Studi Eksplanatif Proses Integrasi Korea dalam Teori Liberal

advertisement
Studi Eksplanatif Proses Integrasi Korea dalam Teori Liberal
Fungsional
AMRI HAKIM
Universitas Abdurrab
Abstract
The objectives of this paper are to explain process and identify the unique patterns of
Korean integration based on its unique background than integration models in many
regions. By using Liberal Functional Theory and Qualitative methode, founded that Korean
Integration which was begun with cooperations in low politics interest, by developing
Kaesong Industrial Complex had contributed significantly to economy of both country, but
it did not spill over to other field, did not create interdependence and integrations politics,
because it was opposite of North Korea high politics interest to maintain the existence of
Kim Il-Sung Dynasty.
Keywords: Integrations process, high politics, low politics, spill over,
interdependence.
Pendahuluan
Di antara model-model integrasi yang pernah diterapkan di berbagai kawasan dunia,
integrasi Korea Selatan dan Korea Utara merupakan yang terunik, kedua negara sedang
terlibat dalam konflik militer serta memiliki sistem politik dan ekonomi yang berbeda.
Integrasi Eropa Barat dijalankan dalam kondisi damai, tidak ada konflik militer diantara
mereka, semua negara yang berintegrasi merupakan negara-negara dengan sistem
politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis. Integrasi negara-negara Amerika Utara
juga senada dengan Eropa Barat, mereka tidak berada dalam situasi berkonflik satu
sama lain dan semua negara yang terlibat menganut sistem politik demokrasi dan
sistem ekonomi kapitalis. Untuk konteks ASEAN pun tidak ada ketegangan militer
diantara mereka, bahkan organisasi ini pada awalnya merupakan bentukan Amerika
Serikat untuk negara-negara berideologi liberal dalam rangka membendung pengaruh
komunisme (containment policy) di kawasan Asia Tenggara.
Berangkat dari keunikan kondisi yang melatar belakangi proses integrasi Korea
Selatan dan Korea Utara tersebut, maka paper ini bertujuan untuk menjelaskan proses
dan mengidentifikasi pola-pola khusus integrasi yang dimulai lewat kerjasama
pembangunan Kawasan Industri Kaesong dengan menggunakan Teori Liberal
Fungsional.
Pembahasan
Proposisi pertama dari Teori Liberal Fungsional adalah pengkategorian dua bentuk
kepentingan nasional, yaitu: a. high politics, merupakan kepentingan yang sangat krusial
berupa kedaulatan, pertahanan dan keamanan sebuah negara. b. low politics,
merupakan kepentingan yang tidak terlalu sensitif bagi eksistensi sebuah negara
seperti investasi, produksi, perdagangan, dan kalau kepentingan ini dikerjasamakan
53
Studi Eksplanatif Proses Integrasi Korea Dalam Teori Liberal Fungsional
tidak akan melahirkan gesekan-gesekan antar negara, malah akan memberikan
keuntungan bagi negara-negara yang bekerja sama. Berangkat dari proposisi tersebut
maka pembahasan tentang proses integrasi Korea Utara dengan Korea Selatan ini akan
dimulai dengan memetakan kepentingan-kepentingan nasional kedua negara dalam dua
kategorisasi diatas sehingga memperlihatkan dasar bagi proses integrasi yang sedang
berjalan.
Kepentingan Nasional Korea Selatan
High politics
Diantara kedua bentuk kepentingan high politics Korea Selatan dalam hubungannya
dengan Korea Utara yaitunya kedaulatan dan keamanan nasional, indikator yang
terakhir ini merupakan prioritas tertinggi dalam perumusan kebijakan luar negeri
negara tersebut. Karenanya pembahasan tentang kepentingan high politics Korea
Selatan akan difokuskan kepada keamanan nasionalnya.
Konsep keamanan nasional berasal dari Perspektif Realis yang berargumen bahwa
setiap negara sebagai unit dari sistem internasional selalu berada di bawah kondisi
merasa terancam atau curiga bahwa tetangganya akan memerangi mereka. Argumen ini
lahir dari proposisi: sistem internasional bersifat anarki, dimana tidak ada otoritas
sentral yang bisa mendisiplinkan perilaku unit-unit sistem (negara), dan sifat dasar
manusia yang menjalankan negara adalah agresif (selalu berupaya meningkatkan
kekuasaannya baik berupa, pengaruh, perluasan teritorial ataupun kekayaan), serta
instrumen akhir yang digunakan oleh negara untuk meningkatkan kekuasaannya adalah
kekuatan militer (perang).
Pengalaman interaksi kedua negara dimasa lalu, seperti Korea Utara pernah
menggempur Korea Selatan yang dalam tiga hari berhasil menduduki Seoul dan dua
bulan berikutnya hampir menguasai seluruh wilayah Korea Selatan, kedua negara
masih dalam status gencatan senjata, jarak antara perbatasan Korea Utara ke ibu kota
Korea Selatan kurang dari 50 km yang berarti Seoul berada dalam jarak tembak artileri
dan rudal Korea Utara, selanjutnya kepemilikan senjata nuklir Korea Utara, dimana
pada tahun 2008 Pyongyang mengumumkan kesuksesannya dalam pengayaan uranium
untuk kepentingan militer yang diperkirakan membuat Korea Utara mampu
memproduksi plutonium yang telah dipisahkan sebanyak 30 sampai 50kg, cukup untuk
setengah lusin senjata nuklir, membentuk citra Korea Utara sebagai ancaman keamanan
nasional bagi Korea Selatan.
Alternatif-alternatif strategi atau kebijakan yang diambil oleh Korea Selatan terhadap
Korea Utara, seperti tekanan dunia internasional berupa sanksi, bantuan ekonomi, atau
deterrence nuklir melalui aliansi dengan Amerika Serikat hanya bisa menghentikan
ancaman temporer, akan tetapi tidak dalam penghapusan ancaman secara permanen.
Instrumen integrasi politik kedua negara yang dimulai dengan integrasi ekonomi
merupakan alternatif strategi yang bermanfaat untuk menghilangkan ancaman
keamanan permanen Korea Utara bagi Korea Selatan, dengan integrasi politik berarti
tidak ada lagi perbedaan identitas nasional, tidak ada lagi persaingan memperluas
kekuasaan dan melakukan perlombaan senjata, tidak ada lagi patriotisme sempit serta
Journal of International Society, Vol. 3, No. 1, 2016
54
Amri Hakim
tentunya tidak ada lagi saling memprovokasi, yang ada hanyalah satu negara bangsa
Korea dengan keunggulan ekonomi yang telah dibangun Korea Selatan dan keunggulan
militer yang telah dibangun Korea Utara.
Low politics
Kepentingan low politik Korea Selatan pada umumnya bisa dijelaskan dengan melihat
karakter ekonominya sebagai negara industri yang berorientasi memaksimalkan rantai
nilai global (outward looking), dan prasyarat utama untuk mencapai tujuan tersebut
adalah daya saing industri nasional.
Market size atau ukuran pasar merupakan jumlah penduduk sebuah negara yang
potensial menjadi konsumen dari sebuah produk industri. Dalam ekonomi mikro
market size merupakan prasayarat untuk mencapai economic scale, yaitu penurunan
biaya produksi satuan produk apabila produksi sampai pada kuantitas tertentu, dan
pada akhirnya berkontribusi terhadap daya saing industri sebuah negara.
Dengan jumlah penduduk sebesar 48,5 juta jiwa, market size Korea Selatan sangat
jauh dibawah negara-negara industri saingannya di kawasan Asia dan hanya
menempati ranking ke dua belas dalam Global Competitiveness Index dari World
Economic Forum, sedangkan negara tetangganya China menempati ranking dua dengan
jumlah penduduk sebanyak 1.354,1 juta jiwa, begitupun dengan Jepang yang berada
pada ranking empat dengan jumlah penduduk sebesar 127 juta jiwa.1
Integrasi Korea akhirnya bisa dilihat sebagai salah satu bentuk kepentingan low
politics negara ini untuk memperbesar market size domestiknya, dengan menyatunya
kedua negara berarti akan memberikan tambahan penduduk sebanyak dua puluh tiga
juta jiwa dari Korea Utara dan meningkatkan market size Korea Selatan menjadi 71,5
juta jiwa.
Komponen lain dari efisiensi biaya produksi khusunya bagi industri kecil dan
menengah adalah upah buruh. Menurut Peter Dicken karena industri kecil dan
menengah sangat intensif dengan penggunaan tenaga buruh dalam proses produksi
maka gaji buruh atau pekerja merupakan faktor terbesar penentu biaya produksi.2
Kesuksesan pembangunan ekonomi Korea Selatan dalam dua dekade terakhir
berkontribusi terhadap peningkatan upah buruh di negara tersebut, selanjutnya ada
kekacauan kebijakan perburuhan, kondisi politik yang tidak stabil, militansi buruh,
meluasnya dualisme antara perusahaan berorientasi ekspor dan domestik. Hal ini
menjadi permasalahan bagi perusahaan-perusahaan kecil dan menengah yang tingkat
kompetitifnya sangat bergantung kepada buruh (labour intensive industry sector).
Solusi bagi permasalahan ini sebelumnya ditempuh dengan mendatangkan buruhburuh migran berupah rendah dari China dan negara-negara Asia Tenggara. akan tetapi
hal yang tidak bisa didapatkan dari buruh-buruh murah migran adalah kemampuan
berbahasa, dengan menggunakan buruh-buruh murah dari Korea utara yang bahasa
kesehariannya sama dengan manajer-manajer dari Korea Selatan, operasional industri
1
World Economic Forum, Global Competitiveness Report 2011-2012, Geneva, 2011, hal 227.
Peter Dicken, Global Shift, mapping the changing contours of the world economy, The Guilford, New York,
2011, hal 308.
2
Journal of International Society, Vol. 3, No. 1, 2016
55
Studi Eksplanatif Proses Integrasi Korea Dalam Teori Liberal Fungsional
menjadi lebih efektif dan efisien sehingga berkontribusi terhadap daya saing industri
Korea Selatan di pasar global.3
Pada sub bab ini dapat disimpulkan bahwa Korea Selatan dalam hubungannya
dengan Korea Utara memiliki kepentingan low poltics berupa penambahan penduduk
untuk memperluas market size domestiknya dan mendapatkan buruh berupah murah
yang bahasa kesehariannya sama dengan manejer industri Korea Selatan.
Kepentingan Nasional Korea Utara
High politics
Senada dengan Korea Selatan, dimana kepentingan high politicsnya didominasi oleh isu
ancaman keamanan nasional dari Korea Utara, kepentingan high politics Korea Utara
pun didominasi oleh ancaman keamanan nasional berupa preemptive military action
dari Korea Selatan dan Amerika Serikat, bedanya bagi Korea Utara ancaman tersebut
lebih dimaknai sebagai ancaman terhadap eksistensi Dinasti Politik Kim Il-Sung.
Gabriel Almound dalam Teori Struktural Fungsional Sistem Politik berargumen
bahwa untuk memahami atau untuk memberikan makna terhadap karakter sistem
politik sebuah negara kita bisa melakukannya melalui penelaahan interaksi fungsi dari
lembaga-lembaganya. Diantara fungsi-fungsi tersebut adalah rekruitmen politik,
sosialisasi politik, komunikasi politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, pembuatan
kebijakan, penerapan serta penghakiman kebijakan.4 Fungsi yang paling signifikan
dalam membentuk karakter sistem politik adalah fungsi rekruitmen politik, karena
fungsi tersebut merefleksikan sumber dan konstelasi kekuasaan serta merupakan
determinan terhadap fungsi-fungsi lainnya. Aktor politik yang menempati struktur
melalui mekanisme perwakilan rakyat (demokrasi) idealnya akan memberikan ruang
bagi fungsi artikulasi kepentingan rakyat (partisipasi) dan tentunya memberikan ruang
bagi berjalannya fungsi komunikasi politik dalam rangka pembuatan, pelaksanaan dan
penghakiman kebijakan bahkan dalam menentukan struktur dan fungsi dari sistem
politik itu sendiri, fungsi seperti ini normalnya tidak terwujud dalam sistem politik yang
mekanisme rekruitmen politiknya bersifat trah keturunan (dinasti) atau yang
dimonopoli oleh sekelompok elit (aristokrat).
Korea Utara lahir dibawah kepemimpinan Kim Il-Sung pada tanggal 9 September
1948 dan selama 46 tahun kepemimpinannya sampai tahun 1994 the founding father
Korea Utara tersebut telah berhasil menanamkan dogma melalui sistem politik otoriter
sebagai pemimpin besar yang harus dipuja oleh warga negaranya. Yang perlu
diperhatikan dalam memberikan makna terhadap karakter sistem politik Korea Utara
adalah karena begitu kuat dan tersentralisirnya kekuasaan pada Kim Il-Sung maka
fungsi rekruitmen politik dimonopoli oleh sang pemimpin melalui mekanisme suksesi
kepemimpinan dinasti politik, hal ini ditunjukkan dengan diangkatnya Kim Jong-Il
3
Ralph M. Wroble, Ten Years of Kaesong Industrial Complex: a brief history of the last economic cooperation
project of the Korean Peninsula, Economic and Environmental Studies, Vol.14, No.2, Zwickau, Germany, 2014,
hal 139.
4
Mochtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 2008, hal 36.
Journal of International Society, Vol. 3, No. 1, 2016
56
Amri Hakim
sebagai calon penggantinya pada tahun 1973. Dinasti politik Kim Il-Sung pun
dilanjutkan oleh Kim Jong-Il melalui penunjukan puteranya Kim Jong-Un sebagai
pengganti (pangeran) pada Februari 2009. Sampai pada titik ini kita bisa memberikan
makna bahwa karakter atau model sistem politik Korea Utara adalah Dinasti Politik.
Selanjutnya untuk menjelaskan kepentingan high politics negara tersebut kita bisa
menggunakan model rezim yang dijalankan. Pola yang melekat dari Model Dinasti
Politik adalah Rezim Otoriter Birokratik Militer Yang Terorganisir dan Tersentralisasi.
Rezim seperti ini digunakan untuk mengontrol tidak terjadinya pembusukan, kudeta
atau revolusi terhadap dinasti yang sedang berkuasa. Jadi karena Dinasti Kim Il-Sung
menggunakan Rezim Birokratik Militer Yang Terorganisir dan Tersentralisasi maka bisa
ditafsirkan bahwa Dinasti Kim Il-Sung mempunyai kepentingan mempertahankan
kekuasaan dari revolusi domestik, dan logisnya dalam konteks politik luar negeri,
dengan berasumsi negara sebagai aktor yang tunggal dan otonom, Korea Utara pun
mempunyai kepentingan nasional mempertahankan Dinasti Politik Kim Il-Sung.
Argumen ini senada dengan argumen Norman D. Levin sebagaimana dikutip oleh Dwi
Arsita Waskitarini tahun 2009 bahwa kepentingan nasional Korea Utara yang paling
prioritas adalah mempertahankan kekuasaan Dinasti Kim Il Sung.5
Sebagaimana disimpulkan diatas bahwa Korea Utara mempunyai kepentingan
nasional mempertahankan kekuasaan Dinasti Politik Kim Il-Sung dan juga telah
dipaparkan doktrin Realis terhadap kemanan nasional bahwa setiap negara sebagai unit
dari sistem internasional selalu berada di bawah kondisi merasa terancam atau curiga
bahwa tetangganya akan memerangi mereka, maka kepemilikan persenjataan nuklir
oleh Korea Utara bisa dilihat sebagai strategi penangkalan invasi atau preemptive
military action dari Amerika Serikat dan Korea Selatan yang bisa menghilangkan
kekuasaan Dinasti Kim Il Sung di Korea Utara.6
Program nuklir Korea Utara sendiri dimulai pada akhir tahun 1950-an melalui
kerjasama program penelitian dengan Uni Soviet yang berlokasi di sekitar wilayah
Yongbyon. pengerjaan reaktor nuklirnya sendiri dimulai pada tahun 1967. Korea Utara
menggunakan ahli dari warga negaranya dan pasokan teknologi dari luar negeri untuk
membangun reaktor nuklir kecil berukuran 5 MWE di Yongbyon. Tahun 1986 Korea
Utara telah mampu memproduksi 6kg plutonium pertahun. Setahun berikutnya satelit
Amerika Serikat medeteksi adanya uji coba ledakan dan rencana baru untuk
memisahkan plutonium dari reaktor.
Selama dua dekade program pengayaan ini telah dibekukan dibawah pengawasan
yang disepakati dalam perundingan enam pihak tahun 1994 dan 2007. Ketika
Perundingan Enam Pihak dibatalkan pada tahun 2008 Korea Utara mengeporasikan
kembali reaktor 5MWE dan secara terbuka mengumumkan pengayaan uranium untuk
kepentingan militer dan pembangunan reaktor light water yang diperkirakan membuat
Korea Utara mampu memproduksi plutonium yang telah dipisahkan sebanyak 30
sampai 50kg sehingga cukup untuk setengah lusin senjata nuklir.
5
Dwi Arsita Waskitarini, Kebijakan Luar Negeri Jepang Terhadap Isu Nuklir Korea Utara, Thesis, Universitas
Indonesia, 2009, hal 24.
6
Dick K. Nanto, The North Korean Economy, leverage and policy analysis, CRS Report For Congress, 2008, hal 4.
Journal of International Society, Vol. 3, No. 1, 2016
57
Studi Eksplanatif Proses Integrasi Korea Dalam Teori Liberal Fungsional
Pada tahun 2009 Korea Utara mengumumkan bahwa mereka sudah bisa melakukan
pengayaan uranium dengan tujuan untuk pembangkit tenaga listrik. Pada tahun 2010
Korea Utara dalam kunjungan para pakar nuklir Amerika Serikat memperlihatkan
reaktor light water berkapasitas 100 MWT dan mesing pengayaan uranium bertenaga
gas yang kedua-duanya berlokasi diYongbyon. Pejabat Amerika Serikat memperkirakan
dengan teknologi tersebut Korea Utara bisa memproduksi senjata nuklir dengan lebih
efisien dan efektif.
Selain mempunyai kepentingan nasional mempertahankan kekuasaan Dinasti
politiknya dan mempertahankan kepemilikan senjata nuklir, Korea Utara juga
mempunyai kepentingan atas pencabutan sanksi PBB yang bisa menghambat
pengembangan program nuklirnya. Pernyataan ini berasal dari proposisi Model Analisis
Strategi yang dikembangkan oleh Patrick Morgan bahwa kebijakan luar negeri
diarahkan untuk mencapai suatu atau beberapa kepentingan nasional. Proposisi ini bisa
dipahami sebagai berikut: pertama, terdapat jalinan dari beberapa kepentingan
nasional sebuah negara, kedua sebagai konsekuensinya sebuah strategi atau kebijakan
luar negeri juga bisa dilihat sebagai upaya untuk mencapai beberapa kepentingan yang
saling terjalin tersebut. Makna yang bisa diberikan oleh proposisi ini terhadap
kepentingan Korea Utara dalam pencabutan sanksi PBB adalah bahwa Korea Utara
memiliki kepentingan nasional untuk mempertahankan kekuasaan atau eksistensi
Dinasti Kim Ill-Sung, dan dalam rangka menangkal preemptive military action Korea
Selatan yang bisa berakibat hilangnya kekuasaan Dinasti Kim Il-Sung tersebut, Korea
Utara membangun persenjataan nuklir, kemudian karena PBB menjatuhkan sanksi yang
bisa menghambat pengembangan persenjataan nuklir Korea Utara tersebut maka Korea
Utara pun mempunyai kepentingan agar sanksi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa
dicabut.
Berkenaan dengan uji coba nuklir Korea Utara pada tanggal 12 Februari 2013 yang
melanggar Resolusi PBB 1718 tahun 2006, 1874 tahun 2009, dan Resolusi 2078 2013.
maka Dewan Keamanan PBB sekali lagi pada tanggal 7 maret 2013 mengeluarkan
sanksi dalam Resolusi 2094 dengan tujuan untuk mencegah penyebaran Senjata
Pemusnah Masal dan teknologi misil balistik.
Sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini bekerja dalam tiga ranah yang semuanya
berujung pada penghambatan perkembangan program nuklir Korea Utara, berupa:
pertama, yang berhubungan dengan barang-barang khusus. Kedua, menargetkan
kepada entitas dan individu seperti pembekuan aset dan larangan berkunjung. Ketiga
mewaspadai transaksi keuangan.7
Pada akhir sub bab ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Korea Utara dalam
hubungannya dengan Korea Selatan mempunyai kepentingan high politics yang saling
berkaitan berupa: kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan Dinasti Politik Kim
Il-Sung, mempertahankan kepemilikan senjata nuklir, dan mengupayakan pencabutan
sanksi PBB sebagai penghambat program pengembangan senjata nuklirnya.
LLow politics
7
IISS Workshop Report, UN Sanctions on North Korea: Prospects and Problem, Dubai, 4 September 2013, hal 2.
Journal of International Society, Vol. 3, No. 1, 2016
58
Amri Hakim
Kepentingan low politics Korea Utara bisa dijelaskan dengan menganalisis karakter
ekonominya sebagai negara komunis. Sama seperti negara komunis lainnya Rusia,
China yang mengalami kegagalan pembangunan ekonomi pada tahun 1990-an akibat
kelemahan dari sistem ekonomi komunis itu sendiri, Korea Utara pun terjebak dalam
resesi ekonomi selama tujuh tahun, dimulai pada tahun 1990 ketika pertumbuhan
ekonomi negara tersebut minus 3,7 persen yang terus berlanjut pada tahun 1997
sebagai titik terdalamnya minus 6,3 persen. Efek lanjutan dari resesi tersebut adalah
neraca perdagangan Korea Utara mengalami defisit sebesar USD 1,5 miliar pertahun.
Grafik pertumbuhan ekonomi Korea Utara8
Data kodisi ekonomi Korea Utara diatas bisa digunakan untuk menarik kesimpulan
bahwa Korea Utara mempunyai kepentingan nasional untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi atau peningkatan aktifitas produksi,
distribusi dan konsumsi barang dan jasa dalam sebuah negara berkontribusi terhadap
kesejahteraan warga negaranya melalui ketersediaan lapangan kerja dan kemampuan
anggaran pemerintah. Faktor fundamental dari pertumbuhan ekonomi tersebut adalah
investasi. Berangkat dari kebutuhan akan investasi, Korea Utara telah mengambil
beberapa strategi atau kebijakan yang bisa dilihat dalam ulasan berikut. Pada awal
tahun 1990-an disaat terjadinya keruntuhan Blok Komunis, Korea Utara membentuk
Kawasan Ekonomi Khusus Rajin-Sonbong atau yang dikenal juga dengan Golden
Triangle Korea Utara, China dan Rusia. Kedekatan geografis antara kawasan ini dengan
8
Loc,it., hal 9.
Journal of International Society, Vol. 3, No. 1, 2016
59
Studi Eksplanatif Proses Integrasi Korea Dalam Teori Liberal Fungsional
China dan Jepang, kekayaan alam berupa hasil laut, pelabuhan laut yang terbebas dari
pembekuan saat musim dingin merupakan keunggulan bagi SEZ ini untuk menarik
investasi dari luar negeri. Kebijakan ekonomi yang berorientasi pasar (market friendly),
seperti insentif pajak, jaminan keuntungan, kebebasan cukai untuk impor dan ekspor
bahan baku, produk setengah jadi dan produk jadi, pun diambil guna lebih mengatraksi
investasi dari luar negeri.
Selanjutnya pada tahun 2000 dan 2001 Kim Jong-il mengunjungi China dalam
beberapa kesempatan dan terkesan dengan perkembangan ekonomi SEZ di sana.
Sebagai hasilnya pada tahun 2002 Korea Utara mengumumkan pembukaan SEZ baru di
Sungai Yalu yang berhadapan dengan dengan Kota Dandong di China. Seperti kasus
Hongkong, rencana ini bertujuan untuk menarik aliran dana dari China ke Korea Utara
dengan menggunakan hukum terpisah yang mengizinkan kepemilikan swasta berupa
alat produksi, pemisahan sistem keuangan dan kepabeanan, kemandirian anggaran dan
kebebasan pergerakan modal. Sebagai tambahannya pada tahun 2002 Korea Utara
mengadakan serangkaian reformasi ekonomi yang disebut oleh sejumlah pengamat
sebagai langkah pertama penguatan ekonomi pasar di negara tersebut berupa
menerapkan aturan moneter dan pengurangan peran pemerintah dalam pengaturan
harga dan kontrol distribusi.
Dalam perjalanannya Kawasan Ekonomi Khusus Rajin-Sonbong tidak membuahkan
pencapaian yang memuaskan seperti yang dilalui China, hal ini disebabkan oleh
beberapa kelemahan yang dimiliki oleh Korea Utara sendiri, yaitu: Korea Utara hanya
memiliki lahan yang kecil tidak seluas yang dimiliki oleh China, kekurangan sumber
daya alam, sistem pemerintahan yang otoriter, infrastruktur yang tidak memadai
(pasokan energi, pelabuhan dan jalan raya), angkatan kerja yang tidak kompetitif,
jumlah penduduk hanya 23 juta jiwa sehingga tidak menjadi pasar yang menarik bagi
investor.
Alternatif bagi Korea Utara untuk menarik investasi dari luar negeri kemudian
bergeser ke Korea Selatan, karena sebelumnya di tahun 1998 Presiden Korea Selatan
Kim Dae-Jung menyampaikan kebijakan terbarunya (sunshine policy) mengenai
perdamaian Kedua korea termasuk bantuan dan kerjasama ekonomi sebagaimana yang
telah tertuang di dalam proposal unifikasi. Harapan Korea Utara tersebut kemudian
ditindaklanjuti dengan pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Kim Dae-jung dengan
presiden Kim Jong-il pada bulan juni tahun 2000 yang juga semakin memperkuat
komitmen integrasi kedua korea.
Kesimpulan yang bisa ditarik dari sub bab ini adalah bahwa untuk meningkatkan
kesejahteraan warga negaranya dan meningkatkan kemampuan anggaran pemerintah
sendiri, maka Korea Utara memiliki kepentingan untuk menarik investasi dari luar
negeri, khusunya Korea Selatan sebagai salah satu ekonomi maju di kawasan Asia
Timur.
Kawasan Industri Kaesong Sebagai Bentuk Kerjasama Kepentingan Low Politics
Setelah mengkategorisasikan kepentingan nasional kedalam high dan low politics,
proposisi pertama Teori Liberal Fungsional berargumen bahwa kerjasama dalam
Journal of International Society, Vol. 3, No. 1, 2016
60
Amri Hakim
kepentingan low politics tidak akan menimbulkan gesekan antar negara malah akan
memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Sebelumnya telah dipaparkan bahwa
Korea Selatan memilki kepentingan low politics berupa: perluasan pasar domestik dan
buruh berupah murah, dan Korea Utara memilliki kepentingan low politics berupa
menarik investasi asing untuk kesejahteraan warga negara dan pendapatan
pemerintahnya.
Realisasi kerjasama kepentingan low politics dari kedua negara tersebut adalah
dengan dibangunnya dua kawasan ekonomi khusus yaitu Kaesong Industrial Complex
dan Kawasan Wisata Gunung Kumgang di wilayah Korea Utara yang berbatasan
langsung dengan Korea Selatan. Pada tanggal 22 Agustus tahun 2000 Hyundai sebagai
investor dari Korea Selatan menandatangani perjanjian pendirian Kaesong Industrial
Complex dengan Komite Perdamaian Chosun Asia Pasifik Korea Utara serta melakukan
pembayaran awal pada bulan Juni sebesar USD 500 juta untuk hak ekslusif lahan seluas
6,400 ha. Setelah diresmikan pada bulan Juni 2003, pembangunan konstruksi Kaesong
Industrial Complex akhirnya dimulai pada bulan april 2004 dengan tambahan likuiditas
bagi Hyundai dari BUMN Korea Selatan KLC (Korean Land Corporation).
Pembangunan kawasan tersebut direncanakan dalam tiga tahap, pertama dari tahun
2002 sampai 2007 merupakan tahap pembangunan kluster perusahaan-perusahaan
tekstil dan produk kulit seluas 330 hektar. Tahap kedua dari tahun 2006 sampai 2009
pembangunan kluster industri manufaktur dan jasa seluas 430 hektar, dan tahap ketiga
kluster perusahaan teknologi dan bahan kimia dengan luas 2.050 hektar direncanakan
dari tahun 2008 sampai tahun 2012.
Dalam rangka pengelolaan Kawasan Industri Kaesong yang memfasilitasi interaksi
kedua negara, Korea Selatan membentuk The Secretariat of South-North Joint
Committee sebagai media Korea Selatan membangun komunikasi dengan Korea Utara.
Badan ini telah membuat kemajuan yang signifikan dalam permasalahan 3C,
komunikasi, kepabean bagi industri-industri yang ada dalam kompleks tersebut.
Sesuai dengan kepentingan Korea Selatan dimana pembangunan Kawasan Industri
Kaesong bertujuan untuk meningkatkan daya saing industri perusahaan-perusahaan
kecil dan menengahnya dan memang Korea Utara bisa menyediakan buruh-buruh
berupah murah, maka data perusahaan-perusahaan Korea Selatan yang berinvestasi di
KIC juga merefleksikan karakter industri tersebut dalam beberapa sektor berikut: pada
tahun 2005-2006, 35 % adalah perusahaan yang bergerak di sektor tekstil dan pakaian,
13 % perusahaan kimia (kulit sintetis dan bahan-bahan kosmetik), 26 persen
perusahaan di bidang permesinan dan logam, 15 % di bidang elektronik (komponen
LCD).
Dari tahun 2005 sampai 2012, tekstil merupakan sektor yang paling produktif
dengan total produksi sebesar USD 1,06 miliar, peringkat kedua ditempati oleh sektor
alat-alat kelistrikan dengan total produksi sebesar USD 389,276. Sebaran produksi
masing-masing sektor lebih rinci dipaparkan dalam tabel berikut ini.
Journal of International Society, Vol. 3, No. 1, 2016
61
Studi Eksplanatif Proses Integrasi Korea Dalam Teori Liberal Fungsional
Year
Sektor
Tekstil
Kimia
Mesin
Listrik
Makan
an
Kertas
Dll
Total
Tabel 6. Produksi Kawasan Industri Kaesong (dalam seribu dolar)9
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
6.780
1.768
5.250
1.108
14.906
27.793
10.900
20.853
14.191
73.737
85.543
18.262
41.947
39.027
184.779
2012
Total
132.179
21.785
49.250
47.162
976
152.050
26.179
37.312
37.584
2.003
179.235
32.092
48.637
59.147
2.668
215.676
28.636
52.617
97.221
4.187
269.383
30.337
65.861
93.836
4.943
1.068.639
169.959
321.727
389.276
14.777
70
251.442
1.313
34
256.475
1.469
75
323.323
1.570
1.941
401.848
1.941
3.199
469.500
6.363
5.249
1.975.990
Buruh murah sebagai competitive advantages Kawasan Industri Kaesong memang
menjadi magnet yang kuat bagi investasi perusahaan-perusahaan Korea Selatan. Hal ini
terlihat dari perkembangan kawasan industri ini yang sangat pesat, pada tahun 2005
dimana baru ada 11 perusahaan Korea Selatan yang berproduksi, jumlah tersebut
meningkat hampir sepuluh kali lipat lima tahun kemudian menjadi 109 perusahaan dan
terus meningkat menjadi 123 perusahaan pada tahun 2013. Total produksi pun
meningkat dari USD 1.491.000 ditahun 2005 menjadi USD 469.500.000 pada tahun
2012.
Tabel 7. Perkembangan kawasan Industri Kaesong pertahun (Dalam seribu dollar)10
Tahun
Perusahaan
Produksi
Expor
Kontribusi
2005
11
1,491
866
58,08%
2006
30
73,730
19,830
26,89%
2007
2008
65
184,780
39,670
21,47%
93
242,609
33,964
14,00%
2009
109
114,590
11,030
9,63%
2010
109
617,200,000
105,360,000
17,07%
Keuntungan Korea Selatan dan Korea Utara dari Kawasan Industri Kaesong
Proposisi kedua dari Teori Liberal Fungsional adalah terdapatnya keuntungan dari
kerjasama bagi kedua negara yang dapat dibagi dalam 3 dimensi, keuntungan yang
diperoleh pemerintah berupa pajak, devisa, pengetahuan, teknologi dan legitimasi
politik, manfaat yang diperoleh oleh bisnis berupa keuntungan dari efisiensi biaya
produksi dan peningkatan market size, serta manfaat yang diperoleh oleh publik berupa
ketersediaan lapangan pekerjaan.
Keuntungan Korea Selatan
Keuntungan yang diperoleh oleh Pemerintah Korea Selatan dari Kerjasama
Pembangunan Kawasan Industri Kaesong ini bisa dibagi kedalam dua bidang: pertama,
9
White paper Korean Unification, Ministry of Unification, 2013, hal 94.
Ralph M. Wroble, Ten Years of Kaesong Industrial Complex: a brief history of the last economic cooperation
project of the Korean Peninsula, Economic and Environmental Studies, Vol.14, No.2, Zwickau, Germany, 2014,
hal 135.
10
Journal of International Society, Vol. 3, No. 1, 2016
62
Amri Hakim
dalam bidang ekonomi dimana semenjak tahun 2003 sampai 2007 kawasan ini telah
memberikan nilai tambah sebesar USD 1,4 miliar kepada ekonomi Korea Selatan.11
Kedua, dalam bidang politik, berupa penyebaran nilai-nilai liberal demokrasi dan
kapitalisme kepada warga Korea Utara agar terjadinya proses pembusukan atau
delegitimasi terhadap Dinasti Kim Il-Sung, dengan beroperasinya kawasan industry
Kaesong sebanyak 200.000 warga Korea Utara baik pekerja maupun keluarganya telah
melihat keunggulan sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik demokrasi dari
Korea Selatan dibandingkan sistem ekonomi komunisme dan sistem politik otoriter
Korea Utara.
Pada level bisnis Kawasan industri ini telah memberikan keuntungan bagi
perusahaan-perusahaan Korea Selatan sebagai berikut: Pertama, terkait karakteristik
sebagai labour intensive industry, perusahaan-perusahaan Korea Selatan mendapatkan
upah buruh hampir lima puluh persen lebih murah dari pada upah buruh di China.
kedua, jam kerja yang lebih banyak empat jam dari China selain berkontribusi terhadap
peningkatan jumlah produksi juga sebenarnya bisa diartikan upah buruh di Kaesong
bisa mencapai enampuluh persen dibanding upah buruh China, karena dengan upah
USD 100 seorang buruh China hanya bekerja 44 jam sedangkan buruh Korea Utara
dengan upah hampir setengah lebih murah bekerja selama 48 jam seminggu.
Tabel 8. Perbandingan biaya produksi di Kaesong dan China
Item
Kaesong
China
South Korea
Upah bulanan
USD 57.50
USD 100-200
USD 423
Jam kerja perminggu
48
44
44
Pajak Pendapatan Perusahaan 10-14%
15%
23-28%
Biaya sewa per 3,3 m2
Won 150,000
Won 50,000
Won 407,550
Selanjutnya pajak pendapatan bagi perusahaan-perusahaan Korea Selatan hampir
sepuluh persen lebih murah dari pada pajak pendapatan di negaranya sendiri dan
sekitar dua setengah persen lebih murah dari pada China.
Dengan keuntungan-keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan-perusahaan kecil
dan menengah Korea Selatan tersebut tidak mengejutkan kalau terjadi peningkatan
produktifitas atau daya saingnya dibandingkan kompetitornya dari negara lain
khusunya China, hal ini ditunjukan oleh data peningkatan produksi Kaesong dari USD
1.491.000 pada tahun 2005 menjadi USD 617.200.000 pada tahun 2010, total ekspor
pun meningkat dari USD 866.000 pada tahun 2005 menjadi USD 105,360,000 pada
tahun 2010.
Keuntungan bagi publik Korea Selatan dalam konteks lapangan pekerjaan hanya
sebanyak 786 orang, memang tidak sebanding yang diperoleh Korea Utara 53.448
orang. Dengan catatan bahwa dari kebanyakan pekerja dari Korea Selatan tersebut
berada pada posisi manejer berbeda dengan pekerja Korea Utara yang menempati
posisi buruh.
11
Kim Jin-moo, Different Stance Between North and South Korea on The Kaesong Industrial Complex and Its
Future Prospect, Korean Institute for Defense Analyses, Issue 85, 5 juni 2013, hal 2.
Journal of International Society, Vol. 3, No. 1, 2016
63
Studi Eksplanatif Proses Integrasi Korea Dalam Teori Liberal Fungsional
Keuntungan Korea Utara
Menurut Ralph M. Wroble, beroperasinya Kaesong Industrial Complex telah
memberikan berbagai macam keuntungan bagi Korea Utara. Pertama KIC membantu
memperbaiki neraca perdagangan Korea Utara yang selama ini menderita defisit yang
sangat besar, hal ini tentunya disebabkan oleh peningkatan investasi perusahaan Korea
Selatan yang mentriger produksi dan ekspor Korea Utara dan secara langsung
berkontribusi terhadap perolehan valuta asing atau cadangan devisa Korea Utara. Pada
tahun 2002 Construction Economic Research Institute Of Korea memperkirakan KIC
telah memperkerjakan sebanyak 60.000 orang warga Korea Utara dan peningkatan
Gross Domestic Product Korea utara sebesar 16,7 persen.
Sedikit berbeda dengan Construction Economic Research Institute of Korea,
Kementerian Unifikasi Korea Selatan memaparkan Pekerja Korea Utara di KIC pada
tahun 2012 sebanyak 53.488 orang, statistik pekerja Korea Utara pertahunnya dapat
dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 9. Perbandingan pekerja Korea Utara dan Korea Selatan (orang)
Klasifikasi
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Pekerja
Korut
Pekerja
korsel
6.013
11.160
22.538
38.931
42.561
46.284
49.866
53.448
507
791
785
1.055
935
804
776
786
Total
6.520
11.951
23.323
39.986
43.496
47.088
50.642
54.234
Sebelum penutupannya pada bulan April 2013, keuntungan keuangan yang paling
utama bagi Pemerintah Korea Utara adalah cadangan devisa dari upah pekerjanya.
Berdasarkan Peraturan Perburuhan di KIC, Pekerja Korea Utara harus digaji USD 50
perbulannya yang dibayarkan secara langsung, akan tetapi pemerintah Korea Utara
meminta perusahaan membayarkan gaji tersebut melalui mereka dengan alasan
kurangnya jasa penukaran mata uang asing di KIC. Diperkirakan dengan proses
pembayaran tersebut Pemerintah Korea Utara mendapatkan cadangan devisa tiap
tahunnya sebesar USD 86 juta. Perkembangan Kawasan Industri Kaesong juga
berkontribusi terhadap performance ekonomi Korea Utara sebagai negara miskin
berupa peningkatan perdagangan luar negerinya menjadi USD 6-7 miliar dan meraih
surplus perdagangan sebesar USD 400 juta.12
Kepentingan Korea Utara untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi seperti yang
dipaparkan diatas, mempersyaratkan institusi ekonomi pasar yang efektif dan efisien.
Dengan model ekonomi komunis yang selama ini dijalankan di negara tersebut,
membuat para pengambil kebijakan Korea Utara harus belajar bagaimana mendesign
bekerjanya model ekonomi pasar. Seperti yang diungkapkan oleh Lim Kang-taeg dan
12
Loc, it.,hal 3.
Journal of International Society, Vol. 3, No. 1, 2016
64
Amri Hakim
Lim Sung-hoon: “ implementasi dari Kawasan Industri Kaesong merupakan media
pembelajaran bagi Korea Utara untuk belajar dan menguji reformasi ekonomi guna
menarik modal dan teknologi dari luar negeri”.
Dalam jangka panjang diharapkan para pekerja Korea Utara juga mempunyai
kemampuan untuk memodernisasi peralatan kerja mereka dan memeperbaiki efisiensi
sistem pengelolaan pabrik. Hal yang juga tak kalah pentingnya adalah para pekerja
Korea Utara beragam wilayah dapat menyebarkan pengetahuan-pengetahuan dari hasil
interaksinya dengan pekerja dari Korea Selatan di daerah mereka masing-masing
sehingga memberikan pembelajaran yang luas bagi Korea Utara.
Pola Khusus Integrasi Korea
Tidak terwujudnya spill over
Proposisi ketiga dari Teori Liberal Fungsional adalah Manfaat dari kerjasama yang
dirasakan oleh masing-masing negara akan mendorong mereka untuk meningkatkan
kerjasamanya dan melebarkan ke bidang yang lainnya (spill over). Konsep ini terwujud
dalam proses Integrasi Eropa, ketika mereka memulai bekerjasama dalam pengelolaan
wilayah Ruhr Basin sebagai lokasi produksi besi dan baja terbesar di eropa melalui
Masyarakat Batu Bara dan Baja Eropa, dan masing-masing negara yang mendapatkan
keuntungan dari kerjasama tersebut kemudian melebarkan kerjasamanya kebidang
energi atom dengan membentuk Masyarakat Energi Atom Eropa, kerjasama itu
kemudian juga dikembangkan ke pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa.
Keuntungan dan kebutuhan dari kerjasama ekonomi ini pun akhirnya melebar kebidang
politik dengan dibentuknya Parlemen Eropa pada tahun 1979 dan pembentukan
suprasktruktur politik regional yang disebut Uni Eropa, serta penggunaan mata uang
bersama Euro pada tahun 2000 dan penyerahan fungsi pengawasan perbankan eropa
kepada European Central Bank pada tahun 2013.
Berbeda dengan proposisi Liberal Fungsionalis dan pengalaman proses Integrasi
Eropa tersebut, Proses integrasi Korea yang dimulai dengan kerjasama pembangunan
Kawasan Industri Kaesong antara Korea Selatan dengan Korea Utara malah menuju
kearah kemunduran. Hal ini ditunjukan oleh dua kasus berikut: pertama, Kawasan
Wisata Gunung Kumgang yang merupakan program kembar dari doktrin economic
exchanges and cooperations bersama Kawasan Industri Kaesong, malah ditutup oleh
Korea Utara pada tahun 2008 setelah terjadinya insiden penembakan wisatawan asal
Korea Selatan oleh tentara Korea Utara. Kedua, penutupan Kawasan Industri Kaesong
itu sendiri oleh Pemerintah Korea Utara sebagai bentuk protes atas sanksi yang
dijatuhkan Dewan Kemanan Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap kepemilikan senjata
nuklirnya serta sebagai respon terhadap latihan militer Korea Selatan dengan Amerika
Serikat yang dipersepsikan oleh negara tersebut sebagai persiapan preemptive military
action Korea Selatan dan Amerika Serikat.13
13
Ralph M. Wroble, Ten Years of Kaesong Industrial Complex: a brief history of the last economic cooperation
project of the Korean Peninsula, Economic and Environmental Studies, Vol.14, No.2, Zwickau, Germany, 2014,
hal 126.
Journal of International Society, Vol. 3, No. 1, 2016
65
Studi Eksplanatif Proses Integrasi Korea Dalam Teori Liberal Fungsional
Kesimpulan yang bisa diambil dari sub bab ini adalah bahwa kerja sama low politics
sebagai bentuk dari proses Integrasi Korea tidak menuju kearah pengembangan
kerjasama (spill over) akan tetapi malah menuju ke arah kemunduran kerjasama yang
diakibatkan penggunaan kerja sama low politics sebagai instrument diplomasi oleh
Korea Utara ketika terjadi benturan kepentingan high politics kedua negara.
Tidak terwujudnya interdependensi
Proposisi keempat dari Teori Liberal Fungsional adalah ketika kerjasama dan
integrasi semakin meningkat, maka akan bertambah sulit bagi negara-negara untuk
menarik diri dari komitmen-komitmen yang telah mereka buat karena rakyat mereka
telah menyadari berbagai keuntungan yg diperoleh dari kerjasama (interdependensi).
Konsep interdependensi ini tidak terwujud didalam kerjasama Kawasan Industri
Kaesong karena pemerintah Korea Utara sendiri
terlihat dengan gampang
menggunakan penutupan kawasan Kaesong sebagai instrumen diplomasi dalam rangka
mencapai kepentingan high politicsnya. Tidak sulitnya pemerintah Korea Utara dalam
menarik diri dari komitmen kerjasama tersebut juga diakibatkan oleh model sistem
politik otoriter yang dianut oleh Korea Utara, dimana kebijakan luar negeri dimonopoli
oleh Pemerintah dan rakyat tidak diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam
perumusan kebijakan.
Tidak terwujudnya integrasi politik
Proposisi kelima dari Teori Liberal Fungsional adalah peningkatan kerjasama antara
bidang tersebut diharapkan membuat negara-bangsa menjadi tidak berfungsi sehingga
mendorong penyatuan politik diantara negara-negara yang bekerjasama (integrasi
politik). Sebagaimana pengalaman periode pertama Unifikasi Korea tidak membuahkan
penyatuan politik antara Korea Selatan dan Korea Utara karena adanya perbedaan
format unifikasi yang mau dicapai, pengalaman ini terulang kembali dalam proses
Integrasi Korea melalui kerjasama pembangunan Kawasan Industri Kaesong ini, Korea
Utara dengan kepentingan nasionalnya untuk tetap mempertahankan ideologi
komunisme dan kekuasaan dinasti politik Kim Il-Sung menginginkan format
Konfederasi atau satu Bangsa Korea dengan dua sistem politik dan ekonomi, sedangkan
Korea Selatan menginginkan format negara kesatuan dengan satu sistem politik dan
ekonomi.
Pernyataan ini berangkat dari tidak adanya data-data yang menunjukan kerja sama
kedua negara untuk membangun institusi-institusi politik supra nasional seperti
parlemen atau komisi dalam kasus Integrasi Eropa sebagai fondasi lahirnya sistem
politik baru menggantikan sistem politik Korea Selatan dan Korea Utara yang sudah
tidak berfungsi. Tidak terwujudnya institusi-institusi supra nasional ini tentunya juga
disebabkan oleh tidak terwujudnya spill over dan interdependensi dari kerjasama
pembangunan Kawasan Industri Kaesong antara Korea Selatan dan Korea Utara.
Journal of International Society, Vol. 3, No. 1, 2016
66
Amri Hakim
Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa ditarik proses integrasi Korea Utara dan Korea Selatan
berdasarkan Teori Liberal Fungsional, beserta pola-pola khusus yang terjadi akibat
perbedaan sistem politik dan kondisi keamanan kedua negara adalah sebagai berikut:
a. Proses Integrasi Korea didasari oleh kepentingan nasional kedua negara berupa
kepentingan high and low politics.
b. Kepentingan high politics Korea Selatan adalah menghilangkan ancaman
keamanan dari Korea Utara dan kepentingan low politicsnya adalah perluasan
market size dan buruh berupah murah dari Korea Utara guna meningkatkan daya
saing industri kecil dan menengahnya.
c. Kepentingan high politics Korea Utara mempertahankan kekuasaan Dinasti Kim
Il Sung, mempertahankan kepemilikan senjata nuklir dan pencabutan sanksi
Perserikatan Bangsa-Bangsa sedangkan kepentingan low politicsnya adalah
kebutuhan investasi dari Korea Selatan untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonominya.
d. Kepentingan low politics Korea Selatan dan Korea Utara dikerjasamakan dengan
pembentukan Kawasan Industri Kaesong.
e. Kawasan Industri Kaesong memberikan keuntungan bagi Korea Selatan, berupa
nilai tambah ekonomi sebesar USD 1,4 miliar, peningkatan daya saing
perusahaan kecil dan menengah serta pembukaan lapangan kerja sebanyak 786
bagi warganya. Sedangkan bagi Korea Utara memberikan keuntungan, berupa
peningkatan GDP sebesar 16,7 persen, pembukaan lapangan kerja bagi 53.488
orang warganya, Cadangan devisa bagi pemerintah Korea Utara USD 86 juta dari
transfer gaji warganya dan surplus perdagangan sebesar USD 400 juta.
f. Karena kepentingan high politics merupakan kepentingan yang paling vital bagi
keamanan sebuah negara, maka ketika terjadi benturan kepentingan high politics
Korea Utara dengan Korea Selatan berupa latihan militer Korea Selatan dengan
Amerika Serikat yang dipersepsikan oleh negara tersebut sebagai persiapan preemptive military action Korea Selatan dan Amerika Serikat, Korea Utara
mengorbankan kepentingan low politicsnya sebagai instrumen diplomasi yang
menyebabkan tidak terwujudnya spill over, interdependensi dan integrasi politik
atau terhambatnya proses Integrasi Korea.
DAFTAR PUSTAKA
Arsita, Dwi Waskitarini, (2009) Kebijakan Luar Negeri Jepang Terhadap Isu Nuklir
Korea Utara, Thesis, Universitas Indonesia.
Dicken, Peter, (2011) Global Shift, mapping the changing contours of the world
economy, The
Guilford.
IISS Workshop Report (2013) UN Sanctions on North Korea: Prospects and Problem,
IISS.
Journal of International Society, Vol. 3, No. 1, 2016
67
Studi Eksplanatif Proses Integrasi Korea Dalam Teori Liberal Fungsional
Jin-moo, Kim, (2013) Different Stance Between North and South Korea on The Kaesong
Industrial Complex and Its Future Prospect, Korean Institute for Defense
Analyses, Issue 85.
Mas’oed, Mohtar, (1989) Studi Hubungan Internasional Tingkat Teoritis dan Analisis,
Pusat Antar Universitas – Studi Sosial Universitas Gadjah Mada.
Mas’oed, Mochtar, dan MacAndrews Colin, (2008) Perbandingan Sistem Politik, Gajah
Mada University Press.
M. Wroble, Ralph (2014) Ten Years of Kaesong Industrial Complex: a brief history of t
he last
economic cooperation project of the Korean Peninsula, Economic
and
Environmental Studies, Vol.14, No.2.
Nanto, Dick K. (2007) dan Mayin, M. (2007) The Kaesong North-South Industrial
Complex, CRS Report for Congress.
Nanto, Dick K. (2008) The North Korean Economy, leverage and policy analysis, CRS
Report For Congress.
Ohmae, Kenichi, (2003) The Next Step of Globalization, Erlangga.
Peace and Cooperations, White Paper on Korean Unification (1996) Ministry of National
Unification
Richard W, Mansbach dan Rafferty, Kristen L. (2012) Pengantar Politik Global, Nusa
Media
Steans, Jill dan Pettiford, Lioyd, (2009) Hubungan Internasional Perspektif dan Tema,
Pustaka Pelajar.
S, Nuraeini (2010) Regionalisme dalam Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar.
Schwab, Klaus, (2011) Global Competitiveness Report 2011-2012, World Economic
Forum.
White paper Korean Unification, (2013) Ministry of Unification
United Nations Security Council, (2013) Resolution 2094, S/RES/2094/2013.
Journal of International Society, Vol. 3, No. 1, 2016
68
Download