BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendidikan Keluarga Sebagai

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendidikan Keluarga Sebagai Subsistem Pendidikan Luar Sekolah
1.
Pengertian Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan Luar Sekolah merupakan salah satu subsistem dari sistem
Pendidikan Nasional. Ruang lingkupnya sangat luas dan kompleks. Dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1991 menerangkan
bahwa : “Pendidikan Luar Sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di
luar sekolah baik dilembagakan maupun tidak.”
Untuk memudahkan dan memahami pengertian mengenai PLS, berikut ini
adalah pengertian yang diberikan oleh seorang ahli PLS, yaitu Djudju Sudjana,
(2004: 15) :
Setiap usaha yang dilakukan dengan sadar, sengaja, teratur dan berencana
yang bertujuan untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan dirinya
sehingga terwujud manusia yang gemar belajar membelajarkan, mampu
meningkatkan taraf hidup dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial atau
pembangunan masyarakat.
Selanjutnya Coombs (1973) dalam Sudjana (2004:22), mengemukakan
pengertian Pendidikan Luar Sekolah :
Penddidikan nonformal ialah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis,
diluar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau
merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja
dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan
belajarnya.
11
12
Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan PLS dilakukan secara
terprogram, terencana, dilakukan secara mandiri ataupun merupakan bagian
pendidikan yang lebih luas untuk melayani peserta didik dengan tujuan
mengembangkan kemampuan-kemampuan seoptimal mungkin serta untuk
mencapai kebutuhan hidupnya.
Pendidikan Luar Sekolah sebagai subsistem dari sistem pendidikan nasional
mempunyai lima fungsi sebagai berikut :
a. Mengembangkan nilai-nilai rohaniah dan jasmaniah peserta didik atas dasar
potensi-potensi yang dimiliki oleh mereka sehingga terwujud insan Indonesia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, memiliki semangat juang,
loyal, serta mencintai tanah air, masyarakat, bangsa dan Negara.
b. Untuk mengembangkan cipta, rasa, karsa peserta didik agar mereka mampu
memahami lingkungan, bertindak kreatif dan dapat mengaktualisasi diri.
c. Untuk membantu peserta didik dalam membentuk dan menafsirkan
pengalaman mereka, mengembangkan kerja sama, dan partisipatif aktif
mereka dalam memenuhi kebutuhan bersama dan kebutuhan masyarakat.
d. Untuk mengembangkan cara berfikir dan bertindak kritis terhadap dan di
dalam lingkungannya, serta untuk memiliki kemampuan menerapkan ilmu
pengetahuan dan teknologi, walaupun dalam bentuknya yang paling
sederhana, sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi penghidupan dan
kehidupan dirinya dan masyarakat.
13
e. Untuk mengembangkan sikap dan moral, tanggung jawab sosial, pelestarian
nilai-nilai budaya, serta keterlibatan diri peserta didik dalam perubahan
masyarakat dengan berorientasi ke masa depan.
2.
Ciri Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan luar sekolah yang merupakan bagian dari sistem pendidikan
nasional, pada proses pelaksanaanya berbeda dengan pendidikan persekolahan
yang apabila diidentifikasi dapat terlihat beberapa ciri-ciri pendidikan luar sekolah
itu sendiri sebagaimana diungkapkan olah Djuju Sudjana (2004 : 30-33) yaitu :
a.
b.
c.
d.
e.
3.
Tujuan pendidikan luar sekolah bersifat jangka pendek dan khusus, serta
kurang menekankan pentingnya ijazah.
Waktu pelaksanaan pendidikan luar sekolah relatif singkat, menekankan
pada masa sekarang, serta menggunakan waktu tidak terus menerus
Kurikulum pendidikan luar sekolah berpusat pada kepentingankepentingan peserta didik, mengutamakan aplikasi serta persyaratan
masuk ditetapkan bersama peserta didik
Proses pembelajaran pendidikan luar skeolah di pusatkan di lingkungan
masyarakat dan lembaga, berkaitan dengan kehidupan peserta didik dan
masyarakat, stuktur program yang luwes, berpusat pada peserta didik,
serta penghematan sumber-sumber yang tersedia.
Pengendalian pendidikan luar sekolah dilakukan oleh pelaksana program
dan peserta didik serta pendekatan demokratis hubungan antara pendidik
Tujuan Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan luar sekolah, sebagai kegiatan terorganisir dan sistematis di luar
sub sistem pendidikan sekolah, bertujuan untuk membantu peserta didik dan
masyarakat sehingga mereka selalu belajar tentang nilai-nilai, sikap, pengetahuan
dan keterampilan fungsional yang diperlukan untuk mengaktualisasikan diri dan
14
untuk membangun masyarakat dan bangsa dengan selalu berorientasi pada
kemajuan kehidupan di masa depan.
Untuk mencapai kehidupan masa depan yang lebih baik harus ada upaya
dari seseorang utnuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal.
Hal ini selaras dengan tujuan dari pendidikan luar sekolah yang tercantum dalam
PP No. 73 tahun 1991 bab II pasal 2, yaitu :
a. Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini
mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu
kehidupannya.
b. Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan, dan
sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari
nafkah, atau melanjutkan ke tingkat dan jenjang yang lebih tinggi.
c. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dipenuhi dalam jalur
pendidikan sekolah.
Tujuan pembelajaran pendidikan luar sekolah menurut Djuju Sudjana (2004
: 47) adalah :
Untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan, dan nilai-nilai
yang memungkinkan bagi seseorang atau kelompok untuk berperan serta
secara efektif dan efisien dilingkungan keluarganya, pekerjaannya
masyarakat, dan bahkan negaranya.
4.
Pengertian Pendidikan Keluarga
Pendidikan keluarga merupakan bagian integral dari sistem Pendidikan
Nasional Indonesia. Oleh karena itu norma-norma hukum yang berlaku bagi
pendidikan di Indonesia juga berlaku bagi pendidikan dalam keluarga. Dasar
hukum pendidikan di Indonesia dibagi menjadi tiga dasar yaitu dasar hukum ideal,
dasar hukum struktural dan dasar hukum operasional. Dasar hukum ideal adalah
pancasila sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum. Oleh karena itu
15
landasan ideal pendidikan keluarga di Indonesia adalah pancasila. Tiap-tiap orang
tua mempunyai kewajiban untuk menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila pada
anak anaknya.
Keluarga merupakan suatu lembaga pendidikan luar sekolah. Pendidikan
yang diselenggarakan dalam keluarga dapat digolongkan ke dalam jenis
pendidikan yang bersifat informal. Hal ini berarti kedudukan keluarga sebagai
lembaga pendidikan yang penting, karena pendidikan pertama dan utama yang
diperoleh manusia adalah pendidikan dalam keluarga.
Pada kebanyakan situasi, pendidikan keluarga seringkali dimaknai sebagai
pendidikan yang terjadi dalam lingkungan keluarga. Oleh karena itu, pendidikan
keluarga seringkali lebih digambarkan sebagai iklim atau suasana kehidupan
dalam keluarga. Dalam hal iklim keluarga, Soelaeman (1994: 48-50), menjelaskan
bahwa istilah iklim lebih merupakan kias untuk melukiskan apa yang diarasakan
dan dihayati atau dipersepsi oleh kelompok orang. Suasana ini berkaitan dengan
perilaku orang tua, khususnya ibu dalam melakukan pola asuh, dalam arti menjadi
teladan dan perilaku mendidik bagi anak-anaknya.
Dalam keluarga pendidikan yang diberikan pada anak-anaknya tidak bersifat
terbatas. Pendidikan tidak hanya bertujuan agar anak cakap berbicara, dan
berjalan yang berguna bagi diri anak itu sendiri, tetapi orang tua senantiasa
memberikan masukan terhadap anak mengenai berbagai hal yang menyangkut
kehidupan sosial, seperti tata cara pergaulan, sikap saling mencintai sesama
manusia dan hubungannya dengan Kholik serta berbagai perbuatan yang menjurus
pada kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat.
16
Menurut Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab X mengenai sistem, jalur dan jenis pendidikan, pasal 10 ayat 4
menguraikan batasan pendidikan keluarga yaitu:
“Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah
yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan
agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan.”
a.
Sifat-Sifat Lembaga Pendidikan Keluarga
Keluarga sebagai salah satu lingkungan pendidikan atau lembaga
pendidikan di samping sekolah dan masyarakat mempunyai beberapa sifat yang
berbeda dengan lembaga atau lingkungan pendidikan lainnya. Sifat-sifat
pendidikan keluarga antara lain :
1) Lembaga Pendidikan Tertua
Dalam sejarah perkembangan lembaga pendidikan dijelaskan bahwa
keluarga merupakan lembaga pendidikan yang paling tua, dapat dikatakan
bahwa lahirnya keluarga sebagai lembaga pendidikan sejak adanya manusia
dimana orang tua sebagai pendidiknya dan anak sebagai terdidiknya ini
disebabkan karena pendidikan itu ada sejak adanya manusia.
2) Lembaga Pendidikan Pertama dan Utama
Di dalam keluarga anak pertama-tama menerima pendidikan dan pendidikan
yang diperoleh dalam keluarga ini merupakan pendidikan yang terpenting
atau utama terhadap pribadi anak. Pola kehidupan di dalam keluarga
member corak pada kepribadian anak yang hidup di dalam keluarga tadi.
17
3) Bersifat Kodrat
Keluarga adalah lembaga pendidikan bersifat kodrat karena terdapatnya
hubungan darah antara pendidik dan anak didiknya. Sifat pendidikan
keluarga yang seperti ini maka wewenang pendidik dalam keluarga juga
bersifat kodrat, dan wewenang yang wajar ini tak dapat diganggu gugat
kecuali jika keluarga tersebut tidak mampu melaksanakan tugasnya tadi.
b. Fungsi Pendidikan Keluarga
Fungsi pendidikan keluarga antara lain :
1) Pengalaman Pertama Masa Kanak-kanak
Lembaga pendidikan keluarga memberi pengalaman utama yang merupakan
faktor penting dalam perkembangan pribadi anak. Para ahli ilmu jiwa
misalnya Freud dan Alder dalam Soelaeman (1994:112) sangat menekankan
pentingnya penghidupan keluarga, sebab pengalaman masa kanak-kanak
yang menyakitkan walaupun sudah jauh terpendam di masa silam tapi dapat
mengganggu keseimbangan jiwa di dalam perkembangan individu
selanjutnya.
2) Menjamin Kehidupan Emosional Anak
Melalui pendidikan keluarga ini kehidupan social atau kebutuhan akan kasih
sayang dapat dipenuhi atau dapat berkembang dengan baik, hal ini
disebabkan karena adanya hubungan darah antara pendidik dan anak didik,
karena orang tua hanya menghadapi sedikit anak didik dan arena hubungan
tadi didasarkan atas rasa cinta kasih saying murni. Kehidupan emosional ini
18
merupakan salah satu faktor terpenting di dalam membentuk pribadi
seseorang.
3) Menanamkan Dasar Pendidikan Moral
Di dalam keluargalah tatanan dasar pendidikan moril tidak diberikan dengan
penerangan atau ceramah atau kuliah tetapi melalui contoh-contoh yang
konkrit dalam perbuatan hidup sehari-hari.
4) Memberikan Dasar Pendidikan Sosial
Kehidupan keluarga penuh rasa tolong menolong dan gotong royong secara
kekeluargaan, hal tersebut memupuk berkembangnya benih-benih kesadaran
sosial pada anak-anak.
5) Memberikan Pendidikan Agama Bagi Anak
Selain sebagai lembaga untuk menanamkan pendidikan moral, keluarga juga
berperan besar dalam proses internalisasi dan transformasi nilai-nilai
keagamaan ke dalam pribadi anak, masa anak-anak adalah waktu yang baik
dan tepat untuk meresapkan nilai-nilai agama. Cara yang dapat dilakukan
misalnya dengan mengajak anak beribadah bersama atau shalat bersama dan
melibatkan anak dalam setiap kegiatan keagamaan.
5.
Keluarga Sebagai Sub Sistem Pendidikan Luar Sekolah
Pada bagian pembahasan ini penulis akan menggambarkan mengenai
keberadan pendidikan keluarga sebagai sub sistem pendidikan luar sekolah.
Keluarga juga termasuk kedalam tri pusat pendidikan.
19
Menurut Ki Hajar Dewantoro yang kita kenal sebagai Bapak Pendidikan
Nasional, mengungkapkan sistem “Tri Centra” dengan mengatakan “Didalam
hidupnya anak-anak adalah tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan
yang amat penting baginya, yaitu: keluarga, sekolah dan masyarakat.”
Sedangkan Djudju Sudjana (2004:43) mengungkapkan trikondisi/pusat
pendidikan tersebut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keterkaitan antara
kedua sub sistem pendidikan sekolah dan sub sistem pendidikan luar sekolah. Dan
bagan berikut ini, akan terlihat ketiga pusat pendidikan tersebut menggambarkan
rentetan keterkaitan antara sub sistem pendidikan luar sekolah dan sistem
pendidikan sekolah.
BAGAN II.1
KETERKAITAN ANTARA KEDUA SUBSISTEM PENDIDIKAN
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
SUB SISTEM PLS
SUB SISTEM PS
PROGRAM
PENDIDIKAN
NONFORMAL
PROGRAM
PENDIDIKAN
INFORMAL
PROGRAM
PENDIDIKAN
FORMAL
DI LINGKUNGAN
MASYARAKAT/LE
MBAGA
DI LINGKUNGAN
KELUARGA
DI LINGKUNGAN
SEKOLAH
TRI PUSAT / TRI
KONDISI
PENDIDIKAN
Sumber : Djudju Sudjana (2004:46)
20
Dari uraian bagan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa keluarga memang
merupakan bagian dari tricentra/tipusat/trikondisi pendidikan yang keberadaannya
sangat utama bagi pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Terlebih lagi dengan
adanya lingkungan masyarakat dan sekolah sebagai penopang bagi terlaksananya
kegiatan pendidikan.
Beracuan pada Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, maka ketiga pusat lingkungan pendidikan tadi dapat di
golongkan ke dalam dua satuan yaitu lingkungan masyarakat/lembaga dan
keluarga masuk kepada satuan pendidikan luar sekolah. Sedangkan lingkungan
sekolah masuk kepada satuan pendidikan sekolah. Selaras dengan itu menurut
Djudju Sudjana (2004:46), seperti yang diaktualisasikan lewat bagan di atas,
lingkungan masyarakat/lembaga dan keluarga termasuk bagian dari “sub sistem
pendidikan luar sekolah”, dan lingkungan sekolah sebagai “sub sistem pendidikan
sekolah”.
B. Konsep Keluarga
1.
Pengertian Keluarga
Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta "kulawarga". Kata kula berarti
"ras" dan warga yang berarti "anggota". (Wikipedia) Keluarga adalah lingkungan
di mana terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah. Keluarga
sebagai kelompok sosial terdiri dari sejumlah individu, memiliki hubungan antar
individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab di antara individu tersebut.
21
Khairudin (2008:4) keluarga adalah merupakan kelompok primer yang
terpenting dalam masyarakat. Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari
satuan yang merupakan organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang
minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan.
Menurut Departemen Kesehatan RI (1998) keluarga adalah unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul
dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling
ketergantungan.
Demikianlah kita melihat bahwa pengertian keluarga ada yang dikaitkan
dengan hubungan darah dan ada yang dikaitkan dengan hubungan sosial. Baik
keluarga yang didasarkan pada hubungan darah maupun keluarga yang dikaitkan
dengan hubungan sosial dapat kita temukan dalam arti luas dan dalam artian
sempit.
Menurut Soelaeman (1994:6) arti keluarga dalam hubungan sosial tampil
dalam berbagai jenis. Ada yang berkaitan dengan wilayah geografis yang
menunjukan dimana mereka berada atau dari mana mereka berasal, ada pula
keluarga
yang disamping pengaitan dengan wilayah geografis juga diwarnai
pengaitan dengan silsilah atau keturunan, ada pula yang merujuk kepada golongan
masyarakat berkaitan dengan lingkungan kerja, dan ada pula yang berkaitan
dengan pola kehidupan dan pencaharian.
Dalam arti luas, keluarga yang berkaitan dengan hubungan meliputi semua
pihak yang ada hubungan darah sehingga sering tampil sebagai arti clan atau
22
marga; dalam kaitan inilah dalam berbagai budaya setiap orang memiliki nama
kecil dan nama keluarga atau marga.
Dalam kehidupan sehari-hari kita temukan pula istilah keluarga itu diartikan
sebagai keluarga besar atau extended family yang disamping ayah-ibu-anak
termasuk pula ke dalamnya paman, bibi, kakek, nenek, cucu, dan sebagainya yang
kadang-kadang dinamai kerabat. Sedangkan dalam artian sempit, keluarga yang
didasarkan pada hubungan darah dan terdiri atas ayah-ibu-anak, dijuluki dengan
istilah keluarga inti atau nuclear family. Maksudnya dari persekutuan hidup yang
tinggal dan hidup bersama dalam rumah itu, pasangan suami-istri yang berfungsi
dan berperan sebagai ayah-ibu dan anak yang lahir dari hubungan mereka sebagi
suami-istrilah yang merupakan inti dari kehidupan tersebut.
2.
Ciri-ciri Keluarga
Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari
suatu hubungan seks yang tetap, untuk meyelenggarakan hal-hal yang berkaitan
dengan keorangtuaan dan pemeliharaan anak. Walaupun dalam menentukan atau
mencari persamaan dan perbedaan pada semua keluarga, terdapat ciri-ciri secara
umum dan khusus, yang akan terdapat pada keluarga dalam bentuk dan tipe
apapun.
a.
Ciri-ciri Umum
Ciri-ciri umum seperti yang dikemukakan oleh Mac Iver dan Page dalam
Khairudin (2008:6) yaitu :
1) Keluarga merupakan hubungan perkawinan;
23
2) Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan
hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara;
3) Suatu sistem tata nama, termasuk bentuk perhitungan garis keturunan;
4) Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok
yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi
yang berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan
membesarkan anak;
5) Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga yang walau
bagaimanapun tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok keluarga.
Burgess dan Locke dalam Khairudin (2008:6) mengemukakan empat
karakteristik lembaga keluarga, yakni sebagai berikut:
a)
Keluarga merupakan kesatuan orang yang diikat melalui jenjang perkawinan
untuk melanjutkan fungsi reproduksi.
b) Keluarga memiliki anggota keluarga, yaitu suami, istri, anak, atau
saudara yang berada dalam satu naungan rumah tangga.
c)
Anggota
keluarga
memiliki
peranan
sosial
masing-masing
sesuai
dengan norma yang berlaku.
d)
Keluarga
berfungsi
untuk
memelihara
kebudayaan
yang
pada
prinsipnya berakar dari masyarakat
b. Ciri-ciri Khusus
Menurut Khairudin (2008:7) dari seluruh organisasi, kecil maupun besar
yang terdapat di dalam masyarakat, tidak ada yang lebih penting dari keluarga
24
dalam intensitas pengertian sosiologisnya. Organisasi keluarga ini dalam beberapa
hal tidaklah sama dengan asosiasi lainnya, disamping memiliki ciri-ciri umum
sebagai suatu organisasi lazimnya, keluarga juga memiliki ciri-ciri khusus sebagai
berikut:
1) Kebersamaan, di antara bentuk-bentuk organisasi sosial yang lain keluarga
merupakan bentuk yang paling universal, yang dapat ditemukan dalam semua
masyarakat.
2) Dasar-dasar emosional, hal ini didasarkan pada suatu dorongan yang
mendasar, seperti perkawinan, menjadi ayah, dan perhatian orang tua.
3) Pengaruh perkembangan, hal ini membentuk karakter individu melalui
pengaruh kebiasaan-kebiasaan organis maupun mental.
4) Ukuran yang terbatas, keluarga dibatasi oleh kondisi-kondisi biologis.
5) Tanggung jawab para anggota, keluarga memiliki tuntutan yang lebih besar
dan kontinu daripada asosiasi-asosiasi yang lainnya.
6) Aturan kemasyarakatan, masyarakat diatur oleh peraturan yang sah dan kaku
dalam hal yang tahu.
7) Sifat kekekalan dan kesementaraanya, keluarga merupakan suatu yang
demikian permanen dan universal dan sebagai asosiasi merupakan organisasi
terkelompok di sekitar keluarga yang menuntut perhatian khusus.
3. Fungsi Keluarga
Menurut Soelaeman (1994:84) fungsi-fungsi keluarga ada beberapa jenis.
Kita memang dapat membedakannya yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi
25
tidak dapat memisahkannya. Sulit pula untuk disebut jenis fungsi mana yang
paling utama, karena masing-masing fungsi keluarga itu sama pentingnya bagi
keutuhan dan kelancaran kehidupan keluarga. Fungsi-fungsi keluarga tersebut
adalah :
a.
Fungsi Edukasi
Fungsi edukasi adalah fungsi keluarga yang berkaitan dengan pendidikan
anak khsusunya pendidikan serta pembinaan anggota keluarga pada umumnya.
Fungsi edukasi ini tidak sekedar menyangkut pelaksanaannya, melainkan
menyangkut pula penentuan dan pengukuhan landasan yang mendasari upaya
pendidikan itu, pengarahan dan perumusan tujuan pendidikan, perencanan dan
pengelolaannya, penyediaan dana dan sarananya, pengayaan wawasannya dan lain
sebagainya yang ada kaitan dengan upaya pendidikan itu.
Pelaksanaan fungsi edukasi keluarga merupakan realisasi salah satu
tanggung jawab yang dipikul orang tua. Sebagai salah satu momen dari tripusat
pendidikan (istilah Ki Hajar Dewantara) keluarga merupakan lingkungan
pendidikan pertama dan utama bagi anak.
b.
Fungsi Sosialisasi
Tugas
keluarga dalam
mendidik
anaknya
tidak
saja mencakup
pengembangan individu anak agar menjadi pribadi yang mantap, akan tetapi
meliputi pula upaya membantu dan mempersiapkannya menjadi anggota
masyarakat yang baik.
26
c.
Fungsi Proteksi atau Perlindungan
Baik fungsi pendidikan maupun fungsi sosialisasi anak tidak saja
melibatkan anak pada saat pelaksanaannya berlangsung, melainkan menjangkau
pula masa depannya. Secara implisit kedua fungsi tersebut mengandung
pengakuan akan adanya fungsi ketiga, yaitu fungsi proteksi atau perlindungan.
Maksud memberikan perlindungan ialah agar anak merasa terlindungi dengan
perkataan lain agar anak merasa aman. Apabila anak merasa aman, barulah ia
dapat
dengan
bebas
melakukan
penjelajahan
atau
eksplorasi
terhadap
lingkungannya sebagaimana diharapkan fungsi sosialisasi anak.
d.
Fungsi Afeksi atau Perasaan
Dalam keluarga terjadi hubungan sosial antara anak dan orang tuanya yang
didasari dengan kemesraan. Hubungan afeksi ini tumbuh sebagai akibat hubungan
cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan, persahabatan, identifikasi dan
persamaan mengenai nilai-nilai.
e.
Fungsi Religius
Keluarga mempunyai fungsi religius. Artinya keluarga dalam fungsi ini
adalah berkewajiban memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga
yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga untuk
menanamkan keyakinan bahwa ada keyakinan lain yang mengatur kehidupan ini
dan ada kehidupan lain setelah di duni
f.
Fungsi Ekonomis
Keluarga merupakan suatu kesatuan ekonomis.
Tugas kepala keluarga
dalam hal ini adalah mencari sumber-sumber kehidupan dalam memenuhi fungsi-
27
fungsi keluarga yang lain, kepala keluarga bekerja untuk mencari penghasilan,
mengatur penghasilan itu, sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhankebutuhan keluarga. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa sang istri tak
diperbolehkan turut berupaya mencari sumber penghasilan, namun dalam keadaan
demikian tanggung jawab mencari nafkah keluarga tetaplah kepala keluarga.
g.
Fungsi Rekreasi
Keluarga memerlukan suasana akrab, ramah dan hangat diantara anggota-
anggotanya,
dimana
hubungan
antar
anggota
keluarga
bersifat
saling
mempercayai, bebas tanpa beban dan diwarnai suasana santai. Untuk mencapai itu
semua, mereka akan lebih senang mencari hiburan di luar rumah. Tugas keluarga
dalam fungsi rekreasi ini tidak harus selalu pergi ke tempat rekreasi, tetapi yang
penting bagaimana menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga
sehingga dapat dilakukan di rumah dengan cara nonton TV bersama, bercerita
tentang pengalaman masing-masing, dsb.
h.
Fungsi Biologis
Fungsi biologis adalah fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan-
kebutuhan biologis anggotanya. Salah satunya dalah kebutuhan akan perlindungan
fisik guna kelangsungan hidupnya, perlindungan kesehatan, perlindungan dari
rasa lapar, haus dan kedinginan, kepuasan bahkan kenyamanan dan kesegaran
jasmani, termasuk juga kebutuhan biologis ialah kebutuhan seksual dengan
keinginan untuk mendapatkan keturunan yang dapat dipenuhi dengan wajar dan
layak sebagai suami istri dalam keluarga.
28
4.
Peran Keluarga Dalam Perkembangan Anak
Dinamika kehidupan yang terus berkembang membawa konsekuensi-
konsekuensi tertentu terhadap kehidupan keluarga. Banyaknya tuntutan kehidupan
yang menerpa keluarga beserta dampak krisis yang ditandai dengan bergesernya
nilai-nilai dan pandangan tentang fungsi dan peran keluarga menyebabkan
terjadinya berbagai perubahan mendasar tentang kehidupan keluarga. Struktur,
pola hubungan, dan gaya hidup keluarga banyak mengalami perubahan. Jika dulu
biasanya ayah berperan sebagai pencari nafkah tunggal dan ibu sebagai pengelola
utama kehidupan di rumah, maka sekarang banyak di antara keluarga (khususnya
di kota-kota) yang tidak lagi seperti itu.
Menurut Gunarsa (2004) dalam Khairudin (2008:78) orang tua mempunyai
peran yang sangat penting dalam menjaga, mengajar, mendidik, serta memberi
contoh bimbingan kepada anak-anak untuk mengetahui, mengenal, mengerti, dan
akhirnya dapat menerapkan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama dikenal kepada anak,
atau dapat dikatakan bahwa seorang anak itu mengenal kehidupan sosial pertamatama di dalam lingkungan keluarga. Adanya interaksi antara anggota keluarga
yang satu dengan yang lainnya menyebabkan seorang anak menyadari akan
dirinya, bahwa ia berfungsi sebagai individu dan juga sebagai makhluk sosial.
Sebagai individu ia harus memenuhi segala kebutuhan hidupnya demi
kelangsungan hidupnya didunia ini. Sebagai makhluk sosial ia harus
menyesuaikan diri dengan kehidupan bersama yaitu saling tolong menolong dan
29
mempelajari adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat yang dikenalkan oleh
orang tuanya, yang akhirnya dimiliki oleh anak-anak tersebut. Sehingga dengan
demikian perkembangan seorang anak di dalam keluarga itu sangat ditentukan
oleh kondisi situasi keluarga dan pengalaman-pengalaman yang dimilik oleh
orang tuanya. Didalam kehidupan masyarakat akan kita jumpai bahwa
perkembangan anak yang satu dengan yang lainnya akan berbeda-beda. Peran
keluarga terhadap perkembangan anak sangatlah besar, oleh sebab itu, keluarga
yang didalamnya terdapat orang tua, harus benar-benar bisa mendidik anak
dengan sebaik-baiknya.
Parke (2004) dalam Santrock (2007: 164) Orang tua memiliki peran menjadi
manajerial dalam kehidupan anaknya. Peran manajerial terutama penting dalam
perkembangan sosioemosional anak. Sebagai manajer, orang tua boleh mengatur
kesempatan anak untuk melakukan kontak sosial dengan teman sebaya, teman dan
orang dewasa. Orang tua memainkan peran penting dalam membantu
perkembangan anak dengan memulai kontak antara anak dengan teman
bermainnya yang potensial.
Hubungan antara orang tua dan anak dalam keluarga sangat penting artinya
bagi perkembangan kepribadian anak karena orang tua merupakan orang pertama
yang dikenal oleh anak dan melalui orang tualah anak mendapat kesan-kesan
pertama tentang dunia luar. Orang tua merupakan orang pertama yang
membimbing tingkah laku anak. Orang tua akan bereaksi terhadap tingkah laku
anak baik itu dengan menerima, menyetujui, membenarkan, menolak atau
melarang. Melalui pemberian nilai tersebut maka dalam diri anak akan terbentuk
30
norma-norma tentang apa yang baik atau buruk dan apa yang boleh atau tidak
boleh. Dengan demikian terbentuklah hati nurani anak yang mengarahkan tingkah
laku selanjutnya dan kewajiban orang tua adalah mengembangkan hati nurani
yang kuat dalam diri anak. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan dijelaskan
peran orang tua dalam perkembangan anaknya, peran ayah dan ibu tersebut
adalah:
1) Peran Ayah
Dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga ayah berperan sebagai kepala
keluarga, ia memimpin kehidupan keluarga dan bertanggung jawab terhadap
keseluruhan kehidupan keluarga itu. Pada kaitannya anak dan keluarga, ayah
adalah sebagai pelindung, salah satu cara yang dapat ia gunakan sebagai
pelindung adalah dengan menciptakan komunikasi antar anggota keluarga. Ayah
yang baik akan berperan sebagi pendengar yang baik bagi anggota keluarganya
khususnya anak, ia akan mendengar setiap pendapat dan usulan yang diajukan
oleh setiap anggota keluarganya, memberikan kebenaran dan penghargaan akan
setiap pendapat yang diajukan tersebut dan jika pandangan anggota keluarga
tersebut salah maka ia akan membimbing atau meluruskannya dengan bijak.
Dalam permulaan kehidupan anak, kehidupan ayah masih berada di
belakang layar dan belum langsung dihayatinya sebab sehari-hari anak lebih
berurusan dengan ibu dalam memenuhi kebutuhan vitalnya. Baru disaat-saat
kemudian ayah akan tampil sebagai lambang wibawa bagi seluruh anggota
keluarga dan berperan sebagai anutan dan arahan sehingga ia mendapat tempat
31
dihati anak. Secara umum peran ayah dalam hal pendidikan dan pengasuhan anak
meliputi:
a)
Sumber kekuasaan dalam keluarga
b) Penghubung intern keluarga dengan masyarakat atau dunia luar
c)
Pemberi perasaan aman bagi seluruh anggota keluarga
d) Pelindung terhadap ancaman dari luar
e)
Hakim atau yang mengadili jika terjadi perselisihan
f)
Pendidik dalam segi-segi rasional
2) Peran Ibu
Peranan ibu berkaitan dengan melahirkan anak dan mendidiknya serta
mengarahkannya ke kehidupan dewasa, ibu disini berperan sebagai jembatan yang
menhubungkan dunia anak dan dunia dewasa, menghubungkan anak dengan dunia
lain dan dengan masyarakat. Sehingga ibu dapat berperan sebagai pengamat sifat
dan perkembangan anak. Selain itu tugas asli dan utama seorang ibu adalah
menjadi ibu rumah tangga. Tugas ibu rumah tangga bukan hanya memasak dan
mengatur rumah, tetapi lebih penting dari itu ialah mendidik anak-anak baik fisik
maupun mentalnya.
Pendidikan dirumah merupakan dasar, dan di atas dasar inilah pendidikan
selanjutnya ditegakkan. Jika pendidikan dasar ini tidak kuat atau tidak benar maka
pendidikan selanjutnya akan mempunyai dasar yang tidak kuat, bahkan dasar yang
salah. Dengan demikian akan muncul anggota masyarakat yang pertumbuhan dan
pendidikannya tidak tepat. Dari hal tersebut kita dapat melihat bahwa pendidikan
32
di rumah di bawah asuhan ibu mempunyai hubungan yang erat dengan masa
depan bangsa dan negara.
Dalam tumbuh kembang anak ibu sangat berperan penting dalam
perkembangannya. Seorang ibu harus mengetahui dan mengenali tanda-tanda
pertumbuhan anak sesuai dengan fase-fase pertumbuhannya. Karena ibu
merupakan tempat yang pertama dan utama pendidikan yang didapatkan oleh
anak sebelum mereka mendapatkan pendidikan di sekolah.
Banyak rangsangan atau pendidikan yang dapat ibu lakukan ialah melalui
bagaimana ibu mengasuh anak atau melalui pola pengasuhan anak yang ibu
lakukan. Banyak pola asuh yang dapat diterapkan mulai dari pola asuh yang
senderung otoriter hingga senderung membiarkan yang kesemuanya itu
berdampak pada kehidupan anak selanjutnya.
Peran orangtua dalam pengasuhan anak berubah seiring pertumbuhan dan
perkembangan anak. Maka, diharapkan orangtua dapat memahami fase-fase
perkembangan anak dan dapat mengimbanginya. Seorang anak perlu melakukan
aksi-aksi terhadap lingkungannya agar dapat mengembangkan cara pandang yang
kompleks dan cerdas atas setiap pengalamannya. Salah satu tugas orangtua pun
adalah memberi pengalaman yang dibutuhkan oleh anak. Oleh karena itu berbagi
peranlah dengan baik antara ayah dan ibu, agar kecerdasan dan perkembangan
anak dapat berkembang dengan baik dan sempurna.
33
C. Konsep Pola Asuh Anak
1.
Pengertian Pola Asuh Anak
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (1999:778) pola asuh berasal dari
dua kata yaitu pola dan asuh. Pola artinya model, sedangkan asuh berarti
membimbing, membantu dan melatih. Jadi pola asuh adalah menjaga (merawat
dan mendidik) anak atau membimbing, membantu atau melatih supaya yang
dibimbing dapat berdiri sendiri.
Baumrind dalam Mualifah (2008: 42) berpendapat bahwa “pola asuh pada
prinsipnya merupakan parental control, yaitu bagaimana orang tua mengontrol,
membimbing dan mendampingi anak-anaknya untuk melaksanakan tugas-tugas
perkembangannya menuju pada proses pendewasaan”.
Soelaeman (1994:162) upaya orang tua dalam merealisasikan peran dan
fungsi di keluarga akan menimbulkan berbagai cara orang tua dalam
membimbing, mendidik dan merawat, serta mengasuh anak-anaknya agar dapat
berkembang dengan baik. Cara orang tua dalam mengasuh anak inilah yang
kemudian disebut dengan pola asuh orang tua.
Sedangkan menurut Khairudin (2008:35) adalah bila ditinjau secara teoritis
dalam pengertian asuhan terkandung hubungan interaksi antara orang tua dengan
anak dan hubungan tersebut adalah memberikan pengarahan dari satu pihak ke
pihak lain, pengertian di atas pada dasarnya merupakan proses sosialisasi yang
diberikan orang tua kepada anaknya.
Pengertian di atas dijelaskan bahwa hubungan interkasi orang tua dengan
anak secara umum tercakup oleh adanya perlakuan orang tua terhadap sikap, nilai-
34
nilai minatnya mengasuh anak, hal ini memperlihatkan bahwa setiap orang tua
memiliki individualitas dalam cara mengasuh anak mereka dan tentunya hal ini
memberikan pengaruh yang berbeda-beda bagi perkembangan anak.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa pola asuh orang tua yaitu suatu cara atau upaya perlakuan orang tua dalam
membimbing, mendidik, merawat dan berinteraksi dengan anaknya, serta
mengasuh anak-anaknya agar dapat berkembang dengan baik.
2.
Jenis Pola Asuh Anak
Keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pendidikan pola asuh
anak, jenis pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anaknya juga menentukan
keberhasilan perkembangan anak. Kesalahan dalam pengasuhan anak di keluarga
akan berakibat pada kegagalan dalam perkembangan anak yang baik. Kegagalan
keluarga dalam membentuk perkembangan anak yang baik akan berakibat
buruknya masa depan anak. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki
kesadaran bahwa pola asuh sangat tergantung pada pendidikan pola asuh anakanak mereka dalam keluarga.
Menurut Baumrind dalam Santrock (2007: 167), psikolog pada umumnya
setuju membagi pola asuh orang tua ini kedalam jenis pola asuh ini, yaitu:
a. Authoritarian Parenting adalah gaya yang membatasi dan menghukum di
mana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan
menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua yang otoriter
menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir
35
perdebatan verbal. Orang tua yang otoriter mungkin juga sering memukul
anak, memaksakan aturan secara kaku tanpa menjelaskannya, dan
menunjukan amarah pada anak. Anak yang dari orang tua yang otoriter sering
kali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri dengan
orang lain, tidak mampu memulai aktivitas, dan memiliki kemampuan
komunikasi yang lemah.
b. Authoritative Parenting adalah gaya orang tua mendorong anak untuk
mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka.
Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua
bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. Orang tua yang otoritatif
menunjukan kesenangan dan dukungan sebagi respons terhadap perilaku
konstruktif anak. Mereka juga mengharapkan perilaku anak yang dewasa.
Mandiri, dan sesuai dengan usia mereka. Anak yang memiliki orang tua yang
otoritatif sering kali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan
berorientasi pada prestasi, mereka cenderung untuk mempertahankan
hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerjasama dengan orang
dewasa dan bisa mengatasi stress dengan baik.
c. Permissive indifferent atau pengasuhan yang mengabaikan adalah gaya di
mana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak memiliki
orang tua yang mengabaikan merasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua
lebih penting daripada diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki
kemampuan sosial. Banyak di antaranya memiliki pengendalian diri yang
buruk dan tidak mandiri. Mereka sering kali memiliki harga diri yang rendah,
36
tidak dewasa, dan mungkin terasing dari keluarga. Dalam masa remaja,
mereka mungkin menunjukan sikap suka membolos dan nakal.
d. Permissive Indulgent atau pengasuhan yang menuruti adalah gaya
pengasuhan di mana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak
terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua macam ini membiarkan
anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya, anak tidak pernah belajar
mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan
keinginannya. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka dengan
cara ini karena mereka percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan yang
hangat dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya
diri. Namun, anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang
belajar
menghormati
orang
lain
dan
mengalami
kesulitan
untuk
mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak
menuruti aturan, dan kesulitan-kesulitan dalam hubungan dengan teman
sebayanya.
Masih menurut Baumrind (Papalia, 2001:300) menyatakan bahwa model pola
asuh yang biasa diterapkan kepada anak adalah :
a.
Authoritarian, dalam pola asuh ini orang tua mencoba untuk membuat anakanaknya memenuhi standar dari perilakunya, kewenangannya untuk
menghukum dan penuh ketegasan. Mereka lebih objektif dan kurang hangat
dari orang tua lainnya.
b.
Permissive, dalam pola asuh ini orang tua serba membolehkan, mandiri, self
expression dan self regulation. Para orang tua lebih mempertimbangkan pada
37
kemampuan sumbernya, bukan pada modelnya. Mereka pada umumnya
membuat beberapa permintaan dan membolehkan anak-anak untuk dapat
memonitor kegiatan orang tua sebanyak mungkin. Ketika mereka membuat
peraturan,
mereka
membicarakannya
menjelaskan
dengan
alasan
anak-anak
mereka.
mengenai
Mereka
juga
keputusan
dari
kebijaksanaannya dan jarang menghukum. Mereka bersahabat tidak
mengawasi dan tidak memaksa.
c.
Authoritative, dalam pola asuh ini orang tua menghargai kepribadian anakanaknya tetapi juga menitik beratkan pada pemaksaan. Mereka percaya pada
kemampuannya untuk menuntun anak-anaknya tetapi mereka juga menhargai
keputusan yang mandiri dari anak-anaknya, minatnya, pilihannya dan
kepribadiannya. Mereka penyayang dan penerima tetapi juga meminta anakanaknya berperilaku baik dan mereka tetap mempertahankan standarnya dan
mereka sudi untuk menentukan batasannya. Mereka juga menghukum dengan
bijaksana, kadang-kadang juga suka menampar jika perlu tanpa kompromi,
tetapi kemudian menjelaskan alasannya di balik perilaku dan desakan
memberi dan menerima.
3.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh
Pola asuh yang diterapkan orang tua dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu: budaya, agama, pekerjaan orang tua, usia orang tua, jumlah anggota
keluarga, latar belakang pendidikan orang tua,dan lain sebagainya. Sesuai dengan
38
yang diungkapkan Maccoby (1980: 76) bahwa faktor yang mempengaruhi pola
asuh yaitu:
a. Status sosial ekonomi keluarga
Keluarga yang memiliki status sosial menengah ke bawah cenderung
memiliki
tingkat
stress
yang
tinggi
sehingga
orang
tua
biasaya
menitikberatkan pada kepatuhan. Mereka hanya menerapkan hukuman fisik
tanpa memberikan pengertian kepada anak. Pola asuh yang diterapkan
cenderung bersifat authoritarian. Sedangkan keluarga yang memiliki status
sosial lebih tinggi cenderung bersifat authoritative. Orang tua cenderung
menunjukan kehangatan dan kasih sayang yang lebih
b. Pekerjaan orang tua
Jenis pekerjaan tidak langsung mempengaruhi bentuk pola asuh orang tua.
Jenis pekerjaan biasanya sangat berhubungan dengan tingkat pendidikan.
Hasil penelitian Nuraeni (2006) menunjukan bahwa orang tua yang memiliki
pendidikan tinggi umunya mengetahui bagaimana perkembangan anak dan
pengasuhan yang baik dalam perkembangan tersebut. Sedangkan orang tua
yang mempunyai latar belakang pendidikan rendah, orang tua kurang
memperhatikan perkembangan anak karena orang tua masih awam dan
kurang mengetahui perkembangan anak.
Keluarga yang berasal dari status sosial yang lebih tinggi biasanya
menggunakan penalaran dan perundingan yang bergantung pada keterampilan
yang dimiliki. Orang tua lebih sering berdiskusi dengan anaknya daripada
memberikan hukuman fisik.
39
c. Ukuran keluarga
Keluarga besar yang terdiri dari banyak anggota keluarga cenderung kurang
memperhatikan kesejahteraan anaknya. mereka lebih bersifat membebaskan
anaknya dalam berperilaku. Namun tidak jarang pula mereka memberikan
hukuman fisik tanpa alasan kepada anak.
d. Pendidikan ibu
Peran ibu sangat penting dalam pengasuhan anak. ibu yang dibekali
pendidikan yang rendah cenderung memiliki ketegangan yang lebih tinggi. Ia
kurang dibekali dengan ilmu pengetahuan dan kurang memiliki kesempatan
untuk mendapat informasi-informasi penting mengenai kehidupan. Ini sangat
berpengaruh terhadap harga dirinya, cara-cara ibu berkomunikasi dan
berpikir, dan cara ibu dalam mengatasi masalah. Ibu biasanya membebaskan
anak untuk memutuskan sesuatu.
4.
Dimensi-dimensi Pola Asuh
Dimensi-dimensi pola asuh orang tua terhadap anaknya terbagi menjadi dua
dimensi yaitu dimensi kontrol dan dimensi kehangatan (Baumrind dalam
Santrock, 2007: 259). Menurut Baumrind (Chodijah, 2009:31) kedua dimensi pola
asuh orang tua tersebut dapaat dijelaskan sebagai berikut:
a. Dimensi Kontrol (demandingness). Dimensi ini berhubungan dengan
sejauhmana orang tua mengharapkan dan menuntut kematangan serta tingkah
laku yang bertanggungjawab dari anak. Dalam kehidupan sehari-hari ada
40
orang tua yang menuntut dan berharap banyak dari anak, selain itu ada pula
yang bersifat permisif dan kurang menuntut. Pengertian kontrol mencakup:
1) Demandingness/tuntutan, dapat dikatakan bahwa tuntutan adalah tujuan
yang diharapkan dapat dicapai oleh anak. Tujuan yang dimaksud orangtua
dapaat bermacam-macam antara lain ada orang tua yang mengharapkan
anaknya membantu tugas-tugas kerumahtanggaan, menuntut anak untuk
cepat beradaptasi dimanapun ia berada.
2) Restrictiveness/pembatasan-pembatasan, keadaan ini ditandai dengan
banyaknya larangan yang dikenakan kepada anak. orangtua cenderung
melakukan pembatasan/kekangan terhadap aktivitas anak tanpa disertai
penjelasan yang memadai mengapa hal tersebut tidak boleh dan bagaimana
sebaiknya itu dilakukan.
3) Instrusivness/campur tangan, instrusivness disini memperlihatkan suatu
keadaan dimana orang tua melakukan intervensi terhadap anak dalam
semua aktivitas anak. Campur tangan tersebut menyebabkan anak kurang
dapat mengembangkan self of control, yaitu kesadaran bahwa dirinya
mempunyai kontrol sehingga dapat mempengaruhi apa yang terjadi pada
dirinya dan sekelilingnya. Dengan demikian anak memperlihatkan sikap
tidak berdaya berupa sikap pasif, kurang inisiatif, kehilangan motivasi.
Sebaliknya anak yang memiliki sense of control yang bagus akan merasa
bahwa ia dapat mempengaruhi lingkungan dalam usaha mencapai tujuan
sehingga ia akan lebih aktif, mandiri dan memiliki inisiatif.
41
4) Strictneass/keketatan, dikaitkan dengan orang tua yang bersikap ketat dan
tegas, dengan tujuan agar anak mematuhi dan memenuhi semua aturan dan
tuntutan yang diberikan orang tua. Beberapa penelitian memperlihatkan
bahwa sikap ketat yang dilakukan secara konsisten mempunyai korelasi
positif dengan kemampuan mengendalikan impuls agresif, memiliki
kontrol diri yang kuat, implusif. Medinus dalam Chodijah (2009:32)
menekankan bahwa “disiplin yang ditekankan secara keras tidak konsisten
dan sewenang-wenang akan menimbulkan rasa sentiment, kekerasan dan
kecemasan pada anak”.
5) Arbitrary exercise of power/penggunaan kekuasaan sewenang-wenang
orangtua yang menggunakan kekuasaan sewenang-wenang memiliki
kontrol yang tinggi dalam menegakkan aturan-aturan dan pembatasapembatasan. Orang tua mungkin akan menggunakan hukuman bila
perilaku anak menyimpang dari yang diharapkannya. Dalam menghukum
anak, orang tua tidak memberikan penjelasan-penjelasan.
b. Dimensi Kehangatan (responsiveness). Dimensi ini berhubungan dengan
tingkat respon orang tua
terhadap kebutuhan-kebutuhan anak dalam
penerimaan dan dukungan. Ada yang hangat menerima, ada pula yang tidak
responsive dan menolak (Steinberg dalam Triani, 2003). Orang tua yang
responsive adalah orangtua yang hangat. Menerima keadaan diri anak dapat
diartikan sebagai pemberian kasih sayang tanpa mengharapkan imbalan.
Orangtua yang menerima anak, memiliki perhatian besar terhadap anak serta
memberikan kasih sayang. Orang tua juga memberikan fasilitas-fasilitas
42
untuk mengembangkan kemampuan serta minat anak. Ciri lain yang
menunjukan adanya kehangatan yaitu:
1) Bersedia meluangkan waktu agar bisa bekerjasama dalam suatu kegiatan
2) Cepat tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan anak
3) Orang tua yang memperhatikan kesejahteraan anak
4) Peka terhadap keadaan emosi anak
5) Siap untuk menanggapi kecakapan/keberhasilan anak serta menunjukan
cinta kasihnya.
Tentang kehangatan, Maccoby dalam Chodijah (2009:33), mengatakan lebih
lanjut bahwa kehangatan merupakan aspek penting dalam pengasuhan anak,
karena dapat menciptakan suasana yang menyenangkan anak dalam
kehidupan keluarga. Kehangatan yang diberikan keluarga pada anaknya akan
menghasilkan anak yang mudah untuk di didik.
Dimensi-dimensi pola asuh tersebut dapat didukung dengan bagaimana
upaya pola asuh yang dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak. Menurut
Abdullah Nashish Ulwan (1981:174) mengemukakan cara medidik yang influentif
terhadap anak, yaitu:
a. Pendidikan dengan keteladanan, merupakan cara yang paling meyakinkan
keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk anak didalam moral
spiritual dan sosial dimana cara ini menitik beratkan kepada pendidik agar
anak akan meniru segala tindak tanduk orang tua untuk diaplikasikan pada
kehidupan sehari-hari
43
b. Pembiasaan, merupakan cara yang diterapkan dengan adanya suatu
pengajaran dan pembiasaan sehingga anak berada dalam pembentukan
edukatif dan sampai pada hasil-hasil yang memuaskan, karena semuanya
bersandar pada cara memperhatikan dan mengawasi berdasarkan bujukan dan
ancaman yang bertitik tolak dari bimbingan dan pengajaran.
c. Pemberian nasehat, dimana dalam penerapannya orang tua dapat memperjelas
dibantu dengan penggunaan, perumapamaan, gambaran dan contoh
disamping segala apa yang bisa disaksikan oleh khalayak dengan mata
kepalanya sendiri yaitu dengan peristiwa-peristiwa yang berada dalam
jangkauan mereka sehingga lebih berbekas, mudah dipahami, lebih melekat di
akal.
d. Penghargaan dan hukuman, merupakan cara mencurahkan perhatian dan
pemberian hukuman kepada anak ketika berbuat salah dan senantiasa
mengikuti perkembangan anak. Dengan adanya pemberian penghargaan dan
pemberian hukuman sebagai bagian dari upaya pelaksanaan pendidikan di
keluarga.
D. Konsep Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini
Perkembangan merupakan istilah umum yang mencakup pada kemajuan dan
kemunduran yang terjadi hingga akhir hayat. Pertumbuhan merupakan aspek
struktural dari perkembangan. Sedangkan kematangan berkaitan dengan
perubahan fungsi pada perkembagan. Perkembangan meliputi aspek dari perilaku
manusia, dan sebagai hasil hanya dapat dipisahkan kedalam periode usia.
44
Dukungan pertumbuhan terhadap perkembangan sepanjang hayat merupakan
sesuatu yang berarti, oleh karena itu perkembangan sosial emosional perlu
dikembangkan sejak dini.
1. Perkembangan Sosial
Sosial dapat diartikan sebagai suatu kondisi individu dalam berinteraksi
dengan orang lain. Interaksi yang dilakukan meliputi lingkup yang luas seperti
dengan teman, orang dewasa, komunitas masyarakat dan sebagainya. Interaksi
sosial membutuhkan upaya penyesuaian diri individu dengan lingkungan atau
masyarakat yang digaulinya. Individu yang tertolak atau terisolasi biasanya
disebabkan adanya ketidaksesuaian norma atau perilaku yang ditampakan oleh
individu tersebut.
Menurut Syamsu Yusuf LN., (2005-122), perkembangan sosial emosional
merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan
sebagai proses untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral
dan tradisi; meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi
dan bekerjasama.
Selanjutnya menurut Syamsu Yusuf LN., (2005-125), perkembangan sosial
anak dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, baik orang tua, sanak keluarga,
orang dewasa lainnya atau teman sebayanya. Apabila lingkungan sosial tersebut
memfasilitasi atau memberikan keperluan terhadap perkembangan anak secara
positif, maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara matang.
Namun apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif, seperti perlakuan orang tua
kasar, sering memarahi, acuh tak acuh, tidak memberikan bimbingan, teladan,
45
pengajaran atau pembiasaan terhadap anak dalam menerapkan norma-norma,
baik agama maupun tatakrama/budi pekerti, cenderung menampilkan perilaku
maladjustment, seperti: (1) bersifat minder, (2) senang mendominasi orang lain,
(3) bersifat egois, (4) senang mengisolasi diri, (5) kurang memiliki perasaan
tenggang rasa, dan (6) kurang memperdulikan noma dalam perilaku.
Sebagai seorang anak akan mengekplorasi dan membangun hubungan
pertemanan dengan teman sebayanya, hal tersebut akan memberikan kesempatan
pada anak untuk belajar mengembangkan interaksi dan pengertian tentang orang
lain. Piaget (1932) dalam Bahan Ajar Diklat Tenaga Pendidik PAUD Nonformal
Tingkat Dasar menemukan bahwa interaksi teman sebaya sebagai satu sumber
kognitif utama juga sebagai perkembangan social, terutama sekali untuk
perkembangan bermain peran dan empati. Dalam konteks sekolah, tetangga, dan
rumah, anak-anak belajar untuk membedakan antar tipe-tipe perhubungan teman
sebaya yang berbeda, teman-teman baik, teman-teman social, pasangan-pasangan
beraktivitas, kenalan, dan orang-orang asing. Melalui pembangunan dan
mempertahankan perhubungan teman sebaya dan pengalaman-pengalaman social
yang berbeda-beda tipenya, khususnya konflik teman sebaya, anak-anak
memperoleh pengetahun tentang dirinya dan orang lain. Interaksi teman sebaya
yang berbeda umur juga memberikan sumbangan untuk perkembangan social
kognitif dan bahasa anak-anak yang lebih muda sambil meningkatkan
kemampuan-kemampuan berinstruksi bagi anak-anak yang lebih tua (Hartup,
1983, dalam Bahan Ajar Diklat Tenaga Pendidik PAUD Nonformal Tingkat
Dasar).
46
2. Perkembangan Emosional
Emosi menggambarkan tentang bagaimana perasaan individu tentang
dirinya sendiri, orang lain dan dunia sekitarnya. Perasaan yang muncul biasanya
disertai dengan perubahan fisik seperti tubuh yang menegang, gemetar, menggigil,
aliran darah yang cepat, begitu juga dengan raut muka yang juga turut mengalami
perubahan.
Menurut Syamsu Yusuf LN., (2005-115), emosi merupakan warna afektif
yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Yang dimaksud warna
afektif adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi
suatu situasi tertentu, seperti gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci (tidak
senang), dan perasaan yang lainnya.
Perkembangan emosi sangat erat hubungannya dengan perkembangan sosial
walaupun masing-masing ada kekhususannya. Yang berkaitan dengan emosi
adalah perhatian, pujian, kasih sayang dan lain-lain. Sedangkan aspek sosial
adalah interaksi yang lancar antara guru dan anak. Sudono, Angggani, MA (199954)
3. Tujuan Perkembangan Sosial Emosional
Menurut Anggani Sudono, Ma (1999-55), faktor sosial dan emosi
merupakan kepribadian dan pembiasaan yang dapat membentuk :
a. Kemandirian, yaitu mengurus diri sendiri, seperti: mandi, berpakaian,
menyikat gigi, mengurus barang-barang milik sendiri;
b. Kebiasaan menghargai orang lain, milik orang lain dan pendapat orang lain;
47
c. Rasa tanggungjawab, yaitu mampu menyelesaikan tugas yang harus
diselesaikan;
d. Kemampuan bekerjasama;
e. Kemampuan mengungkapkan diri.
4. Ciri-ciri Perkembangan Sosial Emosional
Perkembangan anak dari hari ke hari sangat menakjubkan. Dari bayi lemah
yang menggantungkan seluruh hidupnya kepada orang tua, menjadi anak kecil
yang pintar berbicara, senang bergelut dan pandai menghitung matematika. Tetapi
itu semua tidak terlepas dari pembelajaran orang-orang yang ada di sekitarnya,
seperti orang tua yang sangat berperan dalam membantu perkembangan sosial
emosional anak. Sejak dini, anak perlu diberikan arahan dan bimbingan oleh
orang dewasa, salah satunya belajar melakukan kegiatan yang berhubungan
dengan sosial-emosional anak. Karena dengan kegiatan itu anak lebih mandiri dan
percaya diri.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 58 tahun 2009
tentang standar pendidikan anak usia dini, disebutkan ciri-ciri perkembangan
sosial-emosional anak usia 4-5 tahun sebagai berikut :
a. Menunjukan sikap mandiri dalam memilih kegiatan
b. Mau berbagi, menolong dan membantu teman
c. Menunjukan antusiasme dalam melakukan permainan kompetitif secara
positif
d. Mengendalikan perasaan
48
e. Menaati peraturan yang berlaku dalam suatu permainan.\
f. Menunjukan rasa percaya diri
g. Menjaga diri sendiri dari lingkungannya
h. Menghargai orang lain
5. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia
Dini
Menurut Aan Listiana (2009) dalam dalam Bahan Ajar Diklat Tenaga
Pendidik PAUD Nonformal Tingkat Dasar Memahami Anak Usia Dini, seperti
halnya perkembangan belajar dan berkomunikasi, perkembangan sosial emosional
sangat banyak dipengaruhi beberapa factor, yaitu :
a. Kondisi orang tua merupakan factor yang dominan dalam mempengaruhi
perkembangan sosial emosional anak. Beberapa studi menunjukkan adanya
pengaruh yang signifikan antara perasaan (mood) orang tua terhadap
perkembangan perilaku anak. Kesimpulan penelitian tersebut menyatakan
bahwa orang tua yang depresi merupakan indikasi dan dapat menjadi salah
satu prediksi penting terhadap rendahnya kemampuan sosial dan afeksi anak.
Mengingat faktor kondisi orang tua yang dapat menjadi penyebab rendahnya
kemampuan sosial emosional anak maka tutor atau orang tua kemungkinan
sudah dapat memprediksikan dan mengukur tingkat kemampuan social
emosional anak melalui perilaku atau kondisi social emosional orang tuanya.
Kondisi demikian mengakibatkan penanganan terhadap perilaku menantang
49
yang ditampilkan anak tidak hanya bagaimana membantu menangani anak itu
sendiri tapi juga bagaimana membantu orang tua bersikap dan berperilaku.
Beberapa faktor orang tua yang dapat menyebabkan gangguan sosial
emosional pada anak adalah orang tua yang depresi, pengabaian, dan IQ yang
rendah.
1) Orang tua yang depresi biasanya menampilkan perilaku-perilaku yang
bermasalah, seperti mudah marah, panik, cemas yang berlebihan,
murung, dan perasaan sedih yang mendalam. Kondisi tersebut akan
mempengaruhi pada hubungan social emosional anak. Anak yang
memiliki sifat meniru dan belajar dari kondisi lingkungan sekitarnya
akan mengadopsi perilaku-perilaku tersebut. Perilaku-perilaku negatif
yang ditampilkan anak akan mendapat respon yang negatif yang akan
berakibat pada penolakan dan isolasi dari lingkungan sekitarnya. Pada
kebanyakan anak-anak pengalaman seperti respon orang tua, stabilitas
situasi pengasuhan akan berpengaruh terhadap pengalaman emosional
anak. Lingkungan disekitar anak yang penuh dengan kehangatan dan
situmulasi yang positif akan dapat mengembangkan kompetensi
emosional
dan
kognitif
anak.
Sebaliknya
anak
yang
proses
perkembangan emosionalnya tidak lancar akan beresiko pada kekurangan
kognitif, sosial dan perilakunya.
2) Sikap pengabaian orang tua terhadap anak biasanya adalah anak-anak
yang tidak dikehendaki juga dapat menyebabkan rendahnya kemampuan
social dan afeksi anak. Hal tersebut terjadi dikarenakan anak terbiasa
50
mendapatkan reaksi negatif, tidak dihiraukan keberadaannya, dan tidak
terpenuhinya kasih sayang dari orang tuanya. Akibatnya anak kurang
memperoleh pengetahuan tentang bagaimana menampilkan sikap positif
yang dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya.
3) Faktor lainnya adalah IQ orang tua yang rendah dapat juga
mempengaruhi perkembangan social emosional anak.
Selain factor kondisi orang tua, factor lingkungan keluarga dan masyarakat
juga merupakan factor yang banyak mempengaruhi perkembangan social
emosional anak.
b.
Faktor lingkungan keluarga diantaranya adalah intimidasi atau kekerasan,
ketidakberfungsian keluarga, dan anggota keluarga yang besar.
c.
Faktor lingkungan masyarakat diantaranya adalah isolasi sosial, kekerasan,
dan rendahnya penanganan atau dukungan program pengembangan sosial
emosional anak. Masalah yang bersumber dari luar berupa kurangnya
pengertian atau dukungan yang diberikan pada anak dan juga sikap
permusuhan
dari
lingkungan
keluarga
dan
masyarakat
dapat
pula
menyebabkan masalah yang signifikan pada perkembangan sosial emosional
anak.
d.
Faktor dari dalam diri anak itu sendiri. Faktor pranatal seperti berat lahir yang
rendah, prematur, viral infection, penyakit yang kompleks selama dalam
kandungan, serta hernia merupakan factor-faktor dari diri anak yang dapat
mempengaruhi perkembangan social emosionalnya.
Download