BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes mellitus 2.1.1. Definisi Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat defek sekresi insulin , kerja insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik berhubungan dengan kerusakan, disfungsi dan gangguan berbagai-bagai organ khususnya mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah. ( Sanusi, H; 2006 ) 2.1.2. Klasifikasi Walaupun semua penyakit DM berkongsi hiperglikemi sebagai karakteristik utama, namun terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadi hiperglikemi. Majoriti dari kasus diabetes digolongkan dalam 2 kelompok utama yaitu : • Diabetes tipe 1 yang ditandai dengan penurunan sekresi insulin yang absolut. Hal ini disebabkan oleh karena terjadi destruksi pada sel β pankreas yang umumnya terjadi akibat autoimun. Diabetes tipe 1 terjadi kurang lebih 10% dari keseluruhan kasus diabetes. • Diabetes tipe 2 disebabkan oleh kombinasi resistensi perifer terhadap kerja insulin dan respon kompensasi yang tidak adekuat terhadap sekresi insulin oleh sel β pankreas ( “kekurangan insulin relatif” ). Dianggarkan 80% hingga 90% pasien menderita diabetes tipe 2. Terdapat berbagai penyebab sekunder dan monogenik yang menyumbang kepada terjadinya kasus-kasus diabetes yang lain ( Tabel 2.1. ). Perlu ditekankan bahwa majoriti dari tipe diabetes mempunyai mekanisme patogenik yang berbeda, begitu juga dengan komplikasi jangka panjang pada ginjal, mata, saraf, dan pembuluh darah serta penyebab utama morbiditas dan kematian. Tabel 2.1. : Klasifikasi Berdasarkan Etiologi pada DM Diabetes tipe 1 Destruksi sel β pankreas, menyebabkan terjadinya defisiensi insulin absolut Universitas Sumatera Utara Diabetes tipe 2 Resistensi insulin dengan defisiensi insulin yang relatif Defek genetik pada fungsi sel β MODY, menyebabkan mutasi pada : HNF-4α (MODY1) Glukokinase (MODY2) HNF-1α (MODY3) IPF-1 (MODY4) HNF-1β (MODY5) Neuro D1 (MODY6) Mutasi DNA mitokondria Defek genetik pada proses insulin atau kerja insulin Defek pada konversi proinsulin, mutasi gen insulin, mutasi reseptor insulin Defek pada eksokrin pankreas Pankreatitis kronis, pankreatektomi, neoplasia, kista fibrosis, hemokromatosis, fibrocalculous pancreatopathy Endokrinopati Kelebihan hormon pertumbuhan (akromegali), sindroma Cushing, hipertiroidisme, Pheochromocytoma, glukagonoma Infeksi Cytomegalovirus, coxsackievirus B Obat-obatan Glukokortikoid, hormon tiroid, agonis β-adrenergik Sindroma genetik berhubungan dengan diabetes Sindroma Down, sindroma Kleinfelter, sindroma Turner Gestational diabetes mellitus (Adapted from the Report of the ADA Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetic Care 25 (Suppl.1), 2002.) ( Robbins, Basic Pathology, 8th edition ) 2.1.3. Patogenesis DM tipe 1 Universitas Sumatera Utara Diabetes tipe 1 merupakan satu penyakit autoimun di mana destruksi sel-sel pankreas disebabkan terutamanya oleh limfosit T breaksi terhadap antigen sel β, menyebabkan terjadi reduksi massa sel β. Tetapi masih belum jelas bagaimana autoimun ini bisa terjadi pada diabetes tipe ini. Seperti pada semua penyakit autoimun yang lain, kecenderungan genetik dan faktor lingkungan berperan penting dalam patogenesanya. Diabetes tipe 1 kebanyakannya bermula pada usia anak-anak, bermanifestasi pada usia pubertas, dan berkembang seiring peningkatan usia. Kebanyakan individu dengan DM tipe 1 bergantung dengan suplemen insulin eksogen untuk meneruskan kehidupan, dan tanpa insulin, dapat terjadi komplikasi metabolik yang berat seperti ketoasidosis akut dan koma. Walaupun gejala klinis DM tipe 1 muncul secara tiba-tiba, namun penyakit ini terjadi akibat daripada serangan autoimun yang kronik terhadap sel β yang umumnya bermula beberapa tahun sebelum penyakit ini menimbulkan sebarang gejala. Manifestasi klasik dari penyakit ini (hiperglikemi dan ketosis) terjadi lebih lambat, selepas lebih dari 90% sel β rusak. Terdapat beberapa mekanisme yang menyumbang kepada terjadinya destruksi sel β, dan mekanisme imun ini bekerjasama dalam merusakkan sel β, sehingga menimbulkan manifestasi klinis : Limfosit T bereaksi terhadap antigen sel β dan menyebabkan kerusakan sel. Sel T ini termasuklah sel T CD4+ dari subset T H 1, yang mana menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara aktivasi makrofag, dan limfosit T sitotoksik CD8+ yang merusakkan sel β secara direk dan juga sekresi sitokin yang mengaktivasi makrofag. Pada kasus yang jarang, dijumpai lesi pada pankreas pada awal stadium aktif penyakit ini di mana terjadi nekrosis sel pankreas dan infiltrasi limfosit. Lesi ini dipanggil insulitis. Sitokin yang diproduksi secara lokal merusakkan sel β. Antara sitokin yang dapat menyebabkan kerusakan sel adalah seperti IFN-γ, yang dihasilkan oleh sel T, dan TNF dan interleukin-1, yang diproduksi oleh makrofag yang diaktivasi sewaktu reaksi imun. Autoantibodi terhadap berbagai antigen sel β, termasuk insulin dan glutamic acid decarboxylase, juga dideteksi dalam darah 70% hingga 80% pasien dan mungkin menyumbang kepada kerusakan sel pankreas. Universitas Sumatera Utara 2.1.4. Patogenesis DM tipe 2 Sementara telah banyak yang dipelajari bebrapa tahun yang lalu, namun patogenesis DM tipe 2 masih belum jelas. Pengaruh lingkungan, seperti gaya hidup dan tabiat pemakanan, memainkan peran dan berhubungan dengan obesitas. Walaubagaimanapun, faktor genetik memainkan peran penting berbanding pada DM tipe 1. Pada kembar monozigot, resikonya sebesar 50% hingga 90%, sementara di kalangan first degree relatives yang mempunyai DM tipe 2, resikonya sebesar 20% hingga 40%. Tidak seperti DM tipe 1, DM tipe 2 tidak berhubungan dengan gen yang terlibat dalam regulasi dan toleransi imun, dan tidak ada bukti yang mendukung autoimun pada penyakit ini. Terdapat 2 defek metabolik sebagai karakteristik DM tipe 2 seperti (1) penurunan kebolehan jaringan perifer untuk berespon terhadap terhadap insulin (resistensi insulin) dan (2) disfungsi sel β yang bermanifestasi sebagai sekresi insulin yang tidak adekuat. Pada kebanyakan kasus, resistensi insulin merupakan penyebab utama diikut i oleh disfungsi sel β. Resistensi Insulin Resistensi insulin didefinisikan sebagai resistensi terhadap efek dari insulin pada pengambilan, metabolisme, atau penyimpanan glukosa. Resistensi insulin merupakan karakteristik utama pada kebanyakan individu dengan DM tipe 2 dan juga merupakan temuan universal pada pasien diabetes yang obesitas.Bukti yang mengatakan bahwa resistensi insulin berperan penting dalam patogenesis DM tipe 2 boleh diambil dari temuan (1) resistensi insulin sering terdeteksi 10 hingga 20 tahun sebelum gejala diabetes muncul, dan (2) pada penelitian prospektif, resistensi insulin merupakan prediktor terbaik untuk melihat progresi terjadinya diabetes. Resistensi insulin merupakan satu fenomena yang kompleks, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan dan genetik. Disfungsi sel β Disfungsi sel β pada DM tipe 2 merujuk kepada hilangnya kebolehan sel-sel ini untuk beradaptasi terhadap resistensi insulin perifer dan peningkatan sekresi insulin untuk jangka masa yang panjang. Pada keadaan resistensi insulin, sekresi insulin pada mulanya tinggi untuk setiap kadar glukosa. Keadaan hiperinsulinemi ini merupakan mekanisme kompensasi terhadap resistensi perifer dan biasanya bisa mempertahankan kadar gula Universitas Sumatera Utara darah normal selama beberapa tahun. Penyebab utama kegagalan adaptasi sel β masih belum jelas. Tetapi ada anggapan bahwa beberapa mekanisme yang mungkin berperan termasuk efek samping daripada FFA yang banyak dalam sirkulasi (lipotoksisitas) atau hiperglikemi kronik (glukotoksisitas). Disfungsi sel β pada DM tipe 2 merangkumi aspek kualitatif dan kuantitatif. • Disfungsi sel β kualitatif pada mulanya bermanifestasi sebagai abnormalitas yang kurang jelas, seperti hilangnya pulsasi normal, gangguan sekresi insulin, dan berkurangnya sekresi insulin yang tinggi yang biasanya dipicu oleh peningkatan glukosa dalam darah. Semakin lama, defek pada sekresi insulin ini berkembang dan walaupun masih ada sekresi insulin basal, namun ianya tidak adekuat untuk mengatasi resistensi insulin. • Disfungsi sel β kuantitatif pula bermanifestasi sebagai penurunan massa sel β, degenerasi sel-sel pankreas, dan penumpukan amiloid pankreas. Protein amiloid pankreas (amilin) merupakan karakteristik utama pada penderita DM tipe 2 dan ditemukan pada lebih 90% pada pankreas penderita DM yang diperiksa. Amiloidosis pankreas berhubungan dengan penurunan massa sel β, walupun masih belum dapat dipastikan sama ada amiloid adalah penyebab ataupun akibat daripada kerusakan sel pada DM tipe 2. Dalam konteks ini, penting untuk perhatikan bahwa walaupun massa sel β ”normal” pada pasien diabetes, tetapi sebenarnya masih menunjukkan reduksi relatif karena pada keadaan normal, seharusnya terjadi hiperplasia sebagai kompensasi terhadap resistensi insulin. 2.1.5. Kriteria diagnostik DM tipe 2 American Diabetes Association telah menetapkan beberapa kriteria untuk menegakkan diagnosa DM tipe 2. Antaranya adalah seperti terdapat simptom-simptom klasik DM seperti poliuri, polidipsi, polifagi, penurunan berat badan dan kadar glukosa plasma sewaktu adalah≥ 200 mg/dL, kadar gula darah puasa adalah ≥ 126 mg/dL, dan kadar gula darah selepas 2 jam pengambilan glukosa ( 75 g ) adalah ≥ 200 mg/dL, dan dipastikan setelah melakukan tes ulang. Puasa di sini membawa maksud tidak mengambil kalori untuk sekurang-kurangnya 8 jam. Individu dengan kadar gula darah puasa < 110 mg/dL, atau < 140 mg/dL selepas OGTT, dikira sebagai euglikemi. Individu dengan Universitas Sumatera Utara kadar gula darah puasa >110 mg/dL tetapi < 126 mg/dL, atau nilai OGTT > 140 mg/dL tetapi < 200 mg/dL, dikira mengalami gangguan toleransi glukosa. Individu dengan gangguan toleransi glukosa mempunyai resiko yang besar untuk diabetes, dimana 5% hingga 10% berkembang menjadi DM per tahun. Selain itu, individu dengan gangguan toleransi glukosa juga beresiko untuk mendapat gangguan kardiovaskular, akibat dari abnormalitas metabolisme karbohidrat dan ditambah dengan faktor-faktor yang lain. ( Robbins, Basic Pathology, 8th edition ) 2.1.6. Penatalaksanaan DM Metode penatalaksanaan pada DM meliputi modifikasi gaya hidup, obat antidiabetik oral dan injeksi insulin Tabel 2.2. Rekomendasi Komposisi Diet pada Penderita DM Persentase masukan energi Karbohidrat 45-60% Sukrosa Sehingga 10% Lemak (total) < 35 % n-6 polyunsaturated < 10 % n-3 polyunsaturated Makan ikan 1 atau 2 kali seminggu Monosaturated 10-20 % Saturated < 10 % Protein 10-15 % (tidak melebihi 1g/kg beratbadan) Berbagai obat efektif dalam menurunkan hiperglikemi pada penderita DM. Antara obatobat yang digunakan adalah seperti sulfonilurea, biguanid, alpha-glucosidase inhibitors, tiazolidinedion (TZD), meglitinid dan derivat asam amino. Tabel 2.3. Durasi Kerja (dalam jam) Preparat Insulin Universitas Sumatera Utara Insulin Onset Peak Durasi Rapid-acting(lispro,aspart,glulisine) < 0,5 0,5 – 2,5 3 – 4,5 Short-acting (soluble (reguler)) 0,5 -1 1-4 4-8 Intermediate-acting(isophane,lente) 1-3 3-8 7 - 14 Long-acting(bovine ultralente) 2-4 6 - 12 12 - 30 Long-acting(glargine,detemir) 1-2 Tiada 18 - 24 ( Davidson’s, 2006 ) 2.2. Tuberkulosis Paru 2.2.1. Definisi TB paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil mikobakterium tuberkulosa Tipe Humanus (jarang oleh Tipe M.Bovinus). TB paru merupakan penyakit infeksi penting saluran napas bagian bawah setelah eradikasi penyakit malaria. Basil mikobakterium tuberkulosa tersebut masuk ke dalam jaringan paru melalui saluran napas (droplet infection) sampai alveoli, terjadilah infeksi primer (Ghon). Selanjutnya, menyebar ke kelenjar getah bening setempat dan terbentuklah Primer Kompleks (Ranke); infeksi primer (Ghon) dan Primer Kompleks (Ranke) dinamakan TB primer, yang dalam perjalanan lebih lanjut sebagian besar akan mengalami penyembuhan. TB paru primer, keradangan terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil mikobakterium tuberkulosa, yang kebanyakan didapat pada usia anak 1-3 tahun. Sedangkan yang disebut Tuberkulosa Post Primer (reinfection) adalah keradangan jaringan paru oleh karena terjadi penularan ulang yang mana di dalam tubuh terbentuk kekebalan spesifik terhadap basil TB tersebut. ( Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press, 1989 ) 2.2.2. Epidemiologi Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di afrika hampir Universitas Sumatera Utara 2 kali lebih besar dai Asia Tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk. Indonesia masih menempati urutan ke 3 dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia, TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia. ( Tuberkulosis Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia, 2002) Profil epidemiologi TB di Indonesia TB Unit of the WHO Regional Office for South-East Asia 2.2.3. Faktor resiko infeksi TB Faktor-faktor yang erat hubungannya dengan terjadinya infeksi basil TB adalah: • Harus ada sumber penularan (kasus terbuka dengan dahak menunjukkan adanya basil TB atau binatang yang menderita TB (jarang). • Usia – Resiko infeksi TB rendah pada anak-anak namun meningkat secara mendadak dan paling tinggi pada usia 25-35 tahun. Hal ini karena kombinasi Universitas Sumatera Utara daripada peningkatan resiko infeksi apabila seseorang individu meningkat dewasa menjadi lebih independen, banyak aktiviti diluar rumah dan lebih bergaul dalam masyarakat (P.D.O Davis, 2005) • Jumlah basil yang mempunyai kemampuan mengadakan terjadinya infeksi, cukup banyak dan terus-menerus. • Virulensi (keganasan) basil • Daya tahan tubuh yang menurun yang memungkinkan basil TB berkembang biak. Keadaan ini sangat berhubungan erat dengan faktor genetika, faktor faali, jenis kelamin, usia, faktor lingkungan seperti nutrisi, perumahan, dan pekerjaan. • Jenis kelamin - Pada abad pertengahan, kasus TB lebih tinggi pada perempuan berbanding laki-laki pada usia muda manakala pada kelompok usia yang lebih tua laki-laki menunujukkan kasus TB paru yang lebih tingi berbanding perempuan. Ini karena laki-laki banyak yang merokok dimana faktor ini merupakan resiko untuk infeksi TB paru. Manakala di UK pula menunjukkan kasus TB pada lakilaki pada usia yang lebih tua adalah 3 kali lipat berbanding pada perempuan. (P.D.O Davis, 2005) 2.2.4. Reaksi tubuh terhadap infeksi primer dan post primer A. Pada infeksi primer (keradangan permulaan), gambaran patologi, berupa gambaran bronkopneumonia yang dikelilingi oleh sel-sel radang fokal. Pada tahap permulaan tersebut fokus infeksi primer dapat menimbulkan keluhan (terutama pada anak-anak) : • Suhu badan meningkat sedikit (subfebril) • Tampak sakit • Nyeri persendian (anak cerewet) • Malaise (anak tidak mau makan) • Uji kulit dengan tuberkulin menunjukkan reaksi negatif Setelah infeksi primer ini berjalan kurang lebih 12 minggu, yakni setelah timbulnya kekebalan spesifik terhadap basil TB, maka terjadilah pembesaran kelenjar limfe regional yang sering dinamakan penyebaran limfogen dan pada saat ini reaksi tubuh masih seperti di atas ditambah dengan uji kulit tuberkulin yang semula negatif menjadi positif, batukbatuk oleh karena adanya pembesaran kelenjar yang mengadakan penekanan saluran Universitas Sumatera Utara udara (bronkus), pada foto toraks tampak adanya pembesaran kelenjar limfe daerah hilus, pada trakea dan daerah leher. Di samping itu juga dapat tampak adanya infiltrat halus yang tersebar luas pada seluruh lapangan paru yang dikenal sebagai TB paru milier. Panas badan juga menjadi lebih tinggi, sering terjadi kejang-kejang oleh karena adnya meningitis. Infeksi primer tersebut setelah terbentuknya kekebalan tubuh yang spesifik, dapat sembuh dengan sendirinya, dengan meninggalkan atau tanpa meninggalkan bekas. Yang dimaksud bekas pada penyembuhan primer infeksi tersebut dapat berupa fibrotik dan kalsifikasi, sangat jarang dalam bentuk lainnya (pada foto toraks). B. Reaksi tubuh terhadap tuberkulosa paru post primer • Keradangan endogen : fokus lama (dorman) mengalami kekambuhan • Infeksi baru dari luar Sebagai catatan, bahwa TB paru post primer sebagian besar berasal dari infeksi ulang, ditunjukkan adanya permulaan keradangan pada gambaran foto roentgen di daerah di bawah klavikula bukan pada puncak paru (apek pulmonum). Pada gambaran patologi didapatkan (1) lobuler pneumonia, yang dalam perjalanan lebih lanjut dapat mengalami nekrosis dengan terbungkus kapsul dan sembuh dengan perkapuran, dapat juga sembuh sendiri sacara sempurna, dan dapat mengalami pengejuan perlunakan dan berakhir dengan pembentukan rongga (cavity yang berdinding tebal = kaverne). Bentuk kaverne tersebut yang sering menimbulkan aneurisma (Rasmussen) dari cabang arteri pulmonari dan sering pecah menimbulkan batuk darah. Dapat juga menimbulkan bronkopleural fistel yang dapat terbuka atau tertutup sebelum ada pengobatan kemoterapi, (2) foki asinus, keadaan yang terjadi akibat penyebaran bronkogen dari kaverne tersebut atau karena proses penyembuhan yang menimbulkan jaringan ikat (fibrosis). ( Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press, 1989 ) 2.2.5. Diagnosa Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti Universitas Sumatera Utara foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Pembacaan hasil preparat BTA (skala IUATLD) : Negatif : tidak ditemukan per 100 lapangan pandang (LP) Ditulis jumlah kuman : ditemukan 1-9 BTA per 100 LP (1+) : ditemukan 10-99 BTA per 100 LP, (2+) : ditemukan 1-10 BTA per 1 LP, (3+) : ditemukan > 10 BTA per 1 LP Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. ( Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2006 ) 2.2.6. Penatalaksanaan Tujuan utama penatalaksanaan TB adalah untuk menghalang penularan, mencegah kekambuhan dan untuk mengurangkan morbiditas dan kematian penderita TB. Empat obat utama yang digunakan sebagai first-line agents pada pengobatan TB adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol. Obat-obat ini diabsorpsi dengan baik secara oral, mencapai kadar puncak dalam plasma dalam masa 2-4 jam dan dieliminasi secara komplit dalam 24 jam. Obat-obat ini direkomendasi karena mempunyai aktivitas bakterisidal, sterilisasi, dan kadar resistensi obat yang rendah. Second-line agents yang digunakan adalah seperti Kanamisin, Tioacetazon, Quinolon, Makrolide dan lain-lain. ( Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th edition Tabel 2.4. Jenis, Sifat dan Dosis OAT Jenis OAT Isoniazid (H) Rifampisin (R) Sifat Bakterisid Bakterisid Dosis yang direkomendasikan (mg/kg) Harian 3x seminggu 5 10 (4-6) (8-12) 10 10 (8-12) (8-12) Universitas Sumatera Utara Pirazinamid (Z) Streptomisin (S) Etambutol (E) Bakterisid Bakterisid Bakteriostatik 25 35 (20-30) (30-40) 15 15 (12-18) (12-18) 15 30 (15-20) (20-35) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia • Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. • Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. • Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: o Pasien baru TB paru BTA positif. o Pasien TB ekstra paru o Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: o Pasien kambuh o Pasien gagal o Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus) ( Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2006 ) 2.3. Infeksi TB pada DM Tuberkulosis sering ditemukan menyertai DM dan menyebabkan resistensi insulin dan diabetes. Di negara-negara barat insidens tuberkulosis sudah menurun walaupun insidensnya masih tinggi pada populasi imigran dan terutama pada pasien dengan AIDS.Didaerah dimana tuberkulosis masih bersifat endemik maka insiden tuberkulosis pada DM masih tinggi. Perlangsungan TB paru pada DM lebih berat dan kronis dibanding non diabetes. Hal ini disebabkan pada DM, kepekaan terhadap kuman TB Universitas Sumatera Utara meningkat, reaktivasi fokus infeksi lama, mempunyai kecenderungan lebih banyak kavitas dan pada hapusan serta kultur sputum lebih banyak positif, keluhan dan tandatanda klinis TB paru toksik tersamar sehingga tidak pernah didiagnosis atau dianggap TB paru ringan oleh karena gangguan syaraf otonom dan pada keadaan hiperglikemia pemberian obat kemoterapi pada umumnya tidak efektif. Pada pemeriksaan radiologis biasanya yang terkena infeksi adalah lobus bawah paru-paru kadang-kadang lebih dari satu lobus dan tidak segmental. ( Sanusi, H; 2006 ) Universitas Sumatera Utara