TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Diare Diare atau gastroenteritis adalah suatu masalah kesehatan di masyarakat dari keadaan tidak sehat dan dapat menyebabkan kematian apabila tidak ditangani dengan serius. Dari hasil analisis penelitian Irianto (2000), dapat diketahui bahwa rentang frekuensi diare adalah tiga hingga delapan kali dengan rata-rata 4.33 kali selama sehari semalam. Kematian akibat diare umumnya disebabkan oleh mencret yang terjadi tak berkesudahan sehingga penderita kehilangan cairan dan elektrolit dalam tubuh yang menyebabkan dehidrasi. Tingkat keparahan diare diantaranya ditunjukkan dari tingginya frekuensi mencret dalam satu hari. Ketepatan perkiraan tingkat keparahan yang akan terjadi pada penderita sangat menolong dalam upaya program pencegahan yang akan dilakukan. Diare dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pendidikan para ibu, jabatan/ kedudukan, kesehatan pribadi, sanitasi lingkungan, dan status gizi anak-anak di bawah usia lima tahun atau lebih (Amhira 2004). Berdasarkan hasil analisis multivariat penelitian Waraouw (2002), faktor resiko keluhan diare seperti penghuni rumah yang berlokasi di daerah rawan banjir sebesar 1:43 kali (95% CI:1.15-1.79), kondisi fisik rumah tidak baik sebesar 1.23 kali (95% CI:1.03-1.46) dan jumlah balita lebih dari 1 sebesar 0.83 kali (95% CI:0.071-0.98). Definisi resmi dari medis tentang diare adalah defekasi yang melebihi 200 gram per hari. Hal ini terjadi ketika cairan yang tidak mencukupi diserap oleh usus besar. Sebagai akibat dari proses digesti atau karena masukan cairan yang berlebihan sehingga membuat makanan yang dicerna terdiri atas banyak cairan sebelum mencapai usus besar. Usus besar menyerap air lalu meninggalkan material yang lain sebagai kotoran yang setengah padat. Bila usus besar rusak atau "inflame", penyerapan tidak terjadi dan hasilnya adalah kotoran yang berair atau diare (http://id.wikipedia.org/wiki/Diare). Gangguan bakteri dan parasit kadangkadang menyebabkan tinja mengandung darah dan penderita merasakan demam tinggi. Karakteristik EPEC Escherichia coli Enteropatogenik (EPEC) termasuk dalam kelompok enterobacteriaceae, bersifat gram-negatif, anaerobik-fakultatif, bentuk sel batang, menghasilkan protease ekstraselular, tidak membentuk spora, metabolisme fermentatif, dan motil dengan flagella peritrikus (Pelczar & Chan 1988). Escherichia coli tersebar luas di alam sebagai parasit intestinal dan flora normal dalam mamalia dan burung. Galur-galur tertentu yang patogen jika menginfeksi manusia dan hewan maka dapat menimbulkan infeksi septikimia dan diare (Greenwood et al. 1995). Bakteri EPEC termasuk dalam famili Enterobacteriaceae dengan habitat alami di dalam saluran pencernaan manusia dan hewan berdarah panas (Nataro & Kaper 1998). Bakteri ini merupakan salah satu dari enam virotipe E. coli yang dapat menyebabkan diare. Istilah Escherichia coli Enteropatogenik dikemukakan oleh Neter pada tahun 1950-an berdasarkan pada uji serotipe. Serotipe penting E. coli yang termasuk ke dalam EPEC ialah O26, O55, O86, O111, O119, O125, O126, O127, O128ab, dan O142 (Levine 1987). Bakteri gram negatif ini berbentuk batang, bersifat anaerob fakultatif dengan ukuran lebar 1.1 - 1.5 µm dan panjang 2.0 - 6.0 µm, motil dengan flagela peritrikus. Berdasarkan Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology (1974) ciri biokimia dari bakteri ini ialah: memiliki kemampuan memfermentasi laktosa; dapat menghidrolisis asam amino triptofan menjadi indol dan asam piruvat melalui kerja enzim triptofanase; dapat memfermentasi glukosa dan menghasilkan banyak sekali asam laktat, asetat, suksinat, dan format disamping CO2, H2, dan etanol; tidak dapat membentuk 2,3butanadiol dari reaksi VP (Voges-Proskauer), dan tidak dapat menggunakan sitrat sebagai sumber karbon satu-satunya. Pada media EMB (Eosin Methylene Blue) bakteri ini menunjukkan warna hijau metalik (kilap logam). Kemampuan suatu bakteri patogen untuk menyebabkan infeksi dipengaruhi oleh faktor virulensi yang dimilikinya. Faktor virulensi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh bakteri untuk dapat bertindak sebagai bakteri patogen (Inglis 1996). Faktor virulensi diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: faktor virulensi yang memungkinkan bakteri untuk berkolonisasi, seperti pili; flagela; motilitas dan kemotaksis; protease ekstraseluler; serta faktor virulensi yang mengakibatkan kerusakan pada inang diantaranya eksotoksin dan endotoksin (Levine et al. 1985). Faktor virulensi yang terlibat dalam patogenisitas EPEC meliputi adhesin (Hicks et al. 1998), intimin (Kenny et al. 1997), protein-protein sekresi (Esp) (Jarvis et al. 1995), dan bundle-forming pili (bfp) (Giron et al. 1991). Bakteri EPEC membutuhkan plasmid-borne bundle forming pili (bfp) tipe IV untuk pelekatan dan autoagglutinasi (Jay et al. 2005). Patogenesis EPEC terdiri atas tiga tahap, tahap pertama yaitu non intimate binding yang diperantarai pili (bfp); tahap kedua, adhesi bakteri pada sel inang mencetuskan tranduksi sinyal, yang berhubungan dengan aktivasi kinase tirosin sel inang dan menyebabkan kenaikan level Ca2+ intraseluler sel inang; tahap ketiga, yaitu intimate binding dan actin rearrangement yang ekstensif di sekitar bakteri. Pada banyak penderita, apabila dilihat dengan mikroskop elektron, EPEC melekat erat dengan permukaan mukosa dan sebagian dikelilingi oleh pedestals (attaching and effacing) pada permukaan enterosit. Pada area perlekatan EPEC tersebut brush border mikrovili sel-sel mukosa menjadi hilang. Fungsi absorbsi pada sel-sel mukosa menjadi rusak sehingga akan terjadi diare (Knutton et al. 1987). Galur EPEC bersifat patogenik (yang berarti mereka dapat menyebabkan penyakit dalam usus kecil dan usus besar). EPEC menyerang dan membuat radang lapisan dari usus kecil dan usus besar, selanjutnya membentuk luka dan menghancurkan mikrofili saluran pencernaan (Donnenberg & Whittam 2001). Penyakit ini dicirikan oleh diare tanpa darah atau lendir, muntah yang berlanjut dengan dehidrasi yang akibatnya menimbulkan kematian (Farmer III et al. 1987). EPEC menyebabkan diare berair atau berdarah. Diare berair umumnya disebabkan oleh perlekatan bakteri dan perubahan integritas usus secara fisik. Diare berdarah disebabkan oleh perlekatan bakteri dan proses perusakan jaringan yang akut, mungkin disebabkan oleh racun yang mirip dengan racun Shigella dysenteriae, yang disebut juga verotoxin. Banyak faktor risiko yang diduga menyebabkan terjadinya penyakit diare pada bayi dan balita di Indonesia. Salah satu faktor risiko yang sering diteliti adalah faktor lingkungan yang meliputi sarana air bersih (SAB), sanitasi, jamban, saluran pembuangan air limbah (SPAL), kualitas bakteriologis air, dan kondisi rumah. Sanitasi yang buruk merupakan penyebab banyaknya kontaminasi bakteri E. coli patogenik dalam air bersih yang dikonsumsi masyarakat. Bakteri E. coli mengindikasikan adanya pencemaran tinja manusia. Kontaminasi bakteri E. coli terjadi pada air tanah yang biasanya banyak disedot oleh penduduk di perkotaan (Adisasmito 2007). Air merupakan suatu vektor transmisi bagi mikroorganisme dalam melakukan penyebaran penyakit. Berdasarkan hasil uji mikrobiologis, air yang digunakan untuk minum banyak menunjukkan terkontaminasi bakteri fekal. Kualitas air minum dapat dijadikan suatu standar minimal untuk air yang digunakan dalam makanan sehingga air yang telah tercemar bakteri patogen dapat mempengaruhi kualitas suatu makanan (Pawsey 2002). Bakteri EPEC biasanya diperoleh dengan meminum air yang tercemar atau memakan makanan-makanan yang tercemar seperti sayur-sayuran, unggas, dan produk-produk susu. Air adalah media yang mempunyai resiko cukup besar terjadinya penyakit bawaan air (water borne disease) dan penyakit bawaan makanan (food borne disease). Pengolahan air harus dilakukan sebagai upaya pemutus rantai penularan penyakit khususnya yang dibawa oleh air. Makanan yang sering menjadi penyebab kasus EPEC yaitu daging sapi dan ayam mentah, namun semua makanan yang terpapar pada kontaminasi kotoran dapat sangat dicurigai terkontaminasi EPEC (http://www.cfsan.fda.gov/~mow/intro.html). Karakteristik Fage Bakteriofage disebut juga dengan fage, ditemukan secara terpisah oleh Frederick W. Twort di Inggris pada tahun 1915 dan Felix d’Herelle dari Pasteur Institute pada tahun 1917. Twort melihat bahwa koloni bakteri kadangkala mengalami lisis; sifat ini dapat ditularkan dari satu koloni ke koloni lainnya. Filtrat koloni yang diencerkan dan difiltrasi dengan membran filter tetap saja melisiskan koloni. Namun, bila filtrat ini dipanaskan kemampuan melisiskan ini hilang. Dari berbagai ciri ini Twort berkesimpulan bahwa agen penyebab lisis ialah virus. D’Herelle menemukan hal yang sama pada tahun 1917, sehingga diberi nama fenomena Twort-d’ Herelle (Pelczar & Chan 1988). Fage merupakan parasit obligat intraselular yang dapat menggandakan diri di dalam bakteri dengan menggunakan beberapa atau semua mesin biosintetik sel inang. Fage juga secara metabolisme tak berdaya dan hanya dapat bereproduksi setelah menginfeksi sel inang bakteri yang cocok. Bakteriofage bersifat sangat spesifik dan tidak bersifat toksik terhadap binatang dan tumbuhan. Seperti pada virus umumnya, bakteriofage mengandung asam nukleat DNA berantai tunggal atau ganda dan RNA berantai tunggal yang diliputi selubung protein atau kapsid. Kapsid terdiri atas subunit kapsomer, sedangkan kapsomer terdiri atas subunit protomer. Fage T-genap terdiri atas kepala dan ekor. Kepala mengandung DNA disertai poliamina, protein internal, dan peptida yang sederhana. Bagian ekor terdiri atas tabung heliks yang dilalui DNA fage sewaktu proses infeksi. Tabung ini dilapisi selaput yang dapat berkontraksi. Bagian dasar tabung dihubungkan dengan lempeng dasar berbentuk heksagonal. Sudut lempeng dasar ini memiliki struktur paku ekor pada sudutnya yang dihubungkan dengan serabut ekor. Struktur ini merupakan alat untuk melekatkan diri pada dinding sel inang. Fage khususnya kolifage dianggap merupakan indikator polusi karena sifat daya tahan virus di dalam air dan air limbah. Suatu indikator E. coli yang membawa plasmid faktor F digunakan sebagai inang. Hasilnya menunjukkan sejumlah kolifage pada makanan dapat ditentukan dalam 16 jam pengujian dan bahwa kolifage memberikan metode yang cepat dalam menandakan adanya kontaminasi fekal pada makanan (Melnick 1984 dalam Pierson & Stern 1986). Fage mempunyai 2 bentuk yaitu kubus atau heliks. Bentuk kubus ini terlihat sebagai polihedra, sedangkan bentuk heliks terlihat sebagai batang. Fage polihedral berbentuk ikosahedral yang berarti bahwa kapsid memiliki 20 bidang permukaan berbentuk segitiga. Bila unit kapsomer pada kapsid dikelilingi oleh 5 kapsid lainnya, maka bentuk ini disebut penton. Pada fage berbentuk batang, kapsomer ditata sebagai heliks dan bukan sebagai tumpukan cincin. Fage berdasarkan sistem klasifikasi dari the International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTVdB Index of Viruses 2000), dimasukkan dalam kelompok/ ordo I, yaitu Caudovirales dengan ciri fage yang memiliki DNA double-strand dan berekor. Jika fage tersebut berekor kontraktil maka dimasukkan ke dalam famili Myoviridae, jika fage tersebut berekor pendek maka dimasukkan ke dalam famili Podoviridae, dan jika fage tersebut berekor seperti tabung yang meruncing maka dimasukkan ke dalam famili Siphoviridae. Fage merupakan virus yang menginfeksi bakteri, memiliki 2 tipe yaitu litik dan lisogenik. Cara reproduksi bakteriofage litik terdiri atas 5 tahap, yaitu tahap adsorpsi, tahap penetrasi, tahap sintesis, tahap pematangan, dan tahap lisis. Bila fage litik menginfeksi sel bakteri maka fage akan bereplikasi di dalam sel inang membentuk sejumlah fage baru kemudian akan membuat sel inang pecah dan akan menginfeksi sel inang lainnya (Tortora et al. 2006). Pada tahap adsorpsi, ujung ekor melekat pada sel melalui reseptor khusus pada permukaan sel. Proses perlekatan ini bersifat spesifik yang berarti bahwa reseptor dan fage bersifat sebagai pasangan. Reseptor dapat berupa lipopolisakarida, flagela, pili, karbohidrat, atau protein membran dinding sel. Proses infeksi hanya dapat terjadi bila ada adsorpsi. Bila bakteri kehilangan kemampuannya untuk mensintesis reseptor, maka fage tidak dapat melekatkan dirinya, sehingga bakteri menjadi resisten terhadap infeksi fage. Adsorpsi pada tahap awal bersifat ’dapat balik’ yang berarti bahwa fage dapat terlepas bila ujung serabut ekornya saja yang melekat pada permukaan sel dan bersifat ’tidak dapat balik’ bila cengkraman ekornya yang melekatkan diri pada sel inang. Penetrasi fage ke sel inang bersifat mekanikal. Proses ini dipermudah dengan adanya digesti struktur permukaan oleh lisozim yang terdapat dalam ekor fage atau aktivasi enzim inang oleh fage. Pada fage T-genap penetrasi berjalan sebagai berikut: a. Serabut ekor melekatkan dirinya pada sel dan mencengkramkan dirinya pada dinding sel. b. Selaput pada ekor berkontraksi dan mendorong isi ekor menembus dinding sel dan membran sel. c. Fage melepaskan DNA-nya. Proses ini dapat disamakan dengan pengeluaran vaksin melalui suntikan. Selubung protein yang membungkus kepala dan ekor tetap berada di luar sel. Fage T1 dan T5 yang tidak memiliki selaput kontraktil juga melepaskan asam nukleat dengan cara melekatkan diri diantara lapisan membran dalam dan lapisan membran luar. Pada fage tahap transkripsi terjadi dalam beberapa tahap melalui gen fage yang disebut sebagai: a. gen awal pertama (immediate early genes) b. gen awal kedua (delayed early genes) c. gen akhir (late genes) Penamaan ini didasarkan pada kurun waktu gen berfungsi (Lay & Hastowo 1992). Pada tahap sintesis, sintesis mRNA bakteri dan protein terhenti seketika setelah DNA fage masuk. DNA bakteri didegradasikan menjadi penggalan pendek. Sintesis mRNA fage segera dimulai setelah infeksi. DNA fage meningkat setelah suatu tenggang waktu, diikuti oleh protein fage, kapsid awal dan kapsid dewasa yang infeksius. Transkripsi terjadi seketika dengan menggunakan RNA polimerase bakteri. Proses ini menggunakan gen awal pertama yang berfungsi untuk menyandi nuklease yang menguraikan DNA inang. Nukleotida hasil penguraian ini digunakan oleh fage untuk mengubah enzim polimerase RNA bakteri sehingga terjadi transkripsi gen dari fage. Perubahan RNA polimerase bakteri menghasilkan DNA fage seperti 5-hidroksilmetilsitosin (menggantikan sitosin pada DNA bakteri). Proses ini terjadi melalui gen awal kedua. Enzim yang menguraikan sitosin bakteri menyebabkan fage dapat hidup dan bertahan, karena enzim penghambat (restriction enzymes) tidak lagi dapat menguraikan DNA fage disebabkan penggantian nukleotida menjadi 5-hidroksilmetilsitosin. Pada tahap berikut nuklease fage akan menghancurkan semua DNA yang tidak mengganti sitosin DNA-nya. Gen awal kedua juga menyandi polimerase dan ligase yang berperanan dalam replikasi fage. Gen akhir berfungsi dalam pembentukan ekor, kepala, dan serabut. Selain itu gen ini menyandi pembentukan lisozim fage yang melisiskan sel bakteri sehingga fage baru dapat dilepaskan dari sel. Pembentukan kepala, ekor, dan serabut ekor diatur melalui 3 jalur yang dilaksanakan oleh runutan gen yang berlainan. Tahap pematangan atau perakitan merupakan tahap penyusunan asam nukleat dan protein virus menjadi partikel virus yang utuh. Tahap perakitan terjadi setelah sintesis protein dan asam nukleat yang diikuti oleh lisis sel bakteri dan pelepasan fage. Fage baru akan menginfeksi sel bakteri lainnya dan siklus litik akan diulangi kembali (Tortora et al. 2006). Penelitian dan Aplikasi Fage Penemuan dan penelitian fage telah banyak dilakukan sejak Ernest Hanbury Hankin melakukan pengamatan pertamakali terhadap aktivitas fage yang menginfeksi Vibrio cholerae di India pada tahun 1896 (Skurnik & Strauch 2006). Kemudian berlanjut pada tahun 1917, Felix d’Herelle secara resmi menemukan fage dan ditetapkan untuk digunakan pada terapi terhadap penyakit disentri hemorrhagic pada tahun 1919. Setelah penemuan fage pada tahun 1915-1917, penggunaan fage dalam penggunaan secara klinis pada manusia dan perlakuan terhadap infeksi bakteri telah menjadi umum di Eropa khususnya di Eropa Timur (Alisky et al. 1998; Barrow & Soothill 1997). Terapi fage telah digunakan untuk melawan penyakit infeksi pada kulit, tulang, saluran gastrointestinal, dada, abdomen, kepala, leher, dan sistem organ tubuh lainnya (Alisky et al. 1998). Pada tahun 1921, Bruynoghe dan Maisin menggunakan bakteriofage untuk perlakuan terhadap penyakit kulit staphylococcal. Pada tahun 1940-an, perusahaan Eli Lilly di US memproduksi 7 produk fage yang digunakan untuk manusia. Kemudian pada tahun 1980-an, Smith dan Huggins melaksanakan berbagai percobaan terapi fage. Berdasarkan hasil penelitian Smith et al. (1987) menunjukkan bahwa fage memiliki potensi yang cukup potensial untuk mengendalikan penyakit infeksi E. coli pada ternak. Peneliti ini telah mengobati atau mencegah infeksi enteropathogenic E. coli (109 CFU) penyebab diare pada anak sapi dengan strain fage yang spesifik yang diatur dalam dosis oral tunggal (105 PFU) atau disemprotkan (102 PFU). Kemanjurannya hanya ketika fage tersebut diberikan sebelum atau bersama-sama dengan bakteri yang infektif. Jika fage diberikan setelah serangan diare, intensitas penyakit tersebut diturunkan namun penyakit tersebut tidak terobati (Smith et al. 1987). Pada tahun 1990-an, industri yang bergerak di bidang Bioteknologi mulai menyelidiki terapi fage di negara-negara Barat. Pada tahun 2002 dan 2003, dilakukan penelitian penggunaan fage terhadap bakteri Enterococcus yang resisten terhadap vancomycin (VRE) dan bakteri Staphylococcus aureus yang resisten terhadap methicillin (MRSA) pada hewan tikus percobaan. Aplikasi bakteriofage sebagai biokontrol pencemaran makanan diantaranya fage spesifik E. coli O157 pada daging (Kudva et al. 1999; Flynn et al. 2004), fage spesifik Salmonella dan Campylobacter pada ayam (Goode et al. 2003), fage spesifik Yersinia enterocolitica pada babi (Skurnik 1984; Strauch et al. 2001a), fage spesifik Lactococcus garviae dan Pseudomonas plecoglossicida pada ikan (Park & Nakai 2003; Park et al. 2000). Aplikasi bakteriofage terhadap sanitasi air, contohnya fage spesifik E. coli patogen yang telah diaplikasikan dalam bentuk tablet pada air minum secara in vivo di Bangladesh (Ochman & Selander 1984). Fage spesifik Listeria monocytogenes telah ditemukan sejak tahun 2004. Dua tahun kemudian, Exponential Biotherapies Incorporated (EBI) Food Safety mengeluarkan produk pertama fage ini dengan nama LISTEXTM P100 dan penggunaannya telah diizinkan oleh Food Drug Association (FDA). Produk fage ini telah diaplikasikan di Netherland, Eropa, dan Amerika Serikat pada produk makanan keju, daging, daging unggas, ikan, sayuran, mentega serta produk makanan lain. Selain untuk aplikasi-aplikasi terapi dan biokontrol pencemaran, fage juga dapat digunakan untuk membersihkan keracunan makanan (Randerson 2003), sebagai antibakteri, dan penggunaan partikel fage untuk mengantarkan vaksinvaksin dalam bentuk peptida-peptida imunogenik yang ditempelkan pada protein coating fage yang dimodifikasi (Clark & March 2004).