disebarkan kepada responden maka kuesioner penelitian yang disusun tersebut diujicobakan terlebih dahulu terhadap beberapa responden terpilih yang bukan berasal dari populasi penelitian. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui gambaran umum responden dan tingkat pemahaman responden terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, sehingga akan diperoleh validitas instrumen yang sahih dan reliabilitas yang handal. 4.5.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini, uji coba kuesioner dilakukan kepada 20 orang yang memiliki karakteristik relatif sama dengan responden penelitian. Hasil uji coba terhadap kesahihan dan keterandalan instrumen disajikan pada tabel 9. Tabel 9. Hasil uji coba validitas dan reabilitas instrumen penelitian (n=20) Peubah Validitas (Kisaran koef. r) 0,560* - 0,832** 0,481* - 0,932** (X1) Karakteristik Petani HR (X2) Kompetensi Personal Sumber Belajar (X3) Kegiatan Penyuluhan 0,489* - 0,897** (X4) Kelembagaan 0,600* - 0,892** Pengelolaan Hutan Rakyat (X5) Hubungan Interpersonal 0,509* – 0,859** (Y1) Kemampuan petani 0,532* - 0,855** Keterangan : * Hasil uji realibilitas nyata pada taraf < 0,005 ** Hasil uji reabilitas sangat nyata pada taraf < 0,01 Realibilitas (α cronbach) 0,765 0,763 – 0,871 Valid dan Reliabel Valid dan Reliabel 0,701 – 0,882 0,775 – 0,835 Valid dan Reliabel Valid dan Reliabel 0,739 – 0,856 0,740 – 0,798 Valid dan Reliabel Valid dan Reliabel Keterangan 57 Berdasarkan hasil uji validitas dan reabilitas di atas dapat disimpulkan bahwa instrumen penelitian yang dikembangkan mempunyai nilai validitas dan reabilitas yang dapat diterima dan layak digunakan sebagai instrumen penelitian. 4.6 Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan dari responden dengan menggunakan bantuan kuesioner. Data primer dalam penelitian ini mencakup data mengenai lima peubah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : karakteristik personal individu petani, kompetensi personal sumber belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan Hubungan interpersonal. Data kuantitatif tersebut dilengkapi dengan wawancara mendalam (indepth-interview) kepada responden untuk data-data yang sulit diperoleh dengan menggunakan kuesioner. Adapun data sekunder yang dikumpulkan dari instansi terkait meliputi data keadaan umum wilayah penelitian, data kondisi Hutan Rakyat di lokasi penelitian, data mengenai kependudukan, dan data mengenai gambaran umum kegiatan penyuluhan kehutanan yang dilakukan di lokasi penelitian. 4.7 Teknik Analisis Data Sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Analisis statistik deskriptif dalam bentuk tabel distribusi frekuensi digunakan untuk melihat distribusi atau sebaran kategori peubah-peubah yang diteliti. 2. Analisis regresi dilakukan untuk melihat faktor-faktor internal dan eksternal petani yang berpengaruh terhadap kemampuan petani Hutan Rakyat. Faktor internal petani adalah karakteristik petani dan karakteristik pendamping belajar. Faktor eksternal petani adalah kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat dan hubungan interpersonal petani. Faktor-faktor tersebut diduga berpengaruh terhadap kemampuan petani dalam mengelola 58 58 Hutan Rakyat, yang terdiri dari kemampuan perencanaan, kemampuan pengorganisasian diri, kemampuan penerapan, dan kemampuan pengawasan. Analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi berganda bivariate, yaitu analisis regresi antara beberapa variabel bebas dengan lebih dari satu variabel terikat. Berdasarkan jumlah variabel terikat, maka analisis regresi ini akan menghasilkan 4 (empat) persamaan. Bentuk masing-masing persamaan regresi berganda adalah : Y ᇱ = a + bଵXଵ + bଶXଶ … … … b୶X୶ 3. Keterangan : ∶ Peubah terikat yang diprediksikan Y′ Xଵ, Xଶ ∶ Peubah bebas ∶ Nilai konstanta a bଵ, bଶ ∶ ϐ regresi Analisis kualitatif meliputi penjelasan dan pemaknaan dari hasil kuesioner, hasil wawancara mendalam (In-depth interview) dan hasil pengataman di lokasi penelitian. Analisis ini merupakan pengujian non-numerik dan interpretasi dari semua data kuantitatif dan kualitatif. Untuk keperluan analisis regresi berganda, data yang berskala ordinal terlebih dahulu ditransformasi menjadi data interval dengan method of succesive Interval (MSI). Sebelum analisis sata, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik terhadap data penelitian, yaitu uji normalitas residual dengan uji one Sample Kolmogorov Smirnov, uji Heteroskedastisitas dengan Spearman’s Rho testing, uji Autokorelasi dengan uji Durbin-Watson, dan uji Multikorelitas dengan melihat Variance Inflation Factor (VIF). Hasil menunjukkan bahwa data dapat memenuhi persyaratan uji asumsi klasik sehingga dapat dilakukan analisis regresi berganda. Pengolahan data dilakukan dengan SPSS 20 menggunakan uji parametrik regresi berganda dengan metode enter. Seluruh variabel terikat dimasukkan 59 sekaligus, kemudian dikeluarkan satu persatu untuk mencari variabel yang paling signifikan berpengaruh terhadap variabel terikat dalam model regresi berganda. 60 60 V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Tegal Waru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pada awal bagian ini akan dibahas secara umum karakteristik lokasi penelitian terkait dengan topik penelitian. 5.1 Gambaran Umum Hutan Rakyat di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat Kabupaten Bogor berada di Provinsi Jawa Barat dan berbatasan langsung dengan Ibukota negara Republik Indonesia. Secara geografis Kabupaten Bogor terletak antara 6.190 – 6.470 Lintang Selatan dan 106.10 – 107.1030 Bujur Timur dengan luas wilayah sekitar 2.237,09 Km2yang merupakan salah satu wilayah administratif terluas keenam di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Bogor terdiri dari 40 kecamatan dengan jumlah total desa/kelurahan paling banyak se-provinsi Jawa Barat yatu berjumlah 428 desa/kelurahan. Sebanyak 200 desa/kelurahan termasuk dalam klasifikasi perkotaan, sedangkan 228 desa lainnya berstatus perdesaan. Kabupaten Bogor berbatasan dengan Kabupaten Tangerang (Banten), Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi di sebelah utara, Kabupaten Karawang di sebelah timur, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi di sebelah Selatan, dan Kabupaten Lebak (Banten) di sebelah barat. Kabupaten Bogor memiliki ketinggian berkisar dari 15 m dpl pada dataran di bagian utara hingga 2.500 m dpl pada puncak-puncak gunung di bagian selatan dan merupakan wilayah daratan dengan tipe morfologi wilayah yang bervariasi, dari dataran yang relatif rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di bagian selatan. Iklim wilayah Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis sangat basah di bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara, dengan rata-rata curah hujan tahunan 2.500-5.000 mm/tahun, kecuali di wilayah bagian utara dan sebagian kecil wilayah timur curah hujan kurang dari 2.500 mm/tahun. 61 Kabupaten Bogor memiliki daerah kawasan hutan yang terdiri dari hutan lindung atau produksi. Daerah hutan lindung umumnya terdapat di daerah dataran tinggi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air, sedangkan hutan produksi relatif terbatas dan menyebar terutama di daerah Cigudeg dan Klapanunggal. Luas kawasan hutan di Kabupaten Bogor adalah 84.047,02 Ha atau sebesar 28,12 persen dari luas seluruh wilayah Kabupaten Bogor. Berdasarkan fungsinya dari 84.047,02 Ha kawasan hutan tersebut sebesar 8,67 persen atau sebesar 25.912,29 Ha merupakan Hutan Produksi dan sisanya sebesar 19,45 persen atau sebesar 58.134,73 Ha merupakan Hutan Lindung. Berdasarkan target lokasi 45 persenyang diperuntukkan sebagai kawasan lindung di Provinsi Jawa Barat, maka kawasan lindung di Kabupaten Bogor masih tergolong kecil. Peningkatan kawasan yang bersifat lindung diupayakan berasal dari kawasan non hutan melalui usaha mengembangkan Hutan Rakyat, yaitu kawasan hutan pada lahanlahan milik yang dikelola oleh masyarakat. Wilayah Kabupaten Bogor merupakan wilayah hulu bagi wilayah-wilayah di sebelah Utara yaitu Tangerang, Depok, DKI Jakarta dan Bekasi.Sungai-sungai di Kabupaten Bogor mengalir dari daerah pegunungan di bagian selatan ke arah utara. Dua DAS besar yang mengalir di Kabupaten Bogor adalah DAS Ciliwung14 dan DAS Cisadane15. Sungai-sungai pada masing-masing DAS tersebut mempunyai fungsi yang sangat strategis sebagai sumber air irigasi pertanian, perikanan, rumah tangga, industri dan drainase utama wilayah. Selain 14 DAS Ciliwung memiliki bentuk yang lebih unik dibandingkan dengan bentuk DAS-DAS lainnya. Bagian hulu yang melebar kemudian menyempit di bagian tengah dan memanjang sampai ke hilir. Bagian hulu berada di daerah puncak Kabupaten Bogor sampai ke daerah Katulampa. Bagian tengah berada di daerah Ratujaya, Depok dan bagian hilir DAS ini sampai ke Banjir Kanal Barat daerah Manggarai. Luas DAS ini ± 37.472 Ha. Seluruh wilayah Daerah hulu DAS Ciliwung terdapat di Kabupaten Bogor. Masalah yang terdapat di hulu DAS Ciliwung adalah adanya pelanggaran terhadap tata ruang khususnya adanya pembangunan vila-vila yang tidak sesuai dengan fungsi resapan. Daerah lahan terbangun DAS ini kurang lebih 45,8 persen tersebar merata dari bagian tengah sampai hilir. 15 DAS Cisadane mengalir dari G. Salak di bagian selatan Kab. Bogor. Kawasan hijau lebih banyak tersebar dari bagian hulu sampai bagian hilir (± 33 persen). Banyak wilayah dalam DAS ini termasuk dalam kawasan hutan. Penutupan lahan di bagian hulu didominasi oleh lahanpertanian semusim dan daerah ladang, sawah dan tegalan. Di bagian tengah kurang lebih 17,7 persen dari total luas DAS ini adalah lahan terbangun 62 62 itu terdapat situ-situ yang berfungsi sebagai reservoar dalam peresapan air yang dapat pula dimanfaatkan sebagai usaha perikanan, penampungan air, dan rekreasi. DAS Ciliwung dan DAS Cisadane termasuk dalam kawasan JakartaBogor-Depok-Tangerang (Jabodetabek) dan kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur). Kedua kawasan tersebut dikenal dengan kawasan Jabodetabekpunjur dan telah ditetapkan sebagai Kawasan Khusus Strategis yang penataan ruangnya diatur berdasarkan Keputusan Presiden No. 79 tahun 1985. Pada Keputusan Presiden No. 79 tahun 1985 kawasan Jabodetabek-punjur adalah dua kawasan tertentu yang letaknya berdampingan, yaitu Bopunjur sebagai kawasan konservasi dan Jabodetabek yang berfungsi sebagai kawasan pengembangan ekonomi. TerbitnyaKeputusan Presiden No. 114 tahun 199916 beserta Rancangan Keppres tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek-Punjur lebih lanjut menetapkan bahwa kedua kawasan tersebut merupakan satu kesatuan ekosistem yang perlu ditangani secara terintegrasi, terutama untuk melindungi wilayah Ibukota Negara (DKI Jakarta) dari dampak negatif kerusakan lingkungan seperti banjir dan kekeringan. Kawasan Jabodetabekpunjur termasuk salah satu lokasi di Indonesia yang mengalami perubahan sangat cepat. Dua DAS besar yang berada di sebagian wilayah tersebut, yaitu DAS Ciliwung dan DAS Cisadane merupakan kawasan yang sangat tinggi tingkat pertumbuhan dan perkembangan aktivitas penduduknya. Di wilayah kedua DAS tersebut lahan pertanian subur telah berubah fungsi secara tidak terkendali menjadi lahan pemukiman dan industri17. 16 Keputusan Presiden No. 114 tahun 1999 diperbarui oleh Keputusan Presiden No. 54 Tahun 2008, yang selanjutnya menetapkan kawasan Jabodetabek-Punjur sebagai Kawasan Strategis Nasional16 Penetapan tersebut menjadi acuan penyelenggaraan pembangunan kawasan (termasuk wilayah DAS di dalamnya) yang menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, tersedianya air tanah dan air permukaan, serta upaya penanggulangan banjir dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan. 17 Berdasarkan analisis citra landsat Tahun 1994 dan 2001, telah terjadi pergeseran penggunaan lahan (perubahan tata guna tanah) dari hutan primer sebesar 41,12 persen di Kawasan BODEPE (Bogor-Depok-Bekasi) dan sebesar 6,76 persen di Kawasan BOPUNJUR, dari hutan sekunder sebesar 68,94 di Kawasan BODEPE dan sebesar 1,2 persen di Kawasan BOPUNJUR, serta dari 63 Perubahan penggunaan lahan tersebut mengakibatkan fungsi kawasan sebagai resapan air menjadi berkurang dan menimbulkan bencana banjir dan genangan di daerah hilir. Permasalahan masih kurangnya luas kawasan hutan di wilayah DAS Cisadane dan masih kurangnya luasan kawasan hutan lindung atau produksi di Kabupaten Bogor menunjukkan telah terjadinya kondisi degradasi lingkungan di Kabupaten Bogor. Kondisi tersebut menjadi salah satu alasan mengapa masalah banjir di DKI Jakarta sangat sulit diatasi. Penurunan fungsi kawasan hutan lindung/produksi menjadi permasalahan yang harus segera diatasi karena dapat menjadi ancaman serius bagi kondisi lingkungan di Kabupaten Bogor secara keseluruhan. Hal tersebut secara keseluruhan mendorong upaya-upaya rehabilitasi lahan yang dilakukan secara berkesinambungan. Oleh karena itu telah diupayakan berbagai bentuk usaha yang tidak hanya terbatas pada kegiatan pembangunan bendungan tetapi meluas ke arah kegiatan pencegahan erosi melalui pola tanam, penatagunaan lahan, penataan ruang, dan penataan kawasan pemukiman, industri, dan perkotaan. Upaya meningkatkan kawasan yangbersifat lindung dalam hal ini akan berasal dari kawasan bukan hutan, yang berarti perlu ada usaha mengembangkan kawasan hutan kerakyatan, yaitu kawasan hutan pada lahan-lahan milik yang dikelola oleh masyarakat atau disebut pula Hutan Rakyat. Salah satu upaya yang berkembang di sektor kehutanan untuk mengatasi permasalahan penurunan kualitas DAS dan pengurangan luasan kawasan hutan di Kabupaten Bogor adalah pembangunan Hutan Rakyat di lahan-lahan milik masyarakat. Luas Hutan Rakyat di Kabupaten Bogor sampai dengan tahun 2010 adalah 15.000 Ha dan secara signifikan mengalami peningkatan sejak tahun 2004 (Tabel 10). penggunaan sawah sebesar 11,98 persen di Kawasan Bodebek dan sebesar 4,42 persen di Kawasan Bopunjur (BAPPEDA Provinsi Jawa Barat, 2004). 64 64 Tabel 10. Perkembangan luasan dan produksi kayu Hutan Rakyat di Kabupaten Bogor Tahun 2004 - 2009 Luas (Ha) Kabupaten Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2009 Bogor a 14.965,3 16.173,1 15.207 15.345,655 Sumber : Monografi Dinas Kehutanan Kabupaten Bogor, 2010 Luas Hutan Rakyat di Indonesia tahun 2009 berdasarkan data dari Direktorat RHL, Ditjen RLPS Kementerian Kehutanan adalah 3.589.343 Ha. Untuk Pulau Jawa 2.799.181 Ha. Luas Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat adalah 973.860 Ha atau setara dengan 34,79 persen dari luas keseluruhan di Indonesia (Mugiyono, 2009). Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Bogor (2010), luas Hutan Rakyat di Kabupaten Bogor adalah 15.345,65 Ha atau sama dengan 1,57 persen dari seluruh Provinsi Jawa Barat. Gambaran ini menunjukkan bahwa luasan Hutan Rakyat yang masih minimal di Kabupaten Bogor tersebut masih perlu ditingkatkan dalam rangka perbaikan kondisi lingkungan sekaligus memperbaiki taraf hidup masyarakat. 5.2 Gambaran Umum Desa Tegal Waru 5.2.1 Kondisi Umum Lokasi penelitian adalah di Desa Tegal Waru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Kecamatan Ciampea merupakan salah satu kecamatan yang termasuk daerah pengembangan di Kabupaten Bogor wilayah Barat. Luas wilayahnya sekitar + 55,63 Km2, terdiri dari 13 Desa, terbagi atas 43 dusun, 108 rukun warga, serta 462 Rukun Tetangga. Berdasarkan kondisi demografis, jumlah penduduk Kecamatan Ciampea sampai dengan akhir bulan Desember 2011 adalah 148.225 jiwa yang terdiri dari 40.949 Kepala Keluarga. Secara garis besar sebagian penduduk bekerja sebagai petani dan buruh. Secara geografis, kecamatan Ciampea berbatasan dengan Kecamatan Ranca Bungur dan Kemang sebelah Utara, Kecamatan Tenjolaya di sebelah Selatan, Kecamatan Cibungbulang di Sebelah Barat, dan Kecamatan Dramaga di 65 sebelah Timur. Kecamatan Ciampea sebanyak 45 persen wilayahnya terdiri dari dataran dan sekitar 55 persen dari wilayahnya merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian wilayah berada diantara 300 m di atas permukaan laut. Pemanfatan lahan di kecamatan Ciampea antara lain adalah pemukiman penduduk, persawahan, dan ladang/kebun. Kecamatan Ciampea merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor yang termasuk wilayah pengembangan dan pembangunan di daerah Bogor Barat. Mengacu pada Keputusan Presiden No. 54 Tahun 2008 yang menetapkan seluruh wilayah Kabupaten Bogor sebagai kawasan lindung, maka rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bogor berdampak terhadap arahan-arahan pengembangan wilayah kecamatan yang harus mengacu pada upaya kelestarian lingkungan, yaitu antara lain mampu menyelenggarakan pemanfaatan ruang wilayah yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sesuai dengan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang selektif, efektif dan efisien, melalui pemberian Building Coverage Ratio (BCR) yang rendah pada kawasan yang memiliki nilai konservasi, sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan pada kawasanlindung sebagai kawasan konservasi air dan tanah,melalui program rehabilitasi lahan, dengankegiatan pemanfaatan ruang yang tidak mengganggufungsi kawasan. Sejalan dengan hal tersebut, saat ini di sektor pertanian kecamatan Ciampea sedang dikembangkan kegiatan pertanian berupa pertanian lahan basah, dan agrowisata, sedangkan pengembangan di sektor kehutanan lebih mengarah kepada upaya pemanfaatan lahan kering/kebun campur yang menerapkan pola penanaman palawija (agroforestry) yaitu di lahan-lahan milik masyarakat atau lahan-lahan kritis lainnya yang dapat mendukung kelestarian lingkungan sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan lebih dikenal dengan pengembangan Hutan Rakyat. Salah satu desa di Kecamatan Ciampea yang mulai menggalakkan pembangunan dan pengembangan adalah Desa Tegal Waru. Hutan Rakyat 66 66 Desa Tegal Waru adalah salah satu desa di Kecamatan Ciampea yang letaknya di sebelah barat pusat kecamatan dengan luas adalah 338,843 Ha. Desa Tegal Waru berjarak 34 Km dari Ibukota Kabupaten Bogor.Di sebelah Utara dan Timur, Desa Tegal Waru berbatasan dengan Desa Bojong Jengkol. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cinangka dan di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Cicadas/Bojong Rangkas (Gambar 3). Desa Tegal Waru terletak di Sub DAS Ciampea, anak sungai dari DAS Cisadane. Daerah tersebut relatif memiliki ketersediaan air yang memadai untuk digunakan kehidupan sehari-hari baik untuk konsumsi rumah tangga, irigasi maupun budidaya tanaman. Topografi wilayah Desa Tegal Waru yang sebagian datar dan sebagian cenderung bergelombang berada di ketinggian 300 m dpl, beriklim basah dengan curah hujan per tahun mencapai 2.500 mm atau lebih. Kondisi topografi tersebut turut menentukan pola penggunaan lahan di Desa Tegal Waru yang terbagi menjadi lahan sawah dan kebun/tegalan. Tanah datar banyak digunakan untuk lahan sawah basah, sedangkan kebun/tegalan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai Hutan Rakyat dengan penanaman kayu, antara lain Sengon (albizia falcataria), Afrika (maesopsis eminii), Suren (toona sureni), Jati (tectona grandis) dan Mahoni (swietenia macrophylla). Desa Tegal Waru mudah dijangkau dengan sarana transportasi umum. Transportasi di dalam desa untuk jarak yang cukup jauh banyak menggunakan jasa ojek. Penggunaan kendaraan bermotor roda dua atau empat di Desa Tegal Waru ditunjang oleh kondisi sarana perhubungan yang relatif memadai. Sarana jalan di Desa Tegal Waru adalah jalan aspal dan jalan tanah dengan kondisi baik. Jalan tanah lebih banyak ditemukan di daerah dengan topografi bergelombang, curam dan berada di luar jalan utama desa. Hampir seluruh jalan utama desa sudah diaspal. Sarana perhubungan yang memadai sangat penting untuk menggerakkan perekonomian desa. 67 Gambar 3. Peta Desa Tegal Waru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor (Sumber : BPDAS Citarum-Ciliwung, 2013) 68 68 Pola penggunaan lahan di Desa Tegal Waru antara lain adalah untuk perumahan, sawah lahan basah, kebun, dan penggunaan lain (Tabel 11). Tabel 11. Pola penggunaan lahan di Desa Tegal Waru a No. Penggunaan lahan 1. 2. 3. 4. Perumahan/pemukiman dan pekarangan Sawah lahan basah Lahan/kebun/tegalan (huma) Lain-lain (pemakaman/perkantoran/ sarana olah raga/bangunan pendidikan/peribadatan) Total Luas (Ha) 123,7 150 50 4,5 Persentase (%) 37,70 45,70 15,23 1,37 328,2 100 Sumber : Diolah dari Profil Desa Tegal Waru 2012 Jumlah penduduk Desa Tegal Waru adalah sebanyak 12.319 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki 6.150 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 6.169 jiwa, yang terdiri dari 3.375 KK. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani, baik sebagai pemilik tanah, petani penggarap arau sebagai buruh tani. Penduduk Desa Tegal Waru juga bekerja sebagai pedagang, pegawai negeri, buruh industri, buruh bangunan, pengrajin, dan bekerja di sektor angkutan (Tabel 12). Tabel 12. Sebaran penduduk menurut mata pencaharian di Desa Tegal Waru No. Mata pencaharian Jumlah Persentase (jiwa) (%) 1. Petani 475 14,98 2. Buruh Tani 473 14,93 3. Pedagang 230 7,26 4. Pegawai Negeri 120 3,78 5. TNI/POLRI 10 0,31 6. Swasta 227 7,16 7. Buruh pabrik 275 8,68 8. Buruh Bangunan 60 1,89 9. Pengrajin 810 25,56 10. Angkutan 30 0,95 11. Lain-lain 459 14,48 Jumlah 3.169 100,00 a Sumber : Diolah dari Profil Desa Tegal Waru Tahun 2011 69 Kondisi penduduk menurut mata pencaharian pada Tabel 12 memberikan gambaran bahwa tingkat pendidikan penduduk relatif rendah. Sebagian besar penduduk Desa Tegal Waru hanya menyelesaikan pendidikan dasar. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin sedikit penduduk yang mampu menyelesaikannya. Tabel 13. Sebaran penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Tegal Waru a No. Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) 1 2 3 4 5 6 Tidak Tamat SD/sederajat Tamat SD/Sederajat Tamat SLTP/Sederajat Tamat SLTA/Sederajat Tamat Akademi/ Sarjana Muda Perguruan Tinggi Jumlah 55 1.235 219 93 27 27 1.656 Persentase (%) 3,32 74,58 13,22 5,62 1,63 1,63 100 Sumber : Diolah dari Profil Desa Tegal Waru 2011 Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Tegal Waru antara lain adalah 5 (lima) buah Pendidikan Usia Dini (PAUD), 3 (tiga) Taman Kanak-Kanak (TK), dan 3 (tiga) Sekolah Dasar Negeri (SDN). Sarana pendidikan untuk jenjang pendidikan dari mulai sekolah menengah lanjutan pertama sampai perguruan tinggi berada di luar Desa Tegal Waru. Sarana kesehatan cukup terpenuhi dengan keberadaan Puskesmas Pembantu, sebuah poliklinik kesehatan, dan 3 (tiga) buah Rumah Bersalin. Di Desa Tegal Waru terdapat pula 9 (sembilan) Posyandu. Kehidupan bermasyarakat di Desa Tegal Waru berada pada suasana damai. Masyarakat masih mengedepankan nilai-nilai kerukunan dan gotongroyong. Hal tersebut terlihat dari masih dilakukannya kegiatan desa secara bersama-sama, yaitu kerja bakti desa, perbaikan jalan, atau pun tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari dan apabila terdapat anggota masyarakat yang sedang tertimpa kesusahan. Tokoh masyarakat yaitu kepala desa, ustadz, ketua kelompok tani, ataupun pemuka desa lainnya masih berperan penting dalam kehidupan sosial masyarakat Desa Tegal Waru. Tokoh masyarakat terutama berperan dalam menggerakkan masyarakat pada kegiatan-kegiatan desa atau 70 70 dalam hal mengenalkan kegiatan atau program baru di bidang Pertanian atau Kehutanan pada masyarakat desa. Di Desa Tegal Waru, tokoh masyarakat masih menjadi panutan dan mendapat tempat terhormat di masyarakat. Sistem perekonomian di Desa Tegal Waru lebih banyak bertumpu pada sektor pertanian lahan basah (sawah) dan palawija, empon-empon, sayur-sayuran dan buah-buahan. Petani selain menanam padi juga menanam tanaman palawija berupa ketela pohon (singkong) dan ubi jalar di kebun serta terdapat pula sayursayuran antara lain jagung, kacang panjang, kacang tanah. Jenis buah-buahan yang banyak ditanam antara lain adalah pisang, pepaya, rambutan, dan lainnya. Kebutuhan penduduk sehari-hari dipenuhi dari tegalan/kebun. Padi hasil panen tidak seluruhnya dijual, sebagian disimpan baik untuk bibit maupun kebutuhan rumah tangga sendiri. Palawija, empon-empon, sayur-sayuran dan buah-buahan sebagian dijual, apabila hasilnya sedikit maka dikonsumsi sendiri. Sebagian besar petani mengambil kebutuhan pangan sehari-hari dari kebun sendiri karena tidak ada pasar di Desa Tegal Waru. Apabila hendak ke pasar maka harus ke desa lain atau ke ibukota kecamatan. Di Desa Tegal Waru hanya ada kios/toko/warung yang menjual barang-barang kelontong sebanyak 45 (empat puluh lima) buah, selain itu terdapat pula toko bahan bangunan sebanyak 1 (satu) buah. Pada beberapa tahun terakhir, masyarakat mulai mengembangkan Hutan Rakyat. Sebetulnya masyarakat secara tradisional sudah mengenal pohon Sengon, Jati, atau Mahoni. Sebagian besar masyarakat sudah memanfaatkan pekarangan rumah atau lahan kebunnya yang tidak dapat dimanfaatkan sebagai sawah lahan basah menjadi Hutan Rakyat. Pengembangan Hutan Rakyat di wilayah Bogor Barat oleh Departemen Kehutanan didasarkan atas kebutuhan penghijauan di wilayah hulu DAS Cisadane mengingat semakin meningkatnya bencana banjir, longsor dan kekeringan di wilayah hilir. 5.2.2 Pengembangan Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru 5.2.2.1 Areal Model Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru Pengembangan Hutan Rakyat dalam bentuk program kehutanan yang 71 bertujuan mendorong upaya rehabilitasi kawasan DAS sekaligus pemberdayaan masyarakat di Desa Tegal Waru dimulai sejak tahun 2007 melalui pembangunan areal permodelan Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan memaksimalkan koordinasi multipihak, yaitu Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan Kabupaten, pihak mitra industri kayu, dan pihakpihak terkait lainnya pada areal model pembangunan Hutan Rakyat pada lahan seluas 25 Ha di Blok Ciampea Ilir, Desa Tegal Waru. Upaya pembangunan areal permodelan Hutan Rakyat pada awalnya bukan hal yang mudah dilaksanakan di Desa Tegal Waru, dikarenakan Desa Tegal Waru merupakan kawasan budidaya pertanian dengan gabungan pertanian lahan basah, sayur-sayuran dan palawija. Hutan Rakyat dalam kerangka program Kehutanan merupakan upaya pengelolaan hutan yang memfungsikan lahan-lahan milik masyarakat sebagai kawasan hutan. Masyarakat dalam hal ini petani Hutan Rakyat menjadi pelaku utama dalam upaya pengelolaan hutan tersebut. Luasan Hutan Rakyat pada areal permodelan 25 Ha secara bertahap meningkat luasannya menjadi 35 Ha secara swadaya. Masyarakat sekitar yangmemperoleh penjelasan mengenai manfaat Hutan Rakyat sekaligus melihat prospek keuntungannya mulai tertarik mengusahakan Hutan Rakyat di lahan miliknya secara swadaya. Hutan Rakyat dalam kerangka program pembangunan kehutanan, berupaya mendorong penanaman tanaman keras/kayu-kayuan di lahan-lahan milik masyarakat. Pengembangan Hutan Rakyat dimulai pada tahun 2007 dengan memberikan bantuan bibit Sengon diikuti dengan pemberian bantuan dana pemeliharaan Hutan Rakyat sampai tahun ketiga18 setelah penanaman. Luas Hutan Rakyat di Blok Ciampea Ilir, Desa Tegal Waru berkisar antara 0,05 Ha – 3 Ha. Jenis tanaman keras yang banyak ditanam oleh masyarakat adalah kayu Sengon, kayu Mahoni, dan Jati. Masyarakat tertarik menanam sengon karena pertumbuhannya yang cepat dan pemeliharaannya yang mudah. 18 Pemeliharaan tanaman keras secara intensif diperlukan sampai tahun ketiga setelah penanaman. Tanaman dianggap dapat tumbuh dengan baik setelah melewati masa kritis tanaman pada tahun ketiga. 72 72 Pola penanaman Hutan Rakyat terbagi menjadi : (1) pola penanaman monokultur, yaitu penanaman tanaman keras dalam satu petak lahan yang terdiri dari satu jenis tanaman keras, (2) pola penanaman dengan menerapkan teknikteknik tumpangsari (wanatani/agroforestry) yaitu penanaman dengan menggabungkan penanaman tanaman keras dan tanaman semusim. Pola penanaman dengan teknik tumpangsari (wanatani/agroforestry) memungkinkan petani dapat memenuhi kebutuhan pangan sehari-harinya, sekaligus dapat menjual hasil kebunnya ke pasar apabila jumlah hasilnya banyak. 5.2.2.2 Kelompok Tani Hutan Rakyat dan Penyuluhan Kehutanan di Desa Tegal Waru Masyarakat Desa Tegal Waru sebenarnya sudah sejak lama mengenal penanaman tanaman keras/kayu-kayuan yang ditanam di lahan kebun, pematang sawah ataupun pekarangan rumah. Namun demikian pengembangan areal permodelan Hutan Rakyat dengan melibatkan masyarakat merupakan kegiatan baru bagi masyarakat, karena dalam prosesnya petani Hutan Rakyat didorong untuk belajar mengenai cara pembibitan, penanaman dan pemanenan tanaman keras berdasarkan ketentuan/standar penanaman tanaman keras/kayu-kayuan yang berlaku. Sebelum pembangunan areal permodelan Hutan Rakyat, petani hanya belajar secara otodidak dari kebiasaan tradisional yang berlaku di masyarakat mengenai cara-cara budidaya Hutan Rakyat. Tanaman keras/kayukayuan yang ditanam masyarakat sebelumnya bersifat sporadis, berskala kecil, dan seringkali mengalami petumbuhan yang tidak maksimal atau bahkan mati akibat kesalahan jarak tanam maupun serangan hama penyakit yang sulit diatasi petani karena kurangnya pengetahuan mengenai penanganan hama penyakit pada tanaman keras/kayu-kayuan. Petani Hutan Rakyat tergabung dalam kelompok tani Hutan Rakyat Saluyu II sejak tahun 2007. Kelompok tani tersebut semula adalah rintisan kelompok tani yang bergerak di bidang pertanian meliputi pengolahan sawah lahan basah dan sayuran. Kelompok tani Hutan Rakyat merupakah wadah 73 berkumpulnya petani Hutan Rakyat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Petani Hutan Rakyat secara teratur melakukan pertemuan yang dimanfaatkan sebagai sarana untuk mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi petani dalam mengelola Hutan Rakyatnya. Kelompok tani dipimpin oleh seorang Ketua Kelompok yang biasanya juga merupakan tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati oleh masyarakat. Kelompok tani Hutan Rakyat memiliki struktur organisasi terdiri dari Ketua, Sekretaris, dan anggota. Pembangunan areal permodelan Hutan Rakyat dan pembekalan pengetahuan/keterampilan dasar mengenai Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru pada awal kegiatan dilaksanakan oleh BPDAS Citarum-Ciliwung. Penyelenggaraan bimbingan teknis berupa penyuluhan kehutanan dilakukan oleh Penyuluh Kehutanan dari BP3K Cibungbulang yang berada di bawah Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Penyuluh Kehutanan BP3K yang bertugas di Desa Tegal Waru berjumlah 1 (satu) orang penyuluh kehutanan dengan dibantu oleh 1 (satu) orang tenaga harian untuk beberapa wilayah binaan di Kabupaten Ciampea. Waktu kunjungan penyuluh kehutanan berkisar antara 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) bulan sekali pada satu kelompok tani. Hal tersebut memberikan gambaran mengenai kondisi ketersediaan tenaga penyuluh kehutanan di Desa Tegal Waru. 74 74 VI. PROFIL PETANI HUTAN RAKYAT 6.1 Karakteristik Responden Responden dalam penelitian adalah petani Hutan Rakyat yang mengusahakan Hutan Rakyat pada areal model Hutan Rakyat yang dibina oleh BPDAS Citarum-Ciliwung. Dalam perkembangannya Hutan Rakyat tersebut telah bergeser dari kegiatan yang bersifat keproyekan menjadi swadaya masyarakat yang dikelola oleh masyarakat secara mandiri. Petani Hutan Rakyat di lokasi penelitian sudah mengenal penanaman tanaman keras (kayu-kayuan) khususnya Sengon jauh sebelum areal permodelan tersebut dibangun, oleh karena itu Hutan Rakyat relatif mudah diterima oleh masyarakat setempat. Karakteristik umur responden petani Hutan Rakyat berada pada rentang umur termuda adalah 27 tahun dan umur tertua adalah 82 tahun. Sebanyak 61,83 persen responden berada pada kategori 40 - 65 tahun. Hal itu menunjukkan bahwa hampir sebagian besar responden Petani Hutan Rakyat berada di atas usia produktif. Hutan Rakyat merupakan alternatif pemanfaatan lahan yang tidak memerlukan pemeliharaan intensif. Responden memiliki kemudahan dalam pengelolaannya dibandingkan dengan pemeliharaan pada tanaman padi sawah dan palawija. Hutan Rakyat menjadi pilihan sebagai sumber pendapatan tambahan bagi responden petani yang tidak berada umur produktif lagi. Tabel 14. Sebaran responden berdasarkan umur a No. Kategori umur responden 1 2 3 Dewasa awal (umur 18-40 tahun) Dewasa (umur 41-65 tahun) Dewasa akhir (lebih dari umur 65) Total Jumlah (jiwa) 7 34 14 55 Persentase (%) 12,72 61,83 25,45 100,00 Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Tingkat pendidikan responden petani Hutan Rakyat tergolong masih rendah. Sebesar 54,54 persen responden hanya bersekolah kurang dari 3 (tiga) 75 tahun atau tidak menamatkan pendidikan dasar. Sebanyak 36,36 persen responden lainnya memiliki ragam yaitu (1) responden yang mengikuti pendidikan dasar dan sudah duduk di kelas-kelas akhir tetapi tidak menyelesaikan pendidikannya, (2) responden yang berhasil menamatkan pendidikan SD, dan (3) responden yang berhasil menamatkan pendidikan SD dan melanjutkan bersekolah sampai ke sekolah menengah lanjutan pertama, namun hanya pada tahun-tahun awal saja. Sebagian responden yang sudah duduk di jenjang SLTP dan SLTA karena keterbatasan biaya, akhirnya memilih tidak melanjutkan sekolah. Hal tersebut menjelaskan rentang waktu penyelesaian pendidikan formal responden yang tertinggi hanya 11 tahun (Tabel 15). Tabel 15. Sebaran responden berdasarkan jumlah tahun mengikuti pendidikan formal No. 1. 2. 3. a Jumlah tahun bersekolah Jumlah n (jiwa) Rendah (0 – 3 tahun) Sedang (4 – 7 tahun) Tinggi (8 – 11 tahun) Jumlah 30 20 5 55 Persentase (%) 54,54 36,36 9,09 100,00 Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Dalam pengelolaan Hutan Rakyat, responden juga memperoleh tambahan pengetahuan dari kursus/pelatihan di bidang pertanian dan kehutanan yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten, Perguruan Tinggi, BPDAS Citarum-Ciliwung, ataupun dari pemerintah desa setempat. Pelatihan di bidang Hutan Rakyat, khususnya diselenggarakan pada awal pembangunan areal permodelan Hutan Rakyat, meliputi kegiatan pelatihan pembibitan dan penanaman tanaman sengon. Pelatihan tersebut dilaksanakan dengan disertai praktek langsung di lahan petani. Kegiatan serupa di bidang penanaman palawija juga pernah dilakukan oleh Instansi BP3K Cibungbulang. Jenis pelatihan yang lebih berorientasi pada bidang perkebunan banyak diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang terdekat dengan lokasi penelitian, yaitu Institut Pertanian Bogor (Tabel 16). 76 76 Berdasarkan wawancara mendalam, responden merasa jumlah penyelenggarakan pelatihan baik di bidang pertanian maupun kehutanan, masih sangat terbatas. Padahal pelatihan-pelatihan tersebut memberikan manfaat berupa tambahan informasi dan pengetahuan agar mereka dapat mengolah lahan Hutan Rakyat dengan lebih baik. Tabel 16. Pelatihan yang diikuti oleh petani Hutan Rakyat No. 1 2 3 4 a Nama pelatihan yang diikuti Pembibitan dan penanaman pohon Sengon Penanaman Palawija Pembuatan Pupuk Cair organik Pembuatan Jamur Tiram Penyelenggara Instansi Kehutanan BP3K IPB IPB Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Dalam kurun waktu tahun 2007 sampai dengan tahun 2012, pelatihan Hutan Rakyat yang diselenggarakan hanya pada saat pemberian bantuan bibit areal permodelan Hutan Rakyat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 72,72 persen responden menyatakan tidak pernah dan/atau hanya 1 (satu) kali memperoleh pelatihan terkait Hutan Rakyat (Tabel 17). Hal tersebut menunjukkan masih rendahnya intensitas penyelenggaraan pelatihan terkait Hutan Rakyat di lokasi penelitian. Tabel 17. Jumlah pelatihan yang diikuti responden terkait Hutan Rakyat No. 1 2 3 a Kursus/pelatihan di bidang kehutanan yang diikuti petani Jarang ( < 1 kali) Sedang (2-3 kali) Sering ( > 4 kali) Total Jumlah n (jiwa) 40 14 1 55 Persentase (%) 72,72 25,45 1,81 100,00 Sumber : Olahan data primer, 2012 Mata pencaharian utama responden di lokasi penelitian adalah sebagai petani, baik petani lahan basah maupun sayur-sayuran/palawija. Selain mata 77 pencaharian utama tersebut, responden juga memiliki pekerjaan sampingan lainnya yaitu sebagai buruh angkut (mikul), buruh tani, beternak, berdagang, pengrajin tas, dan usaha ikan hias (Tabel 18). Ragam mata pencaharian responden menunjukkan bahwa Hutan Rakyat bukan merupakan pilihan satusatunya sumber pendapatan responden. Tabel 18. Pekerjaan sampingan yang dilakukan responden Jumlah n No. Jenis pekerjaan sampingan (jiwa) 1. Tidak punya pekerjaan sampingan 19 2. Buruh angkut 6 3. Buruh sawah 6 4. Berdagang 1 5. Beternak 6 6. Budidaya Ikan Hias 5 7. Pengrajin tas 5 8. Buruh tani dan Berdagang 4 9. Budidaya Ikan Hias dan Berternak 3 Jumlah 55 a Persentase (%) 34,50 10,90 10,90 1,80 10,90 9,10 9,10 7,30 5,50 100,00 Sumber : Olahan data primer, 2012 Berdasarkan ragam mata pencaharian responden, kategori responden dapat dipilah kembali berdasarkan jumlah pekerjaan sampingan yang dimilikinya, yaitu : (1) responden yang tidak memiliki pekerjaan sampingan, (2) responden yang memiliki 1 (satu) pekerjaan sampingan, dan (3) responden yang memiliki 2 (dua) atau lebih pekerjaan sampingan (Tabel 19). Tabel 19. Jumlah pekerjaan sampingan responden No. 1. 2. 3. a Jumlah pekerjaan sampingan Tidak memiliki pekerjaan sampingan Memiliki satu pekerjaan sampingan Memiliki dua atau lebih pekerjaan sampingan Jumlah Sumber : Olahan data primer, 2012 Jumlah n (jiwa) 19 36 7 55 Persentase (%) 34,5 10,9 10,9 100 78 78 Sebagian besar responden berpandangan bahwa Hutan Rakyat merupakan tabungan jangka panjang. Pemeliharaan tanaman keras secara intensif dilakukan sampai pada tahun ketiga. Pada tahun keempat dan seterusnya Hutan Rakyat relatif dapat dibiarkan, dalam artian pemeliharaannya hanya sebatas membersihkan rumput atau tanaman liar dan melakukan penjarangan. Kemudahan pengelolaan Hutan Rakyat dengan hasil yang cukup menjanjikan mendorong responden tertarik mengelola Hutan Rakyat di lahannya sendiri. Berdasarkan gambaran mengenai mata pencaharian petani, maka sumber pendapatan petani dapat diperoleh dari lahan sawah, lahan Hutan Rakyat, dan sumber pendapatan sampingan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan petani di lokasi penelitian tergolong rendah (Tabel 20). Tabel 20. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendapatan Jumlah n No. Pendapatan petani (jiwa) 1. Rendah (Rp 410.000 – Rp 1.390.000) 46 2. Sedang (Rp 1.390.100 – Rp 2.370.100) 8 3. Tinggi (Rp 2.370.100 – Rp 3.350.100) 1 Total 55 a Persentase (%) 83,63 14,55 1,82 100,00 Sumber : Olahan data primer, 2012 Lama petani mengusahakan Hutan Rakyat adalah jumlah tahun sejak responden terlibat dalam kegiatan Hutan Rakyat dan keikutsertaan pada pelaksanaan program areal permodelan Hutan Rakyat yang dimulai sejak tahun 2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 52,7 persen responden sudah mengusahakan Hutan Rakyat selama lebih dari 5 (lima) tahun dan masuk pada kategori lama. Responden pada kategori ini merupakan responden yang tergabung dalam areal model pembangunan Hutan Rakyat sejak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2007 (Tabel 21). Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa sebanyak 41,8 persen responden baru mengusahakan Hutan Rakyat selama 3 (tiga) sampai 4 (empat) tahun. Responden dengan lama mengusahakan Hutan Rakyat dalam kategori 79 sedang ini adalah petani Hutan Rakyat yang tergerak untuk ikut secara sukarela dan swadaya mengusahakan Hutan Rakyat di lahannya, setelah melihat perkembangan Hutan Rakyat di lahan-lahan petani yang sudah lebih dulu mengusahakan Hutan Rakyat. Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun masyarakat sudah mengenal tanaman kayu sebelum program areal model Hutan Rakyat dilaksanakan, tetapi program tersebut tidak serta dapat langsung diterima oleh masyarakat. Tabel 21. Sebaran responden berdasarkan lama mengusahakan Hutan Rakyat Persentase No. Lama mengusahakan Hutan Rakyat Jumlah n (jiwa) (%) 1. Baru ( < 2 tahun) 3 5,4 2. Sedang (3-4 tahun) 23 41,8 3. Lama (>5 tahun) 29 52,7 Total 55 100,00 a Sumber : Olahan data primer, 2012 Luas lahan di lokasi penelitian dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu luas, sedang, dan sempit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 40 persen responden memiliki lahan dengan luasan pada dalam kategori sempit (Tabel 22). Berdasarkan wawancara mendalam, keterbatasan luas lahan merupakan salah satu kendala yang dihadapi responden petani Hutan Rakyat. Mereka menyatakan apabila mereka memiliki tanah yang lebih luas, maka mereka akan menanaminya dengan tanaman kayu lebih banyak lagi. Tabel 22. Sebaran responden berdasarkan kepemilikan luas lahan No. Luas Lahan 1. Srata I (Luas) ( > 0,50 Ha) 2. Strata II (Sedang) (0,26 – 0,50 Ha) 3. Strata III (Sempit) (0,01 – 0,25) Total a Sumber : Olahan data primer, 2012 Jumlah n (jiwa) 18 15 22 55 Persentase (%) 32,72 27,27 40,00 100,00 80 80 Penggunaan lahan dengan luasan tersebut terbagi menjadi jenis kebun dan kebun-sawah. Pada lahan dengan jenis kebun ditanami tanaman keras (kayukayuan) dan tanaman palawija serta buah-buahan, sedangkan pada lahan petani dengan jenis kebun-sawah, artinya dalam waktu yang sama, petani mengusahakan sawah dan juga tanaman keras (kayu-kayuan), tanaman palawija, dan buah-buahan di bagian tanahnya yang lain. Dalam istilah setempat, lahan yang digunakan sebagai kebun disebut tanah kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan antara petani yang hanya mempunyai lahan kebun dan petani yang mempunyai lahan kebun dan sawah hampir sama, yaitu sebesar 49,10 persen dan 50,90 persen (Tabel 24). Tabel 23. Sebaran responden berdasarkan jenis lahan yang dimiliki No. 1. 2. a Luas lahan Jumlah n (jiwa) Kebun Sawah dan Kebun Total Persentase (%) 27 28 55 49,10 50,90 100,00 Sumber : Olahan data primer, 2012 Berdasarkan status lahan, sebanyak 45 responden (80,4 persen) memiliki Hutan Rakyat pada lahan milik. Sisanya dalam jumlah kecil terbagi menjadi responden yang memiliki Hutan Rakyat pada lahan sewa dan pada lahan garapan (maro) atau gabungan dari keduanya (Tabel 24). Tabel 24. Sebaran responden berdasarkan status kepemilikan lahan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. a Status kepemilikan lahan Lahan milik Lahan sewa Lahan garapan (maro) Lahan milik dan sewa Lahan milik dan garapan Lahan sewa dan lahan garapan Jumlah Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Jumlah n (jiwa) 45 3 1 3 2 1 55 Persentase (%) 80,40 5,40 1,80 5,40 3,60 1,80 100,00 81 Pemilik lahan yang menyewakan tanahnya untuk dikelola sebagai Hutan Rakyat merupakan petani yang memiliki aset lahan cukup luas dan memutuskan menyewakan tanahnya untuk memperoleh keuntungan dari harga sewa. Biasanya mereka memiliki pekerjaan lain di luar lahan pertanian atau kehutanan. Hal ini juga terjadi pada pemilik lahan yang mengolah lahannya dengan sistem maro. Sistem bagi hasil maro ini dilakukan untuk menekan biaya produksi. Pada lahan sewa, petani menyewa lahan pada orang lain dengan imbalan sejumlah uang. Biaya produksi di lahan sepenuhnya menjadi tanggung jawab petani penyewa. Pada lahan garapan (maro), responden mengolah lahan milik petani lainnya. Biaya produksi dan hasil penjualan panen dibagi dua (maro) antara pemilik tanah dan petani penggarap. Bentuk kepemilikan tanah berupa sewa dan maro disebabkan oleh keterbatasan lahan di lokasi penelitian. Data pada Tabel 24 menunjukkan bahwa pemilik tanah di lokasi penelitian, selain mengolah sendiri lahannya dapat menyewakan sebagian tanahnya pada orang lain atau memilih sistem garapan maro. Terdapat pula pemilik tanah yang selain menyewakan tanah, juga mengolah lahannya dengan sistem garapan maro. Pemilihan jenis oleh responden banyak ditentukan oleh kondisi lahan, tradisi masyarakat setempat, dan kemudahan penanaman dan pemeliharaannya. Seluruh petani menanam kayu Sengon, namun ada juga yang mengusahakan kayu Jati, Afrika, Suren, Mahoni, Jabon, Karet dan Bambu. Responden juga memanfaatkan lahan Hutan Rakyat dengan pola tanam tumpangsari. Pola tanam tersebut memungkinkan petani menanam tanaman keras bersama-sama dan/atau bergiliran dengan tanaman palawija antara lain ketela pohon, ubi jalar, kacang tanah, empon-empon, cabe, jagung, dan lain sebagainya. Petani menanam palawija tanaman buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebelum tanaman kayu-kayuan dapat dipanen. Responden petani Hutan Rakyat juga menanam tanaman buah. Tanaman buah biasanya ditanam di lahan kebun atau di pekarangan. Petani memperoleh bibitnya secara tidak sengaja di lahan atau memperoleh bibit tersebut dari petani lain. Bantuan berupa bibit tanaman buah 82 82 belum pernah diberikan oleh dinas instansi terkait. Hasil buah dari lahan kebun responden apabila jumlahnya sedikit cukup dikonsumsi sendiri, sedangkan apabila jumlahnya banyak akan dijual ke pasar (Tabel 25). Tabel 25. Sebaran responden berdasarkan jenis tanaman yang ditanam di lahan Hutan Rakyatnya No a Jenis tanaman Hutan Rakyat I. Tanaman Keras II. Tanaman Semusim/ Palawija III. Buah-buahan Nama pohon/tanaman Jumlah n (jiwa) Sengon Mahoni Afrika Jati Suren Jabon Karet Bambu Ketela Pohon Jagung Ubi Jalar Kc. Tanah Empon2 Cabe Kc. panjang Kol Katuk Timun Buncis Kedelai Pisang Kelapa Rambutan Nangka Pepaya Jambu Pala Manggis Durian Cempedak 55 14 12 10 7 6 3 5 39 26 25 14 14 12 7 5 4 4 3 2 20 16 12 11 11 6 5 3 1 1 Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Persentase (jiwa) 100,00 25,50 21,80 18,20 12,70 10,90 5,450 9,09 70,90 47,30 45,50 25,50 25,50 21,80 12,70 9,09 7,27 7,27 5,45 3,64 36,40 29,10 21,80 20,00 20,00 10,90 9,09 5,45 1,82 1,82 83 Penanaman tanaman keras, palawija, dan buah-buahan oleh responden terbagi menjadi petani yang hanya menanam satu jenis tanaman keras/palawija/buah-buahan di lahannya dan petani yang menggabungkan lebih dari satu tanaman keras/palawija/buah-buahan di lahannya (Tabel 26). Hal tersebut menunjukkan bahwa responden petani Hutan Rakyat berupaya memaksimalkan penggunaan dan pemanfaatan lahan Hutan Rakyat. Penanaman tanaman keras (kayu-kayuan) dimaksudkan untuk kebutuhan jangka panjang, sedangkan tanaman palawija dan buah-buahan untuk kebutuhan jangka pendek. Tanaman palawija dan buah-buahan selain dapat dijual juga dapat dimakan untuk lauk-pauk sehari-hari. Tabel 26. Sebaran responden berdasarkan jumlah gabungan jenis tanaman yang ditanam pada lahan Hutan Rakyat. No. I. II. III. IV. a Jumlah tanaman yang ditanam di lahan Hutan Rakyat Tanaman Keras 0–1 2–3 >3 Jumlah Tanaman Palawija 0–1 2–3 >3 Jumlah Tanaman Buah-buahan 0–1 2–3 >3 Jumlah Gabungan Tanaman 0–3 Keras/ Palawija/Buah4–7 buahan >7 Jumlah Kategori Jenis Tanaman Jumlah n (jiwa) Persentase (%) 28 20 7 55 14 23 18 55 32 16 7 55 11 28 16 55 50,90 36,40 12,70 100,00 25,50 14,80 32,70 100,00 58,20 29,10 12,70 100,00 20,00 50,90 29,10 100,00 Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Motivasi responden mengusahakan Hutan Rakyat adalah alasan yang melatar belakangi keputusan responden untuk menanam kayu di lahannya. 84 84 Motivasi responden dapat dibagi menjadi motivasi responden menanam tanaman keras (kayu-kayuan), tanaman palawija, dan menanam tanaman buah-buahan (Tabel 27). Tabel 27. Sebaran responden berdasarkan motivasi menanam Hutan Rakyat Jumlah n Jenis (%) Motivasi MenanamHutan Rakyat No. (jiwa) Tanaman I. Tanaman (1) Dijual untuk kebutuhan jangka 40 72,72 Kayu-kayuan panjang (2) Dijual untuk menambah 38 69,09 penghasilan (3) digunakan sendiri untuk 30 54,54 membangun/ memperbaiki rumah (4) Mengikuti tradisi setempat 24 43,63 menanam kayu sengon (5) Memanfaatkan lahan kosong 18 32,72 (6) Dijual untuk keperluan anak 16 29,09 sekolah (7) Simpanan untuk kebutuhan 14 24,45 mendadak (8) Tertarik pada program 7 12,72 penghijauan pemerintah II. Tanaman (1) Dijual untuk membeli 48 87,27 Semusim kebutuhan sehari-hari sebelum (Palawija) panen sengon (2) Dikonsumsi sendiri 28 50,90 (3) Dijual untuk menambah 14 25,45 penghasilan III. Tanaman (1) Dikonsumsi sendiri 43 78,18 Buah(2) Dijual untuk menambah 27 49,09 penghasilan buahan (3) Dijual untuk membeli 15 27,27 kebutuhan sehari-hari sebelum panen sengon a Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 72,72 responden menyatakan bahwa hasil kayu Hutan Rakyat merupakan tabungan masa depan Penanaman kayu di lahan Hutan Rakyat memerlukan rentang waktu yang cukup 85 panjang sebelum siap panen. Kayu Sengon rata-rata dapat ditebang dengan diameter kayu yang memadai setelah umur 7 (tujuh) tahun. Oleh karena itu kayu sengon dipandang merupakan investasi jangka panjang yang menguntungkan. Tanaman kayu Sengon merupakan salah satu jaminan sumber pendapatan petani yang dapat dijual sewaktu-waktu apabila petani memerlukannya. Petani Hutan Rakyat dengan motivasi menanam kayu sebagai tabungan masa depan biasanya akan menjual tanaman kayunya pada saat kayu sudah cukup umur untuk ditebang. Namun demikian sebanyak responden 69,09 persen berpendapat bahwa hasil kayu dari Hutan Rakyat merupakan simpanan apabila ada kebutuhan mendadak. Berdasarkan wawancara mendalam, responden dengan motivasi demikian lebih mudah menebang kayu dari lahannya apabila membutuhan tambahan pendapatan walaupun kayu belum mencapai diameter yang cukup. Penanaman di lahan Hutan Rakyat untuk tanaman palawija menunjukkan sebaran terbesar sebanyak 87,29 persen pada pengelompokan jawaban yang sama, yaitu dijual untuk membeli kebutuhan sehari-hari sebelum panen sengon. Penanaman tanaman palawija seperti misalnya ketela pohon, ubi, emponempon dan tanaman lainnya di lahan Hutan Rakyat merupakan penopang kebutuhan hidup petani Hutan Rakyat sebelum pohon Sengon dapat ditebang dan dijual. Selanjutnya sebanyak 78,18 responden petani Hutan Rakyat menyatakan menanam tanaman buah-buahan di lahan Hutan Rakyatnya untuk dikonsumsi sendiri. Hal tersebut terkait dengan luas kepemilikan lahan yang relatif kecil sehingga tidak terdapat lahan yang cukup untuk menanam tanaman buah-buahan pada skala yang lebih besar. Motivasi responden petani Hutan Rakyat terbagi menjadi responden petani Hutan Rakyat dengan motivasi tinggi, motivasi sedang, dan motivasi rendah (Tabel 28). Responden petani Hutan Rakyat yang memiliki motivasi tinggi adalah petani yang secara bersungguh-sungguh mengelola Hutan Rakyat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden petani Hutan Rakyat memiliki motivasi mengelola Hutan Rakyat termasuk dalam kategori sedang. 86 86 Tabel 28. Sebaran responden berdasarkan tingkat motivasi petani mengelola Hutan Rakyat Tingkat motivasi petani mengelola Jumlah n (jiwa) Persentase (%) No. Hutan Rakyat 1. Rendah (skor : < 10) 1 1,83 2. Sedang (skor : 10-15) 29 52,72 3. Tinggi (skor : < 15) 25 45,45 Jumlah 55 100,00 a Sumber : Diolah dari Data Lapangan, 2012 Gambaran motivasi responden petani mengelola Hutan Rakyat menunjukkan bahwa motivasi petani Hutan Rakyat menanam tanaman keras, tanaman palawija dan tanaman buah-buahan di lahan Hutan Rakyat dilatarbelakangi motivasi ekonomi, yaitu sebagai sebagai tabungan (saving) untuk jangka panjang dan sebagai sumber pendapatan sehari-hari untuk jangka pendek. 6.2 Kompetensi Personal Sumber Belajar Menurut Spencer dan Spencer (1993) kompetensi adalah karakteristik dasar seseorang yang ada hubungan sebab-akibat dengan prestasi kerja yang luar biasa atau dengan efektivitas kerja. Karakteristik dasar tersebut meliputi motif, sifat, konsep diri, pengetahuan dan keterampilan. Menurut Parulian dan Thoha (2008) mengacu pada Miller, Rankin dan Neathey (2001), kompetensi didefinisikan sebagai gambaran tentang apa yang harus diketahui atau dilakukan seseorang agar dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Kompetensi sumber belajar yang dimaksud pada bagian ini adalah pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki sumber belajar dalam mengelola Hutan Rakyat dilihat berdasarkan tiga aspek yaitu penguasaan informasi/pengetahuan terkait Hutan Rakyat, kemampuan melakukan komunikasi dengan petani Hutan Rakyat, dan kemampuan menjadi teladan/panutan. 87 6.2.1 Personal Sumber Belajar Hutan Rakyat merupakan inovasi baru bagi petani Hutan Rakyat di lokasi penelitian yang memuat teknologi baru mengelola tanaman keras dengan menggabungkan tanaman semusim (palawija) dan tanaman buah-buahan. Responden yang semula hanya bercocok tanam padi basah dan sayur-mayur kemudian harus belajar mengusahakan tanaman keras dan kayu-kayuan. Petani memperoleh pengetahuan dan mengenai pengelolaan Hutan Rakyat dari berbagai sumber belajar. Berdasarkan hasil penelitian, persepsi petani mengenai individu yang menjadi personal sumber belajar dalam pengelolaan Hutan Rakyat cukup beragam (Tabel 29). Tabel 29. Sebaran persepsi responden mengenai personal sumber belajar Jumlah n Persentase No. Sumber Belajar (jiwa) (%) 1. Ketua Kelompok Tani 27 49,09 2. Penyuluh kehutanan dan Ketua Kelompok tani 12 21,81 3. Ketua Kelompok Tani dan rekan sesama 5 9,09 anggota kelompok tani yang lebih berpengalaman 4. Penyuluh Kehutanan 4 7,27 5. Penyuluh kehutanan, Ketua Kelompok tani, 3 5,45 dan rekan sesama anggota kelompok tani yang lebih berpengalaman 6. Rekan sesama anggota kelompok tani yang 2 3,64 lebih berpengalaman 7. Penyuluh kehutanan dan rekan sesama anggota 2 3,64 kelompok tani yang lebih berpengalaman Jumlah 55 100,00 a Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Personal sumber belajar dalam persepsi responden antara lain adalah penyuluh kehutanan, ketua kelompok tani, dan rekan sesama anggota kelompok tani. Persepsi masyarakat mengenai sumber belajar dapat berbeda-beda terikat pengaruh sumber belajar tersebut terhadap tambahan pengetahuan dan keterampilan pengelolaan Hutan Rakyat. Namun demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 49,09 persen responden petani Hutan Rakyat 88 88 menyatakan bahwa sosok ketua kelompok tani merupakan sumber belajar yang dianggap penting bagi responden petani Hutan Rakyat. Personel sumber belajar responden petani Hutan Rakyat tidak hanya sebagai sosok yang mampu memberikan tambahan keahlian dan keterampilan, namun juga memiliki sikapsikap pemimpin, seperti mengayomi dan dapat menjadi panutan. Ancok (2012) menyatakan bahwa inovasi adalah suatu proses memikirkan dan mengimplementasikan suatu pemikiran, sehingga menghasilkan hal baru. Inovasi adalah suatu bentuk perubahan dari sesuatu hal, baik yang bersifat inkremental (sedikit demi sedikit), maupun perubahan yang radikal. Pengertian mengenai inovasi tersebut sejalan dengan pernyataan Rogers dan Shoemaker (1971) bahwa inovasi adalah ide, praktik atau obyek yang dipandang baru oleh seseorang. Hal baru dalam inovasi tidak hanya dimaknai sebagai pengetahuan baru. Sebuah inovasi dapat sudah diketahui oleh individu selama beberapa waktu, namun individu yang bersangkutan belum mambangun reaksi atau perilakunya, baik menerima atau menolak ide, praktik maupun obyek baru tersebut. Di lokasi penelitian, responden petani Hutan Rakyat sudah lama mengenal tanaman keras semisal kayu sengon, Jati, atau Afrika, yang penanamannya di lahan milik digabungkan dengan tanaman palawija atau tanaman semusim lainnya. Hal tersebut menjadi sesuatu yang baru ketika Hutan Rakyat dikelola dalam bentuk model percontohan yang menerapkan teknologi terbaru dan membutuhkan partisipasi petani Hutan Rakyat dalam pengelolaannya. Ancok (2012) mengemukakan bahwa beberapa pakar di bidang inovasi beranggapan bahwa perilaku inovatif terdiri atas dua tahapan, yaitu tahapan pemunculan gagasan (initiation) dan tahapan implementasi gagasan (implementation). Hal tersebut menjelaskan bahwa inovasi tidak dapat dilepaskan dari aspek kepemimpinan. Ketua kelompok tani, penyuluh kehutanan, dan kepala desaberada dalam lingkaran kepemimpinan pada sistem sosial masyarakat. Orang yang dianut, orang yang menjadi teladan, dan orang yang ditiru perilakunya. Hal tersebut menjelaskan persepsi responden petani Hutan Rakyat mengenai sumber 89 belajarnya yang lebih banyak adalah ketua kelompok tani dibandingkan dengan rekan sesama responden petani Hutan Rakyat. Rekan sesama responden petani Hutan Rakyat atau dapat disebut sebagai rekan sebaya (peer group) juga memiliki nilai penting dalam pembelajaran Hutan Rakyat. Berdasarkan wawancara mendalam apabila rekan sesama responden dipilih, maka rekan responden tersebut dianggap lebih pandai dan memiliki keterampilan lebih dibandingkan dengan responden petani Hutan Rakyat. 6.2.2 Penguasaan Informasi/Pengetahuan terkait Hutan Rakyat Sumber belajar atau pendamping belajar responden petani Hutan Rakyat dapat memiliki tingkat penguasaan informasi/pengetahuan yang saling berbeda mengenai pengelolaan Hutan Rakyat. Ketika personal sumber belajar dapat memberikan pemahaman informasi dan memberikan keterampilan yang memadai terhadap responden maka responden berpendapat bahwa sumber belajar memiliki kompetensi yang tinggi, demikian pula sebaliknya. Tabel 30. Persepsi responden terhadap penguasaan informasi/pengetahuan sumber belajar mengenai Hutan Rakyat Jenis informasi/pengetahuan yang dikuasai sumber belajar 1. Mengetahui jenis-jenis tanaman kayu (sengon/mahoni/jati/ suren) 2. Mengetahui informasi/ pengetahuan terbaru mengenai Hutan Rakyat 3. Mengetahui cara penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan kayu Hutan Rakyat 4. Mengetahui jenis-jenis hama penyakit tanaman kayu dan cara mengatasinya 5. Memahamikebijakan/aturan pengelolaan Hutan Rakyat 6. Mengetahui cara berorganisasi melalui kelompok tani 7. Mengetahui cara pemasaran kayu Hutan Rakyat a Ya (%) 47 (85,50) 42 (76,40) 38 (69,10) 10 (18,20) 9 (16,40) 7 (12,80) 6 (10,90) Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Penguasaan informasi atau pengetahuan mengenai Hutan Rakyat meliputi penguasaan informasi/pengetahuan mengenai jenis-jenis tanaman Hutan Rakyat, 90 90 jenis-jenis hama penyakit dan cara mengatasinya, tahapan produksi yang harus dilakukan, dan aturan/kebijakan pengelolaan Hutan Rakyat yang berlaku saat ini. Penguasaan informasi atau pengetahuan berhubungan dengan alih pengetahuan (tranfer knowledge). Tingkat penguasaan materi atau informasi personel sumber belajar mengenai Hutan Rakyat terbagi menjadi responden petani Hutan Rakyat dengan kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa personal sumber belajar memiliki kemampuan penguasaan materi atau informasi yang tergolong sedang (Tabel 31). Tabel 31. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan penguasaan informasi/pengetahuan personal belajar mengenai Hutan Rakyat No. Tingkat kemampuan penguasaan Jumlah n Persentase informasi/pengetahuan personal (jiwa) (%) sumber belajar 1. Rendah (skor : < 14) 19 34,55 2. Sedang (skor : 14-21) 36 65,45 3. Tinggi (skor : < 21) 0 0,00 Jumlah 55 100,00 a Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Kemampuan melakukan komunikasi memegang peranan penting dalam proses pembelajaran petani. Menurut (Leeuwis 2009) komunikasi merupakan proses di mana orang bertukar arti. Penekanan aspek komunikasi pada penyuluhan menandakan pergeseran dari fokus pendidikan menjadi fokus pembelajaran. Seorang sumber belajar yang terlibat dalam pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat harus mampu menciptakan komunikasi yang baik antara dirinya dan petani-petani Hutan Rakyat agar informasi/pengetahuan dapat tersampaikan sesuai sasaran yang diharapkan. Kemampuan komunikasi sumber belajar diukur berdasarkan kemampuan menciptakan dialog dua arah, menghidupkan suasana diskusi, menyampaikan pesan dengan baik, dan mampu mendorong petani mencoba atau menerapkan cara baru di lahannya. Hasil 91 penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 72,70 persen responden menyatakan sumber belajar sudah mampu menciptakan dialog dua arah atau timbal-balik dan sebanyak 67,70 responden mampu menghidupkan suasana diskusi (Tabel 32). Tabel 32. Persepsi responden terhadap kemampuan komunikasi personal sumber belajar dalam kegiatan penyuluhan kehutanan Kemampuan komunikasi pendamping belajar 1. 2. 3. 4. 5. a Mampu menciptakan dialog dua arah dengan petani Mampu menghidupkan suasana diskusi Maksud/pesan sumber belajar mudah diterima petani Mampu mendorong petani mencoba cara baru di lahan Mampu mendorong petani menerapkan cara baru di lahan Ya (%) 40 (72,70) 37 (67,30) 36 (65,40) 29 (52,70) 27 (49,10) Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Tingkat kemampuan berkomunikasi personal sumber belajar terbagi menjadi kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa personal sumber belajar memiliki kemampuan berkomunikasi dalam kategori sedang (Tabel 33). Tabel 33. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan berkomunikasi personal belajar Tingkat kemampuan berkomunikasi Jumlah n Persentase No. personal sumber belajar (jiwa) (%) 1. Rendah (skor : < 10) 1 1,82 2. Sedang (skor : 10-15) 48 87,30 6 10,90 3. Tinggi (skor : < 15) Jumlah 55 100,00 a Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Salah satu kemampuan penting lainnya yang harus dimiliki oleh sumber belajar dalam proses pembelajaran petani adalah kemampuan untuk menjadi teladan/panutan. Kemampuan sumber belajar untuk menjadi teladan/panutan didasarkan antara lain disiplin diri, menjadi contoh dalam bersikap, perilaku positif, sifat pemimpin, mudah bekerjasama, mampu memotivasi petani, dan arif dalam mengambil keputusan (Tabel 34). 92 92 Tabel 34. Persepsi responden terhadap kemampuan personal sumber belajar menjadi panutan dalam kegiatan penyuluhan kehutanan 1. 2. 3. 4. 5. 6. a Kemampuan personal sumber belajar menjadi teladan/panutan Memiliki disiplin diri yang tinggi Menjadi contoh dalam bersikap dan berprilaku positif Memiliki sifat kepemimpinan Mudah bekerjasama dengan petani dan pihak-pihak lainnya Mampu memotivasi petani memiliki semangat belajar dan bekerja yang tinggi Kearifan dalam mengambil keputusan Ya (%) 47 (85,40) 44 (80,00) 43 (78,20) 39 (70,90) 37 (67,30) 31 (56,40) Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik petani di lokasi penelitian yang masih membutuhkan kepemimpinan dalam melakukan suatu kegiatan atau usaha. Personal sumber belajar yang terlibat dalam pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat dan memiliki kemampuan menjadi teladan/panutan bagi petani Hutan Rakyat akan lebih mudah menyampaikan dan menyebarkan pengetahuan/informasi baru. Kemampuan sumber belajar memimpin pelaksanaan kegiatan dengan muatan inovasi baru kepada petani dapat dipandang telah mendorong penyelenggaraan proses pembelajaran sosial yang akan menyebabkan terjadinya perubahan perilaku petani. Berdasarkan wawancara mendalam, responden menyatakan bahwa personal sumber belajar adalah individu yang memiliki kedudukan sosial yang baik di masyarakat dan memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka. Tabel 35. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan menjadi teladan/panutan personal belajar Tingkat kemampuan berkomunikasi Jumlah n Persentase No. personal sumber belajar (jiwa) (%) 1. Rendah (skor : < 12) 0 0,00 2. Sedang (skor : 12-18) 46 83,64 3. Tinggi (skor : > 18) 9 16,36 Jumlah 55 100,00 a Sumber : Olahan Data Primer, 2012 93 Tingkat kemampuan personal sumber belajar menjadi teladan atau panutan terbagi menjadi kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa personal sumber belajar memiliki kemampuan menjadi teladan atau panutan yang tergolong sedang (Tabel 35). 6.3 Kegiatan Penyuluhan 6.3.1 Pemahaman mengenai Tujuan Kegiatan Penyuluhan Kegiatan penyuluhan kehutanan terkait Hutan Rakyat diselenggarakan dengan tujuan berupa tercapainya peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani mengenai dasar-dasar pengembangan Hutan Rakyat dengan memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Kegiatan penyuluhan kehutanan dapat secara efektif mencapai sasarannya apabila tujuan penyelenggaraan kegiatan penyuluhan kehutanan dipahami dengan baik oleh masing-masing anggota kelompok tani. Kegiatan penyuluhan kehutanan bernilai penting ketika petani memahami bahwa tujuan kegiatan penyuluhan kehutanan yang dilaksanakan dapat memenuhi kebutuhannya dalam pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tujuan kegiatan penyuluhan kehutanan berdasarkan persepsi petanicukup beragam. Responden petani Hutan Rakyat memiliki persepsi positif mengenai tujuan kegiatan penyuluhan (Tabel 36). Tujuan-tujuan, harapan-harapan atas hasil, nilai-nilai, dan efikasi-diri menurut Schunk (2012) sangat penting pengaruhnya terhadap pembelajaran. Sebuah tujuan mencerminkan maksud seseorang dan mengacu pada kuantitas, kualitas atau nilai praktik. Penentuan tujuan merupakan penetapan standar atau arah pencapaian yang menjadi target dari tindakan seseorang. Tindakan seseorang dalam hal ini diarahkan oleh kebutuhan yang dirasakannya. Dalam konteks pengelolaan Hutan Rakyat, kebutuhan petani adalah memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang lebih memadai untuk mengelola Hutan Rakyat. Pemahaman mengenai tujuan kegiatan penyuluhan menjadi penting bagi petani untuk menentukan apakah kegiatan tersebut dapat membantu memenuhi 94 94 kebutuhannya terhadap tambahan pengetahuan dan keterampilan mengelola Hutan Rakyatnya. Tabel 36. Persepsi responden terhadap pemahaman tujuan kegiatan penyuluhan Tujuan kegiatan Penyuluhan 1. Sarana mendiskusikan masalah petani di lahan dengan penyuluh kehutanan/ketua kelompok tani, dan petani lainnya 2. Meningkatkan pengetahuan/keterampilan petani mengelola Hutan Rakyat 3. Menyebarkan perkembangan terbaru mengenai kayu rakyat 4. Wadah silahturahmi antar sesama petani Hutan Rakyat 5. Kegiatan kelompok tani yang harus diikuti petani a Ya (%) 44 (80,00) 44 (80,00) 43 (78,10) 20 (36,40) 42 (76,40) Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Tingkat pemahaman terhadap tujuan kegiatan penyuluhan terbagi menjadi tinggi, sedang, dan rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pemahaman tujuan kegiatan penyuluhan responden petani Hutan Rakyat tergolong sedang (Tabel 37). Tabel 37. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat pemahaman tujuan kegiatan penyuluhan Tingkat kemampuan berkomunikasi Jumlah n Persentase No. personal sumber belajar (jiwa) (%) 1. Rendah (skor : < 12) 9 16,36 2. Sedang (skor : 12-18) 27 49,10 3. Tinggi (skor : > 18) 19 34,54 Jumlah 55 100,00 a Sumber : Olahan Data Primer, 2012 6.3.2 Materi Penyuluhan Mosher (1966) mengemukakan bahwa mengolah lahan bukanlah sekedar kegiatan bertani untuk menghasilkan suatu produk, tetapi merupakan suatu sistem produksi yang memadukan unsur-unsur manusia, modal, tenaga kerja, sumber daya alam, kelembagaan, dan didukung oleh sarana serta prasarana yang 95 memadai. Oleh karena itu pokok bahasan yang perlu disampaikan pendamping belajar kepada petani Hutan Rakyat harus mencakup banyak hal, baik yang berkaitan langsung dengan kegiatan pengelolaan di lahan, pengelolaan rumah tangga petani, kelembagaan kelompok tani, maupun program Hutan Rakyat secara keseluruhan. Materi penyuluhan merupakan segala pesan yang ingin dikomunikasikan oleh seorang penyuluh kepada masyarakat sasarannya. Pesan yang disampaikan harus bersifat informatif, persuasif, penghiburan, dan sekaligus inovatif yang mampu mendorong perubahan sehingga terjadi perbaikan mutu kualitas kehidupan masyarakat sasaran. Materi penyuluhan dalam kegiatan penyuluhan kehutanan di lokasi penelitian tidak diberikan dalam bentuk pengajaran di kelas. Materi penyuluhan biasanya diberikan di saung tempat pertemuan kelompok tani di lahan dan lebihbanyak bersifat lisan, yaitu berupa : (1) informasi/pengetahuan mengenai pembibitan kayu sengon, cara penanaman, pemeliharaan terhadap hama/penyakit, dan (2) pengalaman dari petani yang sudah berhasil mengelola lahannya atau dari pihak-pihak lain yang lebih dulu terlibat dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Bentuk lisan materi penyuluhan disampaikan dalam bentuk diskusi ataupun ceramah dalam pertemuan kelompok tani. Materi penyuluhan meliputi informasi/pengetahuan terkait Hutan Rakyat yang perlu disampaikan kepada petani sebagian besar disampaikan melalui praktik langsung di lahan. Pada kegiatan pembibitan di awal pembuatan Hutan Rakyat, responden petani Hutan Rakyat mempelajari langkah-langkah pembuatan bibit tanaman kayu Sengon dengan langsung terlibat pada kegiatan pembibitan Hutan Rakyat yang diselenggarakan kelompok tani. Kelompok tani hanya beberapa kali mendapat bantuan berupa brosur, leaflet dan majalah dari instansi penyuluhan maupun UPT Kehutanan setempat, sehingga materi penyuluhan jumlahnya sangat terbatas. Pencapaian pengembangan Hutan Rakyat di lokasi penelitian saat ini ditentukan oleh kualitas materi penyuluhan yang diterima oleh masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden petani Hutan Rakyat memiliki persepsi positif terhadap kualitas 96 96 materi penyuluhan. Sebanyak 81,8 persen responden menyatakan bahwa materi penyuluhan memberi informasi/pengetahuan mengenai cara menanam kayu dan tanaman sela sesuai aturan yang ditetapkan di kehutanan dan 76,4 persen lainnya menyatakan bahwa materi penyuluhan dapat menjadi panduan memecahkan masalah hama/penyakit di lahan Hutan Rakyat. Sedangkan sisanya menyatakan bahwa bahasa mudah dimengerti, petunjuk dapat langsung dipraktekkan dilahan, dan sesuai dengan kebiasaan masyarakat adalah sebanyak 72,7 persen (Tabel 38). Tabel 38. Persepsi responden terhadap materi penyuluhan kehutanan Materi penyuluhan kehutanan 1. Memberi informasi/pengetahuan mengenai cara menanam kayu dan tanaman sela sesuai aturan yang ditetapkan di kehutanan 2. Bisa menjadi panduan memecahkan masalah hama/penyakit di lahan Hutan Rakyat 3. Disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti 4. Petunjuk menanam bisa langsung dipraktekkan di lahan 5. Memberi petunjuk cara bercocok tanam yang disesuaikan dengan budaya/ kebiasaan masyarakat setempat a Ya (%) 45 (81,80) 42 (76,40) 40 (72,70) 40 (72,70) 40 (72,70) Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Kategori materi penyuluhan terbagi menjadi kurang berkualitas, cukup berkualitas, dan berkualitas baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas materi penyuluhan menurut persepsi responden petani Hutan Rakyat tergolong berkualitas baik (Tabel 39). Tabel 39. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap kualitas materi penyuluhan Jumlah n Persentase No. Kualitas materi penyuluhan (jiwa) (%) 1 Kurang berkualitas (skor : < 12) 7 12,72 2 Cukup berkualitas (skor : 12-18) 20 36,38 3 Berkualitas baik (skor : > 18) 28 50,90 Jumlah 55 100,00 a Sumber : Olahan data primer, 2012 97 Berdasarkan wawancara mendalam, responden beranggapan bahwa materi penyuluhan yang digunakan saat ini mendukung responden memperoleh tambahan pengetahuan mengenai pengelolaan Hutan Rakyat melalui kegiatan penyuluhan kehutanan dan proses pembelajaran Hutan Rakyat dalam kelompok tani. 6.3.3 Metode Penyuluhan Metode penyuluhan kehutanan dalam pengelolaan Hutan Rakyat adalah cara-cara yang digunakan oleh pendamping belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran petani mengenai pengelolaan Hutan Rakyat. Efektifitas hasil belajar salah satunya ditentukan oleh metode penyuluhan yang digunakan. Persepsi responden petani Hutan Rakyat terhadap kualitas metode penyuluhan adalah berdasarkan bentuk pertemuan petani dan sumber belajar, demonstrasi dan pelatihan, serta media pembelajaran yang digunakan (Tabel 40). Tabel 40. Persepsi responden terhadap kualitas metode penyuluhan kehutanan Metode Penyuluhan 1. Sumber belajar berkunjung ke rumah petani 2. Sumber belajar berkunjung ke lahan Hutan Rakyat 3. Petani mendengarkan ceramah dari penyuluh kehutanan/ketua kelompok tani di pertemuan kelompok tani 4. Petani saling berdiskusi di pertemuan kelompok tani 5. Petani memperoleh tambahan pengetahuan/keterampilan dari sesama petani (Getok Tular) 6. Petani berdiskusi dengan petani lainnya di waktu senggang 7. Pendamping belajar membuat demplot penanaman kayu Hutan Rakyat (demonstrasi hasil) 8. Sumber belajar mencontohkan cara pembibitan, pemupukan, atau jarak tanam di lahan (demonstrasi cara) 9. Sumber belajar memfasilitasi petani mengikuti pelatihan terkait Hutan Rakyat 10. Petani memperoleh brosur/leaflet/majalah/surat kabar terkait Hutan Rakyat 11. Sumber belajar menggunakan media audiovideo/radio/televisi dalam pembelajaran Hutan Rakyat Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Ya (%) 14 (25,50) 41 (74,50) 44 (80,00) 47 (85,40) 42 (76,40) 46 (83,70) 44 (80,00) 39 (70,90) 12 (21,80) 15 (27,30) 13 (23,60) 98 98 Kegiatan penyuluhan kehutanan terkait Hutan Rakyat di lokasi penelitian biasanya dilakukan di saung yang terletak di areal Hutan Rakyat. Jadwal pertemuan terbagi menjadi jadwal rutin dan jadwal yang disesuaikan dengan kebutuhan kelompok tani, yaitu misalnya apabila ada perkembangan terbaru yang perlu dikomunikasikan oleh ketua kelompok tani atau penyuluh kehutanan kepada para petani Hutan Rakyat. Bangunan saung tersebut sebenarnya sudah kurang layak dijadikan tempat pertemuan, namun demikian bagi para responden petani Hutan Rakyat kondisi bangunan tempat pertemuan tersebut sudah cukup memadai, dikarenakan posisinya yang strategis di areal tempat mereka bekerja. Ketua Kelompok tani atau penyuluh kehutanan, selain mengadakan pertemuan secara berkala dengan responden petani Hutan Rakyat di saung, juga secara teratur berkunjung ke masing-masing lahan Hutan Rakyat secara bergiliran. Penyebaran informasi baru dalam kelompok tani paling efektif dilakukan melalui cara dari mulut ke mulut (getok tular), baik dilakukan oleh ketua kelompok tani dengan petani maupun antara petani dan petani. Hal itu juga berlaku untuk pelaksanaan kegiatan produksi Hutan Rakyat, undangan untuk pertemuan kelompok tani dilakukan dari mulut ke mulut tanpa undangan tertulis. Pada awal pembangunan Hutan Rakyat, tidak semua anggota kelompok tani Saluyu II tertarik mengikuti program Hutan Rakyat di areal permodelan Hutan Rakyat, dikarenakan Hutan Rakyat bagi sebagian anggota kelompok tani memuat cara-cara baru dalam bercocok-tanam yang memiliki bentuk berbeda dengan pertanian lahan basah yang lebih dulu mereka lakukan. Ketertarikan petani terhadap Hutan Rakyat dibangun ketika ketua kelompok tani memelopori pembangunan Hutan Rakyat di petak lahan miliknya yang terletak di areal permodelan Hutan Rakyat. Pertumbuhan kayu sengon yang cepat dan penanganan yang mudah dengan peluang penjualan yang menjanjikan, mendorong anggota kelompok tani tertarik ikut mengusahakan Hutan Rakyat, dengan menggabungkan penanaman tanaman keras, tanaman semusim, termasuk buah-buahan di lahan miliknya. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Lionberger and Gwin (1982) bahwa sebelum individu mengadopsi 99 pengetahuan atau teknologi baru, terdapat tahapan berupa kesadaran (awareness), merasa tertarik (Interest), mengevaluasi (Evaluation), mencoba (trial) dan terakhir mengadopsi (Adoption). Berdasarkan wawancara mendalam, sebelum responden memutuskan mengusahakan Hutan Rakyat di lahan miliknya, mereka terlebih dahulu merasa tertarik dengan perkembangan Hutan Rakyat di petak penanaman yang dirintis oleh Ketua kelompok tani sekaligus dengan potensi keuntungan yang dapat diperoleh. Setelah melalui berbagai pertimbangan mengenai kemampuan sumberdaya yang dimiliki, petani mulai mencoba menanam kayu sengon di lahannya, sebelum akhirnya responden petani Hutan Rakyat memutuskan mengadopsi pengelolaan lahan dengan pola Hutan Rakyat pada skala yang lebih besar. Pada tahapan mengadopsi tersebut terjadi proses pembelajaran dalam diri petani mengenai pengelolaan Hutan Rakyat. Pelatihan terkait Hutan Rakyat hanya diberikan pada awal pembangunan areal permodelan Hutan Rakyat, yaitu pelatihan mengenai cara pembibitan dan penanaman kayu Sengon. Pelatihan tersebut diikuti hampir seluruh responden petani Hutan Rakyat karena sifatnya untuk mempersiapkan petani terlibat dalam pembangunan areal permodelan Hutan Rakyat. Pelatihan tersebut tidak diikuti dengan pelatihan di bidang Kehutanan lainnya secara berkelanjutan. Apabila terdapat pelatihan di bidang kehutanan lainnya biasanya hanya diikuti oleh ketua kelompok tani yang akan menyebarkan hasil pelatihan atau pameran kehutanan kepada anggota kelompok tani lainnya. Ketua kelompok tani terkadang juga mengajak wakilnya atau beberapa anggota kelompok tani lainnya yang tergolong senior mengikuti kegiatan pelatihan atau pameran kehutanan.Hal itu menunjukkan bahwa kesempatan tiap-tiap petani Hutan Rakyat mengikuti pelatihan atau pameran kehutanan masih sangat terbatas. Penggunaan media pembelajaran berdasarkan wawancara dan pengamatan lapangan dapat dikategorikan masih sangat minim. Bantuan berupa buku-buku, brosur/leaflet, dan majalah/surat kabar sangat jarang diperoleh. Bantuan diberikan kepada kelompok dan bukan kepada masing-masing anggota 100 100 kelompok tani. Sebagian besar bantuan diberikan hanya pada awal pengembangan Hutan Rakyat. Pembelajaran petani Hutan Rakyat juga tidak menggunakan media elektronik seperti media radio atau televisi. Kualitas metode penyuluhan terbagi menjadi kategori tinggi, sedang, dan rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas metode penyuluhan tergolong sedang Tabel 41). Tabel 41. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap kualitas metode penyuluhan Jumlah n Persentase (%) No. Kualitas metode penyuluhan (jiwa) 1 Rendah (skor : < 22) 2 3,64 2 Sedang (skor : 22-33) 49 89,09 3 Tinggi (skor : >33) 4 7,27 Jumlah 55 100,00 a Sumber : Diolah dari, 2012 6.3.4 Sarana dan Prasarana Penunjang Kegiatan Penyuluhan Persepsi mengenai kualitas sarana dan prasarana kegiatan penyuluhan mengandung pengertian mengenai efektivitas sarana dan prasarana penunjang kegiatan penyuluhan yang membantu responden memperoleh tambahan informasi/pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Pengelolaan Hutan Rakyat merupakan suatu proses pembelajaran bagi responden petani Hutan Rakyat. Sarana dan prasarana kegiatan penyuluhan meliputi ketersediaan media pembelajaran dan efektifitasnya memberikan tambahan informasi dan pengetahuan bagi responden petani Hutan Rakyat. Media pembelajaran menurut Gerlach & Ely (1971) dalam Arsyad (2011) dapat dipahami bahwa secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat pembelajar mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Arsyad (1997) secara implisit mengemukakan bahwa media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pembelajaran, yaitu buku, tape recorder, kaset, video camera, video recorder, film, slide (bingkai), foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer. 101 Arsyad (1997) mengemukakan pula bahwa media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat berpengaruh terhadap efektivitas pembelajaran. Efektivitas pembelajaran dapat dilihat dari adanya tambahan pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan Hutan Rakyat yang diperolehresponden melalui penggunaan media pembelajaran yang tersedia di lokasi penelitian (Tabel 42). Tabel 42. Persentase persepsi responden terhadap ketersediaan sarana dan prasarana penunjang kegiatan Penyuluhan Kehutanan 1. 2. 3. 4. a Sarana dan Prasarana Penunjang Kegiatan Penyuluhan Ya (%) Tempat pertemuan/kegiatan Alat bantu papan tulis Buku panduan teknis/juknis terkait Hutan Rakyat Brosur/leaflet/majalah/surat kabar terkait Hutan Rakyat 41 (74,60) 41 (74,60) 25 (45,50) 12 (21,80) Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Berdasarkan pengamatan dan wawancara di lapangan, ketersediaan sarana dan prasarana kegiatan penyuluhan masih sangat terbatas. Kegiatan penyuluhan kehutanan yang diselenggarakan oleh kelompok tani dilaksanakan di saung yang terletak di lahan Hutan Rakyat dengan kondisi yang sudah memerlukan perbaikan. Namun demikian, kondisi tersebut dapat diterima oleh responden petani Hutan Rakyat karena letaknya yang berdekatan dengan lahan milik petani, sehingga petani tidak perlu membuang waktu pergi ke tempat pertemuan yang berjauhan. Apabila membutuhkan tempat yang lebih luas, kelompok tani akan menyelenggarakan kegiatan penyuluhan di bangunan gedung yang pada pagi hari digunakan sebagai sekolah untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), tempat tersebut menjadi alternatif berkumpulnya anggota kelompok tani Saluyu II untuk menyelenggarakan kegiatan penyuluhan dan rapat rutin diantara para anggota. Alat bantu berupa papan tulis (whiteboard) hanya terdapat di rumah kelompok tani, yang digunakan apabila diperlukan. Di ruangan tersebut juga disimpan buku-buku dan brosur terkait Hutan Rakyat untuk dibaca oleh anggota kelompok tani. Sejak tahun 2008, responden hanya sekali memperoleh 102 102 bantuan berupa pemberian leaflet/brosur terkait Hutan Rakyat. Jumlah bantuan yang terbatas menjadikan leaflet/brosur hanya dapat dibaca oleh responden secara bergiliran, bahkan beberapa responden menyatakan tidak tahu-menahu tentang adanya bantuan tersebut. Ketersediaan leaflet/brosur terkait Hutan Rakyat tidak selalu diperbaharui oleh kelompok tani melalui pembelian dikarenakan keterbatasan biaya. Kegiatan penyuluhan kehutanan tidak menggunakan alat bantu elektronik berupa komputer untuk membantu pembelajaran petani. Kualitas metode penyuluhan terbagi menjadi kategori tinggi, sedang, dan rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas sarana dan prasarana penunjang kegiatan penyuluhan tergolong sedang (Tabel 43). Tabel 43. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap kualitas sarana dan prasana penunjang kegiatan penyuluhan Tingkat kemampuan berkomunikasi Jumlah n Persentase No. personal sumber belajar (jiwa) (%) 1 Rendah (skor : < 8) 3 5,45 2 Sedang (skor : 8-12) 45 81,82 3 Tinggi (skor : > 12) 7 12.73 Jumlah 55 100,00 a Sumber : Olahan Data Primer, 2012 6.4. Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat Kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat adalah kelompok tani Hutan Rakyat. Kelompok tani Hutan Rakyat berfungsi sebagai wadah bagi para petani untuk menyalurkan aspirasinya dan bertugas melaksanakan kegiatan-kegiatan di lapangan yang dikerjakan secara berkelompok. Keberadaan kelompok tani Hutan Rakyat membantu petani Hutan Rakyat dapat berkomunikasi dengan sesama petani Hutan Rakyat lainnya dan juga pihak-pihak lain untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi sebagai petani. 103 6.4.1 Pola Hubungan Kerja dalam Kelompok Tani Pola hubungan kerja dalam kelompok tani Hutan Rakyat adalah berdasarkan kesepakatan bersama melalui musyarawah di antara anggotanya. Pola hubungan kerja dalam kelompok tani masih diwarnai nilai-nilai gotongroyong diantara seluruh anggotanya. Selain nilai-nilai gotong-royong petani, di dalam kelompok tani terdapat aturan-aturan tidak tertulis yang sepakat dipatuhi bersama oleh para anggotanya. Kepatuhan anggota kelompok tani terhadap aturan yang berlaku terkait erat dengan fakta bahwa keputusan bergabung menjadi anggota kelompok tani Hutan Rakyat dilakukan dengan kesadaran untuk mengikuti aturan yang berlaku dalam kelompok tani tersebut. Berdasarkan wawancara mendalam, responden tidak memperoleh sosialisasi yang cukup mengenai aturan-aturan yang harus dipatuhi sebagai anggota kelompok tani dan hanya mengikuti kebiasaan yang sudah berlaku sebelumnya. Pola hubungan kerja dalam kelompok tani Hutan Rakyat diukur berdasarkan frekuensi pelaksanakan kegiatan berdasarkan musyawarah, terdapat aturan kerja yang disepakati bersama, dan kerjasama yanga di antara anggota kelompok tani (Tabel 44). Kelembagaan kelompok tani Hutan Rakyat dapat berjalan dengan baik, apabila dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai. Sarana dan prasarana Kelompok tani Hutan Rakyat Saluyu II secara formal sudah memiliki Ketua kelompok, sekretaris, dan bendahara. Namun demikian dalam kesehariannya susunan pengurus kelompok tani belum sepenuhnya dipahami petani. Pengurus kelompok tani bagi responden identik dengan ketua kelompok. Kelompok tani belum mendokumentasikan secara tertulis aturan yang berlaku di kelompok tani dalam bentuk AD/ART. Kelompok tani belum memiliki sub-sub bidang kerja yang mempermudah pelaksanaan kegiatan Hutan Rakyat. Namun demikian kelompok tani secara teratur menyelenggarakan pertemuan kelompok tani Hutan Rakyat terutama membahas perkembangan terbaru dan rencana kegiatan di lahan. 104 104 Tabel 44. Persepsi responden terhadap pola hubungan kerja antar anggota dalam kelompok tani Hutan Rakyat Pola hubungan kerja 1. Pelaksanaan kegiatan berdasarkan musyawarah 2. Terdapat aturan kerja yang disepakati bersama 3. Kerjasama yang baik di antara anggota kelompok tani a b Sering (%)b 46 (83,60) 45 (81,80) 38 (69,10) Sumber : Olahan data primer, 2012 Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan Kualitas pola hubungan kerja antar anggota kelompok dalam kelompok tani Hutan Rakyat terbagi menjadi kategori tidak terikat pada aturan kerja yang berlaku, longgar terhadap aturan kerja yang berlaku, dan sangat terikat pada aturan kerja yang berlaku (Tabel 45). Tabel 45. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap pola hubungan kerja antar anggota dalam kelompok tani Hutan Rakyat No Tingkat kemampuan berkomunikasi personal Jumlah n Persentase . sumber belajar (jiwa) (%) 1 Tidak terikat terhadap aturan kerja yang 0 0,00 berlaku (skor : <6) 2 Longgar terhadap aturan kerja yang berlaku 41 74,55 (skor : 6-9) 3 Terikat pada aturan kerja yang berlaku 14 25,55 (skor : >9) Jumlah 55 100,00 a Sumber : Diolah dari, 2012 Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola hubungan kerja antar anggota dalam kelompok tani Hutan Rakyat tergolong longgar terhadap aturan kerja yang berlaku dalam kelompok tani Hutan Rakyat. 6.4.2 Pengorganisasian Kegiatan Produksi Pengorganisasian kegiatan produksi di kelompok tani adalah berdasarkan adanya musyawarah untuk memperoleh kata sepakat dari para anggota kelompok tani dan koordinasi yang dilakukan kelompok tani. Kelompok tani sebagai 105 kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat belum mengembangkan mekanisme pengembangan kapasitas secara sistematis bagi anggotanya. Pengembangan kapasitas tersebut antara lain adalah pelatihan-pelatihan di bidang Hutan Rakyat yang difasilitasi oleh kelompok tani. Hal tersebut kiranya berkaitan dengan keterbatasan anggaran dan akses dari kelompok tani yang bersangkutan. Pengorganisasian kegiatan produksi yang berjalan di kelompok tani saat ini pada dasarnya bertumpu pada aspek kesepakatan atau musyawarah dan peran ketua kelompok tani untuk mengkoordinasikan anggotanya.Kelompok tani belum memfasilitasi kegiatan pemasaran kayu-kayu hasil Hutan Rakyat, terutama dikarenakan keterbatasan akses terhadap aspek pemasaran (Tabel 46). Tabel 46. Persepsi responden terhadap pengorganisasian kegiatan produksi dalam kelompok tani Hutan Rakyat Pengorganisasian kegiatan produksi 1. Kesepakatan anggota tentang pembagian kerja 2. Kegiatan kelompok tani berjalan berdasarkan instruksi Ketua Kelompok tani 3. Musyawarah terkait rencana kegiatan kelompok 4. Penunjukan anggota yang bertanggung jawab 5. Mekanisme koordinasi diantara anggota kelompok 6. Fasilitasi pemasaran kayu oleh kelompok tani 7. Fasilitasi pelatihan kehutanan oleh kelompok tani a b Sering (%) b 43 (78,2) 42 (76,4) 41 (74,5) 40 (72,7) 34 (61,8) 10 (18,2) 6 (10,9) Sumber : Olahan data primer, 2012 Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan Selain itu, produksi kayu yang dapat dipanen masih cukup belum memadai. Berdasarkan kondisi kelompok tani Hutan Rakyat saat ini, kelompok tani masih belum menerapkan prinsip-prinsip organisasi modern. Kelompok tani Hutan Rakyat Saluyu II berada dalam masa transisi tradisional menjadi modern. Pengorganisasian kegiatan produksi terbagi menjadi kategori tidak ada pembagian kerja, ada pembagian kerja tetapi tidak berkesinambungan, dan ada pembagian kerja yang jelas dan berkesinambungan (Tabel 47). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengorganisasian kegiatan produksi Hutan Rakyat termasuk dalam kategori ada pembagian kerja tetapi belum berkesinambungan. Hal 106 106 tersebut sejalan dengan pengamatan di lapangan, bahwa di antara anggota kelompok tani sudah terdapat pembagian kerja namun dalam pelaksanaannya belum sangat mengikat. Tabel 47. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap pengorganisasian kegiatan produksi Hutan Rakyat Jumlah n Persentase No. Pengorganisasian kegiatan produksi (jiwa) (%) 1. Tidak ada pembagian kerja (skor : <14) 1 1,82 2. Ada pembagian kerja tetapi tidak 52 94,54 berkesinambungan (skor : 14-21) 3. Ada pembagian kerja yang jelas dan 2 3,64 berkesinambungan (skor : > 21) Jumlah 55 100,00 a Sumber : Olahan Data Primer, 2012 6.4.3 Norma sosial dalam Kelompok Tani Aturan-aturan tidak tertulis di dalam kelompok tani yang dipatuhi oleh anggota kelompok secara tidak langsung mengatur hubungan kerja dan hubungan-hubungan sosial yang terjadi didalamnya. Seperti halnya nilai-nilai gotong-royong, musyawarah, dan hal-hal yang dilarang dilakukan dalam kelompok tani (Tabel 48). Tabel 48. Persepsi responden terhadap norma sosial dalam kelompok tani Hutan Rakyat Norma sosial dalam kelompok tani 1. Terdapat aturan tidak tertulis yang disepakati bersama 2. Sanksi sosial terhadap pelanggaran anggota 3. Kepatuhan anggota terhadap aturan tidak tertulis a b Sering (%) b 48 (87,30) 42 (76,30) 40 (72,70) Sumber : Olahan data primer, 2012 Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan Pelanggaran terhadap larangan kelompok tersebut akan diberikan sanksi sebagai hukuman (punisment). Pemberian sanksi berupa teguran sampai sanksi berupa tidak dilibatkan dalam kegiatan kelompok merupakan salah satu mekanisme untuk menjaga keterikatan anggota kelompoknya terhadap 107 kelembagaan kelompok tani. Ikatan norma sosial kelompok tani menjaga solidaritas dan kemapanan kelompok. Norma sosial yang mengikat anggota kelompok tani Hutan Rakyat terbagi menjadi kategori tidak mengikat, cukup mengikat, dan sangat mengikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa norma sosial dalam kelompok tani Hutan Rakyat termasuk dalam kategori mengikat anggota kelompoknya (Tabel 49). Tabel 49. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap norma sosial dalam kelompok tani Hutan Rakyat Jumlah n Persentase No. Norma sosial dalam kelompok (jiwa) (%) 1 Tidak mengikat (skor : <6) 0 0,00 2 Mengikat (skor : 6-9) 47 85,45 3 Sangat mengikat (skor : >9) 8 14,55 Jumlah 55 100,00 a Sumber : Olahan Data Primer, 2012 6.4.4 Hutan Rakyat dan Keterlibatan Multipihak Penyelenggaraan kegiatan Hutan Rakyat dalam konteks kelembagaan Hutan Rakyat melibatkan parapihak. Peranan kelembagaan sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan pengembangan Hutan Rakyat (Tabel 50). Tabel 50. Persepsi responden mengenai instansi/lembaga/unit usaha yang mendukung penyelenggaraan Hutan Rakyat No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. a Instansi/lembaga/unit usaha Dinas Kehutanan Kabupaten BPDAS Citarum-Ciliwung BP4K/BP3K Ciampea GAPOKTAN Pemerintah Desa LSM Unit Perbankan Industri pemasaran kayu Sumber : Olahan data primer, 2012 0 5 % 9,09 11 6 8 4 53 55 55 20 10,9 14,54 7,27 96,36 100 100 Jumlah N=55 Frekuensi kegiatan (bulan) >6 % 3-6 % 1-3 8 14,5 39 70,9 3 36 38 35 12 2 - 65,45 69,09 63,63 21,81 3,63 - 4 8 8 35 - 7,27 14,5 14,5 63,6 - 4 3 3 4 - % 5,45 7,27 5,45 5,45 7,27 - 108 108 Kelembagaan Hutan Rakyat berkaitan dengan campur tangan pemerintah dalam proses berkembangnya Hutan Rakyat di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi kegiatan yang diselenggarakan oleh instansi terkait dalam menyelenggarakan kegiatan penyuluhan Hutan Rakyat masih rendah. Tabel 50 menunjukkan bahwa unit perbankan dan industri pemasaran kayu belum masuk dalam skema pengelolaan Hutan Rakyat. Beberapa studi19 menunjukkan bahwa aspek pemasaran dalam pengelolaan Hutan Rakyat menempati peran yang penting. 6.5 Hubungan Interpersonal Hubungan interpersonal atau relasi antarpribadi menurut Pearson (1983) adalah hubungan yang terdiri dari dua orang atau lebih yang saling terikat satu sama lain dan menggunakan pola interaksi yang konsisten. Hubungan interpersonal mengandung adanya proses interaksi di antara personal atau pribadi yang terlibat di dalam hubungan tersebut. Interaksi merupakan hubungan timbal balik, yang saling berpengaruh satu sama lain. Interaksi yang terjadi antara individu dengan individu lainnya disebut interaksi sosial. Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Interaksi sosial merupakan proses komunikasi di antara individu untuk saling mempengaruhi perasaan, pikiran, dan tindakan. Proses komunikasi yang terjadi dalam hubungan interpersonal disebut komunikasi interpersonal. Mosher (1966) mengemukakan bahwa petani lebih dari sekedar seorang petani dan seorang manajer. Petani adalah individu mandiri sekaligusmerupakan anggota dari keluarganya dan anggota masyarakat dimana ia tinggal. Hubungan interpersonal petani merupakan terjadinya proses interaksi antara petani dengan keluarganya, petani dengan kelompok masyarakat di lingkungan kerjanya dan kelompok masyarakat di lingkungan sosialnya. Oleh karena itu hubungan interpersonal petani Hutan Rakyat mengandung pengertian terjadinya interaksi 19 Hutan Rakyat di Kab. Wonogiri, Kab. Gunung Kidul, dan Konawe Selatan 109 antara petani Hutan Rakyat dengan keluarganya, petani Hutan Rakyat dengan pendamping belajarnya, dan petani dengan masyarakat. 6.5.1 Interaksi Petani dan Keluarganya dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat di mana keluarga berhubungan dengan masyarakat atau lingkungannya. Petani Hutan Rakyat tidak dapat dipisahkan keterkaitannya dari keluarga yang melingkupinya. Di dalam keluarga terdapat individu-individu yang saling berinteraksi satu sama lain. Komunikasi antarpribadi antara petani dan anggota keluarganya adalah bentuk interaksi yang terjadi di dalam keluarga petani Hutan Rakyat. De Vito (1976) mengemukakan bahwa komunikasi antarpribadi mengandung lima karakteristik yaitu keterbukaan, empati, dukungan, perasaan positif dan kesamaan. Dalam konteks pengelolaan Hutan Rakyat, salah satu bentuk interaksi di dalam rumah tangga petani Hutan Rakyat adalah dukungan anggota keluarga terhadap petani dalam mengelola Hutan Rakyat. Berdasarkan tabel 51, sebanyak 43,63 persen responden menyatakan bahwa anggota keluarga yang memberikan dukungan mengelola Hutan Rakyat adalah istri dan anak. Hal tersebut menunjukkan bahwa dukungan paling besar yang diterima responden petani Hutan Rakyat adalah berasal dari keluarga inti, yaitu istri dan anak. Tabel 51. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap anggota keluarga yang mendukung pengelolaan Hutan Rakyat Jumlah n No. Anggota Keluarga Persentase (%) (jiwa) 1. Istri dan anak 24 43,63 2. Istri 15 27,27 3. Anak 4 7,27 4. Suami 3 5,45 5. Kerabat jauh 3 5,45 4. Tidak ada 3 5,45 6. Istri, anak, dan kerabat jauh 2 3,63 7. Mertua 1 1,81 Jumlah 55 100,00 a Sumber : Olahan data primer, 2012 110 110 Mosher (1966) mengemukakan bahwa petani adalah individu yang memutuskan apa yang akan diusahakan atau akan ditanam berikut cara pengelolaannya di lahan milik. Namun demikian keputusan petani tersebut pada dasarnya adalah keputusan keluarga (family decision) dikarenakan banyak kegiatan produksi dalam Hutan Rakyat yang ikut dilakukan oleh anggota keluarga lainnya. Keputusan petani mengelola Hutan Rakyat diikuti implikasi berupa dukungan keluarga dalam bentuk dukungan semangat, tenaga kerja, bantuan uang, dan saran/teknis pengelolaan Hutan Rakyat. Bentuk sikap positif keluarga terhadap pengembangan Hutan Rakyat meliputi persetujuan atau dorongan terhadap responden untuk mengikuti program Hutan Rakyat. Dukungan tersebut dapat pula berupa bantuan dari anggota keluarga untuk membantu mengerjakan kegiatan produksi di lahan Hutan Rakyat. Anggota keluarga juga dapat memberikan saran/masukan budidaya Hutan Rakyat apabila anggota keluarga yang bersangkutan lebih berpengalaman dan memiliki informasi yang diperlukan. Selain itu dukungan anggota keluarga juga dapat berupa pinjaman modal atau informasi mengenai penyediaan sarana produksi bagi responden, misalnya penyediaan pupuk, benih/bibit, dan perangkat bercocok tanam. Tabel 52. Persepsi responden terhadap jenis dukungan anggota pengelolaan Hutan Rakyat Dukungan anggota keluarga dalam pengelolaan Hutan Rakyat 1. Keluarga memberikan bantuan sebagai tenaga kerja 2. Keluarga memberikan persetujuan mengelola usahatani Hutan Rakyat 3. Keluarga beranggapan hutan rakyat bermanfaat dan menguntungan di masa depan 4. Keluarga memberikan modal (hibah/pinjaman uang) 5. Keluarga memberikan sarana/masukan teknis lapangan 6. Keluarga memberikan informasi penyediaan saprodi a b Sumber : Olahan data primer, 2012 Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan keluarga dalam Sering (%)b 48 (87,30) 43 (96,40) 40 (90,90) 20 (36,30) 13 (23,70) 12 (21,90) 111 Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis dukungan dari anggota keluarga terhadap keputusan responden untuk mengelola Hutan Rakyat cukup beragam. Sebanyak 96,4 persen dan 90,9 persen responden menyatakan bahwa jenis dukungan yang diterima anggota keluarga berupa sikap positif terhadap pengelolaan Hutan Rakyat dan bantuan tenaga kerja. Sikap positif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persetujuan lisan atau dorongan dari anggota keluarga untuk mengelola Hutan Rakyat. Sikap positif tersebut merupakan bagian keputusan rumah tangga petani untuk mengelola Hutan Rakyat, yang dikuti dengan dukungan dalam bentuk penggunaan tenaga kerja dari anggota keluarga pada kegiatan produksi di lahan sebagai bentuk dukungan lain yang diberikan anggota keluarga kepada responden petani Hutan Rakyat. Berdasarkan wawancara mendalam dan pengamatan lapangan, responden petani Hutan Rakyat banyak melibatkan anggota keluarga inti, yaitu suami/istri, anak laki-laki, menantu laki-laki dalam kegiatan produksi Hutan Rakyat. Bentuk keterlibatan tersebut banyak ditemuka terutama pada lahan-lahan milik Hutan Rakyat dengan luasan sempit (< 0,5 Ha). Biaya produksi diminimalkan dengan cara menggunakan tenaga dari anggota keluarga. Pada lahan Hutan Rakyat yang cukup luas (> 3 Ha) banyak ditemukan tenaga kerja yang berasal dari kerabat jauh dan bukan berasal dari keluarga inti. Mosher (1966) menggarisbawahi bahwa sebagian besar keputusan terkait kegiatan bercocok-tanam di lahan masih berada di tangan petani, namun keputusan tersebut diambil berdasarkan posisinya sebagai anggota keluarga, apa yang menurutnya dapat ia lakukan untuk anggota keluarga yang lain, dan pengaruh dari anggota keluarga lainnya. Keterikatan terhadap hasil produksi membuat anggota keluarga petani mendorong petani memutuskan sesuatu terkait kegiatan produksi di lahan termasuk mengadopsi cara-cara baru yang dapat menjamin hasil produksi di lahan yang mereka miliki. Dalam pelaksanaan Hutan Rakyat, kuat tidaknya dukungan keluarga terhadap keterlibatan responden dalam Hutan Rakyat berhubungan dengan 112 112 keputusan responden petani Hutan Rakyat sebagai keputusan keluarga. Keberhasilan pembelajaran mengenai pengelolaan Hutan Rakyat di lahan milik dengan menggabungkan tanaman keras dan tanaman semusim (palawija) bagi responden petani Hutan Rakyat ikut ditentukan oleh dukungan keluarga. Tingkat dukungan keluarga petani terhadap petani Hutan Rakyat dalam pengelolaan Hutan Rakyat terbagi menjadi kategori kurang mendukung, cukup mendukung, dan sangat mendukung (Tabel 53). Tabel 53. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat dukungan keluarga petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat No. 1 2 3 a Tingkat Dukungan Keluarga terhadap Petani Hutan Rakyat Kurang mendukung (skor : <12) Cukup mendukung (skor : 12-18) Sangat mendukung (skor : >18) Jumlah Jumlah n (jiwa) 3 47 5 55 Persentase (%) 5,45 85,45 9,10 100,00 Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat dukungan keluarga terhadap keputusan petani mengelola Hutan Rakyat termasuk dalam kategori cukup mendukung. 6.5.2 Interaksi Petani dan Personal Sumber Belajar dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Sumber belajar adalah semua sumber, baik berupa data, orang, dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh siswa dalam belajar, pengertian sumber belajar dalam penelitian ini adalah pendamping belajar petani Hutan Rakyat yang membantu pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat. Berdasarkan paparan hasil penelitian pada sub bab 6.2.1, personal sumber belajar bagi responden petani Hutan Rakyat adalah ketua kelompok tani, penyuluh kehutanan, dan sesama anggota kelompok tani lainnya. Banyak pihak yang terlibat dalam pengelolaan Hutan Rakyat, sehingga pada hakikatnya responden petani Hutan Rakyat dapat melakukan interaksi pembelajar dan personal pendamping belajar dengan pihak- 113 pihak yang sudah lebih berpengalaman dan lebih dahulu terlibat dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Tabel 54. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap personal sumber belajar yang mendukung pengelolaan Hutan Rakyat No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. a Personal sumber belajar yang mendukung pengelolaan Hutan Rakyat Ketua Kelompok Tani Penyuluh Kehutanan dan Ketua Kelompok Tani Rekan sesama anggota kelompok tani yang lebih berpengalaman dan Ketua Kelompok Tani Rekan sesama anggota kelompok tani yang lebih berpengalaman Penyuluh Kehutanan, rekan sesama anggota kelompok tani, Ketua kelompok tani Penyuluh Kehutanan dan rekan sesama anggota kelompok tani Jumlah Jumlah n (jiwa) 28 12 10 Persentase (%) 50,90 21,80 18,20 2 3,60 2 3,60 1 1,80 55 100,00 Sumber : Olahan data primer, 2012 Personal sumber belajar melakukan interaksi dengan responden petani Hutan Rakyat dalam hubungan kerja di lahan sekaligus dalam pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat. Dukungan sumber belajar mengandung hubungan timbal balik antara responden petani dan sumber belajarnya yang memberi manfaat terhadap pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 50,9 persen responden menyatakan bahwa ketua kelompok tani adalah individu sumber belajar yang mampu memberikan tambahan pengetahuan dan keterampilan pengelolaan Hutan Rakyat. Selanjutnya sebanyak 21,8 responden menyatakan bahwa sumber belajar adalah ketua kelompok tani dan Penyuluh Kehutanan, sedangkan sebanyak 18,20 persen menyatakan sumber belajar adalah ketua kelompok tani dan rekan sesama anggota kelompok tani yang lebih berpengalaman. Sisanya adalah masing-masing atau kombinasi gabungan ketiga personal sumber belajar. Dukungan personal sumber belajar responden petani Hutan Rakyat diukur berdasarkan perannya dalam mendorong responden petani mengelola Hutan 114 114 Rakyat, memberikan saran/masukan teknis lapangan, memfasilitasi kegiatan kelompok tani, dan menyediakan informasi yang diperlukan mengenai sarana produksi dan pemasaran Hutan Rakyat. Komunikasi antarpribadi antara personal sumber belajar dan responden petani Hutan Rakyat sebagai pembelajar merupakan bentuk interaksiantara pendamping belajar dan responden petani Hutan Rakyat. Tabel 55. Persepsi responden terhadap jenis dukungan personal sumber belajar dalam pengelolaan Hutan Rakyat Seringb (%) Dukungan pendamping belajar dalam pengelolaan Hutan Rakyat 1. 2. 3. 4. Dorongan mengembangkan Hutan Rakyat Memfasilitasi kegiatan kelompok tani terkait hutan rakyat Memberikan sarana/masukan teknis lapangan Anggapan Hutan Rakyat bermanfaat dan menguntungkan di masa depan 5. Memberikan informasi penyedia saprodi 6. Memberikan informasi pemasaran a b 44 (80,00) 39 (70,90) 37 (67,20) 35 (63,70) 20 (36,40) 19 (34,60) Sumber : Olahan data primer, 2012 Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan Tingkat dukungan personal sumber belajar terhadap petani Hutan Rakyat dalam pengelolaan Hutan Rakyat terbagi menjadi kategori kurang mendukung, cukup mendukung, dan sangat mendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat dukungan keluarga petani terhadap petani Hutan Rakyat dalam pengelolaan Hutan Rakyat termasuk dalam kategori cukup mendukung. Tabel 56. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat dukungan personel sumber belajar dalam pengelolaan Hutan Rakyat No. 1 2 3 a Tingkat dukungan personal sumber belajar terhadap petani Hutan Rakyat Kurang mendukung (skor : <12) Cukup mendukung (skor : 12-18) Sangat mendukung (skor : > 18) Jumlah Sumber : Diolah dari data primer, 2012 Jumlah n (jiwa) 1 51 3 55 Persentase (%) 1,82 92,73 5,45 100,00 115 6.5.3 Interaksi Petani dengan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Petani Hutan Rakyat sebagai makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat, tidak dapat dilepaskan dari lingkungan masyarakat lokal di sekitarnya. Petani berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya, yaitu tetangga di lingkungan tempat tinggalnya, ketua RT/RW setempat, kepala desa ataupun aparat desa lainnya. Mosher (1966) mengemukakan bahwa perilaku petani ditentukan oleh interaksi dan perilaku masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Hal tersebut terkait dengan kebutuhan mengenai keterjaminan (security) bahwa interaksi yang dilakukan dengan masyarakat setempat akan menjamin penerimaan anggota masyarakat terhadap diri petani. Keberlangsungan program pengelolaan hutan yang dikembangkan di suatu daerah harus memperhatikan tradisi/kebiasaan yang berlaku dan memperoleh dukungan dari masyarakat setempat. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 47,3 persen responden menyatakan bahwa anggota masyarakat yang mendukung pengelolaan Hutan Rakyat adalah gabungan antara tetangga dan Ketua RT/RW setempat. Tetangga yang dimaksud pada penelitian ini adalah anggota masyarakat yang tinggal berdekatan atau tinggal di sekitar tempat tinggal responden. Tetangga dapat memiliki lahan Hutan Rakyat atau memiliki mata pencaharian lain. Apabila sedang tidak ada anggota keluarga yang dapat membantu di lahan, responden petani Hutan Rakyat akan meminta bantuan tetangga terdekat yang menguasai pekerjaan yang perlu dilakukan di lahan. Peran Ketua RT/RW lebih kepada memberikan dukungan terkait fasilitasi pelaksanaan kegiatan Hutan Rakyat di daerahnya, antara lain pelaksanaan kegiatan penyuluhan kehutanan maupun rapat-rapat kelompok tani. Ketua RT/RW ikut menginformasikan kegiatan-kegiatan kelompok tani kepada responden petani Hutan Rakyat yang menjadi warganya. 116 116 Tabel 57. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap dukungan anggota masyarakat dalam pengelolaan Hutan Rakyat No. 1. 2. 3. 4. 5. a Anggota Masyarakat yang Memberikan Dukungan Pengembangan Hutan Rakyat Tetangga dan Ketua RT/RW Ketua RT/RW dan Kepala Desa/Aparat Desa Ketua RT/RW Tetangga Kepala Desa/Aparat Desa Jumlah Jumlah n (jiwa) 26 10 8 6 5 55 Persentase (%) 47,30 18,18 14,54 10,90 9,10 100,00 Sumber : Olahan data primer, 2012 Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa persentase responden mengenai dukungan Kepala Desa/Aparat desa setempat tergolong rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa responden tidak merasa memperoleh dukungan secara maksimal dari Kepala Desa/Aparat desa setempat dalam pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat. Berdasarkan wawancara mendalam, Kepala Desa/Aparat Desa setempat hanya terlibat secara intensif di lahan pada saat program Hutan Rakyat baru dimulai. Selebihnya pengelolaan Hutan Rakyat lebih banyak dilakukan tanpa pembinaan dari Kepala Desa setempat. Tabel 58. Persepsi responden terhadap jenis dukungan anggota masyarakat dalam pengelolaan Hutan Rakyat Dukungan anggota masyarakat dalam pengelolaan Sering (%)b Hutan Rakyat 1. Masyarakat mendorong mengembangkan Hutan Rakyat 38 (69,10) di lahan 2. Masyarakat beranggapan hutan rakyat bermanfaat dan 40 (72,70) menguntungkan di masa depan 3. Masyarakat memberikan saran/masukan teknis lapangan 26 (47,30) 4. Masyarakat memfasilitasi kegiatan kelompok tani 34 (61,80) Hutan Rakyat 5. Masyarakat memberikan informasi penyedia saprodi 25 (45,40) 6. Masyarakat memberikan informasi pemasaran 23 (41,80) a b Sumber : Olahan data primer, 2012 Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan 117 Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 72,7 persen responden memperoleh dukungan dalam bentuk adanya anggapan dari masyarakat mengenai manfaat Hutan Rakyat di masa mendatang. Persepsi positif tersebut merupakan bentuk dukungan yang penting bagi responden dan dapat mendorong fasilitasi oleh anggota masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan Hutan Rakyat. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa jumlah persentase responden sebanyak 47,3 persen, berupa dukungan dalam bentuk saran/masukan mengenai cara bercocok tanam lebih kepada upaya berbagi pengetahuan mengenai kebiasaan-kebiasaan lokal masyarakat mengenai cara-cara bercocok tanam kayu rakyat. Responden sebanyak 45,4 persen dan 41,8 persen menyatakan mendapat dukungan dari masyarakat dalam bentuk pemberian informasi sarana produksi dan pemasaran kayu rakyat. Tingkat dukungan masyarakat terhadap responden dalam pengelolaan Hutan Rakyat terbagi menjadi kategori kurang mendukung, cukup mendukung, dan sangat mendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat dukungan masyarakat terhadap petani Hutan Rakyat dalam pengelolaan Hutan Rakyat termasuk dalam kategori cukup mendukung. Tabel 59. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat dukungan personel sumber belajar dalam pengelolaan Hutan Rakyat No. 1. 2. 3. a Tingkat dukungan personal sumber belajar terhadap petani Hutan Rakyat Kurang mendukung (skor : <12) Cukup mendukung (skor : 12-18) Sangat mendukung (skor : > 18) Jumlah Jumlah n (jiwa) 5 41 9 55 Persentase (%) 9,09 74,54 16,36 100,00 Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Menurut Hidayat (2012) salah satu prasyarat komunikasi interpersonal dapat berjalan efektifadalah adanya kesamaan persepsi. Ketidaksamaan persepsi mengenai dukungan masyarakat terhadap petani Hutan Rakyat pada kedua belah pihak menjadi kendala terjalinnya komunikasi antarpribadi yang dapat 118 118 mendorong upaya pembelajaran responden untuk mengelola Hutan Rakyat. Ketidaksamaan persepsi dapat merupakan akibat dari kurangnya sosialisasi mengenai Hutan Rakyat terhadap anggota masyarakat. 6.6 Kemampuan Anggota Kelompok Tani 6.6.1 Kemampuan Perencanaan Kegiatan Hutan Rakyat Kualitas pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat ditentukan oleh kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan disekitarnya. Masyarakat dalam konteks pengelolaan Hutan Rakyat biasanya tergabung dalam kelompok-kelompok tani. Kelompok tani memfasilitasi pembelajaran kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat dalam rangka membangun kemampuan anggota kelompok tani pada tingkat tertentu. Berdasarkan studi yang dilakukan, kemampuan terdiri dari pengetahuan, keterampilan dan sikap individu. Kemampuan anggota kelompok tani dalam mengelola Hutan Rakyat adalah kecakapan anggota kelompok tani meliputi aspek pengetahuan (cognitive domain/knowledge), aspek keterampilan (psychomotoric domain/skill), dan aspek sikap (affective domain/attitude) dalam melaksanakan serangkaian kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat secara efektif. Kemampuan petani merencanakan kegiatan produksi dalam pengelolaan Hutan Rakyat adalah sekumpulan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki petani untuk memahami dan melaksanakan proses menentukan rencana dalam kegiatan Hutan Rakyat. Berdasarkan pengamatan dan wawancara mendalam, responden sudah melakukan kegiatan perencanaan dalam pengelolaan Hutan Rakyat, walaupun belum sepenuhnya mencakup keseluruhan kegiatan. Perencanaan kegiatan yang dimaksud adalah rencana atau persiapan yang dilakukan responden sebelum kegiatan produksi Hutan Rakyat meliputi kegiatan pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran hasil, dilaksanakan. Responden petani Hutan Rakyat tidak secara formal melakukan kegiatan perencanaan. Kegiatan perencanaan biasanya dilakukan dengan mengadakan pertemuan kelompok tani dan diperoleh kata sepakat mengenai kegiatan yang 119 akan dilakukan oleh kelompok tani. Hasil musyawarah mengenai kesepakatan mengenai kegiatan yang akan dilakukan didasarkan atas kepercayaan (trust) antar anggota kelompok tani (Tabel 60). Tabel 60. Persepsi terhadap kemampuan perencanaan dalam mengelola Hutan Rakyat a b Kemampuan perencanaan dalam pengelolaan Hutan Rakyat Sering (%)b 1. Petani membandingkan kegiatan terdahulu dan saat ini agar hasil mendatang dapat maksimal 2. Masalah yang dihadapi petani di lahan menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan petani 3. Kesesuaian kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat saat ini dengan kebutuhan petani 4. Petani menyusun rencana kegiatan Hutan Rakyat 5. Informasi harga jual kayu digunakan untuk merencanakan jenis kayu yang ditanam 6. Petani berusaha mencari informasi tentang jenis kayu yang bernilai jual tinggi 18 (32,70) 13 (23,60) 11 (20,00) 10 (18,20) 10 (18,20) 9 (16,40) Sumber : Olahan data primer, 2012 Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan Responden petani Hutan Rakyat menyatakan tidak pernah menyusun ragam kegiatan perencanaan setiap bulan atau setiap tahun secara tertulis. Demikian pula halnya di tingkat responden petani Hutan Rakyat. Responden tidak mempersiapkan secara terinci kegiatan perencanaan untuk kegiatan Hutan Rakyat yaitu kegiatan pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Persiapan petani untuk melaksanakan kegiatan produksi masih diarahkan oleh kebutuhan (need) responden petani yang bersangkutan. Berdasarkan wawancara, petani sudah mampu mengenali masalah yang harus dihadapinya di lahan, antara lain pertumbuhan kayu yang masih kurang memuaskan, rendahnya sumber daya manusia, kegiatan penyuluhan yang masih kurang mendukung, dan masalah pemasaran. Kemampuan responden mengenali masalahnya menjadi penting karena mendasari kesadaran responden yang bersangkutan mengenai kebutuhannya. Kebutuhan yang dirasakan oleh 120 120 responden mengarahkan responden pada proses perencanaan dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Terkait dengan motivasi responden mengusahakan Hutan Rakyat yang sebagian besar dilatarbelakangi oleh alasan finansial, sebagian responden selalu berusaha memperoleh informasi mengenai kayu yang bernilai jual tinggi atau sedang disukai oleh pembeli. Kegiatan penanaman Hutan Rakyat pada waktu berikutnya akan memanfaatkan informasi yang diperoleh di lapangan dengan memilih jenis tanaman keras yang dapat menguntungkan petani. Proses perencanaan pada tingkat responden petani Hutan Rakyat masih sederhana, karena belum memiliki bentuk perencanaan seperti halnya dalam bentuk organisasi modern. Tingkat kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat terbagi menjadi kategori kurang, sedang, dan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat termasuk dalam kategori sedang (Tabel 61). Tabel 61. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat No. 1. 2. 3. a Tingkat kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Kurang (skor : <12) Sedang (skor : 12-18) Tinggi (skor : > 18) Jumlah Jumlah n (jiwa) 25 29 1 55 Persentase (%) 45,45 52,73 1,82 100,00 Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Kegiatan perencanaan pada pengelolaan Hutan Rakyat masih berdasarkan pada kebutuhan (need) petani dengan menyesuaikan terhadap sumber daya yang dimiliki. Segi penting kegiatan perencanaan dalam pengelolaan Hutan Rakyat perlu dipahami oleh petani agar produktivitas lahan dapat maksimal. Pembelajaran petani harus lebih diarahkan untuk membangun kemampuan petani merencanakan kegiatan produksi dalam pengelolaan Hutan Rakyat. 121 6.6.2 Kemampuan mengorganisir diri dalam kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat Kemampuan mengorganisir diri dalam kelembagaan Hutan Rakyat adalah sekumpulan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki petani untuk memahami dan melaksanakan pengelompokan kegiatan agar tujuan kegiatan Hutan Rakyat dapat terwujud. Kemampuan mengorganisir diri dalam kelembagaan Hutan Rakyat terkait dengan pembagian kerja dan koordinasi diantara sesama anggota kelompok tani Hutan Rakyat. Pembagian kerja dalam kelompok tani Hutan Rakyat mengacu pada struktur organisasi kelompok tani yang berkembang saat ini, yaitu ketua kelompok tani, wakil ketua kelompok tani dan bendahara kelompok tani. Ketua kelompok tani bertugas mengkoordinasikan seluruh kegiatan produksi Hutan Rakyat di kelompok tani. Sehari-hari ketua kelompok tani dibantu oleh wakilnya. Wakil ketua kelompok tani bertugas menghubungkan ketua kelompok tani dan petani Hutan Rakyat. Apabila terdapat rencana pertemuan kelompok tani, wakil ketua kelompok tani akan menyiapkan tempat pelaksanaan kegiatan pertemuan dan mengundang anggota kelompok tani. Bendahara kelompok tani mengatur keuangan kelompok tani yang berasal dari swadaya anggota kelompok dan bantuan instansi terkait ke kelompok tani. Pembagian kerja di antara petani Hutan Rakyat tidak secara tegas ditentukan pada awal pembentukan kelompok tani. Pembagian kerja diantara petani Hutan Rakyat terbentuk berdasarkan keahlian/pengalaman dan kesepakatan masing-masing petani yang terbentuk selama kegiatan produksi Hutan Rakyat. Petani yang pada awal pembangunan Hutan Rakyat terlibat dalam kegiatan pembibitan memiliki kemampuan melakukan kegiatan pembibitan dibandingkan petani lainnya. Petani Hutan Rakyat lainnya memiliki kemampuan mengkoordinasikan kegiatan penanaman kayu sengon. Pada pelaksanaan kegiatan penanaman, ketua kelompok tani membantu mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan di areal Hutan Rakyat, dibantu dengan wakil ketua kelompok tani untuk memastikan tidak ada masalah kekurangan pupuk dan serangan hama/penyakit. Sebagian petani Hutan Rakyat lainnya memiliki akses 122 122 yang cukup baik terhadap informasi pasar, sehingga memiliki kemampuan terkait pemasaran hasil-hasil Hutan Rakyat. Petani tersebut akan membantu petani lainnya yang akan menjual kayu ke pembeli/tengkulak sehingga memperoleh harga yang cukup menguntungkan. Tabel 62. Persepsi responden terhadap kemampuan mengorganisir diri dalam kelembagaan Hutan Rakyat Kemampuan Mengorganisir diri dalam Pengelolaan Hutan Sering (%) b Rakyat 1. Petani melakukan pembagian kerja di dalam kelompok tani 43 (78,2) 2. Petani bersepakat mengenai tahapan-tahapan pelaksanaan 40 (72,7) kegiatan Hutan Rakyat 3. Koordinasi diantara anggota kelompok tani agar kegiatan 38 (69,1) berjalan sesuai rencana 4. Kesesuaian penunjukan anggota pelaksana kegiatan dengan 16 (29,1) harapan anggota kelompok 5. Pemahaman petani terhadap aturan organisasi kelompok 10 (18,2) tani a b Sumber : Olahan data primer, 2012 Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan Pembagian kerja di dalam kelompok tani Hutan Rakyat Saluyu II adalah berdasarkan kesepakatan dan kepercayaan diantara sesama anggota kelompok tani. Kesepakatan tersebut terbangun dengan memperhatikan keahlian dan pengalaman petani yang bersangkutan. Saat ini distribusi tugas sekaligus penentuan anggota yang bertanggung jawab melaksanakannya sudah berjalan baik. Kemampuan mengorganisir diri diwarnai oleh pembagian kerja, koordinasi, penunjukan pelaksana kegiatan, dan pemahaman mengenai aturan kelompok sehingga kegiatan dalam pengelolaan Hutan Rakyat dapat dilaksanakan dengan baik (Tabel 62). Kemampuan mengorganisir diri dalam kelembagaan Hutan Rakyat tidak dapat dipisahkan dari peran kepemimpinan ketua kelompok tani. Ketua kelompok tani bertugas mengkoordinasikan pengelolaan Hutan Rakyat oleh anggota kelompok tani. Koordinasi tersebut penting dilakukan karena pada tahapan saat ini petani Hutan Rakyat masih memerlukan sosok pemimpin yang mampu 123 mengarahkan mereka dalam pelaksanaan kegiatan produksi Hutan Rakyat. Ketua kelompok tani dengan dibantu wakilnya mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan pembibitan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan di lahan Hutan Rakyat. Arahan ketua kelompok tani berperan besar meningkatkan kemampuan petani mengelola Hutan Rakyat, baik kemampuan mengatur distribusi dan pembagian kerja di antara mereka maupun kemampuan sebagai pelaksana kegiatan produksi. Ketua Kelompok Tani juga berupaya mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penyuluhan dan pelatihan dengan instansi terkait, antara lain BPDAS Citarum-Ciliwung, Dinas Kehutanan Kabupaten Bogor, dan BP3K Cibungbulang. Proses peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam hal ini anggota kelompok tani menentukan kapasitas kelembagaan Hutan Rakyat. Saat ini frekuensi kegiatan penyuluhan dari instansi terkait masih tergolong rendah. Namun demikian koordinasi kelompok tani dengan instansi terkait melalui ketua kelompok tani sudah berjalan cukup baik. Tingkat kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat terbagi menjadi kategori kurang, sedang, dan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat termasuk dalam kategori sedang. Tabel 63. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Tingkat kemampuan pengorganisasian Jumlah n No. diri petani dalam pengelolaan Persentase (%) (jiwa) Hutan Rakyat 1 Kurang (skor : <10) 0 0,00 2 Sedang (skor : 10-15) 48 87,27 3 Tinggi (skor : > 15) 7 12,73 Jumlah 55 100,00 a Sumber : Olahan Data Primer, 2012 124 124 Kemampuan mengorganisasikan diri mengandung pula pengertian mengenai adanya negosiasi dan kesepakatan antara sesama anggota petani Hutan Rakyat dan adanya musyawarah antar anggota kelompok dalam pelaksanaan kegiatan Hutan Rakyat dengan menempatkan masing-masing orang sesuai kapasitasnya. Tahapan perkembangan petani Hutan Rakyat saat ini menunjukkan bahwa responden petani Hutan Rakyat telah memiliki kemampuan yang cukup untuk mengatur diri dalam pembagian kerja, distribusi tugas, dan melakukan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pengelolaan Hutan Rakyat. 6.6.3 Kemampuan Penerapan Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Kemampuan petani untuk menerapkan merupakan kemampuan yang lebih rumit dibandingkan dengan kemampuan perencanaan, mengorganisir diri dalam kelembagaan, dan melakukan pengawasan. Kemampuan petani menerapkan hasil pembelajaran merupakan upaya untuk mewujudkan perencanaan secara konkrit. Kemampuan penerapan diindikasikan dengan kemampuan petani menerima dan melaksanakan arahan dari ketua kelompok tani untuk melaksanakan kegiatan produksi di lahan Hutan Rakyat, kemampuan petani berkomunikasi dengan anggota kelompok lainnya agar saling menggerakkan/ memotivasi untuk mewujudkan tujuan bersama, serta melakukan koordinasi dengan parapihak untuk melaksanakan kegiatan produksi Hutan Rakyat. Berdasarkan pengamatan dan wawancara mendalam, responden petani Hutan Rakyat di lokasi penelitian sudah mampu menerima arahan dari ketua kelompok tani dengan baik. Pengelolaan Hutan Rakyat pada awal pengembangannya masih merupakan hal baru bagi petani pengelolanya, sehingga sejak saat itu proses pembelajaran berlangsung secara terus-menerus diantara sesama responden petani Hutan Rakyat. Arahan dan bimbingan dari dinas terkait, penyuluh kehutanan dan ketua kelompok tani sangat penting membantu responden petani untuk mampu mengelola Hutan Rakyat. Kemampuan petani menerapkan hasil pembelajaran diukur dari kemampuan petani menerima dan melaksanakan instruksi yang diberikan, petani mampu memotivasi petani 125 lainnya, dan mampu mendiskusikan pelaksanaan kegiatan Hutan Rakyat dengan parapihak (Tabel 64). Tabel 64. Persepsi responden terhadap kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Kemampuan penerapan dalam pengelolaan Hutan Rakyat 1. Petani selalu mengikuti instruksi dari ketua kelompok tani 2. Petani menerima arahan/bimbingan melaksanakan kegiatan produksi Hutan Rakyat 3. Instruksi ketua kelompok membantu petani mengelola Hutan Rakyatnya 4. Petani memotivasi petani lainnya agar kegiatan Hutan Rakyat berjalan dengan baik 5. Petani mendiskusikan kegiatan Hutan Rakyat dengan pihak lain di luar kelompok tani a b Sering (%)b 43 (78,20) 41 (75,50) 41 (74,50) 31 (56,40) 11 (20,00) Sumber : Olahan data primer, 2012 Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan Sebelum terlibat dalam pembangunan areal permodelan Hutan Rakyat di lokasi penelitian, sebagian besar petani Hutan Rakyat mengusahakan pertanian lahan basah (sawah) dan sayur-sayuran. Sebenarnya penanaman tanaman keras dengan menggabungkan tanaman semusim (palawija), sebelumnya sudah secara informal dikenal oleh masyarakat setempat. Namun Hutan Rakyat baru dikenalkan secara resmi kepada masyarakat melalui pembangunan areal permodelan Hutan Rakyat. Petani pengelola yang tergabung dalam kelompok tani kemudian mempelajari pengelolaannya, mencakup dari mulai kegiatan pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan. Pada kegiatan produksi, ketua kelompok tani memberikan arahan pelaksanaan kepada anggota kelompok tani. Arahan tersebut meliputi petunjuk pelaksanaan kegiatan, alat yang digunakan, dan pihak-pihak yang terlibat. Arahan ketua kelompok tani merupakan bagian pembelajaran anggota kelompok tani untuk mempelajari tata cara pembibitan tanaman keras pada lahan Hutan Rakyat. Anggota petani Hutan Rakyat menerima arahan dari ketua kelompok tani dan 126 126 penyuluh kehutanan dengan baik. Petani akan mendiskusikannya kembali, baik dengan Ketua kelompok tani maupun dengan anggota petani lainnya, kemudian berusaha melaksanakannya sebaik mungkin. Pendamping belajar, yaitu penyuluh kehutanan dan ketua kelompok tani Hutan Rakyat, masih berperan penting dalam kegiatan pembelajaran petani. Pendamping belajar masih menjadi panutan atau teladan bagi petani dalam kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat. Nilai paternalistik yang masih kuat pada masyarakat setempat menjadikan nilai-nilai penting yang perlu dipahami oleh responden petani Hutan Rakyat dalam kegiatan pembelajaran responden lebih mudah diadopsi oleh responden petani Hutan Rakyat. Tingkat kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat terbagi menjadi kategori kurang, sedang, dan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat termasuk dalam kategori sedang (Tabel 65). Tabel 65. Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat No. 1. 2. 3. a Tingkat kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Kurang (skor : <10) Sedang (skor : 10-15) Tinggi (skor : > 15) Jumlah Jumlah n (jiwa) Persentase (%) 2 43 10 55 3,64 78,18 18.18 100,00 Sumber : Olahan Data Primer, 2012 Komunikasi antara petani dengan pendamping belajar dan antara sesama petani berlangsung cukup baik. Pada tahap penerapan, kualitas komunikasi ikut menentukan berjalannya kegiatan produksi sesuai tujuan yang ingin dicapai. Komunikasi menjadi alat penting dalam menggerakkan dan memotivasi petani, baik dilakukan oleh penyuluh kehutanan atau kelompok tani, atau diantara sesama petani Hutan Rakyat sendiri. Ketua kelompok tani memberikan arahannya kepada anggota kelompok tani lainnya melalui komunikasi dua arah. Di lokasi penelitian, biasa terjadi petani mendiskusikan kembali arahan dari ketua 127 kelompok tani sebelum kegiatan dilaksanakan dan pada saat kegiatan sedang berjalan. Dinamika tersebut yang menjadikan efektivitas komunikasi antara pendamping belajar dan responden petani Hutan Rakyat tetap terjaga. Kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat sampai saat ini masih melibatkan banyak pihak, yaitu dari kalangan pemerintah, kelompok tani, maupun instansi terkait lainnya. Koordinasi antara kelompok tani dengan instansi terkait dan pemerintah setempat sampai saat ini masih dilakukan oleh ketua kelompok tani. Ketua kelompok tani Hutan Rakyat memiliki hubungan yang cukup baik dengan penyuluh di Dinas Kabupaten Bogor, BPDAS Citarum-Ciliwung, dan penyuluh Kehutanan BP3K.Ketua Kelompok Tani memandang penting koordinasi dengan berbagai pihak. Saat ini sedikit demi sedikit anggota kelompok tani Hutan Rakyat lainnya mulai dibina agar memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan koordinasi dengan pihak-pihak lain di luar kelompok tani. Ketua kelompok tani pada beberapa kali kesempatan mengirim anggotanya untuk berkoordinasi dengan instansi terkait mengenai perkembangan pengelolaan Hutan Rakyat. 6.6.4 Kemampuan Melakukan Pengawasan dalam Hutan Rakyat Kemampuan melakukan pengawasan dalam Hutan Rakyat adalah sekumpulan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki petani untuk memahami dan melaksanakan proses pengaturan berbagai unsur dalam kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat agar pelaksanaan kegiatan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Kemampuan pengawasan ini diindikasikan dengan kemampuan petani menetapkan pedoman pengawasan, kemampuan petani melakukan penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, dan menerapkan pada Hutan Rakyat, kemampuan petani untuk menilai/menentukan terjadinya penyimpangan,dan kemampuan petani melakukan tindakan perbaikan jika terdapat penyimpangan (Tabel 66). Berdasarkan pengamatan dan wawancara mendalam, responden petani melakukan kegiatan pengawasan berdasarkan kebutuhan. Oleh karena itu di kelompok tani tidak ada pedoman tertulis mengenai kegiatan pengawasan pada 128 128 Hutan Rakyat yang disusun atau ditetapkan berdasarkan kesepakatan anggota kelompok tani Hutan Rakyat. Kegiatan pengawasan dalam persepsi petani adalah melakukan monitoring terhadap pelaksanaan kegiatan produksi Hutan Rakyat dan kesesuaiannya terhadap pencapaian tujuan awal kegiatan. Secara tidak tertulis, anggota kelompok tani sepakat bahwa kegiatan pengawasan terutama dilakukan pada kegiatan pembibitan, penanaman dan pemeliharaan. Tabel 66. Persepsi responden terhadap kemampuan melakukan pengawasan dalam pengelolaan Hutan Rakyat Kemampuan pengawasan dalam pengelolaan Hutan Rakyat 1. Kesesuaian tindakan perbaikan yang dilakukan petani dengan hasil perbaikan yang diperoleh 2. Kesepakatan diantara anggota kelompok tani tentang halhal yang perlu diawasi 3. Petani melakukan tindakan perbaikan terhadap masalah yang dihadapi di lahan 4. Petani selalu mengawasi perkembangan tanaman di lahannya 5. Petani menemui masalah di lahan yang tidak sesuai dengan perencanaan kegiatan 6. Petani membandingkan setiap hasil pengawasan di lahan dengan hasil sebelumnya a b Sering (%) b 43 (78,20) 36 (65,40) 35 (63,60) 34 (61,80) 33 (60,00) 29 (52,70) Sumber : Olahan data primer, 2012 Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan Pengawasan terhadap kegiatan pembibitan pada awal pembangunan areal permodelan Hutan Rakyat dianggap penting oleh responden petani Hutan Rakyat karena menentukan kualitas Hutan Rakyat yang akan dibangun. Pengawasan dilakukan responden untuk mengikuti perkembangan pertumbuhan bibit tanaman keras. Hal tersebut menurut pernyataan responden dilakukan untuk menghindari lebih banyak mengalami kerugian akibat bibit yang mati di lapangan. Apabila diketahui terdapat bibit yang mati di lahan, responden segera menanam bibit pengganti. Namun demikian apabila tidak ada bantuan atau biaya untuk membeli bibit baru, maka petani akan membiarkan saja bibit yang mati tersebut dan tidak 129 berusaha menggantinya dengan bibit yang baru. Namun demikian sebagian besar responden menyatakan mengikuti perkembangan pertumbuhan bibit tanaman keras di lahannya pada tiga tahun pertama secara lebih cermat untuk menghindari resiko kerugian yang lebih parah. Dikarenakan berdasarkan kebutuhan dan belum mengenal pola pengawasan seperti halnya pada organisasi modern, petani belum secara terorganisir melakukan penilaian terhadap kegiatan perencanaan, pengorganisasian dan penerapan. Bagi petani yang penting adalah dalam ukuran mereka kegiatan sudah terlaksana dengan baik dibuktikan dengan pertumbuhan kayu yang sesuai dengan harapan mereka. Minimnya biaya dan kesempatan penanaman yang terbatas (dibatasi) menjadikan petani cukup waspada apabila terjadi sesuatu yang dapat merugikan mereka. Mereka akan sekuat tenaga melakukan antisipasi, meskipun ketika sudah tidak terdapat pilihan lain maka mereka bersikap pasrah. Kelemahan pengawasan yang berdasarkan kebutuhan ini adalah bahwa pengawasan belum dilakukan secara maksimal dengan melibatkan keseluruhan sumber daya manusia yang ada. Namun demikian petani sudah mampu mengenali penyimpangan yang terjadi dalam kegiatan produksi Hutan Rakyat. Tingkat kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat terbagi menjadi kategori kurang, sedang, dan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat termasuk dalam kategori tinggi (Tabel 67). Tabel 67. No. 1. 2. 3. a Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Tingkat kemampuan pengawasan Jumlah n petani dalam pengelolaan Hutan Persentase (%) (jiwa) Rakyat Kurang (skor : <12) 2 3,64 Sedang (skor : 12-18) 24 43,64 Tinggi (skor : > 18) 29 52,72 Jumlah 55 100,00 Sumber : Olahan Data Primer, 2012 130 130 Pengawasan tidak hanya berlangsung pada kegiatan produksi Hutan Rakyat tetapi juga pada kelembagaan Hutan Rakyat. Misalnya apakah kesepakatan bersama ada yang dilanggar atau tidak. Apabila ada anggota kelompok tani yang melanggar, maka ketua kelompok atau anggota petani lainnya akan menegur yang bersangkutan dan mengingatkan kembali mengenai kesepakatan bersama yang telah disepakati antar anggota kelompok tani Hutan Rakyat. Responden petani Hutan Rakyat senantiasa melakukan perbaikan terhadap penyimpangan kegiatan yang terjadi, seperti misalnya menanam bibit pengganti, mengganti takaran pupuk apabila kurang tepat ukurannya, dan memperbaiki jarak tanam. Beberapa responden menyatakan bahwa mereka akan berusaha melakukan perbaikan apabila hal tersebut masih dapat diusahakan. Membiarkan saja tumbuhan yang mati dilakukan sebagai pilihan terakhir apabila jalan lainnya sudah tidak memungkinkan. Terutama apabila menemui kendala keuangan. 131 VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMAMPUAN ANGGOTA KELOMPOK DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT Analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perencanaan, pengorganisasian diri, penerapan dan pengawasan petani dilakukan dengan menggunakan uji statistik regresi berganda. Model regresi linier dapat disebut sebagai model yang baik jika model tersebut memenuhi beberapa asumsi klasik. Asumsi klasik yang harus terpenuhi dalam model regresi linier adalah residual terdistribusi normal, tidak adanya multikolinearitas, tidak adanya heteroskedastisitas, dan tidak adanya adanya autokorelasi pada model regresi. Uji normalitas Residual. Uji normalitas residual pada model regresi digunakan untuk menguji apakah nilai residual yang dihasilkan dari regresi terdistribusi secara normal atau tidak. Residual merupakan nilai sisa atau selisih antara nilai peubah terikat (Y) dengan peubah terikat hasil analisis regresi (Y’). Model regresi yang baik adalah yang memiliki data residual yang terdistribusi normal (Priyatno 2012). Hasil uji pada Tabel 68 menunjukkan bahwa nilai signifikansi (Asymp. Sig. (2-tailed) adalah 0,634, 0,840, 0,852, dan 0,967. Karena signifikansi lebih besar dari 0,05, sehingga residual terdistribusi dengan normal. Tabel 68. Ringkasan Hasil uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Peubah Terikat Kemampuan Perencanaan (Y1.1) Asymp. Sig. (2-tailed) Kemampuan Pengorganisasian diri (Y1.1) Asymp. Sig. (2-tailed) Kemampuan Penerapan (Y1.1) Asymp. Sig. (2-tailed) Kemampuan Pengawasan (Y1.1) Asymp. Sig. (2-tailed) a Sumber : Hasil analisis SPSS Tolerance 0,634 0,840 0,852 0,967 132 132 Uji Multikolineritas. Uji multikolineritas adalah keadaan dimana model regresi ditemukan adanya kolerasi yang sempurna atau mendekati sempurna antar peubah bebas. Pada model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel bebas (Priyatno 2012). Hasil uji pada tabel 69 menunjukkan bahwa nilai Tolerance dari kelompok peubah bebas lebih dari 0,10 dan nilai VIF kurang dari 10. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi masalah multikolineritas pada model regresi. Tabel 69. Ringkasan hasil uji melalui nilai Tolerance dan Inflation Factor (VIF) Peubah Terikat Kemampuan Perencanaan (Y1.1) Kemampuan Pengorganisasian diri (Y1.1) Kemampuan Penerapan (Y1.1) Kemampuan Pengawasan (Y1.1) a Tolerance VIF 0,172 – 0,683 0,172 – 0,548 0,176 – 0,683 0,176 – 0,683 1.465 -5.697 1.465-5.812 1.465-5.812 1.465-5.812 Sumber : Hasil analisis SPSS Uji Heteroskedastisitas. Uji Heteroskedastisitas adalah keadaan di mana dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual pada satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah tidak terjadi heteroskedastisitas (Priyatno 2012). Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan melakukan uji koefisien korelasi Spearman’s rho (Tabel 70). Tabel 70. Ringkasan hasil uji Koefisien Korelasi Spearman’s Rho Peubah Terikat (Residual tidak terstandardisasi) Kemampuan Perencanaan (Y1.1) Kemampuan Pengorganisasian diri (Y1.2) Kemampuan Penerapan (Y1.3) Kemampuan Pengawasan (Y1.4) a Signifikansi Sig. (2-tailed) 0,587 – 0,966 0,511 – 0,995 0,965 – 0,572 0,494 – 0,993 Sumber : Hasil analisis SPSS Hasil uji menunjukkan bahwa korelasi peubah bebas dengan residual tidak terstandardisasi pada masing-masing peubah terikat memiliki nilai 133 signifikansi lebih dari 0,05, sehingga disimpulkan bahwa tidak terjadi masalah heteroskedastisitas pada model regresi. Uji Autokorelasi. Autokorelasi adalah keadaan dimana pada model regresi ada korelasi antara residual pada periode t dengan residual pada periode sebelumnya (t-1). Model regresi yang baik adalah yang tidak terdapat masalah autokorelasi (Priyatno 2012). Metode pengujian menggunakan uji DurbinWatson (Tabel 71). Tabel 71. Ringkasan Hasil uji Durbin-Watson Peubah Terikat Kemampuan Perencanaan (Y1.1) Kemampuan Pengorganisasian diri (Y1.2) Kemampuan Penerapan (Y1.3) Kemampuan Pengawasan (Y1.4) a Nilai Durbin-Watson 1,940 1,960 1,677 1,610 Sumber : Hasil analisis SPSS Dasar pengambilan keputusan adanya autokorelasi adalah jika nilai Durbin-Watson berada pada rentang ─2 < Durbin Watson < 2, maka tidak terjadi autokorelasi (Agusyana dan Islandscript 2011). Apabila jika tidak pada rentang tersebut maka terjadi autokorelasi. Hasil uji menunjukkan bahwa untuk kempat peubah terikat, nilai Durbin-Watson berada pada rentang 1,960-1,610, sehingga tidak terjadi autokorelasi. Berdasarkan persyaratan uji asumsi klasik regresi yang telah dipenuhi maka tahapan analisis data dapat dilanjutkan. Analisis regresi berganda dilakukan dengan metode enter, yaitu memasukkan seluruh variabel bebas sekaligus, kemudian dikeluarkan satu persatu untuk mencari peubah yang paling signifikan berpengaruh terhadap peubahterikat dalam model regresi berganda, sehingga diperoleh hasil akhir mengenai peubah yang signifikan berpengaruh terhadap kemampuan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat 134 134 7.1 Hasil Uji Faktor-faktor yang mempengaruhi Kemampuan Anggota Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Kemampuan petani dalam mengelola suatu kawasan hutan diartikan sebagai kualitas yang melekat dalam diri petani mencakup pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap mental (afektif) dalam pengelolaan hutan sesuai standar tertentu yang diharapkan. Kemampuan petani mengelola Hutan Rakyat dalam penelitian ini terdiri dari kemampuan perencanaan, pengorganisasian diri, penerapan dan pengawasan. 7.1.1 Kemampuan Perencanaan Anggota Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Pada sub bab ini akan dibahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perencanaan petani dalam mengelola Hutan Rakyat, dan merupakan jawaban atas hipotesis pertama dari penelitian ini. Hipotesis : Kemampuan perencanaan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat dipengaruhi oleh karakteristik personal petani, kompetensi sumber belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan hubungan interpersonal. Hasil analisis regresi secara simultan dari seluruh peubah bebas (karakteristik petani, kompetensi pendamping belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan hubungan interpersonal) yang diduga berpengaruh terhadap variabel kemampuan perencanaan petani Hutan Rakyat dengan metode enter diperoleh nilai R2 sebesar 0,199 (Tabel 72). Nilai tersebut menunjukkan bahwa kemampuan perencanaan dipengaruhi oleh kelompok peubah bebas sebesar 19,9 persen, dan sisanya sebesar 80,1 persen dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk ke dalam analisis. Hasil analisis regresi selanjutnya diperoleh pengaruh nyata (pada taraf lima persen) yaitu 0,010, 0,021, dan 0,049, dari sub peubah pendapatan petani, lama mengelola Hutan Rakyat, dan norma sosial yang mengikat anggota 135 kelompok tani terhadap kemampuan perencanaan petani (Tabel 72). Keempat sub peubah di atas memiliki nilai Sig di bawah α=0,05, sehingga ketiga sub peubah bebas tersebut berpengaruh simultan dan signifikan terhadap kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Tabel 72. Analisa signifikansi peubah bebas yang berpengaruh terhadap kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Koefisien Sub Variabel Signifikansi regresi Konstan 0,634* Pendidikan 0,174 0,236* Pendapatan petani -0,368 0,010* Lama mengelola Hutan Rakyat 0,345 0,021* Norma sosial yang mengikat petani 0,289 0,049* Interaksi petani-pendamping belajar 0,143 0,288* Nilai korelasi R : 0,446 Nilai Koefisian Determinasi (R2) : 0,199 a b c Sumber : Olahan data primer, 2012 Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan Signifikan pada α=0,05 Persamaan regresi faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perencanaan anggota kelompok tani Hutan Rakyat adalah sebagai berikut : Y = 1.965 + 0,174 pendidikan – 0,368 pendapatan + 0,345 lama mengelola Hutan Rakyat + 0,289 norma sosial + 0,143 interaksi petani dan pendamping belajar Sub peubah pendapatan petani menunjukkan nilai signifikansi 0,010 yaitu dibawah α=0,05, sehingga signifikan berpengaruh terhadap kemampuan perencanaan petani dalam mengelola Hutan Rakyat. Arah pengaruh negatif menunjukkan bahwa apabila pendapatan petani mengalami penurunan sebesar 1 satuan maka kemampuan perencanaan akan mengalami kenaikan sebesar 0,368 satuan dengan asumsi sub peubah bebas lainnya bernilai tetap. Sub peubah lama mengelola Hutan Rakyat memiliki nilai signifikansi kurang dari α=0,05 yaitu sebesar 0,021 sehingga signifikan berpengaruh terhadap kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Arah hubungan adalah positif, sehingga penambahan lama tahun mengelola Hutan 136 136 Rakyat sebesar 1 satuan akan meningkatkan kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat sebesar 0,345 dengan asumsi sub peubah bebas lainnya bernilai tetap. Sebaliknya penurunan lama mengelola Hutan Rakyat sebesar 1 satuan akan menurunkan kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat sebesar 0,345 satuan. Sub peubah norma sosial yang mengikat petani memiliki nilai signifikansi sebesar 0,049 yaitu kurang dari α=0,05 sehingga signifikan berpengaruh terhadap kemampuan perencanaan petani. Arah hubungan positif menunjukkan bahwa peningkatan sub peubah norma sosial yang mengikat petani sebesar 1 satuan akan meningkatkan kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat sebesar 0,309. Sebaliknya penurunan sub peubah norma sosial yang mengikat petani menjadi teladan/panutan sebesar 1 satuan akan menurunkan kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat sebesar 0,309.Berdasarkan koefisien regresi, sub peubah yang paling berpengaruh terhadap terhadap kemampuan perencanaan petani berturut-turut adalah adalah pendapatan petani (0,368), lama mengelola Hutan Rakyat (0,345), dan norma sosial yang mengikat petani (0,289). 7.1.2 Kemampuan Pengorganisasian Diri Anggota Kelompok Tani Pada sub bab ini akan dibahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perencanaan petani dalam mengelola Hutan Rakyat, dan merupakan jawaban atas hipotesis kedua dari penelitian ini. Hipotesis : Kemampuan pengorganisasian diri anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat dipengaruhi oleh karakteristik personal petani, kompetensi sumber belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan hubungan interpersonal. Hasil analisis regresi secara simultan dari seluruh sub peubah bebas yang diduga berpengaruh terhadap sub peubah kemampuan pengorganisasian diri petani mengelola Hutan Rakyat dengan metode enter diperoleh nilai R2 sebesar 0,175. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pengorganisasian diri 137 dipengaruhi oleh sub peubah bebas sebesar 17,5 persen, dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk ke dalam analisis. Hasil analisis regresi selanjutnya diperoleh pengaruh nyata (pada taraf lima persen) yaitu 0,05 dari sub peubah motivasi petani mengelola Hutan Rakyat (Tabel 73). Tabel 73. Analisa signifikansi variabel bebas yang berpengaruh terhadap kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Koefisien Signifikansi Sub Variabel regresi Konstan 0,016* Jumlah pelatihan yang diikuti petani 0,307 0,024* Kemampuan komunikasi personal sumber belajar 0,162 0,248* Materi penyuluhan -0,350 0,036* Norma sosial yang mengikat anggota kelompok 0,395 0,006* Interaksi petani dan keluarganya 0,248 0,093* Nilai korelasi : 0,472 Nilai Koefisian Determinasi (R square/R2) : 0,223 a b c Sumber : Olahan data primer, 2012 Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan Signifikan pada α=0,05 Persamaan regresi dari sub peubah yang mempengaruhi kemampuan pengorganisasian diri anggota kelompok tani Hutan Rakyat adalah sebagai berikut : Y= 6.442 + 0,307 jumlah pelatihan + 0,162 kemampuan komunikasi personel sumber belajar ─ 0,350 materi penyuluhan ─ 0,395 norma sosial + 0,248 interaksi petani dan keluarganya Sub peubah jumlah pelatihan yang diikuti petani menunjukkan nilai signifikansi dibawah α=0,05 yaitu 0,024 sehingga signifikan berpengaruh terhadap kemampuan pengorganisasian diri dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Arah hubungan adalah positif menunjukkan bahwa peningkatan 1 satuan jumlah pelatihan yang diikuti petani akan meningkatkan kemampuan pengorganisasian diri 0,307 dengan asumsi sub peubah bebas lainnya bernilai tetap. Sub peubah materi penyuluhan menunjukkan nilai signifikansi dibawah α=0,05yaitu 0,036 sehingga signifikan berpengaruh terhadap kemampuan 138 138 pengorganisasian diri dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Arah hubungan adalah negatif menunjukkan bahwa peningkatan 1 satuan jumlah pelatihan yang diikuti petani akan menurunkan kemampuan pengorganisasian diri 0,350 dengan asumsi sub peubah bebas lainnya bernilai tetap. Sebaliknya penurunan materi penyuluhan akan meningkatkan 0,350 kemampuan pengorganisasian petani. Sub peubah norma sosial yang mengikat kelompok menunjukkan nilai signifikansi dibawah α=0,05 yaitu 0,006 sehingga signifikan berpengaruh terhadap kemampuan pengorganisasian diri dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Arah hubungan adalah positif menunjukkan bahwa peningkatan 1 satuan norma sosial yang mengikat anggota kelompok akan meningkatkan kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat sebanyak 0,395 dengan asumsi sub peubah bebas lainnya bernilai tetap. Sebaliknya penurunan 1 satuan norma sosial yang mengikat anggota kelompok akan menurunkan kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat sebanyak 0,395. Berdasarkan koefisien regresi, sub peubah yang paling berpengaruh terhadap terhadap kemampuan pengorganisasian diri petani berturutturut adalah adalah norma sosial yang mengikat anggota kelompok (0,395), materi penyuluhan (0,350), dan jumlah pelatihan yang diikuti petani (0,307). 7.1.3. Kemampuan Penerapan Anggota Kelompok Tani Pada sub bab ini akan dibahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perencanaan petani dalam mengelola Hutan Rakyat, dan merupakan jawaban atas hipotesis ketiga dari penelitian ini. Hipotesis : Kemampuan penerapan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat dipengaruhi oleh karakteristik personal petani, kompetensi sumber belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan hubungan interpersonal. Hasil analisis regresi secara simultan dari seluruh sub peubah bebas (karakteristik petani, kompetensi pendamping belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan hubungan interpersonal) yang 139 diduga berpengaruh terhadap sub peubah kemampuan penerapan petani mengelola Hutan Rakyat dengan metode enter diperoleh nilai R2 sebesar 0,247. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat dipengaruhi oleh sub peubah bebas sebesar 24,7 persen, dan sisanya 75,3 persen dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk ke dalam analisis. Hasil analisis regresi selanjutnya diperoleh nilai signifikansi pada taraf lima persen yaitu 0,000 dan 0,026 dari variabel jumlah pelatihan yang diikuti petani dan kemampuan pendamping belajar berkomunikasi dengan petani (Tabel 74). Kedua sub peubah di atas memiliki nilai Sig di bawah α=0,05, sehingga berpengaruh simultan dan signifikan terhadap kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Tabel 74. Analisa signifikansi sub peubah bebas yang berpengaruh terhadap Kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Koefisien Sub Variabel Signifikansi regresi Konstan 0,000* Umur -0,176 0,155* Jumlah pelatihan yang diikuti petani 0,478 0,000* Kemampuan sumber belajar berkomunikasi 0,278 0,026* Nilai korelasi R : Nilai Koefisian Determinasi (R square/R2) : 0,269 a b c Sumber : Olahan data primer, 2012 Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan Signifikan pada α=0,05 Persamaan regresi dari faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan penerapan anggota kelompok tani Hutan Rakyat adalah sebagai berikut : Y = 11.250 ─ 0,176 usia petani + 0,478 penguasaan materi + 0,218 pemahaman tujuan penyuluhan Sub peubah jumlah pelatihan yang diikuti petani menunjukkan nilai signifikansi 0,000 yaitu dibawah α=0,05 sehingga sub peubah tersebut signifikan berpengaruh terhadap kemampuan penerapan dalam pengelolaan Hutan Rakyat. 140 140 Arah hubungan adalah positif, menunjukkan bahwa peningkatan 1 satuan jumlah pelatihan yang diikuti akan meningkatkan kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat sebesar 0,478. Sebaliknya pengurangan 1 satuan jumlah pelatihan yang diikuti akan menurunkan kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat sebesar 0,478. Pelatihan di bidang pengelolaan Hutan Rakyat terkait dengan pengembangan kapasitas petani dalam mengelola lahan Hutan Rakyatnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin sedikit pelatihan yang diikuti petani maka kemampuan penerapan petani semakin berkurang. Semakin banyak pelatihan yang diikuti petani maka semakin baik kemampuan penerapan petani. Pelatihan yang diikuti petani di bidang Hutan Rakyat merupakan sarana petani untuk memperoleh tambahan informasi/pengetahuan dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Variabel kemampuan komunikasi pendamping belajar dalam pembelajaran petani menunjukkan nilai signifikansi 0,026 yaitu dibawah α=0,05 sehingga sub variabel tersebut signifikan berpengaruh terhadap kemampuan penerapan dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Arah hubungan adalah positif, sehingga peningkatan 1 satuan kemampuan komunikasi pendamping belajar akan meningkatkan kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Berdasarkan koefisien regresi, sub peubah yang paling berpengaruh terhadap terhadap kemampuan penerapan petani berturut-turut adalah adalah jumlah pelatihan yang diikuti petani (0,489) dan kemampuan berkomunikasi pendamping belajar (0,278). 7.1.4. Kemampuan Pengawasan Anggota Kelompok Tani Pada sub bab ini akan dibahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perencanaan petani dalam mengelola Hutan Rakyat, dan merupakan jawaban atas hipotesis keempat dari penelitian ini. Hipotesis : Kemampuan pengawasan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat dipengaruhi oleh karakteristik personal petani, kompetensi sumber belajar, kegiatan 141 penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan hubungan interpersonal. Hasil analisis regresi secara simultan dari seluruh sub peubah bebas (karakteristik petani, kompetensi pendamping belajar, kegiatan penyuluhan, kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan hubungan interpersonal) yang diduga berpengaruh terhadap variabel kemampuan pengawasan petani dalam mengelola Hutan Rakyat dengan metode enter diperoleh nilai R2 sebesar 0,291. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pengawasan dipengaruhi sub peubah terikat sebesar 29,1 persen, dan sisanya sebesar 70,9 dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk ke dalam analisis. Hasil analisis regresi selanjutnya diperoleh nilai signifikansi 0,001 dan 0,009 dari sub peubah pendapatan petani dan pengorganisasian kegiatan produksi (Tabel 75). Kedua sub peubah di atas memiliki nilai Sig di bawah α=0,05, sehingga berpengaruh simultan dan signifikan terhadap kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Tabel 75. Analisa signifikansi variabel bebas yang berpengaruh terhadap kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Sub Variabel Koefisien regresi Konstan Pendapatan petani Materi Penyuluhan Pengorganisasian Kegiatan Produksi -0,414 0,207 0,321 Signifikansi 0,000* 0,001* 0,088* 0,009* Nilai Korelasi R : Nilai Koefisian Determinasi (R square/R2) : 0,291 a b c Sumber : Olahan data primer, 2012 Sering = dilaksanakan 51-100% dari keseluruhan kegiatan Signifikan pada α=0,05 Persamaan regresi faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan pengawasan anggota kelompok tani Hutan Rakyatadalah sebagai berikut : Y = 13.300 ─ 0,414 pendapatan petani + 0,207 materi penyuluhan + 0,321 pengorganisasian kegiatan produksi 142 142 Sub peubah pendapatan petani dalam pembelajaran petani menunjukkan nilai signifikansi 0,001 yaitu di bawah α=0,05 sehingga sub peubah tersebut signifikan berpengaruh terhadap kemampuan pengawasan dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Arah hubungan adalah negatif, sehingga pengurangan 1 satuan pendapatan petani akan meningkatkan kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Sebaliknya peningkatan 1 satuan pendapatan petani akan menurunkan kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa bahwa semakin tinggi pendapatan petani maka kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat semakin berkurang. Sebaliknya semakin berkurang pendapatan petani, maka kemampuan pengawasan petani semakin meningkat. Sub peubah proses pengorganisasian kegiatan produksi menunjukkan nilai signifikansi 0,009 yaitu dibawah α=0,05 sehingga sub peubah tersebut signifikan berpengaruh terhadap kemampuan pengawasan dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Arah hubungan adalah positif, sehingga peningkatan 1 satuan pengorganisasian kegiatan produksi akan meningkatkan kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat sebesar 0,207. Sebaliknya pengurangan 1 satuan pengorganisasian kegiatan produksi akan menurunkan kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat sebesar 0,207. Berdasarkan koefisien regresi, sub peubah yang paling berpengaruh terhadap kemampuan pengawasan petani berturut-turut adalah pendapatan petani (0,414) dan pengorganisasian kegiatan produksi (0,321). 7.2 Kemampuan Anggota Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan petani memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan. Artinya semakin rendah tingkat pendapatan petani, maka semakin tinggi kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Sebaliknya semakin tinggi pendapatan petani, semakin rendah tingkat kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Hal tersebut 143 dapat pula dimaknai bahwa ketika pendapatan petani rendah, maka petani melakukan kegiatan perencanaan dalam pengelolaan Hutan Rakyat dengan lebih baik. Hutan Rakyat merupakan alternatif pendapatan petani yang dipandang berpotensi dapat memberikan tambahan pendapatan yang layak bagi petani. Ragam tingkat pendapatan responden disusun berdasarkan pendapatan dari lahan sawah, lahan Hutan Rakyat dan pendapatan sampingan. Petani subsisten dengan pendapatan rendah akan memperhitungkan manfaat atau keuntungan ekonomi yang dapat diperolehnya dari setiap sumber pendapatan. Petani akan merencanakan dengan cermat setiap tindakan ekonominya dengan memperhitungkan keterbatasan lahan dan sumber pendapatan yang dimilikinya. Temuan penelitian tersebut diperkuat dengan studi Scott (1983) mengenai moral ekonomi petani, bahwa terdapat nilai utamakan selamat dalam diri petani. Petani akan mengukur setiap tindakannya dengan tidak membahayakan pemenuhan kebutuhan dasarnya. Hal tersebut menjelaskan hasil uji regresi bahwa semakin rendah tingkat pendapatan petani maka kemampuan perencanaan petani mengelola lahan Hutan Rakyatnya semakin meningkat. Petani Hutan Rakyat dengan tingkat pendapatan rendah cenderung merencanakan pengelolaan lahannya dengan lebih cermat. Tindakan-tindakan ekonomi yang dilakukan petani merupakan tindakan alamiah petani untuk beradaptasi dengan kondisi keterbatasan yang melingkupinya, baik kondisi keterbatasan tenaga kerja, sumber pendapatan ataupun aset kepemilikan lahan. Oleh karena itu, tidak mudah mendorong petani dengan tingkat pendapatan yang berbeda-beda dapat berperilaku sama dalam kegiatan mengelola lahan Hutan Rakyatnya. Kemampuan perencanaan petani dapat dioptimalkan dengan membangun kesamaan pemahaman mengenai nilai penting investasi modal masing-masing petani, yang mendorong terbukanya wawasan ekonomi lebih luas dalam diri petani sehingga kemampuan perencanaan petani dalam mengelola Hutan Rakyat tidak hanya ditentukan oleh respon alamiah petani terhadap kondisi keterbatasan yang dihadapinya, melainkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional yang sudah berorientasi keberlangsungan kegiatan produksi. Kemampuan petani 144 144 merencanakan pengelolaan Hutan Rakyat juga dapat ditingkatkan dengan membuka peluang wirausaha yang berfokus pada hasil-hasil Hutan Rakyat selain kayu agar petani dapat meningkatkan pendapatannya. Lama petani mengelola Hutan Rakyat memiliki pengaruh positif terhadap kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Artinya semakin lama petani mengelola Hutan Rakyat, maka semakin tinggi kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Sebaliknya semakin singkat petani mengelola Hutan Rakyat. Semakin rendah tingkat kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Waktu yang dicurahkan petani mengelola Hutan Rakyat berpengaruh terhadap kemampuan merencanakan kebutuhan yang diperlukan dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Temuan ini diperkuat oleh penelitian Oladele (2011) yang menyatakan bahwa pengalaman berusahatani yang berasal dari pengalaman petani dalam kurun waktu tertentu merupakan hal yang penting dalam mengelola lahan. Pengembangan kapasitas petani dalam mengelola Hutan Rakyat ditentukan oleh pengalaman mengelola lahannya sehari-hari. Kemampuan perencanaan petani terbangun melalui proses pembelajaran dalam kurun waktu tertentu yang cukup memberikan pembelajaran petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Semakin lama pengalaman yang diperoleh petani, maka semakin baik kemampuan perencanaan yang dimilikinya. Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa variabel norma sosial yang mengikat petani memiliki pengaruh positif terhadap kemampuan perencanaan dan kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Hal tersebut dapat diartikan bahwa semakin kuat ikatan norma sosial dalam kelompok tani maka semakin tinggi kemampuan perencanaan dan kemampuan pengorganisasian diri petani dalam mengelola Hutan Rakyat. Semakin longgar ikatan norma sosial dalam kelompok tani semakin rendah kemampuan perencanaan dan pengorganisasia diri petani dalam mengelola Hutan Rakyat. Norma merupakan elemen dasar dalam kehidupan sosial. Kehidupan sosial selain memiliki konsekuensi berupa komitmen, juga didasarkan pada 145 kerjasama, saling memperhatikan dan membutuhkan. Kelompok tani Hutan Rakyat merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat secara luas. Bentuk kehidupan sosial dalam kelompok tani Hutan Rakyat adalah adanya interaksi antara anggota kelompok tani Hutan Rakyat. Menurut Setiadi dan Kolip (2010) norma tidak dapat dipisahkan dari nilai. Nilai merupakan sesuatu yang dianggap sebagai hal yang baik, patut, layak, benar, maka norma merupakan perwujudan dari nilai yang didalamnya terdapat kaidah, aturan, patokan, atau kaidah pada suatu tindakan (aksi). Norma merupakan cara kelakuan sosial yang disetujui oleh nilai, sehingga setiap pola perilaku yang telah dijadikan norma mengandung unsur pembenaran. Pemberlakuan norma sosial ditujukan untuk menekan anggota masyarakat agar segala perbuatan (perilaku) yang dilakukan anggota kelompok tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang telah disepakati bersama. Interaksi sosial antar anggota kelompok tani Hutan Rakyat diatur oleh norma sosial yang disepakati dan dipatuhi bersama oleh seluruh anggota kelompok. Berlangsungnya hubungan sosial yang mapan diindikasikan dengan kuatnya ikatan norma sosial kelompok akan mendorong anggota kelompok mewujudkan tujuan bersama yang ingin dicapai melalui kelompok tani Hutan Rakyat. Petani Hutan Rakyat akan secara cermat merencanakan kegiatan produksi Hutan Rakyat di lahannya sekaligus berusaha mengorganisasikan dirinya dalam kelompok tani Hutan Rakyat. Temuan penelitian ini diperkuat oleh penelitian Ranjan (2010) yang menyatakan bahwa keberadaan norma sosial di masyarakat agraris mendorong petani tetap berkelompok dan mengelola keterbatasan sumber daya yang mereka miliki secara berkelanjutan. Griskevicius et al. (2008) lebih lanjut menggambarkan kemampuan norma sosial dalam mempengaruhi perilaku individu atau kelompok pro lingkungan terkait perubahan iklim. Norma berperan sebagai alat perekat solidaritas sosial di dalam kehidupan kelompok. Kelompok tani Hutan Rakyat harus mampu memberikan suasana kondusif terhadap terjadinya interaksi antar anggota kelompok tani yang dilandasi ikatan kuat terhadap norma-norma sosial kelompok. 146 146 Norma sosial yang mengikat anggota kelompok dan mendasari hubunganhubungan sosial dalam kegiatan produksi Hutan Rakyat, kehidupan berkelompok, dan bermasyarakat. Semakin kuat ikatan norma sosial diantara anggota kelompok akan membangun kebersamaan dan solidaritas kelompok yang kuat sehingga kelembagaan petani semakin mapan. Hal itu dapat meningkatkan upaya pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat di antara anggota kelompok agar memperoleh taraf kehidupan yang lebih baik. Berdasarkan uraian di atas, kemampuan perencanaan anggota kelompok tani dalam pengelolaan Hutan Rakyat ditentukan oleh : (1) Tingkat pendapatan petani, (2) keterlibatan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat, dan (3) Kemapanan norma sosial yang mengikat anggota kelompok tani Hutan Rakyat. Kemampuan pengorganisasian diri petani selain dipengaruhi oleh norma sosial yang mengikat anggota kelompok, juga dipengaruhi oleh jumlah pelatihan yang diikuti petani dan kualitas materi penyuluhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pelatihan yang diikuti petani memiliki pengaruh positif terhadap kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan. Artinya semakin banyak jumlah pelatihan yang diikuti petani, maka semakin tinggi kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Sebaliknya semakin sedikit pelatihan yang diikuti petani, maka semakin rendah kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Jumlah pelatihan yang diikuti petani juga memiliki pengaruh positif terhadap kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Artinya semakin banyak jumlah pelatihan yang diikuti petani, maka semakin tinggi kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Sebaliknya semakin sedikit pelatihan yang diikuti petani, maka semakin rendah kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Pelatihan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelatihan terkait Hutan Rakyat yang diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan keterampilan petani dalam mengelola Hutan Rakyatnya. Jumlah pelatihan yang diikuti petani setara dengan tambahan pengetahuan atau keterampilan petani 147 terhadap pengelolaan Hutan Rakyat. Dixit et al. (1990) dalam Jha (2012) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dalam bidang perhutanan sosial (social forestry) dengan adopsi pelaksanaan wanatani (agroforestry). Pelatihan di bidang Hutan Rakyat merupakan adopsi terhadap bentuk pengelolaan lahan yang relatif baru bagi anggota kelompok tani Hutan Rakyat. Proses adopsi tersebut berlangsung melalui proses pembelajaran petani. Kimaru-Muchai et al (2012) menyatakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap penyebaran informasi mengenai kesuburan tanah di Kenya. Tingkat pendidikan petani dapat diartikan sebagai ragam pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki petani. Hal tersebut menunjukkan pentingnya pengembangan kapasitas anggota kelompok melalui tambahan pengetahuan dan keterampilan terkait pengelolaan Hutan Rakyat. Pelatihan terkait Hutan Rakyat akan memberi wawasan kepada petani mengenai pentingnya pengembangan kapasitas kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat dalam hal ini kelompok tani agar dapat membantu mewujudkan tujuan yang ingin dicapainya. Variabel bebas lainnya yang berpengaruh terhadap pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat adalah materi penyuluhan. Materi penyuluhan memiliki pengaruh negatif terhadap kemampuan pengorganisasian diri. Artinya peningkatan kualitas materi penyuluhan akan menurunkan kemampuan pengorganisasian diri petani. Sebaliknya penurunan kualitas materi penyuluhan akan meningkatkan kemampuan pengorganisasian petani. Materi penyuluhan yang saat ini digunakan atau diberikan dalam kegiatan pembelajaran Hutan Rakyat belum mengarahkan petani bertindak dalam konteks kelembagaan, pengetahuan/informasi yang diberikan justru lebih kepada mendorong kemandirian petani untuk secara individu mampu memenuhi kebutuhannya sendiri terkait pengelolaan Hutan Rakyat. Materi penyuluhan memiliki peran penting dalam proses pembelajaran. Materi penyuluhan dapat mendorong terjadinya perubahan perilaku dalam individu. Berdasarkan uraian di atas, kemampuan pengorganisasian diri anggota kelompok tani ditentukan oleh : (1) kemapanan norma sosial yang mengikat anggota kelompok tani Hutan Rakyat, 148 148 (2) materi penyuluhan harus membangun dasar-dasar kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat, dan (3) terbukanya kesempatan dan akses yang dimiliki petani untuk mengikuti pelatihan Hutan Rakyat. Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa kemampuan berkomunikasi sumber belajar dalam pembelajaran petani Hutan Rakyat memiliki pengaruh positif terhadap kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Artinya semakin baik kemampuan komunikasi sumber belajar, maka akan semakin baik kemampuan penerapan petani Hutan Rakyat. Komunikasi antara petani dan sumber belajar dalam pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat menjadi penting karena petani harus mampu memahami dengan baik aspek-aspek apa saja yang perlu dilakukan dalam mewujudkan kegiatan perencanaan. Komunikasi yang baik antara petani dan sumber belajar mendorong terjadinya kesesuaian antara informasi yang ingin disampaikan dan tercapainya pelaksanaan sasaran kegiatan yang diinginkan. Kemampuan penerapan anggota kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat ditentukan oleh : (1) terbukanya kesempatan dan akses yang dimiliki petani untuk mengikuti pelatihan Hutan Rakyat sesuai dengan kebutuhan anggota kelompok tani, (2) sumber belajar mampu berkomunikasi dengan baik dalam kegiatan pembelajaran kelompok tani dan memberikan panduan konkrit pelaksanaan kegiatan Hutan Rakyat, baik dalam panduan teknis Hutan Rakyat maupun mengenai kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat. Kemampuan pengawasan petani dipengaruhi oleh pendapatan petani,. Pendapatan petani memiliki pengaruh negatif kemampuan pengawasan petani terhadap dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Artinya semakin rendah tingkat pendapatan petani, maka semakin tinggi kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Sebaliknya semakin tinggi pendapatan petani, maka semakin rendah kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, pendapatan responden petani Hutan Rakyat disusun berdasarkan pendapatan dari lahan sawah, lahan Hutan Rakyat dan pendapatan sampingan. Petani subsisten dengan pendapatan 149 rendah selain memperhitungkan dengan cermat manfaat atau keuntungan ekonomi yang dapat diperolehnya dari setiap sumber pendapatan juga akan mengawasi dengan baik pengelolaan Hutan Rakyatnya. Pengelolaan Hutan Rakyat tidak dapat dipisahkan dari keberadaan lahan milik petani. Tanah atau lahan memiliki nilai penting bagi petani pengelolanya. Polanyi (1957) dalam Wolf (1985) menyatakan bahwa tanah bagi petani adalah komoditi dan harga belinya dianggap sebagai investasi modal. Dalam hal ini maka petani akan memperlakukan tanahnya sebaik mungkin. Petani dengan lahan sempit dan tingkat pendapatan rendah akan cenderung mengganggap lahannya sebagai aset kepemilikan berharga yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Petani dalam hal ini akan turun langsung mengolah lahannya dan mengerahkan anggota keluarganya untuk ikut membantu di lahan. Petani berlahan luas dengan tingkat pendapatan yang tinggi cenderung akan lebih longgar mengolah lahannya, dikarenakan surplus ekonomi yang diterimanya dari lahan. Petani sudah mulai mempekerjakan sejumlah orang untuk mengerjakan lahannya dan tidak turun tangan sendiri di lahan. Sebagaimana dinyatakan oleh Scott (1983) dalam studinya mengenai moral ekonomi petani yaitu bahwa terdapat nilai utamakan selamat dalam diri petani. Petani akan mengukur setiap tindakannya dan sedapat mungkin tidak membahayakan pemenuhan kebutuhan dasarnya. Uraian tersebut menjelaskan bagaimana semakin rendah pendapatan petani maka kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyatnya semakin meningkat. Tindakantindakan ekonomi yang dilakukan petani merupakan tindakan alamiah petani untuk beradaptasi dengan kondisi keterbatasan yang melingkupinya, baik kondisi keterbatasan tenaga kerja, sumber pendapatan ataupun aset kepemilikan lahan. Oleh karena itu, sebagaimana kemampuan perencanaan petani, kemampuan pengawasan petani dapat dioptimalkan dengan membangun pemahaman mengenai nilai penting investasi modal masing-masing petani. Keterbukaan wawasan ekonomi yang lebih luas dalam diri petani mendorong kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat tidak hanya ditentukan oleh 150 150 respon alamiah petani terhadap kondisi keterbatasan yang dihadapinya. Sebagian besar petani Hutan Rakyat memiliki pendapatan sampingan di luar lahan (offfarm). Hal tersebut menunjukkan pula bahwa petani dengan pendapatan tinggi dan merasa aman (financial safety) maka ia tidak merasa perlu mengawasi lahan Hutan Rakyatnya secara intensif. Petani dengan pendapatan rendah, menganggap bahwa lahan Hutan Rakyat merupakan aset yang harus dikelola dan diawasi dengan baik. Kemampuan pengawasan petani dipengaruhi pula oleh pengorganisasian kegiatan produksi dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Pengorganisasian kegiatan produksi memiliki pengaruh positif terhadap kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Artinya semakin baik pengorganisasian kegiatan produksi dalam pengelolaan Hutan Rakyat maka akan semakin baik kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Kemampuan pengawasan petani ditentukan oleh : (1) keterbatasan lahan yang dimilikinya dan (2) pembagian kerja yang terorganisir dengan alur koordinasi yang jelas. 7.9 Strategi Penguatan Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Strategi penguatan kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat dilakukan dengan memetakan permasalahan yang dihadapi petani dan mengintegrasikannya dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan anggota kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat. Keberlangsungan pengelolaan Hutan Rakyat salah satunya ditentukan oleh kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat. Kelompok tani Hutan Rakyat merupakan bagian dari kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat dan berperan penting sebagai wadah interaksi antar anggota kelompok tani Hutan Rakyat. Proses pembelajaran petani terjadi dalam kelompok tani Hutan Rakyat. Kelompok tani memfasilitasi penyelenggaraan kegiatan produksi Hutan Rakyat. Peningkatan kualitas pengelolaan Hutan Rakyat di masa mendatang dapat dilakukan dengan merumuskan strategi yang menekankan pada penguatan kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat. 151 Pretty (1995) mengemukakan bahwa kelompok dan kelembagaan lokal sudah sejak lama berperan penting dalam pembangunan pertanian pedesaan. Pembangunan pertanian yang berkelanjutan tidak hanya tergantung pada motivasi masing-masing petani, tetapi juga tergantung pada tindakan kelompok atau masyarakat secara keseluruhan. Kelompok tani berperan penting dalam pengelolaan Hutan Rakyat sebagaimana halnya dalam pertanian pedesaan. Pengelolaan Hutan Rakyat adalah proses pembelajaran petani Hutan Rakyat mengenai cara mengelola Hutan Rakyat berdasarkan kaidah yang ditentukan. Penelitian Millar dan Curtis (1997) menemukan bahwa interaksi antar petani, baik diantara mereka sendiri, maupun bersama dengan para ahli dan penyuluh, berdampak pada terjadinya pertukaran pengetahuan yang memfasilitasi proses pembelajaran petani secara lebih mendalam. Fasilitasi yang efektif sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses pembelajaran kelompok petani. Strategi penguatan kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat secara garis besar terbagi menjadi strategi penguatan kelompok melalui pengembangan kapasitas anggota kelompok didukung dan reorientasi penyelenggaraan kegiatan penyuluhan kehutanan. Pengembangan kapasitas anggota kelompok mengandung pengertian peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam kelompok tani. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam kelompok tani dilakukan melalui: (1) peningkatan pendapatan petani pengelola Hutan Rakyat, (2) peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok tani Hutan Rakyat, (3) Keterbukaan akses terhadap pelatihan Hutan Rakyat sesuai kebutuhannya, (4) Peningkatan kapasitas sumber belajar, dan (5) Peningkatan kemampuan petani dalam aspek pemasaran Hutan Rakyat. Strategi penguataan kelompok tersebut harus didukung oleh reorientasi penyelenggaraan penyuluhan kehutanan terkait Hutan Rakyat. Reorientasi penyelenggaraan penyuluhan kehutanan pada dasarnya adalah memaknai kembali kegiatan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan yang sudah berjalan saat ini. Kesesuaian sistem yang ada dengan kebutuhan petani, kemudahan akses 152 152 informasi, dan dukungan parapihak. Beberapa hal yang perlu dipikirkan kembali dalam penyelenggaraan kegiatan penyuluhan adalah keterlibatan multipihak yang berjalan saat ini dalam pola pembelajaran petani. Tabel 76. Strategi penguatan kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat No. Masalah 1. Rendahnya tingkat pendapatan petani Hutan Rakyat 2. Tujuan Program - Petani memiliki pemahaman mengenai nilai-nilai investasi modal - Petani memiliki sumber pendapatan lainnya untuk meningkatkan pendapatan Kelembagaan - Komitmen anggota pengelolaan kelompok Hutan Rakyat terhadap masih belum mapan kelompok tani meningkat - Pemahaman petani terhadap aspek kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat meningkat Program Sasaran Pelaksana - Diversifikasi usaha masyarakat dari lahan Hutan Rakyat - Pelatihan pembuatan kerajinan siap jual dari limbah kayu Hutan Rakyat - Pelatihan pengolahan hasil-hasil palawija menjadi barang siap jual - Pelatihan kewirausahaan dengan pola kemitraan Petani Hutan Rakyat dengan penghasilan rendah - Pemerintah - Instansi Dinas terkait - Dinas Kehutanan Kab/Prop. - BKP5K - BP3K - Pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok tani Hutan Rakyat Petani sebagai anggota kelompok tani Hutan Rakyat Petani Hutan Rakyat dengan penghasilan memadai - Pemerintah - Instansi/UP T terkait - Lembaga penyuluhan - LSM Swadaya 153 Tabel 76. Strategi penguatan kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat (Lanjutan) No. Masalah 3. Kesempatan petani memperoleh tambahan pengetahuan dan keterampilan Hutan Rakyat masih terbatas 4. Kemampuan sumber belajar dalam pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat masih terbatas 5. Penguasaan petani terhadap aspek pemasaran masih rendah Tujuan Program Petani memperoleh kesempatan pelatihan Hutan Rakyat sesuai kebutuhannya Program Sasaran Pelaksana - Identifikasi kebutuhan petani terhadap pelatihan Hutan Rakyat - Peningkatan penyelenggara an pelatihan Hutan Rakyat bagi petani Petani pengelola Hutan Rakyat - Pemerintah - Instansi/UPT terkait - Lembaga penyuluhan - LSM Swadaya Peningkatan kapasitas sumber belajar - Identifikasi tingkat pengetahuan dan keterampilan sumber belajar - Penyusunan rancangan materi pembelajaran sesuai kebutuhan sumber belajar - Pelatihan untuk meningkatkan kompetensi sumber belajar Ketua kelompok tani, penyuluh kehutanan, penyuluh swadaya masy, kader sumber belajar - Pemerintah - Instansi/UPT terkait - Dinas Kehutanan Kab/Prop. - BKP5K - BP3K Petani menguasai aspek pemasaran Hutan Rakyat - Pendampingan petani Hutan Rakyat - Pelatihan kewirausahaan Hutan - Pembentukan koperasi Hutan Rakyat Petani pengelola Hutan Rakyat - Pemerintah - Instansi/UPT terkait - Lembaga penyuluhan - LSM Swadaya 154 154 Tabel 76. Strategi penguatan kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat (Lanjutan) No. Masalah 6. Hasil kayu Hutan Rakyat belum maksimal 7. Petani Hutan Rakyat sulit memperoleh bantuan modal Tujuan Program Petani memiliki pengetahuan dan keterampilan mengelola Hutan Rakyat secara berkelanjutan - Pendampingan Pengelolaan Hutan berbasis Masyarakat lestari - Pelatihan Hutan Rakyat Petani pengelol a Hutan Rakyat - Pemerintah - Instansi/UPT terkait - Lembaga penyuluhan - LSM Swadaya Terbukanya akses modal terhadap petani untuk meningkatkan skala usahanya - Bank masuk desa - Program simpan-pinjam petani Hutan Rakyat Petani pengelol a Hutan Rakyat - Pemerintah - Instansi/UPT terkait - Lembaga penyuluhan - Perbankan Program Sasaran Pelaksana 155 VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan Simpulan yang dapat disampaikan dari penelitian ini adalah : 1. Pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat dalam kelompok tani telah mendorong terjadinya perubahan perilaku petani dalam mengelola lahan. Perubahan pengelolaan lahan dari semula pertanian sawah lahan basah menjadi Hutan Rakyat di lahan kebun dengan pola penanaman dan pemeliharaan yang berbeda merupakan bentuk inovasi yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan baru dari petani. 2. Pengelolaan Hutan Rakyat masih menghadapi beberapa permasalahan, yaitu masih rendahnya kesempatan anggota kelompok memperoleh tambahan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan non-formal terkait Hutan Rakyat, belum maksimalnya pelaksanaan kegiatan penyuluhan kehutanan dari lembaga penyuluhan beserta unit pelaksana teknis terkait, keterbatasan luas lahan, rendahnya pendapatan petani dan masih kurang memadainya kapasitas anggota kelompok tani dalam kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat. 3. Kemampuan perencanaan petani dapat meningkat apabila petani memperoleh wawasan yang memadai mengenai nilai penting lahan Hutan Rakyat yang dimilikinya, petani memperoleh kesempatan meningkatkan pendapatannya, terlibat dalam rentang waktu yang cukup pada program Hutan Rakyat sehingga memiliki pengalaman pembelajaran yang memadai dalam mengelola Hutan Rakyat, dan terdapat solidaritas tinggi di antara anggota kelompok tani karena diikat oleh norma sosial kelompok yang kuat. 4. Kemampuan petani mengorganisir diri dalam kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat dapat meningkat apabila petani memperoleh kesempatan mengikuti pelatihan Hutan Rakyat sesuai kebutuhannya dan didukung oleh media kelompok tani dengan solidaritas tinggi di antara anggota kelompok tani Hutan Rakyat. 156 156 5. Kemampuan petani menerapkan hasil pembelajaran Hutan Rakyatnya dapat meningkat apabila petani memperoleh kesempatan mengikuti pelatihan Hutan Rakyat sesuai kebutuhannya dan sumber belajar memperoleh bimbingan atau mengikuti pelatihan pengajaran untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan petani sebagai pembelajar. 6. Kemampuan petani mengawasi kegiatan produksi Hutan Rakyat dapat meningkat apabila petani memperoleh wawasan yang cukup mengenai pentingnya aspek pengawasan dalam kegiatan produksi Hutan Rakyat didukung oleh pelaksanaan kegiatan yang terorganisir dengan baik. 7. Ketua kelompok tani berperan penting dalam mengkoordinasikan seluruh kegiatan produksi Hutan Rakyat, sehingga ketergantungan kelompok tani terhadap ketua kelompok masih sangat besar. 8. Bentuk pembelajaran petani berlangsung secara vertikal dan horisontal. Secara vertikal yaitu antara anggota kelompok-ketua kelompok tani dan anggota kelompok-penyuluh kehutanan. Secara horisontal pembelajaran petani berlangsung dari petani ke sesama petani lainnya yang dianggap lebih berpengalaman. 8.2 Saran Adapun saran yang dapat disampaikan adalah : 1. Pemerintah, terdiri dari lembaga penyuluhan dan instansi teknis terkait melakukan identifikasi dan inventarisasi data mengenai kompetensi sumber belajar yang saat ini terlibat dalam pembelajaran petani Hutan Rakyat. Hasil identifikasi tersebut digunakan sebagai bahan untuk merancang bentuk kegiatan peningkatan kompetensi sumber belajar yang dapat dilakukan, antara lain melalui penyelenggaraan pelatihan bagi sumber belajar sesuai kebutuhan terhadap jenis kompetensi sumber belajar yang dibutuhkan oleh petani Hutan Rakyat agar kemampuan mengelola lahannya dapat meningkat. 2. Pemerintah, terdiri dari lembaga penyuluhan dan instansi teknis terkait mengkaji kembali dukungan sistem penyuluhan yang berjalan saat ini 157 terhadap proses pembelajaran petani Hutan Rakyat di lapangan dan kesesuaian kebijakan-kebijakan penyuluhan yang berjalan saat ini dengan kebutuhan petani Hutan Rakyat. Reorientasi dan perombakan sistem penyuluhan perlu dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan kegiatan penyuluhan kehutanan sebagai ujung tombak keberhasilan Hutan Rakyat. 9. Pemerintah, terdiri dari lembaga penyuluhan dan instansi teknis terkait menyusun rancangan upaya peningkatan kapasitas petani antara lain melalui penyelenggaraan pelatihan Hutan Rakyat secara intensif, memberikan materi penyuluhan yang lebih komprehensif kepada petani Hutan Rakyat, mengembangkan pembelajaran petani berbasis pengalaman dan pemecahan masalah (problem solving) petani, serta membangun kemandirian dalam dinamika kelompok dengan mengembangkan potensi masing-masing anggota kelompok secara maksimal. 3. Strategi untuk meningkatkan kemampuan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat lebih ditujukan untuk meningkatkan peran kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat dalam pembelajaran petani Hutan Rakyat, sekaligus mendorong bentuk penyuluhan swadaya yang partisipatif. 4. Peran kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat dapat ditingkatkan dengan membangun kesepahaman parapihak mengenai pentingnya kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat. Kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat harus mampu memfasilitasi proses pembelajaran petani agar terjadi perubahan perilaku untuk mampu melakukan perbaikan lingkungan sekaligus memperoleh taraf kehidupan yang lebih baik. Kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat yang dibangun terdiri dari parapihak yaitu petani pengelola Hutan Rakyat, pemerintah (Tingkat Provinsi dan Kabupaten), lembaga penyuluhan (BKP5K/BP3K), perguruan tinggi, dinas instansi terkait (Kementerian Kehutanan, Pertanian, Perindustrian, dan lainnya), lembaga pendukung (lembaga donor/LSM pendamping) dan perbankan. 5. Keterhubungan dan sinergitas multipihak dalam kelembagaan pengelolaan Hutan Rakyat dikoordinasikan pelaksanaannya oleh pemerintah (Tingkat 158 158 Provinsi dan Kabupaten), lembaga penyuluhan, dan instansi teknis terkait. Oleh karena itu perlu dibentuk wadah pendampingan pengelolaan Hutan Rakyat di Tingkat Provinsi/Kabupaten. 6. Penyuluhan swadaya yang partisipatif adalah bentuk penyuluhan yang dilakukan di antara petani atau dari petani ke petani Hutan Rakyat (farmer to farmer extension) secara mandiri dan dilakukan oleh ketua kelompok tani beserta seluruh anggota kelompok tani Hutan Rakyatnya. Penyuluhan swadaya partisipatif dibina dan dikoordinasikan penyelenggaraannya oleh pemerintah (Tingkat Provinsi dan Kabupaten) bekerjasama dengan lembaga penyuluhan setempat (BKP5K, BP3K). 159 DAFTAR PUSTAKA Agarwal, B. 1994. A field of one's own: Gender and land rights in South Asia. Cambridge University press Agustine R. 2006. Satu lagi, Hutan Rakyat Mendapatkan Sertifikat Ekolabel IntipHUTAN Media Informasi Seputar Hutan Indonesia. Bogor : Forest Watch Indonesia Agusyana Yus, Islandscript. 2011. Olah Data Skripsi dan Penelitian dengan SPSS 19. Jakarta : PT Elex Komputindo Ancok D. 2012. Psikologi Kepemimpinan dan Inovasi. Jakarta : Penerbit Erlangga Andayani, W. 2003. Strategi Pengembangan Hutan Rakyat. Jurnal Hutan Rakyat V (3). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan. Arsyad A. 1997. Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada Asdak, C. 1999. DAS sebagai Satuan Monitoring dan Evaluasi Lingkungan: Air sebagai Indikator Sentral. Seminar Sehari PERSAKI DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Air; 1999 Des 21; Jakarta. Anderson J, Farrington, J. 1996. Forestry extension: facing the challenges of today and tomorrow. UNASYLVA (41)184: 3-12. Azwar, Saifuddin. 2012. Penyusunan Skala Psikologi. Edisi 2. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Berk LE. 2007. Development through the life span. Fourth Edition. Boston : Allyn & Bacon Budiman A, Handayani W, Diniyati D, Fauziyah E, Hani A, Widyaningsih TS, Herawati T. 2008. Hutan Rakyat Jawa Barat : Status Riset dan Strategi Pengembangannya. Ciamis : Balai Penelitian Kehutanan Ciamis Bukenya M, Bbale W, Buyinza M, Ndemere P. 2007. Effectiveness of individual and Group Agroforestry Extension Methods : A Case Study of ViAgroforestry Project in Uganda.. Research Journal of Applied Science 2(12): 1224-128. Medwell Journal 160 160 Carr GF. 2011. Empowerment: A Framework to Develop Advocacy in African American Grandmothers Providing Care for Their Grandchildren. International Scholaly Research Network. Volume 2011, Article ID 5311717, 7 pages. Carter J, Stockdale M, Roman FS, Lawrence A. 1995. Local People’s Perticipation inForest Resource Assessment: An Analysis of Recent Experience, with Case Studies from Indonesia and Mexico. Commonwealth Forestry Review 74(4), 1995. Halaman 333-341 Chavangi AH, Zimmermann R. 1987. Guide to farm forestry. Nairobi: Ministry of Environment and Natural Resources. Cohen BJ. 1992. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta :Penerbit Rineka Cipta Departemen Kehutanan. 1996. Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Kerjasama Pusat Penyuluhan Kehutanan Departemen Kehutanan Republik Indonesia dengan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS). Jakarta : Departemen Kehutanan Direktorat RHL, Ditjen RLPS Kementerian Kehutanan (2009) [DFID] Department for International Development. 2003. Key Sheet 6. Participation in Forest Management dalam Key Sheet for Sustainable Livelihood. London: DFID [Internet]. [Diunduh 2011 Desember 15]. Tersedia pada : www. Dfid.gov.uk Departemen Kehutanan. 2002. Rencana Strategis Departemen Kehutanan. Jakarta : Departemen Kehutanan [Dinas Kehutanan Kabupaten Bogor]. 2010. Monografi Dinas Kehutanan Kabupaten Bogor De Vito JA. 2011. Komunikasi Antarmanusia. Saputra L, Wahyu YI, Prihantini Y, editor. Jakarta : Karisma Publishing Group. Terjemahan dari: The Interpersonal Communication Book (Fifth Edition) Effendi A. 2000. Hutan bagi masyarakat. Majalah Kehutanan Indonesia, Edisi 3/XIII/1999-2000. Jakarta: Departemen Kehutanan Dan Perkebunan Ferdaus RM. 2005. Peluang Sertifikasi Hutan Rakyat di Kabupaten Gunung Kidul. Label Hijau : Kompilasi Pengetahuan dan Pengalaman Sertifikasi Ekolabel di Indonesia. Bogor : Lembaga Ekolabel Indonesia 161 Foti Richard, Nyakudya Innocent, Moyo Mack, Chikuvire John, Mlambo Nyararai. 2007. Determinants of Farmer Demand for “Fee-for-Service” Extension in Zimbabwe: The Case of Mashonaland Central province. Journal of International Agricultural and Extension Education [Internet]. Volume 14 no. 1; [Diunduh 2012 Jul 18]. Tersedia pada www. Glendinning A, Mahapatra A, Mitchell C. P.2001. Modes of Communication and Effectiveness of Agroforestry Extension in Eastern India. Cornell University : Human Ecology Griskevicius V, Cialdini RB, Goldstein NJ. 2008. Social Norms: An Underesimated and underemployed Lever for Managing Climate Change. IJSC [Internet]. Volume 3 (2008): 5-13; [Diunduh 2013 Januari 24]. Tersedia pada: www.ijsc-online.org Gunawan B, Takeuchi K, Abdoellah OS. 2004. Challenges to community participation in watershed management: an analysis of fish farming activities at saguling eservoir, West Java – Indonesia. Journal Water Policy 6. Halaman 319-334. Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia Hamid dan Sultan A. 2005. Studi kasus Sertifikasi Pengelolaan Hutan Jati di Tanah Milik Masyarakat, Kabupaten Konawe Selatan. Label Hijau : Kompilasi Pengetahuan dan Pengalaman Sertifikasi Ekolabel di Indonesia. Bogor : Lembaga Ekolabel Indonesia Hauser M, Aigelsperger L, Owamani A, Delve RJ. 2010. Learning achievement of farmers during the transition to market-oriented organic agriculture in rural Uganda. Journal Agriculture and Rural Development in The Tropics and Subtropics [Internet]. [Diunduh 2012 Jul 2]. Tersedia pada : www.jart.info Hudiyani, Indiyah. 2009. Kelembagaan Penyuluhan Partisipatif Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat (Studi Kasus Komunitas Petani Sertifikasi Percabaan Dusun Pagersengon Kelurahan Selopuro Kecamatan Batuwarno Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah) [tesis]. Institut Pertanian Bogor. Hutapea dan Thoha, Parulian dan Nurianna. 2008. Kompetensi Plus :Teori, Desain, Kasus, dan Penerapan untuk HR dan Organisasi yang dinamis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama 162 162 Huxley P, Helenvan Houten. 2003. Glossary for agroforestry. World Agroforestry Centre. Mugiyono Is. 2009. Penyusunan Database Hutan Rakyat di Pulau Jawa (Sebagai Prakondisi Implementasi Sistem Legalitas Kayu dan Rencana Proyek Karbon). Workshop di Sahid Raya Hotel-Yogyakarta 2009 Agustus 19 Iqbal M. 2007. Concent and Implementation of Participation and Empowerment:Reflection from the Coffee IPM-SECP. Makara Sosial Humaniora, Vol. 11 No. 2 Desember 2007. Halaman 58-70 Jaffee S, Srivastava J. 1992. Seed System Development : The Appropiate Roles of the Private and Public Sectors. World Bank Discussion Paper; 167. Washington : World Bank Jha KK. 2012. Factors Influencing Knowledge Level of Farmers about Social Forestry. J Hum Ecol, 38(3): 175-180 Kerlinger FN. 2006. Asas-asas Penelitian Behaviorial. Cetakan ketiga. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Kimaru-Muchai SW, Mugwe JN, Mucheru-Muna M, Mirura FS, Mugendi DN. 2012. Infuence of education level on dissemination of soil fertility management information in the central highlands of Kenya. Journal of Agriculture and Rural Development in the Tropics and Subtropics [Internet]. [Diunduh pada 2013 Februari 16]; vol 113 No.2 (2012) 89-99. Tersedia pada : www.jarts.info Klausmeier HJ, Goodwin, W. 1971. Learning and Human Abilities: Educational Psychology. Fourth Edition. New York : Harper & Row Publishers Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Penerbit PT. Rineka Cipta Latan H dan Temalagi S. 2013. Analisis Multivariate (Teknik dan Aplikasi menggunakan program IBM SPSS 20.0). Bandung : Alfabeta Leeuwis, Cees. 2009. Komunikasi untuk Inovasi Pedesaan. Berpikir Kembali tentang Penyuluhan Pertanian.Yogyakarta : Penerbit Kanisius Lionberger HF, Gwin PH. 1982. Communication Strategis : A Guide for Agricultural Change Agent. United State of America : The Interstate Printers and Publisher Inc 163 Lucas R, Handoyo, Fay C, Sirait M, Paysa G. 2002. Model Konservasi fungsi Hutan Artikel Baru pendekatan perhutanan sosial. Paper utama dalam Seminar Perhutanan Sosial. Bogor : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Mahaliyanaarachchi RMAS B, Rohana P. 2006. Commercialization of Agriculture and Role of Agricultural Extension. Sabaragamuwa University Journal, vol 6, no. 1, halaman 13-22 Millar J, Curtis A. 1997. Moving Farmer knowledge beyond the farm gate: An Australian study of farmer knowledge in group learning. European Journal of Agricultural Education and Extension. Vol. 4 No. 2 Mosher AT. 1966. Getting Agriculture Moving: Essentials For Development and Modernization. New York : The Agricultural Development Council Mindawati N, Asmanah W, Rustaman B. Review Hasil Penelitian Hutan Rakyat. Priyono NS, editor. 2006. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Oladele OI. 2011. Contribution of indigenous vegetables and fruits to poverty alleviation in Oyo State, Nigeria. J Hum Ecol. 34(1) :1-6 Pearson JP. 1983. Interpersonal Communication. Illinois : Scott, Foresman, and Company Peterson NA, Speer PW, Peterson CH. 2011. Pathways to Empowerment in Substance Abuse Prevention: itizan Participation, Sense of Community, and Police Responsiveness in an Urban U.S Setting. Global Journal of Comminity Psychology Practice [Internet]. Volume 1, Issue 3; [Diunduh 2012 Agustus 8]. Tersedia pada : www.gicpp.org Pretty JN. 1995. Regenerating Agriculture, Policies and Practise for Sustainability and Self-Reliance. London : Earthscan Publication Ltd Priyatno Duwi. 2012. Mandiri Belajar Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta : Mediakom Rahman A. 2006 Koperasi Pilar Perekonomian Masyarakat. IntipHUTAN Media Informasi Seputar Hutan Indonesia. Bogor : Forest Watch Indonesia Bogor Ranjan R. 2010. Social Norms, Social Capital and Sustainability of Small Scale Economies. Journal of Natural Resources Policy and Research, forthcoming 164 164 Rebugio, L. L., 1978. Forestry Extension in the Philippines: A brief review. Forestry Occupancy Management and Extension Seminar. Maddela, Philippines. Roger E, Shoemaker F.F. 1971. Communication of Innovations. Second Edition. New York : A Division the Macmillan Company Saito KA, Weidemann CJ. 1991. Agricultural Extension for Women Farmers. Discussion Paper No. 103. Washington : The World Bank Salam MA, Noguchi T, Koike M. 2005. Factors Influencing The Sustained Participation of Farmers in Participatory Forestry: A Case Study in Central Sal Forest in Bangladesh. Journal of Environmental Management [Internet]. Volume 74(2005) Halaman 43-5; [Diunduh 2012 September 18]. Tersedia pada: www.elsevier.com/locate/jenvman Scott JC. 1983. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta : Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial Schunk DH. 2012. Teori-teori Pembelajaran : Perspektif Pendidikan. Edisi keenam. Eva Hamdiah, Rahmat F, penerjemah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Terjemahan dari : Learning Theories An Educational Perspective. Sixth Edition Setiadi EM, Kolip U. 2010. Pengantar Sosiologi : Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahannya. Jakarta : Kencana Prenada Media Group Sherson D, Gray DI, Reid JI, Gardner, JWM. 2002. The Facilitation of Learning Groups: A Study of a Dairy Discussion Group Facilitator. Paper prepared for presentation at the 13th International Farm Management Congress, Wageningen, The Netherlands, 7-12 Juli, 2002 [Internet]. [Diunduh 2011 Maret 18]. Tersedia pada : www.ageconsearch.umn.edu Simon, Hasanu. 2010. Dinamika Hutan Rakyat di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Singh S, Khare A. 1993. People’s Participation in Forest Management. Commonwealth Forestry Review 72(4), 1993. Halaman 279-283 Singarimbun M, Effendi S (Editor). 2008. Metode Penelitian Survai . Cet. Kesembilan belas. Jakarta : LP3S 165 Slamet, M, 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor : IPB Press Soekanto S. 1994. Sosiologi, Suatu Pengantar. Edisi baru keempat cetakan ke-19. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada Spencer LM Jr, Spencer SM. 1993. Competence at Work: Models for Superior Performance. New York : John Wiley & Sons Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung : Penerbit Alfabeta Tengnas B. 1994. Agroforestry Extension Manual for Kenya. Nairobi: International Centre for Research in Agroforestry Widoyoko EP. 2012.Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Winkel WS. 2009. Psikologi Pengajaran. Cetakan Ke-10. Yogyakarta : Penerbit Media Abadi Wolf ER. Petani, Suatu Tinjauan Antropologis. Cetakan ke-2. Yayasan Ilmu-ilmu Sosial (YIIS), penerjemah. Jakarta : CV Rajawali. Terjemahan dari: Peasants Wright S. 1990. Rural Development: Problems and Practices. Buller H and Wright S, editor. Great Britain : Atheneum Press Ltd. Yamin M. 2011. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta : Gaung Persada Pers Jakarta. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vi I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1 1.2 Masalah Penelitian ..................................................................... 7 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 7 1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................... 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan ......................................................................................... 2.1.1 Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Rakyat ................................................................................ 2.1.2 Dukungan Kebijakan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat ….. 2.2 Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat ..................................... 2.2.1 Kelompok Tani Hutan Rakyat sebagai Kelembagaan Sosial ...................................................................................... 2.2.2 Kelembagaan Hutan Rakyat sebagai Bentuk Tindakan Bersama (Collective action) ............................................ 2.3 Penyuluhan Kehutanan ............................................................. 2.3.1 Penyuluhan secara Umum ................................................... 2.3.2 Penyuluhan Kehutanan ....................................................... 2.3.3 Pelaksanaan Penyuluhan Kehutanan di Indonesia ............. 2.4 Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat .............. 2.4.1 Kelompok Tani sebagai Media Pembelajaran ..................... 2.4.2 Sumber Belajar .................................................................... 2.4.3 Faktor-faktor Penentu Pembelajaran ................................. 2.5 Kemampuan Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat ................... 9 9 11 14 15 17 18 19 19 21 23 25 26 27 27 32 III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ................................. 3.1 Kerangka Pemikiran .................................................................... 3.2 Kerangka Operasional ................................................................. 3.3 Hipotesis ...................................................................................... 34 34 38 40 IV. METODE PENELITIAN .................................................................... 4.1 Rancangan Penelitian ................................................................. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 4.3 Populasi dan Sampel .................................................................. 4.4 Data dan Instrumentasi Penelitian ............................................. 4.4.1 Data dan Pengukuran ...................................................... 4.4.2 Instrumentasi Penelitian .................................................. 4.5 Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ........................ 4.5.1 Validitas ....................................................................... 4.5.2 Reliabilitas ....................................................................... 4.5.3 Hasil Uji Validitas dan Reliabitas Instrumen Penelitian…. 41 41 41 42 43 43 44 55 55 56 56 4.6 Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 57 4.7 Teknik Analisa Data ................................................................... 57 V. VI. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ........................... 5.1 Gambaran Umum Hutan Rakyat di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat ............................................................................... 5.2 Gambaran Umum Desa Tegal Waru ......................................... 5.2.1 Kondisi Umum ................................................................ 5.2.2 Pengembangan Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru ……... 5.2.2.1 Areal Model Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru… 5.2.2.2 Kelompok Tani Hutan Rakyat dan Penyuluhan Kehutanan di Desa Tegal Waru ............................. PROFIL PETANI HUTAN RAKYAT 6.1 Karakteristik Responden ........................................................ 6.2 Kompetensi Sumber Belajar ..................................................... 6.2.1 Personal Pendamping Belajar ............................................ 6.2.2 Penguasaan Informasi/Pengetahuan terkait Hutan Rakyat ................................................................................ 6.3 Kegiatan Penyuluhan .................................................................. 6.3.1 Pemahaman mengenai Tujuan Kegiatan Penyuluhan …… 6.3.2 Materi Penyuluhan ............................................................. 6.3.3 Metode Penyuluhan ........................................................... 6.3.4 Sarana dan Prasarana Penunjang Kegiatan Penyuluhan …. 6.4 Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat .................................... 6.4.1 Pola Hubungan Kerja dalam Kelompok Tani ................... 6.4.2 Pengorganisasian Kegiatan Produksi ................................. 6.4.3 Norma sosial Dalam Kelompok Tani ................................. 6.4.4 Hutan Rakyat dan Keterlibatan Multipihak ........................ 6.5 Hubungan Interpersonal ............................................................... 6.5.1 Interaksi Petani dan Keluarganya dalam Pengelolaan Hutan Rakyat ...................................................................... 6.5.2 Interaksi Petani dan Pendamping Belajar dalam Pengelolaan Hutan Rakyat ................................................. 6.5.3 Interaksi Petani dengan Masyarakat dalam Pengelolaan Rakyat ................................................................................ 6.6 Kemampuan Anggota Kelompok Tani ........................................ 6.6.1 Kemampuan Perencanaan Kegiatan Hutan Rakyat ........... 6.6.2 Kemampuan mengorganisir diri dalam kelembagaan Hutan Rakyat ...................................................................... 6.6.3 Kemampuan Penerapan Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat ................................................................................ 6.6.4 Kemampuan Pengawasan dalan Hutan Rakyat .................. 60 60 64 64 70 70 72 74 74 86 87 89 93 93 94 97 100 102 103 104 106 107 108 109 112 115 118 118 121 124 127 VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMAMPUAN ANGGOTA KELOMPOK DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT ............................................................................................ 131 7.1 Hasil Uji Faktor-faktor yang mempengaruhi Kemampuan Anggota Kelompok dalam Penglolaan Hutan Rakyat .................. 134 7.1.1 Kemampuan Perencanaan Anggota Kelompok Tani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat ...................................... 7.1.2 Kemampuan Pengorganisasian Diri Anggota Kelompok Tani .................................................................................... 7.1.3 Kemampuan Penerapan Anggota Kelompok Tani ............. 7.1.4 Kemampuan Pengawasan Anggota Kelompok Tani .......... 7.2 Kemampuan Anggota Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat .......................................................................................... 7.3 Strategi Penguatan Kelompok dalam Pengelolaan Hutan Rakyat ........................................................................................... 134 136 138 140 142 150 VIII. SIMPULAN DAN SARAN ……………………………..………….. 155 8.1 Simpulan ……………………………………………..………… 155 8.2 Saran ……………………………………………….……..…….. 156 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….………. 159 DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 Halaman Faktor-faktor penentu pembelajaran ........................................................ 36 Kelompok peubah Pembelajaran .............................................................. 37 Pengukuran peubah karakteristik personal petani (X1) ............................. 45 Pengukuran peubah kompetensi sumber Belajar (X2) ............................... 47 Pengukuran peubah kegiatan penyuluhan (X3) ......................................... 48 Pengukuran peubah kelembagaan kelompok tani Hutan Rakyat (X4) …..... 50 Pengukuran peubah hubungan interpersonal (X5) ..................................... 51 Pengukuran peubah kemampuan anggota kelompok tani (Y1) ................. 54 Hasil uji coba validitas dan reabilitas instrumen penelitian (n=20) ........... 56 Perkembangan luasan dan produksi kayu Hutan Rakyat di Kabupaten Bogor Tahun 2004 – 2009 ......................................................................... 64 Pola penggunaan lahan di Desa Tegal Waru ............................................. 68 Sebaran penduduk menurut mata pencaharian di Desa Tegal Waru ......... 68 Sebaran penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Tegal Waru … 69 Sebaran responden berdasarkan umur ....................................................... 74 Sebaran responden berdasarkan jumlah tahun mengikuti pendidikan formal ……………………………………….............................................. 75 Pelatihan yang diikuti oleh petani Hutan Rakyat ...................................... 76 Jumlah pelatihan yang diikuti responden terkait Hutan Rakyat ................ 76 Pekerjaan sampingan yang dilakukan responden ...................................... 77 Jumlah pekerjaan sampingan responden ................................................... 77 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendapatan ................................. 78 Sebaran responden berdasarkan lama mengusahakan Hutan Rakyat ........ 79 Sebaran responden berdasarkan kepemilikan luas lahan ........................... 79 Sebaran responden berdasarkan jenis lahan yang dimiliki ........................ 80 Sebaran responden berdasarkan status kepemilikan lahan ........................ 80 Sebaran responden berdasarkan jenis tanaman yang ditanam di lahan Hutan Rakyatnya ........................................................................................ 82 Sebaran responden berdasarkan jumlah gabungan jenis tanaman yang ditanam pada lahan Hutan Rakyat .............................................................. 83 Sebaran responden berdasarkan motivasi menanam Hutan Rakyat ........... 84 Sebaran responden berdasarkan tingkat motivasi petani mengelola Hutan Rakyat ......................................................................................................... 86 Sebaran persepsi responden mengenai personal sumber belajar ................ 87 Persepsi responden terhadap penguasaan informasi/ pengetahuan sumber belajar mengenai Hutan Rakyat .................................................................. 89 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan penguasaan informasi/pengetahuan personal belajar mengenai Hutan Rakyat ......................................................................................................... 90 Persepsi responden terhadap kemampuan komunikasi personal sumber belajar dalam kegiatan penyuluhan kehutanan .......................................... 91 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan berkomunikasi personal belajar .................................................................. 91 Persepsi responden terhadap kemampuan personal sumber belajar menjadi panutan dalam kegiatan penyuluhan kehutanan ........................... 92 35 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan menjadi teladan/panutan personal belajar .................................................. 92 36 Persepsi responden mengenai tujuan kegiatan penyuluhan kehutanan ...... 94 37 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat pemahaman tujuan kegiatan penyuluhan ....................................................................... 94 38 Persepsi responden terhadap materi penyuluhan kehutanan ....................... 96 39 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap kualitas materi penyuluhan ................................................................................................. 96 40 Persepsi responden terhadap kualitas metode penyuluhan kehutanan ….... 97 41 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap kualitas metode penyuluhan ................................................................................................. 100 42 Persentase persepsi responden terhadap ketersediaan sarana dan prasarana penunjang kegiatan Penyuluhan Kehutanan .............................. 101 43 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap kualitas sarana dan prasana penunjang kegiatan penyuluhan ........................................... 102 44 Persepsi responden terhadap pola hubungan kerja antar anggota dalam kelompok tani Hutan Rakyat ..................................................................... 104 45 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap pola hubungan kerja antar anggota dalam kelompok tani Hutan Rakyat ..................................... 104 46 Persepsi responden terhadap pengorganisasian kegiatan produksi dalam kelompok tani Hutan Rakyat ..................................................................... 105 47 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap pengorganisasian kegiatan produksi Hutan Rakyat ................................................................. 106 48 Persepsi responden terhadap norma sosial dalam kelompok tani Hutan Rakyat ............................................................................................. 106 49 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap norma sosial dalam kelompok tani Hutan Rakyat ...................................................................... 107 50 Persepsi responden mengenai instansi/lembaga/unit usaha yang mendukung penyelenggaraan Hutan Rakyat ............................................. 107 51 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap anggota keluarga yang mendukung pengelolaan Hutan Rakyat ............................................. 109 52 Persepsi responden terhadap jenis dukungan anggota keluarga dalam pengelolaan Hutan Rakyat........................................................................... 110 53 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat dukungan keluarga petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat ..................... 112 54 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap personal sumber belajar yang mendukung pengelolaan Hutan Rakyat ................................ 113 55 Persepsi responden terhadap jenis dukungan personal sumber belajar dalam pengelolaan Hutan Rakyat ........................................................... 114 56 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat dukungan personel sumber belajar dalam pengelolaan Hutan Rakyat ....... 114 57 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap dukungan anggota masyarakat dalam pengelolaan Hutan Rakyat ........................................... 116 58 Persepsi responden terhadap jenis dukungan anggota masyarakat dalam pengelolaan Hutan Rakyat .............................................................. 116 59 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat dukungan personel sumber belajar dalam pengelolaan Hutan Rakyat ........................117 60 Persepsi terhadap kemampuan perencanaan dalam mengelola Hutan Rakyat ........................................................................................................ 119 61 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat ......... 120 62 Persepsi responden terhadap kemampuan mengorganisir diri dalam Kelembagaan Hutan Rakyat ...................................................................... 122 63 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat ........................................................................................................ 123 64 Persepsi responden terhadap kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat ........................................................................ 125 65 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat ............ 126 66 Persepsi responden terhadap kemampuan melakukan pengawasan dalam pengelolaan Hutan Rakyat ......................................................................... 128 67 Sebaran responden berdasarkan persepsi terhadap tingkat kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat ........... 129 68 Ringkasan hasil uji One-Sample Kolmogorof-Smirnov Test ................... 131 69 Ringkasan hasil uji Melalui Nilai Tolrance dan Inflation Faktor (VIF)… 132 70 Ringkasan hasil uji koefisien korelasi Spearman’s Rho ........................... 132 71 Ringkasan hasil uji Durbin Watson .......................................................... 133 72 Analisa signifikansi peubah bebas yang berpengaruh terhadap kemampuan perencanaan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat ........... 135 73 Analisa signifikansi variabel bebas yang berpengaruh terhadap kemampuan pengorganisasian diri petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat ........................................................................................................ 137 74 Analisa signifikansi sub peubah bebas yang berpengaruh terhadap Kemampuan penerapan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat.......................................................................................................... 139 75 Analisa signifikansi variabel bebas yang berpengaruh terhadap kemampuan pengawasan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat ........ 141 76 Strategi penguatan kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat ………... 152 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 Kerangka Konseptual Penelitian …………………………………………... 38 Kerangka Operasional Penelitian ……..……………………………………. 39 Peta Desa Tegal Waru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor ………….. 67 DAFTAR LAMPIRAN 1 Kuesioner Penelitian ……………………………... …………………….... 166 2 Hasil Uji Regresi …………………………………………………………... 178 3 Foto ……………………………………………………………………….. 182 Lampiran 1. Kuesioner Penelitian KUESIONER PENELITIAN KEMAMPUAN ANGGOTA KELOMPOK DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT Nama Responden : _______________________ Tanggal Pengisian : _______________________ SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 Halaman | 1 Kepada : Yth. Bapak/Ibu Responden Pengelola Hutan Rakyat di Tempat Dengan hormat, Bersama ini saya memperkenalkan diri kepada Bapak/Ibu bahwa saya adalah Mahasiswa Program Magister (S2) pada program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) Sekolah Pascasarjana IPB. Dalam rangka penyusunan tesis sebagai tugas akhir program Magister Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN), kami melaksanakan penelitian dengan judul :Kemampuan Anggota Kelompok dalam pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Tegal Waru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat Sehubungan dengan penelitian tersebut kami membutuhkan informasi dari Bapak/Ibu terkait pengelolaan Hutan Rakyat di lahan Bapak/Ibu.Besar harapan kami Bapak/Ibu berkenan menjadi responden penelitian dan bersedia melakukan pengisian kuesioner yang diajukan. Penelitian ini semata-mata untuk kepentingan studi akademik guna memenuhi persyaratan menyelesaikan studi, sehingga diharapkan Bapak/Ibu tidak memiliki keraguan atau kekhawatiran dalam memberikan pernyataan. Tidak ada jawaban yang benar atau salah dan jawaban yang Bapak/Ibu berikan akan diperlakukan sesuai dengan standar profesionalitas dan etika penelitian yang dijamin kerahasiaannya. Demikian, atas kesediaan, bantuan dan kerjasama Bapak/Ibu/Saudara/Saudari, kami ucapkan terima kasih. Hormat kami, Shelly Novi Halaman | 2 I. KARAKTERISTIK PERSONAL PETANI A. IDENTITAS RESPONDEN A01 Nama : A02 Alamat : A03 Usia : ………. Tahun B. PENDIDIKAN FORMAL/NON-FORMAL Jenjang pendidikan formal tertinggi yang berhasil ditamatkan? B01 Kode Jenjang Pendidikan 1 = Tidak pernah sekolah 2 =Tidak tamat SR/SD/setingkat 3 = Tamat SR/SD/setingkat 4 = Tidak Tamat SMP/setingkat 5 = Tamat SMP/setingkat =Tidak Tamat SMA/setingkat7 = Tamat SMA/setingkat 8 = Tidak Tamat akademi/ PT 9 = Tamat akademi/PT 10 = Lainnya.................. 6 B02 Kegiatan pelatihan/kursus (pendidikan non-formal) yang pernah diikuti terkait Hutan Rakyat dalam 3 tahun terakhir? No. Nama pelatihan Materi yang diberikan Penyelenggara Tempat Pelaksanaan (1) (2) (3) (4) (5) (6) 1. 2. 3. 4. C. PEKERJAAN C01 Pekerjaan yang dimiliki? (dapat lebih dari satu) Kode Pekerjaan Sampingan 1=Wiraswasta di bidang pertanian 2=wiraswasta di bidang perikanan 3=wiraswasta di bidang peternakan 5 = jasa ......................................... 6=lainnya......................................(sebutkan) C02 Berapa pendapatan [BAPAK/IBU] setiap bulan? Pertanian Hutan Rakyat Rp…………………………… 4=pengrajin Di luar lahan Rp…………………………… Jumlah Rp…………………………… Rp…………………………… D. KEPEMILIKAN LAHAN D01 Bagaimana jenis komoditi yang ditanam, luas, jenis, dan kepemilikan lahan Hutan Rakyat? No Jenis Komoditi Luas (Ha) Jenis lahan . (1) (2) 1. TK (3) (4) Status Kepemilikan (5) ............ Ha ............m2 TS TB 2. TK ............ Ha ............m2 TS TB Kode Kolom 2 Jenis Komoditi yang ditanam Tanaman kayu (TK): 01 = Jati 02 =Albizia/Sengon 03 = Afrika 04 = Suren 05 = Mahoni 06 = Meisopsis 07 = Jabon 08 = lainnya......... Tanaman Semusim (TS): 09 = Ketela Pohon 10 = Jagung 11 = Kacang panjang 12 = Buncis 13 = Kacang Tanah 14 = Ubi jalar 15 =Cabe 17 = Empon-empon 16 = Kol 17 = lainnya.............. Kode Kolom 4 Jenis Lahan Tanaman Buah : 18 = Nangka 19 = Pisang 20 = Pepaya 21 = Kelapa 22 = Jambu 23 = lainnya............ 1 = Sawah 2 = Kebun 3 = Lainnya.................... Kode Kolom 5 Status Kepemilikan 1 = Lahan milik 2 = sewa 3 = Lahan garapan (maro) 4 = Lainnya ..................... Halaman | 3 E. LAMA TERLIBAT DALAM KEGIATAN HUTAN RAKYAT E01 Sudah berapa lama [BAPAK/IBU]menanam tanaman kayu Hutan Rakyat? ............ tahun ............ bulan F. MOTIVASI PETANI MENGELOLA HUTAN RAKYAT F01 Alasan apa yang mendorong Bapak/Ibu menanam tanaman Hutan Rakyat? (Lihat isian jawaban I.D (D01) No. (1) Jenis Tanaman Alasan Penanaman (2) (3) 1. Tanaman Keras 2. Tanaman Semusim 3. Tanaman Buah F02 Tingkat motivasi dalam mengelola Hutan Rakyat : Keterangan : Pilihlah sesuai keadaan sebenarnya. Lingkari pilihan jawaban anda. Keterangan pilihan jawaban : 1 = Tidak Setuju; 2 = Kurang Setuju; 3 = Setuju; 4 = Sangat Setuju No. Pernyataan Tingkat Motivasi (1) (2) (3) 1 Saya menanam kayu untuk kebutuhan jangka panjang 1 2 3 4 2 Saya termotivasi menanam kayu karena manfaat finansial bagi masa depan keluarga saya 1 2 3 4 3 Saya ingin dihormati dan dihargai oleh sesama petani dilingkungan tempat tinggal saya 1 2 3 4 4 Saya senang ikut serta dalam kegiatan kelompok tani di daerah saya 1 2 3 4 5 Saya merasa puas apabila saya sudah bekerja maksimal untuk keluarga saya 1 2 3 4 II. KARAKTERISTIK PENDAMPING BELAJAR A. PERSONAL PENDAMPING BELAJAR A01 Kepada siapa [BAPAK/IBU] belajar mengelola Hutan Rakyat? (Jawaban dapat lebih dari satu) Kode Pendamping Belajar : 1 = Penyuluh kehutanan 5 = pemuka agama 2= Ketua Kelompok Tani 3=rekan sesama petani yang lebih berpengalaman4 =Tokoh masyarakat 6 =Lainnya ................................. (sebutkan) B. PENGUASAAN INFORMASI/PENGETAHUAN TERKAIT HUTAN RAKYAT Keterangan : Pilihlah sesuai keadaan sebenarnya. Lingkari pilihan jawaban anda. Keterangan pilihan jawaban : 1 = Buruk/Tidak baik; 2 = Kurang Baik; 3 = Baik; 4 = Sangat Baik B01 Bagaimana penguasaan informasi/pengetahuan terkait Hutan Rakyat? No. Pernyataan (1) (2) Penguasaan informasi/pengetahuan (3) Tingkat Penguasaan (4) 1 Mengetahui jenis-jenis tanaman kayu (sengon/mahoni/jati/suren) 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 2 Mengetahui jenis-jenis hama penyakit tanaman kayu dan cara mengatasinya 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 3 Mengetahui cara penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan kayu Hutan Rakyat 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 4 Mengetahui cara berorganisasi melalui kelompok tani 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 5 Mengetahui pemasaran kayu Hutan Rakyat 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 6 Memahami kebijakan/aturan pengelolaan Hutan Rakyat 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 Halaman | 4 7 Mengetahui informasi/pengetahuan terbaru mengenai Hutan Rakyat 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 C. KOMUNIKASI DALAM KEGIATAN PENYULUHAN Keterangan : Pilihlah sesuai keadaan sebenarnya. Lingkari pilihan jawaban anda. Keterangan pilihan jawaban : 1 = Tidak baik/Buruk; 2 = Kurang Baik; 3 = Baik; 4 = Sangat Baik C01 Bagaimana kemampuan komunikasi pendamping belajar dalam kegiatan belajar/penyuluhan? Kemampuan No. Pernyataan komunikasi Kondisi 1 Mampu menciptakan dialog dua arah dengan petani 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 2 Maksud/pesan sumber belajar mudah diterima petani 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 3 Mampu menghidupkan suasana diskusi dalam kegiatan belajar petani 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 4 Mampu mendorong petani mencoba carabaru di lahan 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 5 Mampu mendorong petani menerapkan cara baru di lahan 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 D. MENJADI TELADAN/PANUTAN Keterangan : Pilihlah sesuai keadaan sebenarnya. Lingkari pilihan jawaban anda. Keterangan pilihan jawaban : 1 = Tidak baik/Buruk; 2 = Kurang Baik; 3 = Baik; 4 = Sangat Baik D01 Bagaimana kemampuan pendamping belajar menjadi teladan/panutan [BAPAK/IBU]? No. Pernyataan Kemampuan menjadi teladan Tingkat kemampuan menjadi teladan (1) (2) (3) (4) 1 Memiliki sifat kepemimpinan 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 2 Memiliki disiplin diri yang tinggi 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 3 Mampu memotivasi petani memiliki semangat belajar dan bekerja yang tinggi 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 4 Mudah bekerjasama dengan petani dan pihak-pihak lainnya 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 5 Kearifan dalam mengambil keputusan 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 6 Menjadi contoh dalam bersikap dan berperilaku positif 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 III. A. KEGIATAN PENYULUHAN PEMAHAMAN MENGENAI TUJUAN KEGIATAN PENYULUHAN Keterangan : Pilihlah sesuai keadaan sebenarnya. Lingkari pilihan jawaban anda. Keterangan pilihan jawaban : 1 = Tidak Setuju; 2 = Kurang Setuju; 3 = Setuju; 4 = Sangat Setuju A01 Pemahaman mengenai tujuan kegiatan penyuluhan : No (1) Pernyataan Pemahaman Tingkat Pemahaman (2) (3) (4) 1 Sarana mendiskusikan masalah petani di lahan dengan penyuluh kehutanan/ketua 1. Ya 2. Tidak kelompok tani, dan petani Hutan Rakyat lainnya 1 2 Meningkatkan pengetahuan/keterampilan petani mengelola Hutan Rakyat 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 3 Menyebarluaskan perkembangan terbaru mengenai kayu rakyat 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 4 Wadah silahturahmi antar sesama petani Hutan Rakyat 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 5 Kegiatan kelompok tani yang harus diikuti petani 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 2 3 4 B. KUALITAS MATERI PENYULUHAN Keterangan : Pilihlah sesuai keadaan sebenarnya. Lingkari pilihan jawaban anda. Keterangan pilihan jawaban : 1 = Tidak baik/Buruk; 2 = Kurang baik; 3 = Baik; 4 = Sangat baik B01 Bagaimana kualitas materi penyuluhan yang disampaikan? Halaman | 5 No. Pernyataan Materi Penyuluhan Kualitas (3) (4) (1) (2) 1 Memberi informasi/pengetahuan mengenai cara menanam kayu dan tanaman sela sesuai aturan yang ditetapkan di kehutanan 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 2 Bisa menjadi panduan memecahkan masalah hama/penyakit di lahan Hutan Rakyat 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 3 Disampaikan denganbahasa yang mudah dimengerti 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 4 Petunjuk menanam kayu bisa langsung dipraktekkan di lahan 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 5 Memberi petunjuk cara bercocok tanam yang disesuaikan dengan budaya/ kebiasaan masyarakat setempat 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 C. KUALITAS METODE PENYULUHAN Keterangan : Keterangan pilihan jawaban kolom (4) : 1 = Tidak setuju; 2 = Kurang setuju; 3 = Setuju; 4 = Sangat setuju C01 Bagaimana kualitas pelaksanaan metode penyuluhan yang berjalan saat ini? No Pernyataan Metode Penyuluhan Kualitas (1) (2) (3) (4) 1 Pendamping belajar secara teratur berkunjung ke rumah petani 1. 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 2 Pendamping belajar secara teratur mengunjungi petani di lahan Hutan Rakyatnya 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 3 Petani sering memperoleh tambahan pengetahuan/ keterampilan dari sesama petani (Getok Tular) 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 4 Petani sering melakukan diskusi/pertemuan informal antar anggota kelompok tani hutan 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 5 Petani secara teratur mengadakan pertemuan formal di kelompok tani sebagai sarana belajar 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 6 Pendamping belajar membuat demplot penanaman kayu sebagai bahan belajar petani (demonstrasi hasil) 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 7 Pendamping belajar mencontohkan cara pembibitan, pemupukan atau jarak tanam di lahan (demonstrasi cara) 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 8 Pendamping belajar memfasilitasi petani mengikuti pelatihan Hutan Rakyat 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 9 Pendamping belajar teratur memberikan brosur/ leaflet Hutan Rakyat pada petani 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 10 Pendamping belajar memberikan majalah/surat kabar yang memuat berita mengenai tanaman kayu Hutan Rakyat 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 11 Pendamping belajar menggunakan media radio/ televisi sebagai media pembelajaran Hutan Rakyat 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 D. KUALITAS SARANA DAN PRASARANA PENUNJANG KEGIATAN PENYULUHAN Keterangan : Keterangan pilihan jawaban kolom (3) : 1 = Tidak baik/Buruk (0%); 2 = Kurang baik (0-25%); 3 = Baik (25-50%); 4 = Sangat Baik (76-100%) D01 Menurut [BAPAK/IBU] bagaimana kualitas sarana dan prasarana penunjang kegiatan penyuluhan? No JENIS SARANA DAN PRASARANA (1) KETERSEDIAAN (2) KUALITAS (3) 1 Tempat pertemuan/kegiatan 1. Ya 2 Alat bantu papan tulis,OHP, slide film 1. Ya 2. Tidak 3 Buku panduan teknis/juknis terkait Hutan Rakyat 1. Ya 2. Tidak 4 Brosur/leaflet/majalah/surat kabar terkait Hutan Rakyat 1. Ya 2. Tidak 5 Lainnya................................ 1. Ya 2. Tidak 2. Tidak (4) 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 Halaman | 6 IV. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT A. POLA HUBUNGAN KERJA 0% 25 -50% 51 - 75% 76 -100% Apakah [BAPAK/IBU] melakukan musyawarah mengenai rencana kegiatan A01 kelompok tani? 1. 2. 3. 4. Dalam kelompok tani [BAPAK/IBU], apakah ada aturan kerja yang disepakati A02 bersama oleh anggota kelompok? 1. 2. 3. 4. Tidak Pernah Kadang-kadang Sering Selalu 0% 25 -50% 51 - 75% 76 -100% Apakah [BAPAK/IBU] bekerjasama dengan anggota kelompok tani lainnya A03 ketika mengerjakan kegiatan produksi (pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan) dalam kelompok tani Hutan Rakyat? 1. 2. 3. 4. Tidak Pernah Kadang-kadang Sering Selalu 0% 25 -50% 51 - 75% 76 -100% A04 No. (1) 1 2 3 4 5 6 7 8 Tidak pernah Kadang-kadang Sering Selalu Menurut [BAPAK/IBU], bagaimana keterlibatan instansi/lembaga/unit usaha pendukung dalam pengelolaan Hutan Rakyat di daerah [BAPAK/IBU]? Intansi/Lembaga/unit usaha pendukung Frekuensi Kegiatan (2) Dinas kehutanan Kabupaten BPDAS Citarum-Ciliwung Lembaga Penyuluhan (BP4K/BP3K) GAPOKTAN Pemerintah Desa LSM ………………………………… Unit Perbankan ……………………. Industri pemasaran kayu 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 (3) 4 4 4 4 4 4 4 4 Keterangan : Keterangan pilihan jawaban kolom (3) : 1 = Tidak pernah; 2 = < 6 bulan sekali; 3 = 3 - 6 bulan sekali; 4 = 1 - 3 bulan sekali. B. PENGORGANISASIAN KEGIATAN PRODUKSI Apakah sebelum kegiatan memulai kegiatan Hutan Rakyat di lahan B01 [BAPAK/IBU] melakukan musyawarah mengenai kegiatan produksi (penanaman, pemeliharaan, pemanenan) Hutan Rakyat yang akan dilakukan? B02 Apakah ketua kelompok tani mengkoordinasikan pembagian kerja di kelompok tani? B03 Apakah anggota kelompok tani sepakat mengenai adanya pembagian kerja dalam kegiatan produksi Hutan Rakyat? B04 Apakah pembagian kerja dalam kelompok tani diikuti dengan penunjukkan anggota kelompok yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaannya? B05 Apakah kegiatan kelompok tani dimulai jika ada instruksi ketua kelompok tani? B06 Apakah kelompok tani membantu memasarkan hasil kayu [BAPAk/IBU] pada pembeli? 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. Tidak Pernah Kadang-kadang Sering Selalu Tidak Pernah Kadang-kadang Sering Selalu Tidak Pernah Kadang-kadang Sering Selalu Tidak Pernah Kadang-kadang Sering Selalu Tidak Pernah Kadang-kadang Sering Selalu Tidak Pernah Kadang-kadang Sering Selalu 0% 25 -50% 51 - 75% 76 -100% 0% 25 -50% 51 - 75% 76 -100% 0% 25 -50% 51 - 75% 76 -100% 0% 25 -50% 51 - 75% 76 -100% 0% 25 -50% 51 - 75% 76 -100% 0% 25 -50% 51 - 75% 76 -100% Halaman | 7 Apakah kelompok tani sering mengadakan pelatihan untuk menambah B07 pengetahuan dan keterampilan [BAPAK/IBU] dan anggota petani lainnya? 1. 2. 3. 4. Tidak Pernah Kadang-kadang Sering Selalu 0% 25 -50% 51 - 75% 76 -100% 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. Tidak Pernah Kadang-kadang Sering Selalu Tidak Pernah Kadang-kadang Sering Selalu Tidak Pernah Kadang-kadang Sering Selalu 0% 25 -50% 51 - 75% 76 -100% 0% 25 -50% 51 - 75% 76 -100% 0% 25 -50% 51 - 75% 76 -100% C. NORMA KELOMPOK C01 Apakah ada kebiasaan/tradisi/aturan kelompok yang dipatuhi oleh [BAPAK/IBU] dan anggota kelompok tani lainnya? C02 Apakah [BAPAK/IBU] mengikuti kebiasaan/tradisi/aturan dalam kelompok tani? C03 Apakah ada sanksi apabila tidak mengikuti kebiasaan umum/tadisi/aturan yang berlaku didalam kelompok tani? V. HUBUNGAN INTERPERSONAL A. PETANI-KELUARGA A0 Siapa saja anggota keluarga yang memberikan dukungan kepada [BAPAK/IBU]untuk mengelola Hutan Rakyat? (Jawaban dapat 1 lebih dari satu, sesuai urutan besarnya dukungan) Kode Jawaban 0 = tidak ada 8 = paman 1 = Istri 9 = bibi 2 = suami 3 = Anak 4 = kakak/adik kandung 5 = kakak/adik ipar 6 = ayah/ibu kandung 10 = Lainnya ................................ 7 = ayah/ibu mertua A02 Bagaimana dukungan keluarga dalam pengelolaan Hutan Rakyat? No Jenis dukungan Jawaban (1 ) (2) (3) 1. Keluarga memberikan persetujuan mengelola Hutan Rakyat 2. 3. Keluarga beranggapan Hutan Rakyat bermanfaat dan menguntungkan di masa depan Keluarga memberikan bantuan sebagai tenaga kerja 4. Tingkat Dukungan (4) 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 Keluarga memberikan saran/masukan teknis lapangan 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 5 Keluarga memberikan modal (hibah/pinjaman uang ) 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 6 Keluarga memberikan informasi penyediaan saprodi 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 Keterangan : Keterangan pilihan jawaban kolom (4) : 1 = Tidak pernah (0%); 2 = Kadang-kadang (25-50%); 3 = Sering (51-75%); 4 = Selalu (76-100%) B. B01 Siapa saja pendamping belajar yang memberikan dukungan kepada [BAPAK/IBU]untuk mengelola Hutan Rakyat? (Jawaban dapat lebih dari satu, sesuai urutan besarnya dukungan) Kode Jawaban 0 = tidak ada 1 = Penyuluh kehutanan B02 PETANI-PENDAMPING BELAJAR 2 = rekan sesama petani yang lebih berpengalaman 3 = Ketua Kelompok Tani 4 = Lainnya ....................... Bagaimana dukungan pendamping belajar dalam pengelolaan Hutan Rakyat? No Jenis dukungan Jawaban (1) (2) (3) Tingkat Dukungan (4) 1. Pendamping belajar memberikan dorongan mengembangkan Hutan Rakyat 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 2. Pendamping belajar beranggapan Hutan Rakyat bermanfaat dan menguntungkan di masa depan 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 Halaman | 8 3. Pendamping belajar memberikan saran/masukan teknis lapangan 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 4. Pendamping belajar memfasilitasi kegiatan kelompok tani terkait Hutan Rakyat 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 5. Pendamping belajar memberikan informasi penyediaan saprodi 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 6. Pendamping belajar memberikan informasi pemasaran 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 Keterangan : Keterangan pilihan jawaban kolom (4) : 1 = Tidak pernah (0%); 2 = Kadang-kadang (25-50%); 3 = Sering (51-75%); 4 = Selalu (76-100%) C. PETANI-MASYARAKAT C01 Di lingkungan masyarakat desa, siapa yang memberikan dukungan kepada [BAPAK/IBU]untuk mengelola Hutan Rakyat? (Jawaban dapat lebih dari satu, sesuai urutan besarnya dukungan) Kode Jawaban : 0 = Tidak ada 1 = Tetangga 6 = aparat Pemerintah Desa 2 = Ketua RT/RW 3 = Kepala Desa 7 = Lainnya ................................ 4 = anggota LMDH 5 = Tokoh masyarakat C02 Bagaimana dukungan yang diberikan anggota masyarakat dalam pengelolaan Hutan Rakyat? No Jenis dukungan Jawaban (1) (2) (3) Tingkat dukungan (4) 1. Masyarakat mendorong mengembangkan Hutan Rakyat di lahan petani 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 2. Masyarakat beranggapan Hutan Rakyat bermanfaat dan menguntungkan di masa depan 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 3. Masyarakat memberikan saran/masukan teknis lapangan 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 4. Masyarakat memfasilitasi kegiatan kelompok tani terkait Hutan Rakyat 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 5. Masyarakat memberikan informasi penyediaan saprodi 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 6. Masyarakat memberikan informasi pemasaran 1. Ya 2. Tidak 1 2 3 4 Keterangan : Keterangan pilihan jawaban kolom (4) : 1 = Tidak pernah (0%); 2 = Kadang-kadang (25-50%); 3 = Sering (51-75%); 4 = Selalu (76-100%) VI. KEMAMPUAN ANGGOTA KELOMPOK TANI A. KEMAMPUAN PERENCANAAN PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT Apakah masalah yang dihadapi [BAPAK/IBU] dalam menanam kayu menjadi A01 pertimbangan [BAPAK/IBU] dalam perencanaan kegiatan Hutan Rakyat? A02 Apakah pengelolaan Hutan Rakyat di lahan [BAPAK/IBU] saat ini sudah sesuai dengan kebutuhan [BAPAK/IBU]? A03 Apakah [BAPAK/IBU]menyusun rencana bulanan/tahunan kegiatan Hutan Rakyat di kelompok tani? A04 Apakah [BAPAK/IBU] mencari informasi tentang jenis kayu yang sedang diminati/bernilai jual tinggi di pasaran? Apakah informasi mengenai harga jual tanaman kayu Hutan Rakyat digunakan A05 [BAPAK/IBU] untuk merencanakan jenis tanaman kayu yang akan ditanam di lahan [BAPAK/IBU]? Apakah[BAPAK/IBU]membandingkan kegiatan Hutan Rakyat sebelumnya dan A06 saat ini agar hasil mendapatang dapat maksimal? 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. Tidak pernah Kadang-kadang Sering Selalu Tidak pernah Kadang-kadang Sering Selalu Tidak pernah Kadang-kadang Sering Selalu Tidak pernah Kadang-kadang Sering Selalu Tidak pernah Kadang-kadang Sering Selalu 1. 2. 3. 4. Tidak pernah Kadang-kadang Sering Selalu 0% 25 -50% 51 - 75% 76 -100% 0% 25 -50% 51 - 75% 76 -100% 0% 26-50% 51 - 75% 76 -100% 0% 26-50% 51 - 75% 76 -100% 0% 26-50% 51 - 75% 76 -100% 0% 26-50% 51 - 75% 76 -100% Halaman | 9 B. KEMAMPUAN MENGORGANISIR DIRI DALAM KELEMBAGAAN 1. Tidak Pernah 2. Kadang-kadang 3. Sering 4. Selalu 1. Tidak Pernah Apakah terdapat kesepakatan bersama (lisan/tulisan) mengenai urutan/tata cara 2. Kadang-kadang yang harus diikuti [BAPAK/IBU] dalam pelaksanaan kegiatan produksi Hutan 3. Sering Rakyat? 4. Selalu 1. Tidak Pernah Apakah [BAPAK/IBU] bersepakat mengatur pembagian tugas/kerja diantara 2. Kadang-kadang anggota kelompok tani? 3. Sering 4. Selalu 1. Tidak Pernah Apakah untuk pelaksana kegiatan ditunjuk anggota kelompok yang sesuai 2. Kadang-kadang dengan harapan [BAPAK/IBU]? 3. Sering 4. Selalu 1. Tidak pernah 2. Kadang-kadang Apakah [BAPAK/IBU] melakukan koordinasi dengan anggota kelompok tani 3. Sering lainnya agar kegiatan Hutan Rakyat berjalan sesuai rencana? 4. Selalu C. KEMAMPUAN PENERAPAN PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT Apakah [BAPAK/IBU] memahami aturan-aturan organisasi dalam kelompok tani B01 Hutan Rakyat? B02 B03 B04 B05 0% 26-50% 51 - 75% 76 -100% 0% 26-50% 51 - 75% 76 -100% 0% 26-50% 51 - 75% 76 -100% 0% 26-50% 51 - 75% 76 -100% 0% 26-50% 51 - 75% 76 -100% 1. Tidak pernah 0% 2. Kadang-kadang 26-50% 3. Sering 51 - 75% 4. Selalu 76 -100% 1. Tidak pernah 0% Apakah [BAPAK/IBU] mengikuti instruksi dari ketua kelompok tani atau 2. Kadang-kadang 26-50% pendamping belajar terkait kegiatan pengelolaan Hutan Rakyat? 3. Sering 51 - 75% 4. Selalu 76 -100% 1. Tidak pernah 0% Seberapa sering instruksi dari ketua kelompok tani atau pendamping belajar 2. Kadang-kadang 26-50% membantu [BAPAK/IBU] mengerjakan kegiatan penanaman/pemeliharaan 3. Sering 51 - 75% tanaman kayu Hutan Rakyat? 4. Selalu 76 -100% 1. Tidak pernah 0% 2. Kadang-kadang 26-50% Apakah [BAPAK/IBU] memberi semangat(motivasi) agar anggota kelompok tani 3. Sering 51 - 75% lainnya melaksanakan kegiatan Hutan Rakyat dengan baik? 4. Selalu 76 -100% 1. Tidak pernah 0% Apakah [BAPAK/IBU] sering mendiskusikan masalah penanaman/pemeliharaan 2. Kadang-kadang 26-50% tanaman kayu Hutan Rakyat dengan pihak-pihak lain di luar kelompok tani? 3. Sering 51 - 75% 4. Selalu 76 -100% D.KEMAMPUAN MELAKUKAN PENGAWASAN DALAM KEGIATAN HUTAN RAKYAT Apakah [BAPAK/IBU] melaksanakan kegiatan Hutan Rakyat seperti pembibitan, C01 penanaman, dan pemeliharaan berdasarkan arahan/bimbingan dariketua kelompok tani atau pendamping belajar? C02 C03 C04 C05 Apakah [BAPAK/IBU] selalu mengawasi/memantau perkembangan tanaman di D01 lahan Hutan Rakyat [BAPAK/IBU] agar sesuai dengan perencanaan? D02 Apakah [BAPAK/IBU] bersepakat dengan anggota kelompok tani lainnya tentang hal-hal yang perlu diawasi/dipantau dalam pengelolaan Hutan Rakyat? D03 Apakah[BAPAK/IBU]membandingkan setiap hasil pengawasan di lahan dengan hasil ? Apakah [BAPAK/IBU] pernah menemui masalah di lahan, misalnya jadwal D04 penanaman yang meleset dari rencana, bibit tanaman yang mati atau kurang bagus pertumbuhannya? 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 1. 2. 3. 4. Tidak pernah Kadang-kadang Sering Selalu Tidak pernah Kadang-kadang Sering Selalu Tidak pernah Kadang-kadang Sering Selalu Tidak pernah Kadang-kadang Sering Selalu 0% 25 -50% 51-75% 76-100% 0% 26-50% 51 - 75% 76 - 100% 0% 26-50% 51 - 75% 76 - 100% 0% 26-50% 51 - 75% 76 -100% Halaman | 10 Apabila ada hal-hal yang tidak berjalan sesuairencana, apakah [BAPAK/IBU] D05 melakukan perbaikan? Misalnya penggantian bibit, penambahan/pengurangan pupuk,perbaikan cara/waktu tanam, dan lainnya? D06 Apakah tindakan perbaikan yang [BAPAK/IBU] lakukan di lahan sesuai dengan hasil perbaikan yang diperoleh [BAPAK/IBU] ? 5. 6. 7. 8. 1. 2. 3. 4. Tidak pernah Kadang-kadang Sering Selalu Tidak sesuai Kurang sesuai Sesuai Sangat sesuai 0% 26-50% 51 - 75% 76 -100% 0% 25 -50% 51-75% 76-100% TERIMA KASIH Halaman | 11 Lampiran 2. Hasil uji Regresi A. Hasil uji kelompok peubah X dengan peubah Y1.1 (Kemampuan perencanaan REGRESSION /MISSING LISTWISE /STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN /DEPENDENT Y1.1 /METHOD=ENTER X1.2 X1.4 X1.6 X4.3 X5.2. Regression [DataSet5] C:\Users\User\Documents\Thesis 2012\inputdata_SPSS\input_data_mg.sav a Variables Entered/Removed Model Variables Variables Method Entered Removed X5.2, X1.6, 1 X1.4, X4.3, . Enter b X1.2 a. Dependent Variable: Y1.1 b. All requested variables entered. Model 1 a. b. Model Summary R Square Adjusted R Std. Error of the Square Estimate a .446 .199 .117 2.31740 Predictors: (Constant), X5.2, X1.6, X1.4, X4.3, X1.2 R a Model Regression 1 Sum of Squares 65.362 ANOVA df 5 Mean Square 13.072 5.370 Residual 263.148 49 Total 328.510 54 F 2.434 Sig. b .048 t Sig. a. Dependent Variable: Y1.1 b. Predictors: (Constant), X5.2, X1.6, X1.4, X4.3, X1.2 Coefficients Unstandardized Coefficients Model B (Constant) Std. Error 1.965 4.099 X1.2 .194 X1.4 -1.640E-006 1 X1.6 .794 X4.3 .538 X5.2 .154 a. Dependent Variable: Y1.1 .162 .000 .334 .266 .144 a Standardized Coefficients Beta .174 -.368 .345 .289 .143 .479 .634 1.200 -2.663 2.379 2.021 1.073 .236 .010 .021 .049 .288 B. Hasil uji kelompok peubah X dengan peubah Y1.2 (Kemampuan pengorganisasian diri) REGRESSION /MISSING LISTWISE /STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN /DEPENDENT Y1.2 /METHOD=ENTER X1.3 X2.2 X3.2 X4.3 X5.1. Regression [DataSet5] C:\Users\User\Documents\Thesis 2012\inputdata_SPSS\input_data_mg.sav a Variables Entered/Removed Model Variables Variables Method Entered Removed X5.1, X4.3, 1 X1.3, X2.2, . Enter b X3.2 a. Dependent Variable: Y1.2 b. All requested variables entered. Model Summary Model R R Square Adjusted R Std. Error of the Square Estimate a 1 .472 .223 .144 1.76389 a. Predictors: (Constant), X5.1, X4.3, X1.3, X2.2, X3.2 a Model Regression 1 Sum of Squares 43.782 ANOVA df 5 Mean Square 8.756 3.111 Residual 152.454 49 Total 196.237 54 F 2.814 Sig. b .026 t Sig. a. Dependent Variable: Y1.2 b. Predictors: (Constant), X5.1, X4.3, X1.3, X2.2, X3.2 Coefficients Unstandardized Coefficients Model B (Constant) X1.3 X2.2 1 X3.2 X4.3 X5.1 a. Dependent Variable: Y1.2 Std. Error 6.442 2.578 .640 .138 -.262 .569 .179 .274 .118 .121 .199 .105 a Standardized Coefficients Beta .307 .162 -.350 .395 .248 2.499 .016 2.337 1.169 -2.157 2.857 1.714 .024 .248 .036 .006 .093 C. Hasil Uji kelompok peubah X dan Peubah Y1.3 (Kemampuan Penerapan) REGRESSION /MISSING LISTWISE /STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN /DEPENDENT Y1.3 /METHOD=ENTER X1.1 X1.3 X2.2. Regression C:\Users\User\Documents\Thesis2012\inputdata_SPSS\input_data_mg.sav a Variables Entered/Removed Model Variables Variables Method Entered Removed X2.2, X1.1, 1 . Enter b X1.3 a. Dependent Variable: Y1.3 b. All requested variables entered. Model Summary R Square Adjusted R Std. Error of the Square Estimate a 1 .518 .269 .226 1.92084 a. Predictors: (Constant), X2.2, X1.1, X1.3 Model R a Model 3 Mean Square 23.026 Residual 188.171 51 3.690 Total 257.250 54 Regression 1 Sum of Squares 69.079 ANOVA df F 6.241 Sig. b .001 t Sig. a. Dependent Variable: Y1.3 b. Predictors: (Constant), X2.2, X1.1, X1.3 Coefficients Unstandardized Coefficients Model B (Constant) 1 X1.1 X1.3 X2.2 a. Dependent Variable: Y1.3 Std. Error 11.250 2.075 -.030 1.139 .271 .021 .293 .118 a Standardized Coefficients Beta -.176 .478 .278 5.420 .000 -1.444 3.892 2.296 .155 .000 .026 D. Hasil uji kelompok Peubah X dan peubah Y1.4 (Kemampuan Pengawasan) REGRESSION /MISSING LISTWISE /STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN /DEPENDENT Y1.4 /METHOD=ENTER X1.5 X3.2 X4.2. Regression [DataSet1] C:\Users\User\Documents\Thesis2012\inputdata_SPSS\input_data_mg.sav Variables Entered/Removed Model 1 Variables Variables Entered Removed a Method X4.2, X1.5, X3.2 . Enter b a. Dependent Variable: Y1.4 b. All requested variables entered. Model Summary Model R R Square Adjusted R Std. Error of the Square Estimate a 1 .539 .291 a. Predictors: (Constant), X4.2, X1.5, X3.2 .249 2.11866 a ANOVA Model Sum of Squares Regression 1 df Mean Square 93.865 3 31.288 Residual 228.924 51 4.489 Total 322.789 54 F Sig. 6.970 .001 b a. Dependent Variable: Y1.4 b. Predictors: (Constant), X4.2, X1.5, X3.2 Coefficients Model Unstandardized Coefficients a Standardized t Sig. Coefficients B (Constant) Std. Error 13.300 2.870 X1.5 .000 .000 X3.2 -.198 .351 Beta 4.633 .000 -.414 -3.507 .001 .114 -.207 -1.741 .088 .130 .321 2.705 .009 1 X4.2 a. Dependent Variable: Y1.4 Lampiran Foto Foto 1. Lahan Hutan Rakyat Sengon dengan Tanaman Sela Ketela Pohon Foto 2. Lahan Hutan Rakyat Sengon Foto 3. Lahan Hutan Rakyat dengan usia penanaman lebih dari 5 (lima) tahun Foto 4. Tanaman Hutan Rakyat di Lahan Miring Foto 5. Tanaman Hutan Rakyat yang ditanam di pematang sawah Foto 6. Pemeliharaan tanaman Hutan Rakyat dengan pupuk kompos dari ternak dari petani Hutan Rakyat Foto 6. Pembibitan Tanaman Hutan Rakyat Foto 7. Areal Pembibitan Sengon Foto 8. Areal Pembibitan Sengon