proposal penelitian - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes mellitus
2.1.1. Definisi
Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat defek sekresi insulin , kerja
insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik berhubungan dengan kerusakan, disfungsi
dan gangguan berbagai-bagai organ khususnya mata, ginjal, syaraf, jantung dan
pembuluh darah. ( Sanusi, H; 2006 )
2.1.2. Klasifikasi
Walaupun semua penyakit DM berkongsi hiperglikemi sebagai karakteristik utama,
namun terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadi hiperglikemi. Majoriti
dari kasus diabetes digolongkan dalam 2 kelompok utama yaitu :
•
Diabetes tipe 1 yang ditandai dengan penurunan sekresi insulin yang absolut. Hal
ini disebabkan oleh karena terjadi destruksi pada sel β pankreas yang umumnya
terjadi akibat autoimun. Diabetes tipe 1 terjadi kurang lebih 10% dari keseluruhan
kasus diabetes.
•
Diabetes tipe 2 disebabkan oleh kombinasi resistensi perifer terhadap kerja insulin
dan respon kompensasi yang tidak adekuat terhadap sekresi insulin oleh sel β
pankreas ( “kekurangan insulin relatif” ). Dianggarkan 80% hingga 90% pasien
menderita diabetes tipe 2.
Terdapat berbagai penyebab sekunder dan monogenik yang menyumbang kepada
terjadinya kasus-kasus diabetes yang lain ( Tabel 2.1. ). Perlu ditekankan bahwa majoriti
dari tipe diabetes mempunyai mekanisme patogenik yang berbeda, begitu juga dengan
komplikasi jangka panjang pada ginjal, mata, saraf, dan pembuluh darah serta penyebab
utama morbiditas dan kematian.
Tabel 2.1. : Klasifikasi Berdasarkan Etiologi pada DM
Diabetes tipe 1
Destruksi sel β pankreas, menyebabkan terjadinya defisiensi insulin absolut
Universitas Sumatera Utara
Diabetes tipe 2
Resistensi insulin dengan defisiensi insulin yang relatif
Defek genetik pada fungsi sel β
MODY, menyebabkan mutasi pada :

HNF-4α (MODY1)

Glukokinase (MODY2)

HNF-1α (MODY3)

IPF-1 (MODY4)

HNF-1β (MODY5)

Neuro D1 (MODY6)
Mutasi DNA mitokondria
Defek genetik pada proses insulin atau kerja insulin
Defek pada konversi proinsulin, mutasi gen insulin, mutasi reseptor insulin
Defek pada eksokrin pankreas
Pankreatitis kronis, pankreatektomi, neoplasia, kista fibrosis, hemokromatosis,
fibrocalculous pancreatopathy
Endokrinopati
Kelebihan hormon pertumbuhan (akromegali), sindroma Cushing, hipertiroidisme,
Pheochromocytoma, glukagonoma
Infeksi
Cytomegalovirus, coxsackievirus B
Obat-obatan
Glukokortikoid, hormon tiroid, agonis β-adrenergik
Sindroma genetik berhubungan dengan diabetes
Sindroma Down, sindroma Kleinfelter, sindroma Turner
Gestational diabetes mellitus
(Adapted from the Report of the ADA Expert Committee on the Diagnosis and
Classification of Diabetes Mellitus. Diabetic Care 25 (Suppl.1), 2002.)
( Robbins, Basic Pathology, 8th edition )
2.1.3. Patogenesis DM tipe 1
Universitas Sumatera Utara
Diabetes tipe 1 merupakan satu penyakit autoimun di mana destruksi sel-sel
pankreas disebabkan terutamanya oleh limfosit T breaksi terhadap antigen sel β,
menyebabkan terjadi reduksi massa sel β. Tetapi masih belum jelas bagaimana autoimun
ini bisa terjadi pada diabetes tipe ini. Seperti pada semua penyakit autoimun yang lain,
kecenderungan genetik dan faktor lingkungan berperan penting dalam patogenesanya.
Diabetes tipe 1 kebanyakannya bermula pada usia anak-anak, bermanifestasi pada usia
pubertas, dan berkembang seiring peningkatan usia. Kebanyakan individu dengan DM
tipe 1 bergantung dengan suplemen insulin eksogen untuk meneruskan kehidupan, dan
tanpa insulin, dapat terjadi komplikasi metabolik yang berat seperti ketoasidosis akut dan
koma.
Walaupun gejala klinis DM tipe 1 muncul secara tiba-tiba, namun penyakit ini
terjadi akibat daripada serangan autoimun yang kronik terhadap sel β yang umumnya
bermula beberapa tahun sebelum penyakit ini menimbulkan sebarang gejala. Manifestasi
klasik dari penyakit ini (hiperglikemi dan ketosis) terjadi lebih lambat, selepas lebih dari
90% sel β rusak. Terdapat beberapa mekanisme yang menyumbang kepada terjadinya
destruksi sel β, dan mekanisme imun ini bekerjasama dalam merusakkan sel β, sehingga
menimbulkan manifestasi klinis :

Limfosit T bereaksi terhadap antigen sel β dan menyebabkan kerusakan sel. Sel T
ini termasuklah sel T CD4+ dari subset T H 1, yang mana menyebabkan kerusakan
jaringan dengan cara aktivasi makrofag, dan limfosit T sitotoksik CD8+ yang
merusakkan sel β secara direk dan juga sekresi sitokin yang mengaktivasi
makrofag. Pada kasus yang jarang, dijumpai lesi pada pankreas pada awal
stadium aktif penyakit ini di mana terjadi nekrosis sel pankreas dan infiltrasi
limfosit. Lesi ini dipanggil insulitis.

Sitokin yang diproduksi secara lokal merusakkan sel β. Antara sitokin yang dapat
menyebabkan kerusakan sel adalah seperti IFN-γ, yang dihasilkan oleh sel T, dan
TNF dan interleukin-1, yang diproduksi oleh makrofag yang diaktivasi sewaktu
reaksi imun.

Autoantibodi terhadap berbagai antigen sel β, termasuk insulin dan glutamic acid
decarboxylase, juga dideteksi dalam darah 70% hingga 80% pasien dan mungkin
menyumbang kepada kerusakan sel pankreas.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Patogenesis DM tipe 2
Sementara telah banyak yang dipelajari bebrapa tahun yang lalu, namun
patogenesis DM tipe 2 masih belum jelas. Pengaruh lingkungan, seperti gaya hidup dan
tabiat
pemakanan,
memainkan
peran
dan
berhubungan
dengan
obesitas.
Walaubagaimanapun, faktor genetik memainkan peran penting berbanding pada DM tipe
1. Pada kembar monozigot, resikonya sebesar 50% hingga 90%, sementara di kalangan
first degree relatives yang mempunyai DM tipe 2, resikonya sebesar 20% hingga 40%.
Tidak seperti DM tipe 1, DM tipe 2 tidak berhubungan dengan gen yang terlibat dalam
regulasi dan toleransi imun, dan tidak ada bukti yang mendukung autoimun pada
penyakit ini. Terdapat 2 defek metabolik sebagai karakteristik DM tipe 2 seperti (1)
penurunan kebolehan jaringan perifer untuk berespon terhadap terhadap insulin
(resistensi insulin) dan (2) disfungsi sel β yang bermanifestasi sebagai sekresi insulin
yang tidak adekuat. Pada kebanyakan kasus, resistensi insulin merupakan penyebab
utama diikut i oleh disfungsi sel β.
Resistensi Insulin
Resistensi insulin didefinisikan sebagai resistensi terhadap efek dari insulin pada
pengambilan, metabolisme, atau penyimpanan glukosa. Resistensi insulin merupakan
karakteristik utama pada kebanyakan individu dengan DM tipe 2 dan juga merupakan
temuan universal pada pasien diabetes yang obesitas.Bukti yang mengatakan bahwa
resistensi insulin berperan penting dalam patogenesis DM tipe 2 boleh diambil dari
temuan (1) resistensi insulin sering terdeteksi 10 hingga 20 tahun sebelum gejala diabetes
muncul, dan (2) pada penelitian prospektif, resistensi insulin merupakan prediktor terbaik
untuk melihat progresi terjadinya diabetes. Resistensi insulin merupakan satu fenomena
yang kompleks, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan dan genetik.
Disfungsi sel β
Disfungsi sel β pada DM tipe 2 merujuk kepada hilangnya kebolehan sel-sel ini untuk
beradaptasi terhadap resistensi insulin perifer dan peningkatan sekresi insulin untuk
jangka masa yang panjang. Pada keadaan resistensi insulin, sekresi insulin pada mulanya
tinggi untuk setiap kadar glukosa. Keadaan hiperinsulinemi ini merupakan mekanisme
kompensasi terhadap resistensi perifer dan biasanya bisa mempertahankan kadar gula
Universitas Sumatera Utara
darah normal selama beberapa tahun. Penyebab utama kegagalan adaptasi sel β masih
belum jelas. Tetapi ada anggapan bahwa beberapa mekanisme yang mungkin berperan
termasuk efek samping daripada FFA yang banyak dalam sirkulasi (lipotoksisitas) atau
hiperglikemi kronik (glukotoksisitas). Disfungsi sel β pada DM tipe 2 merangkumi aspek
kualitatif dan kuantitatif.
•
Disfungsi sel β kualitatif pada mulanya bermanifestasi sebagai abnormalitas yang
kurang jelas, seperti hilangnya pulsasi normal, gangguan sekresi insulin, dan
berkurangnya sekresi insulin yang tinggi yang biasanya dipicu oleh peningkatan
glukosa dalam darah. Semakin lama, defek pada sekresi insulin ini berkembang
dan walaupun masih ada sekresi insulin basal, namun ianya tidak adekuat untuk
mengatasi resistensi insulin.
•
Disfungsi sel β kuantitatif pula bermanifestasi sebagai penurunan massa sel β,
degenerasi sel-sel pankreas, dan penumpukan amiloid pankreas. Protein amiloid
pankreas (amilin) merupakan karakteristik utama pada penderita DM tipe 2 dan
ditemukan pada lebih 90% pada pankreas penderita DM yang diperiksa.
Amiloidosis pankreas berhubungan dengan penurunan massa sel β, walupun
masih belum dapat dipastikan sama ada amiloid adalah penyebab ataupun akibat
daripada kerusakan sel pada DM tipe 2. Dalam konteks ini, penting untuk
perhatikan bahwa walaupun massa sel β ”normal” pada pasien diabetes, tetapi
sebenarnya masih menunjukkan reduksi relatif karena pada keadaan normal,
seharusnya terjadi hiperplasia sebagai kompensasi terhadap resistensi insulin.
2.1.5. Kriteria diagnostik DM tipe 2
American Diabetes Association telah menetapkan beberapa kriteria untuk
menegakkan diagnosa DM tipe 2. Antaranya adalah seperti terdapat simptom-simptom
klasik DM seperti poliuri, polidipsi, polifagi, penurunan berat badan dan kadar glukosa
plasma sewaktu adalah≥ 200 mg/dL, kadar gula darah puasa adalah ≥ 126 mg/dL, dan
kadar gula darah selepas 2 jam pengambilan glukosa ( 75 g ) adalah
≥ 200 mg/dL, dan
dipastikan setelah melakukan tes ulang. Puasa di sini membawa maksud tidak mengambil
kalori untuk sekurang-kurangnya 8 jam. Individu dengan kadar gula darah puasa < 110
mg/dL, atau < 140 mg/dL selepas OGTT, dikira sebagai euglikemi. Individu dengan
Universitas Sumatera Utara
kadar gula darah puasa >110 mg/dL tetapi < 126 mg/dL, atau nilai OGTT > 140 mg/dL
tetapi < 200 mg/dL, dikira mengalami gangguan toleransi glukosa. Individu dengan
gangguan toleransi glukosa mempunyai resiko yang besar untuk diabetes, dimana 5%
hingga 10% berkembang menjadi DM per tahun. Selain itu, individu dengan gangguan
toleransi glukosa juga beresiko untuk mendapat gangguan kardiovaskular, akibat dari
abnormalitas metabolisme karbohidrat dan ditambah dengan faktor-faktor yang lain.
( Robbins, Basic Pathology, 8th edition )
2.1.6. Penatalaksanaan DM
Metode penatalaksanaan pada DM meliputi modifikasi gaya hidup, obat
antidiabetik oral dan injeksi insulin
Tabel 2.2. Rekomendasi Komposisi Diet pada Penderita DM
Persentase masukan energi
Karbohidrat
45-60%
Sukrosa
Sehingga 10%
Lemak (total)
< 35 %
n-6 polyunsaturated
< 10 %
n-3 polyunsaturated
Makan ikan 1 atau 2 kali seminggu
Monosaturated
10-20 %
Saturated
< 10 %
Protein
10-15
%
(tidak
melebihi
1g/kg
beratbadan)
Berbagai obat efektif dalam menurunkan hiperglikemi pada penderita DM. Antara obatobat yang digunakan adalah seperti sulfonilurea, biguanid, alpha-glucosidase inhibitors,
tiazolidinedion (TZD), meglitinid dan derivat asam amino.
Tabel 2.3. Durasi Kerja (dalam jam) Preparat Insulin
Universitas Sumatera Utara
Insulin
Onset
Peak
Durasi
Rapid-acting(lispro,aspart,glulisine)
< 0,5
0,5 – 2,5
3 – 4,5
Short-acting (soluble (reguler))
0,5 -1
1-4
4-8
Intermediate-acting(isophane,lente)
1-3
3-8
7 - 14
Long-acting(bovine ultralente)
2-4
6 - 12
12 - 30
Long-acting(glargine,detemir)
1-2
Tiada
18 - 24
( Davidson’s, 2006 )
2.2. Tuberkulosis Paru
2.2.1. Definisi
TB paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil mikobakterium
tuberkulosa Tipe Humanus (jarang oleh Tipe M.Bovinus). TB paru merupakan penyakit
infeksi penting saluran napas bagian bawah setelah eradikasi penyakit malaria. Basil
mikobakterium tuberkulosa tersebut masuk ke dalam jaringan paru melalui saluran napas
(droplet infection) sampai alveoli, terjadilah infeksi primer (Ghon). Selanjutnya,
menyebar ke kelenjar getah bening setempat dan terbentuklah Primer Kompleks (Ranke);
infeksi primer (Ghon) dan Primer Kompleks (Ranke) dinamakan TB primer, yang dalam
perjalanan lebih lanjut sebagian besar akan mengalami penyembuhan.
TB paru primer, keradangan terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik
terhadap basil mikobakterium tuberkulosa, yang kebanyakan didapat pada usia anak 1-3
tahun. Sedangkan yang disebut Tuberkulosa Post Primer (reinfection) adalah keradangan
jaringan paru oleh karena terjadi penularan ulang yang mana di dalam tubuh terbentuk
kekebalan spesifik terhadap basil TB tersebut.
( Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press, 1989 )
2.2.2. Epidemiologi
Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA positif. Sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB dan menurut regional WHO jumlah terbesar
kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila
dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di afrika hampir
Universitas Sumatera Utara
2 kali lebih besar dai Asia Tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk. Indonesia masih
menempati urutan ke 3 dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China. Setiap
tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di
Indonesia, TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan
penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut
pada seluruh kalangan usia.
( Tuberkulosis Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia, 2002)
Profil epidemiologi TB di Indonesia
TB Unit of the WHO Regional Office for South-East Asia
2.2.3. Faktor resiko infeksi TB
Faktor-faktor yang erat hubungannya dengan terjadinya infeksi basil TB adalah:
•
Harus ada sumber penularan (kasus terbuka dengan dahak menunjukkan adanya
basil TB atau binatang yang menderita TB (jarang).
•
Usia – Resiko infeksi TB rendah pada anak-anak namun meningkat secara
mendadak dan paling tinggi pada usia 25-35 tahun. Hal ini karena kombinasi
Universitas Sumatera Utara
daripada peningkatan resiko infeksi apabila seseorang individu meningkat dewasa
menjadi lebih independen, banyak aktiviti diluar rumah dan lebih bergaul dalam
masyarakat (P.D.O Davis, 2005)
•
Jumlah basil yang mempunyai kemampuan mengadakan terjadinya infeksi, cukup
banyak dan terus-menerus.
•
Virulensi (keganasan) basil
•
Daya tahan tubuh yang menurun yang memungkinkan basil TB berkembang biak.
Keadaan ini sangat berhubungan erat dengan faktor genetika, faktor faali, jenis
kelamin, usia, faktor lingkungan seperti nutrisi, perumahan, dan pekerjaan.
•
Jenis kelamin - Pada abad pertengahan, kasus TB lebih tinggi pada perempuan
berbanding laki-laki pada usia muda manakala pada kelompok usia yang lebih tua
laki-laki menunujukkan kasus TB paru yang lebih tingi berbanding perempuan.
Ini karena laki-laki banyak yang merokok dimana faktor ini merupakan resiko
untuk infeksi TB paru. Manakala di UK pula menunjukkan kasus TB pada lakilaki pada usia yang lebih tua adalah 3 kali lipat berbanding pada perempuan.
(P.D.O Davis, 2005)
2.2.4. Reaksi tubuh terhadap infeksi primer dan post primer
A. Pada infeksi primer (keradangan permulaan), gambaran patologi, berupa gambaran
bronkopneumonia yang dikelilingi oleh sel-sel radang fokal. Pada tahap permulaan
tersebut fokus infeksi primer dapat menimbulkan keluhan (terutama pada anak-anak) :
•
Suhu badan meningkat sedikit (subfebril)
•
Tampak sakit
•
Nyeri persendian (anak cerewet)
•
Malaise (anak tidak mau makan)
•
Uji kulit dengan tuberkulin menunjukkan reaksi negatif
Setelah infeksi primer ini berjalan kurang lebih 12 minggu, yakni setelah timbulnya
kekebalan spesifik terhadap basil TB, maka terjadilah pembesaran kelenjar limfe regional
yang sering dinamakan penyebaran limfogen dan pada saat ini reaksi tubuh masih seperti
di atas ditambah dengan uji kulit tuberkulin yang semula negatif menjadi positif, batukbatuk oleh karena adanya pembesaran kelenjar yang mengadakan penekanan saluran
Universitas Sumatera Utara
udara (bronkus), pada foto toraks tampak adanya pembesaran kelenjar limfe daerah hilus,
pada trakea dan daerah leher. Di samping itu juga dapat tampak adanya infiltrat halus
yang tersebar luas pada seluruh lapangan paru yang dikenal sebagai TB paru milier.
Panas badan juga menjadi lebih tinggi, sering terjadi kejang-kejang oleh karena adnya
meningitis. Infeksi primer tersebut setelah terbentuknya kekebalan tubuh yang spesifik,
dapat sembuh dengan sendirinya, dengan meninggalkan atau tanpa meninggalkan bekas.
Yang dimaksud bekas pada penyembuhan primer infeksi tersebut dapat berupa fibrotik
dan kalsifikasi, sangat jarang dalam bentuk lainnya (pada foto toraks).
B. Reaksi tubuh terhadap tuberkulosa paru post primer
•
Keradangan endogen : fokus lama (dorman) mengalami kekambuhan
•
Infeksi baru dari luar
Sebagai catatan, bahwa TB paru post primer sebagian besar berasal dari infeksi ulang,
ditunjukkan adanya permulaan keradangan pada gambaran foto roentgen di daerah di
bawah klavikula bukan pada puncak paru (apek pulmonum).
Pada gambaran patologi didapatkan (1) lobuler pneumonia, yang dalam perjalanan lebih
lanjut dapat mengalami nekrosis dengan terbungkus kapsul dan sembuh dengan
perkapuran, dapat juga sembuh sendiri sacara sempurna, dan dapat mengalami pengejuan
perlunakan dan berakhir dengan pembentukan rongga (cavity yang berdinding tebal =
kaverne). Bentuk kaverne tersebut yang sering menimbulkan aneurisma (Rasmussen) dari
cabang arteri pulmonari dan sering pecah menimbulkan batuk darah. Dapat juga
menimbulkan bronkopleural fistel yang dapat terbuka atau tertutup sebelum ada
pengobatan kemoterapi, (2) foki asinus, keadaan yang terjadi akibat penyebaran
bronkogen dari kaverne tersebut atau karena proses penyembuhan yang menimbulkan
jaringan ikat (fibrosis).
( Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press, 1989 )
2.2.5. Diagnosa
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu
- pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti
Universitas Sumatera Utara
foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Pembacaan hasil preparat BTA (skala IUATLD) :
Negatif : tidak ditemukan per 100 lapangan pandang (LP)
Ditulis jumlah kuman : ditemukan 1-9 BTA per 100 LP
(1+) : ditemukan 10-99 BTA per 100 LP, (2+) : ditemukan 1-10 BTA per 1 LP,
(3+) : ditemukan > 10 BTA per 1 LP
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering
terjadi overdiagnosis.
Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
( Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2006 )
2.2.6. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan TB adalah untuk menghalang penularan,
mencegah kekambuhan dan untuk mengurangkan morbiditas dan kematian penderita TB.
Empat obat utama yang digunakan sebagai first-line agents pada pengobatan TB adalah
isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol. Obat-obat ini diabsorpsi dengan baik
secara oral, mencapai kadar puncak dalam plasma dalam masa 2-4 jam dan dieliminasi
secara komplit dalam 24 jam. Obat-obat ini direkomendasi karena mempunyai aktivitas
bakterisidal, sterilisasi, dan kadar resistensi obat yang rendah. Second-line agents yang
digunakan adalah seperti Kanamisin, Tioacetazon, Quinolon, Makrolide dan lain-lain.
( Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th edition
Tabel 2.4. Jenis, Sifat dan Dosis OAT
Jenis OAT
Isoniazid (H)
Rifampisin (R)
Sifat
Bakterisid
Bakterisid
Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)
Harian
3x seminggu
5
10
(4-6)
(8-12)
10
10
(8-12)
(8-12)
Universitas Sumatera Utara
Pirazinamid (Z)
Streptomisin (S)
Etambutol (E)
Bakterisid
Bakterisid
Bakteriostatik
25
35
(20-30)
(30-40)
15
15
(12-18)
(12-18)
15
30
(15-20)
(20-35)
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia
•
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
•
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
•
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
o Pasien baru TB paru BTA positif.
o Pasien TB ekstra paru
o Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
o Pasien kambuh
o Pasien gagal
o Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)
( Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2006 )
2.3. Infeksi TB pada DM
Tuberkulosis sering ditemukan menyertai DM dan menyebabkan resistensi insulin
dan diabetes. Di negara-negara barat insidens tuberkulosis sudah menurun walaupun
insidensnya masih tinggi pada populasi imigran dan terutama pada pasien dengan
AIDS.Didaerah dimana tuberkulosis masih bersifat endemik maka insiden tuberkulosis
pada DM masih tinggi. Perlangsungan TB paru pada DM
lebih berat dan kronis
dibanding non diabetes. Hal ini disebabkan pada DM, kepekaan terhadap kuman TB
Universitas Sumatera Utara
meningkat, reaktivasi fokus infeksi lama, mempunyai kecenderungan lebih banyak
kavitas dan pada hapusan serta kultur sputum lebih banyak positif, keluhan dan tandatanda klinis TB paru toksik tersamar sehingga tidak pernah didiagnosis atau dianggap
TB paru ringan oleh karena gangguan syaraf otonom dan pada keadaan hiperglikemia
pemberian obat kemoterapi pada umumnya tidak efektif. Pada pemeriksaan radiologis
biasanya yang terkena infeksi adalah lobus bawah paru-paru kadang-kadang lebih dari
satu lobus dan tidak segmental.
( Sanusi, H; 2006 )
Universitas Sumatera Utara
Download