BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Keluarga Sebagai Subsistem Pendidikan Luar Sekolah 1. Pengertian Pendidikan Luar Sekolah Pendidikan Luar Sekolah merupakan salah satu subsistem dari sistem Pendidikan Nasional. Ruang lingkupnya sangat luas dan kompleks. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1991 menerangkan bahwa : “Pendidikan Luar Sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah baik dilembagakan maupun tidak.” Untuk memudahkan dan memahami pengertian mengenai PLS, berikut ini adalah pengertian yang diberikan oleh seorang ahli PLS, yaitu Djudju Sudjana, (2004: 15) : Setiap usaha yang dilakukan dengan sadar, sengaja, teratur dan berencana yang bertujuan untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan dirinya sehingga terwujud manusia yang gemar belajar membelajarkan, mampu meningkatkan taraf hidup dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial atau pembangunan masyarakat. Selanjutnya Coombs (1973) dalam Sudjana (2004:22), mengemukakan pengertian Pendidikan Luar Sekolah : Penddidikan nonformal ialah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, diluar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya. 11 12 Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan PLS dilakukan secara terprogram, terencana, dilakukan secara mandiri ataupun merupakan bagian pendidikan yang lebih luas untuk melayani peserta didik dengan tujuan mengembangkan kemampuan-kemampuan seoptimal mungkin serta untuk mencapai kebutuhan hidupnya. Pendidikan Luar Sekolah sebagai subsistem dari sistem pendidikan nasional mempunyai lima fungsi sebagai berikut : a. Mengembangkan nilai-nilai rohaniah dan jasmaniah peserta didik atas dasar potensi-potensi yang dimiliki oleh mereka sehingga terwujud insan Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, memiliki semangat juang, loyal, serta mencintai tanah air, masyarakat, bangsa dan Negara. b. Untuk mengembangkan cipta, rasa, karsa peserta didik agar mereka mampu memahami lingkungan, bertindak kreatif dan dapat mengaktualisasi diri. c. Untuk membantu peserta didik dalam membentuk dan menafsirkan pengalaman mereka, mengembangkan kerja sama, dan partisipatif aktif mereka dalam memenuhi kebutuhan bersama dan kebutuhan masyarakat. d. Untuk mengembangkan cara berfikir dan bertindak kritis terhadap dan di dalam lingkungannya, serta untuk memiliki kemampuan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, walaupun dalam bentuknya yang paling sederhana, sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi penghidupan dan kehidupan dirinya dan masyarakat. 13 e. Untuk mengembangkan sikap dan moral, tanggung jawab sosial, pelestarian nilai-nilai budaya, serta keterlibatan diri peserta didik dalam perubahan masyarakat dengan berorientasi ke masa depan. 2. Ciri Pendidikan Luar Sekolah Pendidikan luar sekolah yang merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional, pada proses pelaksanaanya berbeda dengan pendidikan persekolahan yang apabila diidentifikasi dapat terlihat beberapa ciri-ciri pendidikan luar sekolah itu sendiri sebagaimana diungkapkan olah Djuju Sudjana (2004 : 30-33) yaitu : a. b. c. d. e. 3. Tujuan pendidikan luar sekolah bersifat jangka pendek dan khusus, serta kurang menekankan pentingnya ijazah. Waktu pelaksanaan pendidikan luar sekolah relatif singkat, menekankan pada masa sekarang, serta menggunakan waktu tidak terus menerus Kurikulum pendidikan luar sekolah berpusat pada kepentingankepentingan peserta didik, mengutamakan aplikasi serta persyaratan masuk ditetapkan bersama peserta didik Proses pembelajaran pendidikan luar skeolah di pusatkan di lingkungan masyarakat dan lembaga, berkaitan dengan kehidupan peserta didik dan masyarakat, stuktur program yang luwes, berpusat pada peserta didik, serta penghematan sumber-sumber yang tersedia. Pengendalian pendidikan luar sekolah dilakukan oleh pelaksana program dan peserta didik serta pendekatan demokratis hubungan antara pendidik Tujuan Pendidikan Luar Sekolah Pendidikan luar sekolah, sebagai kegiatan terorganisir dan sistematis di luar sub sistem pendidikan sekolah, bertujuan untuk membantu peserta didik dan masyarakat sehingga mereka selalu belajar tentang nilai-nilai, sikap, pengetahuan dan keterampilan fungsional yang diperlukan untuk mengaktualisasikan diri dan 14 untuk membangun masyarakat dan bangsa dengan selalu berorientasi pada kemajuan kehidupan di masa depan. Untuk mencapai kehidupan masa depan yang lebih baik harus ada upaya dari seseorang utnuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Hal ini selaras dengan tujuan dari pendidikan luar sekolah yang tercantum dalam PP No. 73 tahun 1991 bab II pasal 2, yaitu : a. Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya. b. Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah, atau melanjutkan ke tingkat dan jenjang yang lebih tinggi. c. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah. Tujuan pembelajaran pendidikan luar sekolah menurut Djuju Sudjana (2004 : 47) adalah : Untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan, dan nilai-nilai yang memungkinkan bagi seseorang atau kelompok untuk berperan serta secara efektif dan efisien dilingkungan keluarganya, pekerjaannya masyarakat, dan bahkan negaranya. 4. Pengertian Pendidikan Keluarga Pendidikan keluarga merupakan bagian integral dari sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Oleh karena itu norma-norma hukum yang berlaku bagi pendidikan di Indonesia juga berlaku bagi pendidikan dalam keluarga. Dasar hukum pendidikan di Indonesia dibagi menjadi tiga dasar yaitu dasar hukum ideal, dasar hukum struktural dan dasar hukum operasional. Dasar hukum ideal adalah pancasila sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum. Oleh karena itu 15 landasan ideal pendidikan keluarga di Indonesia adalah pancasila. Tiap-tiap orang tua mempunyai kewajiban untuk menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila pada anak anaknya. Keluarga merupakan suatu lembaga pendidikan luar sekolah. Pendidikan yang diselenggarakan dalam keluarga dapat digolongkan ke dalam jenis pendidikan yang bersifat informal. Hal ini berarti kedudukan keluarga sebagai lembaga pendidikan yang penting, karena pendidikan pertama dan utama yang diperoleh manusia adalah pendidikan dalam keluarga. Pada kebanyakan situasi, pendidikan keluarga seringkali dimaknai sebagai pendidikan yang terjadi dalam lingkungan keluarga. Oleh karena itu, pendidikan keluarga seringkali lebih digambarkan sebagai iklim atau suasana kehidupan dalam keluarga. Dalam hal iklim keluarga, Soelaeman (1994: 48-50), menjelaskan bahwa istilah iklim lebih merupakan kias untuk melukiskan apa yang diarasakan dan dihayati atau dipersepsi oleh kelompok orang. Suasana ini berkaitan dengan perilaku orang tua, khususnya ibu dalam melakukan pola asuh, dalam arti menjadi teladan dan perilaku mendidik bagi anak-anaknya. Dalam keluarga pendidikan yang diberikan pada anak-anaknya tidak bersifat terbatas. Pendidikan tidak hanya bertujuan agar anak cakap berbicara, dan berjalan yang berguna bagi diri anak itu sendiri, tetapi orang tua senantiasa memberikan masukan terhadap anak mengenai berbagai hal yang menyangkut kehidupan sosial, seperti tata cara pergaulan, sikap saling mencintai sesama manusia dan hubungannya dengan Kholik serta berbagai perbuatan yang menjurus pada kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat. 16 Menurut Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab X mengenai sistem, jalur dan jenis pendidikan, pasal 10 ayat 4 menguraikan batasan pendidikan keluarga yaitu: “Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan.” a. Sifat-Sifat Lembaga Pendidikan Keluarga Keluarga sebagai salah satu lingkungan pendidikan atau lembaga pendidikan di samping sekolah dan masyarakat mempunyai beberapa sifat yang berbeda dengan lembaga atau lingkungan pendidikan lainnya. Sifat-sifat pendidikan keluarga antara lain : 1) Lembaga Pendidikan Tertua Dalam sejarah perkembangan lembaga pendidikan dijelaskan bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang paling tua, dapat dikatakan bahwa lahirnya keluarga sebagai lembaga pendidikan sejak adanya manusia dimana orang tua sebagai pendidiknya dan anak sebagai terdidiknya ini disebabkan karena pendidikan itu ada sejak adanya manusia. 2) Lembaga Pendidikan Pertama dan Utama Di dalam keluarga anak pertama-tama menerima pendidikan dan pendidikan yang diperoleh dalam keluarga ini merupakan pendidikan yang terpenting atau utama terhadap pribadi anak. Pola kehidupan di dalam keluarga member corak pada kepribadian anak yang hidup di dalam keluarga tadi. 17 3) Bersifat Kodrat Keluarga adalah lembaga pendidikan bersifat kodrat karena terdapatnya hubungan darah antara pendidik dan anak didiknya. Sifat pendidikan keluarga yang seperti ini maka wewenang pendidik dalam keluarga juga bersifat kodrat, dan wewenang yang wajar ini tak dapat diganggu gugat kecuali jika keluarga tersebut tidak mampu melaksanakan tugasnya tadi. b. Fungsi Pendidikan Keluarga Fungsi pendidikan keluarga antara lain : 1) Pengalaman Pertama Masa Kanak-kanak Lembaga pendidikan keluarga memberi pengalaman utama yang merupakan faktor penting dalam perkembangan pribadi anak. Para ahli ilmu jiwa misalnya Freud dan Alder dalam Soelaeman (1994:112) sangat menekankan pentingnya penghidupan keluarga, sebab pengalaman masa kanak-kanak yang menyakitkan walaupun sudah jauh terpendam di masa silam tapi dapat mengganggu keseimbangan jiwa di dalam perkembangan individu selanjutnya. 2) Menjamin Kehidupan Emosional Anak Melalui pendidikan keluarga ini kehidupan social atau kebutuhan akan kasih sayang dapat dipenuhi atau dapat berkembang dengan baik, hal ini disebabkan karena adanya hubungan darah antara pendidik dan anak didik, karena orang tua hanya menghadapi sedikit anak didik dan arena hubungan tadi didasarkan atas rasa cinta kasih saying murni. Kehidupan emosional ini 18 merupakan salah satu faktor terpenting di dalam membentuk pribadi seseorang. 3) Menanamkan Dasar Pendidikan Moral Di dalam keluargalah tatanan dasar pendidikan moril tidak diberikan dengan penerangan atau ceramah atau kuliah tetapi melalui contoh-contoh yang konkrit dalam perbuatan hidup sehari-hari. 4) Memberikan Dasar Pendidikan Sosial Kehidupan keluarga penuh rasa tolong menolong dan gotong royong secara kekeluargaan, hal tersebut memupuk berkembangnya benih-benih kesadaran sosial pada anak-anak. 5) Memberikan Pendidikan Agama Bagi Anak Selain sebagai lembaga untuk menanamkan pendidikan moral, keluarga juga berperan besar dalam proses internalisasi dan transformasi nilai-nilai keagamaan ke dalam pribadi anak, masa anak-anak adalah waktu yang baik dan tepat untuk meresapkan nilai-nilai agama. Cara yang dapat dilakukan misalnya dengan mengajak anak beribadah bersama atau shalat bersama dan melibatkan anak dalam setiap kegiatan keagamaan. 5. Keluarga Sebagai Sub Sistem Pendidikan Luar Sekolah Pada bagian pembahasan ini penulis akan menggambarkan mengenai keberadan pendidikan keluarga sebagai sub sistem pendidikan luar sekolah. Keluarga juga termasuk kedalam tri pusat pendidikan. 19 Menurut Ki Hajar Dewantoro yang kita kenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional, mengungkapkan sistem “Tri Centra” dengan mengatakan “Didalam hidupnya anak-anak adalah tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting baginya, yaitu: keluarga, sekolah dan masyarakat.” Sedangkan Djudju Sudjana (2004:43) mengungkapkan trikondisi/pusat pendidikan tersebut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keterkaitan antara kedua sub sistem pendidikan sekolah dan sub sistem pendidikan luar sekolah. Dan bagan berikut ini, akan terlihat ketiga pusat pendidikan tersebut menggambarkan rentetan keterkaitan antara sub sistem pendidikan luar sekolah dan sistem pendidikan sekolah. BAGAN II.1 KETERKAITAN ANTARA KEDUA SUBSISTEM PENDIDIKAN SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL SUB SISTEM PLS SUB SISTEM PS PROGRAM PENDIDIKAN NONFORMAL PROGRAM PENDIDIKAN INFORMAL PROGRAM PENDIDIKAN FORMAL DI LINGKUNGAN MASYARAKAT/LE MBAGA DI LINGKUNGAN KELUARGA DI LINGKUNGAN SEKOLAH TRI PUSAT / TRI KONDISI PENDIDIKAN Sumber : Djudju Sudjana (2004:46) 20 Dari uraian bagan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa keluarga memang merupakan bagian dari tricentra/tipusat/trikondisi pendidikan yang keberadaannya sangat utama bagi pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Terlebih lagi dengan adanya lingkungan masyarakat dan sekolah sebagai penopang bagi terlaksananya kegiatan pendidikan. Beracuan pada Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka ketiga pusat lingkungan pendidikan tadi dapat di golongkan ke dalam dua satuan yaitu lingkungan masyarakat/lembaga dan keluarga masuk kepada satuan pendidikan luar sekolah. Sedangkan lingkungan sekolah masuk kepada satuan pendidikan sekolah. Selaras dengan itu menurut Djudju Sudjana (2004:46), seperti yang diaktualisasikan lewat bagan di atas, lingkungan masyarakat/lembaga dan keluarga termasuk bagian dari “sub sistem pendidikan luar sekolah”, dan lingkungan sekolah sebagai “sub sistem pendidikan sekolah”. B. Konsep Keluarga 1. Pengertian Keluarga Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta "kulawarga". Kata kula berarti "ras" dan warga yang berarti "anggota". (Wikipedia) Keluarga adalah lingkungan di mana terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah. Keluarga sebagai kelompok sosial terdiri dari sejumlah individu, memiliki hubungan antar individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab di antara individu tersebut. 21 Khairudin (2008:4) keluarga adalah merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Menurut Departemen Kesehatan RI (1998) keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Demikianlah kita melihat bahwa pengertian keluarga ada yang dikaitkan dengan hubungan darah dan ada yang dikaitkan dengan hubungan sosial. Baik keluarga yang didasarkan pada hubungan darah maupun keluarga yang dikaitkan dengan hubungan sosial dapat kita temukan dalam arti luas dan dalam artian sempit. Menurut Soelaeman (1994:6) arti keluarga dalam hubungan sosial tampil dalam berbagai jenis. Ada yang berkaitan dengan wilayah geografis yang menunjukan dimana mereka berada atau dari mana mereka berasal, ada pula keluarga yang disamping pengaitan dengan wilayah geografis juga diwarnai pengaitan dengan silsilah atau keturunan, ada pula yang merujuk kepada golongan masyarakat berkaitan dengan lingkungan kerja, dan ada pula yang berkaitan dengan pola kehidupan dan pencaharian. Dalam arti luas, keluarga yang berkaitan dengan hubungan meliputi semua pihak yang ada hubungan darah sehingga sering tampil sebagai arti clan atau 22 marga; dalam kaitan inilah dalam berbagai budaya setiap orang memiliki nama kecil dan nama keluarga atau marga. Dalam kehidupan sehari-hari kita temukan pula istilah keluarga itu diartikan sebagai keluarga besar atau extended family yang disamping ayah-ibu-anak termasuk pula ke dalamnya paman, bibi, kakek, nenek, cucu, dan sebagainya yang kadang-kadang dinamai kerabat. Sedangkan dalam artian sempit, keluarga yang didasarkan pada hubungan darah dan terdiri atas ayah-ibu-anak, dijuluki dengan istilah keluarga inti atau nuclear family. Maksudnya dari persekutuan hidup yang tinggal dan hidup bersama dalam rumah itu, pasangan suami-istri yang berfungsi dan berperan sebagai ayah-ibu dan anak yang lahir dari hubungan mereka sebagi suami-istrilah yang merupakan inti dari kehidupan tersebut. 2. Ciri-ciri Keluarga Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk meyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan keorangtuaan dan pemeliharaan anak. Walaupun dalam menentukan atau mencari persamaan dan perbedaan pada semua keluarga, terdapat ciri-ciri secara umum dan khusus, yang akan terdapat pada keluarga dalam bentuk dan tipe apapun. a. Ciri-ciri Umum Ciri-ciri umum seperti yang dikemukakan oleh Mac Iver dan Page dalam Khairudin (2008:6) yaitu : 1) Keluarga merupakan hubungan perkawinan; 23 2) Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara; 3) Suatu sistem tata nama, termasuk bentuk perhitungan garis keturunan; 4) Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak; 5) Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga yang walau bagaimanapun tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok keluarga. Burgess dan Locke dalam Khairudin (2008:6) mengemukakan empat karakteristik lembaga keluarga, yakni sebagai berikut: a) Keluarga merupakan kesatuan orang yang diikat melalui jenjang perkawinan untuk melanjutkan fungsi reproduksi. b) Keluarga memiliki anggota keluarga, yaitu suami, istri, anak, atau saudara yang berada dalam satu naungan rumah tangga. c) Anggota keluarga memiliki peranan sosial masing-masing sesuai dengan norma yang berlaku. d) Keluarga berfungsi untuk memelihara kebudayaan yang pada prinsipnya berakar dari masyarakat b. Ciri-ciri Khusus Menurut Khairudin (2008:7) dari seluruh organisasi, kecil maupun besar yang terdapat di dalam masyarakat, tidak ada yang lebih penting dari keluarga 24 dalam intensitas pengertian sosiologisnya. Organisasi keluarga ini dalam beberapa hal tidaklah sama dengan asosiasi lainnya, disamping memiliki ciri-ciri umum sebagai suatu organisasi lazimnya, keluarga juga memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut: 1) Kebersamaan, di antara bentuk-bentuk organisasi sosial yang lain keluarga merupakan bentuk yang paling universal, yang dapat ditemukan dalam semua masyarakat. 2) Dasar-dasar emosional, hal ini didasarkan pada suatu dorongan yang mendasar, seperti perkawinan, menjadi ayah, dan perhatian orang tua. 3) Pengaruh perkembangan, hal ini membentuk karakter individu melalui pengaruh kebiasaan-kebiasaan organis maupun mental. 4) Ukuran yang terbatas, keluarga dibatasi oleh kondisi-kondisi biologis. 5) Tanggung jawab para anggota, keluarga memiliki tuntutan yang lebih besar dan kontinu daripada asosiasi-asosiasi yang lainnya. 6) Aturan kemasyarakatan, masyarakat diatur oleh peraturan yang sah dan kaku dalam hal yang tahu. 7) Sifat kekekalan dan kesementaraanya, keluarga merupakan suatu yang demikian permanen dan universal dan sebagai asosiasi merupakan organisasi terkelompok di sekitar keluarga yang menuntut perhatian khusus. 3. Fungsi Keluarga Menurut Soelaeman (1994:84) fungsi-fungsi keluarga ada beberapa jenis. Kita memang dapat membedakannya yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi 25 tidak dapat memisahkannya. Sulit pula untuk disebut jenis fungsi mana yang paling utama, karena masing-masing fungsi keluarga itu sama pentingnya bagi keutuhan dan kelancaran kehidupan keluarga. Fungsi-fungsi keluarga tersebut adalah : a. Fungsi Edukasi Fungsi edukasi adalah fungsi keluarga yang berkaitan dengan pendidikan anak khsusunya pendidikan serta pembinaan anggota keluarga pada umumnya. Fungsi edukasi ini tidak sekedar menyangkut pelaksanaannya, melainkan menyangkut pula penentuan dan pengukuhan landasan yang mendasari upaya pendidikan itu, pengarahan dan perumusan tujuan pendidikan, perencanan dan pengelolaannya, penyediaan dana dan sarananya, pengayaan wawasannya dan lain sebagainya yang ada kaitan dengan upaya pendidikan itu. Pelaksanaan fungsi edukasi keluarga merupakan realisasi salah satu tanggung jawab yang dipikul orang tua. Sebagai salah satu momen dari tripusat pendidikan (istilah Ki Hajar Dewantara) keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama bagi anak. b. Fungsi Sosialisasi Tugas keluarga dalam mendidik anaknya tidak saja mencakup pengembangan individu anak agar menjadi pribadi yang mantap, akan tetapi meliputi pula upaya membantu dan mempersiapkannya menjadi anggota masyarakat yang baik. 26 c. Fungsi Proteksi atau Perlindungan Baik fungsi pendidikan maupun fungsi sosialisasi anak tidak saja melibatkan anak pada saat pelaksanaannya berlangsung, melainkan menjangkau pula masa depannya. Secara implisit kedua fungsi tersebut mengandung pengakuan akan adanya fungsi ketiga, yaitu fungsi proteksi atau perlindungan. Maksud memberikan perlindungan ialah agar anak merasa terlindungi dengan perkataan lain agar anak merasa aman. Apabila anak merasa aman, barulah ia dapat dengan bebas melakukan penjelajahan atau eksplorasi terhadap lingkungannya sebagaimana diharapkan fungsi sosialisasi anak. d. Fungsi Afeksi atau Perasaan Dalam keluarga terjadi hubungan sosial antara anak dan orang tuanya yang didasari dengan kemesraan. Hubungan afeksi ini tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan, persahabatan, identifikasi dan persamaan mengenai nilai-nilai. e. Fungsi Religius Keluarga mempunyai fungsi religius. Artinya keluarga dalam fungsi ini adalah berkewajiban memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga untuk menanamkan keyakinan bahwa ada keyakinan lain yang mengatur kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah di duni f. Fungsi Ekonomis Keluarga merupakan suatu kesatuan ekonomis. Tugas kepala keluarga dalam hal ini adalah mencari sumber-sumber kehidupan dalam memenuhi fungsi- 27 fungsi keluarga yang lain, kepala keluarga bekerja untuk mencari penghasilan, mengatur penghasilan itu, sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhankebutuhan keluarga. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa sang istri tak diperbolehkan turut berupaya mencari sumber penghasilan, namun dalam keadaan demikian tanggung jawab mencari nafkah keluarga tetaplah kepala keluarga. g. Fungsi Rekreasi Keluarga memerlukan suasana akrab, ramah dan hangat diantara anggota- anggotanya, dimana hubungan antar anggota keluarga bersifat saling mempercayai, bebas tanpa beban dan diwarnai suasana santai. Untuk mencapai itu semua, mereka akan lebih senang mencari hiburan di luar rumah. Tugas keluarga dalam fungsi rekreasi ini tidak harus selalu pergi ke tempat rekreasi, tetapi yang penting bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga sehingga dapat dilakukan di rumah dengan cara nonton TV bersama, bercerita tentang pengalaman masing-masing, dsb. h. Fungsi Biologis Fungsi biologis adalah fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan- kebutuhan biologis anggotanya. Salah satunya dalah kebutuhan akan perlindungan fisik guna kelangsungan hidupnya, perlindungan kesehatan, perlindungan dari rasa lapar, haus dan kedinginan, kepuasan bahkan kenyamanan dan kesegaran jasmani, termasuk juga kebutuhan biologis ialah kebutuhan seksual dengan keinginan untuk mendapatkan keturunan yang dapat dipenuhi dengan wajar dan layak sebagai suami istri dalam keluarga. 28 4. Peran Keluarga Dalam Perkembangan Anak Dinamika kehidupan yang terus berkembang membawa konsekuensi- konsekuensi tertentu terhadap kehidupan keluarga. Banyaknya tuntutan kehidupan yang menerpa keluarga beserta dampak krisis yang ditandai dengan bergesernya nilai-nilai dan pandangan tentang fungsi dan peran keluarga menyebabkan terjadinya berbagai perubahan mendasar tentang kehidupan keluarga. Struktur, pola hubungan, dan gaya hidup keluarga banyak mengalami perubahan. Jika dulu biasanya ayah berperan sebagai pencari nafkah tunggal dan ibu sebagai pengelola utama kehidupan di rumah, maka sekarang banyak di antara keluarga (khususnya di kota-kota) yang tidak lagi seperti itu. Menurut Gunarsa (2004) dalam Khairudin (2008:78) orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga, mengajar, mendidik, serta memberi contoh bimbingan kepada anak-anak untuk mengetahui, mengenal, mengerti, dan akhirnya dapat menerapkan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama dikenal kepada anak, atau dapat dikatakan bahwa seorang anak itu mengenal kehidupan sosial pertamatama di dalam lingkungan keluarga. Adanya interaksi antara anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya menyebabkan seorang anak menyadari akan dirinya, bahwa ia berfungsi sebagai individu dan juga sebagai makhluk sosial. Sebagai individu ia harus memenuhi segala kebutuhan hidupnya demi kelangsungan hidupnya didunia ini. Sebagai makhluk sosial ia harus menyesuaikan diri dengan kehidupan bersama yaitu saling tolong menolong dan 29 mempelajari adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat yang dikenalkan oleh orang tuanya, yang akhirnya dimiliki oleh anak-anak tersebut. Sehingga dengan demikian perkembangan seorang anak di dalam keluarga itu sangat ditentukan oleh kondisi situasi keluarga dan pengalaman-pengalaman yang dimilik oleh orang tuanya. Didalam kehidupan masyarakat akan kita jumpai bahwa perkembangan anak yang satu dengan yang lainnya akan berbeda-beda. Peran keluarga terhadap perkembangan anak sangatlah besar, oleh sebab itu, keluarga yang didalamnya terdapat orang tua, harus benar-benar bisa mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Parke (2004) dalam Santrock (2007: 164) Orang tua memiliki peran menjadi manajerial dalam kehidupan anaknya. Peran manajerial terutama penting dalam perkembangan sosioemosional anak. Sebagai manajer, orang tua boleh mengatur kesempatan anak untuk melakukan kontak sosial dengan teman sebaya, teman dan orang dewasa. Orang tua memainkan peran penting dalam membantu perkembangan anak dengan memulai kontak antara anak dengan teman bermainnya yang potensial. Hubungan antara orang tua dan anak dalam keluarga sangat penting artinya bagi perkembangan kepribadian anak karena orang tua merupakan orang pertama yang dikenal oleh anak dan melalui orang tualah anak mendapat kesan-kesan pertama tentang dunia luar. Orang tua merupakan orang pertama yang membimbing tingkah laku anak. Orang tua akan bereaksi terhadap tingkah laku anak baik itu dengan menerima, menyetujui, membenarkan, menolak atau melarang. Melalui pemberian nilai tersebut maka dalam diri anak akan terbentuk 30 norma-norma tentang apa yang baik atau buruk dan apa yang boleh atau tidak boleh. Dengan demikian terbentuklah hati nurani anak yang mengarahkan tingkah laku selanjutnya dan kewajiban orang tua adalah mengembangkan hati nurani yang kuat dalam diri anak. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan dijelaskan peran orang tua dalam perkembangan anaknya, peran ayah dan ibu tersebut adalah: 1) Peran Ayah Dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga ayah berperan sebagai kepala keluarga, ia memimpin kehidupan keluarga dan bertanggung jawab terhadap keseluruhan kehidupan keluarga itu. Pada kaitannya anak dan keluarga, ayah adalah sebagai pelindung, salah satu cara yang dapat ia gunakan sebagai pelindung adalah dengan menciptakan komunikasi antar anggota keluarga. Ayah yang baik akan berperan sebagi pendengar yang baik bagi anggota keluarganya khususnya anak, ia akan mendengar setiap pendapat dan usulan yang diajukan oleh setiap anggota keluarganya, memberikan kebenaran dan penghargaan akan setiap pendapat yang diajukan tersebut dan jika pandangan anggota keluarga tersebut salah maka ia akan membimbing atau meluruskannya dengan bijak. Dalam permulaan kehidupan anak, kehidupan ayah masih berada di belakang layar dan belum langsung dihayatinya sebab sehari-hari anak lebih berurusan dengan ibu dalam memenuhi kebutuhan vitalnya. Baru disaat-saat kemudian ayah akan tampil sebagai lambang wibawa bagi seluruh anggota keluarga dan berperan sebagai anutan dan arahan sehingga ia mendapat tempat 31 dihati anak. Secara umum peran ayah dalam hal pendidikan dan pengasuhan anak meliputi: a) Sumber kekuasaan dalam keluarga b) Penghubung intern keluarga dengan masyarakat atau dunia luar c) Pemberi perasaan aman bagi seluruh anggota keluarga d) Pelindung terhadap ancaman dari luar e) Hakim atau yang mengadili jika terjadi perselisihan f) Pendidik dalam segi-segi rasional 2) Peran Ibu Peranan ibu berkaitan dengan melahirkan anak dan mendidiknya serta mengarahkannya ke kehidupan dewasa, ibu disini berperan sebagai jembatan yang menhubungkan dunia anak dan dunia dewasa, menghubungkan anak dengan dunia lain dan dengan masyarakat. Sehingga ibu dapat berperan sebagai pengamat sifat dan perkembangan anak. Selain itu tugas asli dan utama seorang ibu adalah menjadi ibu rumah tangga. Tugas ibu rumah tangga bukan hanya memasak dan mengatur rumah, tetapi lebih penting dari itu ialah mendidik anak-anak baik fisik maupun mentalnya. Pendidikan dirumah merupakan dasar, dan di atas dasar inilah pendidikan selanjutnya ditegakkan. Jika pendidikan dasar ini tidak kuat atau tidak benar maka pendidikan selanjutnya akan mempunyai dasar yang tidak kuat, bahkan dasar yang salah. Dengan demikian akan muncul anggota masyarakat yang pertumbuhan dan pendidikannya tidak tepat. Dari hal tersebut kita dapat melihat bahwa pendidikan 32 di rumah di bawah asuhan ibu mempunyai hubungan yang erat dengan masa depan bangsa dan negara. Dalam tumbuh kembang anak ibu sangat berperan penting dalam perkembangannya. Seorang ibu harus mengetahui dan mengenali tanda-tanda pertumbuhan anak sesuai dengan fase-fase pertumbuhannya. Karena ibu merupakan tempat yang pertama dan utama pendidikan yang didapatkan oleh anak sebelum mereka mendapatkan pendidikan di sekolah. Banyak rangsangan atau pendidikan yang dapat ibu lakukan ialah melalui bagaimana ibu mengasuh anak atau melalui pola pengasuhan anak yang ibu lakukan. Banyak pola asuh yang dapat diterapkan mulai dari pola asuh yang senderung otoriter hingga senderung membiarkan yang kesemuanya itu berdampak pada kehidupan anak selanjutnya. Peran orangtua dalam pengasuhan anak berubah seiring pertumbuhan dan perkembangan anak. Maka, diharapkan orangtua dapat memahami fase-fase perkembangan anak dan dapat mengimbanginya. Seorang anak perlu melakukan aksi-aksi terhadap lingkungannya agar dapat mengembangkan cara pandang yang kompleks dan cerdas atas setiap pengalamannya. Salah satu tugas orangtua pun adalah memberi pengalaman yang dibutuhkan oleh anak. Oleh karena itu berbagi peranlah dengan baik antara ayah dan ibu, agar kecerdasan dan perkembangan anak dapat berkembang dengan baik dan sempurna. 33 C. Konsep Pola Asuh Anak 1. Pengertian Pola Asuh Anak Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1999:778) pola asuh berasal dari dua kata yaitu pola dan asuh. Pola artinya model, sedangkan asuh berarti membimbing, membantu dan melatih. Jadi pola asuh adalah menjaga (merawat dan mendidik) anak atau membimbing, membantu atau melatih supaya yang dibimbing dapat berdiri sendiri. Baumrind dalam Mualifah (2008: 42) berpendapat bahwa “pola asuh pada prinsipnya merupakan parental control, yaitu bagaimana orang tua mengontrol, membimbing dan mendampingi anak-anaknya untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangannya menuju pada proses pendewasaan”. Soelaeman (1994:162) upaya orang tua dalam merealisasikan peran dan fungsi di keluarga akan menimbulkan berbagai cara orang tua dalam membimbing, mendidik dan merawat, serta mengasuh anak-anaknya agar dapat berkembang dengan baik. Cara orang tua dalam mengasuh anak inilah yang kemudian disebut dengan pola asuh orang tua. Sedangkan menurut Khairudin (2008:35) adalah bila ditinjau secara teoritis dalam pengertian asuhan terkandung hubungan interaksi antara orang tua dengan anak dan hubungan tersebut adalah memberikan pengarahan dari satu pihak ke pihak lain, pengertian di atas pada dasarnya merupakan proses sosialisasi yang diberikan orang tua kepada anaknya. Pengertian di atas dijelaskan bahwa hubungan interkasi orang tua dengan anak secara umum tercakup oleh adanya perlakuan orang tua terhadap sikap, nilai- 34 nilai minatnya mengasuh anak, hal ini memperlihatkan bahwa setiap orang tua memiliki individualitas dalam cara mengasuh anak mereka dan tentunya hal ini memberikan pengaruh yang berbeda-beda bagi perkembangan anak. Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pola asuh orang tua yaitu suatu cara atau upaya perlakuan orang tua dalam membimbing, mendidik, merawat dan berinteraksi dengan anaknya, serta mengasuh anak-anaknya agar dapat berkembang dengan baik. 2. Jenis Pola Asuh Anak Keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan pola asuh anak, jenis pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya juga menentukan keberhasilan perkembangan anak. Kesalahan dalam pengasuhan anak di keluarga akan berakibat pada kegagalan dalam perkembangan anak yang baik. Kegagalan keluarga dalam membentuk perkembangan anak yang baik akan berakibat buruknya masa depan anak. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa pola asuh sangat tergantung pada pendidikan pola asuh anakanak mereka dalam keluarga. Menurut Baumrind dalam Santrock (2007: 167), psikolog pada umumnya setuju membagi pola asuh orang tua ini kedalam jenis pola asuh ini, yaitu: a. Authoritarian Parenting adalah gaya yang membatasi dan menghukum di mana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua yang otoriter menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir 35 perdebatan verbal. Orang tua yang otoriter mungkin juga sering memukul anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa menjelaskannya, dan menunjukan amarah pada anak. Anak yang dari orang tua yang otoriter sering kali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan komunikasi yang lemah. b. Authoritative Parenting adalah gaya orang tua mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. Orang tua yang otoritatif menunjukan kesenangan dan dukungan sebagi respons terhadap perilaku konstruktif anak. Mereka juga mengharapkan perilaku anak yang dewasa. Mandiri, dan sesuai dengan usia mereka. Anak yang memiliki orang tua yang otoritatif sering kali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi, mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerjasama dengan orang dewasa dan bisa mengatasi stress dengan baik. c. Permissive indifferent atau pengasuhan yang mengabaikan adalah gaya di mana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak memiliki orang tua yang mengabaikan merasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting daripada diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial. Banyak di antaranya memiliki pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri. Mereka sering kali memiliki harga diri yang rendah, 36 tidak dewasa, dan mungkin terasing dari keluarga. Dalam masa remaja, mereka mungkin menunjukan sikap suka membolos dan nakal. d. Permissive Indulgent atau pengasuhan yang menuruti adalah gaya pengasuhan di mana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua macam ini membiarkan anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka dengan cara ini karena mereka percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Namun, anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan-kesulitan dalam hubungan dengan teman sebayanya. Masih menurut Baumrind (Papalia, 2001:300) menyatakan bahwa model pola asuh yang biasa diterapkan kepada anak adalah : a. Authoritarian, dalam pola asuh ini orang tua mencoba untuk membuat anakanaknya memenuhi standar dari perilakunya, kewenangannya untuk menghukum dan penuh ketegasan. Mereka lebih objektif dan kurang hangat dari orang tua lainnya. b. Permissive, dalam pola asuh ini orang tua serba membolehkan, mandiri, self expression dan self regulation. Para orang tua lebih mempertimbangkan pada 37 kemampuan sumbernya, bukan pada modelnya. Mereka pada umumnya membuat beberapa permintaan dan membolehkan anak-anak untuk dapat memonitor kegiatan orang tua sebanyak mungkin. Ketika mereka membuat peraturan, mereka membicarakannya menjelaskan dengan alasan anak-anak mereka. mengenai Mereka juga keputusan dari kebijaksanaannya dan jarang menghukum. Mereka bersahabat tidak mengawasi dan tidak memaksa. c. Authoritative, dalam pola asuh ini orang tua menghargai kepribadian anakanaknya tetapi juga menitik beratkan pada pemaksaan. Mereka percaya pada kemampuannya untuk menuntun anak-anaknya tetapi mereka juga menhargai keputusan yang mandiri dari anak-anaknya, minatnya, pilihannya dan kepribadiannya. Mereka penyayang dan penerima tetapi juga meminta anakanaknya berperilaku baik dan mereka tetap mempertahankan standarnya dan mereka sudi untuk menentukan batasannya. Mereka juga menghukum dengan bijaksana, kadang-kadang juga suka menampar jika perlu tanpa kompromi, tetapi kemudian menjelaskan alasannya di balik perilaku dan desakan memberi dan menerima. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh Pola asuh yang diterapkan orang tua dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: budaya, agama, pekerjaan orang tua, usia orang tua, jumlah anggota keluarga, latar belakang pendidikan orang tua,dan lain sebagainya. Sesuai dengan 38 yang diungkapkan Maccoby (1980: 76) bahwa faktor yang mempengaruhi pola asuh yaitu: a. Status sosial ekonomi keluarga Keluarga yang memiliki status sosial menengah ke bawah cenderung memiliki tingkat stress yang tinggi sehingga orang tua biasaya menitikberatkan pada kepatuhan. Mereka hanya menerapkan hukuman fisik tanpa memberikan pengertian kepada anak. Pola asuh yang diterapkan cenderung bersifat authoritarian. Sedangkan keluarga yang memiliki status sosial lebih tinggi cenderung bersifat authoritative. Orang tua cenderung menunjukan kehangatan dan kasih sayang yang lebih b. Pekerjaan orang tua Jenis pekerjaan tidak langsung mempengaruhi bentuk pola asuh orang tua. Jenis pekerjaan biasanya sangat berhubungan dengan tingkat pendidikan. Hasil penelitian Nuraeni (2006) menunjukan bahwa orang tua yang memiliki pendidikan tinggi umunya mengetahui bagaimana perkembangan anak dan pengasuhan yang baik dalam perkembangan tersebut. Sedangkan orang tua yang mempunyai latar belakang pendidikan rendah, orang tua kurang memperhatikan perkembangan anak karena orang tua masih awam dan kurang mengetahui perkembangan anak. Keluarga yang berasal dari status sosial yang lebih tinggi biasanya menggunakan penalaran dan perundingan yang bergantung pada keterampilan yang dimiliki. Orang tua lebih sering berdiskusi dengan anaknya daripada memberikan hukuman fisik. 39 c. Ukuran keluarga Keluarga besar yang terdiri dari banyak anggota keluarga cenderung kurang memperhatikan kesejahteraan anaknya. mereka lebih bersifat membebaskan anaknya dalam berperilaku. Namun tidak jarang pula mereka memberikan hukuman fisik tanpa alasan kepada anak. d. Pendidikan ibu Peran ibu sangat penting dalam pengasuhan anak. ibu yang dibekali pendidikan yang rendah cenderung memiliki ketegangan yang lebih tinggi. Ia kurang dibekali dengan ilmu pengetahuan dan kurang memiliki kesempatan untuk mendapat informasi-informasi penting mengenai kehidupan. Ini sangat berpengaruh terhadap harga dirinya, cara-cara ibu berkomunikasi dan berpikir, dan cara ibu dalam mengatasi masalah. Ibu biasanya membebaskan anak untuk memutuskan sesuatu. 4. Dimensi-dimensi Pola Asuh Dimensi-dimensi pola asuh orang tua terhadap anaknya terbagi menjadi dua dimensi yaitu dimensi kontrol dan dimensi kehangatan (Baumrind dalam Santrock, 2007: 259). Menurut Baumrind (Chodijah, 2009:31) kedua dimensi pola asuh orang tua tersebut dapaat dijelaskan sebagai berikut: a. Dimensi Kontrol (demandingness). Dimensi ini berhubungan dengan sejauhmana orang tua mengharapkan dan menuntut kematangan serta tingkah laku yang bertanggungjawab dari anak. Dalam kehidupan sehari-hari ada 40 orang tua yang menuntut dan berharap banyak dari anak, selain itu ada pula yang bersifat permisif dan kurang menuntut. Pengertian kontrol mencakup: 1) Demandingness/tuntutan, dapat dikatakan bahwa tuntutan adalah tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh anak. Tujuan yang dimaksud orangtua dapaat bermacam-macam antara lain ada orang tua yang mengharapkan anaknya membantu tugas-tugas kerumahtanggaan, menuntut anak untuk cepat beradaptasi dimanapun ia berada. 2) Restrictiveness/pembatasan-pembatasan, keadaan ini ditandai dengan banyaknya larangan yang dikenakan kepada anak. orangtua cenderung melakukan pembatasan/kekangan terhadap aktivitas anak tanpa disertai penjelasan yang memadai mengapa hal tersebut tidak boleh dan bagaimana sebaiknya itu dilakukan. 3) Instrusivness/campur tangan, instrusivness disini memperlihatkan suatu keadaan dimana orang tua melakukan intervensi terhadap anak dalam semua aktivitas anak. Campur tangan tersebut menyebabkan anak kurang dapat mengembangkan self of control, yaitu kesadaran bahwa dirinya mempunyai kontrol sehingga dapat mempengaruhi apa yang terjadi pada dirinya dan sekelilingnya. Dengan demikian anak memperlihatkan sikap tidak berdaya berupa sikap pasif, kurang inisiatif, kehilangan motivasi. Sebaliknya anak yang memiliki sense of control yang bagus akan merasa bahwa ia dapat mempengaruhi lingkungan dalam usaha mencapai tujuan sehingga ia akan lebih aktif, mandiri dan memiliki inisiatif. 41 4) Strictneass/keketatan, dikaitkan dengan orang tua yang bersikap ketat dan tegas, dengan tujuan agar anak mematuhi dan memenuhi semua aturan dan tuntutan yang diberikan orang tua. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa sikap ketat yang dilakukan secara konsisten mempunyai korelasi positif dengan kemampuan mengendalikan impuls agresif, memiliki kontrol diri yang kuat, implusif. Medinus dalam Chodijah (2009:32) menekankan bahwa “disiplin yang ditekankan secara keras tidak konsisten dan sewenang-wenang akan menimbulkan rasa sentiment, kekerasan dan kecemasan pada anak”. 5) Arbitrary exercise of power/penggunaan kekuasaan sewenang-wenang orangtua yang menggunakan kekuasaan sewenang-wenang memiliki kontrol yang tinggi dalam menegakkan aturan-aturan dan pembatasapembatasan. Orang tua mungkin akan menggunakan hukuman bila perilaku anak menyimpang dari yang diharapkannya. Dalam menghukum anak, orang tua tidak memberikan penjelasan-penjelasan. b. Dimensi Kehangatan (responsiveness). Dimensi ini berhubungan dengan tingkat respon orang tua terhadap kebutuhan-kebutuhan anak dalam penerimaan dan dukungan. Ada yang hangat menerima, ada pula yang tidak responsive dan menolak (Steinberg dalam Triani, 2003). Orang tua yang responsive adalah orangtua yang hangat. Menerima keadaan diri anak dapat diartikan sebagai pemberian kasih sayang tanpa mengharapkan imbalan. Orangtua yang menerima anak, memiliki perhatian besar terhadap anak serta memberikan kasih sayang. Orang tua juga memberikan fasilitas-fasilitas 42 untuk mengembangkan kemampuan serta minat anak. Ciri lain yang menunjukan adanya kehangatan yaitu: 1) Bersedia meluangkan waktu agar bisa bekerjasama dalam suatu kegiatan 2) Cepat tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan anak 3) Orang tua yang memperhatikan kesejahteraan anak 4) Peka terhadap keadaan emosi anak 5) Siap untuk menanggapi kecakapan/keberhasilan anak serta menunjukan cinta kasihnya. Tentang kehangatan, Maccoby dalam Chodijah (2009:33), mengatakan lebih lanjut bahwa kehangatan merupakan aspek penting dalam pengasuhan anak, karena dapat menciptakan suasana yang menyenangkan anak dalam kehidupan keluarga. Kehangatan yang diberikan keluarga pada anaknya akan menghasilkan anak yang mudah untuk di didik. Dimensi-dimensi pola asuh tersebut dapat didukung dengan bagaimana upaya pola asuh yang dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak. Menurut Abdullah Nashish Ulwan (1981:174) mengemukakan cara medidik yang influentif terhadap anak, yaitu: a. Pendidikan dengan keteladanan, merupakan cara yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk anak didalam moral spiritual dan sosial dimana cara ini menitik beratkan kepada pendidik agar anak akan meniru segala tindak tanduk orang tua untuk diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari 43 b. Pembiasaan, merupakan cara yang diterapkan dengan adanya suatu pengajaran dan pembiasaan sehingga anak berada dalam pembentukan edukatif dan sampai pada hasil-hasil yang memuaskan, karena semuanya bersandar pada cara memperhatikan dan mengawasi berdasarkan bujukan dan ancaman yang bertitik tolak dari bimbingan dan pengajaran. c. Pemberian nasehat, dimana dalam penerapannya orang tua dapat memperjelas dibantu dengan penggunaan, perumapamaan, gambaran dan contoh disamping segala apa yang bisa disaksikan oleh khalayak dengan mata kepalanya sendiri yaitu dengan peristiwa-peristiwa yang berada dalam jangkauan mereka sehingga lebih berbekas, mudah dipahami, lebih melekat di akal. d. Penghargaan dan hukuman, merupakan cara mencurahkan perhatian dan pemberian hukuman kepada anak ketika berbuat salah dan senantiasa mengikuti perkembangan anak. Dengan adanya pemberian penghargaan dan pemberian hukuman sebagai bagian dari upaya pelaksanaan pendidikan di keluarga. D. Konsep Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini Perkembangan merupakan istilah umum yang mencakup pada kemajuan dan kemunduran yang terjadi hingga akhir hayat. Pertumbuhan merupakan aspek struktural dari perkembangan. Sedangkan kematangan berkaitan dengan perubahan fungsi pada perkembagan. Perkembangan meliputi aspek dari perilaku manusia, dan sebagai hasil hanya dapat dipisahkan kedalam periode usia. 44 Dukungan pertumbuhan terhadap perkembangan sepanjang hayat merupakan sesuatu yang berarti, oleh karena itu perkembangan sosial emosional perlu dikembangkan sejak dini. 1. Perkembangan Sosial Sosial dapat diartikan sebagai suatu kondisi individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Interaksi yang dilakukan meliputi lingkup yang luas seperti dengan teman, orang dewasa, komunitas masyarakat dan sebagainya. Interaksi sosial membutuhkan upaya penyesuaian diri individu dengan lingkungan atau masyarakat yang digaulinya. Individu yang tertolak atau terisolasi biasanya disebabkan adanya ketidaksesuaian norma atau perilaku yang ditampakan oleh individu tersebut. Menurut Syamsu Yusuf LN., (2005-122), perkembangan sosial emosional merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi; meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerjasama. Selanjutnya menurut Syamsu Yusuf LN., (2005-125), perkembangan sosial anak dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, baik orang tua, sanak keluarga, orang dewasa lainnya atau teman sebayanya. Apabila lingkungan sosial tersebut memfasilitasi atau memberikan keperluan terhadap perkembangan anak secara positif, maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara matang. Namun apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif, seperti perlakuan orang tua kasar, sering memarahi, acuh tak acuh, tidak memberikan bimbingan, teladan, 45 pengajaran atau pembiasaan terhadap anak dalam menerapkan norma-norma, baik agama maupun tatakrama/budi pekerti, cenderung menampilkan perilaku maladjustment, seperti: (1) bersifat minder, (2) senang mendominasi orang lain, (3) bersifat egois, (4) senang mengisolasi diri, (5) kurang memiliki perasaan tenggang rasa, dan (6) kurang memperdulikan noma dalam perilaku. Sebagai seorang anak akan mengekplorasi dan membangun hubungan pertemanan dengan teman sebayanya, hal tersebut akan memberikan kesempatan pada anak untuk belajar mengembangkan interaksi dan pengertian tentang orang lain. Piaget (1932) dalam Bahan Ajar Diklat Tenaga Pendidik PAUD Nonformal Tingkat Dasar menemukan bahwa interaksi teman sebaya sebagai satu sumber kognitif utama juga sebagai perkembangan social, terutama sekali untuk perkembangan bermain peran dan empati. Dalam konteks sekolah, tetangga, dan rumah, anak-anak belajar untuk membedakan antar tipe-tipe perhubungan teman sebaya yang berbeda, teman-teman baik, teman-teman social, pasangan-pasangan beraktivitas, kenalan, dan orang-orang asing. Melalui pembangunan dan mempertahankan perhubungan teman sebaya dan pengalaman-pengalaman social yang berbeda-beda tipenya, khususnya konflik teman sebaya, anak-anak memperoleh pengetahun tentang dirinya dan orang lain. Interaksi teman sebaya yang berbeda umur juga memberikan sumbangan untuk perkembangan social kognitif dan bahasa anak-anak yang lebih muda sambil meningkatkan kemampuan-kemampuan berinstruksi bagi anak-anak yang lebih tua (Hartup, 1983, dalam Bahan Ajar Diklat Tenaga Pendidik PAUD Nonformal Tingkat Dasar). 46 2. Perkembangan Emosional Emosi menggambarkan tentang bagaimana perasaan individu tentang dirinya sendiri, orang lain dan dunia sekitarnya. Perasaan yang muncul biasanya disertai dengan perubahan fisik seperti tubuh yang menegang, gemetar, menggigil, aliran darah yang cepat, begitu juga dengan raut muka yang juga turut mengalami perubahan. Menurut Syamsu Yusuf LN., (2005-115), emosi merupakan warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Yang dimaksud warna afektif adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi suatu situasi tertentu, seperti gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci (tidak senang), dan perasaan yang lainnya. Perkembangan emosi sangat erat hubungannya dengan perkembangan sosial walaupun masing-masing ada kekhususannya. Yang berkaitan dengan emosi adalah perhatian, pujian, kasih sayang dan lain-lain. Sedangkan aspek sosial adalah interaksi yang lancar antara guru dan anak. Sudono, Angggani, MA (199954) 3. Tujuan Perkembangan Sosial Emosional Menurut Anggani Sudono, Ma (1999-55), faktor sosial dan emosi merupakan kepribadian dan pembiasaan yang dapat membentuk : a. Kemandirian, yaitu mengurus diri sendiri, seperti: mandi, berpakaian, menyikat gigi, mengurus barang-barang milik sendiri; b. Kebiasaan menghargai orang lain, milik orang lain dan pendapat orang lain; 47 c. Rasa tanggungjawab, yaitu mampu menyelesaikan tugas yang harus diselesaikan; d. Kemampuan bekerjasama; e. Kemampuan mengungkapkan diri. 4. Ciri-ciri Perkembangan Sosial Emosional Perkembangan anak dari hari ke hari sangat menakjubkan. Dari bayi lemah yang menggantungkan seluruh hidupnya kepada orang tua, menjadi anak kecil yang pintar berbicara, senang bergelut dan pandai menghitung matematika. Tetapi itu semua tidak terlepas dari pembelajaran orang-orang yang ada di sekitarnya, seperti orang tua yang sangat berperan dalam membantu perkembangan sosial emosional anak. Sejak dini, anak perlu diberikan arahan dan bimbingan oleh orang dewasa, salah satunya belajar melakukan kegiatan yang berhubungan dengan sosial-emosional anak. Karena dengan kegiatan itu anak lebih mandiri dan percaya diri. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 58 tahun 2009 tentang standar pendidikan anak usia dini, disebutkan ciri-ciri perkembangan sosial-emosional anak usia 4-5 tahun sebagai berikut : a. Menunjukan sikap mandiri dalam memilih kegiatan b. Mau berbagi, menolong dan membantu teman c. Menunjukan antusiasme dalam melakukan permainan kompetitif secara positif d. Mengendalikan perasaan 48 e. Menaati peraturan yang berlaku dalam suatu permainan.\ f. Menunjukan rasa percaya diri g. Menjaga diri sendiri dari lingkungannya h. Menghargai orang lain 5. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini Menurut Aan Listiana (2009) dalam dalam Bahan Ajar Diklat Tenaga Pendidik PAUD Nonformal Tingkat Dasar Memahami Anak Usia Dini, seperti halnya perkembangan belajar dan berkomunikasi, perkembangan sosial emosional sangat banyak dipengaruhi beberapa factor, yaitu : a. Kondisi orang tua merupakan factor yang dominan dalam mempengaruhi perkembangan sosial emosional anak. Beberapa studi menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara perasaan (mood) orang tua terhadap perkembangan perilaku anak. Kesimpulan penelitian tersebut menyatakan bahwa orang tua yang depresi merupakan indikasi dan dapat menjadi salah satu prediksi penting terhadap rendahnya kemampuan sosial dan afeksi anak. Mengingat faktor kondisi orang tua yang dapat menjadi penyebab rendahnya kemampuan sosial emosional anak maka tutor atau orang tua kemungkinan sudah dapat memprediksikan dan mengukur tingkat kemampuan social emosional anak melalui perilaku atau kondisi social emosional orang tuanya. Kondisi demikian mengakibatkan penanganan terhadap perilaku menantang 49 yang ditampilkan anak tidak hanya bagaimana membantu menangani anak itu sendiri tapi juga bagaimana membantu orang tua bersikap dan berperilaku. Beberapa faktor orang tua yang dapat menyebabkan gangguan sosial emosional pada anak adalah orang tua yang depresi, pengabaian, dan IQ yang rendah. 1) Orang tua yang depresi biasanya menampilkan perilaku-perilaku yang bermasalah, seperti mudah marah, panik, cemas yang berlebihan, murung, dan perasaan sedih yang mendalam. Kondisi tersebut akan mempengaruhi pada hubungan social emosional anak. Anak yang memiliki sifat meniru dan belajar dari kondisi lingkungan sekitarnya akan mengadopsi perilaku-perilaku tersebut. Perilaku-perilaku negatif yang ditampilkan anak akan mendapat respon yang negatif yang akan berakibat pada penolakan dan isolasi dari lingkungan sekitarnya. Pada kebanyakan anak-anak pengalaman seperti respon orang tua, stabilitas situasi pengasuhan akan berpengaruh terhadap pengalaman emosional anak. Lingkungan disekitar anak yang penuh dengan kehangatan dan situmulasi yang positif akan dapat mengembangkan kompetensi emosional dan kognitif anak. Sebaliknya anak yang proses perkembangan emosionalnya tidak lancar akan beresiko pada kekurangan kognitif, sosial dan perilakunya. 2) Sikap pengabaian orang tua terhadap anak biasanya adalah anak-anak yang tidak dikehendaki juga dapat menyebabkan rendahnya kemampuan social dan afeksi anak. Hal tersebut terjadi dikarenakan anak terbiasa 50 mendapatkan reaksi negatif, tidak dihiraukan keberadaannya, dan tidak terpenuhinya kasih sayang dari orang tuanya. Akibatnya anak kurang memperoleh pengetahuan tentang bagaimana menampilkan sikap positif yang dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya. 3) Faktor lainnya adalah IQ orang tua yang rendah dapat juga mempengaruhi perkembangan social emosional anak. Selain factor kondisi orang tua, factor lingkungan keluarga dan masyarakat juga merupakan factor yang banyak mempengaruhi perkembangan social emosional anak. b. Faktor lingkungan keluarga diantaranya adalah intimidasi atau kekerasan, ketidakberfungsian keluarga, dan anggota keluarga yang besar. c. Faktor lingkungan masyarakat diantaranya adalah isolasi sosial, kekerasan, dan rendahnya penanganan atau dukungan program pengembangan sosial emosional anak. Masalah yang bersumber dari luar berupa kurangnya pengertian atau dukungan yang diberikan pada anak dan juga sikap permusuhan dari lingkungan keluarga dan masyarakat dapat pula menyebabkan masalah yang signifikan pada perkembangan sosial emosional anak. d. Faktor dari dalam diri anak itu sendiri. Faktor pranatal seperti berat lahir yang rendah, prematur, viral infection, penyakit yang kompleks selama dalam kandungan, serta hernia merupakan factor-faktor dari diri anak yang dapat mempengaruhi perkembangan social emosionalnya.