16 BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Definisi Psoriasis merupakan

advertisement
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Psoriasis merupakan suatu penyakit autoimun bersifat kronik dan residif,
ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama
yang kasar, berlapis-lapis dan transparan, serta disertai fenomena tetesan lilin,
Auspitz, dan Kobner (Djuanda, 2007).
3.2 Epidemiologi
Kasus psoriasis makin sering ditemukan saat ini. Penyakit ini tidak
menyebabkan kematian, tetapi menyebabkan gangguan kosmetik karena
perjalanan penyakit ini bersifat menahun dan residif. Di Eropa dilaporkan kasus
sebanyak 3-7%, di Amerika Serikat 1-2%, sedangkan di Jepang 0,6%. Pada
bangsa berkulit hitam, misalnya di Afrika, jarang dilaporkan, demikian pula
bangsa Indian di Amerika. Insiden pada pria agak lebih banyak daripada wanita.
Psoriasis terdapat pada semua usia tetapi umumnya pada orang dewasa (Djuanda,
2007).
Data nasional prevalensi psoriasis di Indonesia belum diketahui. Namun
Cholis, dkk. melaporkan rata-rata prevalensi psoriasis pada 10 rumah sakit
pendidikan di Indonesia bervariasi antara 0,59-0,92%. Di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo, selama tahun 2000 sampai 2001, insiden psoriasis mencapai
2,3% (Cholis, 1999). Di RS Dr. Hasan Sadikin, selama tahun 2005 terdapat 72
16
17
kasus baru psoriasis yang berobat, yakni 0,01% dari seluruh penderita baru
(Marlia, dkk., 2008). Di RS Dr. M. Djamil Padang tahun 2000-2003 berkisar
1,6% – 2,6% (Deny, dkk., 2004). Susilowati, dkk., melaporkan di RSUP Dr.
Kariadi terdapat 138 kasus psoriasis (0,73%) selama tahun 1998-2000
(Susilowati, 2001). Winta RD dkk. melaporkan di RSUP Dr. Kariadi terdapat 198
kasus (0,97%) psoriasis selama rentang waktu 5 tahun (2003-2007) (Winta, 2008).
Onset usia pada psoriasis tipe dini dengan puncak usia 22,5 tahun (pada
anak, usia onset rata-rata 8 tahun). Untuk tipe lambat, muncul pada usia 55 tahun.
Onset dini memprediksikan derajat penyakit dan penyakit yang menahun serta
biasanya disertai riwayat psoriasis pada keluarga. Psoriasis mempengaruhi 1,5-2%
populasi dari negara barat. Di Amerika Serikat, terdapat 3 sampai 5 juta orang
menderita psoriasis. Kebanyakan dari mereka menderita psoriasis lokal, tetapi
sekitar 300.000 orang menderita psoriasis generalisata (Wolff and Johnson, 2009).
3.3 Etiologi
Penyebab psoriasis belum diketahui secara pasti, akan tetapi terdapat dua
abnormalitas dari terjadinya psoriasis, yaitu hiperproliferasi atau proliferasi yang
berlebihan dari sel keratinosit dan adanya infiltrasi mediator inflamasi seperti
neutrofil dan limfosit T tipe TH-1 (Hunter, et al., 2002).
Faktor genetik diduga ikut berperan dalam proses terjadinya penyakit
psoriasis. Secara epidemiologi bila orang tua tidak menderita psoriasis, resiko
psoriasis sebesar 12%, sedangkan jika salah seorang orangtuanya menderita
psoriasis resikonya dapat mencapai 34-39% (Djuanda, 2007).
18
Faktor imunologi juga ikut berperan, di mana defek genetik pada psoriasis
dapat diekspresikan pada salah satu dari ketiga jenis sel, yakni limfosit T, sel
penyaji antigen APC (Antigen Presenting Cell), atau keratinosit. Sel langerhans
juga berperan pada imunopatogenesis psoriasis. Terjadinya proliferasi epidermis
diawali dengan adanya pergerakan antigen, baik eksogen maupun endogen oleh
sel langerhans. Pada psoriasis pembentukan epidermis lebih cepat hanya sekitar 34 hari, sedangkan pada kulit normal lamanya 27 hari (Djuanda, 2007).
Berbagai faktor pencetus pada psoriasis adalah stres psikis, infeksi fokal,
trauma, faktor endokrin, gangguan metabolik, obat, alkohol, dan rokok (Djuanda,
2007).
Gambar 3.1 Faktor pencetus (hormon dan imunologi) yang berperan dalam
perkembangan psoriasis (Djuanda, 2007)
Berbagai faktor pencetus psoriasis yaitu (Hunter, et al., 2002):
a) Trauma. Pada psoriasis aktif, lesi dapat menyebabkan kerusakan kulit
akibat garukan ataupun luka akibat tindakan (Kobner phenomenon).
19
b) Infeksi fokal. Infeksi menahun di daerah hidung, tenggorokan, telinga,
ataupun gigi. Tonsilitis yang diakibatkan Streptococcus β-hemoliticus
sering memicu terjadinya psoriasis guttata.
c) Faktor psikis. Stres, emosi, dan kegelisahan dapat menyebabkan penyakit
psoriasis bertambah berat.
d) Hormonal. Frekuensi psoriasis umumnya membaik saat kehamilan dan
akan kembali setelah melahirkan. Hipokalsemia sekunder akibat
hipoparatiroid juga dianggap sebagai faktor pencetus.
e) Udara. Sinar matahari dapat memperbaiki keadaan psoriasis walaupun ada
literatur yang menyatakan 10% menjadi buruk.
f)
Penyakit metabolik. Contohnya adalah penyakit diabetes melitus yang
laten.
g) Obat. Antimalaria, litium, β-bloker, dan IFN-α dapat memperburuk
kondisi psoriasis. Psoriasis dapat terjadi “rebound” setelah diberikan
pengobatan dengan sistemik steroid.
3.4 Patogenesis
Penderita psoriasis memiliki autoantibodi psoriasis yang diproduksi di
tubuh dan spesifik dilawan oleh sel-sel T memori yang berada di sekitar kulit.
Ketika terdapat autoantibodi psoriasis, sel-sel T akan menyerang dan
menghasilkan mediator seperti TNF-α dan LFA-1, juga sel T juga akan
memproduksi TNF-α yang akhirnya memperburuk keadaan. Keadaan ini ditandai
20
dengan respon hiperproliferasi epidermis serta gejala umum psoriasis (Hunter, et
al., 2002).
Epidermis pada plak psoriasis menebal dan hiperplastik, serta terdapat
maturasi tidak sempurna sel epidermal di atas area sel germinatif. Pada kulit
dengan psoriasis, siklus sel epidermal terjadi lebih cepat. Perubahan morfologik
dan kerusakan sel epidermis akan menimbulkan akumulasi sel monosit dan
limfosit pada puncak papil dermis dan di dalam stratum basalis sehingga
menyebabkan pembesaran dan pemanjangan papil dermis. Sel epidermodermal
bertambah luas, lipatan di lapisan bawah stratum spinosum bertambah banyak
(Siregar, 1996).
Proses ini menyebabkan pertumbuhan kulit lebih cepat dan masa
pertukaran kulit menjadi lebih pendek dari normal, dari 28 hari menjadi 3-4 hari.
Stratum granulosum tidak terbentuk dan didalam stratum korneum terjadi
parakeratosis (Siregar, 1996).
Gambar 3.2 Perbedaan kulit normal dengan kulit psoriasis
(http://missinglink.ucsf.edu/lm/DermatologyGlossary/psoriasis.html)
21
Pembelahan sel pada stratum basale terjadi setiap 1.5 hari, dan migrasi
keratinosit ke stratum corneum terjadi kira-kira dalam 4 hari. Karena sel-sel
mencapai permukaan dengan sangat cepat, sel-sel tersebut tidak berdiferensiasi
dan berkembang dengan sempurna. Stratum corneum tidak terkeratinisasi secara
sempurna dan sel-sel epidermal berkembang dan menumpuk dengan abnormal
dan menjadi berskuama. Epidermis pada lesi psoriasis tiga hingga lima kali lebih
tebal dari normal. Pembuluh darah dalam stratum papilare dermis terdilatasi dan
sel-sel inflamasi, seperti neutrofil, menginfiltrasi epidermis (Peters, 2000). Pada
psoriasis terjadi peningkatan mitosis sel epidermis sehingga terjadi hiperplasia,
juga terjadi penebalan dan pelebaran kapiler sehingga tampak lesi eritematous.
Pendarahan terjadi akibat dari ruptur kapiler ketika skuama dikerok (Siregar,
1996).
Kemungkinan faktor genetik berperan dalam proses hiperproliferasi
keratinosit serta peningkatan kecepatan pergantian kulit pada penderita psoriasis
(Hunter, et al., 2002). Abnormalitas pada vaskularisasi kutaneus ditandai dengan
peningkatan jumlah mediator inflamasi, yaitu limfosit, polimorfonuklear, leukosit,
dan makrofag yang terakumulasi pada dermis baik stadium inisial ataupun
stadium lanjut penyakit (Djuanda, 2007). Mekanisme yang mendasari terjadinya
peningkatan proliferasi sel keratinosit belum dipahami secara keseluruhan. Cyclic
guanosin monophosphate (cGMP), metabolisme asam arakidonat, polyamines,
calmodulin, dan aktivasi plasminogen dapat meningkatkan plak psoriasis. Selain
itu, faktor genetik yang mengontrol pertumbuhan keratinosit (Hunter, et al.,
2002).
22
3.5 Gambaran Klinis
Tempat predileksi pada scalp, perbatasan scalp dengan wajah, ekstremitas
terutama bagian ekstensor di bagian siku dan lutut serta daerah lumbosakral
(Djuanda, 2007).
Gambar 3.3 Predileksi lokasi terjadinya psoriasis (Djuanda, 2007)
Kelainan kulit terdiri dari plak dengan skuama di atasnya. Eritema
sirkumskripta dan merata, tetapi pada masa penyembuhan seringkali eritema di
tengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar,
dan berwarna putih seperti mika transparan. Jenis kelainan bervariasi, dapat
berbentuk lentikular, nummular, plakat, dan dapat berkonfluensi. Jika seluruhnya
atau sebagian besar berbentuk lentikular disebut psoriasis guttata, biasanya pada
anak-anak, dewasa muda, dan terjadi setelah infeksi Streptococcus aureus
(Djuanda, 2007).
Lesi primer pada pasien psoriasis dengan kulit yang cerah adalah merah,
papula, dan berkembang menjadi kemerahan, plak yang berbatas tegas. Lokasi
23
plak pada umumnya terdapat pada siku, lutut, scalp, umbilikus, dan intergluteal.
(Djuanda, 2007).
Gambar 3.4 Pasien psoriasis dengan kulit cerah, lesi primer berwarna
merah dengan sisik putih perak (Djuanda, 2007)
Pada pasien psoriasis dengan kulit gelap, distribusi hampir sama, namun
papula dan plak berwarna keunguan dengan skuama abu-abu. Pada telapak tangan
dan telapak kaki, berbatas tegas, mengandung pustula, dan menebal pada waktu
bersamaan. Trauma eksternal, meliputi goresan dan garukan pada kulit
menyebabkan plak psoriatik yang lama atau Fenomena Kobner (Djuanda, 2007).
Fenomena lain seperti tetesan lilin adalah skuama yang berubah warnanya
menjadi putih pada goresan seperti lilin yang digores, disebabkan oleh perubahan
indeks bias. Pada fenomena Auspitz tampak serum atau darah berbintik-bintik
yang disebabkan papilomatosis (Hunter, et al., 2002).
24
Gambar 3.5 Gejala Psoriasis (1) Tetesan lilin (2) Kobner (3) Auspitz
(http://missinglink.ucsf.edu/lm/DermatologyGlossary/psoriasis.html)
Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku yakni sebanyak 50%
yang agak khas yaitu yang disebut dengan pitting nail atau nail pit yang berupa
lekukan-lekukan miliar. Kelainan lain yaitu kuku bagian distal terangkat karena
terdapat lapisan tanduk di bawahnya (hiperkeratosis subungual), onikolisis
(terlepasnya seluruh atau sebagian kuku dari matriksnya), oil spots subungual,
dan koilonikia (spooning of nail plate). Di samping menimbulkan kelainan pada
kulit dan kuku, penyakit ini juga dapat menimbulkan kelainan sendi. Umumnya
bersifat poliartikular, tempat predileksinya pada sendi interfalangs distal pada usia
30-50 tahun (Hunter, et al., 2002).
1
2
3
4
5
6
Gambar 3.6 (1) Pitting (2) Oil spot sign (3) Onikolisis
(4) Subungual hiperkeratosis (5) Plate abnormalities (6) Splinter hemorrhage
(Hunter, et al., 2002)
25
Berbagai bentuk klinis dari psoriasis adalah (Hunter, et al., 2002):
1. Psoriasis Vulgaris
Bentuk ini adalah yang lazim terdapat dengan lesi yang umumnya
berbentuk plak. Tempat predileksinya yaitu pada scalp, perbatasan scalp dengaan
wajah, ekstremitas terutama bagian ekstensor yaitu lutut, siku, dan daerah
lumbosakral.
Gambar 3.7 Psoriasis vulgaris, lesi primer berbatas tegas (plak)
(Hunter, et al., 2002)
2. Psoriasis Gutata
Diameter biasanya tidak melebihi 1 cm. Timbulnya mendadak dan
diseminata, umumnya setelah infeksi Streptococcus di saluran napas bagian atas
setelah influenza atau morbili terutama pada anak dan dewasa muda. Selain itu
juga dapat timbul setelah infeksi yang lain baik bakterial maupun viral.
Gambar 3.8 Psoriasis Gutata (Hunter, et al., 2002)
26
3. Psoriasis Inversa
Psoriasis ini mempunyai tempat predileksi di daerah fleksor sesuai dengan
namanya.
Gambar 3.9 Psoriasis inversa pada daerah siku (Gawkrodger, 2003)
4. Psoriasis Eksudativa
Bentuk ini sangat jarang. Biasanya kelainan pada psoriasis itu dalam
bentuk kering, tetapi pada jenis ini kelainannya bersifat eksudatif seperti pada
dermatitis akut.
5. Psoriasis Seboroik
Gambaran klinis psoriasis seboroik merupakan gabungan antara psoriasis
dan dermatitis seboroik, skuama yang biasanya kering menjadi agak berminyak
dan agak lunak. Selain berlokasi pada tempat yang lazim, juga terdapat pada
tempat seboroik.
27
6. Psoriasis Pustulosa
Terdapat dua bentuk psoriasis pustulosa yaitu:
a. Psoriasis Pustulosa Palmoplantar
Psoriasis pustulosa palmoplantar bersifat kronik dan residif, mengenai
telapak tangan atau telapak kaki atau keduanya. Kelainan kulit berupa kelompokkelompok pustula kecil dan dalam, di atas kulit yang eritematosa, disertai rasa
gatal.
b. Psoriasis Pustulosa Generalisata Akut (Von Zumbusch)
Psoriasis pustulosa generalisata akut dapat ditimbulkan oleh berbagai
faktor provokatif, misalnya yang tersering karena penghentian kortikosteroid
sistemik. Contoh obat lainnya yaitu penisilin dan derivatnya, serta antibiotik
betalaktam yang lain, hidroklorokuin, kalium iodide, morfin, sulfapiridin,
sulfonamide, kodein, fenilbutason, dan salisilat. Faktor lain selain obat ialah
hipokalsemia, sinar matahari, alkohol, stres emosional, serta infeksi bakterial dan
virus. Penyakit ini dapat timbul pada penderita yang belum pernah menderita
psoriasis. Gejala awalnya ialah kulit nyeri, hiperalgesia disertai gejala umum
berupa demam, malaise, nausea, dan anoreksia. Dalam beberapa jam timbul
banyak plak edematosa dan eritematosa pada kulit yang normal Selanjutnya
timbul banyak pustula miliar pada plak tersebut. Dalam sehari, pustula
berkonfluensi membentuk lake of pus berukuran beberapa sentimeter. Kelainan
semacam ini akan berlangsung terus menerus dan menjadi eritroderma.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis dan kultur pus dari pustula
(Djuanda, 2007).
28
7. Psoriatis Eritroderma
Psoriasis eritroderma dapat disebabkan oleh pengobatan topikal yang
terlalu kuat atau karena penyakitnya sendiri yang meluas. Biasanya lesi yang khas
untuk psoriasis tidak tampak lagi karena terdapat eritema dan skuama tebal
universal.
3.6 Manifestasi Oral
Terdapat beberapa laporan kasus mengenai psoriasis yang memiliki
manifestasi klinis pada rongga mulut. Berdasarkan Dreyer dan Brown (2012),
manifestasi klinis ini ditemukan pada bibir, palatum, mukosa bukal, lidah, dan
gusi. Pada bagian tersebut ditemukan papula kecil berwarna putih dan mudah
berdarah apabila dikerok, serta plak kemerahan dan bercak berwarna merah terang
yang mengikuti lesi kulit.
Penelitian oleh tenaga medis dokter gigi memperlihatkan bahwa adanya
peningkatan frekuensi kasus geographic tongue dan fissured tongue pada pasien
dengan diagnosis psoriasis.
3.5.1 Geographic Tongue
Geographic tongue atau disebut juga benign migratory glossitis
merupakan suatu kelainan pada lidah, dimana terdapat area eritema dengan atrofi
papila filiformis pada lidah dan dikelilingi atau dibatasi oleh jaringan
hiperkeratotik berwarna putih. Etiologi dari geographic tongue masih belum
29
diketahui. Secara klinis, terlihat gambaran bercak-bercak merah tidak teratur
dikelilingi daerah memutih yang sedikit meninggi menggambarkan deskuamasi
papila filiformis (Usri, dkk., 2006).
Manifestasi ini biasanya ditemukan pada bagian dorsal lidah dan biasanya
menyebar sampai ke lateral lidah. Pasien dengan geographic tongue biasanya
mengeluhkan rasa terbakar atau rasa teriritasi pada saat makan makanan pedas
atau panas. Menurut Greenberg dan Glick (2003), Geographic tongue yang
menjadi manifestasi oral pada penderita psoriasis biasanya diasosiasikan dengan
psoriasis tipe pustular.
Gambar 3.10 Geographic tongue (www.dermaamin.com)
Menurut Kelsch (2012), geographic tongue dilaporkan mengalami
peningkatan kasus bersamaan dengan meningkatnya kasus psoriasis. Geographic
tongue tidak menular dan apabila terdapat kelainan subjektif berupa rasa terbakar,
dapat diatasi dengan menggunakan anestesi topikal pada permukaan lidah. Abe, et
al., melaporkan terapi yang sukses dengan menggunakan siklosporin, sedangkan
30
Sigal dan Mock melaporkan terapi yang sukses dengan menggunakan
antihistamin topikal dan sistemik (Kelsch, 2012).
3.5.2 Cheilitis Angularis
Manifestasi klinis rongga mulut dari psoriasis lainnya adalah cheilitis
angularis. Cheilitis angularis merupakan kondisi eritema, perdarahan, ulserasi,
pengelupasan, dan rasa sakit pada sudut bibir. Pada beberapa pasien mengeluhkan
bibir pecah-pecah dan rasa tidak nyaman. Pasien juga merasakan rasa terbakar
apabila dilakukan penekanan pada lesi (Warnakulasuriya, et. al., 1991)
Etiologi dari chelitis angularis ini bermacam-macam, namun yang paling
umum adalah infeksi bakteri Staphilococcus aureus, Streptococcus β-hemolitic,
dan Candida albicans. Etiologi non-infeksi dari cheilitis angularis adalah
defisiensi nutrisi, anemia, kulit kering, hipersalivasi, kontak alergi, dan kelainan
kulit seperti dermatitis atopik, psoriasis, dan lichen planus (Warnakulasuriya, et
al., 1991; Ohman, et al., 1986). Menurut Usri, dkk., (2006) cheilitis angularis ini
dapat disebabkan oleh defisiensi nutrisi seperti Fe, vitamin B, atau asam folat.
Chelitis angularis dapat diatasi dengan mengoleskan gel petroleum pada area lesi
untuk kasus-kasus yang idiopatik. Apabila etiologi diketahui, maka terapi
diberikan dapat diberikan sesuai etiologi, misalnya apabila cheilitis angularis
disebabkan oleh Candida albicans, maka dapat diberikan terapi antifungal (Usri,
dkk., 2006).
31
Gambar 3.11 Chelitis angularis (www.menscosmo.com)
3.5.3 Fissured tongue
Fissured tongue merupakan manifestasi klinis lesi oral pada penderita
psoriasis. Fissured tongue merupakan suatu keadaan dimana lidah memiliki
groove pada bagian dorsal lidah sampai ke lateral lidah (Kelsch, 2012). Dorsal
lidah tampak retak-retak dengan kedalaman lebih dari 2 mm, tampak bergaris,
berfisur, atau berparit secara transversal, horizontal, atau oblique (Usri, dkk.,
2006). Kedalamannya bervariasi, ada yang mencapai 6 mm. Fisur atau groove
yang terbentuk dapat tersambung dan memberikan gambaran lobus-lobus pada
lidah. Biasanya, fisur-fisur ini ditemukan pada 1/3 tengah lidah. Fisur-fisur ini
dapat single ataupun multiple (Kelsch, 2012).
Fissured tongue ini etiologinya tidak diketahui dan biasanya tidak
memberikan gejala. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat menimbulkan
halitosis karena retensi debris, oleh karena itu, kebersihan mulut harus
ditingkatkan (Usri, dkk., 2006). Pada penderita psoriasis, fissured tongue
ditemukan pada 9,5% kasus (Hietanen, et.al., 1984).
32
Gambar 3.12 Fissured tongue (www.dermaamin.com)
3.7 Pemeriksaan Penunjang
Sebenarnya tidak perlu dilakukan pemeriksaan penunjang laboratorium
untuk mendiagnosis psoriasis. Akan tetapi, pemeriksaan digunakan untuk
mengetahui faktor pencetus seperti adanya infeksi dan pemeriksaan gula darah
serta kolesterol pada penderita diabetes mellitus (Djuanda, 2007).
Dari
histopatologis
pemeriksaan
yang
khas
histologis,
yakni
psoriasis
parakeratosis
memberikan
dan
akantosis.
gambaran
Terdapat
perpanjangan (akantosis) reteridges dengan bentuk clubike, perpanjangan papila
dermis, parakeratosis, mikro abses Munro (kumpulan netrofil leukosit
polimorfonuklear yang menyerupai pustul spongiform kecil) dalam stratum
spinosum, penebalan suprapapiler epidermis (menyebabkan tanda Auspitz),
dilatasi kapiler papila dermis, infiltrat inflamasi limfohistiositik ringan sampai
sedang di dalam papila dermis atas (Djuanda, 2007). Aktivitas mitosis sel
epidermis sangat tinggi, sehingga maturasi keratinisasi sel-sel epidermis terlalu
cepat dan tampak penebalan pada stratum korneum. Di dalam stratum korneum
33
dapat
ditemukan
kantong-kantong
kecil
yang
berisikan
sel
radang
polimorfonuklear yang dikenal sebagai mikro abses Munro. Pada puncak papil
dermis didapati pelebaran pembuluh darah kecil yang disertai sel radang limfosit
dan monosit (Hunter, et al., 2002).
Gambar 3.13 Histopatologi Psoriasis
(http://missinglink.ucsf.edu/lm/DermatologyGlossary/psoriasis.html)
3.8 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Jika gambaran klinisnya khas, tidak sulit menentukan diagnosis psoriasis.
Psoriasis memiliki tanda yang khas seperti skuama yang kasar, transparan dan
berlapis-lapis, serta terdapat fenomena tetesan lilin dan Auzpit (Djuanda, 2007).
Pada stadium penyembuhan telah dijelaskan bahwa eritema dapat terjadi
hanya di pinggir hingga menyerupai dermatofitosis. Perbedaannya adalah keluhan
pada dermatofitosis sangat gatal sekali dan pada sediaan langsung ditemukan
jamur. Dermatitis seboroik berbeda dengan psoriasis karena skuama yang
34
berminyak dan kekuningan serta predileksi pada tempat yang seboroik. Pitiriasis
Rosea kadangkala dibingungkan dengan psoriasis guttata, akan tetapi lesi pada
penyakit ini berbentuk oval sedikit bulat dan berjalan sejajar dengan tulang rusuk
sehingga tampak gambaran pohon cemara terbalik. Terdapat mother plaque dan
predileksi lokasinya biasanya terdapat di punggung (Hunter, et al., 2002).
3.9 Penatalaksanaan
Secara garis besar pengobatan psoriasis dibagi menjadi pengobatan secara
sistemik, lokal, radiasi ultraviolet, dan kombinasi. Terapi pada pasien dengan
psoriasis akan didasarkan pada keahlian dokter dan kondisi yang menguntungkan
bagi pasien (Hunter, et al., 2002).
3.9.1 Terapi Sistemik
Pengobatan sistemik diberikan pada psoriasis yang mengenai lebih dari
20% permukaan tubuh.
a. Sitostatika
Bekerja dengan menghambat sintesis asam folat pada proses mitosis fase S
dan menyebabkan berkurangnya pergantian epidermis. Obat ini menunjukkan
hambatan replikasi dan fungsi sel T dan mungkin juga sel B karena adanya efek
hambatan sintesis. Indikasinya ialah untuk psoriasis vulgaris, psoriasis pustulosa,
psoriasis arthritis dengan lesi kulit dan eritroderma karena psoriasis yang sukar
terkontrol dengan obat standar. Kontraindikasinya ialah bila terdapat kelainan
35
hepar, ginjal, sistem hematopoetik, kehamilan, penyakit infeksi aktif misalnya
TBC, ulkus peptikum, colitis ulserosa, dan psikosis (Djuanda, 2007).
Efek samping dari penggunaan metotreksat adalah nyeri kepala, alopesia,
gangguan saluran cerna, sumsum tulang, hepar, dan lien. Pada saluran cerna
berupa nausea, nyeri lambung, stomatitis ulserosa, dan diare. Pada reaksi yang
hebat dapat terjadi enteritis hemoragik dan perforasi intestinal. Depresi sumsum
tulang menyebabkan timbulnya leukopenia, trombositopenia, dan kadang-kadang
anemia. Pada hepar dapat terjadi fibrosis dan sirosis (Djuanda, 2007).
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat mengontrol psoriasis dengan dosis ekuivalen
prednison 30-60 mg perhari. Setelah membaik dosis diturunkan perlahan-lahan
lalu diberikan dosis pemeliharaan. penghentian obat secara mendadak akan
menyebabkan kekambuhan dan dapat terjadi psoriasis pustulosa generalisata
(Djuanda, 2007).
c. Asitretin
Asitretin merupakan retinoid aromatik, derivat vitamin A digunakan bagi
psoriasis yang sukar disembuhkan seperti psoriasis pustular dan psoriasis
eritroderma. Pada psoriasis, obat tersebut mengurangi proliferasi sel epidermal
pada lesi psoriasis dan kulit normal. Efek sampingnya berupa kulit menipis dan
kering, selaput lendir pada mulut, mata, dan hidung kering, kerontokan rambut,
cheilitis, pruritus, serta nyeri tulang dan persendian (Buxton, 2003).
36
d. Siklosporin
Siklosporin merupakan imunosupresan yang sering digunakan dalam
transplantasi organ. Efek samping pada pemakaian jangka lama adalah hipertensi,
kerusakan fungsi ginjal, dan beresiko mendapatkan kanker kulit (Djuanda, 2007).
e. Levodopa
Levodopa menyembuhkan sekitar 40% pasien dengan psoriasis dengan
dosis 2 x 250 mg. Efek samping levodopa adalah mual, muntah, anoreksia,
hipotensi, gangguan psikis, dan gangguan pada jantung (Djuanda, 2007).
f. Diaminodifenilsulfon (DDS)
Diaminodifenilsulfon (DDS) digunakan pada pengobatan psoriasis
pustulosa dengan dosis 2 x 100 mg sehari. Efek sampingnya adalah anemia
hemolitik, methemoglobinuria, dan agranulositosis (Djuanda, 2007).
g. Terapi Sistemik Lain
Antimetabolit
seperti
mycophenolate
mofetil,
6-tioguanine,
dan
hydroxyurea dapat membantu gejala psoriasis tetapi tidak melebihi metotreksat
(Hunter, et al., 2002). Obat biologi merupakan obat yang baru dengan efeknya
memblok langkah molekular spesifik yang penting pada patogenesis psoriasis.
Contoh obatnya adalah alefaseb, efalizumab, etanerseb, adalimumab, dan TBF-α
antagonis (Hunter, et al., 2002).
37
3.9.2 Terapi Topikal
Terapi topical untuk psoriasis di antaranya (Hunter, et al., 2002; Djuanda, 2007):
a. Preparat tar
Preparat tar ini berfungsi sebagai antiradang serta dapat menghambat
proliferasi keratinosit. Menurut asalnya, preparat terbagi menjadi 3 yang berasal
dari fosil, kayu, dan batubara.
b. Penyinaran
Sinar ultraviolet mempunyai efek menghambat mitosis sel epidermis
sehingga dapat digunakan untuk pengobatan psoriasis.
c. Calsipotriol
Calsipotriol merupakan sintetik vitamin D. Preparat berupa salep atau krim
50 mg yang memiliki waktu perbaikan setelah satu minggu. Efek samping 4-20%
berupa iritasi, eritema, dan skuamasi.
d. Kortikosteroid Topikal
Pada scalp, muka, dan daerah lipatan digunakan krim, sedangkan di
tempat lainnya digunakan salep. Pada daerah muka, dipilih kortikosteroid potensi
sedang, bila digunakan potensi kuat pada muka dapat memberik efek samping di
antaranya teleangiektasis. Pada batang tubuh dan ekstremitas digunakan salep
dengan potensi kuat atau sangat kuat bergantung pada lama penyakit. Jika telah
terjadi perbaikan, potensi dan frekuensinya dapat dikurangi.
38
e. Emolien
Efek emolien ialah melembutkan permukaan kulit. Pada batang tubuh
(selain lipatan), ekstremitas atas dan bawah biasanya digunakan salep dengan
bahan dasar vaselin 1-2 kali/hari, fungsinya juga sebagai emolien dengan akibat
meninggikan daya penetrasi bahan aktif. Jadi emolien sendiri tidak mempunyai
efek antipsoriasis.
f. Tazaroten
Tazaroten
merupakan
molekul
retinoid
asetilinik
topikal.
Bila
dikombinasikan dengan steroid topikal potensi sedang dan kuat akan
mempercepat penyembuhan dan mengurangi iritasi. Efek sampingnya adalah
iritasi berupa gatal, rasa terbakar, dan eritema.
g. Dithranol (Antralin)
Dithranol bekerja sebagai antimitosis dan menyebabkan iritasi pada kulit
normal.
3.9.3 PUVA (Photochemotherapy)
Efek samping yang paling banyak dikeluhkan adalah nyeri pada daerah
eritema yang dapat diminimalisasi dengan pemberian dosis penyinaran secara
hati-hati. Beberapa pasien juga merasakan gatal dan mual setelah pemberian terapi
radiasi. Efek samping penggunaan jangka panjang menyebabkan prematuritas
39
pada kulit (bintik-bintik pigmentasi, berkerut, dan atrofi) atau kanker kulit pada
penggunaan lebih dari 1000 J (Hunter, et al., 2002).
3.10 Tinjauan Umum Kelainan Jiwa pada Pasien Psoriasis
Pada kasus yang dibahas dalam makalah ini, pasien didiagnosis psoriasis
dengan faktor pencetusnya adalah kelainan psikotik dengan diagnosis jiwa Axis I.
Menurut klasifikasi gangguan jiwa PPDGJ III / 1994-2004, pada Axis I, gangguan
klinis dan kondisi lain yang merupakan fokus perhatian klinis. Gangguan jiwa
adalah kelompok gejala atau perilaku yang ditemukan secara klinis, disertai
dengan penderitaan (distres), pada kebanyakan kasus, dan berkaitan dengan
terganggunya fungsi seseorang.
Beberapa jenis Axis I:
F 00-09 : Gangguan mental organik. Gangguan jiwa yang disebabkan oleh
penyakit cedera, rudapaksa otak, sehingga mengakibatkan disfungsi
otak.
F 10-19 : Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif F 2029: skizofrenia, gangguan waham
F 30-39 : Gangguan suasana perasaan (depresi/elasi)
F 40-48 : Gangguan neurotik, somatoform dan yang berkaitan dengan stres
F 50-59 : Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan
faktor fisik
F 99
: Gangguan jiwa yang tidak ditentukan
40
Pada pasien ini, diagnosis jiwa merupakan Axis I dimana terjadi faktor
psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan gangguan atau penyakit yang
diderita, serta suspek gangguan mental dan perilaku akibat kerusakan otak (ec.
trauma kapitis). Oleh karena itu, dokter meresepkan obat antipsikotik yaitu
haloperidol.
Haloperidol adalah obat yang dikategorikan ke dalam agen antipsikotik
jenis butyrophenone. Obat ini diindikasikan untuk kelainan psikotik akut dan
kronik, seperti skizofrenia, gangguan manik, dan gangguan perilaku. Haloperidol
juga berguna pada penanganan pasien agresif dan teragitasi, penderita Tourette’s
syndrome. Selain itu, obat ini dapat digunakan pada pasien retardasi mental
(Sweetman, 2009 ; Almazini, 2008).
3.10.1 Mekanisme Kerja Obat Haloperidol
Reseptor dopamin memiliki peran penting dalam menentukan etiologi
psikosis serta mekanisme kerja dan efek samping dari antipsikotik. Pada penderita
psikosis dengan simtom positif (halusinasi, delusi, paranoid, terlalu mudah
curiga), dopamin terlalu banyak diproduksi dalam otak sehingga terlalu banyak
reseptor dopamin (D2), sedangkan kekurangan dopamin dapat menyebabkan
simtom negatif (penarikan diri secara sosial dan emosional, tak bergairah)
(Weinberg, et al., 2010 ).
Secara umum haloperidol menghasilkan efek selektif pada sistem saraf
pusat melalui penghambatan kompetitif reseptor dopamin (D2) postsinaptik pada
sistem dopaminergik mesolimbik. Selain itu, haloperidol bekerja sebagai anti
41
psikotik dengan meningkatkan siklus pertukaran dopamin otak. Pada terapi
subkronik, efek antipsikotik dihasilkan melalui penghambatan depolarisasi saraf
dopaminergik (Almazini, 2008).
Gambar 3.13 Mekanisme kerja obat antipsikotik.
(a) kelebihan produksi dopamin. (b) antipsikotik menghambat reseptor dopamin
(D2) postsinaptik (Weinberg, et al., 2010).
3.10.2 Dosis, Cara Pemberian, dan Lama Pemberian Haloperidol
Pada
remaja
dan
dewasa,
haloperidol
sebagai
antipsikotik
dan
antidiskinetik digunakan secara oral dengan dosis awal sebesar 500 mcg (0.5 mg)
sampai 5 mg sebanyak 2 -3 kali per hari. Peningkatan dosis dapat dilakukan
secara bertahap sesuai kebutuhan dan daya toleransi. Batas dosis pada orang
dewasa adalah 100 mg per hari (Almazini, 2008).
Pada anak-anak yang berusia 3-12 tahun dengan berat badan dalam kisaran
15-40 Kg, haloperidol dikonsumsi secara oral dengan dosis awal 50 mcg (0.05
mg) per Kg/BB/hari (dibagi ke dalam 2-3 dosis). Sementara itu, pada pasien usia
42
lanjut dosis yang digunakan adalah 500 mcg– 2 mg sebanyak 2-3 kali sehari.
Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap sesuai kebutuhan dan toleransi yang
diperbolehkan (Almazini, 2008).
3.10.3 Efek Samping Haloperidol
Selain menghambat pengikatan reseptor dopamin, haloperidol juga terikat
pada reseptor muskarinik (antikolinergik) yang dapat menghasilkan berbagai efek
samping, seperti xerostomia, konstipasi, penglihatan kabur, takikardia, disfungsi
seksual, dan retensi urin. Mulut pasien yang mengkonsumsi haloperidol dapat
terasa sangat kering, yang ditandai dengan menempelnya kaca mulut pada mukosa
oral pasien. Menurunnya aliran saliva dapat mengakibatkan karies, penyakit
periodontal, dan candidiasis oral (Weinberg, et al., 2010 ).
Untuk menjaga kebersihan mulut pasien yang mengkonsumsi haloperidol,
dapat diinstruksikan kepada pasien untuk meningkatkan konsumsi air minum,
menghisap permen tanpa gula atau mengunyah permen karet tanpa gula
(Weinberg, et al., 2010 ).
Sebagian besar obat antipsikotik menyebabkan xerostomia yang akan
memperburuk kondisi mulut seperti munculnya karies dan penyakit periodontal.
Penting bagi dokter gigi untuk mengetahui obat-obat antipsikotik dan efek
sampingnya, sehingga dokter gigi dapat mengintruksikan kepada pasien
bagaimana cara menjaga kebersihan mulutnya (Weinberg, et al., 2010 ).
43
3.11 Prognosis
Meskipun psoriasis tidak menyebabkan kematian, penyakit ini bersifat
kronis dan residif. Belum ada cara yang efektif dan memberi penyembuhan yang
sempurna hingga saat ini (Djuanda, 2007; Hunter, et al., 2002).
Download